ANALISIS FINANSIAL USAHA TERNAK ITIK BALI YANG DIBERI RANSUM MENGANDUNG POLLARD BERBEDA DENGAN ADDITIVE “DUCK MIX”
OLEH : Ir. I GUSTI NGURAH KAYANA, Msi
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkah-Nya kepada penulis, maka terwujud karya tulis yang berjudul “Analisis Finansial Usaha Ternak Itik Bali yang Diberi Ransum Mengandung Pollar Berbeda dengan Additive “Duck mix””. Terwujudnya karya tulis ini berkat arahan dan bimbingan dari beberapa pihak. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis mengungkapkan terima kasih kepada: 1. Dr.Ir. Ida Bagus Gaga Partama,Ms, selaku korektor, atas arahan dan koreksinya yang telah diberikan kepada penulis. 2. Rekan-rekan sejawat dan dinas-dinas peternakan se-Provinsi Bali, atas arahan dan data yang diberikan kepada penulis. Semoga jasa baik beliau-beliau tersebut memperoleh pahala dari Tuhan Yang Maha Esa sesui dengan amal baiknya.
Denpasar, Januari 2016 Penulis
i
DAFTAR ISI BAB
URAIAN
HALAMAN
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
RINGKASAN
iv
I PENDAHULUAN
1
1 Latar Belakang
1
2 Hipotesis
2
3 Tujuan Penelitian
2
4 Manfaat Penelitian
2
II MATERI DAN METODE
3
1 Materi Penelitian
3
2 Metode Penelitian
5
III HASIL DAN PEMBAHASAN
10
1 Hasil
10
2 Pembahasan
13
IV SIMPULAN DAN SARAN
16
1 Simpulan
16
2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17
ii
DAFTAR TABEL No
JENIS TABEL
HALAMAN
1. Kandungan mineral dan vitamin yang terdapat dalam “Duck mix” per kilogram
3
2. Komposisi ransum tiap perlakuan
7
3. Kandungan nutrisi
7
4. Rataan bobot badan awal, jumlah pemberian pakan, pertambahan berat badan, dan “FCR” 5. Analisis finansial antar perlakuan
11 12
iii
RINGKASAN Penelitian yang berjudul Analisis Finansial Usaha Ternak Itik Bali yang Diberi Ransum Mengandung Pollar Berbeda dengan Additive “Duck mix” dilaksanakan di jalan Bingin Ambe, Kediri, Kabupaten Tabanan selama 7 minggu perlakuan (dari umur 3 minggu sampai dengan umur 10 minggu). Penelitian dimulai tanggal 14 September 2006 sampai dengan 2 November 2006. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan yaitu, pemberian ransum komersial 100 % sebagai kontrol (perlakuan A), pemberian ransum komersial 85 % + pollard 15 % + “Duck mix” 0,3 % (perlakuan B) member ransum komersial 70 % + pollard 30 % + “Duck mix” 0,3% (perlakuan C), pemberian ransum komersial 55 % + pollard 45 % + “Duck mix” 0,3 % (perlakuan D). tiap perlakuan terdiri atas 5 ulangan (@ 3 ekor) dengan berat badan homogen (X ± 5 % yaitu 36,7 g ± 16,8 g), shingga terdapat 20 unit percobaan. Jumlah itik yang digunakan dalam penelitian sebanyak 60 ekor. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi bobot badan awal, pertambahan berat badan, total jumlah pakan yang diberikan, “Feed Conversion Ratio” (FCR), dan analisis finansial antara kontrol dengan perlakuan pollard yang berbeda dengan additive “Duck mix”. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Gomez and Gomez, 1995). Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan bersih itik yang mendapat perlakuan D cukup tinggi diantara semua perlakuan yaitu Rp 147.836,-, lebih tinggi 34,41 % dibandingkan dengan kontrol (A). untuk total biaya produksi perlakuan D, tampak lebih rendah dibandingkan perlakuan A, B, dan C. “Break Event Point” (BEF) baik dalam rupiah maupun eor untuk perlakuan A, B, C, dan D masing-masing adalah Rp. 26.096,- (1 ekor), Rp. 23.893,- (1 ekor), Rp. 21.961,- (1 ekor), dan Rp. 19.454,- (1 ekor). Berarti perlakuan D yang lebih efisien diantara semua perlakuan. Untuk nilai “Revenue and Cost Ratio” (R/C), perlakuan D mencapai nilai yang cukup tinggi diantara semua perlakuan yaitu
iv
1,39. Nilai “Feed Conversion Ratio” (FCR) perlakuan D ternyata lebih tinggi dibaning kontrol namun pertambahan berat badannya walaupun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan kontrol tapi secara statistik tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum yang mengandung pollard berbeda dengan “Duck mix” pemberian ransum yang mengandung pollard 45 % dan “Duck mix” 0,3 % (D) dapat menekan biaya produksi dibandingkan dengan semua perlakuan. Pertambahan berat badan yang diperoleh 4,29 % lebih rendah dibandingkan dengan kontrol namun secara statistik tidak berbeda nyata. “Feed Conversion Ratio” (FCR) perlakuan ini mengalami peningkatan sebesar 18,67 % dibandingkan kontrol.
v
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Beternak itik merupakan salah satu kebiasaan yang berkembang di masyarakat pedesaan. Hal ini bisa dipahami karena adanya lahan persawahan yang relatif memadai dibandingkan daerah perkotaan. Umumnya, peternakan di pedesaan dilakukan secara tradisional yakni itik digembalakan di sawah-sawah pascapannen padi atau di selokan-selokan. Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan msyarakat akan telur dan daging itik, cara tradisional mulai ditinggalkan. Para peternak kemudian beralih pada cara modern yakni pemeliharaan intensif dan semi intensif. (Agromedia, 2003). Pemeliharaan intensif pada umumnyamemerlukan perlakuan pengawasan yang sangat ketat dan diimbangi dengan pemberian pakan yang bermutu gizi tinggi, akan tetapi pemberian pakan bermutu tinggi memerlukan biaya tinggi yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi suatu usaha peternakan itik. Pemberian pollard dan “Duck mix” pada ransum komersial diharapkan dapat menekan biaya produksi pemeliharaan itik, dengan jalan meminimalkan pemberian ransum komersialyang diberikan pada terak itik. Menurut Tillman et al. (1989) pollard merupakan bahan makanan ternak yang berasal dari limbah pertanian yaitu hasil ikutan pengilingan gandum yang mengandung protein kasar 18,7 % dan serat kasar 7,7 %, ditambahkan oleh Hatardi et al. (1993) bahwa pollard mengandung energi meta bolisme sebesar 2103 kkal/kg, protein kasar 16,1 %, lemak kasar 4,5 %, serat kasar 6,6 %, kalsium 0,10 % dan fosfor 0,91 %. Hal inilah yang membuat penggunan pollard menjadi alternatif dalam meminimalkan biaya pakan, selain mengandung nutrien yang baik untuk tubuh, pollard juga lebih mudah didapatkan dan harga relatif murah. Walau pollard memiliki kelebihan seperti diatas, pollard juga mengandung asam fitat yang dapat menurunkan absorbsi mineral, maka dengan
penambahan
mineral
pada
pakan
atau
ransum
dapat
menanggulangi peniurunan absorbs mineral. (Anggorodi, 1995).
1
Menimbang bahwa kebutuhan akan pangan hewani banyak terpenuhi dari ternak unggas khususnya ternak itik, maka diperlukan usaha yang ditujukan pada perbaikan mutu pangan unggas, yang dapat menekan biaya produksi pemeliharaan ternak itik. Brdasarkan uraian di atas bahwa
belum da data tentang
pemanfaatan ransum komersial dicampur dengan pollard an “Duck mix” untuk ransum itik
Bali jantan umur 3-10 minggu terhadap analisis
finansial usaha ternak itik Bali yang diberi ransum mengandung pollar berbeda dengan additive “Duck mix”. 1.2. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelititan ini adalah pemberian ransum yang mengandung pollard berbeda dengan additive “Duck mix”, dapat meningkatkan pendapatan peternak itik Bali. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum yang mengandung pollard berbeda dengan additive “Duck mix”, dapat meningkatkan pendapatan peternak itik Bali. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak dalam pemanfaatan pollard dan “Duck mix” dalam upaya menekan biaya produksi pemeliharaan itik Bali yang diikuti dengan meningkatnya pendapatan peternak itik Bali. Selain itu penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi data ilmiah bagi para peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya.
2
II.
MATERI DAN METODE
2.1. Materi Penelitian 2.1.1. Ternak Itik Pada penelitian ini digunakan 60 ekor itik Bali jantan berumur 3 minggu. Bibit itik ini diperoleh dari salah satu pengusaha penetasan itik di Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. 2.1.2. Pollard dan “Duck Mix” Menurut Tillman et al. (1989) pollard merupakan bahan makanan ternak yang berasal dari limbah pertanian yaitu hasil ikutan penggilingan pengilingan gandum yang mengandung protein kasar 18,7 % dan serat kasar 7,7 %, ditambahkan oleh Hatardi et al. (1993) bahwa pollard mengandung energi meta bolisme sebesar 2103 kkal/kg, protein kasar 16,1 %, lemak kasar 4,5 %, serat kasar 6,6 %, kalsium 0,10 % dan fosfor 0,91 %. Tabel 1. Kandungan Mineral dan Vitamin yang terdapat daam “Duck Mix” Per Kilogram Zat Gizi
Komposisi
Steam Bone Meal
50 %
Calsium
48,72 %
Magnese
0,4 %
Iodium
0,005 %
Ferrum
0,3 %
Cuprum
0,02 %
Zincum
0,25 %
Magnesium
0,29 %
Vitamin D3
75.000 I.U
Vitamin B12
450 mcg
Keterangan : Brosur Produk Mineral Bebek Perusahaan Eka Farma Semarang (2007).
3
2.1.3. Kandang dan Perlengkapan Kandungan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang sisten “Battery Colony” sebanyak 5 unit kandang. Setiap unit kandang terbagi atas 4 ruangan atau petak, sehingga terdapat 20 ruang. Kerangka kandang terbuat dari balok kayu dengan alas dan dinding bagian depan terbuat dari bilah-bilah bambo, serta dilengkapi dengan tempat pakan yang terbuat dari paralon dan tempat air minum yang terbuat dari botol plastik air mineral dengan volume 1500 ml. Setiap petak kandang mempunyai ukuran panjag 75 cm, lebar 65 cm, dan tinggi 45 cm. Lantai kandang diberi alas kampil untuk menampung kotoran ternak, kampil ini diganti setiap harinya sehingga dapat mengurangi bau dan kelembaban kandang akibat kotoran itik. 2.1.4. Ransum dan Air Minum Ransum yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari empat jenis ransum, yaitu ransum perlakuan A (Kontrol) yang berupa ransum komersial 100 % , ransum perlakuan B yang tersusun dari ransum komersial 85 % + pollard 15 % + “Duck mix” 0,3 %, ransum perlakuan C yang tersusun dari ransum komersial 70 % + pollard 30 % + “Duck mix” 0,3%, ransum perlakuan D yang tersusun dari ransum komersial 55 % + pollard 45 % + “Duck mix” 0,3 %. Ransum komersial yang digunakan dalam penelitian adalah ransum komersial yang diprouksi oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk. Sedangkan pollard yang digunakan adalah pollard merek “ONTA” yang diproduksi oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk dan “Duck mix” yang digunakan adalah “Duck mix” merek “MINERAL BEBEK” yang diproduksi oleh perusahaan Eka Farma Semarang. Air minum yang diberikan kepada itik selama penelitian berasal dari Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) setempat, dan diberikan secara adlibitum. 2.1.5. Peralatan Pada penelitian menggunakan berbagai alat antara lain : (1) timbangan kue merek “Tanita” kapasitas 4 Kg dengan kepekaan 10 gram untuk
4
menimbang bahan perlakuan pakan; (2) timbangan elektrik merek “Tanita” kapasitas 2 Kg dengan kepekaan I gram untuk menimbang itik dan karkas itik; (3) gelas ukur kapasitas 1 liter dengan kepekaan 10 ml; (4) ember plastik untuk menampung persediaan air; (5) kantong plastik untuk tempat persediaan pakan; (6) lembaran plastik sebagai alas untuk mencampur ransum. Untuk mengidentifikasi itik digunakan “wing band” dari aluminium yang dipasang pada lipatan kulit bawah sayap. 2.2. Metode Penelitian 2.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Bingin Ambe, Kediri, Kabupaten Tabanan, selama 7 minggu pemeliharaan itik dari umur 3 minggu sampai dengan 10 minggu, mulai tanggal 14 September sampai 2 November 2006. 2.2.2. Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan. Tiap ulangan (unit percobaan) menggunakan tiga ekor itik umur tiga minggu dengan berat badan homogen. Adapun perlakuan tersebut yaitu, pemberian ransum komersial 100 % sebagai kontrol (perlakuan A), pemberian ransum komersial 85 % + pollard 15 % + “Duck mix” 0,3 % (perlakuan B) member ransum komersial 70 % + pollard 30 % + “Duck mix” 0,3% (perlakuan C), pemberian ransum komersial 55 % + pollard 45 % + “Duck mix” 0,3 % (perlakuan D). 2.2.3. Pengacakan Itik Dari 100 ekor itik ditimbang sebanyak 75 ekor untuk mencari berat ratarata dari itik tersebut. Dari berat rata-ratanya dibuat kisaran X ± 5 % yaitu 336,7 g ± 16,8 g. Kemudian satu per satu itik ditimbang. Itik yang mempunyai berat badan diantara kisaran tersebut diberi “wing band” dan dipilih untuk digunakan dalam penelitian. Setelah mendapat jumlah itik yang diperlukan yaitu 60 ekor, maka itik dimasukan secara acak ke setiap petak kandang yang setiap petaknya diisi tiga ekor itik.
5
2.2.4. Pencampuran Ransum Setelah dilakukan pencampuran ransum, terlebih dahulu dilakukan penimbangan
bahan-bahan
penyusun
ransum
(kecuali
ransum
A).
Penimbangan dimulai dari penimbangan bahan yang jumlahnya paling banyak dan diakhiri dengan penimbangan bahan jumlahnya paling sedikit. Bahanbahan yang telah ditimbang ini, disusun secara vertikal menurut jumlah bahan yang digunakan dalam fomulasi ransum ini, yaitu bahan yang jumlahnya paling banyak ditempatkan pada lapisan terbawah kemudian disusul dengan bahan yang jumlahnya lebih sedikit, dan seterusnya. Tumpukan bahan-bahan tersebut kemudian dibagi menjadi empat bagian, masing-masing bagian dicampur secara merata sampai homogen. Keempat bagian tersebut kemudian dicampur menjadi satu kembali sehingga diperoleh campuran yang homogeny secara keseluruhan. Ransum yang telah tercampur ini kemudian dimasukan ke kantong plastik dan diberi kode sesuai dengan perlakuan. Pencampuran ransum ini dilakukan setiap minggu di atas lembaran plastik yang dihamparkan pada lantai/dasar yang datar. 2.2.5. Pemberian Ransum dan Air Minum Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara ad-libitum. Pakan diberikan secara merata pada tiap petak kandang, sebanyak 2/3 bagian dari volume tempat pakan untuk mengantisipasi pakan tidak banyak yang tercecer. Air minum yang diberikan bersal dari PDAM setempat. Sebelum digunakan air yang berasal dari PDAM terlebih dahulu diendapkan selama satu malam untuk mendapatkan kandungan kaporit yang terdapat dalam air (Abidin, 2002). Pemberian air minum adalah ad-libitum. Penambahan air minum juga dilakukan setiap waktu ketika persediaan air minum berkurang. Pembersihan tempat pakan dan air minum dilakukan setiap pagi hari sebelum pemberian ransum dan air minum. Pada saat itu juga dilakukan penimbangan sisa pakan dan pengukuran sisa air minum. Komposisi bahanbahan penyusun ransum disajikan pada Tabel. 2 dan kandungan zat-zat makanannya disajikan pada Tabel. 3 berikut ini.
6
Tabel 2. Komposisi Ransum tiap Perlakuan KOMPOSISI RANSUM
PERLAKUAN
(%)
A
B
C
D
1) Ransum Komersial (%) * 2) Pollard (%) 3) “Duck mix” (%)** Total
100 0
85 15 0,3 100
70 30 0,3 100
55 45 0,3 100
100
Keterangan : A : Ransum komersial 100 % sbagai control B : Ransum komersial 85 % + pollard 15 % + additive “Duck mix” 0,3 % C : Ransum komersial 70 % + pollard 30 % + additive “Duck mix” 0,3 % D : Ransum komersial 55 % + pollard 45 % + additive “Duck mix” 0,3 % * : Ransum komersial yang diproduksi oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk. ** : Additive
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Perlakuan 1)
Kandungan Nutrien 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
2)
BK PK Lemak kasar SK BO Ca P M.E (kal/kg)
Standard
A (%)
B (%)
C(%)
D (%)
Kebutuhan3)
88 21 4 4,5 93,5 0,9-11 0,7-0,9 3100
88,32 20,8 4,1 5,14 93,84 3064
88,63 19,57 4,2 5,76 94,17 3028
88,95 18,85 4,31 6,4 94,35 2992
16,0 0,6 0,35 2900
Keterangan : 1) A : Ransum komersial 100 % sbagai control B : Ransum komersial 85 % + pollard 15 % + additive “Duck mix” 0,3 % C : Ransum komersial 70 % + pollard 30 % + additive “Duck mix” 0,3 % D : Ransum komersial 55 % + pollard 45 % + additive “Duck mix” 0,3 % 2) Berdasarkan Brosur ransum komersial Produksi PT. Japfa Comfeed Indonesia, Tbk. Berdasarkan Hartadi et al. (1993). 3) Standard NCR (1984).
7
2.2.6. Variabel yang Diamati Variabel yang diamati dalam penelitian meliputi (1) pertambahan berat badan yang diperoleh dengan penimbangan itik setiap minggu; (2) total jumlah pakan yang dibrikan; (3) “Feed Conversion Ratio” (FCR); dan (4) analisi finansial control dengan perlakuan pollard yang berbeda dengan additive “Duck mix”. 2.2.7. Analisis Statistik Data yang terkumpul meliputi pertambahan berat badan, total jumlah pakan yang diberikan dan “Feed Conversion Ratio” (FCR) dilakukan analisis menggunakan sidik ragam, apabila diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda dari Duncan (Gomez and Gomez, 1995). Semua perhitungan didasarkan pada beda nyata 5 % (P<0,05). Data tersebut sebagai pendukung data untuk analisis finansial antar perlakuan, untuk menghitung total penerimaan, total biaya produksi, pendapatan bersih, “Break Event Point” (BEP), dan “Revenue and Cost Ratio” (R/C). 2.2.8. Analisis Finansial Usaha Ternak Itik Bali Analisis finansial dalam penelitian ini untuk mendapatkan nilai dari : 1. Total penerimaan (total revenue) adalah seluruh hasil penjualan itik (jumlah ternak yang hidup x bobot panen x harga jual /kg) dalam satu periode pemeliharaan (Soekartawi, 1986 dalam Saputro, 2006). Sedangkan menurut Rosyidi (2004), total penerimaan adalah hasil perkalin antara harga (P) dengan jumlah ternak (Q). 2. Total biaya produksi (total cost) adalah jumlah total biaya tetap (total fixed cost) dan jumlah total biaya variabel (total variable cost) (Soehardi, 2000 dalam Saputro, 2006). a. Biaya tetap (fixed costs) adalah jenis-jenis biaya yang selama satu periode kerja berjumlah tetap dan tidak mengalami perubahan meskipun volume produksi berubah (Soehardi, 2000 dalam Saputro, 2006). Sedangkan menurut Gaspersz (2005), biaya tetap (fixed costs)
8
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran input-input tetap (fixed inputs) dalam proses produksi jangka pendek. b. Biaya variabel (variabel costs) adalah jenis-jenis biaya yang naik turun bersama-sama dengan volume kegiatan, bila produksi bertambah maka biaya variabel juga bertambah dan sebaliknya (Soehardi, 2000 dalam Saputro, 2006). Sedangkan mnurut Gaspersz (2005), biaya variabel (variable costs) merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran input-input variabel (variabel inputs) dalam proses produksi jangka pendek. 3. Pendapatan bersih adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya produksi. Kemudian ditambah lagi bahwa “Revenue and Cost Ratio” (R/C) merupakan perbandingan antara semua total penjualan dengan total biaya produksi secara keseluruhan (Soekartawi, 1986 dalam Saputro, 2006). Sedangkan menurut Samuelson et al. (2003), pendapatan bersih merupakan keuntungan yang tersisa setelah dikurangi semua pengeluaran. 4. “Break Event Point” (BEP) adalah volume penjualan yang total penerimaan penjualnya sama dengan total baya (Longnecker et al., 2001). Sedangkan menurut Zimmerer (2004), “Break Event Point” adalah tingkat operasi (dolar penjualan atau jumlah produksi) yang pada tingkat ini tidak terjadi laba maupun rugi. Total biaya tetap BEP (rupiah) = Total biaya variabel 1Total penerimaan
(Menurut A.K Group, 1981)
BEP dalam rupiah BEP (ekor)
=
X 1 ekor (Menurut A.K Group,1981) Harga rata-rata /ekor
5. “Revenue and Costs Ratio” (R/C) adalah perbandingan antara semua total penjualan dengan total biaya produksi secara keseluruhan (Soekartawi, 1986 dalam Saputro, 2006). Semua total penjualan “Revenue and Costs Ratio” (R/C) = Total biaya produksi
9
III.
PEMBAHASAN
3.1. Hasil 3.1.1. Pertambahan Berat Badan Rataan pertambahan berat badan itik yang mendapat perlakuan A (kontrol) adalah 1195,2 g/ekor (Tabel 4) dan tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan pertambahan bert badan itik perlkuan B, C, dan D yaitu masing-masing adalah 2,21 %, 2,89 %, dan 4,29 % lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pertambahan berat badan perlakuan C dan D masing-masing adalah 0,70 % dan 2,21 % tidak nyata (P>0,05) lebih rendh dibandingkan perlakuan B. demikian pula dengan rataan pertambahan bobot badan perlakuan D yang 1,44 % tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan C. 3.1.2. Total Jumlah Pakan yang Diberikan Rataan total jumlah pakan yang diberikan pada itik yang mendapat perlakuan A (kontrol) adalah 5990,07 g/ekor (Tabel 4). Perlakuan C dan D tidak menunjukan perbedaan nyata (P>0,05) yang masing-masing adalah 4,18 % dan 6,47 % lebih tinggi dibandingkan control. Sedangkan perlakuan B adalah 0,68 % tidak nyata (P>0,05) lebih rendah dibandingkan control. Rataan total jumlah pakan yang diberikan pada itik perlakuan C dan D mesing-maing adalah 4,89 % dan 7,46 % tidak nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan perlakuan B. sedangkan pada perlakuan D total jumlah pakan yang diberikan adalah 2,46 % lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C namun secara statistik tidak berbeda nyata.
10
Tabel 4. Rataan Bobot Badan Awal, Jumlah Pemberian Pakan, Pertambahan Berat Badan. Dan “Feed Conversion Ratio” (FCR) yang Diberi Pollard Berbeda dengan Additive “Duck Mix” Perlakuan(1) Peubah
SEM A
B
C
B
Pertambahan Berat Badan (g) 1195,20a 1168,73a 1160,60a 1143,93a
24,61
Total Jumlah Pakan yang diberikan (g)
5990,07a 5949,60a 6240,40a 6393,67a 248,81
FCR
4,66a
4,99ab
5,92bc
5,53c
0,15
Keterangan : 1) A : Ransum komersial 100 % sbagai control B : Ransum komersial 85 % + pollard 15 % + additive “Duck mix” 0,3 % C : Ransum komersial 70 % + pollard 30 % + additive “Duck mix” 0,3 % D : Ransum komersial 55 % + pollard 45 % + additive “Duck mix” 0,3 % 2) Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama pada masing-masing perlakuan adalah berbeda tidak nyata (P>0,05). 3) SEM = “Standard Error of The Treatment Means” .
3.1.3.
“Feed Conversion Ratio” (FCR) Rataan FCR itik mendapat perlakuan A (kontrol) adalah 4,66 % (Tabel
4). Rataan FCR pada perlakuan B adalah 7,08 % tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. sedangkan rataan FCR pada perlakuan C dan D masing-masing adalah 13,52 % dan 18,67 % nyata (P<0,05) leih tinggi dibandingkan perlakuan A. rataan FCR pada perlakuan C menunjukan peningkatan yaitu 6,01 % lebih tinggi dibandingkan dengan FCR perlakuan B namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan rataan FCR itik pada perlakuan D adalah 10,82 % nyta (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B. untuk rataan FCR itik pad perlakuan D menunjukan peningkatan yang nyata (P<0,05) sebesar 4,54 % lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C.
11
3.1.4. Analisis Finansial Usaha Ternak Itik Bali yang Diberi Ransum Mengandung Pollard Berbeda dengan Additive “Duck Mix” Hasil analsis finansial penelitin ini ditunjukan pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis Finansial Antar Perlakuan Perlakuan Komponen
A
B
C
D
I. Total penerimaan (Rp)
525.000 525.000
525.000
525.000
II. Total Biaya Produksi (a+b) (Rp)
428.038
405.686
394.688
371.435
A. Biaya Tetap 1. Penyusutan kandang dan peralatan 2. Biaya lain-lain Total Biaya Tetap (a) (Rp)
2.372 3.317 5.689
2.327 3.317 5.689
2.372 3.317 5.689
2.372 3.317 5.689
B. Biaya Variabel 1. Bibit 15 ekor @ Rp 8000 2. Pakan - Ransum komersial - Pollard - Additive Duck Mix 3. Tenaga Kerja 4. Air 5. Listrik 6. Lain-lain
120.000 256.974 256.974 12.000 15.000 10.000 8.375
120.000 234.622 216.952 16.867 803 12.000 15.000 10.000 8.375
120.000 223.624 187.399 35.383 842 12.000 15.000 10.000 8.375
120.000 206.100 150.859 54.378 863 12.000 15.000 10.000 8.375
Total Biaya Variabel (b) (Rp)
422.349
399.997
388.999
371.475
III. Pendapatan Bersih (I-II) (Rp)
96.962
119.314
130.312
147.836
IV. Break Event Point (Rp)
26.096
23.893
21.961
19.454
Break Event Point (ekor)
1
1
1
1
VI. Revenue and Cost Ratio (R/C)
1,23
1,29
1,33
1,39
V.
12
3.2. Pembahasan Pendapatan bersih itik yang mendapatkan perlakuan D Rp. 147.836,(Tabel 5) lebih tinggi 34,41 % dibandingkan dengan control (A). Sedangkan pendapatan bersih perlakuan, B dan C masing-masing Rp. 119.314,- dan Rp. 130.312,- lebih tinggi 18,73 % dan 25,59 % dibandingkan dengan perlakuan A. hal ini dikarenakan pada perlakuan B, C, dan D ditambahkan pollard dan “Duck mix” dalam ransumnya yang secara ekonomis harganya lebih murah, sehingga biaya pakan dapat ditekan. Suatu usaha ternak itik yang dapat menekan biaya pakan, berarti telah meminimalisir biaya terbesar yang paling mempengaruhi total biaya produksi. Hal ini didukung oleh pernyataan Rasyaf (1993), biaya variabel terbesar adalah biaya pakan, kedua biaya untuk bibit dan kesehatan, yang terakhir untuk pemeliharaan. Penekanan biaya pakan ini dapat terlihat dari total biaya produksi masing-masing perlakuan. Pada perlakuan D total biaya produksinya tampak lebih rendah dibandingkan denga perlakuan A, B, dan C yaitu untuk perlakuan D adalah Rp. 377.164,- sedangkan untuk perlakuan A, B, dan C masingmasing adalah Rp. 428.038,-, Rp. 405.686,-, dan Rp. 394.688,-. Untuk meningkatkan efisiensi biaya produksi, maka besarnya total biaya produksi ini harus terus diperhatikan agar besarnya biaya produksi tidak terlalu besar atau kurang sesuai dengan tujuan dan kebutuhan yang sebenarnya (Suprijatna, 2005). Hasil pnelitian ini menunjukan bahwa penambahan pollard dan “Duck mix” dalam ransum itik dehasilkan “Feed Conversion Ratio” (FCR) yang lebih tinggi dibandingkan dengan control. FCR pada perlakuan A (kontrol) adalah 4,66 % (Tabel 4). Rataan FCR pada perlakuan B adalah 7,08 % tidak berbeda nyata (P>0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. sedangkan rataan pada perlakuan C dan D masing-masing adalah 13,52 % dan 18,67 % nyata (PP<0,05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A. Menurut Suprijatna (2005), semakin besar angka konversi pakan maka semakin tidak efisien pakannya. Namun walaupun demikian, ternyata dengan FCR yang lebih tinggi dari control jika dihitung secara ekonomi dengan penambahan pollard dan “Duck mix” akan lebih murah biaya pembelian
13
pakannya dibandingkan dengan control.
Hal inilah yang
membuat
permasalahan FCR ini terabaikan. Mka dari itu, pengawasan biaya pakan sangat perlu dilakukan yaitu melalui pengawasan terhadan konversi pakan dari minggu ke minggu dan selalu melihat selisih antara konversi nyata dengan konversi menurut sasaran atau menurut standsr dari pembibit (Rasyaf, 1993). Hasil nilai FCR pada masing-masing perlakuan iatas menunjukan bahwa semakin banyak penambahan pollard dan “Duck mix” dalam ransum berarti dapat menyebabkan menurunnya pertambahan berat badan pada itik Bali. Rataan pertambahan berat badan itik yang mendapat perlakuan A (kontrol) adalah 1195,2 gram/ekor (Tabel 4). Pertambahan berat badan itik pada perlakuan B, C, dan D yaitu masing-masing adalah 2,21 %, 2,89 %, dan 4,29 % lebih rendah dibandingkan dengan control namun secara statistik tidak menunjukan perbedan yang nyata (P>0,05). Dari nilai pertambahan berat badan masing-masing perlakuan ini menunjukan bahwa penambahan pollard dan “Duck mix” berhasil mencapai berat badan yang sama dengan control. “Break Event Point” (BEP) baik dalam rupiah maupun ekor untuk perlakuan A, B, C, dan D masing-masing adalah Rp. 26.096,- (1 ekor), Rp. 23.893,- (1 ekor), Rp. 21.961,- (1 ekor), dan Rp. 19.454,- (1 ekor). Hal ini menunjukan nilai BEP perlakuan D yang paling efisien karena hanya dengan pemeliharaan 1 ekor itik dan dengan perolehan penerimaan dari hasil penjualan itik sebesar Rp. 19.454,- sudah mencapai BEP atai titik impas (tidak untung dan tidak rugi) yang artinya hanya dengan Rp. 19.454,- sudah dapat menutupi biaya produksi. Hal ini didukung oleh pernyataan Rasyaf (1993), titik impas atau biasa diebut dengan peluang modal akan dicapai jika biaya produksi atau biaya operasional di masa produksi dapat tertutupi. Lebih lanjut ditambahkan oleh pernyataan Longnecker et al. 2001, dikatakan “Break Event Point” (BEP) telah tercapai jika volume penjualan yang total penerimaan penjualannya sama dengan total biaya. Dalam suatu analisa finansial selain analisa BEP diperlukan juga analisa BEP diperlukan juga analisa “Revenue and Cost Ratio” (R/C) untuk mengetahui besar keuntungan melalui besar pengembalian biaya produksi yang telah dikeluarkan. R/C perlakun A, B, C, dan D masing-masing adalah
14
1,23, 1,29, 1,33, dan 1,39 (Tabel 5). Nilai R/C dari keempat perlakuan diatas menunjukan bahwa usaha ternaik Itik Bali ini telah mencapai untung. Hal ini didukung
oleh
pernyataan
Suharno
(2007),
usah
pternakan
itik
menguntungkan apabila R/C > 1. Pada perlakuan D diperoleh nilai R/C yang paling tinggi yaitu 1,39, ini berarti bahwa setiap penambahan biaya sebesar Rp. 1000,- akan diperoleh penerimaan sebesar 1.390,-.
15
IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan, pemberian ransum yang mengandung pollard 45 % dan “Duck mix” 0,3 % (D) dapat menekan biaya produksi dibandingkan dengan kontrol (A), pemberian ransum mengandung pollard 15 % dan “Duck mix” 0.3 % (B) dan pemberian ransum mengandung pollard 30 % dan “Duck mix” 0,3 % (C). Pertambahan berat badan yang diperoleh 4,29 % lebih rendah dibandingkan dengan kontrol namun secara statistik tidak berbeda nyata. “Feed Conversion Ratio” (FCR) perlakuan ini mengalami peningkatan sebasar 18,67 % dibandingkan kontrol.
4.2 Saran 1
Dari kesimpulan diatas dapat disarankan kepada peternak untuk menggunakan pollard sebanyak 45 % dan “Duck mix” sebanyak 0,3 % untuk menekan biaya produksi khususnya biaya pakan.
2
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pollard yang diberikan kepada itik petelur terhadap analisa finansial usaha ternak itik khususnya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia, 2003. Beternak Itik tanpa Air. Agromedia Pustaka, Jakarta. A.K. Group. 1981. Economic Order Quantities, Break Event Point, and Net Present Value. Penerbit Sasana Triguna. Yogyakarta. Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Gomez, K.A. and A.A Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Pertanian. Edisi Kedua. Penerjemah Endang Sjamsudin dan justika S Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Gasperz, Vincent. 2005. Ekonomi Manajerial Pembuat Keputusan Bisnis. Cetakan VI. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hartadi, Hari, Soedomo Reksohadiprojo, Allen D. Tillman. 1993. Table Komposisi Pakan Ternak Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Longenecker, Justin. G, Carlos. W. Moore, and J. William Petty. 2001. Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil. Edisi Pertama. Salemba Empat. Jakarta. National Research Caoncil (NRC) Nutrient Requirement of Poltry. 1984. 7 th National Academy of Sciences. Washington DC. Rasyaf, M. 1993. Bternak Itik Komersial. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Rosyidi, Suherman. 2004. Pengantar Teori Ekonomi : Pendekatan Kepada Teori Ekonomi. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Samuelson, A. Paul dan William D. Nordhaus. 2003. Ilmu Mikro Ekonomi. Penerbit PT. Media Global Edukasi.
17
Saputro. 2006. Analisis Finansial Pemberian Probiotik Tape Ubi Dan Susu Kedelai Asa, Dalam Air Minum Ayam Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana. Denpasar. Suharno, Bambang. 2007. Beternak Itik secara Intensif. Cetakan XV. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Suprijatna, Edjeng. 2005. Ayam Buras Krosing Petelur. Cetekan I. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, P. Soeharto, danL. Soekanto. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Zimmerer,
Thomas,
W.
Norman,
M.
Scarborough.
2004.
Pengantar
Kewirausahaan dan Manajemen Bisnis Kecil. Edisi Bahasa Indonesia. PT. Indeks. Kelompok Gramedia. Jakarta.
18