KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS
SKRIPSI RIMBA RIZKI ANANDA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RIMBA RIZKI ANANDA. D24053588. 2009. Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS. M.Sc Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi performa ternak baik secara langsung maupun tidak langsung. Cekaman yang terjadi akibat pengaruh suhu dan kelembaban akan menyebabkan ternak mengalami gangguan suhu tubuh, laju respirasi, dan profil darah sebagai respon utama ternak. Pengaruh buruk cekaman tersebut dapat ditekan melalui suplementasi nutrisi, diantaranya memberikan ransum dengan kromium organik dan neraca kation-anion ransum (NKAR). Penelitian ini bertujuan mengetahui efek dari pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda pada domba Garut jantan dalam mengurangi cekaman pada suhu lingkungan panas. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, pada bulan Juli sampai November 2008. Ternak yang digunakan adalah domba Garut jantan sebanyak 24 ekor, umur 1,5 tahun dan bobot badan awal 29,98±4,01 kg. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan berupa ransum penelitian dan 6 kelompok berupa ternak berdasarkan bobot badan. Ransum perlakuan yang diberikan dengan rasio hijauan : konsentrat = 35:65 adalah R0 = ransum dengan neraca kation-anion (NKAR) +14, R1 = NKAR +14 dengan kromium (Cr), R2 = NKAR 0, dan R3 = NKAR 0 dengan Cr. Pengamatan dilakukan selama tujuh minggu, sedangkan peubah yang diukur adalah kondisi fisiologis berupa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah. Analisis data penelitian menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan uji jarak Duncan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suhu rektal, laju respirasi dan profil darah tidak menunjukkan perbedaan untuk semua jenis ransum. Pada suhu lingkungan 330C dan kelembaban 68 % menghasilkan suhu rektal normal (38,7039,14 0C), peningkatan laju respirasi (8-15 %), dan semua ternak mengalami stres karena cekaman panas yang ditunjukkan dari nilai rasio netrofil/limfosit 2-3. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan nilai NKAR pada kisaran 0 dan +14 dengan suplementasi 3 ppm Cr tidak mempengaruhi kondisi fisiologis ternak domba Garut jantan saat lingkungan panas.
Kata- kata kunci : anion, kation, kondisi fisiologis, kromium, suhu
ABSTRACT Physiological Condition of Garut Breed Male Sheep Offered Diets with Different Dietary Cation-Anion Balance and Chromium Content R. R. Ananda, T. Toharmat, and D. Evvyernie Chromium (Cr) is an essential mineral for the animal body and required for normal metabolism of carbohydrate, protein, lipid and nucleic acid, hormonal regulation and immune function. Degradation of Cr level in sheep body increases stressor hormone that decreases health status of the animals. The objective of this experiment was to study the efficacy of chromium and dietary cation anion balance (DCAB) to improve physiological condition of sheep in high environment temperature. Twenty four of sheep were grouped in six weight categories and allocated into four dietary treatments. Dietary treatments were: R0= basal diet DCAB +14, R1= basal diet with 3 ppm organic-Cr, R2= DCAB 0 without organic-Cr, R3= DCAB 0 with 3 ppm organic-Cr. The basal diet composed of 35% maize straw and 65% concentrate. Diet and water were offered ad libitum. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were observed. Rectal temperature, respiration rate, and bloods profile were not influenced by organic-Cr supplementation and manipulation of dietary cation anion balance. Result of environmental temperature 33 OC and humidity 68 % is rectal temperature (38.70-39.14 OC), respiration rate increases (815 %), and stress indicated in all of sheep from netrofil/limfosit ratio 2-3. It was concluded that the supplementation of organic-Cr and manipulation of DCAB is not influence when the environmental temperature varied from 24-33 OC. Keywords: anion, cation, chromium, environment, sheep, temperature
KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS
RIMBA RIZKI ANANDA D24053588
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
KONDISI FISIOLOGIS DOMBA GARUT JANTAN YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA PADA SUHU LINGKUNGAN PANAS
Oleh RIMBA RIZKI ANANDA D24053588
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 4 September 2009
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc NIP. 195909021983031003
Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., M.Sc NIP. 196106021986032001
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr NIP. 196701071991031003
Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr NIP. 196705061991031001
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir dari pasangan Ayah H. Hasiyadi dan Ibu Ruhiyahnur di Pontianak, Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat) pada tanggal 30 Juni 1987. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah atas di kota Tangerang, Banten. Setelah lulus SMA tahun 2005, penulis diterima pada Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor (IPB), sebagai mahasiswa melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun 2006 penulis terdaftar di Mayor Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (Fakultas Peternakan) dan Minor Manajemen Fungsional (Fakultas Ekonomi dan Manajemen), Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi di antaranya BEM-TPB (Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama), Karang Taruna Masyarakat, Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.
Selain itu, penulis banyak berpartisipasi dalam kepanitiaan
beberapa kegiatan di dalam dan luar kampus.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan. Skripsi ini berjudul ”Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Neraca Kation-Anion Berbeda Pada Suhu Lingkungan Panas”. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini
berlangsung pada bulan Juli sampai November 2008. Tahapan penelitian meliputi persiapan yang dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan dengan mempersiapkan bahan dan alat yang digunakan pada penelitian, persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan dokumentasi atau penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi fisiologis domba Garut jantan yang mendapat ransum yang disuplementasi dengan Cr-organik dan mempunyai nilai neraca kation-anion ransum (NKAR) berbeda. Penulis dengan kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, September 2009 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .............................................................................................
ii
ABSTRACT ...............................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI
viii
................................................................................................
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan ................................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Domba Garut .................................................................................. Perbandingan Kation-Anion ................................................................. Mineral Ransum …………................................................................... Lingkungan dan Ternak ....................................................................... Kondisi Fisiologis Domba ................................................................... Suhu Rektal ................................................................... ............. Laju Respirasi .............................................................................. Profil Darah ...............................................................................
3 3 3 4 7 9 9 9 10
METODE .........................................................................................................
14
Lokasi dan Waktu ............................................................................... Materi ................................................................................................ Ternak Percobaan ...................................................................... Kandang dan Peralatan …......................................................... Obat-obatan ................................................................................ Ransum Percobaan ...................................................................... Rancangan ………….…….. ................................................................. Perlakuan .................................................................................. Rancangan Percobaan …………………………………….... .. Peubah yang Diamati …………………………………..... ...... Prosedur ……….................................................................................. Pembuatan Kromium Organik .................................................. . Pengaturan NKAR …………………………………………… Pelaksanaan Penelitian ................................................................ Pengambilan Sampel Darah …………………………………. ..
14 14 14 14 14 14 15 15 16 16 17 17 18 18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………… ..
19
Suhu dan Kelembaban Kandang ......................................................
19
Pengaruh NKAR dan Cr terhadap Kondisi Fisiologis ........................ Suhu Rektal .......................................................................... Laju Respirasi ......................................................................... Profil Darah ...........................................................................
20 20 21 22
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... Kesimpulan ..................................................................................... Saran ...............................................................................................
26 26 26
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
28
LAMPIRAN ...............................................................................................
32
ix
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Rataan Suhu Rektal Pagi Hari ...................................................
33
2. Data Rataan Suhu Rektal Siang Hari .................................................
33
3. Data Rataan Laju Respirasi Pagi Hari ...............................................
33
4. Data Rataan Laju Respirasi Siang Hari ..............................................
34
5. Data Rataan Hemoglobin .................................................................
34
6. Data Rataan Hematokrit ..................................................................
34
7. Data Rataan Butir Darah Merah .......................................................
35
8. Data Rataan Butir Darah Putih .........................................................
35
9. Data Rataan Netrofil ........................................................................
35
10. Data Rataan Limfosit .......................................................................
36
11. Data Rataan Monosit .......................................................................
36
12. Data Rataan Eosinofil ......................................................................
37
13. Data Rataan Netrofil/Limfosit ..........................................................
37
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Penambahan Cr, ZnSO4, CaSO4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl, dan S Ransum Penelitian ……………………………………………..
15
2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan ..................
19
3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Selama Penelitian..... ....... 20 4. Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakan dalam Percobaan ............................................................................. ....
22
PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan tropis di wilayah Indonesia memiliki suhu udara yang tergolong panas dan kelembaban udara rata-rata di atas 60%. Keadaan tersebut dapat menjadi salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh negatif terhadap kehidupan ternak. Respon fisiologis ternak merupakan respon ternak terhadap berbagai macam faktor baik fisik, kimia maupun lingkungan sekitar (Yousef,1985).
Suhu udara dapat
mempengaruhi ternak secara langsung, terutama saat suhu udara yang tinggi dapat menyebabkan ternak mengalami cekaman. mempengaruhi
ternak
secara
tidak
Suhu udara yang tinggi juga dapat
langsung,
keadaan
ini
mempengaruhi
pertumbuhan sumber-sumber makanan ternak yang pada akhirnya membuat ternak kekurangan asupan gizi.
Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami
cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termoregulasi yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson, 1987). Pada keadaan lainnya, kelembaban yang tinggi juga dapat mempengaruhi proses pelepasan energi tubuh ternak, karena dalam keadaan tersebut ternak sulit melakukan evaporasi yang merupakan salah satu cara dalam pengaturan panas tubuh. Oleh karena itu, saat siang hari dengan suhu dan kelembaban yang tinggi dapat mengakibatkan cekaman panas pada ternak. Domba Garut jantan merupakan jenis domba yang banyak terdapat di daerah Garut, Jawa Barat, dan memiliki ciri khas yang disukai masyarakat (Setiadi, 1989). Bobot badan domba Garut betina berkisar antara 30-50 kg sedangkan bobot domba jantan mencapai lebih dari 80 kg, dengan demikian domba Garut memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam peternakan modern. Domba jantan juga dapat dijadikan sebagai donor semen dengan tujuan memperbaiki performa domba lokal lainnya (Rizal et al., 2004). Domba Garut berkembang di dataran tinggi Jawa Barat, namun dengan berbagai keunggulan jenis domba tersebut dikembangkan di wilayah dataran rendah yang mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi yang dapat menyebabkan cekaman panas. Cekaman panas meningkatkan kebutuhan mineral kromium (Cr) dalam tubuh ternak (Burton, 1995).
Cekaman menyebabkan peningkatan pelepasan hormon
kortisol dan menggangu sel-sel imunitas pada tubuh ternak (Sugito et al., 2007).
Hormon kortisol memiliki sifat yang antagonistik dengan hormon insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh, selain itu saat mengalami cekaman panas tubuh ternak akan bersifat basa yang berkaitan dengan aktivitas transportasi O2 dan CO2 dalam tubuh ternak tersebut. Suplementasi Cr dan pemberian ransum dengan memperhatikan rasio kation anionnya diharapkan dapat mengurangi cekaman panas pada ternak domba Garut jantan terutama dalam keadaan lingkungan yang panas. Bestari (2007) menyatakan bahwa penggunaan Crpikolinat dapat mengurangi cekaman panas pada sapi perah di daerah lingkungan panas. Perumusan Masalah Suhu
lingkungan
panas
akan
menyebabkan
cekaman
yang
dapat
mempengaruhi kondisi fisiologis ternak yang dapat ditunjukkan dari suhu rektal, laju respirasi, profil darah dan pada akhirnya dapat menurunkan performa ternak. Tempat pemeliharaan ternak dengan kondisi yang berbeda juga dapat menyebabkan ternak sulit beradaptasi, sehingga akan menurunkan produktivitas. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki aspek nutrisi yaitu melalui pengaturan nilai perbedaan neraca kation-anion ransum (NKAR) dengan Cr organik. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian kromium organik dan ransum dengan neraca kation-anion berbeda terhadap kondisi fisiologis ternak, sebagai respon utama tubuh ternak dalam keadaan lingkungan panas.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Domba Garut merupakan domba yang berasal dari persilangan antara domba lokal asli, domba Merino dan domba Ekor Gemuk dari Afrika Selatan yang telah menjadi satu bangsa karena seleksi bertahun-tahun adaptasinya terhadap lingkungan di daerah Garut (Balai Informasi Pertanian, 1990). Domba Garut memiliki sifat profilik atau memiliki anak lebih dari satu dengan jumlah anak perkelahiran ialah 1,97 (Subandriyo et al., 1981), tingginya jumlah anak perkelahiran tersebut tidak diimbangi dengan produksi susu yang cukup untuk anak-anaknya, sehingga mengakibatkan angka mortalitas tinggi dan pertumbuhan lambat pada anaknya (Bradford dan Inounu,1996). Domba Garut memiliki rataan bobot lahir untuk jantan 2,20 kg dan untuk betina ialah 2,10 kg (Subandriyo et al., 1981), sedang untuk bobot sapihnya 18,61-20,96 kg pada jantan dan 15,80-17,90 kg pada betina. Untuk bobot dewasa domba Garut adalah 33-53 kg untuk jantan dan 27-28 kg untuk betina. Domba Garut jantan yang diberi pakan baik dan bergizi, bobotnya dapat mencapai 60-80 kg (Merkens dan Soemirat, 1979), selain itu domba Garut jantan memiliki ciriciri, seperti bertanduk besar, melengkung ke belakang, berbentuk spiral, pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, di sisi lain bentuk telinganya ada yang panjang, sedang dan pendek terletak di belakang pangkal tanduk; dengan ekor yang pendek dan memiliki pangkal agak besar (Setiadi, 1989).
Domba Garut jantan
bersifat agresif dan kuat, selain itu juga merupakan domba yang diternakkan dengan sangat selektif (Smith dan Mangkoewidjojo,1988).
Menurut Natasasmita et al.
(1986) tujuan khusus pemeliharaan domba Garut ialah untuk penggemukan dan memperoleh domba yang tangkas. Perbandingan Kation-Anion Menurut Haris dan Beede (1983), kation diet berasal dari sodium (Na) dan potasium (K) yang bersifat basa, sedangkan anion diet berasal dari khlor (Cl), sulfur (S), dan fosfor (P) yang bersifat asam. Proses perhitungan keseimbangan kationanion, tidak semua mineral dalam ransum yang dihitung, akan tetapi hanya beberapa mineral-mineral yang sering digunakan untuk menghitung keseimbangan kationanion, yaitu Na dan K untuk kation serta Cl dan S untuk anion. Perbandingan kation-
anion ialah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara pengurangan antara miliequivalen kation dan miliequivalen anion dalam seluruh ransum. Hu dan Murphy (2004) memaparkan pada penelitian sapi perah mengenai keseimbangan kation-anion, apabila ransumnya semakin bertambah positif maka akan terjadi peningkatan pH darah, HCO3 darah, pH urin, tetapi K dan Cl darah menurun tapi tidak mempengaruhi Na darah, sedangkan pada ransum yang memiliki keseimbangan kation-anion bernilai negatif terjadi peningkatan Mg darah, Ca darah, pCO2 darah tetapi menurunkan pH darah dan urin, pO2 darah.
Penambahan anion
ke dalam cairan tubuh sebagai suplemen dalam ransum dapat menurunkan pH cairan tubuh (Stewart, 1983).
Menurut Sutardi (1980) keseimbangan asam-basa tubuh +
bergantung pada ion Na , K+, Ca+, Mg ++ dan ion Cl-. Bahan makanan dalam tubuh dapat berefek asam ataupun basa, di dalam tubuh bahan makanan seperti garamgaram organik (laktat, sitrat, dan sebagainya) akan bersifat alkalis. Terdapat pula bahan makanan seperti buah-buahan, sayur-sayuran, leguminosa, dan susu yang bersifat alkalis karena memiliki kecenderungan menaikkan pH darah, sedangkan bahan makanan yang bersifat asam yaitu cenderung menurunkan pH.
Hewan
herbivora, umumnya menghasilkan urin yang bersifat alkalis, sedangkan pada hewan karnivora umumnya mengasilkan urin yang besifat asam. Mineral Ransum Peran mineral dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu memelihara kondisi ionik dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam-basa dalam tubuh khususnya keseimbangan kation-anion, selain itu mineral juga berfungsi dalam memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga sistem syaraf dan otot, mengatur transport zat makanan ke dalam sel dan mengatur permeabilitas membran sel serta sebagai kofaktor enzim dan mengatur metabolisme (Sutardi, 1980). Menurut Anggorodi (1984) defisiensi mineral menimbulkan gejala kehilangan pbb, penurunan produksi susu, daging, telur dan wol. Suplemen mineral biasanya relatif murah sehingga defisiensi dapat dicegah dengan cara memberikan jumlah yang tepat kepada hewan. Mineral seng dapat ditemukan hampir di setiap jaringan tubuh ternak, konsentrasi Zn tertinggi biasanya ditemukan pada bagian kulit, rambut, dan bulu domba. Zinc juga berperan sebagai kofaktor untuk banyak enzim (Mc Donald et al., 4
1982). Pentingnya Zinc dalam ilmu nutrisi pertama-tama didemonstrasikan oleh Bertrand dan Bhattacherjee dalam tahun 1934 pada tikus. Zn dibutuhkan untuk sintesis normal dan metabolisme pada protein (Church dan Pond, 1978). Defisiensi Zn dapat mengakibatkan penurunan dan perkembangan tulang yang abnormal (Wahju, 1985).
Jumlah Zn dalam tubuh sebesar 3 mg %, sedangkan jumlah
terbanyak terdapat dalam jaringan-jaringan epidermal dan terdapat pula dalam jumlah yang sedikit dalam tulang, otot, darah, dan berbagai alat. Defisiensi mineral Zn akan menyebabkan penyakit yang ditandai dengan luka-luka pada kulit, pertumbuhan
terganggu,
kelemahan,
muntah-muntah
dan
hewan
terlihat
menggosokkan tubuhnya (Anggorodi, 1984). Ca tersebar sebanyak 1-2% dalam tubuh hewan, dengan 99% terdapat dalam tulang dan gigi, Sementara 1% tersebar dalam cairan ekstraseluler, jaringan lunak dan sebagai komponen struktur membran (McDowell, 1992).
Menurut Tillman et
al. (1998), Ca merupakan unsur ke lima terbanyak dalam tubuh hewan dan manusia, serta merupakan kation terbanyak. Kadar fosfor yang berlebih dan kemungkinan sulfat juga dapat mengganggu penyerapan Ca dalam usus, sedangkan perbandingan Ca dan P yang optimal untuk absorbsi adalah 1,3:1-1,5:1dan bila salah satu mineral berlebih maka akan mengganggu penyerapan unsur lain (Georgievskii,1981). Mineral Cr merupakan mineral yang tergolong dalam unsur transisi yang mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3+, 4+, dan 6+, namun umumnya Cr bervalensi tiga merupakan bentuk yang paling stabil. Unsur Cr2+ jarang terdapat dalam sistem biologis karena jika kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+. Unsur Cr4+ bersifat toksik, tetapi dalam saluran pencernaan dapat ditransformasikan menjadi bentuk Cr3+, sedangakan Cr6+ bersifat toksik, dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi genetik yang menyebabkan Cr6+ berdifat karsinogenik. Unsur Cr6+ dalam saluran pencernaan mengalami bioreduksi menjadi Cr3+ oleh organisme (Groff dan Gopper, 2000; NRC, 1997). Unsur Cr pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Perancis bernama Vaguel pada tahun 1797 ketika menyelidiki batu-batuan yang kaya akan Pb crhomate. Nama Cr diambil dari nama Yunani, Chroma yang artinya warna, karena unsur ini berada dalam beberapa warna yang berbeda.
5
Mineral Cr merupakan unsur mikro yang bersifat paling kurang beracun (Groff dan Gropper, 2000).
Keracunan yang diakibatkan Cr jarang terjadi
disebabkan : (a) terjadinya bioreduksi Cr6+ menjadi Cr3+ oleh berbagai organisme (NRC,1997), (b) tingkat toleransi hewan terhadap Cr6+ sangat tinggi yaitu lebih dari 1000 ppm BK pakan dan untuk Cr3+ mencapai 3000 ppm BK pakan (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971), (c) senyawa kompleks Cr heksavalen segera diendapkan begitu hendak mencapai usus halus dan hampir tidak dapat diserap karena membentuk kompleks dengan bobot molekul besar (NRC,1997; Groff dan Gropper,2000) dan akumulasi Cr dalam tubuh sangat jauh di bawah ambang bahaya karena homeostasis Cr bersifat negatif dan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan umur.
Linder (1992) melaporkan sistem pengangkutan Cr setelah
diserap, Cr kemudian diangkut transferin atau protein pengangkut Fe (iron carrier protein) dari plasma darah. Namun demikian, belum diketahui apakah GTF (Glucose Tolerance Factor) yang diserap melalui usus akan masuk ke dalam darah tanpa perubahan bentuk atau juga terikat dengan transferin. Setelah melalui penyerapan di usus, hampir semua Cr masuk ke dalam hati dan akan digabungkan ke dalam GTF. Sejumlah GTF tertentu akan disekresikan ke dalam darah dan akan tersedia untuk membantu aktifitas insulin. Kadar gula darah yang meningkat, menyebabkan insulin akan disekresikan dan peningkatan insulin akan meningkatkan aliran GTF ke dalam darah, sehingga GTF akan meningkatkan pengaruh insulin yang disekresikan tersebut. Unsur Cr yang tidak digunakan lagi kemudian disekresikan melalui urin. Peranan Cr dalam metabolisme antara lain meningkatkan potensi aktifitas insulin, yakni sebagai komponen dari GTF yang dapat meningkatkan asupan glukosa ke dalam sel.
Peran Cr terkait dengan kinerja hormon insulin, yaitu memacu
pembentukan glikogen sebagai energi cadangan yang berasal dari kelebihan glukosa sebagai sumber energi metabolisme baik di organ hati maupun di otot. Suplementasi Cr dapat meningkatkan pasokan glukosa oleh sel, produksi CO2 dari oksidasi glukosa dan pembentukan glikogen dari glukosa. Glukosa yang berasal dari hasil hidrolisa karbohidrat di saluran pencernaan akan masuk ke dalam darah yang sebagian dimanfaatkan sebagai sumber energi dalam sel dan sebagian lagi disimpan sebagai energi cadangan dalam bentuk glikogen baik di hati maupun di daging (NRC,1997; Underwood dan Sommers,1971). 6
Peran Cr dalam metabolisme lipid tidak tergantung dari pengaruhnya terhadap
metabolisme
glukosa.
Defisiensi
Cr
dapat
menyebabkan
hiperkolesterolemia, yaitu tingginya kadar kolesterol dalam darah.
Unsur Cr
berperan dalam homeostasis kolesterol darah. Penambahan Cr pada ransum yang rendah akan kandungan Cr-nya dapat menurunkan level kolesterol darah dan menghambat kecenderungan peningkatan kolesterol seiring dengan meningkatnya umur (Underwood dan Sommers, 1971).
Defisiensi
Cr
dapat
menyebabkan
rendahnya inkorporasi asam amino pada protein hati dan menyebabkan gangguan untuk pengikatan asam amino, diantaranya glisin, serin dan metionin.
Pada sel
kelenjar ambing hewan ruminansia, pengambilan glukosa tidak ditentukan oleh insulin, namun insulin sangat dibutuhkan untuk pengambilan asam amino khususnya asam aspartat, valin, isoleusin, leusin, metionin, lisin, asam glutamat, treonin, aspargin dan tirosin (NRC,1997; Underwood dan Sommers, 1971). Saat cekaman kebutuhan Cr pada ternak akan mengalami peningkatan. Selama kondisi cekaman terjadi peningkatan metabolisme glukosa secara cepat yang ditandai dengan sekresi hormon kortisol di darah.
Hormon kortisol memiliki aksi yang
antagonistik dengan insulin karena keberadaannya mencegah masuknya glukosa ke dalam sel jaringan tubuh. Hormon kortisol yang meningkat pada saat cekaman menyebabkan glukosa yang masuk ke dalam sel menurun. Unsur Cr yang telah dimobilisasi bersifat tidak dapat kembali (irreversible) dan keluar melalui urin sehingga pada kondisi cekaman peluang terjadinya defisiensi Cr meningkat (Burton, 1995).
Cekaman dapat mengganggu pertumbuhan, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Oleh karena itu, diperlukan upaya mempercepat kembalinya glukosa
darah dalam kadar normal agar tidak menggangu pertumbuhan dan performa ternak selanjutnya (Burton,1995). Lingkungan dan Ternak Definisi lingkungan menurut Ensminger et al. (1990) ialah semua keadaan, kondisi, dan pengaruh sekitarnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas ternak. Hewan membutuhkan lingkungan yang cocok untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan, dan produksi maksimal serta kebutuhan fisiologinya.
Berkurangnya performa pada ternak yang mengalami
cekaman panas dan dingin merupakan akibat dari gangguan pada proses termogulasi 7
yang mempengaruhi perubahan keseimbangan energi, air, dan endokrin (Johnson, 1987). Cekaman lingkungan pada ruminansia dapat menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi pakan dan pembagian zat makanan untuk kebutuhan pokok dan produksi. Secara fisiologis tubuh ternak akan bereaksi terhadap rangsangan yang mengganggu fisiologis normal, sebagai ilustrasi ternak akan mengalami cekaman panas jika jumlah rataan produksi panas tubuh dan penyerapan radiasi panas dari sekelilingnya lebih besar daripada rataan panas yang hilang dari tubuh (Devendra dan Faylon, 1989). Lingkungan domba dapat dipengaruhi melalui dua jalan, yaitu yang pertama adalah dengan mempengaruhi hijauan (pakan) dan pasokan makanan dan air serta pola penyakit yang dikenal faktor tidak langsung; sedang yang kedua ialah mempengaruhi domba secara langsung yang pengaruh lingkungan utamanya kecepatan angin, suhu, dan kelembaban udara (lingkungan fisik), namun dari semua pengaruh lingkungan pada domba tropis cekaman panas biasanya yang paling serius (Devendra dan Faylon, 1989). Cekaman dingin dapat berakibat fatal pada domba yang baru lahir, karena metabolisme tubuh mereka tidak cukup untuk memelihara suhu tubuh normal (Edey, 1983). Thermonetral Zone (TNZ) adalah daerah yang nyaman dengan suhu lingkungan yang sesuai untuk ternak.
Daerah termonetral bagi hewan ternak
merupakan kisaran suhu udara yang paling sesuai dengan kehidupannya, dimana terjadi metabolisme basal dan hanya terjadi pengaturan panas secara sensible dengan menggunakan energi yang paling sedikit, kisaran suhu udara tersebut tidak menyebabkan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh (Mc Dowell, 1972). Peningkatan atau penurunan suhu lingkungan terhadap suhu nyaman, akan mengakibatkan peningkatan produksi panas dalam upaya membuang kelebihan panas atau mempertahankan panas tubuh. Suhu kritis terendah yang dapat diterima oleh ternak disebut Lower Critical Temperature (LCT) dan suhu kritis teratas yang dapat diterima oleh ternak disebut Upper Critical Temperature (UCT). Menurut Yousef (1985) daerah TNZ untuk domba yang baru lahir berada pada suhu lingkungan antara 29-30 0C, sedangkan untuk domba dalam pemeliharaan berada pada suhu lingkungan antara 22-31 0C.
8
Kondisi Fisiologis Domba Domba sebagai mamalia merupakan
hewan
berdarah
panas yang
mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran tertentu, tetapi bila suhu lingkungan mencapai keadaan di luar batas kemampuannya maka akan muncul gejala-gejala merugikan (Johnston, 1983).
Domba banyak dijumpai di daerah tropis karena
mempunyai daya tahan terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi tinggi (Ensminger et al., 1990). Kondisi fisiologis domba merupakan suatu kondisi domba terhadap berbagai macam faktor baik itu fisik, kimia, maupun lingkungan sekitar (Yousef, 1985).
Kondisi fisiologis domba dapat diketahui diantaranya dengan
melihat beberapa faktor, seperti suhu tubuh, laju respirasi, profil darah. Suhu Rektal Suhu rektal, suhu permukaan kulit dan suhu tubuh meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan (Purwanto et al., 1994). Suhu rektal adalah salah satu indikator yang baik untuk menggambarkan suhu internal tubuh ternak. Suhu rektal harian rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari (Edey, 1983). Sudarman dan Ito (2000) melaporkan bahwa domba suffolk yang ditempatkan pada suhu lingkungan 300C mempunyai rataan suhu vagina yang lebih tinggi daripada suhu lingkungan 200C. Suhu lingkungan yang sangat rendah, di bawah tingkat kritis minimum, dapat mengakibatkan suhu tubuh (suhu rektal) menurun tajam diikuti pembekuan jaringan dan kadang diikuti kematian akibat kegagalan mekanisme homeothermis (Ensminger et al., 1990). Suhu rektal sedikit bervariasi pada kondisi fisik dan pada suhu lingkungan yang ekstrim, laju pembentukan panas dalam tubuh lebih tinggi daripada laju hilangnya panas dalam tubuh maka temperatur tubuh akan meningkat (Guyton dan Hall, 1997). Suhu rektal domba di daerah tropis berada pada kisaran 38,2-400C (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988), Williamson dan Payne (1993) menyatakan suhu tubuh ternak domestik adalah 38-39 0C untuk ternak sapi, sedangkan untuk domba 38,3-38,9 0C dan untuk kambing berkisar 38,7-40,7 0C. Laju Respirasi Laju respirasi merupakan konsentrasi O2, CO2, dan H+ dalam cairan tubuh, pH darah, volume darah, dan kondisi pembuluh darah (Subronto, 1985), ada dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil CO2 dari dalam darah (Frandson, 1992). Hewan ternak memerlukan energi yang 9
didapatkan dari hasil oksidasi bahan-bahan makanan, sehingga oksigen mempunyai peran yang sama dengan bahan-bahan makanan dalam mempertahankan kehidupan hewan. Respirasi meliputi semua proses baik fisik maupun kimia, dimana hewan mengadakan pertukaran gas-gas dengan lingkungan sekitarnya, khususnya gas-gas O2 dan CO2 (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Respirasi juga sangat mempengaruhi kebutuhan tubuh dalam keadaan tertentu, sehingga kebutuhan akan zat-zat makanan, O2 dan panas dapat terpenuhi serta zat-zat yang tidak diperlukan dibuang. Peningkatan jumlah beban panas yang hilang dari saluran pernapasan dapat diketahui dari frekuensi laju respirasi per menit atau selisih tekanan gradien uap air antara udara dan mulut ternak serta mukosa saluran pernapasan (Yousef, 1985). Pada keadaan istirahat frekuensi rata-rata atau kecepatan respirasi domba adalah 19 kali tiap menit dalam (Frandson, 1992).
Domba tropis mempunyai
frekuensi laju respirasi berkisar 15-25 hembusan per menit (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan ini ialah dengan panting (terengahengah) dan sweating (berkeringat berlebihan) (Edey, 1983). Panting merupakan mekanisme evaporasi melalui saluran pernapasan, sedangkan sweating melalui permukaan kulit. Evaporasi adalah cara efektif untuk menghilangkan beban panas tubuh, setiap gram uap air evaporasi dapat menghilangkan 0,582 kalori panas tubuh pada suhu lebih dari 250C (Yousef, 1985). Profil Darah Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (Frandson,1992). Darah dikelompokkan dari beberapa substansi, sebagai berikut : 1. Hemoglobin Beberapa cara dapat digunakan untuk memperoleh nilai hemoglobin dalam darah, cara yang paling sering digunakan untuk mengubah hemoglobin tersebut dan mengukur kadarnya dengan spektofotometer dengan pita absorbsi 540 nm (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Frandson (1992) menyatakan dari segi kimia
hemoglobin merupakan suatu senyawa organik yang kompleks dan terdiri dari empat pigmen porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam 10
amino. Hemoglobin menggabung dengan oksigen udara yang terdapat di dalam paru-paru, hingga terbentuklah oksihemoglobin yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke sel-sel jaringan di dalam tubuh. Adanya hemoglobin ini darah dapat mengangkut sekitar 60 kali oksigen lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. 2. Hematokrit Nilai hematokrit dapat diukur dengan metode mikrohematokrit (Nasution, 1990) menggunakan alat baca microcapilarry hematocrite reader.
Sebelumnya
darah yang telah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan disentrifusa, sel-sel akan menempati dasar tabung, sedangkan plasma suatu cairan kuning akan berada di atas, dalam keadaan ini nilai hematokrit atau Volume of Packed Red Cells (VPRC) dapat diukur (Guyton dan Hall, 1997).
Hematokrit atau Packed Cell
Volume (PCV) merupakan persentase sel-sel darah merah di dalam 100% darah. Nilai hematokrit yang normal pada domba adalah berkisar 29-45% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Pada hewan hematokrit sebanding dengan eritrosit dan hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Wilson (1979) menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas (kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai viskositas darah. Nilai hematokrit seekor ternak akan didapatkan berkurang pada suhu lingkungan tinggi. Sujono (1991) juga menambahkan bahwa besarnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh enam faktor, yaitu (1) bangsa dan jenis ternak, (2) umur dan fase produksi, (3) jenis kelamin, (4) iklim setempat, (5) penyakit dan (6) dehidrasi. 3. Eritrosit Sel-sel darah merah atau eritrosit adalah sel-sel yang diameter rata-ratanya sebesar 7,5µ.
Sel-sel ini merupakan cakram yang bikonkaf, dengan pinggiran
sirkuler yang tebalnya 1,5µ dan pusatnya yang tipis. Cakram bikonkaf tersebut memiliki permukaan yang relatif luas untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel (Frandson, 1992).
11
4. Leukosit Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya nukleus dan memiliki kemampuan gerak yang independen.
Leukosit dapat
digolongkan menjadi dua bagian, yaitu granulosit dan agranulosit.
Di dalam
granulosit terdapat netrofil, eosinofil, dan basofil, sedangkan pada agranulosit dibagi menjadi dua, yaitu monosit dan limfosit. Masa hidup sel-sel darah putih sangatlah bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit, dan bahkan tahunan untuk limfosit. Kebanyakan sel-sel darah putih bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan di mana dibutuhkan saja (Frandson, 1992). 5. Diferensiasi Leukosit Hitungan total sel darah putih, dibuat dengan cara yang sama seperti sel darah merah. Sel darah putih memiliki jumlah yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel darah merah. Sel darah putih diperhitungkan dalam ribuan per milimeter kubik darah. Hitungan sel darah putih saat normal tiap mm kubik adalah 8 ribu untuk hewan ternak domba.
Perhitungan diferensial dapat memberikan angka
persentase tiap jenis sel darah putih. Apabila jumlah leukosit sangat jauh diatas normal bagi suatu spesies tertentu, maka perlu diselidiki sebabnya (Frandson, 1992). Netrofil mempunyai persentase kedua terbesar setelah limfosit dalam leukosit. Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indeferen dan tidak merah ataupun biru, ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara migrasi ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri, menembus dinding pembuluh dan menyerang bakteri untuk dihancurkan. Limfosit merupakan sel darah putih yang mempunyai ukuran dan penampilan yang bervariasi juga mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi oleh sitoplasma. Fungsi utama limfosit adalah responnya terhadap antigen (benda-benda asing) dengan membentuk antibodi yang bersikulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas (kekebalan) seluler (Frandson, 1992). Perbandingan netrofil dan limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang diperoleh dan nilainya dipengaruhi oleh cekaman dan penyakit (Gross dan Siegel, 1983). Perbandingan
antara netrofil dan limfosit pada domba menurut Schalm (1971)
adalah (30/60)%. Cekaman iklim dan lingkungan seperti transportasi dan panas 12
menghasilkan perbandingan netrofil dan limfosit yang meningkat karena adanya cekaman fisiologis (Maxwell, 1983). Eosinofil juga dikenal dengan nama asidofil nampak sebagai granula yang berwarna merah di dalam sitoplasma. Sel-sel ini umumnya jumlahnya tidak banyak, dapat meningkat dalam kasus penyakit-penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit. Eosinofil juga bersifat ameboid dan fagositik, sedangkan fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi baik terhadap protein asing yang masuk ke dalam tubuh melalui paru atau pun saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteria dan parasit. Dalam keadaan reaksi alergi, jumlah eosinofil akan meningkat (Frandson, 1992). Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai netrofil, monosit akan mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut seperti tuberkolosis.
Saat monosit darah masuk ke dalam jaringan, monosit itu akan
berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag (Frandson, 1992).
13
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Kegiatan penelitian
dilaksanakan dari bulan Juli hingga November 2008. Materi Ternak Percobaan Ternak yang digunakan pada penelititan ini sebanyak 24 ekor domba garut jantan berumur sekitar 1,5 tahun, dengan bobot badan rata-rata mencapai 29,98 ± 4,01 kg. Domba percobaan kemudian dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan bobot badan. Rataan bobot badan kelompok I: 24,75 ± 1,50 kg, II: 27,0 ± 0 kg, III: 28,62 ± 0,47 kg, IV: 30,50 ± 0,57 kg, V: 32,87 ± 0,63 kg, dan VI: 36,12 ± 2,72 kg. Kandang dan Peralatan Ternak dipelihara dalam kandang metabolis individu yang bersekat. Kandang ditempatkan dalam bangunan kandang utama yang permanen dan beratap monitor. digunakan
Kandang dilengkapi tempat pakan dan minum. adalah
termometer
suhu
Peralatan lain yang
minimum-maksimum,
termometer dan
hygrometer digital, stopwatch, termometer suhu rektal, jarum, tabung venoject berheparin, dan termos es. Obat-obatan Obat cacing (calbazen) diberikan per oral pada awal pemeliharaan untuk mencegah terjadinya penyakit cacing pada ternak. Kemudian vitamin (biosalamin) diberikan subcutan dengan menggunakan jarum suntik sebanyak 5 ml per ekor untuk mencegah terjadinya penurunan kesehatan pada ternak. Ransum Percobaan Ransum yang digunakan adalah jerami jagung dan konsentrat, dengan rasio 35 : 65. Jerami jagung yang digunakan sebagai sumber hijauan sebelumnya dicacah, kemudian dijemur selama 4-5 hari hingga kering. Jerami jagung yang telah dijemur tersebut lalu digiling hingga berbentuk mash dan dicampur dengan konsentrat hingga
homogen. Berdasarkan kebutuhan nutrient domba jantan dari NRC (1985), bahan baku dan komposisi ransum percobaan terdiri atas hijauan jagung (35%), dedak halus (21,5%), jagung kuning (19,65%), bungkil kedele (13,6%), bungkil kelapa (8%), urea (0,25%), dan minyak jagung (2%).
Selain itu berdasarkan hasil analisis
laboratorium ITP (Ilmu dan Teknologi Pakan), Fakultas Peternakan, IPB (2008), komposisi nutrien ransum basal untuk domba penelitian tersebut adalah bahan kering (90,20%), protein kasar (13,97%), lemak kasar (7,5%), dan serat kasar (17,49%). Kandungan Na, K, Cl, Cr, S, CaSO4, dan ZnSO4 pada ransum percobaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Penambahan Cr, ZnSO4, CaSO4, dan Kandungan Mineral Na, K, Cl, dan S Ransum Penelitian Mineral Ransum Perlakuan (% BK ransum)
R0
R1
R2
R3
-
3,00
-
3,00
ZnSO4, g/kg
0,124
0,124
0,124
0,124
CaSO4, g/kg
-
-
9,70
9,70
Natrium, % BK
0,04
0,04
0,04
0,04
Kalsium, % BK
0,49
0,49
0,64
0,64
Sulfur, % BK
0,18
0,18
0,39
0,39
Klorida, % BK
0,19
0,19
0,19
0,19
Suplementasi: Kromium, ppm*
Kadar:
Keterangan: - Hasil Analisis Laboratorium PAU, IPB, 2008 - *Hasil Perhitungan berdasarkan NRC (1985) - R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr-organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.
Rancangan Perlakuan Ransum perlakuan yang digunakan selama penelitian terdiri dari empat macam, sebagai beerikut: R0 : Ransum Basal (NKAR +14) tanpa kromium organik R1 : Ransum Basal (NKAR +14) dengan kromium organik 15
R2 : Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa kromium organik R3 : Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan kromium organik. Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan enam ulangan. Percobaan ini menggunakan 24 ekor domba garut jantan dan setiap ulangan mendapat ransum perlakuan yang berbeda. Model matematika yang digunakan pada rancangan ini yaitu: Yij = + i + βj + ij Keterangan : Yij
= Variabel hasil pengamatan
= Rataan umum
i
= Pengaruh perlakuan ke-i (0,1,2,3)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j
ij
= Pengaruh error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance) berdasarkan Steel dan Torrie (1993). Selanjutnya, jika nilai suhu rektal, laju respirasi dan profil darah pada setiap perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji jarak Duncan. Peubah yang Diamati 1. Suhu Rektal Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu selama penelitian saat pagi hari pukul 06.30 WIB dan siang hari pukul 14.30 WIB. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan alat thermometer suhu rektal digital ± 10 cm ke dalam rektum domba penelitian, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat pada alat tersebut setelah alat tersebut berbunyi. 2. Laju Respirasi Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB. Laju respirasi diukur dengan cara menghitung kembang kempis perut domba, pengukuran ini dilakukan selama satu menit dengan menggunakan stopwatch dan counter.
16
3. Profil darah Pengukuran profil darah dilakukan pada akhir pemeliharaan di laboratorium Fisiologi Hewan FKH.
Peubah yang diamati adalah hemoglobin, hematokrit,
eritrosit, leukosit dan diferensiasi leukosit. Pengukuran nilai hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metoda sahli, dengan prinsip kerja ialah darah dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat.
Warna disamakan
dengan warna standar sahli dengan menambahkan aquades sebagai pengencer. Penghitugan
nilai
hematokrit
dilakukan
menggunakan
metode
mikrohematokrit dengan mikrcrocapillary hematocrite reader. Prinsip penghitungan nilai hematokrit ialah darah yang tercampur dengan antikoagulan disentrifusi dengan centrifuge sehingga terbentuk lapisan-lapisan. Kolom atau lapisan yang terdiri dari butir-butir darah merah atau eritrosit diukur dan dinyatakan sebagai % volume dari keseluruhan darah. Eritrosit dan leukosit diukur menggunakan pipet eritrosit atau leukosit. Darah dicampur dengan larutan pengencer, kemudian dengan menggunakan Hemositometer (kamar hitung) dapat dihitung banyaknya butir darah merah per mm3 di bawah mikroskop dan jumlah eritrosit atau pun leukosit dapat ditentukan, setelah dikoreksi terhadap faktor pengenceran. Diferensiasi leukosit diukur menggunakan mikroskop, dua buah gelas objek, zat warna Giemsa atau Wright, pipet tetes, minyak emersi, buffer fosfat pH 6,4-6,7 dan alkohol 70 %. Sediaan ulas darah diwarnai dengan zat warna campuran asam dan basa (Giemsa dan Wright) akan menyebabkan komponen-komponen asam dari sel darah berwarna biru atau biru keungu-unguan, dan komponen basa dari sel berwarna merah.
Persentase jenis-jenis butir darah putih dapat dihitung
menggunakan mikroskop. Prosedur Pembuatan Kromium Organik Sumber kromium organik diperoleh dari kromium yang berasal dari proses fermentasi ragi dengan media kacang kedelai.
Kedelai tanpa kulit biji direbus,
didinginkan kemudian dicampur dengan ragi tempe dengan jumlah inokolum sebanyak 3 g untuk setiap 1 kg kedelai rebus. Kedelai rebus tersebut kemudian dicampur dengan mineral CrCl3.6H2O sehingga mempunyai konsentrasi 3000 ppm. 17
Hasil pencampuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah dilubangi untuk diinkubasi selama 6 hari, lalu media fermentasi dicacah dan dijemur di bawah terik matahari ± 4 hari sampai kering kemudian digiling sampai halus. Pengaturan NKAR Nilai Neraca Kation Anion Ransum (NKAR) diketahui dengan mengukur kadar Na, K, Cl dan S dalam bahan pakan dan ransum. Nilai NKAR ransum basal (R0 dan R1) adalah + 14. Nilai NKAR ransum perlakuan lain (R2 dan R3) diatur menggunakan CaSO4 sehingga menjadi 0. Perhitungan besarnya neraca kation-anion berdasarkan persamaan Tucker et al. (1992) adalah sebagai berikut : NKA = ( Na + K ) – ( Cl + S ) ( meq/100 g BK ransum ) Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilakukan selama sembilan minggu.
Dua minggu pertama
merupakan masa adaptasi domba sebelum dilakukan masa pengumpulan data selama tujuh minggu berikutnya. Masa adaptasi berfungsi sebagai penyesuaian ternak dalam mengkonsumsi ransum perlakuan yang diberikan. Ransum dan air minum diberikan dua kali sehari dan diberikan ad libitum. Penimbangan bobot badan awal dilakukan sebelum penelitian untuk mengelompokkan domba berdasarkan bobot badan tersebut. Selama penelitian juga dilakukan pengamatan suhu kandang percobaan dengan menggunakan termometer suhu minimum-maksimum pada pukul 06.30 WIB dan pukul 14.00 WIB, sedangkan kelembaban kandang diamati menggunakan higrometer digital pada waktu yang sama. Pengambilan Sampel Darah Pengambilan sampel darah domba dilakukan dengan menggunakan venoject di bagian vena jugularis. Sampel darah diambil dengan cara meraba pada daerah bagian kanan atau kiri leher domba untuk mencari vena jugularis, setelah pembuluh darah tersebut ditemukan lalu ditekan bagian bawahnya hingga tampak terjadi pembesaran.
Jarum ditusukkan pada daerah pembesaran tersebut hingga darah
domba mengalir dan masuk ke tabung venoject berheparin. Tabung venoject berisi sampel darah disimpan dalam termos es. Sampel darah tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Pengambilan sampel darah dilakukan terhadap semua domba yang dilakukan penelitian.
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang Pengaruh suhu dan kelembaban sangat penting dalam sistem produksi ternak. Keduanya merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi secara langsung terhadap performa ternak dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan, respon dan pertumbuhan. Rataan suhu dan kelembaban udara dalam kandang selama penelitian terdapat pada Tabel 3. Rataan suhu pada pagi hari di dalam kandang percobaan masih cukup sejuk, karena suhu tersebut masih dibawah kondisi yang menyebabkan cekaman. Saat siang hari rataan suhu meningkat mencapai 33 0C, suhu ini dapat memberikan cekaman panas karena berada pada suhu kritis maksimum. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (daerah TNZ) untuk domba berkisar antara 22-31 0C. Apabila terjadi peningkatan suhu mencapai 35 0C atau lebih akan mengakibatkan ternak tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangan panas pada tubuhnya dan mengganggu pertumbuhan serta keadaan reproduksinya. Tabel 2. Rataan Suhu dan Kelembaban dalam Kandang Percobaan Suhu (0C)
Kelembaban(%)
Minimum
Maksimum
Pagi
Siang
24±1
33±1
93±3
68±9
Cekaman panas terjadi pada siang hari dimana panas tubuh ternak meningkat akibat dari suhu lingkungan yang meningkat. Pada keadaan suhu lingkungan 30 0C, ternak mempunyai beban panas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ternak yang berada pada suhu lingkungan 20 0C (Sudarman dan Ito, 2000). Saat suhu lingkungan meningkat juga dapat terjadi peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan dan laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua ialah proses metabolik, endokrin dan enzimatik (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kelembaban udara merupakan salah satu faktor penting untuk keberhasilan suatu peternakan. Kelembaban udara juga berperan penting dalam mempengaruhi tubuh ternak. Saat suhu lingkungan meningkat, ternak dapat melakukan evaporasi untuk mengurangi cekaman panas terhadap tubuhnya. Kelembaban udara selama pengamatan pada pagi hari cukup tinggi (Tabel 2). Kelembaban udara yang tinggi
dapat mempersulit ternak dalam melakukan evaporasi. Saat siang hari kelembaban mencapai nilai yang cukup rendah sehingga ketika tubuh ternak domba mengalami cekaman panas, ternak domba dapat melakukan evaporasi yang menjadi salah satu cara dalam mengurangi cekaman panas. Yousef (1985) menyatakan bahwa evaporasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi beban panas tubuh, penguapan setiap gram uap air dapat menghilangkan 0,582 kal panas tubuh. Pengaruh NKAR dan Suplementasi Cr terhadap Kondisi Fisiologis Kondisi fisiologis domba sebagai respon terhadap lingkungannya dapat ditunjukkan dengan nilai suhu rektal dan laju respirasi. Suhu rektal domba Garut jantan yang digunakan dalam penelitian dengan ransum berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba SelamaPenelitian Peubah Suhu Rektal (0C) Laju Respirasi (Hembusan nafas/menit)
Waktu
Ransum perlakuan R0
R1
R2
R3
Pagi
38,74±0,14
38,70±0,30
38,76±0,27
38,95±0,41
Siang
39,00±0,19
38,88±0,20
39,09±0,28
39,14±0,36
Pagi
28,00±4,40
29,00±6,59
37,00±12,28 35,00±12,21
Siang
65,00±7,07 70,00±20,94 76,00±17,68 88,00±16,29
Keterangan: R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.
Suhu Rektal Suhu rektal merupakan indikator yang baik untuk panas tubuh, selain itu juga sebagai salah satu peubah yang dapat menunjukkan efek dari cekaman lingkungan panas. Suhu lingkungan akan mempengaruhi suhu rektal pada ternak, meningkatnya suhu lingkungan di dalam kandang akan meningkatkan suhu rektal. Rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38,74 hingga 38,95 0
C.
Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena menurut Smith dan
Mangkowidjojo (1988) suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38,2-40 0C.
Pada siang hari keadaan suhu tubuh ternak juga
mengalami hal yang sama, yaitu berkisar 38,09-39,14 0C.
20
Suplementasi Cr organik pada ransum basa dan asam menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap suhu rektal baik pagi maupun siang hari. Hal tersebut menggambarkan bahwa suplementasi Cr pada ransum basa dan asam tersebut tidak diperlukan dalam keadaan suhu lingkungan kandang yang cukup tinggi mencapai 33 OC dengan kelembaban cukup rendah yaitu 68% (Tabel 3). Kelembaban siang hari yang cukup rendah selama penelitian memungkinkan domba Garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungannya dengan melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak pada siang hari. Ternak yang mengalami gangguan cekaman panas akan ditandai dengan meningkatnya HCO3 dalam darahnya, sehingga terjadi peningkatan pH darah yang menjadi bersifat alkalis (Frandson, 1992) dengan demikian pemberian ransum yang bersifat asam akan membantu ternak dalam mengurangi kondisi alkalis tubuhnya dan memungkinkan ternak untuk mengurangi cekaman tersebut. Laju Respirasi Oksigen merupakan salah satu kebutuhan yang vital bagi ternak. Sistem respirasi memiliki dua fungsi utama yaitu untuk menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil CO2 dari darah.
Selain itu terdapat juga fungsi sekunder yang
meliputi membantu meregulasi keasaman cairan ektraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu dan eliminasi air (Frandson, 1992).
Laju respirasi dapat
memperlihatkan dampak cekaman panas pada ternak. Pada suhu lingkungan yang tinggi, ternak harus mengeluarkan panas dalam tubuhnya, salah satu caranya dapat melalui proses evaporasi yang juga dapat mempengaruhi laju respirasi. Saat siang hari respirasi ternak domba berubah dari pernafasan yang tenang menjadi pernafasan yang cepat terkadang ternak juga dapat mengalami pernafasan cepat akibat keadaankeadaan tertentu. Perubahan suhu lingkungan tersebut akan mengakibatkan laju respirasi ternak mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan laju respirasi pagi hari. Yupardhi (2005) menyatakan apabila suhu lingkungan naik, maka akan terjadi kenaikan laju respirasi pada ternak. Hasil yang didapatkan selama penelitian menunjukkan laju respirasi ternak domba Garut berada di atas rata-rata frekuensi pernafasan normal ternak domba yaitu 15-25 hembusan nafas/menit (Smith dan Mangkowidjojo, 1988). Pemberian ransum basa dan asam dengan suplementasi Cr pada pagi hari tidak mampu 21
mempengaruhi laju respirasi (Tabel 3). Akan tetapi data yang dihasilkan selama penelitian menunjukkan kecenderungan kenaikan laju respirasi pada perlakuan R2 yang memiliki NKAR 0 tanpa suplemen Cr organik dan ransum asam yang diberi Cr organik (R3). Keadaan pada siang hari juga terjadi kecenderungan kenaikan laju respirasi pada perlakuan R2 dan R3 dibandingkan ransum kontrol (R0).
Hasil
tersebut menunjukkan pemberian ransum asam dan penambahan Cr cenderung meningkatkan kemampuan ternak untuk melakukan respirasi dalam upaya mengatur keseimbangan asam-basa dalam mengimbangi suhu lingkungan panas.
Tubuh
ternak mengatur kondisi keseimbangan asam-basa melalui sistem buffer, fungsi ginjal dan respirasi seluler. Suhu yang lebih tinggi akan merangsang pelepasan O2 dari HbO2, selain itu keadaan tersebut juga akan membuat ternak mengalami penurunan jumlah O2 yang dapat dibawa Hb (Frandson, 1992). Pemberian ransum asam pada ternak akan menyebabkan ternak mengalami peningkatan CO2 dalam tubuh, sehingga mengharuskan ternak bernafas dengan cepat agar dapat memasukkan O2 lebih banyak ke dalam tubuh. Profil Darah Darah sangat berperan penting di dalam tubuh ternak, diantaranya darah berfungsi membawa nutrien menuju ke jaringan tubuh dan membantu sirkulasi O2 dan CO2. Darah juga memiliki peran penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh (Frandson,1992). Pada dasarnya darah dibagi menjadi beberapa elemen yaitu sel-sel darah merah, sel-sel darah putih dan keping darah, dan di dalam elemen-elemen tersebut terdapat beberapa substansi yang dikelompokkan menjadi suatu profil darah. Profil darah yang diamati selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4, profil darah domba percobaan menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan NKAR berbeda dan suplementasi Cr tidak berpengaruh pada profil darah.
Pengamatan
profil darah memperlihatkan bahwa nilai kadar hemoglobin domba yang mendapat pakan R0, R1, dan R3 dalam keadaan normal. Hemoglobin sangat bermanfaat dalam mengikat oksigen dalam darah dan memungkinkan darah mengangkut sekitar 60 kali lebih banyak dibandingkan dengan air dalam jumlah dan kondisi yang sama. Domba yang mendapat perlakuan ransum asam tanpa Cr (R2) berada sedikit di atas keadaan normal. Meningkatnya kadar hemoglobin ini dapat menyebabkan peningkatan 22
efisiensi pertukaran O2 dan CO2, sedangkan jika terjadi penurunan kadar hemoglobin pada tubuh ternak akan menghambat metabolisme dalam tubuh akibat ketersediaan pO2 yang terbatas. Ketersedian pO2 darah yang menurun akan menyebabkan pH darah menurun dan menyebabkan keadaan tubuh ternak menjadi bersifat asam. Roche et al. (2003) melaporkan bahwa keadaan tubuh ternak yang bersifat asam dapat meningkatkan pCO2, tetapi menurunkan pH darah dan urin serta pO2 darah. Hemoglobin pada eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta menjadi penyebab terjadinya warna merah pada darah (Frandson, 1992). Tabel 4. Nilai Normal dan Profil Darah Domba Garut Jantan yang Digunakan dalam Percobaan Nilai Ransum Perlakuan Peubah Normal R0 R1 R2 R3 Hemoglobin (g%) Hematokrit (%) Eritrosit (juta/ml) Leukosit (ribu/ml)
11±
11,30±1,03
11,50±0,84
12,70±1,21
11,20±1,72
32±
31,83±4,58
33,67±2,88
34±2,83
30,00±5,55
11±
9,57±2,12
8,85±2,20
10,61±1,73
8,31±2,11
7-10
7,73±2,25
8,63±2,54
9,26±1,14
9,02±3,09
Differensiasi Leukosit: Netrofil (%)
25-30
62,00±10,39 51,67±11,50 53,83±16,15 55,17±4,67
Limfosit (%)
60-65
24,17±6,55
Monosit (%)
5±
4,83±1,33
4,17±1,47
4,67±0,82
5,17±2,23
Eosinofil (%)
2-5
9,00±4,56
7,83±4,02
9,17±3,97
8,50±4,85
Netrofil/Limfosit
0,5
3,12±0,82
2,00±1,11
2,30±1,16
2,09±0,63
35,83±13,27 32,33±12,08 31,17±6,74
Keterangan: - Nilai Profil Darah Berdasarkan dari Hasil Analisa Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 2008 dan Nilai Normal Berdasarkan Frandson (1992) serta rasio N/L Berdasarkan Schalm (1971) - R0= Ransum Basal (NKAR +14) tanpa Cr organik, R1= Ransum Basal (NKAR +14) dengan Cr organik R1 = Ransum Basal dengan Cr organik 3 ppm, R2 = Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) tanpa Cr organik (Asam), R3= Ransum Basal + CaSO4 (NKAR 0) dengan Cr organik.
Nilai hematokrit merupakan suatu istilah yang artinya persentase dari darah, yang terdiri dari sel-sel darah merah. Nilai hematokrit pada ransum asam meskipun mengalami peningkatan dan penurunan pada ransum asam dengan suplementasi Cr, tetapi berada pada keadaan normal. Peningkatan nilai hematokrit yang jauh dari 23
normal dapat menyebabkan hemokonsentrasi akibat dari banyaknya air yang hilang pada tubuh ternak dan menyebabkan dehidrasi pada ternak. Jumlah eritrosit domba yang dapat dilihat dari nilai hematokrit menunjukkan hasil yang selaras, sedangkan nilai eritrosit pada perlakuan R1 dan R3 sedikit dibawah keadaan normal. Keadaan ini mengindikasikan adanya sedikit anemia pada tubuh ternak, Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan nilai eritrosit domba berkisar antara 9-15 juta sel/ml.
Seluruh perlakuan yang diberikan terhadap domba Garut jantan
menunjukkan jumlah leukosit berada dalam keadaan normal. Di dalam aliran darah kebanyakan sel-sel darah putih bersifat non fungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika saat dibutuhkan saja. Keadaan normal pada jumlah leukosit dapat diartikan tidak terjadinya gangguan non spesifik terhadap tubuh domba. Kekebalan tubuh ternak selalu melibatkan sel darah putih yang berfungsi menjaga tubuh dari agen penyakit dan bakteri. Suplementasi Cr dalam ransum asam dan basa terhadap nilai diferensiasi leukosit melalui uji statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, akan tetapi terdapat beberapa nilai diferensiasi yang cenderung mengalami perubahan. Netrofil merupakan jajaran pertama dalam sistem pertahanan melawan infeksi dengan cara berpindah ke daerah-daerah yang sedang mengalami serangan bakteria, menembus dinding pembuluh, dan menyerang bakteria untuk dihancurkan (Frandson, 1992). Meningkatnya nilai netrofil mencapai dua kali dari keadaan normalnya mengindikasikan bahwa keadaan tersebut menunjukkan kemungkinan adanya bakteri yang sedang menyerang tubuh domba Garut jantan percobaan, selain itu juga terlihat adanya kecenderungan penurunan jumlah netrofil ransum perlakuan (R1,R2,R3) dibandingkan ransum kontrol (R0). Jumlah limfosit domba yang mendapat ransum R1, R2, dan R3 mengalami kecenderungan peningkatan dibandingkan dengan domba yang mendapat ransum R0 dan berbanding terbalik dengan nilai netrofil yang didapatkan selama tujuh minggu penelitian. Peningkatan limfosit tersebut menunjukkan adanya peningkatan sel-sel pertahanan tubuh ternak domba terhadap bakteri. Eosinofil merupakan sel pertahanan tubuh yang berguna jika terjadi infeksi parasit, terutama parasit cacing dan sel ini akan menelan serta menghancurkan cacing yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui proses fagositosis. Jumlah eosinofil yang berada diatas kadar normal menggambarkan terjadinya alergi pada ternak (Frandson, 24
1992).
Jumlah monosit ternak domba berkisar pada nilai normal, sama seperti
beberapa nilai sel darah putih lainnya, sel darah putih ini akan mengalami kenaikan saat keadaan tubuh domba terkena infeksi yang tidak terlalu akut.
Pengukuran
peubah rasio antara netrofil dan limfosit ini merupakan indikator cekaman panas yang biasanya sering digunakan pada hewan ternak (Sugito et al., 2007). Nilai rasio antara netrofil dan limfosit menunjukkan semua ternak mengalami cekaman panas, karena berada jauh diatas keadaan normalnya.
Domba yang mendapat ransum
kontrol (R0) memperlihatkan keadaan yang paling mengalami cekaman dengan nilai rasio netrofil dan limfosit 3,12, sedangkan domba yang diberikan ransum perlakuan (R1, R2, dan R3) cenderung mengalami penurunan. Kondisi ini mengindikasikan pengaruh pemberian ransum asam dan Cr dalam mengurangi cekaman panas, terlebih pada ternak yang diberi ransum basal (NKAR +14) dengan Cr menunjukkan nilai yang rasio netrofil dan limfosit yang terkecil diantara ransum lainnya, yaitu 2,00. Bestari (2007) melaporkan pemberian Cr pikolinat pada ternak yang dipelihara di temperatur lingkungan tinggi dapat meningkatkan daya adaptasi pada sapi perah dengan kondisi lingkungan cekaman panas.
25
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian kromium pada ransum dengan neraca kation anion berbeda antara 0 dan +14 tidak mempengaruhi kondisi fiologis domba Garut jantan saat lingkungan panas. Saran Domba pada penelitian ini mengalami cekaman panas, maka untuk mengatasinya diperlukan waktu penelitian yang lebih panjang untuk mengamati pengaruh pemberian ransum yang mengandung kromium (Cr) dan neraca kationanion (NKA) berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kondisi Fisiologis Domba Garut Jantan yang Mendapat Ransum dengan Kadar Kromium dan Kation-Anion Berbeda pada Suhu Lingkungan Panas”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr.Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. sebagai dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing akademik beserta Dr.Ir. Dwierra Evvyernie A., MS.,M.Sc. sebagai dosen pembimbing anggota atas segala kesabaran, kebaikan, dan kedermawanannya dalam memberikan bimbingan selama penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Sc selaku dosen penguji seminar, Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc dan Ir. Afton Atabany, M.Si selaku dosen penguji ujian akhir atas kritik dan saran. Sembah bakti dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Ibu dan Bapak atas segala dukungan baik moral maupun materi, doa, kesabaran, cinta dan kasih sayangnya yang tak akan pernah putus hingga akhir. Kepada abang-abang penulis (Rasyid, Saunan, dan Hafizh) atas segala kemurahan hatinya dalam membantu dan memotivasi semua cita-cita yang penulis inginkan, dan tidak lupa pula teman terbaik penulis (Ika) yang telah memberikan sebagian waktunya untuk meningkatkan semangat dalam mencapai tujuan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Deden Sudrajat MS, Ir. Fauzia Agustin, MS dan Iwan Prihantoro, S.Pt, M.Si, yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi seputar topik penelitian.
Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman satu tim penelitian; Fahmul, Beni, Maman, Dian, Roni, Amir, Tia, Arif, dan Iber, atas bantuan ide, tenaga, dan transportasi serta pendapat kepada penulis. Kemudian kepada teman-teman kelas Nutrisi ‘42 yang memberikan
warna
berbeda-beda
sehingga
memberikan
pembelajaran
dan
pengalaman yang cukup banyak. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2009 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia. Jakarta. Balai Informasi Pertanian. 1990. Pengusahaan Ternak Kambing dan Domba di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Bradford, G. E. and I. Inounu. 1996. Prolific breeds of Indonesia. Dalam : M. H. Fahmy (Ed) Prolific Sheep. CAB International, Oxon, UK. Pp. 137-145. Bestari, J. 2007. Suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum sapi perah dara yang dipelihara di dataran rendah. Tesis. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Burton, J. L. 1995. Supplemental chromium its benefit to the bovine immune system. J. Anim. Feed Sci. Technol. 53: 117-125. Church, D.C. and W.G. Pond.1978. Basic Animal Nutrition and Feeding. O&B Books. United States of America. Devendra, C. and P.S. Faylon. 1989. Sheep Production in Asia. Philipine Council for Agriculture, Forestry and National Research and Development Departement of Science and Technology, Los Banos. Philipina. Edey, T. N. 1983. The genetic pool sheep and goats. In : Goat and Sheep Production in the Tropics. ELBS. Longman Group Ltd. England. Esminger, M. E., J. E. Oldfield and W.W. Hammeman. 1990. Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing Company, California. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Georgievskii, V. I. 1981. General information of minerals. In : Georgievskii, V. I., B. N. Annenkov, V. T. Samokhin (Ed). Mineral Nutrition of Animals. Butterworths. London. Groff and Gropper SS. 2000. Andvance Nutrition and Human Metabolism. 3rd Edition. Wadsworth. Thomson Learning, Balmount, USA. 584 pp. Gross, W.B. and H.B. Siegel. 1983. Evaluation of the heterofil/lymphocite ratio of measure in chickens. Avian Disease. 27(4):972-979. Guyton, A.C. and J.E. Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Terjemahan : I. Setiawan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Haris Jr, B.and D.K. Beede. 1983. Dietary Cation-Anion Balancing Rations in the Preparatumor Late Dry Period. Animal Science seri of the Animal Science Departement of Florida Cooperative Extension Service. Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. Florida. Hu, W. and M.R. Murphy. 2004. Dietary cation-anion difference effect on performance and acid-base status at diary cows: a meta-analysis. J.Dairy Sci.87: 2222-2229.
Johnson, H.D. 1987. Bioclimates and Livestock. World Animal Science. B. Discipilinary Approach. Bioclimatology and Adaptation of Livestock. Ed. H.D. Johnson. Amsterdam. Johnston, R.D. 1983. Introduction to Sheep Farming. Granada Publishing Ltd. London. Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Penerjemah A. Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Maxwell, M.H. 1983. Avian blood leucocyte response to stress. World’s Poulty Science J. 49(1):39-43. McDowell, R.E. and A. Wood Ward.1972. Improvement of livestock production in warm climates. W.E. Freeman and Company. San Fransisco. McDowell, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutritions. Department of Animal Science. University of Florida. Academic Press, Inc. San Diego. McDonald P., R.A. Edwards and J.F.D. Greenhalgh.1982. Animal Nutrition. 3rd edition. Longman Inc. New York. Merkens dan Soemirat. 1979. Domba dan Kambing. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Nasution, H. 1990. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. Edisi Penelaah Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Natasasmita, A., Sugana, dan M. Duljaman, M.A. 1986. Penuntun Parameter Seleksi dan Pengarahan Metode Pembibitan Domba di Kalangan Petani. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. National Research Council. 1997. Nutrient Requirement of Warmwater Fishes and Shellfishes. National Academy Press. Washington DC. National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Edition National Academy Press. Washington DC. Purwanto, B.P., M. Harada and S. Yamamoto. 1994. Effect of enviromental temperature on heat production and it’s energy cost thermoregulation in dairy heifers. Asian-Aus. J. Animal Science 7(2):179-182. Rizal, M., M.R. Toilhere, T.L. Yusuf, B. Purwantara dan P.Z. Situmorang. 2004. Pengaruh waktu penyimpanan epididimis pada suhu 50C terhadap kualitas spermatozoa epididimis domba Garut. http://www.jvetunud.com. [20-0309]. Roche, J.R., D. Dalley, P. Moate, C. Crainger, M. Rath, and F. O’Mara. 2003. Dietary cation-anion difference and health and production pasture-fed dairy cows. 1. Dairy cows in early lactation. J. Dairy Sci. 86: 970-978 Schalm, O.W. 1971. Veterinary Hematology. 2nd Edition. Lea and Febiger. Philadelpia. Setiadi. 1989. Pemuliabiakan. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Smith, J.B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta. 29
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : R. Rasyid. Gramedia. Jakarta. Stewart, P. A. 1983. Modern quantitative acid-base chemistry. Can. Pharmacol. 61: 1444-1461.
J. Physiol
Subandriyo, B. Setiadi, M. Rangkuti, K. Diwyanto dan E. HandiWirawan. 1981. Penelitian pendahuluan domba ekor kurus pada kondisi stasiun percobaan.Proc. Seminar Penelitian Peternakan.Puslitbangnak. Departemen Pertanian. Jakarta. Subronto. 1985. Ilmu Penyakit Ternak Jilid II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Sudarman, A. and T. Ito. 2000. Heat production and thermoregulatory response of sheep fed roughage proportion diets and intake level when exposed to a high ambient temperature. Asian-Aus. J. Animal Science 13(5): 1523-1528. Sugito, W. Manalu, D.A. Astuti, E. Handharyani, dan Cherul. 2007. Efek cekaman panas dan pemberian ekstrak heksan tanaman Jaloh (Salix Tetrasperma Roxb) terhadap kadar kortisol, trioditironin dan profil hematologi ayam broiler. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/jitv/jitv123-2.pdf. [20-03-09]. Sujono, A. 1991. Nilai hematokrit dan konsentrasi mineral dalam darah sapi Fries Holland pada lokasi limpahan vulkanik gunung Kelud, Jawa Timur. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi,Jilid I. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Tucker, W.B., J.F. Hogue, D.F. Waterman, T.S. Swenson, Z. Xin, R.W. Hemken, J.A. Jackson, G.D. Adams and L.J. Spicer. 1992. Sulphur should be included when calculating the dietary cation-anion balance of diets for lactating dairy cows. Animal Science Research Report. Oklahoma Research Station. pp.141150. Tillman, D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Ledbosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cet ke-6. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Underwood, E. J. and M. Somers. 1971. Zinc: Trace Elements in Human and Animal Nutrition. New York Academic. Pp : 196-242. Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. UGM Press. Yogyakarta. Widjajakusuma, R. dan S.H.S. Sikar. 1986. Fisiologi Hewan Jilid II. Kumpulan Materi Kuliah. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Williamson, G. dan W.J.A. Payne.1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan : Adiono. UGM Press. Yogyakarta. Wilson, J.A. 1979. Principle of Animal Phisiology. 2nd Edition. MacMilan Publisher. New York.
30
Yousef, M.K. 1985. Stress Phsiology in Livestock. Vol. I. CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. Yupardhi, W. S. 2005. Physiological and behavioural response to hot of goat born in cold environment. http://www.jvetunud.com. [20-03-09].
31
Lampiran 1. Data Rataan Suhu Rektal Pagi Hari Kelompok 1 2 3 4 5 6 Rataan STD
Perlakuan R0 38.6 38.8 38.6 38.7 38.9 38.9 38.74
R1 38.9 38.3 38.4 39.0 39.0 38.7 38.70
R2 38.6 38.6 39.2 39.0 38.6 38.6 38.76
R3 38.8 39.5 38.3 38.8 39.1 39.3 38.95
0.14
0.30
0.27
0.41
Rataan
STD
38.7 38.8 38.6 38.9 38.9 38.9
0.15 0.49 0.40 0.14 0.20 0.31
Rataan 38,9 39,0 38,9 39,0 39,2 39,1
STD 0,05 0,46 0,44 0,12 0,09 0,19
Lampiran 2. Data Rataan Suhu Rektal Siang Hari Kelompok 1 2 3 4 5 6 Rataan STD
R0 38,9 38,9 38,9 38,9 39,2 39,3 39,00 0,19
Perlakuan R2 R3 38,9 39,0 38,8 39,7 39,6 38,7 39,1 38,9 39,2 39,3 39,0 39,3 39,09 39,14 0,28 0,36
R1 38,9 38,7 38,6 39,1 39,1 38,9 38,88 0,20
Lampiran 3. Data Rataan Laju Respirasi Pagi Hari Kelompok
Perlakuan R0 31
R1 24
R2 28
R3 36
Jumlah
STD
1
30
5,18
2
34
25
42
36
34
6,84
3
24
27
28
22
25
2,61
4
29
35
50
23
34
11,61
5
21
39
23
38
31
9,57
6
29
24
51
56
40
15,86
Rataan
28
29
37
35
4,40
6,59
12,28
12,21
STD
33
Lampiran 4. Data Rataan Laju Respirasi Siang Hari kelompok 1 2 3 4 5 6 Rataan STD
R0 59 67 56 76 64 67 65 7,07
R1 38 55 91 70 69 93 70 20,94
R2 76 83 57 96 54 93 76 17,68
Perlakuan R3 115 90 82 88 64 90 88 16,29
Rataan 72 74 72 82 63 86
STD 32,43 15,48 17,86 11,50 6,63 12,58
Lampiran 5. Data Rataan Hemoglobin Kelompok 1 2 3 4 5 6 Rataan STD
Perlakuan R0 R1 R2 R3 Rataan STD 11 11 12 12 11,5 0,58 10 11 13 11 11,25 1,26 11 12 14 12 12,25 1,26 13 11 11 13 12 1,15 12 13 14 8 11,75 2,63 11 11 12 11 11,25 0,50 11,33 11,50 12,67 11,17 1,03 0,84 1,21 1,72
Lampiran 6. Data Rataan Hematokrit Perlakuan
Kelompok R1 31
R2 37
R3 32
Rataan
STD
1
R0 28
32
3,74
2
34
38
35
31
34,5
2,89
3
26
34
30
38
32
5,16
4
38
30
36
28
33
4,76
5
35
34
35
21
31,25
6,85
6
30
35
31
30
31,5
2,38
31,83
33,67
34,00
30,00
Rataan STD
4,58
2,88
2,83
5,55 34
Lampiran 7. Data Rataan Eritrosit Perlakuan
Kelompok 1 2 3 4 5 6
R0 8,2 12,79 6,67 10,66 10,11 8,96
R1 10,87 11,83 9,32 6,33 7,03 7,72
R2 10,96 10,9 11,5 12,03 11,07 7,19
R3 7,5 9,16 12,19 6,49 6,8 7,73
Rataan STD
9,57 2,12
8,85 2,20
10,61 1,73
8,31 2,11
Rataan
STD
9,38 11,17 9,92 8,88 8,75 7,90
1,79 1,55 2,49 2,90 2,16 0,75
Lampiran 8. Data Rataan Leukosit Perlakuan
Kelompok R1 13200
R2 9100
R3 7400
Rataan
STD
1
R0 8950
9662,50
2480,38
2
10310
6450
7900
8150
8202,50
1592,39
3
6050
6500
10450
5400
7100,00
2278,52
4 5
5150 6000
8800 7400
10100 10100
9350 14600
8350,00 9525,00
2198,86 3787,15
6
9900
9400
7900
9200
9100,00
852,45
Rataan
7726,67
8625,00
9258,33
9016,67
STD
2250,57
2542,00
1144,73
3090,74
Lampiran 9. Data Rataan Netrofil Perlakuan
Kelompok R0
R1
R2
R3
Rataan
STD
1
42
56
35
52
46,25
9,54
2
62
68
33
58
55,25
15,39
3
71
60
55
48
58,50
9,68
4 5
63
45
63
60
69
38
69
54
57,75 57,50
8,62 14,80
6
65
43
68
59
58,75
11,15
Rataan
62,00
51,67
53,83
55,17
STD
10,39
11,50
16,15
4,67 35
Lampiran 10. Data Rataan Limfosit Perlakuan
Kelompok R1 24
R2 48
R3 41
Rataan
STD
1
R0 37
37,50
10,08
2
22
22
46
33
30,75
11,41
3
20
26
32
30
27,00
5,29
4
20
44
26
22
28,00
10,95
5
21
52
21
35
32,25
14,73
6
25
47
21
26
29,75
11,70
Rataan
24,17
35,83
32,33
31,17
STD
6,55
13,27
12,08
6,74
Lampiran 11. Data Rataan Monosit Perlakuan
Kelompok R1 3
R2 5
R3 1
Rataan
STD
1
R0 5
3,50
1,91
2
4
4
5
5
4,50
0,58
3
5
7
6
5
5,75
0,96
4
7
4
4
7
5,50
1,73
5
5
3
4
6
4,50
1,29
6
3
4
4
7
4,50
1,73
Rataan
4,83
4,17
4,67
5,17
STD
1,33
1,47
0,82
2,23
36
Lampiran 12. Data Rataan Eosinofil Perlakuan
Kelompok R0
R1
R2
R3
Rataan
STD
1
16
16
12
6
12,50
4,73
2
12
6
16
4
9,50
5,51
3
4
7
7
17
8,75
5,68
4 5
10
6
7
11
5
6
6
5
8,50 5,50
2,38 0,58
6
7
6
7
8
7,00
0,82
Rataan
9,00
7,83
9,17
8,50
STD
4,56
4,02
3,97
4,85
Lampiran 13. Data Rataan Netrofil/Limfosit Perlakuan
Kelompok R0
R1
R2
R3
Rataan
STD
1
1,57
3
0,98
1,41
1,74
0,88
2
3,36
3,36
1,07
1,88
2,42
1,14
3
3,75
2,58
1,94
2,17
2,61
0,80
4
3,65
1,16
2,69
3,23
2,68
1,09
5
3,52
0,85
3,57
1,69
2,41
1,36
6
2,88
1,04
3,57
2,17
2,42
1,08
Rataan
3,12
2,00
2,30
2,09
STD
0,82
1,11
1,16
0,63
37
LAMPIRAN