KONDISI FISIOLOGIS ITIK MOJOSARI BETINA YANG DIBERI RANSUM BERBEDA-BEDA ( Skripsi )
Oleh
APRI SATRIA PUTRA
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
ABSTRAK
KONDISI FISIOLOGIS ITIK MOJOSARI BETINA YANG DIBERI RANSUM BERBEDA-BEDA
Oleh Apri Satria Putra Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon fisiologis itik mojosari betina yang diberi ransum dengan kandungan nutrisi berbeda-beda. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai September hingga November 2015 bertempat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak serta kandang Laboratorium Terpadu Universitas Lampung. Jumlah itik betina yang digunakan sebanyak 64 ekor dengan 16 petak kandang sehingga setiap petak berisi 4 ekor itik betina. Pengambilan data dilakukan pada seluruh jumlah itik yang ada pada setiap perlakuan. Pengelompokkan itik berdasarkan bobot tubuh. Pada kelompok 1 dengan bobot tubuh (125--150 g), kelompok 2 (151--175 g), kelompok 3 (176--200 g), kelompok 4 (201--225 g). Itik dibagi ke dalam empat perlakuan ransum dengan kandungan nutrisi berbeda yaitu R1, R2, R3, dan R4. Data yang diperoleh dianalisis ragam menggunakan Rancangan Percobaan (RK), apabila pada analisis ragam diperoleh hasil nyata maka akan diuji lanjut menggunakan uji Duncan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan kandungan nutrisi yang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap respon fisiologis itik mojosari betina. Kata kunci : Itik mojosari betina, ransum, nutrisi, respon fisiologis.
ABSTRACT
PHYSIOLOGICAL CONDITION OF FEMALE MOJOSARI DUCK WERE GIVEN RATIONS DIFFERENT
By Apri Satria Putra This study aims to investigate the physiological responses mojosari duck females who were given rations with different nutrient content. This study was conducted over three months from September to November 2015 held at the Laboratory of Animal Nutrition and Feed and enclosure Integrated Laboratory of the University of Lampung. Number of female ducks used as many as 64 birds and a cage 16 plots so that each plot contained 4 female ducks. Data were collected on the total number of ducks that exist in each treatment. Grouping ducks by weight. In the first group with body weight (125-150 g), group 2 (151-175 g), group 3 (176-200 g), group 4 (201225 g). Ducks were divided into four treatment diets with different nutrient content, namely R1, R2, R3, and R4. Data were analyzed using a variance, randomized block design (RAK). Based on the results of this study concluded that ration with different nutrient content was not significant (P> 0.05) against mojosari duck female physiological responses. Keywords: (female mojosari ducks , rations, nutrition, physiological responses).
KONDISI FISIOLOGIS ITIK MOJOSARI BETINA YANG DIBERI RANSUM BERBEDA-BEDA Oleh APRI SATRIA PUTRA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN Pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Gedung Harapan, Kabupaten Way Kanan pada 24 April 1993, sebagai putra kedua dari enam bersaudara pasangan Bapak Kornila dan Ibu Anwariyah.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negri Gedung Harapan pada 2005, Sekolah Menengah Pertama Negeri 22 Bandar Lampung pada 2008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 17 Bandar Lampung pada 2011. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung pada 2011, melalui jalur Ujian Mandiri. pada Juli sampai Agustus 2014 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Feedlot PT. Juang Jaya Abdi Alam, Desa Kota Dalam / Sukabanjar, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten Lampung Selatan. Selanjutnya, Pada Januari hingga Maret 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Negara Tama, Kecamatan Pakuan Ratu, Kabupaten Way Kanan. Selama masa studi, penulis aktif sebagai pengurus di Himpunan Mahasiswa Peternakan (HIMAPET) Fakultas Pertanian sebagai Anggota Bidang I Pendidikan dan Pelatihan periode kepengurusan 2012/2013.
Untuk segala Cinta, Kasih dan Penantian dengan Setulus hati kupersembahkan karya kecil ini untuk orang-orang yang berarti dalam kehidupanku, Allah SWT yang telah mencurahkan ridho dan karunia-Nya, junjungan Nabi Muhammad SAW atas tuntunannya.
Ayahanda Kornila dan Ibunda tercinta Anwaryah, serta Kakak dan Adikadikku Ego, Titah, Yunda, Tara, dan Laras yang senantiasa berdoa dan memberi semangat untuk keberhasilanku
Teriring do’a untuk Ayahanda dan Ibunda tercinta. Semoga Allah SWT kelak menempatkan keduanya dalam jannah-Nya.
Untuk keluarga besarku dan sahabat-sahabat kupersembahkan penghormatan dan baktiku.
Almamater tercinta yang telah mendewasakanku dalam bertindak dan berfikir.
“Empat rumus besar untuk mendapakan kebahagiaan: teman-teman yang baik, usaha yang penuh semangat, ilmu yang terus bertambah, dan selalu bersyukur” (Apri Satria Putra)
“Ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta” (Albert Einstein)
“Engkau tidak dapat meraih ilmu kecuali dengan enam hal: Cerdas, Selalu ingin tahu, punya bekal dalam menuntut ilmu, bimbingan dari guru, dan dalam waktu yang lama” (Ali Bin Abi Thalib)
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Qs. Al Mujadilah : 11)
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Rudy Sutrisna, M. S., selaku Pembimbing Utama atas bimbingan, kesabaran, pengarahan, motivasi terbaik, dan ilmu yang diberikan selama masa studi dan penyusunan skripsi; 2. Bapak drh. Purnama Edy Santosa, M. Si., selaku Pembimbing Anggota atas ide, bimbingan, saran, nasehat, dan ilmu yang diberikan selama masa studi dan penyusunan skripsi; 3. Ibu Dr. Ir. Farida Fathul, M. Sc., selaku Pembahas atas saran, nasihat, dan ilmu yang diberikan serta bantuan untuk perbaikan penulisan skripsi; 4. Ibu Dian Septinova S,Pt., M.T. A., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan semangat dan bimbingan sejak awal perkuliahan sampai penyelesaian skripsi; 5. Ibu Sri Suharyati S,Pt., M.P., selaku Ketua Jurusan Peternakan atas izin dan bimbingannya; 6. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung atas izin yang telah diberikan;
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhtarudin, M.S., dan seluruh Dosen Jurusan Peternakan atas ide, bimbingan, motivasi dan ilmu yang diberikan selama masa studi; 8. Mbak Tari dan Mas Agus atas bantuan, fasilitas selama kuliah, selama penelitian dan penyusunan skripsi; 9. Bapak, Ibu, Ego, Titah, Yunda, Tara, dan Laras, beserta keluarga besarku atas semua kasih sayang, nasehat, kesabaran, motivasi, dukungan, dan keceriaan di keluarga serta doa tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis; 10. Bayu, Roni, Riawan, Wanda, Yeni, Isnaini, dan Rani sahabat seperjuangan saat penelitian atas kerjasama, dorongan semangat, dan rasa persaudaraan yang diberikan; 11. Ali, Sakroni, Tio, Okta, Feri, Haykal, Edwin, Arie, Putu, Aji, Restu, Dimas, Rahmat, Riki, Gusma dan seluruh teman-teman PTK’11 yang tidak dapat dituliskan namanya satu persatu atas doa, kenangan, perhatian, semangat, kebersamaan, dan bantuannya selama ini. Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat dari Allah SWT, dan penulis berharap karya ini dapat bermanfaat. Amin.
Bandar Lampung, 22 Juni 2016 Penulis
Apri Satria Putra
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL .....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
v
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian.............................................................................
3
1.3. Kegunaan Penelitian........................................................................
3
1.4. Kerangka Pemikiran .......................................................................
3
1.5. Hipotesis .........................................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Mojosari ..................................................................................
7
2.2. Ransum Itik ....................................................................................
9
2.3. Proses Pencernaan Itik ..................................................................
10
2.4. Respon Fisiologis...........................................................................
13
2.4.1. Frekuensi pernafasan .........................................................
14
2.4.2. Frekuensi denyut jantung ...................................................
15
2.4.3. Temperatur rektal……………………...............................
16
i
III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................
18
3.2. Bahan dan Alat Penelitian..............................................................
18
3.2.1. Alat penelitian ....................................................................
18
3.2.2. Bahan penelitian.................................................................
18
3.3. Prosedur Penelitian ........................................................................
19
3.3.1.
Persiapan kandang dan tata letak penelitian ......................
19
3.3.2.
Persiapan ransum ...............................................................
20
3.3.3.
Pemeliharaan dan pemberian perlakuan………………….
20
3.4. Peubah yang Diamati .....................................................................
22
3.4.1. Frekuensi pernafasan .........................................................
22
3.4.2. Frekuensi denyut jantung ...................................................
22
3.4.3. Temperatur rektal...............................................................
22
3.5. Metode Penelitian ..........................................................................
23
3.5.1. Rancangan penelitian ........................................................
23
3.5.2. Analisis data.......................................................................
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
24
4.1. Frekuensi Pernapasan..................................................................
24
4.2. Frekuensi Denyut Jantung...........................................................
28
4.3. Suhu Rektal .................................................................................
30
V. SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
33
5.1. Simpulan .....................................................................................
33
5.2. Saran ..........................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................
34
LAMPIRAN.............................................................................................
39
ii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Kebutuhan nutrisi itik dari periode pertumbuhan hingga produksi telur….... 10 2. Kisaran normal respirasi beberapa ternak .............................................……... 15 3. Kisaran denyut jantung pada berbagai hewan ternak………………....……... 16 4. Kandungan nutrisi bahan pakan………………………… ...................…….. 20 5. Komposisis ransum perlakuan ..............................................................…….. 21 6. Kandungan nutrisi dalam ransum perlakuan ...………... ………………….... 21 7. Rata-rata frekuensi pernapasan itik percobaan ……. ……..………….. …..... 24 8. Rata-rata denyut jantung itik percobaan …………...……………………… .. 29 9. Rata-rata suhu rektal itik percobaan ………………………………………..... 31 10. Rata-rata frekuensi pernapasan itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 50 hari…………………………….…. 40 10. Rata-rata frekuensi pernapasan itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 57 hari………………………………. . 41 11. Rata-rata frekuensi pernapasan itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 64 hari……………………………….. 42 12. Rata-rata frekuensi pernapasan itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 71 hari………………………………... 43 13. Rata-rata frekuensi pernapasan itik percobaan…………………………...
44
14. Analisis ragam frekuensi pernapasan itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda …… …………………………………….. 44
iii
15. Rata-rata denyut jantung itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 50 hari……………………………….. 45 16. Rata-rata denyut jantung itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 57 hari……………………………….. 46 17. Rata-rata denyut jantung itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 64 hari……………………………….. 47 18. Rata-rata denyut jantung itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 71 hari……………………………….. 48 19. Rata-rata frekuensi denyut jantung itik percobaan………………………
49
20. Analisis ragam denyut jantung itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda …………………………………………………… 49 21. Rata-rata suhu rektal itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 50 hari……………………………………….. 50 22. Rata-rata suhu rektal itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 57 hari……………………………………….. 51 23. Rata-rata suhu rektal itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 64 hari……………………………………….. 52 24. Rata-rata suhu rektal itik mojosari betina yang diberi ransum dengan nutrisi berbeda pada umur 71 hari……………………………………….. 53 25. Rata-rata suhu rectal itik percobaan……………………………………..
54
26. Analisis ragam suhu rektal itik mojosari betinayang diberi ransum dengan nutrisi berbeda …………………………………………………… 54 27. Pola suhu dan kelembapan harian dikandang selama penelitian………… 55 28. Tabel suhu dan kelembapan…………………………………………….... 57
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Tata letak penelitian………………………………………………….
19
2. Pola suhu dan kelembapan harian di kandang penelitian.....................
54
v
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah Pada era globalisasi saat ini, masyarakat mulai menyadari pentingnya mengkonsumsi protein hewani terutama unggas. Hal ini, seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat yakni pada tahun 2011 berjumlah 241.991juta jiwa, 2012 berjumlah 245.425 juta jiwa, 2013, berjumlah 248.818 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2015), menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan produk perternakan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan pangan protein nasional.
Produk perternakan merupakan sumber protein yang memenuhi sebagian besar kebutuhan protein masyarakat selain ikan serta protein nabati. Salah satu produk perternakan yang digemari oleh masyarakat ialah itik. Itik merupakan salah satu ternak yang dapat dijadikan sumber protein hewani alternatif baik telur maupun dagingnya, untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat selain daripada protein hewani dari ayam yang sudah lebih dulu digemari masyarakat.
Itik Mojosari merupakan salah satu itik lokal petelur unggul yang berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Itik ini produksinya lebih tinggi dari pada itik Tegal. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik dilingkungan tradisional maupun intensif
2 Bentuk badan itik Mojosari relatif lebih kecil dibandingkan dengan itik petelur lokal lainnya, tetapi telurnya cukup besar, enak rasanya dan digemari konsumen.
Itik Mojosari betina yang berada di pedesaaan dipelihara seadanya dan diberi pakan dari sisa-sisa makanan keluarga peternak, meskipun diketahui ransum merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan ternak dan memengaruhi produk akhir ternak tersebut.
Jenis ransum yang diberikan akan memengaruhi produksi yang dihasilkan karena penggunaan ransum dengan tingkatan yang berbeda memiliki kandungan nutrisi yang berbeda pula sehingga akan berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. Kandungan ransum harus diperhatikan terutama kandungan nutrisi dalam ransum dan itik memiliki kemampuan yang cukup baik untuk mencernanya.
Perbedaan kandungan nutrisi dalam ransum akan memengaruhi proses metabolisme didalam tubuh sehingga akan berpengaruh pada energi yang dihasilkan. Kecukupan energi sangat penting diperhatikan karena seluruh aktivitas itik dipengaruhi oleh jumlah energi yang diperoleh dari ransum. Aktivitas itik yang tampak dapat diukur yaitu aktivitas fisiologis tubuh yang meliputi frekuensi pernafasan, denyut jantung dan suhu rektal.
Sampai saat ini belum di ketahui pengaruh kandungan nutrisi dalam ransum hubungannya dengan respon fisiologis yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelitian mengenai pemberian kandungan nutrisi dalam ransum itik lokal Mojosari yang berbeda terhadap respon fisiologis selama periode pertumbuhan.
3 1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengetahui respon fisiologis itik Mojosari betina yang diberi ransum dengan kandungan nutrisi berbeda-beda; (b) mengetahui respon fisiologis itik Mojosari betina yang terbaik yang diberi ransum dengan kandungan nutrisi berbeda-beda.
1.3. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para praktisi dan peneliti tentang kandungan protein yang paling baik dalam ransum terhadap respon fisiologis yang dihasilkan.
1.4. Kerangka Pemikiran
Itik Mojosari merupakan salah satu itik lokal petelur unggul yang berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Itik ini produksinya lebih tinggi daripada itik Tegal. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik pada lingkungan tradisional maupun intensif. Namun, yang menjadi permasalahan dipeternakan tradisional yaitu pemberian ransum pada itik yang tidak memerhatikan kebutuhan nutrien itik dalam ransum.
Wahju (1992) menyatakan bahwa kandungan nutrien masing-masing bahan penyusun ransum perlu diketahui sehingga tujuan penyusunan ransum dan kebutuhan nutrien untuk setiap periode pemeliharaan dapat tercapai. Amrullah
4 (2003) menambahkan bahwa penyusunan ransum itik petelur maupun pedaging memerlukan informasi mengenai kandungan nutrien dari bahan-bahan penyusun, sehingga dapat mencukupi kebutuhan nutrien dalam jumlah dan persentase yang diinginkan. Nutrien tersebut adalah energi, protein, serat kasar, kalsium (Ca) dan fosfor (P).
Sumber energi utama yang terdapat pada ransum itik adalah karbohidrat dan lemak. Energi metabolisme yang diperlukan itik berbeda, sesuai tingkat umurnya, jenis kelamin dan cuaca. Wahju (1992) menyatakan bahwa energi yang dikonsumsi oleh itik digunakan untuk pertumbuhan jaringan tubuh, produksi, menyelenggarakan aktivitas fisik dan mempertahankan temperature tubuh yang normal. Sinurat (2000) menambahkan bahwa kebutuhan energi untuk itik periode starter 3.100 kkal/kg ransum pada tingkat protein 17-20%, sedangkan periode grower 2.700 kkal/kg ransum pada tingkat protein 15-18%. Rizal (2006) menyatakan bahwa angka kebutuhan energi yang absolut tidak ada karena unggas dapat menyesuaikan jumlah rasnsum yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi bagi tubuhnya.
Menurut SNI (2008), kandungan protein dalam ransum untuk itik umur 0-8 minggu adalah 18% dan untuk itik umur 9-20 minggu adalah 15%. Kebutuhan protein untuk itik yang sedang bertumbuh relatif lebih tinggi karena untuk memenuhi tiga macam kebutuhan yaitu untuk pertumbuhan jaringan, hidup pokok dan pertumbuhan bulu (Wahju, 1992). Rasyaf (1992) menyatakan bahwa kebutuhan energi metabolis berhubungan erat dengan kebutuhan protein yang mempunyai peranan penting pada pertumbuhan itik selama masa pertumbuhan.
5 Sinurat (2000) menyatakan bahwa penggunaan serat kasar dalam ransum itik adalah sebesar 7%. Menurut Wahju (1992), persentase serat kasar yang dapat dicerna oleh ternak unggas sangat bervariasi. Efeknya terhadap penggunaan energi sangat kompleks. Serat kasar yang tidak tercerna dapat membawa nutrien lain yang keluar bersama feses.
Anggorodi (1994) menambahkan bahwa kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam alat pencernaan. Menueut Rizal (2006), ternak itik lebih baik memanfaatkan serat kasar sebagai sumber energi dibandingkan ayam, Serat kasar ini masih dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh unggas yang berperan sebagai bulky, yaitu untuk memperlancar pengeluaran feses. Lebih lanjut Anggorodi (1994) menyatakan bahwa serat kasar yang berlebihan akan mengurangi efisiensi penggunaan nutrien-nutrien lainnya, sebaliknya apabila serat kasar yang terkandung dalam ransum terlalu rendah, maka hal ini juga membuat ransum tidak dapat dicerna dengan baik.
Kebutuhan itik (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan itik (grower) adalah 0,6%, sedangkan kebutuhan itik akan fosfor (P) bervariasi dari 0,40-0,60% dalam ransum (Rizal, 2006). Murtidjo (1987) menambahkan bahwa ransum ternak unggas perlu mengandung mineral Ca dan P dalam jumlah yang cukup. Peranan Ca dalam tubuh ternak unggas tercermin jelas bahwa 70-80% tulang ternak terdiri atas Ca dan P. Rizal (2006) menyatakan bahwa Ca dan P adalah mineral esensial, dan keduanya saling berhubungan erat dalam proses biologis ternak unggas. Rasyaf (1994) menambahkan bahwa nisbah Ca dan P antara
6 1:1 - 2:1. Apabila nisbahnya tidak tepat selanjutnya dapat mempengaruhi penyerapannya.
Ransum merupakan porsi biaya terbesar (70%) dalam usaha peternakan unggas, ransum yang baik adalah ransum yang mengandung gizi yang dibutuhkan oleh ternak unggas sesuai dengan jenis dan bangsa unggas, umur, bobot badan, jenis kelamin, dan fase produksi. Informasi kebutuhan gizi ternak unggas sangat dibutuhkan dalam upaya formulasi ransum komplit yang memenuhi standar kebutuhan gizi ternak unggas. Ransum yang baik berasal dari campuran bahan pakan yang baik, mengandung gizi yang dibutuhkan unggas, bersih, tidak jamuran, tidak basi, relatif murah, dan unggas senang memakannya (palatable).
Pemberian ransum yang tidak memerhatikan kebutuhan nutrien ternak dapat menyebabkan proses metabolisme semakin lama yang dapat mengganggu kerja homeotermis sehingga akan terjadi ketidakstabilan respon fisiologis. Ketidakstabilan fisiologis ini dapat memengaruhi produksi itik. Respon fisiologis dapat diukur dengan melakukan pengukuran terhadap frekuensi nafas, frekuensi denyut jantung, dan suhu rektal. 1.5. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah a) ransum dengan kandungan nutrisi berbeda berpengaruh terhadap respon fisiologis Itik Mojosari betina; b) ransum 4 memberikan pengaruh terbaik terhadap respon fisiologis itik mojosari betina.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Mojosari Itik dikenal juga dengan istilah Itik (bahasa Jawa). Nenek moyangnya berasal dari Amerika Utara merupakan itik liar ( Anas moscha) atau Wild mallard. Terus menerus dijinakkan oleh manusia hingga jadilah itik yang diperlihara sekarang yang disebut Anas domesticus (ternak itik). Keberhasilan peternakan sangat ditentukan oleh faktor pemeliharaan yang baik, bibit, dan pakan.
Secara internasional ternak itik terpusat di negara-negara Amerika utara, Amerika Selatan, Asia, Filipina, Malaysia, Inggris, Perancis (negara yang mempunyai musim tropis dan subtropis). Sedangkan di Indonesia ternak itik terpusatkan di daerah pulau Jawa (Tegal, Brebes dan Mojosari), Kalimantan (Kecamatan Alabio, Kabupaten Amuntai) dan Bali serta Lombok.
Klasifikasi (penggolongan) itik, menurut tipenya dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu: (a) Itik petelur seperti Indian Runner, Khaki Campbell, Buff (Buff Orpington); (b) Itik pedaging seperti Peking, Rouen, Aylesbury, Muscovy, Cayuga; (c).Itik ornamental (itik kesayangan/hobby) seperti East India, Call (Grey Call), Mandariun, Blue Swedish, Crested, Wood. Jenis bibit unggul yang diternakkan, khususnya di Indonesia ialah jenis itik petelur seperti Itik Tegal, itik Khaki
8 campbell, itik Alabio, itik Mojosari,itik Bali, dan itik-itik petelur lainnya yang merupakan produk dari BPT (Badan Penelitian Ternak) Ciawi, Bogor.
Itik merupakan ternak unggas penghasil telur dan daging yang potensial, sehingga dalam perkembangannya diharapkan dapat menjadi salah satu alternative komoditas ternak unggas untuk memenuhi kebutuhan protein asal hewani. Pemberian nama itik biasanya disesuaikan dengan lokasi/tempat pengembangan nya. Itik Mojosari dan itik di Indonesia pada umumnya adalah domestikasi dari itik liar/Mallard keturunan Indian runner, yang masih mampu bertahan dengan bulu “sex feather” (Srigandono, 1997).
Itik Mojosari merupakan salah satu itik lokal petelur unggul yang berasal dari Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Itik ini produksinya lebih tinggi dari pada itik Tegal. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik pada lingkungan tradisional maupun intensif. Bentuk badan itik Mojosari relatif lebih kecil dibandingkan dengan itik petelur lokal lainnya, tetapi telurnya cukup besar, enak rasanya dan digemari konsumen.
Ciri spesifik Itik Mojosari : warna bulu coklat kemerahan dengan beberapa variasi baik jantan maupun betina. Itik Mojosari jantan memiliki beberapa helai bulu ekor yang melengkung ke atas, warna kaki dan paruhnya lebih hitam daripada itik Mojosari betina. Warna bulu itik jantan lebih hitam daripada betina terutama di bagian kepala, leher, dada, dan ekor (Anonymous, 2007).
9 2.2. Ransum Itik Ransum adalah pakan yang diberikan kepada ternak tertentu selama 24 jam, pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali selama 24 jam tersebut. Ransum yang sempurna merupakan kombinasi beberapa bahan pakan yang apabila dikonsumsi secara normal dapat disuplai zat-zat pakan ternak dalam perbandingan jumlah, bentuk sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh dapat berjalan secara normal (Parakkasi, 1983).
Ransum merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha peternakan selain faktor genetik dan manajemen peternakan itu sendiri. Pemberian ransum yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak baik jumlah maupun mutunya akan menyebabkan penampilan produksi yang tidak sesuai dengan potensi genetiknya. Nilai potensial sesuatu ransum antara lain ditentukan oleh komposisi kimia yang terkandung di dalamnya, di samping harga, ketersediaan dan aspek pemberian ransum tersebut terhadap penampilan produksi ternak (Haroen, 1994).
Jumlah terbesar dari pembiayaan dalam peternakan itik adalah biaya ransum, berkisar 50 sampai 75 persen dari seluruh pembiayaan (Wibowo, 1989). Ransum mempunyai peranan yang sangat penting pada kehidupan ternak, yaitu untuk mempertahankan hidup, pertumbuhan dan produksi. Ransum itik prinsipnya tidak berbeda dengan ransum ayam, hanya saja pemberiannya lebih banyak (Lubis, 1963). Perbedaannya terletak pada kadar protein dalam ransum yang relatif lebih tinggi (Wahju, 1985).
Bahan-bahan ransum untuk itik biasanya terdiri dari jagung kuning, dedak halus, bungkil kacang kedele, bungkil kelapa, tepung ikan dan bahan-bahan ransum lain
10 yang menjadi sumber protein dan energi (Wahju, 1985). Anak itik sebaiknya diberi ransum berkadar protein 22 persen, selama dua minggu pertama, sesudah itu kadar protein harus diturunkan menjadi 16 persen sampai anak itik siap dipasarkan. Ransum berkadar protein lebih tinggi dapat digunakan bila dikehendaki pertumbuhan lebih cepat, karena ransum berenergi tinggi cenderung menyebabkan penimbunan lemak terlalu banyak, ransum demikian tidak dianjurkan (Anggorodi, 1995).
Ransum itik dapat diberikan dalam bentuk pellet ataupun bentuk halus, pellet harus diberikan secara kering sedangkan yang bentuk halus dapat diberikan dalam bentuk kering atau basah (Wahju, 1992). Ransum itik pada umunya diberikan agak basah. Air perlu ditambahkan ke dalam ransum untuk membuat bahan ransum saling melekat, akan tetapi ransum tidak boleh begitu basah sehingga menjadi becek, karena itik menyukai ransum yang lengket (Anggorodi, 1995). Kebutuhan nutrien untuk itik dibagi menjadi 3 periode pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan nutrisi itik dari periode pertumbuhan hingga produksi telur. Gizi Kadar air (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak kasar (%) Abu (%) Energy (kkal EM/kg) Lisin (%) Metionin (%) Metionin + sistin (%) Ca (%) P tersedia (%) P total
Starter (0-8 minggu) (maks. 14,0)** 17-20*(min 18)** (maks. 7)** (maks. 7)** (maks. 8)** 3.100*(min 2.700)** 1.05*(min. 0.90)** 0.37*(min. 0.40)** (min. 0.60)** 0.6-1.0*(0.90-1.20)** 0.6*(min. 0.40)** (0.60-1.00)**
Sumber: *) Sinurat (2000); **) SNI (2008)
Grower (9-20 minggu) (maks. 14,0)** 15-18*(min 14)** (maks. 7)** (maks. 8)** (maks. 8)** 2.700*(min 2.600)** 0.74*(min. 0.65)** 0.29*(min. 0.30)** (min. 0.50)** 0.6-1.0*(0.90-1.20)** 0.6*(min. 0.40)** (0.60-1.00)**
11 2.3. Proses Pencernaan Itik Pencernaan adalah serangkaian proses yang terjadi didalam saluran pencernaan yaitu memecah ransum menjadi bagian-bagian atau partikel-partikel yang lebih kecil dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana hingga larut dan dapat diabsorbsi lewat dinding saluran pencernaan untuk masuk ke dalam peredaran darah atau getah bening, yang selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh yang membutuhkannya atau untuk disimpan didalam tubuh (Kamal, 1994).
Alat-alat pencernaan pada itik, mencakup : (a). Mulut yang terdiri atas paruh dan ruang paruh serta lidah. Ransum yang masuk oleh pergerakan lidah didorong masuk ke dalam pharynx, yang kemudian ditelan. Ransum yang terapung-apung di air ditelan dengan bantuan alat penyaringan yang berupa lamella pararel, (b). Pharynx, proses menelan pada ternak itik tidak bersifat periltastik karena itik tidak memiliki palat yang halus dan muskulus konstriktor pada pharynxnya, (c). Esophagus, ransum masuk ke esophagus semata-mata oleh adanya gravitasi (gaya berat) ransum dan karena tekanan yang lebih rendah di dalam ruang esophagus oleh leher yang dijulurkan ke atas. Demikian juga halnya dengan proses menelan air, (d). Crop, merupakan pelebaran dari dinding esophagus, pada itik dan unggas air pada umumnya, crop tidak berkembang sempurna, tidak seperti pada ayam atau burung-burung pemakan rumput. Crop semata-mata berfungsi sebagai penampung sementara bagi ransum, (e). Perut, terdiri atas perut kelenjar (proventrikulus) dan perut muskular (ventrikulus), sebagai alat penghancur ransum, (f). Usus halus (Intestine) terdiri atas duodenum sepanjang antara 22 sampai 38 cm, jejenum sepanjang 105 cm dan ileum sepanjang 15 cm,
12 (g). Kolon, terdapat dua seka yang masing-masing panjangnya 10 sampai 20 cm, (h). Rectum, (i). Kloaka (Srigandono, 1997).
Unggas mengambil ransumnya dengan paruh dan kemudian terus ditelan, ransum tersebut disimpan dalam tembolok untuk dilunakkan dan dicampur dengan getah pencernaan proventrikulus kemudian digiling dalam empedal (Anggorodi, 1985). Tembolok pada unggas terutama untuk menyimpan ransum sebelum masuk proventrikulus (Kamal, 1994).
Ransum masuk kedalam empedal untuk dihancurkan secara mekanik dengan adanya grit sehingga ransum menjadi bentuk pasta yang dapat masuk ke dalam usus halus (Kamal, 1994). Ransum dari empedal bergerak melalui lekukan usus yang disebut duodenum, yang secara anatomis sejajar dengan pankreas. Pankreas menghasilkan getah pankreas dalam jumlah banyak yang mengandung enzymenzym amilolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzym-enzym tersebut berturut-turut menghidrolisa pati, lemak, proteosa dan pepton (Anggorodi, 1985).
Usus halus menghasilkan getah usus yang mengandung erepsin dan beberapa enzym yang memecah gula. Erepsin menyempurnakan pencernaan protein dan menghasilkan asam-asam amino, enzym yang memecah gula menjadi disakarida kedalam gula-gula sederhana (monosakarida) kemudian dapat diasimilasi tubuh (Anggorodi, 1985). Absorbsi hasil pencernaan ransum terjadi sebagian besar dalam usus halus (Tillman et al., 1991).
Hasil dari pencernaan yang tidak di absorbsi selanjutnya masuk ke usus besar. Oleh karena itu, tiap pencernaan yang terjadi di dalamnya terdapat sisa-sisa
13 kegiatan pencernaan oleh enzym dari usus halus. Jasad renik di usus besar dan sekum menghasilkan enzym yang berperan mensintesa vitamin B dan sebagian ada yang diabsorbsi kedalam tubuh. Namun, kebanyakan hasil pencernaan diusus halus diekskresikan melalui feses, jadi sintesanya dalam usus besar tidak penting bagi hewan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Tillman et al., 1991).
2.4. Respon Fisiologis Itik Mojosari adalah hewan homeotermis, berarti suhu tubuh konstan meskipun suhu lingkungan berubah-ubah. Homeostatis adalah mekanisme pengaturan suhu tubuh unggas agar senantiasa tetap. Organ penting sebagai pusat pengaturan suhu tubuh adalah hypothalamus. Sifat homeotermis pada unggas menyebabkan jumlah panas yang dihasilkan oleh aktivitas otot dan metabolisme jaringan sebanding dengan kehilangan panas karena lingkungan (Sulistyoningsih, 2004).
Kondisi cekaman panas pada itik akan meningkatkan produksi Adenokortikotropik Hormone (ACTH) oleh kelenjar pituitari pada otak. Salah satu efek dari tingginya kadar hormon ini adalah menurunnya metabolisme tubuh secara umum (Sulistyoningsih, 2004).
Pengukuran terhadap parameter fisiologis yang biasa dilakukan di lapangan tanpa alat-alat laboratorium adalah pengukuran respirasi, detak jantung, dan suhu rektal. Itik Mojosari betina mempunyai variasi suhu normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang siang dan malam, dan faktor makanan yang dikonsumsi.
14 Kemampuan mempertahankan suhu tubuh dalam kisaran yang normal merupakan kegiatan yang sangat memengaruhi reaksi biokimiawi dan proses fisiologis erat kaitannya dengan metabolisme tubuh unggas (Latipudin, 2011). Unggas tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui penguapan air (evaporasi) pada kulit dan saluran pernapasan dengan cara panting (Hoffman et al., 1999).
2.4.1. Frekuensi pernapasan Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengetahui fungsi organ-organ tubuh bekerja secara normal. Respirasi adalah semua proses kimia maupun fisika dimana organisme melakukan pertukaran udara dengan lingkungannya. Sistem respirasi disebut juga sistem pulmoner karena yang dimaksud hanyalah struktur yang terlihat dalam pertukaran gas atau sistem external. Respirasi pada unggas digunakan juga sebagai media untuk pembuangan panas. Respirasi bergantung pada pergerakan udara ke dan dari paru-paru (Frandson, 1992).
Respirasi menyangkut dua proses, yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Terjadinya pergerakan karbondioksida kedalam udara alveolar ini disebut respirasi eksternal. Respirasi internal dapat terjadi apabila oksigen berdifusi ke dalam darah. Respirasi eksternal tergantung pada pergerakan udara kedalam paru-paru (Frandson, 1992).
Paru-paru yang normal akan menghasilkan bunyi yang disebut murmur vesikuler, paru-paru yang tidak normal dapat menimbulkan suara keras yang disebut rales atau tidak menimbulkan suara sama sekali bergantung pada kondisinya. Respirasi
15 dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu respon fisiologis akibat perubahan temperatur lingkungan, suhu tubuh, ukuran tubuh (Smith, 1988). Kisaran normal respirasi pada beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran normal respirasi beberapa ternak No Spesies 1. Sapi 2. Kambing 3. Domba 4. Kelinci 5. Unggas Sumber : (Smith, 1988).
Kisaran respirasi (kali/menit) 24-42 26-54 26-32 25-27 20-35
2.4.2. Frekuensi denyut jantung Pulsus atau gelombang pulsus merupakan gelombang yang terjadi akibat naiknya tekanan sistole mulai dari jantung dan kemudian menjalar sepanjang arteri dan kapiler. Kumpulan hewan besar kurang di banding hewan kecil karena metabolisme pada hewan yang bertubuh kecil semakin tinggi. Pada suhu lingkungan tinggi denyut jantung meningkat. Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan respirasi yang menyebabkan meningkatnya aktivitas otot-otot respirasi, sehingga dibutuhkan darah lebih banyak untuk mensuplai O2 dan nutrien melalui aliran darah dengan jalan peningkatan denyut jantung (Ridho, 2013). Secara umum, kecepatan denyut jantung yang normal cenderung besar pada hewan kecil dan kemudian semakin lambat dengan besarnya ukuran hewan. Anak ayam umur sehari yang dijatuhkan, jantungnya dapat berdenyut lebih cepat, mencapai 560 kali/menit (Nesheim et al., 1979). Kisaran normal denyut jantung pada beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 3.
16 Tabel 3. Kisaran denyut jantung pada berbagai hewan ternak. No Spesies 1. Sapi 2. Kambing 4. Kelinci 5. Unggas Sumber : (Smith, 1988).
Kisaran Denyut Jantung (kali/menit) 60-70 70-135 123-304 180-450
2.4.3. Suhu rektal Suhu tubuh merupakan indikator fisiologis yang mudah diperoleh yaitu dengan cara mengukur suhu tubuh pada bagian rektum. Temperatur rektal digunakan sebagai ukuran temperatur suhu tubuh karena pada suhu rektum merupakan suhu yang optimal. Temperatur rektal pada ternak dipengaruh beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan. Ini sesuai dengan pernyataan Frandson (1992), bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi suhu tubuh antara lain bangsa ternak, aktivitas, kondisi kesehatan ternak, dan kondisi lingkungan ternak. Indeks suhu dalam tubuh hewan lebih mudah didapat dengan cara memasukkan thermometer ke dalam rektal, meskipun suhu rektal tidak selalu menggambarkan rata-rata suhu dalam tubuh., produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung bergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan makanan dalam saluran pencernaan.
Temperatur tubuh pada unggas berkisar antara 39--41,5 ºC, pada suhu kurang dari 80 ºF, pembuangan panas tubuh dilakukan dengan radiasi, konveksi, konduksi, dan seluruh permukaan tubuh ayam. Temperatur udara lingkungan lebih dari 80ºF pembuangan panas dilakukan dengan penguapan air lewat saluran pernafasan yang dilakukan secara cepat (Yuwanta, 2000). Selain itu menurut Yousef (1985), produksi panas yang berlebihan akan meningkatkan suhu tubuh
17 dan menyebabkan kematian bila suhu tubuh terlalu tinggi, sedangkan produksi panas yang terlalu rendah akan mengakibatkan ternak tidak mampu bertahan terhadap dinginnya udara luar.
Sumaryadi dan Budiman (1986) menyatakan bahwa suhu tubuh adalah manifestasi dalam usaha untuk mencapai keseimbangan antara panas yang diproduksi tubuh dan yang dibuang ke lingkungan. Antara suhu tubuh dengan suhu lingkungan terjadi suatu keseimbangan yang memungkinkan berlangsungnya setiap reaksi biokimia yang terjadi didalam tubuh.
17
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan mulai September hingga November 2015 bertempat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak serta kandang Laboratorium Terpadu Universitas Lampung.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1. Alat penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : besi dan jaring untuk membuat sekat-sekat pada kandang; thermometer digital untuk mengukur suhu rektal; stetoscope untuk mengukur frekuensi denyut jantung; counter number untuk mengukur frekuensi pernapasan; tempat ransum sebanyak 16 buah; tempat air minum berbentuk tabung 16 buah; bak air 2 buah; hand sprayer; thermohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembapan udara kandang; alat tulis dan kertas untuk mencatat data yang diperoleh.
3.2.2. Bahan penelitian Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Itik yang digunakan pada penelitian ini adalah itik Mojosari betina yang diproduksi oleh CV. Eko Jaya sebanyak 64 ekor.
19 b. Ransum Ransum yang digunakan adalah ransum perlakuan yang dibuat berbentuk crumble (terbuat dari jagung giling halus, dedak halus, ampas tahu, minyak, molases, tepung ikan, lisin, metionin, dan mineral) yang memiliki kandungan nutrisi berbeda-beda disajikan pada tabel 4 dan akan diberikan pada itik ketika berumur 15--71 hari.
3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Persiapan kandang dan tata letak penelitian Kandang yang digunakan dalam penelitian adalah kandang postal dengan sekat yang digunakan berukuran 100 x 50 x 70 cm, dalam satu buah sekat berisi empat ekor itik betina. Dua hari sebelum DOD (day old Duck) itik umur 14 hari masuk kandang, alas kandang diberi sekam yang telah disemprot desinfektan dengan ketebalan 6--7 cm. Tataletak perlakuan dapat dilihat pada Gambar 1. R2K1
R3K2
R1K1
R1K2
R4K1
R4K2
R3K1
R2K2
R3K3
R1K4
R1K3
R3K4
R4K3
R2K4
R2K3
R4K4
Keterangan : K1-K4: Kelompok, R1-R4: Ransum perlakuan Gambar 1. Tataletak kandang penelitian
20 3.3.2. Persiapan ransum perlakuan Ransum dibuat dengan kandungan nutrisi yang berbeda dan EM (energi metabolisme) sebesar 2.800 Kkal. Semua bahan ransum digiling dengan mesin giling menjadi tepung, kemudian disusun dengan jumlah terbanyak dalam ransum terlebih dahulu selanjutnya dicampur menjadi satu dan dibuat dalam bentuk crumble. Kandungan ransum bahan pakan tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan nutrisi bahan pakan Bahan Bahan Ampas tahu* Tepung Ikan* L-Lysin*** DL-Metionin*** Molases** Minyak** Tepung Jagung* Dedak padi* Mineral***
Kandungan Nutrien ME BK PK LK SK Abu Ca kkal/kg …………………………. ………………… ………..%.............................. ………… 2751,00 14,60 18,52 15,84 21,84 4,98 0,58 2880,00 88,38 36,65 10,58 1,36 36,61 5,11 0,00 0,00 1980,00 8600,00 3370,00 2400,00 0,00
100,00 100,00 82,40 100,00 87,41 88,82 100,00
62,00 58,78 3,94 0,00 8,74 11,17 0,00
0,00 0,00 0,30 100,00 8,07 18,69 0,00
0,00 0,00 0,40 0,00 1,97 11,11 0,00
0,00 0,00 11,00 0,00 1,34 6,32 0,00
0,00 0,00 0,88 0,00 0,23 0,07 48,00
P 0,38 2,88 0,00 0,00 0,14 0,00 0,41 1,50 13,00
Sumber : *)Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2015). **) Fathul et al. (2013). ***)Tarigan (2010) Keterangan : ME : Metabolis Energi; BK : Bahan Kering; SK : Serat Kasar; LK : Lemak Kasar
3.3.3. Pemeliharaan dan pemberian perlakuan Itik dipelihara di dalam sekat kandang untuk diberi perlakuan. Minggu pertama semua itik diberikan ransum yang sama. Pada umur 3 minggu itik percobaan diberi ransum perlakuan dalam bentuk mash. Hal ini dilakukan sebagai adaptasi itik terhadap ransum perlakuan. Minggu keempat hingga minggu kesepuluh itik diberikan ransum perlakuan, itik diberi ransum dan air minum secara ad libitum.
21 persentase imbangan pakan dalam penyusunan ransum pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi ransum perlakuan Bahan pakan Ampas tahu tepung ikan
Perlakuan R1 R2 R3 R4 ……………………………………….%................................................. 33,60 35,70 40,20 49,10 11,00
17,20
23,20
27,80
L-Lysin
0,60
0,60
0,60
0,60
DLMetionn Molases
0,30
0,30
1,30
0,30
3,80
1,60
1,30
1,00
MinyaK. Sawit Tepung jagung Dedak Padi
2,00
1,60
1,40
1,30
15.00
12,80
9,90
5,00
33,60
30,10
23,00
14,80
Mineral 0,10 0,10 0,10 0,10 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Keterangan : R1--R4 : perlakuan kandungan nutrien dalam ransum Tabel 6. Kandungan nutrisi dalam ransum perlakuan
Bahan Pakan
R1
Perlakuan R2 R3 R4 -----------------------%-----------------------
Energi metabolisme (kkal/kg )* 2800,28 2800,51 2805,84 2806,69 Protein kasar** 15,40 17,99 20,64 21,32 Lemak kasar** 8,01 7,35 9,85 8,56 Serat kasar** 12,66 12,52 14,99 12,88 Kalsium* 0,88 1,18 1,50 1,76 Fosfor* 0,83 1,15 1,22 1,24 Abu** 8,55 7,86 8,06 8,96 Keterangan: *) Hasil perhitungan kebutuhan nutrisi ransum **) Hasil analisis proksimat Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (2015).
22 3.4. Peubah yang Diamati Sebelum dilakukan pengambilan data terlebih dahulu diamati pola suhu harian. Data diambil pada saat titik kritis suhu dan kelembapan tertingi yaitu pada suhu 31°C.
3.4.1. Frekuensi pernapasan Pengukuran frekuensi pernapasan dihitung dengan mengamati pergerakan membuka dan menutupnya mulut atau dengan mengamati kembang kempisnya perut selama satu menit (Hartono et al., 2002). Pengambilan data ini dilakukan pada hari ke 50, 57, 64, dan 71 pemeliharaan, saat suhu kritis 310C. Sebelum pengambilan data itik dipuasakan selama 5 menit.
3.4.2. Frekuensi denyut jantung Frekuensi denyut jantung diperoleh dengan cara menempelkan stetoscope pada bagian dada kiri unggas, sehingga terdengar denyut jantungnya selama satu menit (Hartono et al., 2002). Pengambilan data ini dilakukan pada hari ke 50, 57, 64, dan 71 pemeliharaan, saat suhu kritis 310C. Sebelum pengambilan data itik dipuasakan selama 5 menit.
3.4.3. Temperatur rektal Temperatur rektal diperoleh dengan cara memasukkan thermometer digital ke dalam rektal unggas (Hartono et al., 2002). Pengambilan data ini dilakukan pada hari ke 50, 57, 64, dan 71 pemeliharaan, saat suhu kritis 310C. Sebelum pengambilan data itik dipuasakan selama 5 menit.
23 3.5. Metode Penelitian 3.5.1. Rancangan penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Kelompok (RK) dengan empat perlakuan. Perlakuan tersebut terdiri dari: R1 : ransum 1 R2 : ransum 2 R3 : ransum 3 R4 : ransum 4 Jumlah itik betina yang digunakan sebanyak 64 ekor dengan 16 jumlah petak kandang sehingga setiap petak berisi 4 ekor itik betina. Pengambilan data dilakukan pada seluruh jumlah itik yang ada pada setiap perlakuan. Pengelompokkan itik berdasarkan bobot tubuh. Pada kelompok 1 dengan bobot tubuh (125--150 g), kelompok 2 (151--175 g), kelompok 3 (176--200 g), kelompok 4 (201--225 g). 3.5.2. Analisis data Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis ragam.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
a) pemberian ransum dengan kandungan nutrisi berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap respon fisiologis itik percobaan yaitu Frekuensi pernafasan R1 36,73, R2 35,48, R3 36,09, R4,36,23. Denyut jantung R1 303,09, R2 30,52, R3 305,56, R4 294,08. Suhu rektal R1 41,32, R2 41,18, R3 41,27, 41,28. b) pada pemberian ransum perlakuan tidak ada yang memberikan respon fisiologis terbaik pada itik percobaan.
5.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa peternak tidak menggunakan ransum yang berkadar serat kasar 12,00 %--15,00%, lemak kasar 8,00%--9,85%, abu 8,96% dalam pemeliharaan Itik Mojosari betina pada fase pertumbuhan karena melebihi kebutuhan nutrient standar nasional Indonesia (SNI), dan memengaruhi respon fisiologis dalam kondisi tidak normal.
34
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M. 2009. Fisiologis Pertumbuhan Ternak. Universitas Andalas. Padang. Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor. Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Muthahir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. , R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta. , R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Penerbit PT. Gramedia, Pustaka. Jakarta. Anonymous. 2007. Curcuma Xanthorrhiza (Temulawak) Morfologi, Anatomi dan Fisiologi. http://toiusd.multiply.com/journal/item/240/Curcuma_ xanthorrhiza_ Temulawak_Morfologi_Anatomi_dan_Fisiologi. Diakses pada 14 september 2015 Badan Pusat Statistik 2015. Perkiraan Penduduk Beberapa Negara (juta) 2009-2013. http://www.bps.go.id/. Diakses pada 14 september 2015 Bidura I. G., Udayana I. G., Suasta I. M., Yadnya T. G. B. 1996. Pengaruh Tingkat Serat Kasar Ransum Terhadap Produksi dan Kadar Kolesterol Telur Ayam. Denpasar. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Bali. Bligh, 1985. thermal Physiology. In: Yousef, M. K. Stress Physioloy in Livestock. Vol. III. CRC. Florida. Boniran, S. 1999. Quality Control untuk Bahan Baku dan Produk Akhir Pakan Ternak. Kumpulan Makalah Feed Quality Management Workshop, Amerikcan Soybean Associations dan Balai Penelitian Ternak. Hlm 2-7 Charles, D. R. 1997. Practical Ventilation and Temperature Control for Poultry, in Environmental Aspects of Housing for Animal Production. by J. A. Clark. University of Nottingham.
35 Collier, R. J., L. H. Baumgard, A. L. Lock, and D. E. Bauman. 2004. Physiological Limitations, Nutrient Partitioning. In: Wiseman J., Sylvestor R., Editors. Nottingham (UK) : Nottingham Univ. Press. Fathul, F., Liman., N. Purwaningsih., dan S. Tantalo. 2013. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Buku Ajar. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi. Edisi Empat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Haroen, U. 1994. Pemanfaatan Onggok Dalam Ransum Dan Pengaruhnya Terhadap Performan Ayam Broiler. Majalah Ilmiah. Universitas Jambi. Jambi. Hartono, M., S. Suharyati., dan P. E. Santosa. 2002. Dasar Fisiologi Ternak. Buku Ajar Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung. Hoffman, T. Y. C. M., and G. E. Walsberg. 1999. Inhibiting Ventilator Evaporation Produces an Adaptive Increase in Cutaneus Evaporation in Morning Doves Zenaida Macroura. J. Exp. Biol. 202, 3021 -3028. Horowitz, M. 2001. Heat Acclimation : Phenotypic Plasticity and Cues to the Underlying Molecular Mechanisms. J. therm Biol. 26:357-363. Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak Non Ruminansia (Unggas) . Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Kregel, K. C. 2002. Heat Shock Proteins : Modifying Factors in Physiological Stress Responses and Acquired thermotolerance. J. Appl Physiol. 92:2177-2186. Latipudin D., dan A. Mushawwir. 2011. Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol. 6, No 2. Juli–Desember 2011. Lubis, D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. PT. Pembangunan. Jakarta. Murtidjo, B. A., 1988. Mengelola Itik. Kanisius. Yogyakarta. National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. National Academy of Science. Washington D. C. Nesheim, 1979. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
36 Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa. Bandung. Rasyaf, M. 1992. Seputar Makanan Ayam Kampung. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. , M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. PenerbitKanisius. Yogyakarta. Ridho, F. T. 2013. Fisiologi Ternak. www.c31120987.blogspot.com/2013/06/ fisiologi ternak.html?m=1. Rizal, Y. 2006. Ilmu Nutrisi Unggas. Andalas University Press. Padang. Sinurat, A. P ., Miftah, dan P. Tiurma. 1993. Pengaruh Sumber dan Tingkat Energi Ransum Terhadap Penampilan Itik Jantan Lokal. Balai penelitian ternak. Bogor. Indonesia. , A. P. 2000. Penyusunan Ransum Ayam Buras Dan Itik. Pelatihan Proyek Pengembangan Agribisnis Peternakan, Dinas Peternakan DKI Jakarta, 20 Juni 2000. Smith, J. J., and J. P Kamping. 1988. Sirkulatory Physiology. 2nd edition. Baltimore, Wiliam and Wilkins. SNI (Standar Nasional Indonesi). 2008. Kumpulan SNI bidang pakan. Direktorat Budidaya Ternak Non Ruminansia, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Srigandono, B. 1997. Produksi Unggas Air. Cetakan ketiga. Yogyakarta (Indonesia): Gadjah Mada University Press. Sulistyoningsih, M. 2004. Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ayam Brolier Starter Akibat Cekaman Tempratur dan Awal Pemberian Pakan yang Berbeda. Tesis. Magister Ilmu Ternak Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Sumaryadi, M. Y., dan L. Budiman. 1986. Fisiologi Guna Laksana dan Lingkungan. Diktat. Fakultas Peternakan. Unsoed. Purwokerto. Tarigan, T. N. 2010. Penggunaan Asam Amino Metionin dan Lisin dalam Ransum Terhadap Karkas Broiler Umur Enam Minggu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo., dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
37 Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi ketiga. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Wibowo, P. A. 1989. Pengaruh Penggunaan Ransum Dengan Berbagai Tingkat Protein Pada Tingkat Energi Metabolis Yang Sama Terhadap Persentase komponen Karkas Itik Tegal Jantan Umur 8 Minggu. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Yousef, M. K. 1985. thermoneutral Zone. In: Stress Physiology of Livestock. M. K. Yousef (Ed). CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida. Yuwanta, T. 2000. Dasar Ternak Unggas. Kanisius. Yogyakarta.