Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RESPON DOMBA YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN SUMBER PROTEIN BERBEDA: TINJAUAN PADA KOMPOSISI KIMIA TUBUH DAN PERTUMBUHAN WOOL (Response of Growing Lambs Fed on Different Source of Protein: Observation on Chemical Body Composition and Wool Growth) WISRI PUASTUTI dan I-W. MATHIUS Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Response of animal to the level of protein diet is varied depend on the sources of protein. This study was conducted to investigate the effect of feeding ration with different sources of protein on chemical body composition and wool growth in sheep. Thirty growing lambs, aged of 6 – 7 months with an average live weight of 16.2 ± 2.2 kg were classified into 5 groups according their live weight. The treatment were arranged in a ramdomized block design. The diets were formulated isonitrogen and isoenergy (16% CP and 75% TDN) with different protein characteristic. The treatments consisted of R1 = soy bean meal (SBM) as main protein source; R2 = SBM + urea; R3 = SBM + Kapok meal; R4 = SBM + Kapok meal + urea; R5 = SBM + fish meal and R6 = SBM + fish meal + uea. The experimental diets were offered for 12 weeks. The results showed that both body composition and wool growth of the growing lambs were affected by the differences in protein sources (P < 0.05). Diets R5 and R6 resulted in more body protein deposition (25.3, 26.6 vs 18.4, 23.2, 18.2, 15.8 g head-1d-1) and body water deposition (95.0, 99.9 vs 69.2, 87.2, 68.4, 59.1 g head-1d-1), but less body fat deposition (5.8, 6.0 vs 18.1, 18.8, 15.1, 12.2 g head-1d-1) than the remaining diets. Wool growth and wool protein deposition of R5 and R6 were higher value than that of other diets namely (71.0, 77.8 vs 58.5, 67.2, 58.2, 51.3 mg mm-2 ) and (41.2, 42.9 vs 31.4, 38.2, 33.5, 28.6 mg mm-2), respectively. Its is concluded that protein source of SBM and fish meal mixed produced the higest levels of body protein deposition and wool growth. Key Words: Protein, Sheep, Chemical Body Composition, Wool Growth ABSTRAK Respon ternak terhadap kadar protein ransum bervariasi karena sumber protein yang berbeda. Penelitian dilakukan untuk mempelajari pengaruh pemberian ransum dengan sumber protein berbeda terhadap komposisi kimia tubuh dan pertumbuhan wool. Ternak yang digunakan adalah domda jantan fase tumbuh umur 6 – 7 bulan sebanyak 30 ekor dengan rataan bobot hidup 18,6 ± 2,2 kg. Penelitian dilakukan dengan rancangan acak kelompok dengan jumlah kelompok sebanyak 5 dan perlakuan sebanyak 6. Ransum diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan mutu yang berbeda-beda. Ransum yang diuji pada percobaan ini adalah R1 = sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea. Percobaan pemberian pakan dilakukan selama 12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi kimia tubuh dan pertumbuhan wool dipengaruhi perbedaan sumber protein (P < 0,05). Ransum R5 dan R6 menghasilkan deposit protein tubuh (25,3; 26,6 vs 18,4; 23,2; 18,2; 15,8 g ekor-1hari-1) dan deposit air tubuh (95,0; 99,9 vs 69,2; 87,2; 68,4; 59,1 g.ekor-1hari-1) lebih banyak tetapi deposit lemak tubuh (5,8; 6,0 vs 18,1; 18,8; 15,1; 12,2 g ekor-1hari-1) lebih sedikit dibandingkan dengan ransum lain. Demikian juga pertumbuhan maupun deposit protein wool pada ransum R5 dan R6 dihasilkan nilai yang lebih tinggi, berturut-turut (71,0; 77,8 vs 58,5; 67,2; 58,2; 51,3 mg mm-2 ) dan 41,2; 42,9 vs 31,4; 38,2; 33,5; 28,6 mg mm-2). Dapat disimpulkan bahwa campuran sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan menghasilkan deposit protein tubuh dan pertumbuhan wool yang paling tinggi. Kata Kunci: Protein, Domba, Komposisi Kimia Tubuh, Pertumbuhan Wool
409
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
PENDAHULUAN Pemenuhan kebutuhan protein pada ruminansia perlu memperhitungkan jumlah protein pakan yang dapat didegradasi dalam rumen (untuk pertumbuhan mikroba yang optimal) dan jumlah protein ransum yang tidak terdegradasi dalam rumen (yang diperlukan untuk melengkapi asam amino asal mikroba rumen). Sumber protein pakan mempunyai tingkat degradasi di dalam rumen yang berbeda-beda, sedangkan sumber non protein nitrogen didegradasi hingga 100%. Ransum dengan kadar protein yang sama bisa jadi memiliki tingkat fermentabilitas, ketahanan protein terhadap degradasi dalam rumen, kecernaan protein oleh enzim pencernaan pascarumen dan sintesis protein mikroba yang berbeda-beda. Derajat ketahanan protein terhadap degradasi oleh mikroba rumen sangat beragam. MADSEN dan HVELPLUND (1985) telah melaporkan tingkat degradasi protein dari 38 jenis bahan konsentrat dan 44 jenis hijauan secara in vitro dan in sacco (nylon bag) dan mendapatkan hasil bahwa degradasi protein bahan yang diteliti bervariasi antara 12 – 90%. Disimpulkan bahwa daya degradasi protein ransum di dalam rumen bervariasi bergantung pada komposisi, struktur fisik dan kimia, pengolahan bahan baik secara kimia, fisik maupun biologis. Tingkat kecernaan protein di dalam saluran pencernaan pascarumen oleh pepsin HCl juga bervariasi (HABIB et al., 2001). Protein ransum yang tak terdegradasi dalam rumen dengan kecernaan oleh enzim pencernaan pascarumen yang tinggi diperlukan untuk menyediakan protein ransum bagi induk semang. Hal ini berhubungan dengan pasokan asam amino untuk ternak dengan tingkat produksi tinggi tidak cukup jika hanya mengandalkan pasokan yang berasal dari protein mikroba. Sebaliknya protein ransum yang tak terdegradasi dalam rumen, tetapi tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan pascarumen akan dikeluarkan melalui feses. Oleh karena itu, tingkat ketahanan protein ransum terhadap degradasi dalam rumen sekaligus kecernaan protein oleh enzim pencernaan pascarumen menjadi penting untuk diperhitungkan dalam menentukan kualitas protein ransum ruminansia. Di sisi lain adanya keragaman karakteristik protein
410
tersebut memberi peluang untuk memilih bahan pakan dengan menyeimbangkan antara bahan pakan yang mudah didegradasi dalam rumen dengan yang tahan degradasi rumen agar dapat memenuhi kebutuhan bagi ternak sehingga mendukung produksi yang optimal. Protein yang diabsorbsi dimanfaatkan oleh tubuh untuk pertumbuhan, mengganti sel-sel yang rusak dan pada kondisi tertentu akan diubah menjadi energi. Pemberian suplemen protein dapat meningkatkan penampilan ternak, namun demikian respon terhadap kadar protein bervariasi karena sumber protein yang berbeda (HUNTINGTON et al., 2001). Pemberian beberapa sumber protein pada domba perlu dipelajari untuk mengetahui respon pertumbuhan yang dititikberatkan pada komposisi kimia tubuh ternak dan pertumbuhan bulu. Pengukuran secara akurat dari komposisi kimia tubuh ternak merupakan salah satu kunci untuk memahami respon dari asupan nutrien (SILVA et al., 2005). Dengan demikian dapat dilakukan manipulasi pakan untuk mencapai tujuan produksi seperti yang kita harapkan. Informasi ini sangat penting mengingat ada dua tujuan produksi yang diharapkan dari ternak domba, yaitu daging dan wool. Pengukuran komposisi kimia tubuh dapat dilakukan secara langsung dengan cara memotong ternak terlebih dahulu atau tidak langsung dengan teknik kelarutan (RULE et al., 1986; MCDONALD et al., 2002). Adapun pengukuran pertumbuhan dan komposisi wool juga dapat menggambarkan kualitas dan karakteristik dari protein pakan yang diberikan. Seperti dinyatakan oleh REIS dan SAHLU (1994) bahwa untuk pertumbuhan wool dibutuhkan lebih banyak asam amino bersulfur, sistein dan metionin. Atas dasar pemahaman tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi kimia tubuh domba dan pertumbuhan wool akibat pemberian ransum dengan sumber protein berbeda. MATERI DAN METODE Untuk mengetahui pengaruh sumber protein terhadap komposisi tubuh dan pertumbuhan wool domba dilakukan percobaan pemberian pakan. Domba yang digunakan adalah domba jantan fase tumbuh umur 6 – 7
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
bulan sebanyak 30 ekor dengan rataan bobot hidup 18,6 ± 2,2 kg. Domba percobaan ditempatkan dalam kandang individu. Dalam percobaan ini terdapat enam macam ransum yang diformulasi isoprotein dan isoenergi (protein kasar 18% dan TDN 75%) dengan sumber protein yang berbeda-beda. Sumber protein utama yang digunakan yaitu bungkil kedelai, sebagai sumber protein fermentabel, bungkil biji kapuk dan tepung ikan sebagai sumber protein tahan degradasi rumen (by pass). Penambahan urea sebagai sumber nitrogen mudah tersedia bertujuan untuk menjamin ketersediaan nitrogen dalam bentuk amonia untuk mendukung sintesis protein mikroba. Perbedaan sumber protein tersebut diduga mempengaruhi besarnya pasokan
protein yang berdampak pada pertumbuhan ternak dan konsekuensinya berpengaruh pula terhadap komposisi tubuh ternak dan deposit protein wool. Ransum yang diuji pada percobaan ini adalah R1 = Ransum dengan sumber protein utama bungkil kedelai, R2 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + urea, R3 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk, R4 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea, R5 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan, dan R6 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea. Secara lengkap susunann ransum percobaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Susunan ransum percobaan Perlakuan
R1
R2
R3
R4
R5
R6
13,70
8,80
2,60
1,60
10,50
6,40
Komposisi bahan (%) Konsentrat Minyak ikan
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
2,00
Jagung giling
15,00
18,60
19,30
11,10
17,30
20,70
Pollar
20,20
25,00
23,50
41,00
22,00
26,20
Bungkil kedelai
19,20
15,00
16,20
10,00
14,70
11,60
Tepung ikan
0,00
0,00
0,00
0,00
3,40
2,70
Bungkil biji kapuk
0,00
0,00
6,30
3,90
0,00
0,00
Rumput
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
30,00
Urea
0,00
0,50
0,00
0,50
0,00
0,50
Total
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Abu
6,49
6,04
6,05
5,86
6,91
6,36
Protein kasar
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
18,00
Komposisi nutrien (%)
Lemak kasar
6,62
6,28
5,98
5,60
6,46
6,16
Serat kasar
18,04
17,60
17,81
17,39
17,54
17,20
BETN
50,85
52,99
52,17
54,05
51,10
53,18
TDN
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
75,00
Ca
0,25
0,23
0,24
0,19
0,46
0,40
P
0,22
0,22
0,22
0,22
0,36
0,33
Kompisisi nutrien ransum merupakan hasil perhitungan dari data kompisisi kimia hasil analisis LABORATORIUM BPT CIAWI (2004)
411
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Jumlah pemberian pakan didasarkan pada kebutuhan bahan kering (BK) sebesar 3 – 3,5% bobot hidup. Pakan konsentrat diberikan pada pagi hari (jam 08.00) dan hijauan rumput raja (Penisetum purpuroides) diberikan sebanyak dua kali (jam 10.00 dan 15.00). Pada awal percobaan domba ditimbang terlebih dahulu untuk mengukur bobot hidupnya dan guna keperluan pengelompokan. Pada awal dan akhir percobaan dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengukur komposisi kimia tubuh. Percobaan pemberian pakan dilakukan selama 12 minggu. Pengukuran bobot hidup akhir dan pengambilan darah untuk pengukuran komposisi tubuh akhir dilakukan pada akhir percobaan. Pertumbuhan wool diukur dengan memodifikasi metode yang dilakukan HABIB et al. (2001). Pada awal percobaan pertama-tama wool pada bagian samping tengah kanan domba dicukur hingga bersih seluas 7,5 cm x 10,0 cm dan ditandai dengan tinta. Pada akhir percobaan wool dicukur dengan gunting secara manual. Wool yang diperoleh dikeringkan pada suhu 60°C selama 24 jam kemudian ditimbang dan diukur kadar protein kasarnya. Deposit protein, lemak dan air tubuh dihitung dari selisih deposit pada awal percobaan terhadap deposit pada akhir percobaan. Deposit protein, lemak dan air dihitung dari komposisi tubuh domba terhadap bobot hidup. Komposisi kimia tubuh domba diukur dengan teknik ruang urea (RULE et al.,1986).
Percobaan dilakukan mengunakan rancangan acak kelompok dengan jumlah perlakuan sebanyak 6 dan ulangan sebanyak 5. Data percobaan dianalisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal (STEEL dan TORRIE, 1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimia tubuh Respon pemberian ransum dengan sumber protein berbeda terhadap komposisi kimia tubuh disajikan pada Tabel 2. Besarnya nilai deposit air, lemak dan protein tubuh dihitung sebagai selisih komposisi kimia tubuh pada awal dan akhir percobaan dan dibagi jumlah hari pengamatan. Perbedaan sumber protein ransum mengakibatkan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) yang berbeda-beda. Pertambahan bobot hidup harian dari masingmasing ransum telah dilaporkan oleh PUASTUTI et al. (2005), berturut-turut adalah R1 = 123, R2 = 141, R3 = 124, R4 = 92, R5 = 135 dan R6 = 151 g.ekor-1hari-1. Deposit air, lemak dan protein tubuh tidak dipengaruhi oleh adanya urea dalam ransum, tetapi lebih disebabkan karena perbedaan sumber protein ransum. Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan (R5 dan R6) menghasilkan deposit air dan protein lebih banyak tetapi deposit lemak lebih sedikit (P < 0,05).
Tabel 2. Pengaruh sumber protein ransum terhadap deposit komposisi kimia tubuh domba Parameter
R1
R2
R3
R4
R5
R6
Deposit air (g ekor-1 hari-1)
69,2 ± 15,8b
87,2 ± 6,4a
68,4 ± 13,9b
59,1 ± 4,6b
95,0 ± 16,8a
99,7 ± 19,2a
Deposit lemak (g ekor-1 hari-1)
18,1 ± 6,6a
18,8 ± 5,1a
15,1 ± 4,6a
12,2 ± 4,2b
5,8 ± 4,1c
6,0 ± 3,4c
Deposit protein (g ekor-1 hari-1)
18,4 ± 5,6b
23,2 ± 1,3a
18,2 ± 5,5b
15,8 ± 4,8b
25,3 ± 3,3a
26,6 ± 4,2a
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda (P < 0,05) R1 = Ransum dengan sumber protein utama bungkil kedelai R2 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + urea R3 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk R4 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk + urea R5 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan R6 = Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan + urea
412
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Nilai deposit air tersebut sebanding dengan besarnya kadar air tubuh untuk R1 = 56,3%, R2 = 61,8%, R3 = 55,2%, R4 = 64,2%, R5 = 70,4% dan R6 = 66,0%. Nilai kadar air pada domba yang diberi pakan rumput dan konsentrat maupun sabut sawit dan konsentrat dilaporkan oleh ZAIN (1999) adalah sebesar 57,6% dan SILVA et al. (2005) sebesar 573,3 g/kg sampai 595,2 g/kg hasil pengukuran dari dua bangsa domba yang diberi energi dengan taraf berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kadar air bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi, seperti genetik dan pakan. Pada penelitian ini perbedaan deposit air tubuh juga disebabkan karena perbedaan sumber protein ransum. Deposit lemak tubuh dipengaruhi oleh perbedaan sumber protein ransum (P < 0,05). Domba yang mendapat ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan (R5 dan R6) memiliki deposit lemak lebih rendah, sebaliknya nilai deposit air yang tertinggi. Keduanya memiliki keterkaitan yang erat dimana tubuh dengan kadar air tinggi diikuti dengan kadar lemak yang rendah dan sebaliknya tubuh dengan kadar air rendah diikuti kadar lemak yang tinggi. Deposit lemak yang lebih sedikit pada ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan (R5 dan R6) dapat dijelaskan berdasarkan nilai C2 dan C3 berdasarkan hasil penelitian terdahulu. Pada ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan walaupun proporsi C2 lebih besar diikuti pula dengan proporsi C3 yang besar, seperti terlihat pada rasio C2 : C3 yang rendah, sehingga kelebihan energi tersimpan sebagai otot daging bukan lemak (PUASTUTI et al., 2005). Adanya tambahan tepung ikan mengkontribusi asupan protein by pass untuk mendukung pertumbuhan dan deposit protein tubuh. Hal ini ditunjukkan pula dengan nilai
deposit protein pada ransum R5 dan R6 yang paling tinggi (25,3; 26,6 vs 18,4; 23,2; 18,2; 15,8 g.ekor-1hari-1). Dukungan protein by pass terhadap pertumbuhan otot karkas juga dilaporkan oleh ABDULLAH dan AWADEH (2004) bahwa protein by pass dari bungkil kedelai yang diproteksi formaldehida mampu meningkatkan produksi karkas dibandingkan dengan yang tidak diproteksi. Selain itu jumlah deposit protein lebih banyak dari pada lemak, menunjukkan pertumbuhan yang terjadi adalah penimbunan protein daging bukan lemak, karena domba yang dipergunakan pada penelitian ini masih muda (umur kurang dari satu tahun). Menurut OWENS et al. (1993) dan dengan bertambahnya umur ternak dan asupan energi akan dihasilkan deposit lemak diantara otot (lemak intremuskuler), lapisan bawah kulit (lemak subkutan) dan di antara ikatan serabut otot yaitu lemak intramuskuler (marbling). Pertumbuhan dan deposit protein wool Data pengukuran pertumbuhan dan deposit protein wool disajikan pada Tabel 3. Pertumbuhan maupun deposit protein wool berbeda karena sumber protein ransum (P < 0,05), namun tidak dipengaruhi oleh adanya urea. Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan (R5 dan R6) lebih cepat menghasilkan pertumbuhan maupun deposit protein wool dibandingkan dengan ransum dengan sumber protein utama bungkil kedelai maupun ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + bungkil biji kapuk (R1, R3 dan R4). Tingginya pertumbuhan dan deposit protein wool seiring dengan meningkatnya pasokan protein pakan tahan degradasi rumen dengan kecernaan pascarumen yang tinggi.
Tabel 3. Pengaruh sumber protein ransum terhadap pertumbuhan wool pada domba R1
R2
R3
R4
R5
R6
Pertumbuhan wool (mg mm-2)
Parameter
58,5 ± 5,2b
67,2 ± 10,7a
58,2 ± 10,0b
51,3 ± 5,2b
71,0 ± 27,0a
77,8 ± 12,6a
Deposit protein wool (mg mm-2)
31,4 ± 4,4b
38,2 ± 8,7a
33,5 ± 8,6b
28,6 ± 3,1b
41,2 ± 18,3a
42,9 ± 6,4a
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05)
413
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan memiliki tingkat ketahanan terhadap degradasi rumen tertinggi dan kecernaan protein pascarumen oleh pepsin HCl yang tertinggi pula dibandingkan ransum dengan sumber protein utama bungkil kedelai maupun yang ditambah bungkil biji kapuk (PUASTUTI, 2005). Senada dengan pernyataan HUSTON et al. (1993) bahwa meningkatnya kadar protein tahan degradasi di dalam rumen meningkatkan pertumbuhan wool namun tidak mempengaruhi pertambahan bobot hidup. Hal ini terjadi pada domba merino yang diberi pakan dasar hijauan, maka suplemen protein tepung bulu memacu pertumbuhan wool lebih cepat dibandingkan bungkil kapas (NEUTZE, 1990). Lebih lanjut menurut Reis dan Sahlu (1994) bahwa pertumbuhan rambut/wool membutuhkan sedikit energi tetapi lebih banyak membutuhkan protein terutama asam amino bersulfur sistein dan metionin asal pakan. Laporan QI et al. (1994) menyatakan bahwa protein mikroba tidak mencukupi kebutuhan asam amino bersulfur untuk pertumbuhan rambut atau wool. Pada ransum dengan sumber protein fermentabel, seperti bungkil kedelai maka pasokan protein mikroba akan lebih banyak sehingga kecukupan akan asam amino bersulfur untuk mendukung pertumbuhan wool rendah. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada ransum R2 (sumber protein utama bungkil kedelai + urea), karena pertumbuhan dan deposit protein woolnya tidak berbeda dengan ransum dengan sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perbedaan sumber protein ransum menghasilkan respon deposit protein tubuh dan pertumbuhan wool yang berbedabeda. Campuran sumber protein bungkil kedelai + tepung ikan menghasilkan deposit protein tubuh, air tubuh, pertumbuhan wool dan deposit protein wool yang paling tinggi. Sebaliknya menghasilkan deposit lemak tubuh paling rendah.
414
DAFTAR PUSTAKA ABDULLAH, A.Y. and F.T. AWAWDEH. 2004. The effect of protein source and formaldehyde treatment on growth and carcass composition of Awassi lambs. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 17: 1080 – 1087. HABIB, G, M.M. SIDDIQUI., F.H. MIAN, J. JABBAR and F. KHAN. 2001. Effect of protein supplements of varying degradability on growth rate, wool yield and wool quality in grazing lambs. Small Ruminant. Res. 41: 247 – 256. HUNTINGTON, G., M. POORE, B. HOPKINS and J. SPEARS. 2001. Effect of ruminal protein degradability on growth and N metabolism in growing beef steers. J. Anim. Sci. 79: 533 – 541. HUSTON, J.E., C.A. TAYLOR, C.J .LUPTON and T.D. BROOKS. 1993. Effect of supplementation on intake, growth rate and fleece production by female Angora kids goats grazing rangeland. J. Anim. Sci. 71: 3124 – 3130. MADSEN, J. and T. HVELPLUND. 1985. Protein degradation in the rumen: A comparison between in vivo, nylon bag, in vitro and buffer measurement. Acta Agric. Scand. Suppl. 25: 103 – 125. MCDONALD, P., R.A. EDWARDS, J.F.D. GREENHALG and C.A. MORGAN. 2002. Animal Nutrition. 6th. Ed. Prentice Hall, London, UK. NEUTZE. 1990. in Litherlan, A.J., T. Sahlu, C.A. Toerien, R. Puchala, K.Tesfai and A.L. Goetsch. 2000. Effect of dietary protein source on mohair growth and body weight of yearling angora doelings. Small Ruminant Res. 38: 29 – 35. OWENS F.N., P. DUBESKI and C.F. HANSON. 1993. Factor that alter the growth and development of ruminant. J. Anim. Sci. 71: 3138 – 3150. PUASTUTI, W. 2005. Tolok Ukur Mutu Protein Ransum dan Relevensinya dengan Retensi Nitrogen serta Pertumbuhan Domba. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. QI, K., C.J. LUPTON and E.N. OWENS. 1994. A review of amino acid requirements for fiber growth of sheep and angora goat. Sheep Goat Res. J. 10: 160 – 166.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
REIS, P.J. and T. SAHLU. 1994. The nutritional control of the growth and properties of mohair and wool fibers. A comparative review. J. Anim. Sci. 72: 1899 – 1907. RULE, D.C., R.N. ARNOLD, E.J. HENTGES and D.C. BEITZ. 1986. Evaluation of urea dilution technique of beef steer: Validation and published equation and comparisson with chemical composition. J. Anim. Sci. 63: 1935 – 1946.
STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principle and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York. ZAIN M. 1999. Substitusi Rumput dengan Sabut Sawit dalam Ransum Pertumbuhan Domba: Pengaruh Amoniasi, Defaunasi dan Suplementasi Analog Hidroksi Metionin serta Asam Amino Bercabang. Disertasi. Program Studi Ilmu Ternak, Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SILVA, S.R., M.J. GOMES, A. DIAS-DA-SILVA, L.F. GIL and J.M.T. AZEVEDO. 2005. Estimation in vivo of the body and carcass chemical composition of growing lambs by real-time ultrasonography. J. Anim. Sci. 83: 350 – 35.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Apakah dengan mengukur ketiga deposit (protein, lemak dan air) pada serum dapat menggambarkan komposisi ketiga deposit tersebut di dalam jaringan tubuh secara keseluruhan, mengingat masing-masing organ memiliki konsentrasi yang berbeda-beda? 2. Kenapa tidak diukur pada daging saja? 3. Penambahan bungkil biji kapuk, apakah tidak mempertimbangkan akan kemungkinan adanya senyawa toksik dari biji kapuk seperti gossypol yang dapat menimbulkan gejala heart failure? Domba (pedaging) diketahui sensitif terhadap gossypol selain babi dan sapi. Kalau diperhatikan Tabel 2 dan 3, kelihatannya ada pengaruhnya terhadap deposit protein dan pertumbuhan wool. Begitu pula dengan penambahan formaldehid untuk ransum bungkil kedelai. Jawaban: 1. Pengukuran dilakukan pada plasma bukan serum. Pengukuran ketiga deposit (protein, lemak dan air) melalui metode Ruang Urea (RULE et al., 1986) dapat menggambarkan ketiga deposit untuk keseluruhan tubuh, karena urea (yang memiliki sifat seperti air) memiliki sifat mudah menyebar ke seluruh bagian tubuh, sehingga kadar urea plasma yang terukur sudah pasti mewakili urea tubuh. Perubahan kadar urea plasma sesudah dan sebelum injeksi digunakan untuk menghitung nilai Ruang Urea, yang kemudian digunakan untuk menghitung kadar air tubuh kosong. Dari nilai kadar air tubuh kosong kemudian dapat dihitung kadar lemak tubuh baru kemudian kadar protein tubuh. Metode ini juga sudah divalidasi dengan kadar air, protein dan lemak tubuh ternak yang dipotong dengan nilai korelasi yang tinggi, sehingga komposisi yang diukur adalah mewakili tubuh secara keseluruhan. 2. Penelitian ini sengaja tidak mengukur deposit pada daging saja, karena tujuan penelitian ini adalah mengukur komposisi tubuh ternak hidup untuk memprediksi respn/kondisi tubuh ternak akibat pemberian nutrien yang berbeda dengan metode non invasive dan tidak memotong ternak (ternak tidak dimatikan). 3. Pemakaian bungkil biji masih relatif rendah, jauh dibawah batas aman bagi ternak ruminansia (10 – 15%), sehingga kemungkinan mengalami gangguan ‘failure heart’ tidak terjadi. Penelitian ini hanya melihat tingkat degradasi dan karakteristik beberapa sumber protein yang digunakan, ternyata bungkil biji kapuk paling jelek, sehingga respon terhadap ternak juga paling rendah. Bungkil kedelai yang digunakan tidak diberi perlakuan.
415