TINGKAH LAKU DOMBA GARUT AKIBAT PENCUKURAN SERTA PRODUKSI WOL PADA STATUS FISIOLOGIS YANG BERBEDA
SKRIPSI AAN MA’ANI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 i
RINGKASAN AAN MA’ANI. D14070216. 2011. Tingkah Laku Domba Garut Akibat Pencukuran Serta Produksi Wol pada Status Fisiologis yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir Moh. Yamin, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Rahayu, MSi. Domba Garut tipe pedaging banyak berkembang di Indonesia terutama di Jawa Barat. Domba Garut merupakan salah satu domba lokal yang memiliki produksi wol yang lebih banyak, sehingga memungkinkan dilakukannya pemanenan wol Domba Garut. Pemanenan dilakukan dengan pencukuran, pencukuran wol selain mempengaruhi tingkat infasi ektoparasit juga diduga akan menyebabkan pengaruh terhadap tingkah laku domba tersebut. Selain itu setelah pencukuran wol akan mengalami pertumbuhan kembali yang diduga akan berbeda pada status fisiologis domba yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan tingkah laku Domba Garut sebelum, saat dan sesudah pencukuran dan pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat dan diameter wol Domba Garut. Penelitian dilakukan selama enam minggu dari bulan Agustus hingga September 2010 di peternakan PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk Domba yang digunakan sebanyak 24 ekor yang terdiri atas 8 ekor jantan I0, 8 ekor betina I0 dan 8 ekor induk kering. Pengamatan tingkah laku menggunakan metode one zero sampling yaitu dengan memberikan nilai satu apabila domba melakukan tingkah laku yang diamati dan nilai nol apabila domba tidak melakukan tingkah laku tersebut. Pengukuran produksi wol dilakukan dengan cara mengukur berat, panjang, dan diameter wol. Pengukuran diawali dengan mencukur bagian midside domba dan dibiarkan hingga 28 hari kemudian dicukur kembali untuk mengukur produksi wolnya. Peubah yang diamati adalah tingkah laku agonistic, ingestive, membuang kotoran, merawat diri dan vokalisasi. Data tingkah laku dianalisis menggunakan Analisis Deskriptif dan data pertumbuhan wol dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA). Tingkah laku yang sering muncul saat pencukuran adalah tingkah laku aginistic (16,13±3,37 kali/pencukuran) dengan cara menendang dan berusaha untuk berdiri. Pencukuran menimbulkan kecenderungan peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive satu hari sebelum dan setelah pencukuran pada jantan (3,50±3,11 dan 8,50±5,26 kali/10 menit) dan betina (8,00±5,89 dan 8,75±5,32 kali/10 menit) serta cenderung menurunkan frekuensi ingestive pada induk kering (8,25±2,63 dan 5,00±5,48 kali/10 menit) selain itu pencukuran juga menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri pada betina (4,00±1,73 dan 0,75±0,96 kali/10 menit) dan jantan (5,25±5,19 dan 1,50±1,00 kali/10 menit) namun meningkatkan frekuensi merawat diri pada induk kering (2,50±2,38 dan 4,75±6,60 kali/10 menit). Pencukuran mengakibatkan kecenderungan kenaikan frekuensi tingkah laku ingestive pada jantan dan betina hingga minggu ketiga setelah pencukuran dan mengalami penurunan kembali pada minggu keempat setelah pencukuran, namun pencukuran hanya menaikkan frekuensi tingkah laku ingestive pada induk kering hingga satu minggu setelah pencukuran. Pencukuran pada jantan cenderung menurunkan frekuensi i
tingkah laku merawat diri setelah dua minggu pencukuran, dan pada betina frekuensi tingkah laku merawat diri setelah pencukuran cenderung terus meningkat setelah minggu dua, tiga dan empat. Pada induk kering frekuensi tingkah laku merawat diri semakin menurun pada minggu kedua, tiga dan empat setelah pencukuran. Status fisiologis domba yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap partumbuhan kembali wol setelah pencukuran. Rataan pertumbuhan wol dalam panjang, pertumbuhan dalam berat segar dan diameter wol berturut-turut 0,39 ± 0,02 mm/hari, 0,43 ± 0,01 mg/cm2/hari dan 124,37 ± 22,73 µm. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pencukuran cenderung meningkatkan frekuensi tingkah laku ingestive pada jantan dan betina namun menurunkan tingkah laku ingestive pada induk kering dan menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri pada jantan dan betina serta meningkatkan frekuensi tingkah laku merawat diri pada induk kering. Status fisiologis domba tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan kembali wol Domba Garut setelah pencukuran. Berdasarkan hal tersebut secara umum dapat disimpulkan pencukuran wol dapat direkomendasikan sebagai manajemen rutin dalam peternakan domba, khususnya pada Domba Garut. Kata-kata kunci : domba, produksi wol, tingkahlaku, pencukuran
ii
ABSTRACT Garut Sheep Behavior Consequence Shearing and Wool Production in Different Status Physiology Ma’ani A., M. Yamin, S, Rahayu. Garut Sheep have been well developed especially in West Java. Sheep production can be increased by good management practices. One of these is shearing program. Shearing hasn’t been implemented routinely in Indonesia because the shearing is aimed to keep sanitation of sheep, not for wool production. In Indonesian climate and for local sheep, effect of shearing on sheep behavior and wool growth have not been studied intensively. It is therefore this research was conducted to study responses before, during, and after shearing on sheep behavior and wool production as first indicator to sheep normal production. There were 24 Garut sheep from PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. that have been used in this research. They consisted of 8 male, 8 female of I0 and 8 dry ewe I1. The behavior of agonistic, ingestive, eliminative, care giving, and vocalization were observed before, during, and after shearing by using one zero sampling method. Wool production observed with shorn in midside and than reshorn after 28 days to observe wool growth. Behavior data were analyzed by using Descriptive Analysis and wool production data were analyzed by using Analysis of Variance (ANOVA). The results show that status physiology did not give significant effects (P>0,05) on wool production. Average of wool growth in length, weight and diameter were 0,39 ± 0,02 mm/day, 0,43 ± 0,01 mg/cm2/day and 124,37 ± 22,73 µm respectively. Agonistic behavior was the most frequently behavior during shearing, 16,13±3,37 times/shearing. Frequency of eliminative and agonistic behaviors were very rarely shown during observation. Frequency of ingestive behavior increase after the shearing. However frequency of care giving behavior decreased after the shearing. It is concluded that shearing is recommended to become routinely good farming practices in Garut sheep is regard of normal sheep behavior and wool production. Keywords : sheep, wool production, behavior, shearing.
iii
TINGKAH LAKU DOMBA GARUT AKIBAT PENCUKURAN SERTA PRODUKSI WOL PADA STATUS FISIOLOGIS YANG BERBEDA
AAN MA’ANI D14070216
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 iv
Judul Skripsi : Tingkah Laku Domba Garut Akibat Pencukuran Serta Produksi Wol pada Status Fisiologis yang Berbeda Nama
: Aan Ma’ani
NIM
: D14070216
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc.) NIP. 19630928 198803 1 002
(Ir. Sri Rahayu, M.Si.) NIP. 19570611 198703 2 001
Mengetahui Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Ujian : 22 Agustus 2011
Tanggal Lulus : v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1989 di Brebes, Jawa Tengah. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Ko’id dan Ibu Khalimah. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam Kalijurang, Tonjong pada tahun 2001. Pendidikan SMP diselesaikan di MTs Al Ittihadiyah Kalijurang, Tonjong pada tahun 2004. Pendidikan SMA diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Bustanul Ulum Nahdlatul Ulama Bumiayu. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2007 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007. Kemudian setelah selesai menempuh tingkat persiapan bersama penulis masuk sebagai mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (2008-2011). Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis bergabung dalam Forum Mahasiswa Muslim Bumiayu (Formmasibumi). Selain itu penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitian seperti DEKAN CUP, Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI), dan Makrab IPTP 45. Di akhir masa studi penulis juga bergabung sebagai asisten praktikum Mata Kuliah Tingkah Laku dan Kesejahteraan Ternak dan Mata Kuliah Teknik Pengolahan Hasil Ikutan Ternak.
vi
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan berkah, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Tingkah Laku Domba Garut Akibat Pencukuran Serta Produksi Wol pada Status Fisiologis yang Berbeda. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan kita selaku umatnya. Domba Garut tipe pedaging merupakan salah satu domba yang banyak dibudidayakan di Jawa Barat. Domba Garut selain sebagai penghasil daging juga dapat menghasilkan wol yang lebih banyak dibandingkan domba lokal lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kerajinan atau pemanfaatan lainnya. Pemanenan wol domba dilakukan dengan cara mencukur wol. Pencukuran membutuhkan penanganan ternak yang dapat mengakibatkan stress, sehingga diperlukan penelitian mengenai pengaruh pencukuran terhadap tingkah laku Domba Garut. Selain itu pengukuran pertumbuhan kembali wol setelah pencukuran perlu dilakukan untuk mengetahui apakah setelah pencukuran wol tetap tumbuh normal. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkah laku dan pertumbuhan wol setelah pencukuran. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga penelitian ini memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI RINGKASAN ................................................................................................
i
ABSTRACT ................................................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................. viii 3 DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x5
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi 5 DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii 5 PENDAHULUAN .........................................................................................
15
Latar Belakang ................................................................................... Tujuan ................................................................................................
16 25
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
34
Domba ................................................................................................ 3 3 Pencukuran Wol .................................................................................. 4 Wol ..................................................................................................... 5 Sifat-sifat Wol .................................................................................... 5 4 Laju Pertumbuhan dan Produksi Wol ................................................ Laju 6 Pertumbuhan dan Pr Tingkah Laku ..................................................................................... 7 Tingkah Laku Domba .......................................................................... 8 5 Tingkah Laku Makan .............................................................. 8 Tingkah Laku Agonistic ......................................................... 9 Tingkah Laku Membuang Kotoran ........................................ 10 Kesejahteraan Hewan ………………………………………….. 11 MATERI DAN METODE ............................................................................. 1211 Lokasi dan Waktu .............................................................................. Materi ................................................................................................. Prosedur ............................................................................................. Rancangan dan Anlisis Data ………….………………………... Tingkah Laku Domba ............................................................ Pertumbuhan Wol ..................................................................
1211 1212 1215 16 1611 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 19 Keadaan Umum .................................................................................. 1911 Kondisi Ternak ..................................................................... 19 viii
Kondisi Lingkungan ............................................................... Tingkah Laku Saat Pencukuran ......................................................... Tingkah Laku Satu Hari Sebelum dan Sesudah Pencukuran ............. Tingkah Laku Sesudah Pencukuran ................................................... Tingkah Laku Jantan I0 ......................................................... Tingkah Laku Betina I0 ......................................................... Tingkah Laku Induk Kering ................................................. Produksi Wol ......................................................................................
19 2012 22 2828 28 31 34 36
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 39 Kesimpulan ......................................................................................... 39 Saran ................................................................................................... 3928 UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 41 LAMPIRAN ................................................................................................... 44
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Ciri-ciri Fisik dan Fisiologis Dasar pada Domba ............................................................ 3
2.
Ukuran Diameter Wol pada Berbagai Bangsa Domba .................................................... 6
3.
Etogram atau Gambaran Tingkah Laku Domba dan Kambing .......................................................................................................................... 8
4.
Tingkah Laku Makan Harian Domba .............................................................................. 9
5.
Contoh Tabel Pengamatn Tingkah Laku Domba .............................................................. 14
6.
Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian ..................................................... 20
7.
Rataan Frekuensi Tingkah Laku Domba Garut Saat Pencukuran ........................................................................................................................ 21`
8.
Rataan Frekuensi Tingkah Laku Jantan, Betina dan Induk Kering Satu Hari Sebelum dan Satu Hari Sesudah Pencukuran ..................................................................................................................... 22
9.
Rataan Tingkah Laku Domba Garut Jantan I0 Setelah Beberapa Minggu Pencukuran ........................................................................................ 28
10.
Rataan Tingkah Laku Domba Garut Betina I0 Setelah Beberapa Minggu Pencukuran ........................................................................................ 31
11.
Rataan Tingkah Laku Domba Garut Induk Kering Setelah Beberapa Minggu Pencukuran ........................................................................................ 34
12.
Rata-rata Pertumbuhan Wol (Panjang, Diameter, dan Berat Segar) Domba Garut pada Status Fisiologis yang Berbeda ............................................. 37
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Domba Garut Jantan ........................................................................................................ 4
2
Bagian Midside Tubuh Domba yang Dicukur untuk Pengukuran Pertumbuhan Wol Domba............................................................................. 16
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Analisis Pertumbuhan Berat Wol Domba pada Status Fisiologis yang Berbeda ................................................................................................. 45
2.
Analisis Diameter Wol Domba pada Status Fisiologis yang Berbeda ........................................................................................................................... 45
3.
Analisis Panjang Wol Domba pada Status Fisiologis yang Berbeda ............................................................................................................................ 45
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba Garut tipe pedaging merupakan salah satu bangsa domba yang berkembang di Indonesia terutama di Jawa Barat. Domba Garut tipe pedaging selain menghasilkan daging juga dapat menghasilkan wol yang lebih banyak dibandingkan dengan domba lokal lainnya. Hal ini disebabkan Domba Garut berasal dari persilangan antara Domba Merino (domba penghasil wool), domba lokal dan Kaapstad yang berasal dari Afrika (Devendra dan McLorey, 1982). Tingginya produksi wol Domba Garut tersebut maka memungkinkan untuk dilakukan pemanenan wol, namun pencukuran wol di Indonesia belum dilakukan secara rutin oleh semua peternak. Hal ini disebabkan sampai saat ini pencukuran wol di Indonesia masih sebatas untuk keperluan sanitasi dan kesehatan ternak dari berbagai ektoparasit. Sementara itu produksi wol memang jarang diukur karena umumnya wol hasil pencukuran dibuang begitu saja karena penggunaan wol belum banyak diketahui. Wol dapat dimanfaatkan untuk diolah sebagai bahan tambahan dalam pembuatan papan partikel yang mampu meningkatkan kemampuan insulasi panas dan absorpsi serta stabilitas dimensi papan partikel (Abid, 2010) dan berbagai produk kerajinan lainnya yang memiliki nilai jual tinggi. Teknik pencukuran wol domba selain dapat menghasilkan efek terhadap penurunan ektoparasit diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap tingkah laku. Pencukuran diduga akan menyebabkan adanya perubahan tingkah laku normal sehingga pengamatan tingkah laku Domba Garut saat, satu hari setelah dan beberapa minggu setelah pencukuran perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari pencukuran terhadap tingkah laku Domba Garut. Pencukuran wol selain diduga berpengaruh terhadap tingkat kebersihan dan tingkah laku juga diduga akan berpengaruh terhadap produksi wol. Wol akan tumbuh kembali setelah dicukur meskipun bagian atas wol domba telah dipotong. Hal ini karena batas pemotongan wol domba pada bagian pilary canal. Selain itu adanya bagian dermal papilla yang dapat mensintesis protein yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan panjang bulu domba. Atas dasar hal tersebut sehingga pengukuran pertumbuhan kembali wol Domba Garut setelah pencukuran perlu dilakukan. Pertumbuhan wol dapat dilihat dari pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar 1
dan diameter wol. Pertumbuhan wol kemungkinan akan berbeda pada status fisiologis domba yang berbeda. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan (i). tingkah laku Domba Garut sebelum, saat dan sesudah pencukuran wol. Pertumbuhan kembali wol dalam pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar, serta diameter wol domba setelah pencukuran Domba Garut yang dipelihara secara semi intensif pada satatus fisiologis yang berbeda.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba diperkirakan didomestikasi pada tahun 7.200 SM, pusat domba yang pertama kali didomestikasi di daerah Asia Tengah dan Eropa Bagian Tenggara (Hart, 1985). Domba yang pertama kali di domestikasi adalah Ovis Orientalis yang termasuk kedalam tipe domba penghasil wool. Menurut Ensminger (1991), taksonomi domba yang ada di dunia saat ini adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Philum
: Chordata
Class
: Mamalia
Ordo
: Arthiodactila
Family
: Bovidae
Genus
: Ovis
Spesies
: Ovis aries
Menurut Johnston (1983), domba merupakan hewan mamalia yaitu hewan berdarah panas (warm blooded animal) dengan ciri fisik dan fisiologi dasar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ciri-ciri Fisik dan Fisiologis Dasar pada Domba Aspek Fisik dan Fisiologis
Besar dan Lama
Temperatur tubuh rata-rata
40oC
Rata-rata jumlah denyut nadi
75-80 / menit
Rata-rata jumlah pernafasan
20-30 / menit
Siklus estrus
16 hari
Periode kebuntingan
147 hari
Litter size
1-3 ekor (normal), sampai 7 ekor
Umur dewasa kelamin a. Pejantan
7 bulan
b. Betina
7 bulan
Waktu hidup alami
8-10 tahun
Sumber : Johnston (1983)
3
Devendra dan McLorey (1982) menyatakan Domba Garut merupakan hasil persilangan antara domba lokal, Domba Kaap dan Domba Merino. Dijelaskan pula bahwa ciri pengenal Domba Garut adalah sifat pembentukkan lemak pada pangkal ekor, yang mengakibatkan ekor domba kelihatan lebar. Menurut Departemen Pertanian (1995), Domba Garut mempunyai ciri-ciri khusus: a. Jantan bertanduk besar, melengkung kebelakang berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu. b. Betina sama sekali tidak mempunyai tanduk. c. Bentuk telinga ada yang panjang, sedang dan pendek terletak dibelakang pangkal tanduk. Banyak dijumpai yang berbentuk kecil, kuat dan agak meruncing (ngadaun hiris), dan ada pula yang tidak berdaun telinga (rumpung). d. Ekor pendek dan pangkalnya agak besar. e. Bobot tubuh dewasa jantan 60-80 kg dan betina 30-40 kg. f. Warna wol bermacam-macam putih, hitam, coklat warna campuran (belangbelang) dari warna-warna tersebut. g. Kualitas bulu relatif cukup baik dibandingkan bulu domba lokal lainnya.
Gambar 1. Domba Garut Jantan Sumber : www.dombagarut.com
Pencukuran Wol Menurut Williamson dan Payne (1978) warna dan ketebalan wol domba merupakan mekanisme yang terjadi dalam adaptasi terhadap keadaan iklim. Wol yang halus dan pendek akan menyebabkan ternak lebih toleran terhadap cuaca yang 4
panas. Selanjutnya dikatakan oleh Yeates et, al., (1975) bahwa bulu pendek, warna terang, tekstur halus dan mengkilap akan meminimalkan penyerapaan panas oleh tubuh ternak. Menurut Hafez (1968) mencukur wol domba dapat menurunkan insulasi wol dan meningkatkan pelepasan panas oleh angin dan meningkatkan kualitas semen pejantan pada musim panas. Pencukuran wol domba biasa dilakukan oleh peternak rakyat untuk tujuan menjaga kebersihan dan kesehatan ternak. Selanjutnya Tomazweska et, al., (1993) menyatakan bahwa pencukuran akan menambah kenyamanan ternak dan penurunan infasi ektoparasit pada ternak yang di kandangkan. Wol Serat wol umumnya mengandung dua lapisan sel yaitu sel epidermis dan sel korteks, tetapi beberapa serat wol domba memiliki lapisan sel yang ketiga yaitu sel medulla. Sel epidermis menutupi sebagian keratan-keratan longitudinal yang berakhir diujung serat. Sel korteks yang tidak teratur merupakan penyebab terjadinya crimp yaitu bentuk wol domba yang bergelombang dan berpengaruh terhadap sifat elastis (Johnston, 1983). Sel medulla digambarkan sebagai bentuk globuler dan dapat ditemukan sepanjang serat wol domba atau pada beberapa bagian serat wol. Serat yang mengandung medulla umumnya kasar dan diameternya tidak sama. Serat wol demikian sulit penanganannya karena elastisitasnya rendah (Ensminger, 1991). Wol domba terdiri dari keratin yang juga merupakan bahan utama dari rambut, kuku, tanduk dan wol. Keratin adalah komposisi dari asam-asam amino yang mengandung sulfur. Unsur-unsur kimia dari keratin adalah Karbon 50%, Oksigen 2225%, Nitrogen 16-17% dan Sulfur 3-4% (Ensminger, 1991). Sifat-Sifat Wol Banyak sifat yang mempengaruhi wol, karakteristik utama wol yang diinginkan dan harus diperhatikan oleh peternak adalah, berat segar, panjang, kerapatan dan diameter wol. Karakteristik wol akan berbeda pada bangsa domba yang berbeda dan individu yang berbeda (Ensminger, 1991). Bobot Segar Bobot segar wol domba adalah berat wol domba termasuk semua bahan lain bukan wol domba yang terkandung dalam wol, seperti yolk dan kotoran bukan 5
rumput. Banyaknya kotoran yang terkandung dalam wol disebut sebagai penyusutan wol. Penyusutan bobot segar terhadap bobot bersih sangat bervariasi yaitu antara 3075% dan rata-rata yang terjadi di Amerika Serikat adalah 52,3% (Ensminger, 1991). Panjang Wol Panjang wol merupakan masalah penting yang menjadi perhatian peternak dan perusahaan pengolahan wol. Panjang wol juga berarti kemampuan produksi wol dari seekor domba. Panjang wol dijadikan dasar dalam klasifikasi dan seleksi ternak penghasil wool. Panjang wol sangat bervariasi antara 1-20 inci pertahun, rata-rata pertumbuhan wol pada Domba Merino adalah 0,2 mm/hari. (Ensminger, 1991). Diameter Wol Diameter wol diartikan sebagai tingat kehalusan wol, digunakan sebagai parameter dalam menseleksi domba penghasil wool dan digunakan pula dalam klasifikasi wol. Wol domba dianggap baik kehalusannya jika memiliki diameter 17,70 µm ± 3,59 dan dikategorikan sebagai wol yang sangat kasar (kemp) jika memiliki diameter lebih dari 40,20 µm. Tingkat kehalusan wol dijadikan dasar untuk menentukan untuk apa wol domba tersebut akan digunakan seperti dikategorikan untuk pakaian atau wol untuk karpet (Ensminger, 1991). Rataan diameter wol domba pada berbagai bangsa domba dapat dilihat pada Tabel 2. Table 2. Ukuran Diameter Wol Domba pada Berbagai Bangsa Domba Bangsa Domba
Bulu Halus
Bulu kasar
Kemp/bulk
-----------------------------------mm----------------------------------Rambouillet
0,0118
0,0239
-
Southdown
0,0183
0,0273
-
Hampshire
0,0298
0,0272
-
Suffolk
0,0236
0,0351
-
Priangan
-
0,0310
0,0900
Merino
0,0117
0,0241
-
Sumber : Yeats et, al., 1975
Laju Pertumbuhan dan Produksi Wol Laju pertumbuhan wol dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bangsa, umur, nutrisi dan lingkungan. Ensminger (1991) menyatakan, bahwa kualitas pakan 6
yang mempengaruhi pertumbuhan wol adalah pakan yang mengandung protein, mineral, sulfur, dan energi, baik dalam bentuk konsentrat maupun hijauan. Menurut Wiradarya (1989) pertumbuhan wol tidak dipengaruhi oleh tingkat protein ransum akan tetapi dipengaruhi oleh tipe domba. Faktor yang berpengaruh terhadap produksi wol diantaranya adalah bangsa, jenis ternak dan lingkungan. Bangsa dan jenis ternak yang berbeda akan menghasilkan produksi wol yang berbeda baik jumlahnya maupun kualitasnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi meliputi iklim dan nutrisi. Tingkah Laku Ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan disebut ethology, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakter hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya (Gonyou,1991). Menurut Goin dan Goin (1978), perilaku suatu hewan dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti genetik, proses belajar dari pengalaman dan beberapa faktor fisiologis termasuk kedalamnya umur dan jenis kelamin. Menurut Prijono (1997), perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan. Faktor yang mempengaruhi perilaku dinamakan rangsangan (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985). Menurut Grier (1984) tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar individu yang bersangkutan, faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf sedangkan faktor luar antara lain cahaya, suhu dan kelembaban. Menurut Scott (1987), pola perilaku dikelompokkan kedalam sistem informasi, yaitu kumpulan pola perilaku-perilaku yang memiliki satu fungsi umum. Menurut Tinberger (1979), praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerakgerik organisme untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Demikian juga terjadinya tingkah laku kawin, disebabkan oleh adanya rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari lawan jenisnya. 7
Tingkah Laku Domba Domba dapat melakukan berbagai tingkah laku untuk merespon rangsangan yang diberikan, baik rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh domba tersebut. Keseluruhan tingkah laku domba dan kambing dapat dilihat pada Tabel 3 yang berbentuk etogram. Tabel 3. Etogram atau Gambaran Tingkah Laku Domba dan Kambing. Tingkah Laku
Gambaran Karakteristik
Ingestive
Merumput, makan tunas-tunas, mengunyah, menjilati garam, minum, menyusui, mendorong dengan hidung.
Shelter Seeking
Bergerak kebawah pohon, kedalam kandang, berkumpul bersama untuk menjauhkan lalat, saling berdesakkan pada saat keadaan iklim dingin, membuat lubang ditanah dan berbaring.
Investigatory
Mengangkat kepala, mengarahkan mata, telinga dan hidung kearah gangguan. Mencium domba atau benda lainnya.
Allelomimetic
Berjalan berlari merumput dan tidur bersama. Menumbuk rintangan dengan kaki tegap bersamaan.
Agonistic
Mengkais, mendorong dengan bahu, menanduk, lari bersama dan menerjang,
bunching,
lari,
kedinginan,
mendengus
dan
membungkukkan
punggung
dan
menghentakkan kaki. Eliminatif
Posisi
buat
kencing,
membengkokkan kaki pada anak domba. Care giving
Menjilati
dan
menggigit
membran
plasenta
pada
anak.
Membungkukkan punggung untuk memberikan anak menyusu, menjilat anak domba mulai dari ekor. Mengembik atau berteriak bila mana dipisahkan dari ternak lainnya. Sexual
Perkawinan
Sumber : Hafez. et al., (1969)
Tingkah Laku Makan Tingkah laku makan masing-masing ternak berbeda-beda tiap bangsa yang berbeda. Ternak tidak dapat hidup tanpa makan dan minum. Peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan baik sehingga memakan pakan lebih banyak, (Ensminger, 2002). Tingkah laku makan diawali pada saat domba baru dilahirkan 8
yaitu suckling. Tingkah laku makan lain adalah merumput, makan pakan hasil pemotongan atau penyimpanan dan konsentrat. Cara makan pada domba di padang penggembalaan adalah dengan merenggut rumput dengan bibir bagian atas hingga memotong bagian bawah rumput (Ensminger, 2002). Selama siang hari domba dapat merumput hingga 4-7 kali, dengan waktu merumput sekitar 9-11 jam dengan jangkauan wilayah mencapai 1-8 mil. Lama makan di padang penggembalaan berkaitan dengan periode terang dan gelap, selain hal tersebut juga di pengaruhi oleh kualitas dan ketersediaan dari pakan atau rumput (Frasser dan Broom, 1990). Tingkah laku makan lain adalah regurgitasi, regurgitasi menurut Ensminger (2002) adalah proses mengunyah kembali pakan yang dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah dengan bantuan saliva. Domba melakukan ruminasi sebanyak 15 kali/hari dengan lama waktu per ruminasi sekitar 1-120 menit, sehingga dalam satu hari total waktu yang digunakan untuk ruminasi adalah antara 8-10 jam. Tingkah laku makan harian domba di padang penggembalaan dapat dilihat pada Tabel 4: Tabel 4. Tingkah Laku Makan Harian Domba Karakter
Nilai rata-rata per hari
Periode merumput (kali)
4-7
Waktu total merumput (jam)
9-11
Periode ruminasi (kali)
15
Waktu total ruminasi (jam)
8-10
Lama per ruminasi (min)
1-120
Konsumsi air pada pastura kering (l) Jarak yang ditempuh (km)
2-5 1,5-12
Sumber : Ensminger (2002)
Tingkah Laku Agonistic Agonistic berasal dari kata latin yang berarti berjuang (WodzickaTomazweska et al., 1991). Selanjutnya dipaparkan, bahwa agonistic mempunyai pengertian yang cukup luas menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakutnakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubungannya dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan. Hafez et, al., (1969) menyatakan, agonistic merupakan suatu kegiatan mengais, menanduk, mendorong 9
dengan bahu. Lari bersama dan menerjang (menendang dan berkelahi, melarikan diri, menanduk, pada kambing), bergerombol dan lari. Terlentang sambil tidak bergerak, menggigil (pada anak yang masih muda) mendengus dan menghentakkan kaki pada kambing. Pola tingkah laku agonistic merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakkan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh (Hart,1985). Selanjutnya dikatakan pula bahwa tingkah laku agonistic ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Menurut, Wodzicka-Tomazweska et, al., (1991), jika sistem penggembalaan dipadang rumput dengan sumber makanan dan air banyak tersedia, keadaan perilaku dominan tidak begitu jelas terlihat, tetapi hal ini akan terlihat dengan nyata dan penting pada keadaan berdesakkan. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistic adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan mamalia jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon testosteron. Menurut Craig (1981), tingkah laku agonistic juga dimiliki oleh hewan betina namun frekuensinya sangat kecil hal ini disebabkan hewan betina juga dapat memproduksi hormon androgen yang dihasilkan oleh ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi oleh jantan. Menurut Frazer (1975), tingkah laku agonistic merupakan tingkah laku yang memperlihatkan tingkah laku aktif dan pasif, tingkah laku aktif seperti berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah laku agresif. Menurut Ensminger (1991), tingkah laku agonistic pada domba jantan diperlihatkan pada saat berkelahi dengan mundur terlebih dahulu kemudian menyerang dengan cara menumbukkan kepalanya atau tanduknya pada kepala lawan, domba akan terus berkelahi sampai salah satu dari mereka berhenti dan menyerah, biasanya domba sebelum berkelahi akan mendengus. Tingkah Laku Membuang Kotoran Tingkah laku membuang kotoran berkaitan dengan usaha untuk mengeluarkan kotoran dan urin. Pada umumnya tingkah laku membuang kotoran ini terjadi 10
beberapa jam setelah makan maupun sedang makan. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Tingkah laku membuang kotoran berbeda-beda diantara hewan lainnya. Sapi, domba, ayam dan kambing memiliki tingkah laku yang berbeda-beda, baik dalam bentuk feses dan urin yang berbeda dan cara pengeluarannya pun berbeda-beda (Taylor dan Field, 1977). Domba memiliki ciri khas dalam bentuk fesesnya, yaitu berbentuk bulat. Domba membuang feses dan urin dengan variasi postur yang berbeda, pada jantan cara pembuangan kotoran dilakukan dengan cara berdiri tegak sedangkan pada betina saat akan membuang kotoran tubuh bagian belakang dibungkukkan sehingga bagian belakang tubuhnya lebih rendah. Kesejahteraan Hewan Kesejahteraan hewan selalu dikaitkan dengan tingkatan stres yang diderita oleh hewan. Stres sendiri didefinisikan sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap setiap permintaan yang diminta darinya. Penyebab stres adalah kejadian yang menghasilkan stres dan ketegangan atau siksaan sebagai efek akhirnya (Wodzicka-Tomazweska et al.,1991). Appleby dan Hauges (1997), rasa sakit dan senang merupakan elemen penting yang secara alami dapat digunakan sebagai kriteria penilaian terhadap kesejahteraan pada hewan. Moss (1992) menyatakan, hewan atau ternak dinyatakan sejahtera apabila, hewan atau ternak sehat dan bebas dari luka, berproduksi secara normal dan tingkah laku yang diperlihatkan normal Menurut peraturan dan undang-undang peternakan pasal 22 no 6 tahun 1967 untuk kepentingan kesejahteraan hewan, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang tempat dan perkandangan, pemeliharaan dan perawatan, pengangkutan, penggunaan dan pemanfaatan, cara pemotongan dan pembunuhan, perlakuan dan pengayoman oleh manusia terhadap hewan atau ternak. Hewan atau ternak dikatakan sejahtera apabila hewan atau ternak tersebut terpenuhi kebutuhan dasarnya, yang meliputi bebas dari kelaparan, kehausan dan mal nutrisi. Mendapatkan kandang dan tempat yang nyaman. Mendapatkan pencegahan atau diagnosa cepat, pengobatan luka penyakit atau infasi parasit. Bebas dari perlakuan yang menyebabkan stress, penderitaan dan kesakitan. Memperoleh kebebasan untuk bergerak sesuai dengan pola perilaku hewan normal. 11
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di peternakan Domba Garut kerjasama PT. Indocement Tunggal Prakasa dengan Fakultas Peternakan IPB, Desa Tajur, Citeureup, Bogor, Serta di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010 Materi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor Domba Garut jantan dan betina, yang terdiri atas 8 ekor Domba Garut jantan berumur 0.5-1 tahun (I0), 8 ekor Domba Garut betina berumur 0.5-1 tahun (I0), dan 8 betina induk kering umur lebih dari 1 tahun (I1). Peralatan dan Perkandangan Peralatan yang digunakan meliputi pencatat waktu, thermohigrometer, kamera, tali, label, kalung nomor leher, gunting cukur, pinset, mikroskop, jangka sorong, timbangan digital, plastik, penggaris serta alat tulis. Kandang yang digunakan adalah kandang kelompok tiap kelompok terdiri dari 5 ekor domba. Kandang berbentuk panggung yang terbuat dari papan kayu dan atap berupa genting dengan model atap monitor. Pakan Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan yang biasa digunakan di peternakan ini yaitu dua jenis pakan. Pada saat domba di kandangkan pakan yang diberikan adalah pakan konsentrat komersial, diberikan pada pagi hari pukul 08.00 WIB. Padang penggembalaan yang digunakan untuk menggembalakan Domba Garut disiang hari merupakan padang rumput Brachiaria humidicola. Domba digembalakan pada siang hari pukul 13.00 WIB sampai 16.00 WIB. Domba di kandangkan kembali setelah pukul 16.00 WIB dan diberi konsentrat kembali. Prosedur Ternak dikelompokkan sesuai dengan status fisiologis ternak tersebut, kemudian dilakukan penimbangan bobot badan domba. Penimbangan dilakukan 12
untuk mengetahui keseragaman bobot badan Domba Garut tersebut. Identifikasi domba dilakukan dengan memberi nomor kalung leher dengan warna yang berbeda tiap status fisiologis yang berbeda. Pencukuran domba dilakukan pada empat domba jantan I0, betina I0 dan induk kering. Pencukuran dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-12.00 WIB. Pencukuran diawali pada domba jantan I0, kemudian dilanjutkan domba betina I0 dan terakhir induk kering. Pengambilan data dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian pertama adalah pengambilan data tingkah laku dan kedua adalah pengambilan data pertumbuhan wol. Pengambilan Data Tingkah Laku Pengamatan tingkah laku dilakukan dengan mengamati tingkah laku Domba Garut di kandang sebelum, saat, satu hari sesudah dan beberapa minggu sesudah pencukuran Domba Garut jantan I0, betina I0 dan induk kering yang dipelihara secara semi intensif. Pengamatan tingkah laku dibagi menjadi empat tahap yaitu, a. Tahap pertama pengamatan tingkah laku Domba Garut satu hari sebelum pencukuran, dilakukan di kandang kelompok tiap kandang terdiri dari 5 ekor domba. Pengamatan dilakukan di kandang pada saat pagi hingga siang hari (pukul 09.00-12.00 WIB). Pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit. b. Tahap kedua adalah pengamatan tingkah laku pada saat pencukuran. Pengamatan dilakukan selama pencukuran berlangsung dari mulai hingga pencukuran selesai. Semua tingkah laku yang muncul selama pencukuran diamati. Pencukuran domba dilakukan pada pagi hingga siang hari pukul 08.00-12.00 WIB. c. Pengamatan tahap ketiga dilakukan satu hari setelah pencukuran wol domba. Pengamatan dilakukan di kandang kelompok tiap kandang terdiri dari 5 ekor domba. Pengamatan dilakukan di kandang pada saat pagi hingga siang hari (pukul 09.00-12.00 WIB). Pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit d. Pengamatan tingkah laku tahap keempat adalah pengamatan tingkah laku 13
Domba Garut setelah satu, dua, tiga dan empat minggu setelah pencukuran. Pengamatan dilakukan pada pukul 09.00-12.00 WIB. Pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit Pengamatan tingkah laku Domba Garut dilakukan menggunakan metode one zero sampling (Altman, 1973) yaitu diberikan nilai 1 (satu) apabila domba melakukan tingkah laku ingestive, agonistic, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi serta diberi nilai nol apabila domba tidak melakukan tingkah laku tersebut. Nilai 1 diberikan apabila domba mulai melakukan suatu tingkah laku hingga domba tersebut melakukan tingkah laku lain. Tabel 5 menunjukkan contoh form pengamatan yang digunakan untuk pengamatan tingkah laku. Tabel 5. Contoh Tabel Pengamatan Tingkah Laku Domba No Domba…… Tingkah Laku
……………………..0-10 menit………………...
Agonistic
1
0
0
0
0
1
1
0
1
0
0
4
Ingestive
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
3
Membuang kotoran
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
2
Merawat diri
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
2
Vokalisasi
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Total
Peubah-peubah yang diamati pada pengamatan tingkah laku Domba Garut saat di kandang adalah sebagai berikut: 1.
Tingkah laku Melawan (agonistic), yaitu perilaku agresivitas yang mengarah pada pertentangan atau temperamental pada seekor domba yang diperlihatkan dengan cara menumbukkan tanduk, menghentakkan kaki dan mendengus. Nilai 1 diberikan pada tingkah laku agonistic apabila domba tersebut melakukan salah satu dari tingkah laku agonistic sampai tingkah laku agonistic tersebut selesai.
2.
Tingkah laku makan (ingestive), yaitu tingkah laku mengkonsumsi pakan baik dalam bentuk padatan maupun cairan serta tingkah laku ruminasi yaitu suatu proses memamah kembali makanan yang berasal dari lambung dan masih kasar kemudian dikeluarkan lagi dan dikunyah di mulut, kemudian ditelan kembali. Nilai satu diberikan pada poin ingestive apabila domba mulai menunjukkan 14
tingkah laku ingestive dan diberi nilai 0 apabila domba telah melakukan tingkah laku yang lain. 3.
Tingkah laku membuang kotoran (eliminatif), yaitu perilaku membuang kotoran baik feses maupun urin. Nilai 1 diberikan apabila domba terebut melakukan tingkah laku membuang feses atau urin dan diberi nilai 0 apabila domba telah berhenti melakukan tingkah laku tersebut.
4.
Tingkah laku merawat diri (care giving), yaitu perilaku domba memelihara atau merawat tubuhnya yang ditunjukkan dengan menjilati tubuhnya dan domba lain, menggaruk tubuhnya serta menggosok tubuhnya sendiri kedinding kandang (auto self grooming) ataupun saling menjilati (social grooming). Nilai 1 diberikan apabila domba melakukan tingkah laku merawat diri dan diberikan nilai 0 apabila domba telah selesai melakukan tingkah laku tersebut.
5.
Vokalisasi, yaitu tingkah laku mengeluarkan suara. Nilai 1 diberikan apabila domba melakukan tingkah laku vokalisasi dan diberikan nilai 0 apabila domba telah selesai melakukan tingkah laku tersebut.
Pengambilan Data Pertumbuhan Wol Pengukuran pertumbuhan wol dilakukan setelah domba dicukur. Domba yang telah dicukur kemudian bagian midside sebelah kanan seluas 5x5 cm dicukur kembali hingga bersih untuk mengetahui pertumbuhan wol (pertumbuhan berat segar dan pertumbuhan panjang wol). Saat pencukuran pertama wol dibuang, setelah umur pertumbuhan berumur empat minggu (28 hari) dilakukan pencukuran kedua pada bagian midside yang telah dicukur tersebut, wol diambil dan di masukkan dalam plastik berlabel sebagai bahan untuk pengukuran pertumbuhan wol (Yeates, 1975). Pertumbuhan wol diukur dengan mengambil empat helai wol secara acak. Peubah yang diamati dalam pertumbuhan wol adalah sebagai berikut : Pertumbuhan dalam panjang wol. Dari setiap domba diambil masing-masing empat helai wol yang diperoleh dari hasil pencukuran pada bagian midside. Masingmasing wol dilakukan pengukuran panjang wol dengan menggunakan jangka sorong skala mm dengan ketelitian 0,1 mm. Pertumbuhan Panjang wol = L28(mm) 28 hari Keterangan : L28 = panjang wol selama umur 28 hari dalam mm 15
Pertumbuhan dalam bobot segar wol. Wol hasil pencukuran seluas 5x5 cm di bagian midside yang dilakukan setelah umur pertumbuhan 28 hari ditimbang di Laboratorium Teknologi Hasil Peternakan Fakultas Peternakan IPB, menggunakan timbangan digital skala 0,01 mg. Pertumbuhan dalam bobot segar dapat dihitung dengan rumus : Pertumbuhan dalam bobot segar = W28 (g)/25cm2 28 hari Keterangan W28 = berat wol selama umur 28 hari dalam gram
Gambar 2. Bagian Midside Tubuh Domba yang Dicukur untuk Pengukuran Pertumbuhan Domba Diameter wol domba kasar dan wol domba halus. Pengukuran diameter wol domba dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan skala mikrometer. Wol yang diambil dari bagian midside kemudian diambil empat helai kemp dan empat helai wol halus kemudian dilakukan pengukuran pada kemp (wol kasar) dan wol halus. Pengukuran dilakukan dengan cara memotong wol kemudian diukur diameternya menggunakan Mikroskop Mikrometer. Satuan yang digunakan pada pengukuran ini adalah µm. Data Kelembaban dan Suhu Lingkungan Peubah-peubah lain yang diamati sebagai data pendukung adalah mengukur dan mencatat suhu dan kelembaban di lingkungan kandang menggunakan alat thermohigrometer. Pencatatan dilakukan pada pagi, siang dan sore hari. 16
Rancangan dan Analisis Data a. Tingkah Laku Domba Data tingkah laku dianalisis menggunakan analisis Deskriptif, yaitu dengan menjelaskan tingkah laku yang dilakukan oleh domba. Data yang dianalisis dibagi menjadi tiga percobaan yaitu: 1. Percobaan pertama yaitu membandingkan antara tingkah laku Domba Garut jantan I0, betina I0 dan induk kering yang muncul saat pencukuran. 2. Percobaan dua yaitu membandingkan antara tingkah laku Domba Garut satu hari sebelum dan satu hari sesudah pencukuran pada jantan I0, betina I0 dan induk kering. 3. Percobaan tiga yaitu membandingkan antara tingkah laku Domba Garut yang dicukur dengan Domba Garut yang tidak dicukur pada minggu satu, dua, tiga dan empat setelah pencukuran untuk melihat perubahan tingkah laku setelah bbeberapa minggu pencukuran. Serta membandingkan antara minggu satu, dua, tiga dan empat masing-masing pada domba yang dicukur dan tidak dicukur. b. Pertumbuhan Wol Rancangan yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan wol, adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga taraf perlakuan yaitu status fisiologis (jantan I0 betina I0 dan induk kering I1). Model yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut: Yij
= µ + αi + εij
Keterangan : Yij
: Nilai pengamatan dari perlakuan status fisiologis ke-i dan ulangan ke-j
µ
: Nilai tengah umum
αi
: Pengaruh status fisiologis pada level ke-i
εij
: Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j
i
: Perlakuan ke-i
j
: Ulangan ke-j 17
Data Pertumbuhan wol dianalisis menggunakan ANOVA untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati maka dilakukan uji lanjut Tukey.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kondisi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 24 ekor Domba Garut, milik PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. yang terdiri atas tiga kelompok yaitu jantan I0, betina I0 dan induk kering. Jantan I0 dan betina I0 yang digunakan berumur lebih dari 6 bulan. Jantan dan betina I0 keturunan dari induk yang dikawinkan di peternakan tersebut. Induk kering merupakan domba yang telah melahirkan dan telah menyapih anaknya serta belum bunting kembali. Domba induk kering yang digunakan berumur lebih dari 1 tahun. Domba yang terdapat di peternakan ini berasal dari daerah Wanaraja Garut dan sekitarnya. Domba Garut yang dipelihara terdiri atas 15 ekor domba pejantan, 100 ekor domba betina dan 150 ekor domba anakan. Kondisi Lingkungan Lahan yang digunakan di peternakan ini adalah lahan bekas penambangan bahan baku semen, sehingga lahan yang dijadikan kebun rumput sangatlah kering dan tidak terdapat pepohonan yang tinggi. Luas lahan yang digunakan sebagai peternakan ini adalah 4 ha yang digunakan untuk kandang, mess, gudang dan padang penggembalaan yang ditanami rumput Brachiaria humidicola. Domba dipelihara dengan sistem semi intensif, dan di kandangkan berkelompok. Kandang yang terdapat di peternakan ini dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kandang pejantan, kandang induk dan anak, kandang induk dan kandang isolasi. Kandang isolasi digunakan untuk memisahkan ternak yang sakit, agar tidak menular ke ternak yang lain. Kandang jantan berbentuk kandang individu dan dibuat berhadap-hadapan antar ternak yang satu dengan yang lainnya. Kandang induk dan anak, dan induk satu kandang terdapat 20 petak yang tiap petak berisi 5-7 ekor domba dewasa. Satu petak kandang berukuran 2,5 x 3 m. Kandang terbuat dari papan kayu dan bagian lantai kandang terbuat dari bilah bambu dengan jarak 2-3 cm. Model atap kandang adalah model monitor dengan bahan atap menggunakan genting. Di sisi kandang terdapat terpal yang digunakan untuk menghalangi hembusan angin dan air hujan saat terjadi hujan. 19
Lokasi penelitian memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang tidak konstan antara siang dan malam hari. Data suhu dan kelembaban di dalam dan diluar kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Saat Penelitian Lokasi
Dalam Kandang
Luar Kandang
Waktu
Suhu (oC)
Kelembaban (%)
Pagi
25,06± 2.27
81,63 ± 12,70
Siang
32,04± 3,23
53,00 ± 16,65
Sore
28,55± 1,28
69,25 ± 11,25
Pagi
28,49± 4,89
73,88 ± 17,59
Siang
40,25± 5,02
32,88 ± 11,61
Sore
29,29± 2,16
69,88 ± 9,96
Keterangan : pagi (07.30), siang (13.30), sore (17.30)
Suhu optimum domba untuk hidup di daerah tropis yaitu berada pada kisaran antara 4-24°C dengan kelembaban dibawah 75% (Yousef, 1985). Hasil pengukuran suhu di lingkungan kandang dan dalam kandang sangat tinggi bahkan melebihi suhu optimum untuk domba. Tingginya suhu lingkungan disekitar peternakan dapat disebabkan lahan yang digunakan merupakan lahan bekas penambangan bahan baku semen. Selain hal tersebut disekitar kandang dan tempat penggembalaan tidak terdapat pepohonan yang tinggi sehingga sinar matahari tidak terhalang. Suhu yang tinggi dapat membuat ternak domba stres akibat panas dan akan mempengaruhi produktivitas ternak serta tingkah laku. Saat suhu lingkungan optimum, tubuh ternak akan memproduksi panas tubuh minimum, diluar suhu optimum ternak akan mengalami cekaman sehingga panas tubuhnya meningkat (Yousef, 1985). Tingkah Laku Saat Pencukuran Tingkah laku saat pencukuran merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh seekor domba selama pencukuran berlangsung. Tingkah laku yang sering muncul saat pencukuran adalah tingkah laku agonistic, yaitu mengangkat kepala, menendang dan berusaha untuk berdiri. Tingkah laku agonistic biasanya terjadi akibat adanya kulit atau bagian bulu yang terjepit oleh gunting sehingga domba merasa kesakitan dan berusaha untuk melawan, namun terdapat beberapa domba yang melakukan agonistic meskipun tidak tergunting kulitnya, diduga disebabkan stres atau merasa 20
tertekan akibat penanganan ternak dan posisi berbaring yang kurang nyaman. Rataan frekuensi tingkah laku Domba Garut saat pencukuran dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Domba Garut Saat Pencukuran Tingkah Laku
Frekuensi Tingkah Laku Jantan
Betina
Induk Kering
Rataan
………………..….Kali/pencukuran……………………. Agonistic
15,70±5,70
19,70±4,80
13,00±6,38
16,13±3,37
Vokalisasi
1,70±2,30
9,50±13,20
0,50±1,00
3,90±4,88
Membuang Kotoran
0,70±0,90
0,50±0,50
0,50±1,00
0,56±0,11
Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi tingkah laku agonistic pada domba jantan adalah 15,70±5,70 kali/pencukuran, dan pada betina cenderung lebih tinggi yaitu sebesar 19,70±4,80 kali/pencukuran namun pada induk kering justru cenderung lebih rendah dibandingkan dengan jantan maupun betina yaitu sebesar 13,00±6,38 kali/pencukuran. Tingginya frekuensi tingkah laku agonistic saat pencukuran dapat disebabkan domba stres akibat penanganan ternak saat pencukuran. Hal ini sesuai dengan pendapat Balabel (2010) yang menyatakan bahwa pencukuran domba dapat meningkatkan kadar kortisol dalam darah, yang dapat mengindikasikan bahwa ternak tersebut mengalami stres saat pencukuran. Peningkatan kadar kortisol tertinggi terjadi tepat sesaat setelah pencukuran. Frekuensi agonistic pada betina saat pencukuran cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan jantan. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Fraser (1975), yang menyatakan bahwa jantan lebih agresif bila dibandingkan dengan betina, namun hal ini diduga disebabkan pada domba betina mengalami tingkat stres yang lebih tinggi saat pencukuran, sehingga domba betina menjadi lebih agresif dan menunjukkan tingkah laku agonistic yang lebih tinggi. Tingkah laku lain yang muncul selama pencukuran adalah vokalisasi dan membuang kotoran yaitu membuang feses. Tingkah laku vokalisasi sering muncul bersamaan dengan agonistic. Frekuensi tingkah laku vokalisasi pada jantan, betina, dan induk kering berturut-turut adalah 1,70±2,30, 9,50±13,20, dan 0,50±1,00 kali/pencukuran, namun tingkah laku vokalisasi muncul hanya pada dua domba dari empat domba yang diamati sehingga tingginya tingkah laku vokalisasi dapat disebabkan oleh faktor individu domba tersebut dalam merespon rangsangan dari 21
lingkungan. Tingkah laku membuang kotoran jarang dilakukan selama pencukuran yaitu sebanyak 0,70±0,90, 0,50±0,50 dan 0,50±1,00 kali/pencukuran masing-masing pada jantan, betina dan induk kering. Tingkah laku membuang kotoran yang muncul adalah membuang feses, sedangkan tingkah laku membuang urin tidak muncul selama pencukuran. Tingkah Laku Satu Hari Sebelum dan Sesudah Pencukuran Pencukuran wol dilakukan untuk memanen wol atau untuk tujuan kebersihan, namun pencukuran akan menghilangkan wol yang menutupi tubuh domba yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku. Tabel 8. menunjukkan tingkah laku domba jantan I0, betina I0 dan induk kering satu hari sebelum dan sesudah pencukuran. Tabel 8. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Jantan, Betina dan Induk Kering Satu Hari Sebelum dan Satu Hari Sesudah Pencukuran Tingkah Laku
Jantan I0
Frekuensi Tingkah Laku Betina I0
Induk Kering
H-1 H+1 H-1 H+1 H-1 H+1 …………………………Kali/10 menit…………………………… Agonistic
1,00±1,15
0,25±0,50
0,00±0,00
0,25±0,50
0,00±0,00
0,00±0,00
Ingestive
3,50±3,11
8,50±5,26
8,00±5,89
8,75±5,32
8,25±2,63
5,00±5,48
Membuang Kotoran
0,25±0,50
0,00±0,00
0,00±0,00
0,25±0,50
0,50±0,58
0,25±0,50
Merawat Diri
5,25±5,19
1,50±1,00
4,00±1,73
0,75±0,96
2,50±2,38
4,75±6,60
Vokalisasi 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,25±0,05 0,00±0,00 Keterangan : H-1 = satu hari sebelum pencukuran, H+1 = satu hari sesudah pencukuran
Rataan frekuensi tingkah laku agonistic satu hari sebelum dan satu hari sesudah pencukuran berturut-turut adalah 1,00±1,15 dan 0,25±0,50 kali/10 menit, data tersebut menunjukkan terjadi kecenderungan penurunan frekuensi tingkah laku agonistic satu hari setelah pencukuran. Penurunan ini dapat terjadi karena domba merasa lebih nyaman dengan adanya pencukuran wol. Menurut Oktameina (2011), pencukuran dapat menurunkan suhu tubuh dan respirasi Domba Garut namun tidak menunjukkan adanya perbedaan denyut jantung pada domba yang dicukur maupun tidak dicukur. McKinley (2008), menambahkan bahwa domba yang dicukur akan melepaskan panas tubuhnya melalui bagian kulit ke lingkungan, sehingga dengan 22
demikian domba yang dicukur saat suhu lingkungan yang tinggi tetap dapat dalam keadaan yang lebih nyaman karena pelepasan panas selain melalui respirasi juga dibantu dari bagian permukaan kulit. Selain itu diduga pencukuran tidak mengakibatkan stres yang berkelanjutan setelah pencukuran, dapat dilihat dari tingkah laku agonistic pada saat pencukuran yang cukup tinggi 15,70±5,70 kali/pencukuran (Tabel 7) dan setelah satu hari pencukuran ternyata mengalami penurunan yang cukup drastis. Hal ini menunjukkan bahwa setelah satu hari pencukuran domba sudah dalam keadaan normal kembali, namun ada kemungkinan efek pencukuran terhadap tingkah laku agonistic muncul setelah beberapa minggu pencukuran sehingga pada bab berikutnya akan dibahas mengenai tingkah laku Domba Garut setelah beberapa minggu pencukuran. Hasil pengamatan menunjukkan tingkah laku agonistic pada Domba Garut sangat kecil yang dapat disebabkan Domba Garut yang digunakan adalah Domba Garut tipe daging bukan Domba Garut tipe tangkas, sehingga tingkah laku agonistic pada Domba Garut cukup kecil. Tingkah laku agonistic yang muncul adalah menendang kandang dengan kaki, dan menumbukkan kepala pada dinding kandang. Tingkah laku agonistic selain muncul pada jantan juga dapat muncul pada betina namun dengan frekuensi yang lebih rendah. Hal ini diduga dapat disebabkan domba tidak mengalami stres setelah pencukuran namun dapat juga disebabkan stres belum muncul akibat jarak pengamatan dengan waktu pencukuran yang dekat sehingga domba belum menunjukkan perubahan tingkah laku. Pada sub bab berikutnya akan dibahas mengenai pengaruh pencukuran terhadap tingkah laku agonistic setelah beberapa minggu pencukuran untuk mengetahui pengaruh jangka panjang dari pencukuran. Rataan tingkah laku agonistic pada domba betina satu hari sebelum dan sesudah pencukuran berturut-turut adalah 0,00 ± 0,00 dan 0,25 ± 0,50 kali/10 menit. Rataan frekuensi tingkah laku agonistic pada domba betina cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkah laku agonistic pada jantan. Hal ini sesuai dengan pendapat Craig (1981), tingkah laku agonistic juga dimiliki oleh hewan betina namun frekuensinya sangat kecil hal ini disebabkan hewan betina juga dapat memproduksi hormon androgen yang dihasilkan oleh ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi oleh jantan.
23
Tingkah laku agonistic pada induk kering tidak muncul satu hari sebelum dan sesudah pencukuran. Hal ini dapat disebabkan betina memiliki sifat yang lebih tenang dibandingkan jantan, namun menurut Craig (1981), tingkah laku agonistic juga dimiliki oleh hewan betina namun frekuensinya sangat kecil hal ini disebabkan hewan betina juga dapat memproduksi hormon androgen yang dihasilkan oleh ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi oleh jantan. Rataan tingkah laku ingestive pada jantan I0 satu hari setelah dan satu hari sesudah pencukuran adalah 3,50±3,11 dan 8,50±5,26 kali/10 menit. Data tersebut menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive satu hari setelah pencukuran. Peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive dapat terjadi karena kenyamanan ternak setelah pencukuran yang diakibatkan wol yang pendek, sehingga dengan wol domba yang pendek pelepasan panas tubuh lebih lancar. Menurut Oktameina (2011), pencukuran dapat menurunkan suhu tubuh dan respirasi Domba Garut namun tidak menunjukkan adanya perbedaan denyut jantung pada domba yang dicukur maupun tidak dicukur. McKinley (2008), menambahkan bahwa domba yang dicukur akan melepaskan panas tubuhnya melalui bagian kulit ke lingkungan, sehingga dengan demikian domba yang dicukur saat suhu lingkungan yang tinggi tetap dapat dalam keadaan yang lebih nyaman karena pelepasan panas selain melalui respirasi juga dibantu dari bagian permukaan kulit. Tingkah laku ingestive diawali pada saat domba baru dilahirkan yaitu suckling. Tingkah laku ingestive lain adalah merumput, makan pakan hasil pemotongan atau penyimpanan dan konsentrat. Peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan agresif sehingga memakan pakan lebih banyak (Ensminger, 2002). Rataan frekuensi tingkah laku ingestive pada betina satu hari sebelum dan satu hari sesudah pencukuran adalah 8,00±5,89 dan 8,75±5,32 kali/10 menit. Tingkah laku ingestive akan mengalami peningkatan disaat suhu lingkungan berada dizona nyaman yaitu antara 4-240 C (Yousef, 1985). Kecenderungan peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive ini diduga karena adanya pencukuran menyebabkan domba menjadi merasa lebih nyaman karena adanya sirkulasi udara yang lebih lancar disekitar tubuhnya. Menurut McKinley (2008), menyatakan bahwa domba yang dicukur akan melepaskan panas tubuhnya melalui bagian kulit ke lingkungan, sehingga dengan demikian domba yang dicukur saat suhu lingkungan yang tinggi 24
tetap dapat dalam keadaan yang lebih nyaman karena pelepasan panas selain melalui respirasi juga dibantu dari bagian permukaan kulit. Tingkah laku ingestive yang sering muncul selama pengamatan adalah tingkah laku ruminasi dan minum. Tingkah laku makan rumput atau konsentrat jarang dijumpai karena pengamatan dilakukan setelah pemberian pakan selesai. Hasil pengamatan menujukkan bahwa frekuensi tingkah laku ingestive domba induk kering satu hari sebelum dan sesudah pencukuran tidak mengalami perubahan yang besar namun menunjukkan adanya sedikit penurunan. Rataan frekuensi tingkah laku ingestive pada domba induk kering satu hari sebelum dan setelah pencukuran adalah 8,25±2,63 dan 5,00±5,48 kali/10 menit. Hal ini diduga karena pada induk kering masih mengalami stres sesuai dengan pendapat Balabel (2010) yang menyatakan bahwa pencukuran dapat menaikkan kadar kortisol dalam darah tepat sesaat setelah pencukuran sampai hari kedua setelah pencukuran dan kembali normal pada hari ke tiga. Tingkah laku berikutnya adalah tingkah laku membuang kotoran yaitu tingkah laku membuang feses dan urinasi. Rataan frekuensi tingkah laku membuang kotoran satu hari sebelum dan satu hari sesudah pencukuran pada jantan adalah 0,25±0,50 dan 0,00±0,00 kali/10 menit. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Tingkah laku membuang kotoran yang muncul selama pengamatan adalah mengeluarkan feses dan urin. Frekuensi membuang kotoran sangat rendah hal ini dapat disebabkan waktu pengamatan yang terlalu pendek dan ada kemungkinan pada waktu pengamatan tersebut bukan waktu yang biasa domba melakukan tingkah laku membuang kotoran. Terdapat perbedaan posisi antara domba jantan dan betina dalam cara mengeluarkan urin, pada domba jantan saat urinasi ke empat kakinya tetap dalam keadaan tegak sedangkan pada domba betina kedua kaki belakang sedikit dilekukkan sehingga tubuh bagian belakang menjadi lebih rendah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa domba betina tidak menunjukkan tingkah laku membuang kotoran yang tinggi. Tingkah laku membuang kotoran yang sering muncul adalah tingkah laku urinasi. Rataan tingkah laku membuang kotoran pada domba betina satu hari sebelum dan sesudah pencukuran adalah 0,00±0,00 dan 25
0,25±0,50 kali/10 menit. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Hasil analisis menunjukkan bahwa setelah pencukuran domba induk kering tidak mengalami perubahan tingkah laku membuang kotoran yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pencukuran tidak menyebabkan perubahan tingkah laku domba. Hal ini sesuai dengan pendapat Hart, (1985) bahwa tingkah laku membuang kotoran dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut. Rataan frekuensi tingkah laku membuang kotoran pada induk kering satu hari sebelum dan satu hari setelah pencukuran adalah 0,50±0,58 dan 0,25±0,50 kali/10 menit. Tingkah laku lain yang berkaitan dengan pencukuran adalah tingkah laku merawat diri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku merawat diri satu hari sesudah pencukuran cenderung menurun yaitu 5,25±5,19 kali/10 menit sebelum pencukuran menjadi 1,50±1,00 kali/10 menit satu hari setelah pencukuran. Kecenderungan penurunan frekuensi merawat diri ini dapat terjadi karena pencukuran akan menghilangkan sebagian besar wol domba yang merupakan sarang bagi ektoparasit sehingga dengan demikian domba akan merasa lebih bersih setelah adanya pencukuran. Menurut Hart (1985) tingkah laku merawat diri pada domba bertujuan untuk merapihkan kulit atau wol dan mengangkat ektoparasit. Pencukuran akan menyebabkan penurunan infasi ektoparasit (Tomazweska, 1993) sehingga dengan penurunan ektoparasit maka dapat menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Pada sub bab berikutnya akan membahas perubahan tingkah laku domba setelah beberapa minggu pencukuran untuk mengetahui pengaruh jangka panjang dari pencukuran terhadap tingkah laku Domba Garut. Frekuensi tingkah laku merawat diri domba betina sebelum dicukur adalah 4,00±1,73 kali/10 menit dan menurun menjadi 0,75±0,96 kali/10 menit. Penurunan frekuensi tingkah laku merawat diri pada betina dapat disebabkan oleh adanya pencukuran domba menjadi lebih bersih baik dari kotoran yang menempel pada wol maupun ektoparasit yang mungkin berkembang pada kulit saat dalam keadaan wol panjang, sehingga dengan demikian domba akan merasa lebih bersih dan menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Hal ini menunjukkan bahwa pencukuran menghasilkan efek yang positif yaitu dapat menurunkan frekuensi tingkah laku 26
merawat diri sehingga dengan penurunan tingkah laku ini diharapkan energi yang seharusnya digunakan untuk melakukan tingkah laku merawat diri dapat dimanfaatkan sebagai energi untuk memproduksi daging. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi merawat diri induk kering cenderung mengalami kenaikkan. Rataan frekuensi tingkah laku merawat diri pada induk kering satu hari sebelum dan setelah pencukuran adalah 2,50±2,38 dan 4,75±6,60 kali/10 menit. Hal ini dapat disebabkan pengamatan yang dilakukan satu hari setelah pencukuran sehingga ada kemungkinan domba belum merasakan efek yang ditimbulkan oleh adanya perlakuan pencukuran. Hal lain yang dapat menyebabkan kenaikkan frekuensi tingkah laku setelah pencukuran adalah pengaruh dari masing-masing individu ternak, karena frekuensi tingkah laku merawat diri hanya muncul pada dua ternak dari empat ternak yang diamati. Hal tersebut dapat diduga pada ternak yang melakukan tingkah laku merawat diri yang tinggi disebabkan saat pengamatan berasamaan dengan kebiasaan dari individu domba tersebut melakukan tingkah laku merawat diri. Tingkah laku merawat diri yang muncul selama pengamatan adalah menggesekkan tubuhnya kedinding dan menggaruk wol dengan mulutnya. Tingkah laku lain adalah tingkah laku vokalisasi yaitu tingkah laku mengeluarkan suara. Domba biasanya melakukan vokalisasi disaat mengalami gangguan atau pada saat waktu pemberian pakan tiba. Selama pengamatan dilakukan domba tidak menunjukkan adanya tingkah laku vokalisasi. Hal ini dapat disebabkan kenyamanan kandang yang berupa kandang monitor sehingga dengan demikian sirkulasi udara dalam kandang lancar. Selain hal tersebut domba di peternakan ini biasanya melakukan tingkah laku vokalisasi pada saat waktu pemberian konsentrat dan akan digembalakan. Selama pengamatan domba betina tidak melakukan tingkah laku vokalisasi. Hal ini dapat disebabkan domba di peternakan ini biasanya melakukan tingkah laku vokalisasi saat tiba waktu pemberian pakan. Bentuk kandang yang beratap monitor dan berbahan genting juga dapat mempengaruhi, karena dengan bentuk atap monitor maka sirkulasi udara menjadi lancar sehingga domba merasa nyaman. Frekuensi tingkah laku vokalisasi pada induk kering juga sangat jarang muncul. Rataan frekuensi tingkah laku vokalisasi berturut-turut satu hari sebelum 27
dan setelah pencukuran yaitu 0,25 ± 0,05 dan 0,00 ± 0,00 kali/10 menit. Kecilnya frekuensi tingkah laku vokalisasi dapat disebabkan domba di peternakan ini biasa melakukan vokalisasi saat akan diberi pakan konsentrat dan akan digembalakan atau disaat ada gangguan dari lingkungan. Tingkah Laku Sesudah Pencukuran Tingkah Laku Jantan I0 Pencukuran selain dapat berpengaruh secara jangka pendek juga diduga akan berpengaruh secara jangka panjang. Rataan frekuensi tingkah laku Domba Garut setelah beberapa minggu pencukuran dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Tingkah Laku Domba Garut Jantan I0 setelah Beberapa Minggu Pencukuran. Perlakuan
Frekuensi Tingkah Laku
Minggu
Membuang Merawat Vokalisasi Kotoran Diri …………………….Kali/10 menit………………………
Ke-
Agonistic
Ingestive
1
0,75±1,50
5,00±3,37
0,00±0,00
1,50±1,73
0,00±0,00
2
1,25±1,50
4,25±4,27
0,75±0,50
1,50±1,73
3,00±6,00
3
0,00±0,00
6,50±4,65
0,00±0,00
0,00±0,00
0,00±0,00
4
0,50±1,00
5,75±4,27
0,25±0,50
0,00±0,00
0,50±1,00
0,62±0,52
5,37±0.96
0,32 ± 0,31
0,75±0,87
0,88±1,44
1
0,00±0,00
4,00±3,65
0,25±0,50
0,75±0,96
0,00±0,00
Tidak
2
0,00±0,00
2,25±3,86
0,25±0,50
0,50±1,00
1,25±2,50
Cukur
3
0,50±1,00
5,25±1,26
0,25±0,50
0,75±0,96
0,00±0,00
4
0,00±0,00
4,50±3,42
0,25±0,50
5,00±8,04
0,00±0,00
0,12±0,25
1,56±1,71
0,25 ± 0,00
1,75±2,17
0,31±0,62
Cukur
Rataan
Rataan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada minggu satu dan dua setelah pencukuran frekuensi tingkah laku agonistic masih muncul pada domba yang dicukur namun dengan frekuensi yang kecil yaitu 0,75±1,50 dan 1,25±1,50 kali/10 menit berturut-turut pada minggu satu dan dua setelah pencukuran Domba Garut, namun tingkah laku ini hanya muncul pada satu ternak dari empat ternak yang diamati. Hal ini diduga bahwa munculnya tingkah laku agonistic bukan dikarenakan stres namun dikarenakan oleh faktor individu domba tersebut. Frekuensi agonistic pada domba 28
jantan yang tidak dicukur tidak muncul pada minggu satu, dua, dan empat. Hal ini dapat terjadi karena Domba Garut yang digunakan adalah Domba Garut tipe pedaging bukan tipe tangkas sehingga tingkat agresivitasnya rendah. Frekuensi tingkah laku ingestive pada jantan I0 yang dicukur maupun tidak dicukur mengalami penurunan pada minggu kedua dan keempat serta mengalami kenaikkan pada minggu ketiga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ingestive pada domba yang dicukur cenderung lebih tinggi dibanding domba yang tidak dicukur baik pada minggu satu, dua, tiga dan empat setelah pencukuran. Rataan frekuensi tingkah laku ingestive pada domba yang dicukur dan tidak dicukur pada minggu satu (5,00±3,37 dan 4,00±3,65), minggu dua (4,25±4,27 dan 2,25±3,86), minggu tiga (6,50±4,65 dan 5,25±1,26) dan minggu empat (5,75±4,27 dan 4,50±3,42) dalam kali/10 menit. Kecenderungan peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive dapat terjadi karena kenyamanan ternak setelah pencukuran yang diakibatkan wol yang pendek, sehingga dengan wol domba yang pendek pelepasan panas tubuh lebih lancar. Menurut Oktameina (2011), pencukuran dapat menurunkan suhu tubuh dan respirasi Domba Garut namun tidak menunjukkan adanya perbedaan denyut jantung pada domba yang dicukur maupun tidak dicukur. McKinley (2008), menambahkan bahwa domba yang dicukur akan melepaskan panas tubuhnya melalui bagian kulit ke lingkungan, sehingga dengan demikian domba yang dicukur saat suhu lingkungan yang tinggi tetap dapat dalam keadaan yang lebih nyaman karena pelepasan panas selain melalui respirasi juga dibantu dari bagian permukaan kulit. Tingkah laku berikutnya adalah tingkah laku membuang kotoran yaitu tingkah laku membuang feses dan urinasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku membuang kotoran pada domba jantan yang tidak dicukur tidak mengalami perubahan dari minggu kesatu hingga minggu keempat, dengan rataan frekuensi tingkah laku membuang kotoran sebesar 0,25±0,50 kali/10 menit. Rataan frekuensi tingkah laku membuang kotoran pada jantan cukur hanya muncul pada minggu kedua dan keempat berturut-turut yaitu 0,75±0,50 dan 0,25±0,50 kali/10 menit. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Tingkah laku
29
membuang kotoran yang muncul selama pengamatan adalah mengeluarkan feses dan urin. Tingkah laku merawat diri meliputi tingkah laku menjilati wol, menggaruk badan dan menggesekkan badan pada dinding kandang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada satu dan dua minggu setelah pencukuran domba jantan masih menunjukkan tingkah laku merawat diri yaitu sebesar 1,50±1,73 kali/10 menit, namun pada minggu ketiga dan keempat tingkah laku merawat diri pada domba jantan tidak muncul. Hal ini menunjukkan bahwa domba setelah mendapat perlakuan pencukuran tetap dapat bertingkah laku normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pencukuran memberikan efek yang positif. Tingkah laku merawat diri pada minggu kesatu dan dua masih muncul. Hal ini diduga karena domba masih beradaptasi dengan kondisi yang baru, karena dalam keadaan normal tubuh domba ditutupi oleh wol yang tebal. Pada jantan tidak cukur tingkah laku merawat diri tetap muncul setiap minggu dan mengalami peningkatan pada minggu keempat. Tingkah laku merawat diri pada jantan cukur maupun tidak cukur yang sering muncul adalah menggaruk badannya dengan kepala atau mulut, dan menggesekkan badan kedinding kandang atau tempat pakan. Tingkah laku lain yang diamati adalah tingkah laku vokalisasi yaitu tingkah laku mengeluarkan suara. Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi tingkah laku vokalisasi pada jantan yang dicukur hanya muncul pada minggu kedua dan keempat setelah pencukuran yaitu 3,00±6,00 dan 0,50±1,00 kali/10 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pada minggu kedua setelah pencukuran domba jantan terjadi peningkatan frekuensi tingkah laku vokalisasi yang sangat tinggi, namun hal ini diduga bukan karena pengaruh pencukuran karena tingkah laku ini hanya muncul pada satu domba dari empat ekor domba yang diamati. Peningkatan frekuensi tingkah laku vokalisasi ini diduga karena faktor internal dari individu tersebut. Frekuensi tingkah laku vokalisasi pada jantan tidak cukur hanya muncul pada minggu ketiga dengan rataan 1,25±2,50 kali/10 menit. Tingkah laku vokalisasi sangat jarang muncul selama pengamatan karena domba di peternakan ini biasanya melakukan tingkah laku vokalisasi pada saat pemberian pakan konsentrat dan akan digembalakan.
30
Tingkah Laku Betina I0 Tingkah laku yang diamati pada domba betina yang dicukur dan tidak dicukur adalah tingkah laku agonistic, ingestive, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi. Rataan frekuensi tingkah laku betina yang dicukur dan tidak dicukur dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Tingkah Laku Domba Garut Betina I0 Setelah Beberapa Minggu Pencukuran Perlakuan
Frekuensi Tingkah Laku
Minggu
Membuang Merawat Vokalisasi Kotoran Diri …………………….Kali/10 menit………………………
Ke-
Agonistic
Ingestive
1
0,00±0,00
9,00±3,16
0,25±0,50
0,00±0,00
0,00±0,00
2
0,00±0,00
9,25±3,59
0,00±0,00
0,50±0,58
0,00±0,00
3
2,50±3,11
10,75±3,40
0,00±0,00
1,25±1,26
2,75±5,50
4
1,75±2,87
8,00±5,66
0,00±0,00
1,00±0,00
0,00±0,00
1
1,06±1,26 0,00±0,00
9.25±1,13 3,75±4,92
0,12±0,14 0,25±0,50
0,62±0,59 0,50±1,00
0,69±1,38 0,00±0,00
Tidak
2
0,25±0,50
7,75±9,32
0,50±1,00
1,75±3,50
0,00±0,00
Cukur
3
0,25±0,50
5,75±4,57
0,25±0,50
1,50±1,73
1,50±3,00
4
0,00±0,00
5,50±4,43
0,00±0,00
0,75±0,96
0,00±0,00
0,12±0,14
5,68±1,63
0,19 ± 0,24
0,56±0,72
0,37±0,75
Cukur
Rataan
Rataan
Tingkah laku agonistic selain muncul pada jantan juga dapat muncul pada betina namun dengan frekuensi yang lebih rendah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa domba betina yang dicukur tidak menunjukkan tingkah laku agonistic pada minggu kesatu dan kedua setelah pencukuran, namun pada minggu ketiga dan keempat tingkah laku tersebut muncul dengan rataan frekuensi sebesar 2,50±3,11 dan 1,75±2,87 kali/10 menit, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Balabel (2010) bahwa pencukuran meningkatkan kadar kortisol dalam darah namun kadar kortisol tersebut kembali normal pada hari ketiga setelah pencukuran sehingga dengan demikian munculnya tingkah laku agonistic pada minggu ketiga dan keempat dapat disebabkan oleh faktor individu domba tersebut karena dari empat domba yang diamati hanya dua yang melakukan tingkah laku agonistic dan satu diantaranya memiliki nilai yang sangat tinggi. 31
Frekuensi agonistic pada domba betina yang tidak dicukur sangat jarang muncul selama pengamatan, tingkah laku agonistic pada betina muncul pada minggu kedua dan ketiga dengan frekuansi yang kecil yaitu 0,25±0,50 kali/10 menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Craig (1981), tingkah laku agonistic juga dimiliki oleh hewan betina namun frekuensinya sangat kecil hal ini disebabkan hewan betina juga dapat memproduksi hormon androgen yang dihasilkan oleh ovari dan pituitary glan, namun jumlahnya tidak sebanyak yang diproduksi oleh jantan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ingestive pada domba betina yang dicukur mengalami peningkatan dari minggu satu hingga minggu ketiga setelah pencukuran, namun pada minggu keempat mengalami penurunan frekuensi tingkah laku ingestive. Hal ini dapat terjadi karena pada minggu keempat wol sudah mulai panjang kembali sehingga diduga pengaruh pencukuran terhadap kenyamanan ternak sudah mulai berkurang. Frekuensi tingkah laku ingestive pada betina yang dicukur cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan domba betina yang tidak dicukur. Rataan frekuensi tingkah laku ingestive pada domba betina yang dicukur dan tidak dicukur adalah minggu kesatu (9,00±3,16 dan 3,75±4,92), minggu kedua (9,25±3,59 dan 7,75±9,32), minggu ketiga (10,75±3,40 dan 5,75±4,57) dan minggu keempat (8,00±5,66 dan 5,50±4,43) dalam kali/10 menit. Kecenderungan peningkatan frekuensi tingkah laku ingestive dapat terjadi karena kenyamanan ternak setelah pencukuran yang diakibatkan wol yang pendek, sehingga dengan wol domba yang pendek pelepasan panas tubuh lebih lancar. Menurut Oktameina (2011), pencukuran dapat menurunkan suhu tubuh dan respirasi Domba Garut namun tidak menunjukkan adanya perbedaan denyut jantung pada domba yang dicukur maupun tidak dicukur. McKinley (2008), menambahkan bahwa domba yang dicukur akan melepaskan panas tubuhnya melalui bagian kulit ke lingkungan, sehingga dengan demikian domba yang dicukur saat suhu lingkungan yang tinggi tetap dapat dalam keadaan yang lebih nyaman karena pelepasan panas selain melalui respirasi juga dibantu dari bagian permukaan kulit. Tingkah laku ingestive yang sering muncul selama pengamatan adalah tingkah laku ruminasi dan minum. Tingkah laku makan rumput atau konsentrat jarang dijumpai karena saat pengamatan dilakukan setelah pemberian pakan selesai.
32
Tingkah laku lain yang diamati pada domba betina yang dicukur dan tidak dicukur adalah tingkah laku membuang kotoran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada domba betina yang dicukur tingkah laku membuang kotoran hanya muncul pada minggu satu dengan frekuensi 0,25±0,50 kali/10 menit dan pada minggu berikutnya tidak muncul, namun pada domba betina yang tidak dicukur frekuensi tingkah laku membuang kotoran tidak konstan yaitu berturut-turut pada minggu satu, dua, tiga dan empat 0,25±0,50, 0,50±1,00, 0,25±0,50 dan 0,00±0,00 kali/pencukuran. Tingkah laku membuang kotoran yang sering muncul adalah tingkah laku urinasi. Tingkah laku membuang kotoran ini dipengaruhi oleh pakan yang dimakan serta karakter fisiologis dari tiap hewan tersebut (Hart, 1985). Tingkah laku lain yang diduga akan dipengaruhi oleh adanya pencukuran adalah tingkah laku merawat diri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku merawat diri pada domba betina setelah minggu kedua dan seterusnya frekuensi tingkah laku tersebut mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan pada minggu kedua setelah pencukuran wol sudah mulai tumbuh kembali sehingga ada kemungkinan kotoran sudah menempel. Selain itu ektoparasit juga sudah dapat berkembang kembali setelah minggu kedua dari pencukuran. Hasil pengamatan menunjukkan frekuensi tingkah laku merawat diri domba betina yang dicukur cenderung lebih kecil bila dibandingkan dengan betina yang tidak dicukur, namun pada minggu keempat setelah pencukuran frekuensi tingkah laku merawat diri betina yang dicukur sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang tidak dicukur. Rataan frekuensi tingkah laku merawat diri pada betina yang dicukur dan tidak dicukur berturut-turut minggu kesatu (0,00±0,00 dan 0,50±1,00), minggu kedua (0,50±0,58 dan 1,50±1,73), minggu ketiga (1,25±1,26 dan 1,50±1,73) dan minggu keempat (1,00±0,00 dan 0,75±0,96) dalam kali/10 menit. Menurut Hart (1985) tingkah laku merawat diri pada domba bertujuan untuk merapihkan kulit atau wol dan mengangkat ektoparasit dari tubuhnya. Pencukuran akan menyebabkan penurunan infasi ektoparasit dan meningkatkan tingkat kebersihan (Tomazweska 1993) sehingga dengan penurunan ektoparasit maka dapat menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Tingkah laku lain yang diamati adalah tingkah laku vokalisasi. Tingkah laku ini sering muncul saat ada rangsangan dari lingkungan terutama saat domba 33
mengalami cekaman atau merasa bahaya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku vokalisasi domba betina baik yang dicukur maupun tidak cukur hanya muncul pada minggu ketiga yaitu pada betina cukur dan tidak cukur berturut-turut adalah 2,75±5,50 dan 1,50±3,00 kali/10 menit. Frekuensi tingkah laku vokalisasi ini muncul hanya pada satu ekor domba dari empat domba yang diamati sehingga diduga peningkatan frekuensi tingkah laku vokalisasi ini dapat disebabkan karena pengaruh individu ternak tersebut bukan karena pencukuran. Domba di peternakan ini biasanya melakukan tingkah laku vokalisasi pada saat pemberian pakan dan penggembalaan. Tingkah Laku Induk Kering Perbedaan status fisiologis domba diduga akan menyebabkan perbedaan respon terhadap rangsangan yang diberikan seperti pencukuran. Pencukuran pada induk kering diduga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku. Rataan frekuensi tingkah laku domba induk kering yang dicukur dan tidak dicukur dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rataan Tingkah Laku Domba Garut Induk Kering Setelah Beberapa Minggu Pencukuran Perlakuan
Frekuensi Tingkah Laku
Minggu
Membuang Merawat Vokalisasi Kotoran Diri …………………….Kali/10 menit………………………
Ke-
Agonistic
Ingestive
1
1,50±1,91
7,00±8,83
1,25±2,50
2,25±1,26
0,00±0,00
2
0,00±0,00
4,00±5,29
0,00±0,00
2,00±2,65
0,00±0,00
3
0,33±0,58
4,33±3,21
0,00±0,00
2,00±1,73
3,00±5,20
4
1,33±2,31
4,66±6,43
0,00±0,00
0,33±0,58
4,00±6,93
0,79±0,74
4,50±2.05
0,31±0,62
2,40±1,90
1,75±2,06
1
0,75±0,50
2,00±1,15
0,50±0,58
5,00±4,55
12,2±11,4
Tidak
2
0,25±0,50
3,00±2,45
0,00±0,00
2,50±1,73
3,75±5,68
Cukur
3
0,00±0,00
7,00±5,20
0,33±0,58
0,00±0,00
0,00±0,00
4
0,00±0,00
4,25±1,15
0,00±0,00
1,00±0,58
1,00±0,58
0,25±0,35
4,06±2,16
0,21±0,25
2,13±2,17
4,25±5,56
Cukur
Rataan
Rataan
34
Tingkah laku agonistic pada induk kering sangat jarang muncul baik yang dicukur maupun tidak dicukur. Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada minggu kesatu setelah pencukuran domba induk kering frekuensi tingkah laku agonistic pada domba yang dicukur cenderung lebih tinggi yaitu berturut-turut pada domba yang dicukur dan tidak dicukur 1,50±1,91 dan 0,75±0,50 kali/10 menit. Hal tersebut juga terjadi pada minggu ketiga dan keempat setelah pencukuran frekuensi pada domba yang dicukur adalah 0,33±0,58 dan 1,33±2,31 kali/10 menit dan pada domba yang tidak dicukur tidak muncul. Hal ini diduga terjadi bukan karena pengaruh pencukuran karena dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari empat domba yang diamati hanya satu yang melakukan tingkah laku agonistic sehingga peningkatan frekuensi tingkah laku agonistic diduga karena faktor dari indvidu domba tersebut. Tingkah laku ingestive meliputi tingkah laku minum, makan rumput, makan konsentrat dan regurgitasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pencukuran domba induk kering cenderung meningkatkan frekuensi tingkah laku ingestive bila dibandingkan dengan domba induk kering yang tidak cukur. Rataan frekuensi tingkah laku ingestive pada domba yang dicukur dan tidak cukur berturut-turut minggu satu (7,00±8,83 dan 2,00±1,15), minggu kedua (4,00±5,29 dan 3,00±2,45), minggu ketiga (4,33±3,21 dan 7,00±5,20) dan minggu keempat (4,66±6,43 dan 4,25±1,15) kali/10 menit. Minggu keempat setelah pencukuran menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ingestive pada domba induk kering yang dicukur lebih rendah dibandingkan domba yang tidak dicukur. Hal ini dapat terjadi karena pada minggu ketiga bulu domba sudah mulai tumbuh kembali sehingga ada kemungkinan domba akan merasa panas kembali akibat wol yang panjang. Tingkah laku membuang kotoran meliputi tingkah laku membuang feses dan urin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada domba induk kering yang dicukur tingkah laku membuang kotoran hanya muncul pada minggu kesatu setelah pencukuran yaitu 1,25±2,50 kali/10 menit. Pada domba yang tidak dicukur tingkah laku membuang kotoran terjadi kenaikkan dan penurunan dari minggu kesatu hingga minggu keempat. Rataan frekuensi tingkah laku membuang kotoran pada domba induk kering minggu kesatu hingga minggu kempat berturut-turut adalah 0,50±0,58, 0,00±0,00, 0,33±0,58 dan 0,00±0,00 kali/10 menit. 35
Tingkah laku lain yang berkaitan dengan adanya pencukuran adalah tingkah laku merawat diri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku merawat diri pada induk kering yang dicukur pada minggu kesatu setelah pencukuran lebih rendah bila dibandingkan dengan yang tidak dicukur. Rataan frekuensi tingkah laku merawat diri pada domba induk keirng yang dicukur dan tidak dicukur pada minggu kesatu dan kedua setelah pencukuran adalah (2,25±1,26 dan 5,00±4,55) dan (2,00±2,65 dan 2,50±1,73) kali/10 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pencukuran cenderung menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri sehingga dengan demikian diharapkan energi yang seharusnya digunakan untuk melakukan tingkah laku merawat diri diharapkan dapat digunakan untuk produksi. Tingkah laku merawat diri berkaitan dengan tingkat kebersihan domba, penurunan tingkah laku merawat diri pada domba yang dicukur diduga karena pencukuran meningkatkan kebersihan sesuai dengan pendapat Tomazweska (1993) bahwa pencukuran akan menyebabkan penurunan infasi ektoparasit dan meningkatkan tingkat kebersihan, sehingga dengan penurunan ektoparasit maka dapat menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Tingkah laku vokalisasi adalah tingkah laku mengeluarkan suara sebagai respon dari rangsangan yang ada disekitarnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku vokalisasi pada domba induk kering yang dicukur hanya muncul pada minggu ketiga dan keempat setelah pencukuran dengan rataan frekeunsi berturut-turut pada minggu ketiga dan keempat 3,00±5,20 dan 4,00±6,93 kali/10 menit. Peningkatan frekuensi tingkah laku vokalisasi ini tidak merata pada semua domba yang diamati, dari empat domba yang diamati hanya satu domba yang melakukan tingkah laku vokalisasi sehingga diduga tingginya frekuensi tingkah laku pada minggu ketiga dan keempat bukan disebabkan oleh pencukuran namun karena respon individu domba tersebut. Produksi Wol Produksi wol domba dapat diukur melalui beberapa parameter diantaranya adalah pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar, dan diameter wol. Wol setelah pencukuran akan mengalami pertumbuhan kembali. Pencukuran wol hanya dilakukan dibagian atas, sehingga wol tetap akan tumbuh. Pertumbuhan wol setelah
36
pencukuran diduga akan berbeda akibat adanya perbedaan status fisiologis domba. Hasil analisis pertumbuhan kembali wol dapat dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rata-rata Pertumbuhan wol (Panjang, Berat Segar dan Diameter,) Domba Garut pada Status Fisiologis yang Berbeda
Jantan I0
Pertumbuhan Panjang Wol (mm/hari) 0,36, ± 0,04
Pertumbuhan Berat Segar Wol (mg/cm2/hari) 0,45 ± 0,06
103,75 ± 27,80
Betina I0
0,40 ± 0,02
0,42 ± 0,11
120,63 ± 13,90
Induk Kering
0,41 ± 0,22
0,42 ± 0,25
148,75 ± 35,97
Rata-rata
0,39 ± 0,02
0,43 ± 0,01
124,37 ± 22,73
Domba
Diameter Wol (µm)
Hasil analisis menunjukkan bahwa status fisiologis tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan wol yang meliputi pertumbuhan panjang, pertumbuhan berat segar dan diameter wol domba setelah pencukuran. Pertumbuhan panjang wol merupakan pertambahan panjang wol domba setiap hari. Pertumbuhan panjang wol dipengaruhi oleh pertumbuhan dari sel-sel penyusun wol. Penambahan panjang wol terjadi dibagian dermal papilla yang berada dibagian dalam kulit domba sehingga tidak mungkin terpotong saat pencukuran. Rataan pertumbuhan panjang wol pada Domba Garut setelah pencukuran adalah 0,39±0,02 mm/hari. Menurut Ensminger, (1991) panjang wol domba sangat bervariasi antara 1-20 inchi pertahun, rata-rata pertumbuhan wol domba pada Domba Merino adalah 0,2 mm/hari. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pertambahan panjang wol Domba Garut lebih tinggi dibandingkan dengan Domba Merino. Hal ini dapat disebabkan oleh suhu lingkungan dan photoperiodisitas (Bennet et,al., 1962). D’arcy (1990) menyatakan saat terjadi peningkatan suhu lingkungan maka pertambahan panjang wol juga akan mengalami peningkatan. Jika dilihat dari suhu lingkungan baik diluar atau didalam kandang yang melebihi dari suhu normal untuk domba maka tingginya pertambahan panjang wol domba tersebut dapat disebabkan oleh suhu lingkungan yang tinggi. Selain hal tersebut diatas Doney dan Smith (1961) menyatakan bahwa pertumbuhan wol tidak tetap sepanjang tahun, yaitu 80% pertumbuhan wol tahunan terjadi antara bulan Juli dan November. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2010 sehingga pertumbuhan panjang wol Domba Garut melebihi pertumbuhan panjang rata-rata Domba Merino. 37
Pertumbuhan panjang wol domba akan mempengaruhi produksi wol, semakin tinggi pertambahan panjang wol maka akan semakin baik produksinya. Pertumbuhan berat segar wol merupakan pertambahan berat wol termasuk semua bahan lain bukan wol yang terkandung dalam wol, seperti yolk dan kotoran bukan rumput. Pertumbuhan berat wol merupakan salah satu faktor penting dalam produksi wol domba, karena selain panjang dan dimeter wol, berat wol akan menentukan nilai jual wol dari segi kuantitas. Hasil analisis menunjukan bahwa status fisiologis Domba Garut tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadapat pertumbuhan berat segar wol Domba Garut setelah pencukuran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan berat segar wol Domba Garut setelah pencukuran adalah 0,43 ± 0,01 mg/cm2/hari. Hasil pengamatan ini menunjukkan sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Reis (1982) yaitu sebesar 0,35 mg/cm2/hari. Hal ini dapat disebabkan pertumbuhan panjang wol juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan Domba Merino, yang diduga karena penelitian dilakukan pada periode 80% dari pertumbuhan wol tahunan yaitu bulan Juli dan November. Diameter wol merupakan panjang garis tengah dari potongan melintang wol domba yang digunakan sebagai pengukuran tingkat kehalusan, semakin kecil diameter wol domba maka akan semakin meningkat nilai jualnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa status fisiologis tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap diameter wol Domba Garut. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata diameter wol Domba Garut adalah 124,37 ± 22,73 µm. Menurut Ensminger (1991), diameter wol yang lebih dari 40,2 µm dikategorikan dalam kemp atau wool yang sangat kasar. Dilihat dari diameter wol Domba Garut, maka wol Domba Garut dapat dikategorikan sebagai kemp atau bulk yang merupakan wol domba yang sangat kasar. Besarnya diameter wol Domba Garut hasil pengukuran dapat disebabkan jumlah ulangan yang digunakan masih kurang banyak, namun diduga dapat juga disebabkan Domba Garut yang digunakan merupakan domba persilangan dengan domba lokal lainnya yang memiliki kualitas wol yang kurang baik.
38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pencukuran pada betina I0 dan jantan I0 cenderung menurunkan frekuensi tingkah laku merawat diri dan meningkatkan frekuensi tingkah laku ingestive. Pencukuran pada induk kering justru cenderung meningkatkan frekuensi tingkah laku merawat diri dan menurunkan frekuensi tingkah laku ingestive. Saat pencukuran, tingkah laku yang paling sering muncul adalah tingkah laku agonistic. Pertumbuhan kembali wol Domba Garut tidak dipengaruhi oleh status fisiologis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pencukuran tidak menyebabkan perubahan tingkah laku atau produksi normal. Secara umum dapat disimpulkan pencukuran wol domba dapat direkomendasikan sebagai manajemen rutin dalam peternakan domba, khususnya pada Domba Garut. Saran Penelitian lebih lanjut mengenai tingkah laku dan produksi wol Domba Garut dengan mengamati keseluruhan tingkah laku dan sistem hormonal yang berkaitan dengan tingkat stres perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pencukuran mempengaruhi tingkah laku selain yang telah dituliskan didalam skripsi ini.
39
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas nikmat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Ayahanda Ko’id dan Ibunda Khalimah tercinta dan Kakanda yang dengan tulus dan sabar memberikan dorongan baik berupa materil, kasih sayang dan do’a.
2.
Dr. Ir. Mohamad Yamin, M.Agr.Sc. dan Ir. Sri Rahayu, MSi. Selaku dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing, memberi motivasi, dan masukan berarti bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3.
Dr. Ir. Asnath M. Fuah, MS. Selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi pengarahan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.
4.
Zakiah Wulandari, STP. MSi dan Dr. Despal, SPt. MAgr.Sc. Selaku penguji ujian lisan yang telah memberikan masukan-masukan yang sangat berarti bagi penulisan untuk penyempurnaan skripsi ini.
5.
Seluruh staf pengajar Fakultas Peternakan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menyelesaikan pendidikan di Fakultas Peternakan.
6.
Manajer Peternakan Indocement (Pak Subhan) yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian di peternakannya dan memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi kelancaran penelitian ini. Rekan-rekan kandang peternakan domba Indocement yang telah membantu selama penelitiaan berlangsung (Ellen, Leo, Iwan, Oleh, dan Amir)
7.
Teman-teman seperjuangan (Mayagita Yunidar, Reiza Rizki Ramadhan P. dan Walfitriyani O.), terima kasih atas kebersamaan, kerjasama dan dukungannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
8.
Teman-teman IPTP 44 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas semangat, persahabatan dan dukungannya selama kuliah hingga menyelesaikan tugas akhir. Bogor, Agustus 2011
Penulis 40
DAFTAR PUSTAKA Abid, T. 2010. Potensi pemanfaatan bulu domba lokal sebagai bahan substitusi serbuk gergaji untuk meningkatkan stabilitas dimensi dan sifat insulasi papan partikel. Skripsi, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor Altman, J. 1973. Observational Study of Behavior : Sampling Methods. Universitas of Chicago, Chicago. Appleby, M.C. & B.O. Hughes. 1997. Animal Welfare. Cambridge University press, New York. Balabel, T. M. M. & M. A. Salama. 2010. Impact of shearing date on behavior and performance of pregnant Rahmani ewes. World Academy of Science, Enginerring and technology. Bennett, J. W., J. C .D. Hutchinson & W. Tomazweska. 1962. Climate and Wool Growth. Proc. Aust.Soc. Anim. Prod. 4: 32-33. Craig, J.V. 1981. Domestic Animal Behavior, Englewood cliffs, N.J.: Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey D’Arcy, J.B. 1990. Sheep Management and Wool Technology. New South Wales University press LTD, Kensington. Departemen Pertanian. 1995. Gelar Teknologi Pengembangan Domba Garut. Balai Informasi PertanianJawa Barat, Bandung.. Devendra & Mclorey. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. 1st Edition Oxford University Press. Oxford. Doney, J. M. & W.F. Smith. 1961. The fleece of the Scottist Blackface Sheep II. Variation in Fleece component over the body of the sheep. J. Agric. Sci. 56:375. Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Ed. Interstate Pointers and Publisher. Illinois Ensminger, M. E. 2002. Sheep and Goat Science. Sixth Edition. Interstate Publisher. Inc. New York. Fraser, F. A. 1975. Farm Animal Behavior. The Macmillan Publishing Company Inc. New York. Fraser, F. A. & D. M. Broom. 1990. Farm Animal Behavior and Welfare. Bailliere Tindal Publisher. London. Goin, R. & P. Goin. 1978. Introduction to Herpetology 3th Ed. Cambridge University Press, New York. Gonyou, H. W. 1991. Behavioral methods to answer the question abaut sheep. J. Animal Science. 69 : 4155-4159 41
Grier, J. W. 1984. Biology of Animal Behavior. Times Miror/Mosby College Publishing. St. Louis, Misouri. Hafez, E. S. E. 1968. Adaption of Domestic Animals. Lea and Febringer, Philadelphia Hafez, E. S. E. 1969. The Behavior of Domestic Animals. William and Wilking Co. Baltimore. Hart, B.L. 1985. The Behavior of Domestik Animal. W.H. Freeman, New York. Johnston, R. G. 1983. Introduction to Sheep Farming. Granada Publishing Ltd. Great Britian by Mackap of Chartahan, Kent. Mattjik, A. A. & I. M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. McKinley, M. J., F. Weissenborn & M. L. Mathai. 2008. Drinking induced thermoregulatory panting in rehydrated sheep : influences of oropharyngeal/esophageal signal, core temperature, and thirst satiety. Howard Florey Institute, Melbourne. Oktameina, W. Y. 2011. Respon fisiologis domba garut yang dipelihara secara semi intensif dengan perlakuan pencukuran di PT.Indocement. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prijono, S. N. 1994. Perilaku burung cacatua offini dalam populasi campuran di kandang penangkaran. Proseding Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Reis. P.J. 1982. Growth and characteristic of wool and hair. In : I.E. Coop (Editor). Sheep and Goat Production. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam, pp. 205-223. Scott, J. P. 1987. Animal Behavior. 2ndEd. The University of Chicago Press, Chicago. Tanudimadja, K. & S. Kusumamihadja. 1985. Perilaku Hewan Ternak. Diktat Jurusan Anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Taylor, E. Robert & T. G. Field. 1977. Scientific Farm Animal Production 8th. Person Education., Inc. New Jersey. Tinbergen, N. 1979. Perilaku Binatang. Tira Pustaka :Jakarta. Tomazweska, M. W., I. M. Mastika., A. Djajanegara., Susan, Gardiner & T. R. Wiradaya. 1993. Produksi Kambing dan Domba Di Indonesia. Terjemahan: I Made Mastika, Komang Gede Suryana, I Gusti Lanang Oka, Ida Bagus Sustrisna. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Williamson, M. & W. J. A. Payne. 1978. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 42
Wiryosuhanto, S. D. Kesejahteraan Hewan di Indonesia. Makalah Internasional, Bali. Wodzicka-Tomaswezka, M.., I. K. Sutama, I. G. Putu., & T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yeates, N. T. M, T. N. Edey & M.K. Hill. 1975. Animal Science, Reproduction, Climate, Meat and Wool. Pegamon Press, Armidale. Yousef, M.K. 1985. Stress Fisiologi in Livestock. Vol. 1. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Analisis Pertumbuhan Berat Wol Domba pada Status Fisiologis yang Berbeda. One-way ANOVA: Berat Wol versus Status fisiologis
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F hitung
F 0,05
Jenis Kelamin
2
0,0024
0,0012
0,05
0,954
Galat
9
0,2315
0,0257
Total
11
0,2339
Lampiran 2. Analisis Diameter Wol Domba pada Status Fisiologis yang Berbeda. One-way ANOVA: diameter wol versus status fisiologis
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F hitung
F 0,05
Jenis Kelamin
2
4134
2067
2,74
0,117
Galat
9
6780
753
Total
11
10914
Lampiran 3. Analisis Panjang Bulu Domba pada Jenis KelaStatus Fisiologis yang Berbeda. One-way ANOVA: Panjang wol versus Status fisiologis
Sumber Keragaman
Db
JK
KT
F hitung
F 0,05
Jenis Kelamin
2
0,0065
0,0032
0,19
0,831
Galat
9
0,1536
0,0171
Total
11
0,1600
45