Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PRODUKTIVITAS KAMBING HASIL PERSILANGAN KACANG DENGAN PEJANTAN BOER (BOBOT LAHIR,BOBOT SAPIH DAN MORTALITAS) Productivity of Cross Breed Goat Kacang X Boer (Birth Weight, Weaning Weight and Mortality Rate) SIMON ELIESER, MERUWALD DOLOKSARIBU, FERA MAHMILIA dan FITRA AJI PAMUNGKAS Loka Penelitian Kambing Potong, Sungei Putih PO Box 1 Galang 20585
ABSTRACT A number of 65 kids crossbreed of Kacang goat with Boer goat were observed on its productivity start at birth until weaning in Research Institute for Goat Production of Sei Putih, Sumatera Utara. To compare data obtained also productivity of 50 kids of Kacang goat were also observed. The aim of this research was to know productivity of crossbreed at pre weaning as to be seen from weight birth, weaning weight and mortality. The results showed that weight birth of kid crossbreed 2.35 ± 0.59 kg (P < 0,05) heavier than birth weight of Kacang goat 1.78 ± 0.36 kg. Birth weight crossbreed kid increase 32% compared to Kacang goat. Average of weight birth of male crossbreed kids (2.49 ± 0.69 kg) was heavier than birth weight of female goat (2.24 ± 0.53 kg). Average weight birth of crossbreed kids single type was 2.43 ± 0.07 kg much more heavy (P < 0,01) than twin type 2,12 ± 0.11 kg. Weaning weight of crossbreed goat 9.76 ± 3.69 kg heavier (P < 0.05) than weaning weight of Kacang goat 7.23 ± 1.37 kg and percentage of weaning weight of crossbreed can improve until 35%. There was no difference of weaning weight between female and male of crossbreed goat. Mortality rate until pre-weaning of crossbreed goat was 24.61%. The number of mortality increase at the height of birth type (16.21% single birth, 27.27% birth of twin 2, 33.33% birth of twin 3 and 75% birth of twin 4. It is concluded that crossbreed Kacang goat with Boer goat increase birth weight until 32% and weaning weight until 35%. Key Words: Goat, Crossbreed, Weaning Weight, Sex, Type of Weaning ABSTRAK Sejumlah 65 ekor anak kambing hasil persilangan antara kambing kacang dengan pejantan Boer yang lahir dan hidup diamati produktivitasnya mulai umur 1 hari sampai sapih di Stasiun Percobaan Lolit Kambing Potong Sei Putih. Untuk melengkapi data diamati juga produktivitas anak kambing kacang sejumlah 50 ekor sebagai pembanding. Penelitian bertujuan untuk mengetahui produktivitas kambing hasil persilangan pada fase pra sapih dilihat dari bobot lahir, bobot sapih dan mortalitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir anak kambing hasil persilangan 2,35 ± 0,59 kg secara nyata (P < 0,05) lebih berat bila dibandingkan dengan bobot lahir anak kambing kacang yaitu 1,78 ± 0,36. Secara prosentase bobot lahir anak kambing hasil persilangan meningkat 32% dibandingkan dengan kambing kacang. Rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan jantan (2,49 ± 0,69 kg) relatif lebih berat dibanding bobot lahir betina (2.24 ± 0.53 kg). Rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan tipe tunggal 2,43 ± 0,07 kg jauh lebih berat (P < 0,01) bila dibanding dengan bobot lahir anak tipe kembar 2,12 ± 0,11 kg. Rataan bobot sapih kambing hasil persilangan 9,76 ± 3,69 kg lebih berat (P < 0,05) bila dibandingkan dengan bobot sapih kambing Kacang 7,23 ± 1,37 kg dan secara prosentase ternyata persilangan mampu meningkatkan bobot sapih sampai 35%. Tidak ada perbedaan bobot sapih kambing hasil persilangan antara jantan dan betina. Mortalitas prasapih anak kambing hasil persilangan secara keseluruhan adalah 24,61% (16 ekor mati dari 65 ekor yang dilahirkan). Angka mortalitas cenderung meningkat dengan meningkatnya tipe kelahiran (16,21% kelahiran tunggal, 27,27% kelahiran kembar dua, kelahiran kembar tiga 33,33% 3 dan kelahiran kembar empat 75%. Kata Kunci: Kambing, Persilangan, Bobot Sapih, Jenis Kelamin, Tipe Sapih
512
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
PENDAHULUAN Produktivitas kambing potong lokal masih sangat rendah dengan ukuran tubuh relatif kecil, sedangkan permintaan pasar khususnya untuk ekspor kambing dengan ukuran tubuh relatif besar dengan bobot potong minimal 35 kg. BRADFORD (1993) menyatakan rendahnya produktivitas biologik ternak dapat disebabkan adanya keterbatasan potensi genetik. Keterbatasan potensi genetik yang berhubungan dengan kapasitas genetik kambing lokal (kacang) adalah tidak dikhususkan untuk sifat produksi tertentu. Namun demikian keunggulan kambing lokal adalah keragaan reproduksinya cukup baik dengan dugaan adanya potensi genetik yang cukup tinggi pada jumlah anak sekelahiran (OBST et al., 1980; SETIADI, 1994). Salah satu metode untuk meningkatkan produktivitas kambing lokal Indonesia yang hasilnya relatif cepat dan cukup memuaskan serta telah meluas dilaksanakan, adalah dengan menyilangkan (cross breeding) dengan genotip kambing unggul impor (BRADFORD, 1993 dan SAKUL et al., 1994). Pejantan unggul yang digunakan untuk memperbaiki mutu genetik kambing lokal adalah kambing Boer (tipe pedaging). DE HASS (1979) melaporkan bahwa persilangan antara kambing Boer dengan kambing kerdil Afrika Timur (Small East African goats) di Kenya menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan anak dari lahir sampai sapih yakni dari 32 g/hari menjadi 62 g/hari. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keunggulan produktivitas kambing Kacang yang disilangkan dengan pejantan Boer berdasarkan: bobot lahir, bobot sapih dan mortalitas prasapih. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Stasiun Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Materi yang diamati adalah 65 ekor anak kambing hasil persilangan sampai sapih dan sebagai pembanding untuk melengkapi data diamati juga 50 ekor anak kambing kacang. Sistem pemeliharaan secara intensif dimana anak kambing bersama induknya ditempatkan pada kandang kelompok. Pakan
hijauan diambil dari bawah perkebunan karet secara cut dan carry dan diberikan ad libitum pada siang dan sore hari. Pakan tambahan berupa konsentrat diberikan pada pagi hari sejumlah 300 g/ekor induk. Air minum disediakan secara ad libitum. Parameter yang diamati meliputi bobot lahir, tipe lahir, jenis kelamin, bobot sapih dan mortalitas sampai disapih. Analisis data Data mortalitas sampai disapih dianalisis secara deskriptif, sedangkan bobot sapih, tipe lahir dan jenis kelamin dibedakan dengan uji beda rata-rata. HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot lahir Berdasarkan genotip Bobot lahir anak kambing hasil persilangan (Boerka) 2,35 ± 0,69 kg secara nyata (P < 0,05) lebih berat bila dibandingkan dengan kambing kacang (1,78 ± 0,36 kg). Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan bobot lahir anak kambing hasil persilangan adalah oleh faktor pejantan (Boer) yang digunakan. Kambing Boer adalah merupakan kambing yang mempunyai potensi genetik tinggi dan tipe pedaging yang baik karena mempunyai konfirmasi tubuh yang baik dengan tulang rusuk yang lentur, panjang badan dan perototan yang baik pula. NATASASMITA et al. (1979) menyatakan dengan sistem perkawinan silang terhadap pejantan yang mempunyai potensi genetik tinggi dapat meningkatkan bobot lahir dan bobot sapih. Tabel 1. Rataan bobot lahir anak kambing kacang dan persilangannya (Boerka) n
Bobot Lahir (kg)
Boerka
65
2,35 ± 0,59 a
Lokal (kambing Kacang)
50
1,78 ± 0,36 b
Genotipe anak
Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan pada P < 0,05
513
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
Dari data pada Tabel 1 terlihat adanya peningkatan yang nyata bobot lahir anak kambing hasil persilangan betina kacang dengan pejantan Boer dibandingkan dengan kambing kacang dan secara prosentase meningkat 32%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh SETIADI et al. (2001) bahwa rataan bobot lahir kambing persilangan antara kambing Boer dengan kambing Kacang (BKC) sebesar 2,42 ± 0,60 kg. Berdasarkan jenis kelamin Bobot lahir anak jantan (2,49 ± 0,69 kg) relatif lebih berat dibandingkan dengan bobot lahir anak betina (2,24 ± 0,53 kg) secara statistik tidak terdapat perbedaan. Namun bobot lahir anak jantan relatif lebih berat dibanding anak betina. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan SETIADI et al., (2001) bahwa bobot lahir anak jantan Boerka (hasil persilangan antara betina kacang dengan pejantan Boer) 2,59 ± 0,60 kg relatif lebih tinggi dibanding dengan anak betina (2,31 ± 0,60 kg) dengan anak betina. Data rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan jantan dan betina tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan jantan dan jetina Jenis kelamin
n
Bobot lahir (kg)
Betina
37
2,24 ±0,53 kga
Jantan
28
2,49 ± 0,69 kga
Superskrip yang sama tak berbeda nyata
Berdasarkan tipe lahir Rataan bobot lahir akan menurun dengan meningkatnya jumlah anak lahir perinduk melahirkan. Rataan bobot lahir anak kambing persilangan tipe tunggal (n = 36 ekor) adalah 2,43 ± 0,07 kg nyata lebih berat (P < 0,01) bila dibandingkan dengan bobot lahir anak hasil persilangan tipe kembar (n = 29 ekor) 2,12 ± 0,11. Tabel 3. berikut dapat dilihat rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan berdasarkan tipe kelahiran. Menurunnya bobot lahir anak akibat meningkatnya jumlah anak lahir perinduk disebabkan anak yang dilahirkan tunggal
514
selama pertumbuhan embrio dalam uterus dapat menyerap makanan sepenuh dari induknya, sebaliknya anak kembar akan terjadi persaingan antara sesamanya dalam menyerap makanan dari induknya (ATKINS dan GILMOUR, 1981). Tabel 3. Rataan bobot lahir anak kambing hasil persilangan berdasarkan tipe kelahiran Tipe kelahiran
n
Bobot lahir (kg)
Tunggal
36
2,43 ± 0,07a
Kembar
29
2,12 ± 0,11b
Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan pada P < 0,01
Bobot sapih Bobot sapih atau bobot badan umur 90 hari secara umum dapat dijadikan kreteria seleksi ternak. Bobot sapih yang tinggi diharapkan akan menghasilkan laju pertambahan bobot badan pasca sapih yang tinggi pula. Berdasarkan genotip Dari pengamatan selama penelitian didapatkan jumlah anak kambing hasil persilangan yang mencapai umur sapih sejumlah 49 ekor dari 65 ekor anak yang dilahirkan dan hidup. Rataan bobot sapih kambing hasil persilangan (Boerka) 9,76 ± 3,69 kg nyata lebih berat (P < 0,05) dibandingkan dengan kambing kacang 7,23 ± 1,37 kg (Tabel 4). Bobot sapih kambing hasil persilangan sangat erat kaitannya dengan bobot lahirnya. Hal ini disebabkan semakin berat bobot lahir maka bobot sapih juga akan semakin berat (PITONO et al., 1992). Lebih jauh PITONO et al. (1992) menyatakan sistem perkawinan silang dapat memberi peluang untuk mempercepat perbaikan produksi. Dimana bobot lahir anak akan menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan bobot saat disapih. Dari Tabel 4. terlihat bahwa bobot sapih anak hasil persilangan secara prosentase dapat meningkat sampai 35% dibandingkan dengan kambing Kacang. Hasil ini masih lebih kecil dengan yang dilaporkan SETIADI et al. (2001), dimana persilangan kambing Kacang dengan kambing Boer (menggunakan semen beku)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
mampu meningkatkan bobot sapih 50 – 70%. Perbedaan ini diduga akibat manejemen dan lingkungan yang berbeda. Tabel 4. Rataan Bobot Sapih anak Kambing Kacang Dan Persilangannya (Boerka) Genotipe anak
n
Bobot sapih (kg)
Boerka
49
9,76 ± 3,69a
Lokal (kambing Kacang)
30
7,23 ± 1,37b
Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan pada P < 0,05
Dengan mortalitas 33,33 dan 75%. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya jumlah anak dalam satu kelahiran akan mengakibatkan ketersediaan susu induk untuk anaknya jadi lebih sedikit atau adanya kompetisi anak dalam memperoleh susu. SETIADI et al. (2001) menyatakan daya hidup prasapih tergantung pada litter size, produksi susu induk serta kemampuan induk dalam merawat anaknya selama periode menyusui. Pada kelahiran tunggal, kemampuan hidup anak lebih baik dari yang lainnya, karena memperoleh susu induk serta perhatian induk yang lebih baik. KESIMPULAN
Berdasarkan jenis kelamin Dari 51 ekor anak kambing Boerka 23 ekor diantaranya jantan dan 28 ekor betina. Hasil uji beda rata-rata, ternyata tidak ada perbedaan bobot sapih kambing persilangan antara jantan dengan yang betina. Keadaan ini dapat dipahami, bahwa bobot sapih sangat tergantung pada konsumsi susu yang diperoleh anak. Menurut DEVENDRA dan BURN (1983), anak kambing sepenuhnya tergantung pada komsumsi susu induk sampai berumur kurang lebih 7 – 8 minggu. Namun dari Tabel 5. terlihat bobot sapih betina 9,57 ± 0,96 kg lebih rendah dari jantan 9,89 ± 0,95 kg. Tabel 5. Rataan bobot sapih kambing boerka berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin
n
bobot sapih (kg)
Jantan
23
9,89 ± 0,95a
Betina
26
9,57 ± 0,96a
Superskrip yang sama pada lajur yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (ns)
Mortalitas Mortalitas sampai umur sapih (3 bulan ) secara keseluruhan adalah 24,62% (16 ekor mati dari 65 ekor yang dilahirkan). Bila dirunut dari tipe kelahiran, angka mortalitas ini cenderung meningkat, seiring meningkatnya litter size, yaitu 16,67% atau 6 ekor pada kelahiran tunggal dan 27,27% atau 6 ekor pada kelahiran kembar 2, dan masing-masing terdapat satu kelahiran kembar 3 dan kembar 4.
Persilangan kambing Kacang dengan pejantan Boer mampu meningkatkan bobot lahir 32% dan bobot sapih 35%. DAFTAR PUSTAKA ATKINS, K.D. dan A.R. GILMOUR. 1981. The comparative productivity of five ewe breeds, 4. Growth and carcase characteristics of purebred and cossbreed lambs. Aust, J. Exp. Agr. Anim. Husb. 21: 172 – 178. BRADFORD, G.E. 1993. Small ruminant breeding strategies for Indonesia. Proc. of Workshop: Advances in Small Ruminant Reseach in Indonesia. Research Institute for Animal Production, Bogor, Indonesia.pp. 83 – 94 DE HAAS, H.J. 1979. Growth of the Boer goat crosses in comparispon with indigenous Small Afrcan goats in Kenya. Tropenlandwirt 79. 7 – 9 (ABA, 1861) DEVENDRA, C. dan M. BURNS, 1983. Goat Production in the Tropic. Common Wealth Agricultural Bureux, UK. NATASASMITA, A., N. SUGARA dan M. DULDJAMAN. 1979. Penyilangan domba priangan betina oleh pejantan sufflok. Laporan Hasil penelitian domba import sumbangan Presiden RI. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. OBST, J.M., T. BOYER and T. CHANIAGO. 1980. Reproductive performance of Indonesia sheep and goats. Proc. Australian Society of Anim. Prod. 13: 321 – 324. PITONO, A.D., E. ROMJALI dan R.M. GATENBY. 1992. Jumlah anak lahir dan bobot lahir domba local Sumatera dan hasil persilangannya. J. Penelitian Peternakan Sungei Putih.
515
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006
SAKUL, H.G.E. BRADFORD and SUBANDRIYO. 1994. Prospects for genetic improvement of small ruminants in Asia. Proc. Strategic Development for Small Ruminant Production in Asia and the Pasific. SR-CRSP, Univ. of California Davis. Held in Denpasar, Bali Indonesia July 11 – 16. pp. 3 – 14 SETIADI, B. 1994. Ripitabilitas keragaan produktivitas induk kambing peranakan Etawah pada kondisi setasiun pembibitan dan pedesaan. Proc. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering Sub Balai Penelitian Ternak Grati. hlm. 366 – 372.
SETIADI, B., SUBANDRRIYO, M. MARTAWIDJAYA, D. PRIYANTO, D. YULISTIANI, T. SARTIKA, B. TIESNAMURTI, K. DIWYANTO dan L. PRAHARANI. 2001. Evaluasi Peningkatan Produktivitas Kambing Persilangan. Edisi Khusus. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Peternakan APBN Tahun Anggaran 1999/2000. Balai Penelitian Peternakan.
DISKUSI Pertanyaan: Kambing Boer dari berbagai daerah subtropik, bagaimana dengan Kaboer (F1) hasil penelitian dari daerah tropis terhadap daya adaptasinya? Jawaban: Daya adaptasi kambing silangannya hingga lepas sapih untuk sementara waktu masih dikatakan baik, akan tetapi masih dilakukan penelitian lanjutan.
516