____________________________________________________________________________________________________________________
KEUNGGULAN RELATIF DAN HERITABILITAS BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOULTON CHAROLLAIS I. INOUNU 1 dan M. S. BASARI2 Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
ABSTRACT Heritability and Relative Superiority of Body Weight at Birth and at Weaning of Priangan Sheep and Its Crossbreeds with St. Croix and Moulton Charollais Priangan sheep as one of the native Indonesian sheep breed is known to possess good characteristic in production, such as early puberty age, non-seasonal breeding, and resistance toward internal parasite disease. However, the Priangan sheep exhibit such weakness, that is, the lower body weight and higher lamb mortality. Selection and crossbreeding are methods in improving production of important characteristics of the Priangan sheep. The aim of the research was to estimate relative heterosis (RCV percentage) in Priangan crossbreedings with St. Croix and Moulton Charollais and to estimate the coefficient heritability for Priangan sheep. The traits analyzed were birth weight and weaning weight. The estimation of relative heterosis (RCV percentage) was based on RCV percentage coefficient equation with model %RCV = (Crossbreed Mean - Priangan Mean)/Priangan Mean. The mean used is least square mean that have been corrected with parity, litter size, birth-weaning type, and sex. The least square mean estimated were also assisted with Statistical Analysis System software using the General Linier M odel (GLM). The estimation of direct heritability used Best Linier Unbiased Prediction (BLUP) method. The estimation were obtained with Variance Component Estimation (VCE4) software. Parity, littersize, birth-weaning type, sex, production management, and year of birth were used as fixed effect and animal for random effect. The result show that has relative heterosis of birth weight in the Priangan crossbreedings. The RCV percentage for birth weight in Priangan crossbreedings with CharollaisPriangan, St. Croix-Priangan, Charollais-St. Croix-Priangan, and St. Croix-Charollais-Priangan were 14, 17, 11, and 12% respectively. The similiar crossbreedings for weaning weight were 15, 28, 9, and 12% respectively. The heritability estimation for Priangan pure breed in birth weight and their crossbreed Charollais-Priangan, St. Croix-Priangan, Charollais-St. CroixPriangan, and St. Croix-Charollais-Priangan were 0,52, 0,78, 0,53, 0,26, and 0,58 respectively, whereas heritability estimation in weaning weight for Priangan pure breed and their similiar crossbreedings were 0,60, 0, 0,06, 0,89, and 0,24 respectively. Key words: Heritability, heterosis, sheep, breeding, crossbreeding
PENDAHULUAN
sebagai akibatnya biaya produksi meningkat dan kualitas daging menurun karena bertambah tuanya umur Domba Priangan merupakan salah satu domba asli ternak saat dijual. Kondisi yang demikian membuat Indonesia yang sangat produktif dibandingkan dengan produk ini kalah bersaing di pasar global, sehingga domba lain di dunia. Domba Priangan mempunyai diperlukan usaha untuk meningkatkan sifat produksi keunggulan lebih cepat mencapai dewasa kelamin yang secara ekonomi sangat penting melalui perbaikan mutu genetik ternak (DIWYANTO dan INOUNU, 2001). (pubertas), dapat kawin dan beranak sepanjang tahun Saat ini telah dilakukan upaya persilangan untuk sehingga berpotensi untuk memperpendek interval kelahiran, dapat beradaptasi dengan baik dan tahan perbaikan mutu genetik pada domba Priangan dengan domba St. Croix dan Moulton Charollais oleh Balai terhadap penyakit dan parasit, dapat beranak banyak Penelitian Ternak. Persilangan yang dilakukan pada (prolifik), dan dapat bunting kembali setelah sebulan melahirkan (DIWYANTO dan INOUNU, 2001). domba Priangan dengan domba St. Croix dan Moulton Selain memiliki kelebihan, domba Priangan juga Charollais diharapkan dapat menutupi kekurangan pada domba Priangan. Persilangan domba Priangan dengan mempunyai kelemahan berupa kerangka tubuh yang kecil, yang mengakibatkan pada kecilnya bobot anak St. Croix diharapkan menghasilkan domba Priangan yang dilahirkan. Produksi susu induk yang rendah, yang mempunyai kerangka tubuh relatif lebih besar dengan bulu wol rendah sehingga tahan iklim panas. sehingga tidak cukup untuk memelihara anak dengan jumlah banyak yang berakibat pada tingginya mortalitas Persilangan domba Priangan dengan Charollais anak dan pertumbuhan anak hidup yang rendah. diharapkan menghasilkan domba persilangan yang mempunyai kemampuan untuk memproduksi air susu Kelemahan tersebut akan menghasilkan ternak dengan bobot potong yang tidak sesuai standar ekspor, sehingga yang tinggi dan sifat keindukkan yang baik, sedangkan diperlukan masa penggemukan yang panjang, dan persilangan resiprokal antara St. Croix-Priangan dan _____________________________________________________________________________________________ 52
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ Charollais -Priangan diharapkan menjadi ternak yang mempunyai keunggulan gabungan dari berbagai sifat, yaitu dapat beranak banyak, selang beranak pendek, produksi susu tinggi sehingga dapat merawat anaknya dengan baik, serta memiliki kerangka tubuh relatif besar dengan isi perdagingan yang baik (DIWYANTO dan INOUNU, 2001). Program persilangan yang dilanjutkan dengan seleksi untuk sifat - sifat penting dalam suatu bangsa mempunyai potensi besar untuk mengubah kemampuan genetik. Keberhasilan pemulia untuk meningkatkan mutu genetik suatu ternak tergantung dari metode yang dilakukan untuk menggabungkan sifat - sifat yang diinginkan. Pendugaan nilai heritabilitas dan keunggulan genetik relatif untuk sifat bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan dan persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais dapat dijadikan salah satu masukkan untuk menentukan metode yang terbaik dalam pemuliabiakan yang terarah, untuk itu diperlukan suatu penelitian untuk menduga persentase keunggulan relatif bobot lahir dan bobot sapih persilangan domba Priangan dengan St. Croix dan Moulton Charollais, serta untuk menduga nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan dan hasil persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais. MATERI DAN METODE Pada tahap awal, persilangan dilaksanakan dengan mengawinkan domba Priangan betina (GG) sebanyak 34 ekor dengan pejantan domba St. Croix (HH) untuk menghasilkan domba persilangan St. Croix-Priangan (HG). Pada saat yang sama dikawinkan pula sesama domba Priangan sebagai kontrol dengan menggunakan 33 ekor betina. Domba Priangan yang digunakan merupakan ternak hasil seleksi selama penggaluran yang dilaksanakan antara tahun 1981-1993 di Balai Penelitian Ternak.
?M
X
?MG
?G
?H
X
X
?G
?HG
MHG
?H
Pada tahun 1996 dilakukan persilangan antara domba Priangan betina (GG) dengan domba Moulton Charollais (MM) menggunakan inseminasi buatan untuk mendapatkan persilangan Charollais -Priangan (MG). Hasil persilangan dua bangsa St. Croix-Priangan (50% St. Croix: 50% Priangan) dan Charollais -Priangan (50% Moulton Charollais: 50% Priangan) diseleksi, kemudian dikawinkan untuk menghasilkan domba komposit tiga bangsa St. Croix-Charollais -Priangan (HMG) dengan proporsi bangsa 50% Priangan: 25% Moulton Charollais: 25% St. Croix dari hasil perkawinan pejantan St. Croix-Priangan dengan betina Charollais -Priangan, serta Charollais -St. CroixPriangan (MHG) dengan proporsi bangsa 50% Priangan: 25% Moulton Charollais: 25% St. Croix dari hasil perkawinan pejantan Charollais -Priangan dengan betina St. Croix-Priangan. Skema perkawinan Gambar 1. Setiap tahun dilaksanakan seleksi berdasarkan produktifitas induk dengan menghitung total bobot sapih anak yang dihasilkannya. Tetua jantan dipilih sepuluh terbaik dari dalam populasi kelompoknya, sedangkan tetua induk dipilih yang mempunyai rataan total bobot sapih anak lebih tinggi dari rataan total bobot sapih anak dari populasi dalam kelompoknya. Perkawinan pada domba Priangan dan domba persilangan dilakukan sesuai dengan kelompoknya. Perkawinan dilakukan dengan cara kawin alam. Pada perkawinan secara alamiah ini pejantan terpilih dikawinkan dalam kandang betina sesuai kelompok perkawinan. Pengaturan perkawinan untuk menghindari terjadinya perkawinan keluarga (inbreeding) dilakukan menurut catatan tetua dari calon induk dan pejantan dengan menggunakan daftar perkawinan menurut paket komputer “R-Base”.
X
?HG
?G
?M
X
X
?G
?MG
HMG
Gambar 1. Skema perkawinan pembentukan Domba Komposit 50%Priangan (G), 25% St. Croix (H), 25% Moulton Charollais (M)
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
53
____________________________________________________________________________________________________________________
Penimbangan dilakukan dengan memakai dua buah timbangan gantung merk Salter buatan Inggris dengan kisaran kapasitas timbangan 5 kg dan 100 kg dan memakai kain timbangan yang telah dimodifikasi untuk menimbang domba. Kalung nomor terbuat dari aluminium yang ditempa memakai batang pencetak nomor dari besi, sebagai kalung menggunakan kabel listrik. Identifikasi diganti dengan tatto pada saat lepas sapih menggunakan jarum tatto dan tinta hitam merk standler, pada bagian dalam daun telinga dan pada bagian dalam ekor. Di Balai Penelitian Ternak Bogor sejak tahun 1995, ternak mendapatkan hijauan rumput gajah dan atau rumput raja sebanyak 10% dari bobot badan/hari yang dicacah dengan ukuran 2,5 - 3,0 cm dan pakan penguat sebanyak 2% dari bobot badan/hari yang mengandung protein kasar sebesar 16% dengan daya cerna 68%. Pada induk setelah melahirkan diberikan tambahan pakan penguat sebanyak 2,5% dari bobot badan. Pencukuran bulu dan pemotongan kuku dilakukan dua kali dalam setahun untuk menjaga kesehatan hewan, sedangkan pembersihan kandang dan penggantian air minum dilakukan setiap pagi. Di Balai Penelitian Ternak Bogor, manajemen pemeliharaan ternak dibagi menjadi tiga. Manajemen pemeliharaan pertama ternak hanya diberi hijauan, pada manajemen pemeliharaan kedua ternak diberikan hijauan dan pakan penguat, sedangkan pada manajemen pemeliharaan ketiga ternak diberikan hijauan, pakan penguat, dan ampas tahu. Pada penelitian ini ternak mendapatkan manajemen pemeliharaan tiga 1998-2000, dan pada 2001-2002 diberikan manajemen dua. Pada saat kelahiran, induk dan anak ditempatkan ke dalam sekat berukuran 1 x 1 m di dalam kandang kelompok selama 1-3 hari agar induk dan anak dapat saling mengenal dan anak dapat mendapatkan kolostrum dengan baik. Anak yang baru lahir diberi iodium tincture pada tali pusar, ditimbang bobot lahir dan diidentifikasi dengan menggunakan kalung nomor. Pada umur 90 hari anak disapih dan ditimbang bobot sapihnya, setelah lepas sapih penimbangan dilakukan setiap satu bulan sekali. Data yang dikumpulkan meliputi bobot lahir anak (BL) dan bobot sapih (BS) dari catatan Balai Penelitian Ternak sejak tahun 1998 ditambah data yang diambil saat penelitian. Faktor koreksi digunakan pada analisis rataan sifat dan penghitungan persentase keunggulan relatif persilangan (%KRP) untuk menghindari bias yang ditimbulkan oleh sumber keragaman lain seperti tipe kelahiran, paritas induk, tipe lahir-sapih, dan jenis kelamin. Koreksi dilakukan dengan model umum sebagai berikut:
1. Koreksi data untuk paritas induk. Data paritas induk dikoreksi ke paritas ketiga.
Data terkoreksi =
Rataan data paritas individu Rataan data paritas ketiga
data individu
X
2. Koreksi data untuk tipe kelahiran. Data tipe kelahiran dikoreksi ke tipe kelahiran kembar dua.
Data terkoreksi =
Rataan data kelahiran individu Rataan data kelahiran kembar dua
data individu
X
3. Koreksi data untuk jenis kelamin. Data jenis kelamin dikoreksi ke jenis kelamin jantan.
Data terkoreksi =
Rataan data sex betina Rataan data sex jantan
data individu
X
4. Koreksi data untuk tipe lahir-sapih. Data tipe pemeliharaan sapih dikoreksi ke tipe lahirsapih 22.
Data terkoreksi =
Rataan data tipe lahir
-
Rataan data tipe lahir
-
sapih individu
x
data individu
sapih 22
Analisis rataan sifat dilakukan untuk melihat adanya pengaruh genetik antar bangsa terhadap bobot lahir dan sapih. Data yang dikoleksi umumnya memiliki jumlah pengamatan yang tidak sama, sehingga dianalisis dengan prosedur General Linier Model (GLM) menggunakan perangkat lunak Statistical Analysis System atau SAS (SAS, 1998), apabila pengaruh bangsa berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (W ALPOLE, 1995). Persentase Keunggulan relatif persilangan (%KRP) diukur dengan model sebagai berikut ini:
% KRP =
Rataan performan persilangan
-
Rataan performan Priangan
X 100%
Rataan performan Priangan
Data bobot lahir dikoreksi dengan tipe kelahiran, paritas induk, dan jenis kelamin, sedangkan bobot sapih dikoreksi dengan tipe lahir- sapih, paritas induk dan
_____________________________________________________________________________________________ 54
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ jenis kelamin. Model matematis yang digunakan pada analisis rataan sifat dan penghitungan keunggulan relatif persilangan sebagai berikut ini: 1. Model matematis yang digunakan sifat bobot lahir
X = Disain matrik yang berhubungan dengan pengaruh tetap (n x p) Z = Disain matrik yang berhubungan dengan pengaruh acak (n x q)
Y = µ + Bi + eij Y Bi eij
HASIL DAN PEMBAHASAN
= Bobot lahir = Pengaruh tetap dari bangsa ternak ke-i = Pengaruh acak
2. Model matematis yang digunakan sifat bobot sapih Y = µ + Bi + eij Y Bi eij
= bobot sapih = pengaruh tetap dari bangsa ternak ke-i = pengaruh acak
Pendugaan nilai heritabilitas (h 2 ) bobot lahir dan sapih pada domba Priangan menggunakan perangkat lunak program Varian Component Estimation (VCE4) (GROENEVELD, 1998) yang tidak memisahkan uji kesaudaraan, uji keragaan, dan uji zuriat dengan memasukkan paritas induk, tipe kelahiran, tipe lahirsapih, tahun kelahiran, manajemen pemeliharaan, dan jenis kelamin sebagai pengaruh tetap dan ternak sebagai pengaruh acak, model pengaruh tetap dan pengaruh acak untuk masing-masing sifat Tabel 1. Pemilihan pengaruh tetap untuk setiap model ditentukan berdasarkan pengujian, apakah sifat-sifat tersebut berpengaruh nyata secara statistik dengan model pengaruh tetap linier yang dianalisis dengan prosedur General Linier Model (GLM) menggunakan perangkat lunak Statistical Analysis System atau SAS (SAS, 1998). Perhitungan heritabilitas digunakan model linier menurut HENDERSON (1985) sebagai berikut ini: y = Xb + Zu + e y = Vektor untuk pengamatan (n x l) b = Vektor untuk pengaruh tetap (p x l) u = Vektor untuk pengaruh acak (q x l) e = Vektor untuk galat (n x l)
Hasil analisis rataan sifat bobot lahir dan bobot sapih dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan analisis rataan sifat antar bangsa pada penelitian ini diketahui bahwa pengaruh bangsa berperan nyata (P<0,05) pada bobot lahir dan bobot sapih. Bobot lahir tertinggi didapatkan pada persilangan St. Croix-Priangan, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan persilangan Charollais -Priangan. Rataan bobot lahir persilangan St. Croix-Charollais -Priangan dan Charollais -St. CroixPriangan lebih rendah jika dibandingkan dengan St. Croix-Priangan, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan Charollais -Priangan. Rataan bobot lahir terendah terdapat pada domba Priangan. Rataan bobot sapih tertinggi didapatkan pada persilangan St. Croix-Priangan dan berbeda nyata (P<0,05) dengan seluruh persilangan. Rataan bobot sapih terendah didapatkan pada domba Priangan yang berbeda nyata (P<0,05) dengan semua persilangan. Rataan bobot sapih domba Charollais -Priangan, St. Croix-Charollais -Priangan, dan Charollais -St. CroixPriangan tidak berbeda nyata (P>0,05). Perbedaan performan bobot lahir dan bobot sapih pada ternak persilangan disebabkan oleh pengaruh genetik yang dibawa oleh domba St. Croix dan Moulton Charollais yang diintroduksikan melalui persilangan, karena rataan bobot lahir dan bobot sapih yang ditampilkan telah dikoreksi terlebih dahulu. Menurut W ARWICK et al. (1990), metode persilangan memanfaatkan efek heterosis dan daya gabung dari sifat-sifat produksi yang penting dari dua bangsa atau lebih yang berbeda. Persentase keunggulan relatif persilangan (%KRP) untuk sifat bobot lahir dan bobot sapih pada domba Priangan dan persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Model pengaruh tetap dan pengaruh acak untuk sifat yang diamati Pengaruh acak
Pengaruh tetap
Sifat ternak
NPAR
YR
TKL
BL
X
X
X
X
BS
X
X
TR
X
MANAJ
SEX
X
X
X
X
NPAR= paritas Induk; YR= tahun kelahiran; TKL= tipe kelahiran; TR= tipe lahir-sapih; MANAJ= manajemen pemeliharaan; SEX= jenis kelamin
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
55
____________________________________________________________________________________________________________________
Pada penelitian ini didapatkan %KRP pada domba persilangan, bila dibandingkan dengan domba Priangan murni. Nilai tertinggi sifat bobot lahir didapatkan pada persilangan St. Croix-Priangan yaitu sebesar 17% diikuti persilangan Charollais -Priangan, St. CroixCharollais -Priangan, dan Charollais -St. Croix-Priangan secara berturut-turut 14, 12, dan 11%. Nilai tertinggi sifat bobot sapih didapatkan pada persilangan St. CroixPriangan yaitu sebesar 28% yang kemudian diikuti oleh persilangan Charollais -Priangan, St. Croix-Charollais Priangan, dan Charollais -St. Croix-Priangan secara berturut-turut sebesar 15, 12, dan 9%. Berdasarkan % KRP pada bobot lahir dan bobot sapih dapat diketahui bahwa persilangan St. Croix-Priangan merupakan persilangan terbaik dan diikuti oleh persilangan Charollais -Priangan, St. Croix-Charollais -Priangan, dan Charollais -St. Croix-Priangan. Keunggulan pada kelompok domba persilangan ini disebabkan adanya efek heterosis, tetapi pada penelitian ini besarnya nilai heterosis tidak dapat dihitung karena tidak adanya tetua murni dari kedua bangsa yang diintroduksikan ini. DOLOKSARIBU et al. (2000), melaporkan keunggulan induk pada ternak persilangan domba Barbados Blackbelly x domba Sumatera dan domba St. Croix x Domba Sumatera secara berturut-turut sebesar 61% dan 47%; sedangkan GATENBY et al. (1997) melaporkan, bahwa F1 hasil persilangan domba Barbados Blackbelly dan domba St. Croix dengan domba Sumatera bertumbuh relatif lebih cepat dibandingkan dengan domba Sumatera murni. Pada penelitian ini keunggulan relatif persilangan pada persilangan dua bangsa lebih baik daripada persilangan tiga bangsa, berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh RASTOGI et al. (1982), pada persilangan domba Columbia dengan Suffolk dan Targhee bahwa persilangan tiga bangsa memiliki keunggulan yang lebih baik daripada persilangan dua bangsa untuk sifat bobot lahir dan bobot sapih. Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh induk dan pengaruh bapak yang bergabung pada ternak hasil persilangan. Menurut W ARWICK et al. (1990), penentuan daya gabung (Sinergitas) dilakukan dengan mencoba semua
kombinasi persilangan dan penentuan persilangan mana yang memberikan hasil yang terbaik dilakukan dengan percobaan. Menurut DEVENDRA dan BURNS (1994), keragaman dalam bobot lahir disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan, oleh karena itu umumnya pada ternak hasil silangan akan memperlihatkan bobot lahir yang lebih tinggi dari rataan bobot lahir pada bangsa tetuanya. Pada penelitian ini rataan bobot lahir tertinggi didapatkan pada domba persilangan St. Croix-Priangan yaitu sebesar 3,00 ± 0,05 kg yang kemudian diikuti dari persilangan Charollais -Priangan, St. Croix-Charollais Priangan, dan Charollais -St. Croix-Priangan secara berturut-turut 2,92 ± 0,07, 2,87 ± 0,04, 2,85 ± 0,03 kg; sedangkan bobot lahir domba Priangan murni 2,56 ± 0,03 kg. Tingginya bobot lahir pada persilangan St. Croix-Priangan disebabkan oleh gen dari domba St. Croix. Menurut W ILDEUS (1997), domba St. Croix memiliki kemampuan produksi yang tinggi pada daerah tropis, sedangkan bobot lahir yang tinggi pada persilangan Charollais -Priangan disebabkan oleh pengaruh gen yang berasal dari domba Moulton Charollais. Menurut M ASON (1980), domba Charollais merupakan domba tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Pengaruh dari induk mempunyai peranan dalam menentukan bobot lahir, pada penelitian ini domba persilangan tiga bangsa St. Croix-Charollais -Priangan yang merupakan hasil persilangan antara pejantan St. Croix-Priangan dan induk Charollais -Priangan memiliki rataan bobot lahir lebih tinggi daripada persilangan Charollais -St. Croix-Priangan yang berasal dari persilangan antara pejantan Charollais -Priangan dan induk St. Croix-Priangan dengan perbedaan bobot lahir diantara keduanya sebesar 0,02 kg. Hasil ini sesuai dengan laporan HUNTER (1956), yang melakukan penelitian persilangan resiprokal antara domba bangsa besar Border Leicester dengan domba bangsa kecil Welsh. Hasilnya anak domba persilangan dengan induk besar akan lebih berat dari anak persilangan dari induk kecil.
Tabel 2. Rataan sifat dan persentase keunggulan relatif (%KRP) bobot lahir dan sapih pada domba persilangan Priangan dengan St. Croix dan Moulton Charollais Bobot lahir Kelompok GG MG
Rataan ± SD (kg) C
2,56 ±0,03 AB
2,92 ±0,07 A
Bobot sapih KRP (%) 0 14
Rataan ± SD (kg)
KRP (%)
C
0
B
15
A
11,24 ± 0,19 12,96 ± 0,42
HG
3,00 ±0,05
17
14,40 ± 0,31
28
MHG
2,85B±0,03
11
12,24B ± 0,22
9
HMG
B
2,87 ±0,04
12
B
12,62 ± 0,26
12
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
_____________________________________________________________________________________________ 56
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ DOLOKSARIBU et al. (2000), mendapatkan rataan bobot lahir yang lebih tinggi pada persilangan domba Sumatera x domba St. Croix dan pada persilangan Barbados Blackbelly x Sumatera, bila dibandingkan dengan domba Sumatera murni. RASTOGI et al.(1982), melaporkan bahwa pejantan Columbia yang dikawinkan dengan induk persilangan Targhee x Suffolk menghasilkan bobot lahir tertinggi yang kemudian diikuti oleh perkawinan antara pejantan Suffolk dengan induk persilangan Targhee x Columbia. Dari hasil yang didapat pada penelitian ini menunjukkan bahwa introduksi bangsa baru dapat meningkatkan performan dari domba Priangan untuk sifat bobot lahir. Rataan bobot sapih tertinggi didapatkan pada persilangan St. Croix-Priangan yaitu sebesar 14,40 ± 0,31 kg yang kemudian diikuti oleh persilangan Charollais -Priangan, St. Croix-Charollais -Priangan, dan Charollais -St. Croix-Priangan secara berturut - turut sebesar 12,96 ± 0,42, 12,62 ± 0,26, dan 12,24 ± 0,22 kg; sedangkan bobot sapih untuk domba Priangan murni sebesar 11,24 ± 0,19 kg. Persilangan St. Croix-Priangan memiliki bobot sapih yang tertinggi karena pengaruh gen dari domba St. Croix yang mudah beradaptasi pada lingkungan tropis. Menurut W ILDEUS (1997), domba St. Croix dapat beradaptasi baik pada kondisi pakan jelek dan terhadap tekanan penyakit parasit internal dan mempunyai kemampuan produksi yang tinggi pada daerah panas dan lembab. Menurut W IDDOWSON(1980), setelah lahir dan bila makanan cukup berkualitas pada anak, maka pengaruh genetik dari bapak mulai tampak jelas. Menurut NOOR (1996), ternak jantan menurunkan setengah kemampuan genetiknya kepada anak-anaknya. VESELY dan PETERS (1972) melaporkan, bahwa pada domba Romnelet, Columbia, Suffolk, dan Cheviot bahwa rataan anak domba hasil persilangan tiga bangsa dari induk persilangan memiliki keunggulan sebesar 10% untuk sifat bobot sapih dibandingkan anak domba
persilangan dua bangsa dari induk yang murni, berbeda pada penelitian ini, bahwa bobot sapih pada persilangan dua bangsa dari induk yang murni memiliki rataan bobot sapih yang lebih tinggi dari anak domba hasil persilangan tiga bangsa dari induk persilangan. Nilai dugaan heritabilitas untuk sifat bobot lahir dan bobot sapih disajikan pada Tabel 3. Nilai dugaan heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih untuk domba Priangan yang diteliti secara berturut-turut adalah 0,52 dan 0,60. INOUNU (1996) mendapatkan, bahwa nilai h2 untuk domba Priangan pada bobot lahir dan bobot sapih di tempat yang sama secara berturut-turut sebesar 0,23 dan 0,12, perbedaan nilai h 2 ini disebabkan oleh perbedaan jumlah ternak yang diamati, waktu pengamatan, dan metode estimasi heritabilitas yang digunakan. SHIEKH et al. (1986) mendapatkan, nilai h2 untuk bobot lahir dan bobot sapih pada domba Kashmir Merino masing-masing sebesar 0,03 dan 0,89. M ARIA et al. (1993) melaporkan, nilai h2 untuk bobot lahir dan bobot sapih pada domba Romanov masing-masing 0,04 dan 0,34. CLARKE dan HOHENBOKEN (1983) mendapatkan, nilai h2 untuk bobot sapih sebesar 0,05 sedangkan M AC NAUGHTON (1957) mendapatkan, nilai h 2 untuk bobot lahir dan bobot sapih pada domba Rambouillet masing-masing sebesar 0,27 dan 0,33 dan secara berturut-turut untuk sifat yang sama pada domba Corriedale sebesar 0,36 dan 0,45. Nilai heritabilitas bobot lahir yang didapat pada domba persilangan Charollais -Priangan, St. CroixPriangan, Charollais -St. Croix-Priangan, dan St. CroixCharollais -Priangan pada penelitian ini sebesar 0,78, 0,53, 0,26, dan 0,58, sedangkan nilai heritabilitas bobot sapih pada persilangan yang sama masing-masing sebesar 0,0, 0,06, 0,89, dan 0,24. W ALDRON et al. (1990) mendapatkan, nilai heritabilitas untuk bobot lahir dan bobot sapih pada domba persilangan (Suffolk, Dorset, dan Rambouillet) sebesar 0,13, 0,09, dan 0,24.
Tabel 3. Estimasi nilai heritabilitas (h2) bobot lahir dan bobot sapih domba Priangan (G) dan Persilangannya dengan St. Croix (H) dan Moulton Charollais (M) Bobot lahir
Kelompok
2
Sapih 2
h
Standar Error
h
Standar Error
GG
0,520
0,089
0,600
0,081
MG
0,781
0,241
0
0
HG
0,528
0,185
0,060
0,181
MHG
0,261
0,086
0,891
0,106
HMG
0,580
0,121
0,240
0,245
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
57
____________________________________________________________________________________________________________________
KESIMPULAN Rataan bobot lahir domba persilangan sebesar 2,92 ± 0,07, 3,00 ± 0,05, 2,85 ± 0,03, dan 2,87 ± 0,04 kg untuk Charollais -Priangan, St. Croix-Priangan, Charollais -St. Croix-Priangan, dan St. Croix-Charollais Priangan, sedangkan rataan bobot sapih masing-masing sebesar 12,96 ± 0,42, 14,40±0,31, 12,24 ± 0,22, dan12,62 ± 0,26 kg. Rataan bobot lahir dan bobot sapih pada domba Priangan murni berturut-turut yaitu sebesar 2,56 ± 0,03 dan 11,24 ± 0,19 kg. Terdapat persentase keunggulan relatif persilangan (%KRP) antara domba Priangan dengan St. Croix dan Moulton Charollais untuk sifat bobot lahir dan sapih. Besarnya % KRP Charollais -Priangan, St. CroixPriangan, Charollais -St. Croix-Priangan, dan St. CroixCharollais -Priangan untuk bobot lahir sebesar 14, 17, 11, dan 12%; sedangkan pada persilangan yang sama untuk bobot sapih sebesar 15, 28, 9, dan 12%. Hasil ini menunjukkan bahwa domba hasil persilangan lebih unggul dari domba Priangan murni dalam hal bobot lahir dan bobot sapih. Nilai heritabilitas yang didapat untuk bobot lahir pada domba Priangan murni dan persilangan Charollais Priangan, St. Croix-Priangan, Charollais -St. CroixPriangan, dan St. Croix-Charollais -Priangan berturutturut 0,52, 0,78, 0,53, 0,26. dan 0,58; sedangkan untuk heritabilitas bobot sapih berturut-turut 0,60, 0, 0,06, 0,89, dan 0,24.
GROENEVELD, E. 1998. VCE4. User’s Guide and Reference Manual Version 1.1. Institut of Animal Husbandry and Animal Behaviour Federal Agricultural Research Center (FAL), Germany. HENDERSON , C.R. 1985. Best linier unbiased prediction using relationship matrices derived from selected base population. J. Dairy Sci. 68:443-448. HUNTER, G.L. 1956. The Maternal influence on size in sheep. J. Agric. Sci. 48: 36–60. INOUNU , I. 1996. Keragaan Produksi Ternak Domba Prolifik. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. M AC NAUGHTON, W.N. 1957. Repeatability and heritability of birth, weaning, and shearing weights among range sheep in Canada. Anim. Breed. Abst. 25 (4): 398. M ARIA, G.A., K.G. BOLDMAN , and L.D. VAN VLECK . 1993. Estimate of variance due to direct and maternal effects for growth traits of Romanov sheep. J. Anim. Sci. 71: 845-849. M ASON , I.L. 1980. A World Dictionary of Livestock Breeds, Types and Varieties. 4th Edition. C.A.B. International. Page: 273. NOOR, R.R. 1996. Genetika Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta. RASTOGI, R., W.J. BOYLAN , W.E. REMPEL , and H.F. WINDELS. 1982. Crossbreeding in sheep with evaluation of combining ability, heterosis, and recombination effects for lamb growth. J. Anim. Sci. 54(3): 524-532. SAS. 1998. SAS/STAT Guide for Personal Computer. Version 6.2 Edition. SAS Institute Cary. NC, USA.
DAFTAR PUSTAKA CLARKE , S.E. and W.D. HOHENBOKE n. 1983. Estimation of repeatability, heritability and breed differences for lamb production. J. Anim. Sci. 56 (2): 309-315. DEVENDRA , C dan M. BURNS. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan I. D. K. Harya Putra. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung.
SHIEKH , N.A., J.S. DILLON , and O.S. PARMAR. 1986. Genetic evaluation of a flock of Khasmir Merino sheep. I. Body weight. Indian J. Anim. Sci. 56 (2): 244-247. VESELY , J.A. and H.F. PETERS.1972. Lamb growth performance of Romnelet, Columbia, Suffolk, and N.C. Cheviot breeds and all single and three breed cross among them. C.J. Anim. Sci. 52: 283.
DIWYANTO , K. dan I. INOUNU . 2001. Ketersediaan teknologi dan pengembangan ruminansia kecil. Makalah pada Seminar Nasional Domba Kambing. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
WALDRON , D.F., D.L. THOMAS, J.M. STOOKEY, T.G. NASH , F.K. M C KEITH , and R.L. FERNANDO . 1990. Central rams test in the Midwestern United States. III. Relationship between sire’s central test performance and progeny performance. J. Anim. Sci. 68:45.
DOLOKSARIBU , M., R.M. GATENBY , SUBANDRYO , and G.E. BRADFORD . 2000. Comparison of Sumatra sheep and hair sheep crossbreed. III. Reproductive performance of F2 ewes and weights of lamb. Small Rumin. Res. 38:115-121.
WARWICK , E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO . 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
GATENBY , R.M., G.E. BRADFORD , M . DOLOKSARIBU , E. ROMJALI, A.D. PITONO, and H. SAKUL . 1997. Comparison of Sumatra sheep and three hair sheep crossbreeds. I. Growth, mortality, and wool cover of F1 lambs. Small Rumin. Res. 25:1-7.
WIDDOWSON , E.M. 1980. Definition of growth. In: T.L.J. Lawrence (Ed.) Growths in Animal. Butterworths, London. Pp: 1-9. WILDEUS, S. 1997. Hair sheep genetic resources and their contribution to diversified small ruminant production in the United States. J. Anim. Sci. 75:630-640.
_____________________________________________________________________________________________ 58
Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
_____________________________________________________________________________________________ DISKUSI
Pertanyaan: 1.
Apa yang dimaksud faktor koreksi? Dalam hasil tidak kelihatan faktor koreksinya, apa faktor koreksi dalam penghitungan saja?
2.
Faktor koreksi bisa dilakukan dengan multiplikasi atau aditif, mana yang dipakai?. Apakah dalam menghitung heritabilitas dilakukan faktor koreksi?. Sebaiknya untuk heretabilitas perlu dihitung factor koreksinya.
Jawab : 1.
Faktor koreksi dilakukan untuk melihat pengaruh genetik dari domba yang diintroduksikan. Faktor koreksi dilakukan untuk menghindari bias dari faktor-faktor tetap, selain faktor genetik dalam menghitung produktivitas dalam hal ini bobot lahir dal bobot sapih. Faktor koreksi dilakukan karena produktivitas dipengaruhi oleh fak tor lingkungan dan faktor genetik.
2.
Yang dipakai koreksi multiplikasi. Heritabilitas tidak dilakukan faktor koreksi .
_____________________________________________________________________________________________ Puslitbang Peternakan, Bogor 29 – 30 September 2003
59