PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAI KATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsium dan Bernilai Kation Anion Berbeda adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap topik disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Deden Sudrajat NIM D162070011
ABSTRACT DEDEN SUDRAJAT. Production and Reproduction Performances of Garut Sheep Fed with Different Levels of Chromium, Calcium and Cation-Anion Balance. Supervised by TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDAT G. PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI. Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism and interactions with other minerals has not been widely known. Besides that chromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base balance and mineral metabolism in body liquid. Changes in the acidity of body liquid indirectly affect the characteristics of animal production and reproduction. Two experiments were conducted to assess the production and reproduction performance of Garut sheep offered rations with different dietary cation anion balance (DCAB) and supplemented with chromium (Cr) and calcium (Ca). In the first experiment four dietary treatments, namely: R0 (basal diet); R1 (R0+Cr 3 ppm), R3 (R0+ Ca); R3 (R2+ Cr 3 ppm), were allocated in twenty four of 1.5-2 years old Garut grade rams in a randomized block design. Albumin separation method was used to separated X and Y spermatozoa of Garut sheep. In the second experiment, treatments consisted of combinations of mating patterns and pregestating rations, namely: Ram R3 (Cr + DCAB 0) x Ewe R0 (DCAB +14) (RJA); Ram R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewe R2 (Cr + DCAB-10) (RBA); Ram R0 (DCAB+14) x Ewe R0 (DCAB+14) (RJBB). In the first experiment, the results showed that Cr supplementation in rations containing different levels of Ca did not affect feed intake, body weight gain, and dry matter digestibility, but reduced the absorption of Cr and also the absorption of Ca of the low Ca diet. The increased of Cr intake decreased the absorption of Cr. Supplementation of Cr had no effect on Cr, Ca, Zn, and Mg status in blood and semen of the rams. Intake of Cr and Ca were not related to the semen Cr and Ca levels. However Level of Cr intake tended to correlate negatively with the Cr absorption and correlate positively with blood Cr levels. There was a positive relationship between the level of Ca intake with the Ca and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. The results showed that Cr supplementation in the ration with different level of Ca and dietary cation anion balance (DCAB) not affect the rectal temperature as well as in respiration rate of Garut rams. Supplementation of Cr in the ration does not affect semen quality of Garut rams either macroscopically or microscopically. Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB reduced semen pH and membrane integrity the lower fraction spermatozoa on day 49. In the second experiment, results showed that there was a close relationship between gestational periods and body weight gain of gestating ewes. Cr supplementation and DCAB reduction in ram and ewe pre-gestating rations did not affect gestational periods. Lambs number of the same birth from Cr and DCAB10-supplemented ewes mated with Cr-supplemented rams tended to increase. Sex ratio of offspring from ewes mated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease. Key words: Chromium, dietary cation-anion balance, sex ratio of offspring
RINGKASAN DEDEN SUDRAJAT. Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsium dan Bernilai Kation Anion Berbeda. Dibawah bimbingan TOTO TOHARMAT, ARIEF BOEDIONO, IDAT G. PERMANA, and R. IIS ARIFIANTINI. Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia. Metabolisme dan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Namun demikian beberapa laporan menunjukkan peranannya dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Suplementasi garam mineral kromium dan mineral makro lainnya dapat mempengaruhi keseimbangan kation dan anion cairan tubuh, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan asam basa cairan tubuh. Suplementasi garam mineral Cr juga akan mempengaruhi metabolisme mineral lainnya. Keseimbangan kation anion dalam tubuh dapat dipengaruhi melalui pengaturan kadar natrium (Na), kalium (K), khlor (Cl), dan sulfur (S) ransum yang disebut neraca kation anion ransum (NKAR). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji manfaat suplementasi Cr pada ransum dengan nilai NKAR dan berkadar Ca berbeda. Domba Garut yang prolifik digunakan sebagai model untuk mengkaji performa produksi dan reproduksi sebagai respon terhadap suplementasi Cr pada ransum dengan nilai NKAR dan Ca berbeda. Penelitian ini terdiri atas dua tahap percobaan. Percobaan pertama adalah mengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan kualitas semen domba Garut. Percobaan menggunakan 24 ekor domba Garut Jantan berasal dari Sumedang berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg. Ransum perlakuan terdiri atas: R0 (ransum basal); R1 (R0+Cr 3 ppm); R2 (R0+Ca); R3 (R2+Cr 3 ppm), menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Mineral Cr yang digunakan adalah Cr yang terinkorporasi dalam kacang kedele selama proses fermentasi tempe oleh ragi (ragi kaya Cr). Separasi spermatozoa menggunakan metoda separasi albumin telur. Percobaan kedua adalah mengkaji pola kelahiran anak domba Garut. Sebanyak 17 ekor domba betina umur 20-30 bulan dengan bobot badan awal 30.3±1.98 kg digunakan untuk percobaan ini. Setiap ekor domba betina dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberi ransum perlakuan selama 49 hari dari percobaan pertama. Perlakuan pada penelitian ini adalah pola perkawinan berdasarkan perbedaan jenis ransum yang diberikan kepada jantan dan betina sebelum bunting. Pola perkawinan domba tersebut adalah sebagai berikut: (1) Perkawinan RJA: Domba Jantan R3 (Cr+NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); (2) Perkawinan RBA: Domba Jantan R1 (Cr+NKAR +14) x Domba betina R2 (Cr+NKAR -10); (3) Perkawinan RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14). Hasil penelitian pada percobaan pertama menunjukkan bahwa suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapi menurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransum rendah Ca. Peningkatan konsumsi Cr menurunkan penyerapan Ca. Suplementasi Cr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg dalam darah dan semen.
Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan kadar Cr dan Ca semen. Namun demikian, tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif dengan tingkat penyerapan Cr dan berhubungan positif dengan kadar Cr darah. Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg juga dengan kadar Ca dan Zn darah. Hasil penelitian menunjukkan suplementasi Cr dalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi suhu rektal dan laju respirasi domba Garut jantan. Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting. Suplementasi Cr dan penurunan NKAR pada ransum domba jantan dan betina sebelum dikawinkan tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.
Kata kunci: kromium, neraca kation-anion ransum, ratio jenis kelamin anak
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERFORMA PRODUKSI DAN REPRODUKSI DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM BERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN BERNILAI KATION ANION BERBEDA
DEDEN SUDRAJAT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Asep Sudarman, M.RurSc 2. Dr. Ir. Didid Diapari, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof (R). Dr. drh. Herdis, M.Si 2. Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Agr
Judul Disertasi
Nama Mahasiswa NIM Program Studi/Mayor
: Performa Produksi dan Reproduksi Domba Garut yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kromium, Kalsium dan Bernilai Kation Anion Berbeda : Deden Sudrajat : D162070011 : Ilmu Nutrisi dan Pakan (INP)
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Ketua
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc. Anggota
Prof. Dr. drh. Arief Boediono Anggota
Prof. Dr. Dra. R. Iis Arifiantini, M.Si Anggota
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal ujian: 19 Januari 2012
Tanggal lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan pada jenjang S3 Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan di Sekolah Pascasarjana IPB serta dapat menyelesaikan penelitian disertasi ini dengan baik. Disertasi ini bertujuan untuk mengkaji suplementasi mineral kromium, kalsium dan neraca kation-anion ransum terhadap performa produksi dan reproduksi domba Garut. selain itu mengkaji pengaruhnya terhadap nilai rasio kelamin anak domba yang dilahirkan. Sebagian dari disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Media Peternakan No. 34(3) tahun 2011, dengan judul Mineral Utilization in Rams Fed Ration Supplemented with Different Levels of Chromium, Calcium, and CationAnion Balance. Penulis
mengucapkan
banyak
terima
kasih
dan
menyampaikan
penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. drh. Arief Boediono, Bapak Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc. dan Ibu Prof. Dr. Dra. R.Iis Arifiantini, M.Si. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing atas arahan, nasehat, perhatian dan bimbingannya sejak pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penulisan disertasi, sehingga dapat menambah wawasan dan pengalaman penulis dalam melaksanakan penelitian dan penulisan karya ilmiah. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Bapak Rektor
Universitas Djuanda, Bapak Koordinator Kopertis Wilayah IV Bandung, dan Ibu Dekan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Kajur Jurusan Peternakan dan rekan-rekan dosen atas izin, dorongan semangat, dan doanya sehingga penulis dapat melanjutkan sekolah pascasarjana. Demikian pula tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Insitut Pertanian Bogor, Dekan dan staf Sekolah Pasca sarjana IPB, Dekan Fakultas Peternakan IPB, Koordinator Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan beserta staf dosen, laboran dan staf administrasi atas penerimaan dan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada tim manajemen Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Hibah Penelitian Tim Pascasarjana dan Hibah Penelitian Doktor, atas beasiswa dan dana penelitian yang diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Kepala Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan IPB dan Kepala Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas izin penggunaan sarana dan fasilitas laboratorium selama penelitian berlangsung. Tidak lupa penulis ucapakan terima kasih kepada Mas Bondan, Mbak Dian, dan Amir atas bantuan selama penelitian berlangsung. Penulis ucapkan pula terima kasih kepada Fahmul, Rimba dan Edo atas bantuan dan kerjasamanya.
Kepada rekan sesama mahasiswa
program doktor Pak Dede Kardaya, Bu Fauzia Agustin, Mas Iwan dan Bu Sri Suharti, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan diskusinya selama penulis mengikuti pendidikan dan penelitian di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih setinggi-tingginya dan penulis persembahkan karya ini kepada Mamah, Bapak, Istri dan Anak-anak penulis sayangi serta kakak dan adikadik penulis atas segala kasih sayang, pengertian, doa dan bantuan moril maupun meteril sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan dengan baik. Akhir kata, semoga disertasi ini bermanfaat dan Alloh SWT senantiasa meridoi, memberi hidayah, taufik dan inayah kepada kita semua.
Bogor, Januari 2012
Deden Sudrajat
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di DKI Jakarta, pada tanggal 4 September 1965. Penulis adalah
anak kedua dari enam bersaudara dari bapak yang bernama Ading
Supriyatna dan Ibu Hj. Tating Fatimah. Pada tahun 1979 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Silih Asuh II, Cirebon. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri III, Cirebon dan lulus pada tahun 1982. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri Cibadak, Sukabumi, mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus tahun 1985. Pada tahun 1985, penulis diterima sebagai mahasiswa S1 Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran dan lulus pada tahun 1991. Sejak tahun 1992 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar Kopertis IV Bandung diperbantukan di Jurusan Peternakan Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Unversitas Djuanda Bogor. Pada tahun 1996 sambil tetap bekerja, penulis melanjutkan pendidikan jenjang S2 pada Program Studi Ilmu Ternak Subprogram Nutrisi Ternak, Program Pascasarjana IPB Bogor dan lulus tahun 2000. Sejak tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program doktor pada Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan, Sekolah Pascasarjana, IPB. Penulis menikah dengan Lia Sobarliah, S.Pd pada tanggal 28 Pebruari 1998 dan dikaruniai tiga orang putra-putri yaitu Nisrina Alya Sudrajat (13 tahun), Denia Rizki Sudrajat (10 tahun), dan Fadhlan Fawaz Sudrajat (18 bulan).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xix PENDAHULUAN...................................................................................................1 Latar Belakang ....................................................................................................1 Tujuan Penelitian.................................................................................................4 Manfaat Penelitian...............................................................................................5 Hipotesis Penelitian.............................................................................................6 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................7 Deskripsi Domba Garut.......................................................................................7 Neraca Kation Anion Ransum.............................................................................8 Mineral Kromium................................................................................................9 Kromium sebagai Nutrien ...................................................................... 9 Metabolisme Kromium......................................................................... 10 Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain ........................................... 11 Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik ....................................... 11 Suplementasi Kromium dalam Ransum ............................................... 12 Fisiologi Semen Domba ....................................................................................13 Semen Domba ...................................................................................... 13 Spermatogenesis ................................................................................... 14 Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan...............................................................17 UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGAN RANSUMBERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN KATIONANION BERBEDA ..............................................................................................18 ABSTRAK ........................................................................................................18 PENDAHULUAN.............................................................................................20 MATERI DAN METODE ................................................................................21 Pakan Percobaan................................................................................... 21 Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya ................................................ 21
Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 22 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23 Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan......... 23 Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan.......................... 25 Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan........................ 28 Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan ................................................. 30 SIMPULAN ...................................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 31 KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM, KALSIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA ................................................ 35 ABSTRAK........................................................................................................ 35 PENDAHULUAN ............................................................................................ 37 BAHAN DAN METODE................................................................................ 39 Tempat dan waktu................................................................................. 39 Pakan Percobaan ................................................................................... 39 Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya ................................................ 40 Pengambilan Sampel dan Analisis........................................................ 40 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 41 Suhu dan Kelembaban Kandang ........................................................... 41 Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan.......................... 42 Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan.................................... 44 Kualitas Semen Domba Garut .............................................................. 45 Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi.................................. 49 SIMPULAN ...................................................................................................... 52 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 53 POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA ............................................................................ 57 ABSTRAK........................................................................................................ 57 PENDAHULUAN ............................................................................................ 59 BAHAN DAN METODE................................................................................. 61 Bahan Penelitian ................................................................................... 61 Rancangan Percobaan ........................................................................... 63 Pelaksanaan Penelitian.......................................................................... 63 Peubah yang Diamati ............................................................................ 64 xvi
xvii HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................................64 Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba Betina Bunting .......................................................................................... 64 Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan Lama Kebuntingan Domba Garut............................................................ 67 SIMPULAN.......................................................................................................70 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................70 PEMBAHASAN UMUM.....................................................................................73 SIMPULAN DAN SARAN..................................................................................79 Simpulan Umum................................................................................................79 Saran Umum......................................................................................................80 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................81 LAMPIRAN..........................................................................................................85
xvii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan...................................... 22 2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca .......................................................................................................... 24 3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 26 4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan status mineral dalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca .......................................................................................................... 27 5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 29 6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca............................................................... 30 7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca .......................................................................................................... 43 8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi dengan Cr dan Ca..................................................................... 45 9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H0 ........................................................................................................ 47 10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H21 ....................................................................................................... 48 11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H49...................................................................................................... 48 12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasil separasi albumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca....... 50 13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan dan betina pra-bunting........................................................................................................ 62 14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g) ............................................ 66 15 Rataan bobot badan domba Garut betina selama kebuntingan (kg) ................. 66 16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut..................................................................................... 68
xviii
xix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bagan alir penelitian .………………………………………………………… 5 2 Domba Garut jantan .……………………………………………………….… 8 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis ............................................... 15 4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan ………………………. 23 5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan .............................................. 24 6 konsumsi ransum domba Garut betina bunting (g BK) ................................. 65 7 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg) ......................... 67
DAFTAR LAMPIRAN
1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO) .................................................. 86 2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili, 1999) .........87 3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr ....................................................88 4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca ....................................................88 5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr .......................... .............................89 6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca .......................................................90 7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah ......................90
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang Performa
produksi
suatu
ternak
tidak
hanya
dilihat
dari
sifat
pertumbuhannya. Selain itu karakteristik reproduksi ternak merupakan bagian yang penting juga dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak, dan untuk menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai penghasil bakalan anak domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat penting bagi proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah) peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu. Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan efsiensi produksi susu sampai 30% jika
pada saat inseminasi buatan dapat
diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) praseleksi jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk meningkatkan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan. Domba Garut adalah ternak domba asal Jawa Barat yang merupakan plasma nutfah penting untuk dikembangkan di Indonesia. mengalami peningkatan
dari tahun 2004
Populasi ternak domba
(8.075.000 ekor) sampai 2009
(10.199.000 ekor), sedangkan jumlah produksi daging pada tahun 2009 dari sapi potong dan kerbau 443.9 ribu ton; kambing dan domba 128.1 ribu ton (Direktorat Jenderal Peternakan 2010).
Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi
(prolifik), memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe pedaging) (Mansjoer et al. 2007). Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan domba Garut dapat dilakukan melalui optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut
2 (Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan pengembangan domba Garut banyak pula dilakukan melalui perbaikan,
manipulasi nutrisi dan pemberian
pakan. Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan. Sebagian penelitian yang dilakukan adalah pemisahan secara langsung spermatozoa X dan Y dari ejakulat dengan menggunakan berbagai metode. Beberapa metode pemisahan spermatozoa X dan Y telah dilakukan dengan teknik Motilty and electrophoretic separation, Iso electric focusing dan sephadex column (Hafez 1987). Penggunaan larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin)
untuk memisahkan spermatozoa X
dan Y menghasilkan rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% (Hendri 1992). Saili (1999) melakukan separasi spermatozoa dengan menggunakan albumin telur sebagai medium separasi menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian lapisan atas. Selain daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan melakukan manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan mineral. Makanan dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin anak, khususnya kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin anak (Rosenfeld et al. 2003: Rosenfeld & Robert 2004). Suplementasi mineral tertentu juga dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin, terutama mineral yang mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam ransum dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003). Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolisme dalam tubuh. Kation Na dan K, serta anion Cl dan S adalah ion utama yang dapat mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan et al. 2005; Fathul et al. 2008). Nutrien penting bagi pertumbuhan dan proses reproduksi ternak. Kecukupan nutrien makro, harus disertai pula dengan terpenuhinya akan kebutuhan nutrien mikro, untuk meningkatkan proses metabolisme dalam tubuh. Kebutuhan akan akan nutrien makro dan mikro telah didefinisikan dengan baik (NRC 2007). Pentingnya Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya belum dapat dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010). Mineral Cr dalam bentuk glucose
3 tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010), berpartisipasi menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata
2007).
Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky 1981). Kadar Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005), mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan morfologi spermatozoa yang normal (Kumar 2008). Penelitian mengenai Cr masih sedikit demikian juga rekomendasi kebutuhan mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih terbatas (NRC 1997). Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi
akan meningkat pada
kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman panas (Alsaiady 2004). Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan untuk memenuhi kebutuhan akan Cr. Usaha untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya dalam pakan dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan oleh beberapa peneliti. Suplemen Cr meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr-khelat dan jamur kaya Cr. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997). Serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengkaji pengaruh perubahan NKAR terhadap performa produksi dan reproduksi.
Fathul et al (2008)
melaporkan rasio jenis kelamin tidak dipengaruhi oleh nilai NKAR dalam ransum domba Garut betina tetapi berhubungan pH cairan vagina dan pada NKAR ekstrim akan menurunkan performa produksi. Di sisi lain penurunan NKAR pada domba Garut jantan akan menurunkan pH semen dan diduga domba betina yang dikawinkan dengan pejantan yang diberi ransum dengan NKAR asam akan melahirkan anak betina lebih besar daripada jantan (Hidayat et al. 2009). Hasil tersebut menunjukkan masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut penulis
4 tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan nilai NKAR berbeda terhadap rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan tanpa mengganggu performa produksi dan reproduksi domba Garut betina dan jantan. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap percobaan (Gambar 1). Perobaan pertama dilakukan untuk mengkaji performa produksi, metabolisme mineral dan kualitas semen domba Garut jantan yang mendapat suplementasi Cr pada ransum dengan kadar Ca dan NKAR berbeda. Ransum yang memberikan respon positif terhadap kualitas semen dan karakteristik spermatozoa, digunakan pada percobaan kedua.
Percobaan kedua dilakukan untuk mengkaji pola kelahiran anak domba
Garut dari induk domba yang mendapat ransum bersuplemen Cr dan Ca dengan NKAR berbeda. Pada penelitian tahap kedua, khususnya akan diperoleh ransum percobaan yang dapat menggeser ratio jenis kelamin anak dari domba Garut. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji performa produksi dan reproduksi domba Garut jantan yang diberi ransum bersuplemen Cr dan Ca dalam ransum dengan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan neraca kation anion berbeda pada performa produksi yaitu utilisasi mineral dan pertambahan bobot badan domba Garut jantan. 2. Mempelajari pengaruh suplementasi Cr dan Ca dalam ransum dengan neraca kation anion berbeda pada performa reproduksi yaitu kualitas semen dan karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi albumin semen domba Garut. 3. Mengkaji efektivitas neraca kation anion ransum dan Cr dalam mempengaruhi pola kelahiran anak khususnya rasio kelamin anak domba yang dilahirkan.
5
Ransum yang disuplementasi Cr, Ca, pada NKAR Berbeda
Domba Garut Betina
Domba Garut Jantan
Pemberian ransum perlakuan dan pengamatan selama 49 hari Pertumbuhan dan Utilisasi Mineral Ca, Ca, Zn dan Mg domba Garut Jantan
Pemberian ransum perlakuan selama 49 hari
Kualitas Semen Segar dan Semen Hasil Separasi Albumin
Dikawinkan
Pola kelahiran Anak: Rasio jenis kelamin Jumlah kelahiran Bobot badan
Gambar 1. Bagan alir penelitian
6
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya peternak mengenai: 1.
Suplementasi Cr dan Ca pada ransum dengan nilai NKAR berbeda pada ternak ruminansia, khususnya domba.
2.
Pola interaksi mineral yang terjadi karena suplementasi Cr dan Ca dalam ransum.
3.
Pola kelahiran anak domba Garut khususnya rasio jenis kelamin akibat suplementasi Cr dan perubahan nilai NKAR.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Suplementasi Cr
dan Ca
dalam ransum dengan NKAR 0 akan
mempengaruhi konsumsi, pertumbuhan, status mineral semen dan darah, dan absorpsi mineral ransum domba Garut. 2. Suplementasi Cr
dan Ca
dalam ransum dengan NKAR 0 akan
mempengaruhi kualitas makroskopis dan mikroskopis semen serta dan mempengaruhi karakteristik spermatozoa fraksi atas dan bawah semen domba Garut hasil separasi albumin. 3. Suplementasi Cr
dan Ca
dalam ransum dengan NKAR 0 akan
menurunkan rasio jenis kelamin anak domba Garut yang dilahirkan.
7
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Garut Domba Priangan atau domba Garut adalah hasil persilangan antara tiga bangsa domba yaitu domba lokal, merino dan ekor gemuk dari Afrika Selatan. Ciri-ciri domba priangan adalah berbadan besar dan lebar serta leher kuat sehingga dapat digunakan sebagai domba aduan. Bobot domba jantan mencapai 60 – 80 kg dan domba betina 30 – 40 kg. Domba jantan bertanduk besar dan melengkung ke belakang berbentuk spiral (Gambar 2). Bagian pangkal tanduk kanan dan kiri hampir bersatu. Domba betina tidak bertanduk.
Warna bulu
beragam ada yang putih hitam dan coklat atau warna campuran tetapi umumnya berwarna dasar putih dan berbulu lurus. Ciri khas domba ini ialah mempunyai daun telinga yang kecil kuat dan agak runcing, atau ada yang tidak mempunyai daun telinga sama sekali.
Domba Garut memiliki tingkat kesuburan tinggi
(prolifik), potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging dan dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah. Domba ini banyak dipelihara sebagai domba aduan (tipe tangkas) dan sebagai sumber pedaging (tipe pedaging). Sesuai dengan namanya domba Priangan berasal dari daerah Priangan di Jawa Barat dan berpusat di Kabupaten Garut, khususnya domba Garut tipe pedaging banyak tersebar di Kecamatan Wanaraja dan Sukawening (Mansjoer et al. 2007; Riwantoro 2005; Sudarmono & Sugeng 2008). Domba Garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka lurus, bentuk mata normal, bentuk telinga hiris dan rubak, garis punggung lurus, bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro 2005). Sedangkan tubuh domba Garut tipe tangkas, yaitu bergaris muka cembung, telinga rumpung atau kecil, jantan memiliki tanduk yang kokoh dan kuat, bergaris punggung cekung, pundak lebih tinggi dari bagian belakang dan panggul lebih rapat dengan dada berukuran besar, ekor bertipe sedang sampai gemuk, sedangkan betina bertanduk kecil, garis punggung lurus, bagian dada tidak tampak mengembang seperti halnya pada jantan dan ekornya bertipe sedang (Mulliadi 1996).
8
Gambar 2 Domba Garut jantan
Neraca Kation Anion Ransum Dietary cation-anion balance (DCAB) atau neraca kation anion ransum (NKAR), adalah perbedaan miliequivalen antara kation dan anion tertentu dalam ransum dengan cara mengurangi miliequivalen anion dari miliequivalen kation dalam seluruh ransum. Pada umumnya, mineral yang sering digunakan dalam perhitungan NKA, yaitu dua macam kation (Na+ dan K+) dan dua macam anion (Cl- dan S-2).
Perhitungan nilai NKAR yang digunakan oleh Harris dan Beede
(1993), Moore et al. (2000), Roche et al. (2003), Borucki-Castro et al. (2004), dan Chan et al. (2005) adalah seperti berikut : NKAR = ( Na + K ) – ( Cl + S ) (meq/100 g BK ransum). Stewart (1983) menyatakan bahwa keseimbangan ion-ion stabil seperti natrium (Na+), kalium (K+) dan klorida (Cl-) berperan utama sebagai penentu keseimbangan asam basa dalam cairan biologis. Selain itu ion sulfur (S-2) juga mempengaruhi keseimbangan cairan biologis, walaupun S-2 tidak termasuk ion
9 stabil. Ion SO4-2 secara langsung bersifat asam terhadap cairan biologis dan dapat mengubah keseimbangan asam-basa jika ditambahkan ke dalam ransum konsentrasi tinggi . Penelitian mengenai keseimbangan kation-anion telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar pada sapi perah. Harris dan Beede (1993) menyatakan bahwa ransum dengan keseimbangan kation-anion positif diberikan pada sapi perah selama laktasi dapat meningkatkan produksi susu. Sebaliknya, pemberian ransum dengan keseimbangan kation-anion negatif lebih baik diberikan pada sapisapi perah pada waktu kering kandang sebelum beranak untuk mengurangi resiko milk fever dan mencegah parturient paresis, melalui mekanisme homeostasis metabolisme kalsium (Hu & Murphy 2004; Ramberg et al. 2009). Mineral Kromium Kromium sebagai Nutrien Kromium (Cr) adalah unsur logam transisi yang terdapat umumnya pada kondisi oksidasi 0, 2+, 3+, dan 6+. Mineral ini paling stabil pada valensi 3. Chromium berasal dari bijih, chromite (FeOCr2O3). Sebagian besar bijih Cr digunakan pada produksi baja stainless.
Unsur Cr telah digunakan sebagai
marker untuk laju makanan dan nutrien dalam saluran pencernaan. Unsur ini tersebar di air, tanah dan materi hidup. Bervariasi besar antara konsentrasi mungkin karena perbedaan prosedur analisis, standar dan lokasi geografis. Teknologi sekarang dapat mengukur konsentrasi Cr yang sangat kecil (sampai sekecil 1 ppb) namun sayangnya, sampel dapat mudah terkontaminasi bahkan oleh peralatan baja stainless dan Cr organik glucose tolerance factor (GTF) mudah hilang pada temperatur pengabuan yang tinggi (McDowell 1992). Mineral Cr bervalensi 3 merupakan bentuk nutrien dan juga terdapat dalam bentuk alami, tidak beracun dalam bentuk anorganik dan sebagian besar dalam bentuk kompleks organik. Pada sisi lain Cr digunakan secara ekstensif pada industri kimia dan metalurgi untuk baja stainless, pelapisan chrome, detergen, penyamakan kulit dan lain-lain. Pada proses tersebut Cr dapat berubah menjadi bentuk valensi 6 yang beracun dan karsinogen, oleh karena itu menjadi perhatian pemerhati lingkungan. Pada ekskreta dari ternak yang diberi Cr sebagai nutrien,
10 limbah Cr sangat sedikit dibandingkan limbah dari penggunaan industri. Di samping itu Cr ekskreta dari ternak dalam bentuk valensi 3 yang tidak beracun sedangkan limbah industri mengandung Cr valensi 6 (Mowat 2008). Unsur Cr merupakan nutrien penting untuk manusia dan hewan. Peranan utamanya adalah meningkatkan aksi insulin sebagai bagian dari glucose tolerance factor (GTF); suatu senyawa organometalik yang terdiri atas Cr+3, asam nikotinat, glisin dan sistein. Koefisien cerna bentuk Cr anorganik pada ruminansia belum diketahui, tetapi berkisar antara 0,5 – 2% pada manusia dan hewan laboratorium (NRC 1997). Efisiensi penyerapan dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh karena itu kandungan Cr total dalam ransum sangat tidak berhubungan dengan ketersediaan Cr dalam makanan.
Bentuk Cr organik lebih tersedia dibandingkan bentuk
anorganik. Terdapat beberapa Cr organik yang menjadi perhatian dalam suplementasi bentuk organik Cr ke ternak, diantaranya adalah Cr-pikolinat, Crnikotinat, dan khamir berkadar tinggi Cr (NRC 1997) Metabolisme Kromium Dalam larutan asam Cr ditemukan di lambung, Cr3+ terlarut dan membentuk kompleks dengan ligan. Kromium diserap di seluruh saluran pencernaan terutama jejenum. Meskipun model penyerapan belum jelas diketahui, namun diduga diserap secara difusi dan melalui carrier-mediated tranporter. Sekitar 0,4 – 2,5% Cr yang dikonsumsi diserap masuk ke sel usus. Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara kompetisi dengan tranferin dan diangkut bersama dengan Fe . Jika tranferin site tidak tersedia bagi Cr maka albumin diduga dapat mengangkut Cr. Tubuh mengandung sekitar 4 – 6 mg Cr. Jaringan yang mengandung Cr tinggi adalah ginjal, hati, otot, limpa, jantung, pankreas dan tulang. Kadar Cr jaringan menurun sesuai dengan umur. Unsur Cr diduga disimpan dalam jaringan bersama dengan besi dalam bentuk ferri (Fe3+) karena diangkut oleh tranferin (Gropper et al. 2009). Peningkatan penyerapan Cr dipengaruhi oleh: adanya asam amino dan ligan lain dapat membentuk chelat dengan Cr dalam lambung. Asam amino seperti phenylalanin, methionin dan histidin, dapat berperan sebagai ligan untuk memperbaiki penyerapan Cr. Pikolinat dapat berperan sebagai ligan Cr. Chelating tersebut membantuk Cr tetap larut dan mencegah proses olasi
11 pada pH alkalin di usus halus. Senyawa lipophilic seperti pikolinat juga bermanfaat meningkatkan penyerapan melalui membran sel lipid. Vitamin C juga meningkatkan penyerapan Cr. Mengkonsumsi 1 mg Cr (CrCl2) bersama dengan 100 mg ascorbate akan meningkatkan kadar Cr plasma dibandingkan tanpa minum askorbat. Terdapat inhibitor yang mempengaruhi penyerapaan Cr. Kromium anorganik dalam lingkungan netral atau basa bereaksi dengan hidroksil (OH-), yang akan segera berpolimerisasi membentuk senyawa dengan bobot molekul tinggi dalam proses yang disebut olasi.
Reaksi ini mengkibatkan presipitasi
(pengendapan) Cr sehingga menurunkan penyerapan. Antacid dan phytat menurunkan penyerapan Cr secara nyata (Gropper et al. 2009; Solomon 1988; Luseba 2005). Interaksi Mineral Cr dengan Mineral Lain Mineral mikro dapat berinteraksi dengan mineral lain, yang berpotensi menyebabkan gejala keracunan ataupun defisiensi (Luseba 2005). Interaksi mineral dengan mineral lainnya dapat terjadi dalam makanan, pada jaringan tertentu dan selama proses transpor dan ekskresi mineral. Namun yang paling utama adalah interaksi yang terjadi dalam saluran pencernaan. Interaksi mineral dengan mineral lainnya terjadi melalui mekanisme kompetisi atau coadaptation yang berhubungan dengan bentuk yaitu kemiripan mineral secara kimia (Solomon 1988). Konsumsi Cr yang tinggi akan menurunkan retensi mineral lain seperti Co, Fe, dan Mn (Luseba 2005). Dalam darah Cr3+ anorganik berikatan secara kompetisi dengan tranferin yang diangkut bersama dengan Fe (Gropper et al. 2009). Fungsi dan Keuntungan Bentuk Cr-Organik Peranan fisiologis utama dari Kromium adalah bagian integral dari Cr aktif biologis atau Glucose Tolerance Factor (GTF) yang berpotensi penting pada hormon insulin. Insulin tidak akan berfungsi secara efisien jika ransum defisien Cr.
Mineral Cr juga dibutuhkan untuk fungsi normal dari sel-sel β dalam
pankreas, yang mencegah hyperresponsif sekresi insulin terhadap stimulasi glukosa (Striffler et al. 1995). Kromium (III) dibutuhkan untuk penggunaan
12 glukosa dalam jaringan perifer, yang berperan bersama dengan insulin. Secara biologis bentuk-bentuk aktif kromium adalah disebut glucose tolerance factor (GTF). Suatu molekul organik kecil yang mengandung asam nikotinat, glisin, asam glutamat, sistein dan kromium, tetapi struktur tepatnya belum diketahui (Vincent 2000). Kromium dalam tanaman berada dalam bentuk organik dengan konsentrasi sekitar 30 – 50 ppb. Konsentrasi kromium total yang tinggi dalam makanan mungkin disebabkan oleh kontaminasi (tanah, debu, baja stainless) dalam pakan, terutama hijauan, atau kontaminasi dalam suplemen mineral. Analisis kromium terbatas dan membutuhkan spesialisasi tinggi. Kromium anorganik sangat buruk diserap, juga kromium anorganik ini harus diubah menjadi komplek organik, seperti GTF agar dapat berfungsi secara fisiologis. Pengubahan kromium anorganik (misalnya kromium klorida) dalam hati dan ginjal menjadi bentuk aktif rendah, bahkan sangat kurang, pada yang tua. Suplementasi bentuk komplek kromium organik meningkatkan penyerapan, menurunkan variabilitas respon dan meniadakan kebutuhan untuk kecukupan prekursor makanan (yaitu asam nikotinat, asam amino tertentu) untuk membantu penyerapan kromium anorganik dan mengubahnya menjadi bentuk bioaktif (Mowat 2008). Defisiensi Cr mempunyai kemampuan untuk menekan sintesis asam nukleat. Tikus yang diberi pakan rendah Cr secara nyata lebih rendah jumlah sperma dan menurunkan fertilitasnya dibandingkan kontrol yang disuplementansi Cr.
Kromium penting untuk menjaga stabilitas struktural protein dan asam
nukleat dan penelitian pada hewan menunjukkan bahwa unsur ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fetus (Anderson &
Polansky
1981).
Sedangkan Cr bervalensi 6 dapat mengganggu spermatogenesis dengan merangsang terbentuknya racun radikal bebas, dan suplementasi vitamin antioksidan dapat bermanfaat terhadap ternak yang dipengaruhinya (Aruldhas 2005) Suplementasi Kromium dalam Ransum Ketersediaan kromium yang terkandung dalam ransum komersial untuk ternak ruminansia masih belum diketahui. Usaha terus dilakukan untuk menentukan kebutuhan konsentrasi kromium dan ketersediaannya dalam pakan
13 dan suplemen untuk diberikan ke ternak ruminan. Suplemen kromium meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, kromium khelat, dan jamur berkromium tinggi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997). Kromium meningkatkan (P<0.08) jumlah eristrosit domba yang diberi pakan tinggi protein dan suplemen 400 ppb Cr-pic.
Pada penelitian ini
menunjukkan suplementasi Cr pengaruhnya tidak konsisten terhadap produksi dan karakter metabolik domba (Gentry et al. 1999). Penelitian Kichalong et al. (1995)
pada domba Suffolk
juga menunjukkan suplementasi Cr-pic tidak
berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan dan imbangan nitrogen.
Sebaliknya pada penelitian
Kornegay et al (1997)
menunjukkan bahwa suplementasi Cr-picolinat sebanyak 200 ppb dapat memperbesar otot longissimus dan suplementasi ini juga memperbaiki absorpsi N dan kecernaan bahan kering. Suplementasi Cr menurunkan plasma NEFA (Non Esterified Fatty Acid) dan 15% kolesterol selama pemberian 2 minggu.
Di
samping itu Cr-pic menurunkan 18% lemak rusuk ke-10 pada domba dan babi (Kichalong et al. 1995; Van de Lig et al. 2002). Suplementasi Cr-pic pada ransum ternak babi meningkatkan jumlah anak hidup yang dilahirkan tetapi menurunkan bobot lahir anak. Kadar Cr di kelenjar adrenal, ginjal dan hati meningkat secara linier oleh peningkatan suplementasi Crpic (Lindemann
et al. 2004). Sapi jantan kastrasi yang diberi Cr nikotinat
memiliki insulin serum yang lebih tinggi 15 dan 30 menit setelah infusi daripada yang disuplementasi dengan CrCl3 dan khamir ber-Cr tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kompleks Cr nikotinat khamir ber-Cr tinggi dapat mempengaruhi respon imun, dan kompleks Cr nikotinat mempengaruhi fungsi-fungsi yang berhubungan dengan insulin (Kegley & Spears 1995). Cara kerjanya, adalah dengan meningkatkan laju keluarnya glukosa setelah infusi insulin dan meningkatkan respon insulin pada sapi pedet yang diberi Cr-L methionin (Kegley et al. 2000). Fisiologi Semen Domba Semen Domba Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke
14 dalam saluran kelamin betina sewaktu kopulasi, tetapi dapat pula ditampung dengan berbagai cara untuk keperluan inseminasi buatan. Semen terdiri atas dua bagian yaitu spermatozoa atau sel-sel kelamin jantan yang bersuspensi di dalam suatu cairan atau medium semi-gelatinous yang disebut plasma semen. Spermatozoa dihasilkan di dalam testes sedangkan plasma semen adalah campuran sekresi yang dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap yaitu vesikularis dan prostata (Toelihere 1985). Komposisi kimia plasma semen domba
dalam 100 ml semen adalah:
protein 5000 mg, fruktosa 250 mg, asam sitrat 110-260 mg, natrium 178 mg, kalium 155 mg, kalsium 6 mg, magnesium 6 mg, dan klorida 86 mg (Garner & Hafez 2000). Sedangkan pada domba Garut, komposisi kimia plasma semen dalam 100 ml semen adalah: lemak 220 mg, protein 4.140 mg, karbohidrat 800 mg, fruktosa 180 mg, glukosa 5.6 mg, manosa 2.8 mg, maltotriosa 40 mg, vitamin C 3.2 mg, vitamin E 24 mg, natrium 180 mg, kalium 117 mg, kalsium 9 mg, magnesium 6.12 mg, fosfat 60 mg, klorida 14 mg dan mangan 5 mg (Rizal et al. 2003) Spermatogenesis Spermatozoa dibentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididymis dimana spermatozoa disimpan sampai ejakulasi. spermatocytogenesis dan spermiogenesis.
Spermatogenesis meliputi
Proses pembentukan spermatozoa
meliputi 4 fase yaitu; Fase I (15 – 17 hari), pembelahan mitotik spermatogonia menjadi dua anak sel yaitu satu spermatogenium dormant yang menjamin kontinuitas spermatogonia dan satu spermatogonium aktif yang membagi diri 4 kali sehingga akhirnya membentuk 16 spermatocyt primer (2n); Fase 2 (kurang lebih 15 hari). Pembelahan meiotik dari spermatocyt primer (2n) menjadi spermatocyt sekunder (n); Fase III (beberapa jam), pembelahan spermatocyt sekunder menjadi spermatid; Fase IV (kurang lebih 15 hari), metamorphosis spermatid menjadi spermatozoa tanpa pembelahan (Toelihere 1985).
Hasil
pembentukan spermatozoa dilepaskan dengan proses yang disebut spermiasi dari sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi menuju rete testis. Pada domba, Seluruh proses spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Toelihere
15 1985; Senger 2005; Bearden & Fuquay, 2000).
Gambar 3 Pengaturan hormonal proses spermatogenesis
Spermatogenesis diatur oleh hormon, yaitu pada spermatocytogenesis dikendalikan oleh follicle stimulating hormone (FSH) dan spermiogenesis berada di bawah pengaruh luteinizing hormone (LH), suatu hormon gonadotrophin yang dihasilkan oleh adenohypophysa dan testesteron (Toelihere 1985). Pengaturan hormonal dimulai dari disekresikannya gonadotrophin releasing (GnRH) oleh hipothalamus
hormone
yang akan mempengaruhi hipofisa anterior
menghasilkan hormon FSH dan LH yang akan mengatur sel-sel Leydig dan Sertoli (Gambar 3). Testosteron dihasilkan sebagai akibat dari aksi LH terhadap sel-sel Leydig yang bekerja pada reseptor-reseptor yang terletak pada sel-sel Sertoli dan sel peritubular. Pengaruhnya terhadap sel-sel gamet hasil dari kerja hormon pada sel-sel sertoli dan selanjutnya sekresi faktor-faktor paracrine dari sel
16 Sertoli. Umpan balik terhadap pituitary terjadi melalui testosteron dan inhibin. Sel sertoli dibutuhkan untuk perkembangan sel-sel gamet (Griswold 1995). Sel-sel Sertoli dan epitelium epididymis mensekresikan cairan nutrien yang ejakulasikan
bersama dengan spermatozoa. Cairan ini mengandung hormon
(testosteron dan estrogen, enzim dan nutrien tertentu yang penting untuk maturasi spermatozoa. Selanjutnya dalam perjalanan melalui vas deferens, plasma semen berasal dari ampula, kelenjar
prostat, kelenjar vesikularis dan kelenjar
bulbourethralis (Cowper gland’s). Kelenjar vesikularis mensekresikan bahanbahan mucoid yang mengandung banyak fruktosa, asam sitrat dan nutrien lain. Kelenjar prostat menghasilkan kalsium, ion klorida, ion sitrat, posfat, dan enzim. Sifat alkalin dari prostar penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum karena cairan vas deferens relatif asam karena adanya asam sitrat dan produk akhir metabolik dari sperma dan tentunya akan membantu meningkatkan fertilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006). Spermatozoa memetabolisme molekul sederhana terutama gula-gula dan turunannya (yaitu fruktosa, glukosa, mannosa dan piruvat) melalui jalur aerobik dan anaerobik, untuk menghasilkan energi untuk motilitas dan menjaga gradien ion melewati membran (Noakes et al. 2001). Di samping fruktosa, semen terdiri atas banyak Ca, Mg dan Cu. Mineral ini dalam bentuk ionik mempengaruhi spermatogensis, berhubungan dengan produksi spermatozoa, maturasi, motilitas dan kapasitasi fertilisasi (Guyton & Hall 2006). Seng berperan dalam sistem reproduksi jantan, salah satunya adalah dalam partisipasi aktivitas ribonuklease yang sangat aktif selama mitosis spermatogonia dan meiosis spermatocyt. Seng juga membantu menstabilkan khromatin dan membran spermatozoa dan meningkatkan
sifat
mekanis
dari
spermatozoa
seperti
flagela
normal,
pembentukan midpiece dan motilitas spermatozoa. Mineral Se dalam bentuk Gpx4 secara efisien melindungi membran sel dari radikal bebas dan terutama ditemukan dalam sel-sel germinal. Disamping faktor-faktor dari plasma epididymis caudal, induksi motilitas selanjutnya membutuhkan juga peningkatan kadar cyclic AMP dan ion Ca. Selama transit epididymal, kadar
cAMP
intraspermatozoa dan aktivitas ATPase meningkat dimana zat tersebut penting untuk induksi motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011)
17 Rasio Kelamin Anak yang Dilahirkan Prapenentuan jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000).
Aplikasi teknologi
tersebut mengakibatkan perubahan jenis kelamin ternak yang dilahirkan. Rasio jenis kelamin didefinisikan sebagai proporsi jantan terhadap betina pada suatu populasi yang hidup dan biasanya dinyatakan sebagai jumlah jantan per 100 betina.
Cara untuk menyebutkan rasio kelamin dengan angka yang
dibatasi oleh titik dua (misalnya 1.05:1) atau dengan satu nilai misalnya 1.05 (Hylan 2007).
Fathul et al. (2008) menyatakan rasio kelamin anak dengan
membagi jumlah anak jantan dengan jumlah total anak sekelahiran dalam persen. Proses separasi jenis kelamin pada saat ini berdasarkan perbedaan jumlah DNA dalam kromosom X dan Y, kromosom X manusia mengandung sekitar 2.8% lebih banyak DNA dibandingkan kromosom Y, sedangkan pada mamalia lain berkisar 3-5% (Geldhill 1988). Meskipun sekarang metoda pemisahan spermatozoa yang mengandung kromosom X dan Y sudah efisien, namun semua laju fertilitas sperma yang dipisahkannya tidak bagus (Grant & Chamley 2007), dan viabilitasnya rendah (Ollero et al. 2000). Saat ini penelitian mengenai kemungkinan nutrisi dapat mengubah rasio jenis kelamin telah mulai yang dilakukan. Hasil penelitian Celik et al. (2003) menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan kaya Ca cenderung akan menghasilkan keturunan berjenis kelamin betina. Sedangkan Rosenfeld dan Robert (2004) melaporkan jenis kelamin tikus dapat dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Tikus yang diberi pakan yang mengandung zat lemak (60 kkal%) > karbohidrat (20 kkal%), peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% . Sebaliknya jika diberi pakan mengandung karbohidrat (70 kkal% > lemak (10 kkal%), maka peluang untuk mendapatkan anak betina < sekitar 35 – 48%.
18
UTILISASI MINERAL PADA DOMBA JANTAN DENGAN RANSUM BERSUPLEMEN KROMIUM, KALSIUM DAN KATION-ANION BERBEDA ABSTRAK Kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak ruminansia. Metabolisme dan interaksi mineral Cr belum banyak diketahui. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji utilisasi mineral dan pertumbuhan domba Garut yang diberi mineral Cr, Ca dan neraca kation anion berbeda. Perlakuan ransum adalah R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca, NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Kelompok dengan
menggunakan 24 ekor domba Garut jantan
berumur 1.5-2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung Ca berbeda tidak mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan kecernaan bahan kering ransum, tetapi menurunkan penyerapan Cr dan juga menurunkan penyerapan Ca pada ransum rendah Ca.
Suplementasi Cr tidak berpengaruh pada status Cr, Ca, Zn dan Mg
dalam darah dan semen. Tingkat konsumsi Cr cenderung berhubungan negatif dengan tingkat penyerapan Cr dan berhubungan positif kadar Cr darah. Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan tingkat penyerapan Ca dan Mg juga dengan kadar Ca dan Zn darah. Konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan kadar Cr dan Ca semen.
Kata kunci: kromium, kalsium, neraca kation anion, domba Garut
19
MINERAL UTILIZATION IN RAM FED RATION SUPLEMENTED WITH DIFFERENT LEVELS OF CHROMIUM, CALCIUM AND CATION-ANION ABSTRACT Chromium (Cr) is an essential mineral for ruminants. Its metabolism and interactions with other minerals has not been widely known. This experiment was designed to evaluate the utilization of minerals and growth of Garut ram fed ration suplemented with different level of Cr, Ca and Dietary Cation Anion Balances (DCAB). Dietary treatments, namely: R0 (basal diet, DCAB+14); R1 (R0+Cr 3ppm, DCAB+14 ), R2 (R0+ Ca, DCAB 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, DCAB 0), were alloted in twenty four of 1.5-2 years old Garut rams in a randomized block design. The results showed that Cr supplementation in rations containing different levels of Ca did not affect feed intake, body weight gain, and dry matter digestibility, but reduced the absorption of Cr as well as the absorption of Ca of the low Ca diet. Supplementation of Cr had no effect on Cr, Ca, Zn, and Mg status in blood and semen of the rams. Level of Cr intake had tend to negative correlation with the Cr absorption and tend to positive correlation with blood Cr levels. There is a positive relationship between the level of Ca intake with the Ca and Mg absorption and blood Ca and Zn levels. Intake of Cr and Ca were not related to the semen Cr and Ca levels.
Key words: chromium, calcium, dietary cation anion balance, Garut ram
20 PENDAHULUAN Mineral kromium (Cr) adalah mineral penting bagi ternak. Manfaat Cr telah diketahui 40 tahun lalu, sejak itu mulai banyak dilakukan penelitian mengenai peranan Cr dalam tubuh
(NRC 1997).
Mineral Cr dalam bentuk glucose
tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007). Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan menurunkan jumlah spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky, 1981). Kadar Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005), mengubah kualitas semen dan hormon reproduksi serta menurunkan jumlah dan morfologi spermatozoa yang normal (Kumar, 2008). Mineral dapat berinteraksi satu dengan lainnya, yang berpotensi menyebabkan keracunan ataupun defisiensi. Tingkat nutrien yang berlebihan dapat didiagnosis dan dicegah, sebaliknya defisiensi seringkali sukar dikendalikan dan diantisipasi karena suatu unsur memiliki berbagai peranan fungsional. Interaksi mineral terjadi di dalam saluran pencernaan, sehingga konsumsi mineral secara bersamaan mengakibatkan kompetisi dalam penyerapannya. Konsumsi Cr yang tinggi menurunkan retensi Co, Fe, dan Mn (Gropper et al. 2009; Luseba 2005).
Sebaliknya penurunan penyerapan Cr dapat terjadi jika Ca diberikan
dalam bentuk kalsium karbonat dan antasida (Mateljan 2010) dan ransum disuplementasi dengan Zn, V dan Fe (Krejpcio 2001). Selain itu asam fitat dalam pakan secara signifikan mengurangi penyerapan Cr (Krejpcio 2001; Mateljan 2010). Kation (Na+ dan K+) dan anion (Cl- dan SO4-2) memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolisme dalam tubuh dan nilai asam basa. Kadar kation anion tersebut dinyatakan dengan dietary anion cation balance (neraca kation anion ransum/NKAR) (Chan et al. 2005). Nilai NKAR mempengaruhi konsumsi
21 ransum, metabolisme Ca (Tauriainen 2001), kadar Mg dalam plasma dan semen (Hidayat et al. 2009) dan metabolisme asam amino (Mowat 2008). Mengingat pentingnya Cr dalam metabolisme nutrien, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji utilisasi mineral dan penampilan domba Garut jantan yang diberi ransum bersuplemen Cr dengan kadar Ca dan NKAR berbeda. MATERI DAN METODE Pakan Percobaan Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea. Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4 untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3 (NKAR 0) Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al. 2006). Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 1). Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr, NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal+ Ca + Cr, NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai ulangan. Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya Domba jantan berumur ±1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg digunakan pada percobaan ini.
Domba dikelompokkan sesuai dengan bobot
badannya. Domba dipelihara selama tiga bulan pada kandang individu bertempat di kandang Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen, lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga
22 hari ke 96 domba diberi pakan komplit perlakuan sebanyak ±3% dari bobot badan. Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00. Air minum disediakan ad libitum.
Tabel 1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum perlakuan Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01) Komposisi Kadar Nutrien Kadar Pakan (% BK) Hijauan jagung Bahan kering (%) 90.31 35 Dedak halus Abu (%) 7.4 21.5 Jagung kuning Protein kasar (%) 13.5 19.65 Bungkil kedelai Lemak kasar (%) 7.5 13.6 Bungkil kelapa Serat kasar (%) 17.5 8 Urea BETN (%) 0.25 44.4 Minyak jagung TDN (%) 67.8 2 Jumlah 100 Energi Bruto 3263 (Kkal/kg) Zn (ppm) 139.12 Mg (%) 1.46 Suplemen Cr (ppm) Ca (%) NKAR (meq)
2
R0 5.59 0.21 14
Ransum Perlakuan R1 8.59 0.21 14
R2 5.59 0.42 0
R3 8.59 0.42 0
Keterangan: R0 = Ransum basal, R1 = R0 + Cr, R2 = R0 + Ca, R3 = R2 + Cr (penambahan mineral pada R1, R2, dan R3 melalui perhitungan). 1 Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 2009 2 Hasil analisis mineral Laboratorium Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium Pakan Balitnak, 2009
Pengambilan Sampel dan Analisis Pada hari ke 35 hingga hari ke 42 dilakukan koleksi feses total untuk mengukur nilai kecernaan nutrien dan absorpsi mineral. Feses yang dikoleksi diambil sampelnya sebanyak 10% untuk dianalisis kadar mineralnya. Konsumsi ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan domba ditimbang setiap minggu. Pengukuran dan pengamatan peubah mulai dilakukan pukul 07.00.
23 Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode spermatogenesis). Pada hari ke 50 dilakukan koleksi semen pada setiap domba, kemudian kadar mineral semen dianalisis. Koleksi semen dilaksanakan pada pagi hari. Pada hari ke 53 dilakukan pengambilan sampel darah untuk mengetahui status mineral darah. Pengambilan sampel darah dilaksanakan 2 jam setelah pemberian pakan. Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel pakan dan feses menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg, Zn, dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan pengabuan basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS) Spectra AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971). Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan Pertambahan Bobot Badan Domba Garut Jantan Konsumsi ransum merupakan indikator dasar dalam menilai performans ternak maupun kualitas pakan. Pertambahan bobot badan ternak dipengaruhi oleh konsumsi, demikian pula dengan nilai kecernaan nutrien suatu pakan erat hubungannya dengan konsumsi. Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 4). Namun cenderung konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa suplementasi Cr sebanyak 0.3
ppm meningkatkan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga
24 tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987).
1200 1100
Konsumsi (g)
1000 R0
900
R1
800
R2
700
R3
600 1
2
3
4
5
6
7
Minggu
Gambar 4 Konsumsi bahan kering ransum domba Garut jantan
Tabel 2 Konsumsi bahan kering (BK), Cr, Ca, Zn, Mg dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Peubah Konsumsi: BK (g/h) BK (%BB) Cr (mg) Ca (g) Zn (mg) Mg (g) PBBH (g)
Perlakuan R0 873±176 2.64±0.40 4.16±0.80a 1.57±0.30a 103.61±19.86 10.84±2.08 114±70
R1
R2
R3
865±145 2.63±0.45 6.63±1.18b 1.63±0.29a 107.5±19.21 11.25±2.01 102±32
922±167 2.83±0.29 4.56±0.80a 3.46±0.61b 113.48±19.95 11.88±2.09 116±25
1088±167 3.02±0.59 7.97±1.50b 3.93±0.74b 129.12±22.33 13.52±2.55 109±64
Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Pertambahan Bobot Badan (kg)
25
7,00 6,00 5,00
R0
4,00
R1
3,00
R2
2,00
R3
1,00 0,00 I
II
III
IV
V
VI
VII
Minggu
Gambar 5 Pertambahan bobot badan domba Garut jantan Absorpsi Mineral Ransum pada Domba Garut Jantan Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3). Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi. Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr.
Selain itu konsumsi Cr yang
lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).
26 Tabel 3 Absorpsi mineral Cr, Ca, Zn dan Mg ransum domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Peubah Cr (%) (mg) Ca (%) (g) Zn (%) (mg) Mg (%) (g)
Perlakuan R0 68.52a ±9.86 2.88b ±0.79 78.11a ±5.93 10.71a ±2.03 32.47 ±15.44 31.92 ±11.14 73.05 ±7.95 73.28 ±14.11
R1 19.25b ±7.72 1.22a ±0.34 70.10b ±10.24 11.01a ±1.89 30.21 ±8.37 31.69 ±7.49 71.25 ±11.89 75.75 ±12.76
R2 58.03a ±12.34 2.71b ±1.01 82.53a ±8.09 23.97b ±4.24 35.58 ±7.65 40.98 ±14.81 65.82 ±5.44 79.56 ±14.06
R3 30.01b ±16.31 2.99b ±1.22 84.16a ±5.54 26.73b ±5.18 31.17 ±9.84 41.56 ±19.02 61.75 ±6.59 79.68 ±17.56
Keterangan: superksrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05). R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein (CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan Calbindin dalam usus (Suttle 2010).
Berdasarkan perioda pada tabel periodik
unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP. Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada absorpsi ransum R0 dan R1 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR pada R2 dan R3 merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut Ramberg et al. (2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-
27 (OH)2D3 dalam ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan mobilisasi Ca dari tulang. Absorpsi Zn tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca ransum berbeda. Nilai absorpsi Zn ransum domba perlakuan berada dalam kisaran cukup sempit yaitu antara 30.21 – 35.58 ppm. Nilai absorpsi mineral Mg dalam ransum domba tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda. Namun terdapat hubungan negatif antara konsumsi Ca dengan nilai absorpsi Mg (R=0.43, P<0.05). Tingkat konsumsi Ca yang tinggi dapat mengurangi absorpsi Mg dalam saluran pencernaan (Gropper et al. 2009).
Tabel 4 Korelasi dan regresi konsumsi mineral dengan absorpsi dan status mineral dalam semen dan darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Peubah Konsumsi Cr – Absorpsi Cr Konsumsi Cr – Cr darah Konsumsi Ca – Absorpsi Ca Konsumsi Ca – Absorpsi Mg Konsumsi Ca – Ca darah Konsumsi Ca – Zn darah Konsumsi Zn – Zn darah Konsumsi Mg – Ca darah Konsumsi Mg – Zn darah
R
Signifikansi
-0.58 0.42 0.48 -0.45 0.56 0.46 0.52 0.43 0.52
0.08 0.067 0.02 0.03 0.005 0.024 0.009 0.043 0.009
Regresi Y= 84.691-6.390X Y=0.022+0.016X Y=69.46+3.58X Y=77.01-3.41X Y=30.30+2.84X Y=4.65+0.221X Y=3.695+0.14X Y=24.87+1.101X Y=3.696+0.13X
Nilai absorpsi mineral Cr (Tabel 4) memiliki hubungan negatif dengan konsumsi Cr (R=0.58). Semakin tinggi konsumsi Cr menurunkan absorpsi Cr. Setiap peningkatan satu satuan konsumsi Cr maka menurunkan absorpsi Cr sebesar 6.4%. Nilai Cr darah juga memiliki hubungan positif dengan konsumsi Cr, semakin tinggi konsumsi Cr maka Cr darah meningkat. Persamaan regresi berganda yang dilakukan pada hubungan peubah konsumsi Cr dan Ca terhadap absorpsi Cr menunjukkan hubungan yang nyata (P<0.05), dengan persamaan regresi Y=0.682Ca – 0.257Cr + 2.035 (R=0.57).
Hal tersebut terjadi karena
absorpsi Cr juga dipengaruhi oleh kadar Ca ransum (Tabel 3).
Konsumsi Cr
tidak berhubungan dengan kadar Cr dalam semen. Pada kondisi ransum defisien atau marginal Ca, nilai absorpsi Ca berhubungan dengan konsumsi Ca. Semakin
28 tinggi konsumsi Ca maka terjadi peningkatan absorpsi Ca. Sementara itu konsumsi Ca berhubungan negatif dengan aborbsi Mg karena adanya kompetisi dalam saluran pencernaan. Sehingga konsumsi Ca yang tinggi akan menurunkan absorpsi Mg. Nilai status Ca dan Zn darah berhubungan dengan konsumsi Ca. Semakin tinggi Konsumsi Ca, meningkatkan nilai Ca dan Zn darah tetapi tidak diikuti dengan nilai Ca dalam semen. Dengan demikian status Cr dan Ca darah dapat dijadikan indikator kecukupan Cr dan Ca dalam ransum sedangkan Cr dan Ca dalam semen tidak menunjukkan informasi Cr maupun Ca dalam ransum. Status Mineral Semen dan Darah Domba Garut Jantan Suplementasi Cr pada tingkat Ca berbeda tidak mempengaruhi status Cr semen dan darah. Namun pada kondisi ransum dengan Ca cukup (R3), rataan kadar Cr semen cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan ransum rendah Ca (R1). Kadar Cr darah domba perlakuan berkisar antara 0.13 dan 0.22 ppm. Status Cr tersebut berada dalam kisaran kadar normal yaitu 0.01 – 0.3 ppm (NRC 1997). Nilai Cr semen tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum dan tidak juga mempunyai korelasi dengan konsumsi Cr. Hal ini berarti bahwa status Cr plasma semen lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor lain seperti antagonisme
mineral, hormon, vitamin, penyakit, stres (NRC 1997; Watts 1989) Status Ca dalam semen menunjukkan nilai yang sangat bervariasi 30.15 – 90.53 ppm. Hal ini menunjukkan pengaturan imbangan Ca semen tidak ketat seperti pada homeostasis mineral darah. Namun tampak bahwa suplementasi Cr cenderung menurunkan kadar Ca dalam semen (Tabel 5). Suplementasi Cr dan penurunan NKAR 0 tidak mempengaruhi status Ca darah domba. Kadar Ca darah berada dalam kisaran 32.19 – 42.05 ppm, yang berarti bahwa status Ca domba dalam kondisi marjinal. Kisaran Ca darah yang normal adalah 40 – 60 ppm (Georgievskii et al. 1982). Walaupun konsentrasi Ca darah dijaga dalam batas yang sempit oleh calcitonin dan parathyroid hormon (Suttle 2010), kadar Ca darah dapat mencapai nilai 112.5 – 118.1 ppm (Ratchford et al. 2001 ; Stojkovic 2009). Respon domba Garut terhadap suplementasi Cr dalam kondisi Ca tinggi diperkirakan akan lebih positif dibandingkan dengan kondisi rendah Ca. Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut tidak mempengaruhi Zn darah. Konsentrasi Zn darah domba percobaan berkisar antara 5 – 5.45 ppm, tetapi
29 masih dalam batas normal 4 – 6 ppm (Suttle 2010). Walaupun kadar Zn ransum domba penelitian cukup tinggi mencapai 139.12 ppm. Kadar Zn darah domba Garut lebih rendah dibandingkan kadar Zn plasma darah domba hasil penelitian Ratchford et al. (2001)
yaitu berkisar 9.1 ppm.
Rendahnya kadar Zn darah
domba Garut dapat menggambarkan adanya faktor-faktor yang membatasi penyerapan Zn. Faktor yang membatasi penyerapan Zn dan status Zn dalam darah adalah interaksi mineral, kecukupan Zn dalam ransum, vitamin, and chelating agent (Gropper 2009) Tabel 5 Status Cr, Ca, Zn dan Mg (ppm) dalam semen dan darah domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Perlakuan
Peubah Semen: Cr Ca Zn Mg Darah: Cr Ca Zn Mg
R0
R1
R2
R3
0.22±0.02 70.51±107.45 32.87±6.23 225±71
0.37±0.14 30.15±31.01 37.26±6.23 263±68
0.42±0.28 92.53±74.44 36.77±6.23 233±131
0.52±0.36 50.57±60.59 33.15±6.83 186±61
0.13±0.06 37.43±5.07
0.14±0.06 32.19±5.39
0.18±0.07 39.96±4.79
0.22±0.06 42.05±4.87
5.00±0.23 74.21±9.27
5.15±0.66 83.96±13.62
5.45±0.55 66.31±8.45
5.35±0.57 78.06±40.05
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr pada Ca ransum rendah dan cukup tidak mempengaruhi status Mg darah. Kadar Mg dalam darah domba Garut jantan berkisar antara 66.31 – 83.96 ppm.
Nilai kadar Mg darah domba Garut percobaan dapat
dikatagorikan tinggi, karena kadar Mg normal darah domba berkisar antara 22.5 sampai 26.1
ppm (Ratchford et al. 2001; Stojkovic 2009). Kadar Mg yang
tinggi dalam darah disebabkan kadar Mg ransum percobaan yang tinggi (Tabel 1). Menurut Georgievskii (1982) kadar Mg darah merupakan fungsi dari kadar Mg dalam ransum, semakin tinggi kadar Mg ransum maka kadar Mg darah akan meningkat. Hal ini berarti bahwa dalam kondisi status Mg yang baik, kadar Mg darah tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr.
30 Kecernaan Nutrien Ransum Perlakuan Kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, lemak dan serat kasar tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum domba (Tabel 6). Suplementasi Cr tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO) ransum. Penambahan Cr tidak mempengaruhi pencernaan dalam rumen maupun pasca rumen. Hasil ini sama dengan laporan Kitchalong et al. (1995) bahwa suplementasi Cr pikolinat 250 ppb pada ransum domba Suffolk tidak mempengaruhi pertambahan bobot badan dan imbangan nitrogen. Namun hasil ini berbeda dengan percobaan pada babi, dimana pemberian Cr pikolinat 200 ppb meningkatkan kecernaan bahan kering dan retensi nitrogen (Kornegay et al. 1997). Mackie et al. (2002), menyatakan bahwa aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan.
Pemberian Cr kecil pengaruhnya
terhadap fungsi rumen (Besong et al. 2001). Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr ransum tidak mempengaruhi aktivitas mikroba rumen.
Tabel 6 Kecernaan nutrien dan energi dapat dicerna (DE) ransum domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Peubah KCBK (%) KCBO (%) Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) DE (Kkal/kg)
Perlakuan R0 63.24±5.70 65.2±2.77 60.08±3.1 96.5±1.53 32.78±3.87 1263±247
R1 61.22±3.30 64.75±3.00 59.43±1.86 94.5±2.30 30.7±8.14 1432±268
R2 63.61±4.62 66.91±4.29 61.48±4.79 94.35±2.68 34.68±11.19 1518±419
R3 60.16±6.42 65.15±4.07 59.78±5.19 93.04±1.22 31.48±15.19 1704±462
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
SIMPULAN Suplementasi Cr pada tingkat Ca dan NKAR berbeda dalam ransum domba Garut jantan tidak mempengaruhi konsumsi pakan, kecernaan nutrien ransum dan pertambahan bobot badan. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan Ca pada ransum rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan Mg darah dan semen domba Garut. Konsumsi Cr cenderung berkorelasi negatif
31 dengan absorpsi Cr
dan berkorelasi positif dengan kadar Cr dalam darah.
Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan absorpsi Ca dan Mg serta kadar Ca dan Zn dalam darah. Tingkat konsumsi Cr dan Ca tidak berhubungan dengan kadar Cr dan Ca semen. DAFTAR PUSTAKA
Anderson RA, Kozlovsky AS. 1985. Chromium intake, absorption and excretion of subjects consuming self-selected diets. Ame J Clin Nutr 41(6): 11771183. Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect on sperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res. 3:1-5. Anderson RA, Polansky MM, Bryden NA. 2004. Stability and absorption of chromium and absorption of chromium histidinate complexes by humans. Biol Trace Element Res 101(3):211-218 [AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc Off Anal Chem, Arlington. Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromium pada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromium anorganik. Med Pet 29: 83-88. Besong S, Jackson JA, Trammell DS, Akay V. 2001. Influence of supplemental chromium on concentrations of liver triglyceride, blood metabolites and rumen VFA profile in steers fed a moderately high fat diet. J Dairy Sci 84(7):1679-85. Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of dietary cationanion difference on intake , milk yield, and blood components of the early lactation cow. J Dairy Sci. 88: 4384-4392. Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. Food Technol Biotechnol 4: 291-297. Georgievskii VI, Annenkov BN, Samokhin VT. 1982. Mineral Nutrition of Animals. Butterworth English. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA. Hal.513-516 Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisi fisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anion ransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35.
32 Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995. Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and Nutrient Partitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73: 2694-2705. Kraidees MS et al. 2009. Effect of supplemental chromium levels on performance, digestibility and carcass characteristic of transport-stressed lambs. Asian-Aus. J Anim Sci 22(8):1124-1132. Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive health impairments? (Review). J Turkish-German Gynecol Assoc 9(1): 60-69. Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. Supplemental chromium picolinate influences nitrogen balance, dry matter digestibility, and carcass traits in growing-finishing pigs. J Anim Sci 75: 1319-1323. Krejpcio Z. 2001. Essentiality of Chromium for Human Nutrition and Health. Polish J Environ Studies 10: 399-404. Lehninger AL, Nelson, David L, Cox MM. 2004. Principles of Biochemistry 4th edition. WH. Freeman, USA. Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:29722977. Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growth performance selected carcass characteristic and mineral status of feedlot cattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd. Mackie RI, McSweeney CS, Klieve AV. 2002. Microbial ecology of the ovine rumen. Dalam: M. Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO Plant Industry. Canberra Australia. hlm.73-80. Mathius IW, Yulistiani M, Puastuti, Martawidjaya. 2005. Pemanfaatan mineral kromium dalam ransum untuk induk domba bunting dan laktasi (Utilization of Organic Chromium in The Diet for Pregnant and Lactating Local Ewes). Seminar Peternakan dan Veteriner. hlm. 422-429. Mateljan, G. 2010. Chromium. The http://www.whfood.org. [27 Okt 2010].
World’s
Healthy
Food.
Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle. University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/Foods AndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20 Maret 2009] [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Ed. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in Animal Nutrition. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th revised edition. Washington DC: National Academic Press. Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review. Veterinarni Medicina 52(1):1-18.
33 Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis and glucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266. Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the Cation Anion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health and Productivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/ cationanion.html [2 Maret 2009] Ratchford WA, Milliken, Coffey KP,Kegley EB, Galloway DL. 2001. Apparent magnesium absorption and retention and serum mineral concentrations in lambs fed different sources of magnesium. The professional Anim Scientist 17:267–273. Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International, Wallingford. Hlm.453. Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel, manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma. Urologia 72: 461-464. Stojkovic J. 2009. The contents of some mineral elements in the blood serum of sheep in different Physiological cycles and with the Different level of minerals in a meal. Biotechnol Anim Husbandry 25 (5-6): 979-984. Tauriainen S. 2001. Dietary cation-anion balance and calcium and magnesium intake of the dry cow [Dissertation]. Helsinki: University Of Helsinki, Dept. of Animal Science. Vincent JB. 1999. Mechanisms of Chromium Action : Low-Molecular-Weight Chromium-Binding Substance. J Ame College Nutr 18:6 -12. Watts DL. 1989. The Nutritional Relationships of Chromium. J Orthomolecular Medicine 4(1):17-23.
35
KONDISI FISIOLOGIS DAN KUALITAS SEMEN DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM, KALSIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kondisi fisiologis dan kualitas semen domba Garut yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan neraca kation anion yang berbeda. Sebanyak 24 ekor domba Garut jantan berumur 1.5-2 tahun ditempatkan ke dalam rancangan acak kelompok. Perlakuan ransum adalah R0 (ransum basal, NKAR+14); R1 (R0+Cr 3ppm, NKAR+14 ), R2 (R0+ Ca, NKAR 0); R3 (R2+ Cr 3 ppm, NKAR 0). Metode separasi albumin digunakan untuk memisahkan fraksi bawah yang banyak mengandung spermatozoa Y dan fraksi atas yang banyak mengandung spermatozoa X.
Hasil penelitian
menunjukkan suplementasi Cr dalam ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi suhu rektal dan laju respirasi domba Garut jantan tetapi kenaikan laju respirasi dipengaruhi oleh suhu panas lingkungan pada siang hari. Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi profil hematologi darah, kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun
mikroskopis.
Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
Kata kunci: kondisi fisiologis, semen, kromium, neraca kation anion ransum (NKAR), domba Garut
36
PHYSIOLOGICAL CONDITION AND QUALITY OF SEMEN GARUT RAM FED WITH DIFFERENT LEVELS OF CHROMIUM, CALCIUM AND DIETARY CATION ANION BALANCE
ABSTRACT The study was conducted to assess the physiological condition and quality of semen Garut ram fed with different levels of Chromium (Cr), Calcium (Ca) and dietary cation anion balance (DCAB). Twenty four of male lambs 1.5-2 year old male was alloted into a randomized block design. Ration treatment, namely: R0 (basal ration, DCAB +14); R1 (R0 + Cr 3ppm, DCAB +14), R2 (R0 + Ca, DCAB 0); R3 (R2 + 3 ppm Cr, DCAB 0). Albumin separation method used to separate the lower fraction bearing spermatozoa Y and the upper fraction bearing spermatozoa X. The results showed that Cr supplementation in the ration with different level of Ca and dietary cation anion balance (DCAB) not affect the rectal temperature and respiration rate of Garut ram, but the increased rate of respiration is influenced by environmental temperatures during the day. Supplementation of Cr in the ration did not affect hematology profile, semen quality
of
Garut
sheep
either
macroscopically
or
microscopically.
Supplementation of Cr in ration containing acid DCAB decreased semen pH and hypoosmotic swelling test of the lower fraction spermatozoa on day 49.
Key words: physiological condition, semen, Garut ram, chromium, calcium, dietary cation anion balance (DCAB)
37 PENDAHULUAN Nutrisi mineral telah dipelajari lebih dari 100 tahun oleh peneliti untuk memperbaiki penampilan ternak, keuntungan dan penerimaan konsumen melalui rekomendasi nutrisi. Sampai saat ini telah ditetapkan kebutuhan akan semua makro mineral dan mikro mineral untuk
ternak ruminansia (NRC 1996).
Mineral penting lainnya yaitu kromium (Cr) baru ditemukan setelah 50 tahun kemudian.
Manfaat Cr telah diketahui namun sampai saat ini kebutuhannya
belum belum dapat dinyatakan dengan tepat (Suttle 2010). Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann et al. 2004; Pechova & Pavlata 2007).
Defisiensi Cr dapat menekan sintesis asam nukleat dan
menurunkan jumlah spermatozoa serta fertilitas pada rodensia (Anderson & Polansky 1981). Sebaliknya kadar Cr yang tinggi merugikan dalam produksi spermatozoa (Skandhan et al. 2005), mengubah kualitas semen, hormon reproduksi dan menurunkan jumlah dan morfologi spermatozoa normal (Kumar 2008). Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, karena berguna
untuk
pembentukan sel-sel benih (gamet) memelihara kelenjar assesoris, kelenjar hormon, sel-sel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan pembentukan plasma semen. Pemberian kalori yang tinggi dalam ransum dengan nutrisi lengkap mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003). Spermatozoa banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang mudah rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun di dalam plasma semen mengandung antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal radikal-radikal bebas dan menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi & Zarghami 2007). Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas SOD pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa motil
38 (Kobayashi et al. 1991).
Sedangkan penelitian pada domba Mouflon
menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim SOD ini dilaporkan mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Murray et al. 2003; Ozgocmen et al. 2003).
Suplementasi mineral Cr memperbaiki fertilitas dan
menurunkan kehilangan berat pada sapi bunting (Stahlhut et al. 2006) dan mengurangi pengaruh buruk cekaman panas serta meningkatkan kekebalan tubuh (Al-Muffarej et al. 2008). Hasil penelitian mengenai Cr masih sangat sedikit demikian juga rekomendasi kebutuhan mineral maupun ketersediannya dalam pakan masih terbatas (NRC 1997). Kebutuhan nutrisi untuk Cr tidak didefinisikan, tetapi akan meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak, tranportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 2007) dan pada kondisi cekaman panas (Alsaiady et al. 2004).
Beberapa peneliti memberikan Cr dalam pakan
untuk memenuhi kebutuhan akan Cr.
Ketersediaan Cr yang terkandung dalam
ransum komersial untuk ternak ruminansia masih belum banyak diketahui. Usaha untuk menentukan kebutuhan konsentrasi Cr serta ketersediaannya dalam pakan dan suplemen untuk diberikan pada ternak ruminan terus dilakukan oleh beberapa peneliti.
Suplemen Cr
meliputi CrNic, CrCl3, CrPic, Cr khelat dan jamur
berkromium tinggi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh positif tetapi hasilnya tidak konsisten (NRC 1997). Pengaturan mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolisme dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan anion khlorida dan belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan et al. 2005). Keasaman vagina berperan dalam pengaturan rasio spermatozoa X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987).
Kemungkinan
39 karakteristik
yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila
keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba Garut.
Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak
mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008). Mengingat masih terbatasnya informasi Cr dalam ransum domba Garut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji respon kondisi fisiologis dan kualitas semen domba Garut jantan yang mendapat ransum dengan kadar Cr, Ca dan NKAR yang berbeda. BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan di Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi buatan, Unit Rehabilitasi Reproduksi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Juli 2008 sampai dengan Nopember 2008. Pakan Percobaan Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan
urea.
Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4 untuk semua ransum dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R2 dan R3(NKAR 0). Unsur Cr yang disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006). Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 1). Perlakuan dalam percobaan ini adalah suplementasi Cr pada tingkat Ca dan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda. Ransum percobaan adalah sebagai berikut: R0 (Ransum Ransum basal, NKAR +14); R1 (Ransum basal +Cr, NKAR+14); R2(Ransum basal+Ca, NKAR 0); R3 (Ransum basal + Ca + Cr,
40 NKAR 0). Ransum perlakuan dialokasikan pada 24 ekor domba Garut jantan dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 4 perlakuan dan 6 kelompok sebagai ulangan. Hewan Percobaan dan Pemeliharaanya Domba berumur ± 1.5 tahun dengan bobot badan 32.02±3.71 kg digunakan pada percobaan ini. Sebelum percobaan terlebih dahulu dilakukan penimbangan bobot badan dan pengujian awal kualitas semen. Pengelompokan berdasarkan motilitas spermatozoa awal percobaan dilakukan untuk menganalisis peubah kualitas semen domba. Pengelompokan berdasarkan motilitas spermatozoa terdiri atas 2 kelompok yaitu kelompok A dengan motilitas diatas 70% dan kelompok B dibawah 70%.
Setiap satuan ternak kelompok motilitas ini disebar dalam
kelompok bobot badan. Domba dipelihara selama 3 bulan pada kandang individu. Pada 21 hari pertama, domba diadaptasikan pada kondisi manajemen, lingkungan perkandangan dan bahan pakan. Selanjutnya pada hari ke 22 hingga hari ke 96 domba diberi pakan perlakuan
sebanyak ±3% dari bobot badan.
Selama percobaan pakan domba diberikan sekitar pukul 7:00 dan 14:00. Air minum disediakan ad libitum. Pengambilan Sampel dan Analisis Pemberian pakan perlakuan diteruskan selama 49 hari (satu periode spermatogenesis). Konsumsi ransum setiap ekor domba diukur setiap hari dan domba ditimbang setiap minggu. Analisis kadar bahan kering dan nutrien sampel pakan menggunakan metode proksimat (AOAC 2005). Analisis mineral (Cr, Mg, Zn, dan Ca) sampel pakan, feses, darah dan semen domba diawali dengan pengabuan basah dan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS) Spectra AA220 series Varian (Carry & Allaway 1971). Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan setiap hari selama penelitian yaitu pada pukul 06.30 WIB dan 14.00 WIB dengan menggunakan termometer dan higrometer digital. Suhu rektal diukur menggunakan termometer digital Omron Model MC-270. Pengukuran suhu rektal dilakukan setiap minggu selama penelitian pada pagi hari jam 06.30 WIB dan siang hari jam 14.30 WIB. Pengukuran suhu rektal dilakukan dengan cara memasukan termometer ke dalam
41 rektum domba, kemudian lakukan pembacaan angka yang terdapat pada termometer setelah berbunyi. Pengukuran laju respirasi dilakukan setiap minggu selama penelitian pada pagi hari pukul 06.00 WIB dan siang hari pukul 14.00 WIB. Laju respirasi diukur dengan cara menghitung kembang kempis perut domba selama satu menit, dengan menggunakan stopwatch dan alat penghitung. Koleksi semen dilakukan pada hari ke-21 (pengamatan H0), hari ke-42 (pengamatan H21), dan ke-80 (pengamatan H49). Semen domba diuji kualitas dan kuantitasnya secara makroskopis dan mikroskopis (Arifiantini et al. 2004). Termasuk pengujian keutuhan membran membran plasma (MPU) menggunakan prosedur
hypoosmotic swelling (HOS) Test (Fukui et al. 2004).
Pengujian
Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah hasil separasi proporsi spermatozoa X dan Y menggunakan metode albumin (Saili 1999). Pengambilan sampel darah domba dilakukan (pada hari ke-81) dengan menggunakan venoject berheparin di bagian vena jugularis. Tabung venoject berisi sampel darah disimpan dalam wadah berisi batu es. Sampel darah tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis di Lab Patologi Klinik, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH, IPB. Kadar glukosa plasma darah
dihitung
dengan
metode
GOD-PAP
dengan
menggunakan
alat
Spectrofotometer Hitachi U-2001. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang Suhu dan kelembaban lingkungan kandang sangat berpengaruh terhadap penampilan produksi maupun reproduksi seekor ternak. Ternak yang dipelihara di lingkungan suhu dan kelembaban yang tepat akan menampilkan produksi secara maksimal. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (TNZ) untuk domba berkisar antara 22-31 oC.
Apabila terjadi peningkatan suhu
42 lingkungan
hingga
mencapai
35
o
C
atau
lebih
akan
mengakibatkan
ketidakmampuan dalam mempertahankan keseimbangan panas pada tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan serta kondisi reproduksi terutama proses spermatogenesis. Cuaca panas akan meningkatkan spermatozoa abnormal pada ternak domba (Rege et al. 2000). Suhu lingkungan kandang domba penelitian adalah minimum 24±1 oC dan maksimum 33±1
o
C dan kelembaban pada pagi hari 93±3% dan siang hari
68±9%. Suhu maksimum lingkungan kandang penelitian dua derajat di atas suhu TNZ. Tingginya suhu lingkungan akan menyebabkan cekaman panas. Namun respon setiap ternak berbeda terhadap suhu lingkungan tinggi. Faktor yang mempengaruhi cekaman panas adalah daya adaptasi dan aklimasi individu ternak, bangsa ternak, umur, dan jenis kelamin (Yousef 1985; Stockman 2006). Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan Suhu rektal dan laju respirasi dapat digunakan sebagai indikator kondisi fisiologis domba terhadap perubahan lingkungan maupun makanan. Jika suhu lingkungan meningkat akan diikuti peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan serta laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua ialah proses metabolik, perubahan hormonal dan enzimatik, kemudian terjadi penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum (Smith & Mangkoewidjojo 1988; Stockman 2006). Peningkatan suhu lingkungan kandang dari suhu yang rendah pada pagi hari menjadi suhu panas pada siang hari dapat menyebabkan cekaman panas. Peningkatan frekuensi respirasi dan suhu tubuh merupakan respon ternak terhadap cekaman panas. Penyaluran beban panas terutama melalui pernafasan membutuhkan metabolisme yang cepat berupa percepatan sirkulasi darah yang akan menghantarkan beban panas tersebut sehingga meningkatkan daya pompa jantung (Yousef 1985; Robinson 2002). Pada penelitian ini suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada siang hari berkisar antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38.2-40 oC (Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban siang hari yang
43 cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan domba garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak pada siang hari.
Tabel 7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca
Pagi
R0 38.74±0.14
Ransum perlakuan R1 R2 38.70±0.30 38.76±0.27
R3 38.95±0,41
( C)
Siang
39.00±0.19
38.88±0.20
38.09±0.28
39.14±0,36
Frekuensi Respirasi (nafas/menit)
Pagi
28.00±4.40
29.00±6.59
37.00±12.28
35.00±12.21
Siang
65.00±7.07
70.00±20.94
76.00±17.68
88.00±16.29
Peubah Suhu Rektal o
Waktu
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0.05) laju respirasi domba garut jantan. Suhu rektal dan laju respirasi domba garut jantan yang ransumnya disuplementasi dengan Cr dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rataan laju respirasi domba Garut jantan selama penelitian menunjukkan nilai di atas rata-rata frekuensi pernafasan ternak domba yang normal yaitu 15 – 25 nafas/menit (Smith & Mangkowidjojo 1988). Namun sesuai dengan hasil penelitian Hernaman (2001), bahwa kisaran frekuensi respirasi domba yang disuplementasi Zn pra cekaman sebesar 40 kali/menit dan pasca cekaman 104 kali/menit. Menurut Silanokove (2000), frekuensi respirasi dapat dijadikan indikasi cekaman panas, yaitu adalah 40-60 nafas/menit (cekaman ringan), 60-80 nafas/menit (cekaman sedang), dan 80-120 nafas/menit (cekaman berat). Pada perlakuan ransum R3, laju respirasi cenderung tinggi karena suplementasi Cr dan nilai NKAR 0 akan mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Rendahnya pH darah akan menyebabkan penurunan HCO3-, akibatnya akan meningkatkan laju pernafasan (Robinson 2002).
44 Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan Kadar hemoglobin plasma darah domba dengan ransum R0 (11.30 g%), R1(11.50g%) , dan R3 (11.20g%) dalam keadaan normal, kecuali domba yang mendapat ransum R2 (12.70g%) menunjukkan nilai hemoglobin sedikit di atas normal (Frandson 1992). Namun menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988) nilai kadar hemoglobin tersebut masih dalam batas normal yaitu 9 – 15 g%. Nilai rataan kadar hematokrit dan leukosit berada pada kisaran normal yaitu 11% menurut Frandson (1992) dan 29 – 35% menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Rataan kadar eritrosit sedikit di bawah batas normal yaitu 11 juta/ml menurut Frandson (1992) tetapi masih dalam batasan normal yaitu 4.0 – 12.0 juta/ml menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Suplementasi Cr dalam ransum (R2 dan R3) cenderung menurunkan kadar eritrosit darah domba. Kekebalan tubuh ternak selalu melibatkan sel darah putih yang berfungsi menjaga tubuh dari agen penyakit dan bakteri. Nilai rataan diferensiasi lekosit darah domba garut perlakuan menunjukkan nilai kadar netrofil yang lebih besar dibandingkan kisaran normal, sedangkan nilai kadar limfosit darah domba lebih kecil dari kisaran normal.
Peningkatan nilai netrofil mencapai dua kali dari
keadaan normal, hal ini mengindikasikan adanya cekaman panas terhadap ternak domba garut jantan percobaan. Pengukuran netrofil dan limfosit ini merupakan indikator cekaman panas yang biasa digunakan pada hewan ternak (Sugito et al. 2007). Nilai kadar netrofil darah domba yang disuplementasi dengan Cr (R1 dan R3) cenderung menurunkan nilai netrofil dibandingkan dengan kadar netrofil darah domba kontrol. Akan tetapi penelitian Chang et al. (1996) menunjukkan bahwa suplementasi Cr tidak mempengaruhi aktivitas fagositosit neutrofil. Eosinofil merupakan sel pertahanan tubuh yang berguna jika terjadi infeksi parasit, terutama parasit cacing dan sel ini akan menelan dan menghancurkan cacing yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui proses fagositosis. Nilai rataan kadar eosinofil yang berada diatas kadar normal menggambarkan terjadinya alergi pada ternak (Frandson 1992). Kadar eosinofil darah domba yang disuplementasi Cr (R1 dan R3) cenderung lebih rendah dibandingkan kadar eosinofil darah domba kontrol. Pemberian Cr, Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kadar glukosa
45 plasma darah domba. Kisaran nilai rataan kadar glukosa plasma darah domba Garut jantan adalah 42.76 – 46.73 mg/dl. Hasil ini sama dengan penelitian Sano et al. (2000) bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba pada suhu TNZ tidak mempengaruhi kadar glukosa darah, dan kadar glukosanya berkisar 50 – 54 mg/dl. Nilai rataan kadar glukosa darah domba setelah 1.5 - 3 jam setelah makan adalah 45.25 – 65.63 mg/dl (Poli 1998).
Tabel 8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi dengan Cr dan Ca Ransum Perlakuan Peubah
R0
Hemoglobin (g%) 11.30±1.03 Hematokrit (%) 31.83±4.58 Eritrosit (juta/ml) 9.57±2.12 Leukosit (ribu/ml) 7.73±2.25 Glukosa (mg/dl) 45.05±7.42 Differensiasi leukosit: Netrofil (%) Limfosit (%) Monosit (%) Eosinofil (%) Basofil (%) Netrofil/Limfosit
R1
Nilai Normal
R2
R3
Frand*
Smith**
11.50±0.84
12.70±1.21
11.20±1.72
11
9 – 15
33.67±2.88
34.00±2.83
30.00±5.55
32
8.85±2.20
10.61±1.73
8.31±2.11
11
29 – 45 4.0 – 12.0
8.63±2.54
9.26±1.14
9.02±3.09
7 – 10
9.0 -15
49.62±7.15
42.76±8.35
46.73±9.80
62.00±10.39 24.17±6.55 4.83±1.33 9.00±4.56 0
51.67±11.50 35.83±13.27 4.17±1.47 7.83±4.02 0.33±0.52
53.83±16.15 32.33±12.08 4.67±0.82 9.17±3.97 0
55.17±4.67 31.17±6.74 5.17±2.23 8.50±4.85 0.08±0.28
25-30 60-65 5 2–5
3.12±0.82
2.00±1.11
2.30±1.16
2.09±0.63
25/60
17.5- 50 50 – 75 0–6 0–8
*Nilai normal berdasarkan Frandson (1992). **Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkowidjojo (1988) Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam
ransum tidak
mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8). Kualitas Semen Domba Garut Peranan nutrien makro dan mikro sangat penting dalam keberhasilan
46 reproduksi ternak. Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa di tubuli seminiferi. Terdiri atas spermatositogenesis dan spermiogenesis. Selama spermiogenesis, potensi motilitas terjadi pada saat spermatozoa melalui epididymis, sedangkan kapasitas spermatozoa diperoleh di beberapa bagian organ reproduksi
(Cheah & Yang 2011). Ketidakseimbangan mikro mineral dalam
ransum dapat mempengaruhi spermatogenesis pada produksi, maturasi, motilitas dan kapasitas fertilisasi spermatozoa (Yakuub et al. 2009). Pengujian kualitas semen dari seekor ternak
dapat dilakukan secara
makroskopis (tanpa mikroskop) dan mikroskopis dengan bantuan mikroskop. Secara
makroskopis yang terdiri atas volume, pH, warna, dan konsistensi,
ternyata suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda
yang diberikan pada
domba garut tidak mempengaruhi nilai peubah kualitas makroskopis semen domba Garut pada pengujian hari ke-0 (H0). Demikian pula pada pengujian hari ke-21 dan ke-49,
suplementasi
Cr pada Ca dan NKAR berbeda tidak
mempengaruhi kualitas makroskopis semen domba Garut. Volume rataan semen pada hari ke-0 pengamatan (H0) berkisar antara 0.56 ml sampai dengan 0.71 ml, nilai rataan pH semen berkisar antara 6.25 sampai dengan 6.58 sedangkan peubah kualitas semen lainnya disajikan pada Tabel 9 untuk pengamatan H0, Tabel 10 untuk pengamatan H21 dan Tabel 11 untuk pengamatan H49. Uji kualitas secara
mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas
spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas mikroskopis semen segar domba Garut. Hal ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca pada NKAR berbeda tidak mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut. Proses fertilisasi melibatkan proses fisiologis dan biokimia kompleks yang tidak hanya dapat diukur melalui evaluasi semen rutin. Salah satu yang berperan adalah adanya enzim yang berfungsi untuk fertilisasi yang terdapat dalam akrosom. Karena akrosom terdapat dalam kepala spermatozoa dan karena permukaan spermatozoa dikelilingi oleh membran plasma maka keutuhan dari membran plasma perlu diuji. Salah satu cara pengujian membran plasma adalah
47 menggunakan larutan hipoosmotik yang dikenal dengan hypoosmotic swelling (HOS) test (Hafez 1993; Nur et al. 2005). Pengujian membran plasma utuh (MPU) dari spermatozoa dengan menggunakan hypoosmotic swelling test (HOS Test) telah terbukti baik digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keutuhan membran spermatozoa berbagai ternak seperti, kuda, sapi, dan kambing (Fonseca 2005). Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata nilai MPU pada domba garut tidak dipengaruhi pemberian Cr pada Ca dan NKAR berbeda. Nilai kisaran MPU spermatozoa domba Garut adalah 62.33 – 70.07%. Nilai MPU ini lebih baik dibandingkan nilai MPU pada kambing Saanen yaitu 53.7% (Nur et al. 2005) dan domba merino 47.2% (Fukui et al. 2004). Integritas membran plasma ditentukan oleh komposisi membran plasma spermatozoa. Membran plasma spermatozoa mengandung fosfolipid dan plasmalogen yang terdiri atas polyunsaturated fatty acid (PUFA). Rantai panjang asam lemak dari posfolipid membran plasma berasal dari metabolisme asam lemak linoleat (C18:2 n-6) dan α-asam lemak linolenat (C18:3 n-3) (Lenzi et al. 1996). Nilai MPU yang baik ini diduga karena ransum percobaan mengandung minyak jagung yang kaya PUFA terutama asam lemak linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60.4% (NRC 1985). Tabel 9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H0 Perlakuan R1 R2 0.60 ±0.26 0.66 ±0.21 6.40 ±0.33 6.45 ±0.36 1.00 ±0 1.50 ±0.55 1.83 ±0.41 2.33 ±0.82 3.00 ±0 3.00 ±0 71.67 ±2.58 70.00 ±5 84.95 ±1.88 83.95 ±5.11
0.71 6.25 1.50 2.33 3.00 65.00 77.61
2637 ±1476
2741 ±933
2754 ±654
3504 ±312
92.10 ±1.27 70.07 ±13.25
92.92 ±2.80 68.70 ±12.05
93.38 ±2.09 62.33 ±3.78
93.37 ±1.85 66.27 ±9.09
Peubah Volume (ml) pH Warna Konsistensi Gerakan Massa Motilitas (%) Sperma Hidup %) Konsentrasi (juta spz/ml) Morfologi Spz Normal (%) MPU (%)
0.56 6.58 1.33 1.83 2.42 71.67 80.53
R0 ±0.15 ±0.55 ±0.52 ±0.98 ±1.20 ±5.77 ±11.76
R3 ±0.33 ±0.15 ±0.55 ±0.83 ±0 ±10.80 ±3.22
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0) H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49
48
Tabel 10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disupelementasi Cr dan Ca pada H21 Peubah Volume (ml) pH Warna Konsistensi Gerakan Massa Motilitas (%) Sperma Hidup (%) Konsentrasi (juta spz/ml) Morfologi Spz Normal (%) MPU (%)
R0 0.80 6.35 1.33 2.33 3.00 67.50 81.08
±0.41 ±0.23 ±0.52 ±0.52 ±0 ±2.89 ±5.64
R1 0.78 6.33 1.00 2.17 3.00 74.00 87.43
Perlakuan R2 ±0.25 0.59 ±0.35 6.32 ±0 1.17 ±0.41 2.00 ±0 3.00 ±2.24 71.67 ±4.70 85.07
±0.32 ±0.24 ±0.41 ±0.63 ±0 ±5.77 ±5.67
R3 0.77 ±0.28 6.35 ±0.23 1.00 ±0 2.00 ±0 3.00 ±0 74.00 ±8.22 85.62 ±10.71
2741 ±721
2712 ±566
2591 ±746
2637 ±550
88.77 ±9.90 55.79 ±8.73
93.80 ±1.03 56.61 ±6.30
91.61 ±2.38 54.88 ±6.24
89.16 ±12.43 52.89 ±13.93
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0) H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49 Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kental Nilai warna: 1= putih susu, 2= kream
Tabel 11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H49 Peubah Volume (ml) pH Warna Konsistensi Gerakan Massa Motilitas (%) Sperma Hidup (%) Konsentrasi (juta spz/ml) Morfologi Spz Normal (%) MPU (%)
Perlakuan R0 0.57±0.42 6.37b±0.34 1.67±0.52 2.17±0.75 2.92±0.20 74.00±4.18 83.70±6.47 2850±74
R1 0.61±0.20 6.17b±0.08 2.00±0 2.33±0.52 2.67±0.26 73.00±4.47 83.77±5.57 3100±473
R2 0.68±0.42 6.48a±0.42 2.00±0 2.67±0.52 3.00±0 72.50±6.45 83.04±6.22 3000±851
R3 0.76±0.26 6.22b±0.04 2.00±0 2.50±0.55 2.92±0.20 73.75±4.79 86.04±3.25 3258±778
93.04±1.85 64.34±4.97
94.16±2.94 61.63±8.84
93.99±1.93 58.20±5.57
94.00±1.43 57.13±6.24
Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0) H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49 Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kental Nilai warna: 1= putih susu, 2= kream
49 Nilai motilitas spermatozoa pada pengamatan H0, H21 dan H49 cenderung menunjukkan kenaikkan (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71,67 pada H21; 72.50 – 74.00 pada H49). Terutama nilai motilitas spermatozoa pada perlakuan R3 terjadi peningkatan cukup tinggi yaitu dari 65.005 sampai 74.00%.
Hal
tersebut mengindikasikan adanya pengaruh pemberian pakan pada semua perlakuan yang telah memenuhi kecukupan nutrisi bagi ternak domba jantan. Jumlah Ca yang mencukupi pada ransum R3 diduga mempengaruhi peningkatan motilitas spermatozoa. Hal ini sejalan dengan Kanyinji dan Maeda (2010) dan Cheah dan Yang (2011)
bahwa pemberian Ca dalam ransum dapat meingkatkan
motilitas spermatozoa. Motilitas tertinggi terjadi pada H49 diduga karena lama proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay
2000).
Menurut Robinson et al. (2006)
lama
spermatogenesis pada domba adalah 47 hari, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan sebelum dikawinkan. Sehingga semua spermatozoa pada H49 merupakan spermatozoa yang telah dipengaruhi oleh nutrisi ransum perlakuan. Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi Sebelum dapat mengetahui perbedaan karakteristik spermatozoa X dan Y domba, spermatozoa dalam semen domba harus dilakukan separasi spermatozoa. Teknik separasi yang digunakan adalah separasi dengan kolom albumin. Menurut Saili (1999) teknik ini sederhana dan cukup baik untuk digunakan dan pada ternak sapi menghasilkan menghasilkan 73.5% spermatozoa Y pada fraksi bawah dan 71% spermatozoa X pada fraksi atas. Hasil pengujian kualitas spermatozoa fraksi atas dan bawah semen domba Garut hasil separasi menggunakan metoda albumin disajikan pada Tabel 12. Motilitas spermatozoa hasil separasi tidak dipengaruhi oleh
suplementasi Cr
dalam ransum domba pada koleksi hari ke-0, 21 ataupun ke 49. Nilai rataan motilitas spermatozoa setelah separasi lebih rendah (5.00 – 23.33% spermatozoa fraksi atas dan 20.00 – 32.50 spermatozoa fraksi bawah pada H0; 18.33 – 35.83% spermatozoa fraksi atas dan 22.50 – 48.33% spermatozoa fraksi bawah pada H21; 17.50 – 31.67% spermatozoa fraksi atas dan 23.33 – 30.00% spermatozoa fraksi bawah pada H49) bila dibandingkan dengan motilitas spermatozoa sebelum
50 dilakukan separasi (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71.67 pada H21; 72.50 – 74.00 pada H49). Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada saat separasi yaitu sentrifugasi dan penggunaan media yang mengandung bahan kimia, yang akhirnya akan mempengaruhi
viabilitas spermatozoa dengan terbukti dengan
menurunnya nilai MPU dan nilai motilitas spermatozoa.
Tabel 12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasil separasi albumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca Peubah Hari ke-0: Fraksi Atas Motilitas MPU Fraksi Bawah Motilitas MPU Hari ke-21 Fraksi Atas Motilitas MPU Fraksi Bawah Motilitas MPU Hari ke-49 Fraksi Atas Motilitas MPU Fraksi Bawah Motilitas MPU
Perlakuan R0
R1
R2
R3
11.67 ±11.25 45.60 ±5.92
15.83 ±17.44 37.83 ±6.37
23.33 ±18.89 46.60 ±15.44
5.00 ±4.47 34.86 ±12.50
23.33 ±27.51 41.11 ±4.47
20.00 ±22.80 35.41 ±12.41
32.50 ±29.62 45.42 ±6.33
27.50 ±31.10 37.61 ±18.35
23.33 ±18.89 35.83 ±23.96 49.13 ±14.4 38.98 ±8.67
18.33 ±25.43 36.47 ±13.42
25.00 ±24.08 42.77 ±8.66
44.17 ±15.94 48.33 ±20.66 46.48 ±9.81 46.90 ±6.97
22.50 ±24.03 47.40 ±12.11
46.67 ±16.33 42.91 ±17.58
28.33±14.38 39.45±10.70
31.67±14.38 39.54±9.60
17.50±21.15 35.38±11.72
31.67 ±17.51 31.62 ±6.97
30.00±10.49 47.46±16.96a
29.17±15.30 36.61±13.08b
23.33±16.63 36.84±10.66b
28.33 ±9.83 28.36 ±1.36b
Keterangan: Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0)
Motilitas spermatozoa fraksi bawah cenderung lebih tinggi daripada motilitas spermatozoa fraksi atas, baik itu pada pengamatan H0, H21 dan H49. Hal ini dapat diduga karena fraksi bawah adalah fraksi yang terdiri atas sebagian besar spermatozoa Y daripada spermatozoa X. Kandungan DNA spermatozoa Y lebih rendah 2.78% daripada spermatozoa X; kepala spermatozoa Y lebih kecil
51 dan lebih ringan daripada spermatozoa X; panjang kromosom Y lebih pendek 2.35 kali daripada kromosom X (Shettles 1970). Oleh karena itu, gerakan spermatozoa Y lebih cepat daripada spermatozoa X (Ericsson & Glass 1982). Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan 21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 – 46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 – 49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%).
Spermatozoa pada fraksi bawah
sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr
dalam
ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi bawah. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen akibat suplementasi Cr dalam ransum.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen akan menurunkan motilitas spermatozoa. Pada
H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi kualitas semen.
Diduga kadar Cr dalam semen berpengaruh buruk terhadap
integritas membran spermatozoa terutama pada spermatozoa fraksi bawah. Seperti diketahui proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay 2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan nilai MPU baru terlihat pada spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh Cr yang diberikan. Hal in sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan (satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan. Sehingga respon reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak berpengaruhnya suplementasi Cr pada H0 atau H21 karena semen yang
52 diejakulasikan adalah hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya. Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, sebaliknya sperma X oleh karena itu pada kondisi asam yang akan membuahi sel telur adalah spermatozoa X, sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk zigot XY sehingga menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa.
Hidayat (2009)
melaporkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba dan perubahan mulai terjadi pada hari ke-28, dimana pH plasma berkisar antar 5.9 sampai 7.3.
Karakteristik spermatozoa seperti itu mungkin terjadi pula pada
spermatozoa domba jantan yang diberi perlakuan R3. Hal itu terjadi karena ransum R3 mengandung Cr lebih banyak dan memiliki NKAR 0 atau lebih asam dibandingkan ransum R0, R1 dan R2. Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut dapat diartikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang sebagian besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen domba Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba betina maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih banyak anak betina dibandingkan anak jantan. SIMPULAN 1. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar netrofil. 2. Suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis. 3. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.
53
DAFTAR PUSTAKA Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation on lactation performance and blood parameters of Holstein cows under heat stress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233. Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect on sperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5 Al-Muffarej SI, Al-haidary IA, Al-Kraidees MS, Hussein M. 2008. Effect of chromium dietary supplemention on the immune response and some blood biochemical parameters of tranport-stressed lambs. Asian-Aus J Anim Sci 21(5):671-676. [AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc. Off. Anal. Chem., Arlington Arifiantini RI, Yusuf TL,Toelihere MR. 2004. Proses Produksi Semen Beku Kerbau dengan Sistem Minitub. Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan. Departemen Reproduksi dan Kebidanan, FKH IPB. Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromium pada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromium anorganik. Med Pet 29: 83-88. Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Missisisipi State University. Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawed European mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologous fertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. Repr Fertility and Development 15: 19–25 Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. Food Technol Biotechnol 4: 291-297. Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary CationAnion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of the Early Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392. Chang X, Mallard BA, Mowat DN. 1996. Effects of chromium on health status, blood neutrophil phagocytosis and in vitro lymphocyte blastogenesis of dairy cows. Veterinary Immunology and Immunopathology. 52:37-52 Cheah Y, Yang W. 2011. Functions of essential nutrition for high quality spermatogenesis. Advance in Biosci Biotechnol 2:182-197. Ericsson RJ, Glass RH. 1982. Functional Differences Between Sperm Bearing The X Or Y Chromosome. In Amann RP, Seidel Jr GE , Editor. Prospects for Sexing Mammalian Sperm. USA: Colorado Associated University Press.
54 Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A . 2008. Keasaman Cairan Tubuh dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi KationAnion Ransum yang Berbeda. Med Pet 31(2):87-98 Fonseca JF et al. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat spermatozoa. Anim Repr Sci 2(2):139-144. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Fukui Y et al. 2004. Validation of the Sperm Quality Analyzer and the Hypoosmotic Swelling Test for Frozen-thawed Ram and Minke Whale (Balaenoptera bonarensis ) Spermatozoa. Repr 50(1): 147-154 Hafez ESE. 1993. Philadelphia
Reproduction in Farm Animals.
5th ed. Lea Febiger,
Hernaman I. 2001. Metabolit dan Respons Antibodi Pasca Cekaman Transportasi pada Domba dengan Ransum yang Disuplementasi Seng dan Minyak Ikan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisi fisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anion ransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35. Kanyinji F., Maeda T. 2010. Additional dietary calcium fed to Barred Plymouth Rock roosters reduces blood cholesterol, elevates seminal calcium, and enhances sperm motility, thermo-tolerance and cryosurvivability. Anim repr sci 120:158-165. Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers in seminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMC Clinical Pathology 7:6 Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role of superoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutase activity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. Hum Repr 6(7):987-991. Kumar S. 2008. Is Environmental Exposure Associated With Reproductive Health Impairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc . 9(1):6069 Lenzi A, Picardo M, Gandini L, Dondero F. 1996. Lipids of the sperm plasma membrane : from polyunsaturated fatty acids considered as markers of sperm function to possible scavenger therapy. Hum Repr Update 2(3):246256. Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:29722977. Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.
55 [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Ed. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1996. Nutrient requirements of beef cattle. 7th edition. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1997. Nutrient requirements of Small Ruminant. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th revised edition. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 2007. The Role of Chromium in Animal Nutrition. Washington DC: National Academic Press. Nur Z, Dogan I, Gunayand U, Soylu K. 2005. Relationships Between Sperm Membrane Integrity And Other Semen Quality Characteristics Of The Semen Of Saanen Goat Bucks. Bull Vet Inst. Pulawy 49: 183-187. Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003. Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma and spermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42: 805-807 Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review. Veterinarni Medicina 52(1):1-18. Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis and glucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266. Poli Z. 1998. Kebutuhan Pakan dan Mrtabolit Darah Domba Laktasi Pertama Berdasarkan Kualitas Pakan dan Jumlah Anak [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pratt NC, Huck UW, Lisk RD. 1987. Offspring sex ratio in hamsters is correlated with vaginal pH at certain times of mating. Behav Neural Biol 48:310-316. Rege J et al. 2000. Reproductive characteristics of Ethiopian highland sheep. II. Genetic parameters of semen characteristics and their relationships with testicular measurements in ram lambs. J the International Goat Assoc 37(3):173-187. Robinson JJ et al. 2006. Nutrition and fertility in ruminant livestock. Anim Feed Sci Technol 126:259-276. Robinson NE. 2002. Hemostasis. In Textbook of veterinary physiology. Second edition, ed. J. G. Cunningham. St Louis: W. B. Saunders Company. p516 544. Rosenfeld CS et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to mice according to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS. Vol 10(8):4628–4632. www.pnas.org_cgi_doi_10.1073_pnas.0330808100 [21 Agusts 2009] Saili T. 1999. Efektivitas Penggunaan Albumen Sebagai Medium Separasi dalam Upaya Mengubah Rasio alamiah Spermatozoa Pembawa Kromosom X dan Y pada Sapi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
56 Sano H, Konno S, Shiga A. 2000. Chromium supplementation does not influence glucose metabolism or insulin action in response to cold exposure in mature sheep. J Anim Sci 78:2950–295 Shettles LB. 1970. Use of chromosome in pre-natal sex determinatioan. Nature (230): 52 - 54 Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel, manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma. Urologia 72: 461-4 Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed. Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203. Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively managed domestic ruminants. Livestock Prod Sci 67: 1-18 Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI Press. Jakarta Stahlhut HS, Whisnant CS, Spears JW. 2006. Effect of chromium supplementation and copper status on performance and reproduction of beef cows. Anim Feed Sci Technol 128: 266-275. Stockman CA. 2006. The Physiological and Behavioural Responses of Sheep Exposed to Heat Load within Intensive Sheep Industries [Thesis]. Western Australia: Murdoch University. Sugito, Manalu W, Astuti DA, Handharyani E, Cherul. 2007. Efek Cekaman Panas dan Pemberian Ekstrak Heksan Tanaman Jaloh (Salix Tetrasperma Roxb) Terhadap Kadar Kortisol, Trioditironin dan Profil Hematologi Ayam Broiler. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/jitv/jitv123-2.pdf. [20-03-09] Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International, Wallingford. Hlm. 453. Yaakub, H. et al. 2009. The effects of palm kernel cake based diet on spermatogenesis in Malin x Santa-Ines rams. Anim Repr Sci 115(1-4):182188 Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. I. CRC Press Inc. Boca Raton. Florida
57
POLA KELAHIRAN ANAK DARI INDUK DOMBA GARUT YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN KADAR KROMIUM DAN NERACA KATION ANION BERBEDA ABSTRAK Mineral kromium dan neraca kation anion ransum mempengaruhi keseimbangan asam basa dalam cairan tubuh. Perubahan keasaman cairan tubuh secara tidak langsung mempengaruhi karakteristik reproduksi ternak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola kelahiran anak dari induk domba garut yang mendapat ransum dengan kadar kromium, kalsium dan neraca kation anion berbeda. Perlakuan adalah pola perkawinan domba yang mendapat ransum perlakuan pra-bunting, yaitu RJA: Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting. Suplementasi Cr dan NKAR 0 pada ransum domba jantan dan betina sebelum dikawinkan tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jenis kelamin anak meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang diberi ransum basa. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.
Kata kunci: rasio jenis kelamin, kromium, neraca kation anion ransum, domba Garut.
58
LAMBING PATTERN OF GARUT SHEEP FED RATION WITH DIFFERENT LEVELS OF CHROMIUM AND CATIONANION BALANCE
ABSTRACT Chromium mineral and cation-anion balance in ration affects acid-base balance in body liquid. Changes in the acidity of body liquid indirectly affect the characteristics of animal reproduction. This study was done to assess lambing pattern of Garut ewes fed ration with different levels of chromium, calcium, and cation-anion balances. Treatments consisted of combinations of mating patterns and pre-gestating rations, namely: Rams R3 (Cr + DCAB 0) x Ewes R0 (DCAB +14) (RJA); Rams R1 (Cr+ DCAB+14) x Ewes R2 (Cr + DCAB-10) (RBA); Rams R0 (DCAB +14) x Ewes R0 (DCAB +14) (RJBB). Results showed that there was a close relationship between gestational age and body weight gain of gestating ewes. Cr supplementation and DCAB 0 in rams and ewes pre-mating rations did not affect gestational length. Number of lambs of the same birth from Cr and DCAB10-supplemented ewes mated with Cr-supplemented rams tended to increase. Sex ratio of offspring from ewes fed base ration containing high unsaturated fatty acid was higher than the natural ratio. Sex ratio of offspring from ewes mated with Cr and DCAB 0-supplemented rams tended to decrease.
Keywords: sex ratio of offspring, chromium, ration anion-cation balance, Garut sheep.
59
PENDAHULUAN Performa
produksi
suatu
ternak
pertumbuhannya. Reproduksi ternak
tidak
hanya
dilihat
dari
sifat
merupakan bagian yang penting dalam
proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi untuk menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk-induk sebagai penghasil bakalan anak domba. Oleh karena itu kebutuhan ternak domba betina sangat penting bagi proses produksi ternak. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah) peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu. Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan efsiensi produksi susu sampai 30% jika pada saat inseminasi buatan dapat diseleksi kelahiran anak betina.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui penentuan jenis kelamin anak
sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan. Hewan mamalia mempunyai sepasang kromosom yang menentukan jenis kelamin
dari
hewan
tersebut.
Berdasarkan
kromosom
kelamin
yang
dikandungnya, spermatozoa pada mamalia dapat dibedakan atas spermatozoa yang mengandung kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa yang mengandung kromosom Y (spermatozoa Y).
Secara alamiah rasio jenis
spermatozoa X dan Y berkisar 50%:50%, seperti hasil penelitian Garner et al. (1983) melaporkan bahwa rata-rata kandungan spermatozoa X dan Y dalam semen sapi adalah 49.5% dan 50.5%. Usaha menggeser rasio jenis kelamin telah dilakukan baik secara in vitro maupun in vivo. Sebagian penelitian in vitro yang dilakukan adalah pemisahan secara langsung spermatozoa X dan Y dengan menggunakan berbagai metode teknologi reproduksi. Beberapa metode pemisahan spermatozoa dengan teknik Motilty and electrophoretic separation, Iso electric focusing dan sephadex column (Hafez, 1987). Penggunaan larutan 6% BSA (Bovine Serum Albumin) telah
60 digunakan Hendri (1992) untuk memisahkan spermatozoa X dan Y menghasilkan rasio jantan 22.2% dan betina 77.8% pada fraksi semen bagian tengah. Sedangkan Saili (1999) dengan menggunakan albumin telur sebagai medium separasi menghasilkan 71.43% spermatozoa betina pada bagian lapisan atas.
Selain
daripada itu upaya lain dilakukan untuk tujuan tersebut dengan melakukan manipulasi nutrisi baik itu nutrien makro maupun nutrien mikro dan mineral. Nutrien penting bagi proses reproduksi ternak, yang digunakan untuk pembentukan sel-sel benih (gamet), kelenjar assesoris, kelenjar hormon, dan selsel dan zat-zat yang diperlukan dalam proses spermatogenesis dan pembentukan plasma semen.
Pemberian kalori tinggi dalam ransum secara nutrisi lengkap
mempengaruhi jenis kelamin pada tikus (Rosenfeld et al. 2003).
Spermatozoa
banyak mengandung asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA), yang dapat mudah rusak oleh radikal oksigen bebas. Namun spermatozoa juga mengandung antioksidan superoxide dismutase (SOD) yang dapat menangkal radikal-radikal bebas menjaga dari kerusakan oksidatif (Khosrowbeygi & Zarghami 2007). Enzim SOD berperan dalam motilitas sperma. Aktivitas superoksida dismutase (SOD) pada spermatozoa manusia berkorelasi dengan jumlah spermatozoa yang motil (Kobayashi et al. 1991).
Sedangkan penelitian pada domba Mouflon
menunjukkan bahwa penambahan SOD dalam media biakan meningkatkan daya hidup dan integritas akrosom spermatozoa (Berlinguer et al. 2003). Enzim ini mengandung mineral Zn, Cu dan Mn (Brown 1990; Murray et al. 2003; Ozgocmen 2003). Mineral Cr dalam bentuk glucose tolerance factor (GTF) dalam aliran darah diketahui berperan meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel melalui peningkatan potensi aktivitas insulin (NRC 2001), yang dibutuhkan dalam metabolisme lemak dan sintesis protein (Pollard et al. 2001; Suttle 2010). Peran tersebut memungkinkan Cr berpartisipasi dalam menjaga stabilitas struktur protein dan asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Lindemann 2004; Pechova & Pavlata 2007). Ketidakseimbangan Na, K, dan Ca dalam ransum dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin (Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003). Pengaturan
61 mineral ransum menghasilkan perubahan neraca kation anion ransum (NKAR). Kation dan anion tertentu memiliki pengaruh besar terhadap proses metabolik dalam tubuh. Khususnya, kation natrium dan kalium, dan anion khlorida dan belerang adalah ion utama mempengaruhi status asam-basa dalam tubuh (Chan et al. 2005). Keasaman cairan vagina berperan dalam pengaturan rasio spermatozoa X atau Y sebelum fertilisasi. Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, kemungkinan spermatozoa X yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk zigot XY dan menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). karakteristik
Kemungkinan
yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila
keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hasil penelitian Hidayat et al. (2009) menunjukkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba Garut.
Sedangkan pada domba betina nilai NKAR tidak
mempengaruhi pH cairan vagina (Fathul et al. 2008). Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan neraca katian anion ransum (NKAR) berbeda pada pola kelahiran anak domba Garut. BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi dan
Teknologi
Pakan,
Fakultas
Peternakan
Institut
Pertanian
Bogor.
Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Desember 2008 sampai dengan Juli 2009. Penelitian ini akan menggunakan domba betina sebanyak 17 ekor umur ± 20-30 bulan dengan bobot badan awal 30.3±1.98
kg.
Setiap ekor betina
dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberi ransum perlakuan selama 49 hari. Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea. Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4
62 untuk semua ransum, 9.7 g CaSO4 + 5.5 g CaCl2 untuk ransum R2 (NKAR-10) dan
9.7 g
CaSO4 untuk ransum R3 (NKAR 0).
Unsur Cr yang
disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006). Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 13). Selama dalam proses perkawinan, pakan yang digunakan adalah pakan pada ransum percobaan (Tabel 13).
Setelah domba betina bunting, pakan yang
diberikan adalah ransum komersil untuk ternak ruminansia dan rumput lapang (Brachiaria humidicola) diberikan ad libitum.
Tabel 13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan dan betina pra-bunting Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01) Komposisi Kadar Nutrien Kadar Pakan (% BK) Hijauan jagung Bahan kering (%) 90.31 35 Dedak halus Abu (%) 7.4 21.5 Jagung kuning Protein kasar (%) 13.5 19.65 Bungkil kedelai Lemak kasar (%) 7.5 13.6 Bungkil kelapa Serat kasar (%) 17.5 8 Urea BETN (%) 0.25 44.4 Minyak jagung TDN (%) 67.8 2 Jumlah 100 Energi Bruto 3263 (Kkal/kg) Zn (ppm) 139.12 Mg (%) 1.46 Suplemen Cr (ppm) Ca (%) NKAR (meq)
R02 5.59 0.21 14 (Basa)
Ransum Perlakuan R1 R2 8.59 5.59 0.21 0.62 14 (Basa) -10 (Asam)
R3 8.59 0.42 0 (Asam)
Keterangan: R0 = Ransum basal (NKAR +14), R1 = R0+Cr (NKAR+14), R2 = R0+Cr+ Ca (NKAR-10), R3 = R0+ Cr+Ca (NKAR0), penambahan mineral pada R1, R2, dan R3 melalui perhitungan. 1 Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 2009 2 Hasil analisis mineral Lab. Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium Pakan Balitnak, 2009
63 Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kandang betina individu, kandang domba pejantan dan pengusik, wadah pakan, wadah minum, timbangan 100 kg dengan ketelitian 0.5 kg, timbangan 5 kg dengan ketelitian 20 gram, dan timbangan O Haus 500 gram dengan ketelitian 0.1 gram, apron, Ultrasonography (USG) Aloka SSD 500 Japan.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan ulangan tidak seimbang. Perlakuan adalah pola perkawinan berdasarkan perbedaan jenis ransum yang diberikan kepada domba jantan dan betina sebelum dikawinkan.
Pola perkawinannya adalah pola perkawinan berdasarkan jenis
ransum perlakuan yang berikan kepada domba jantan dan betina dengan ulangan masing-masing 8, 5 dan 4 ulangan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (percobaan kualitas semen pada ternak domba Garut jantan), maka perlakuan pola perkawinannya adalah sebagai berikut:
RJA :
Domba Jantan R3 (Cr + Asam 0)
x
Domba betina R0 (Basa)
RBA:
Domba Jantan R1 (Cr+ Basa)
x
Domba betina R2 (Cr + Asam -10)
RJBB: Domba Jantan R0 (Basa)
x
Domba betina R0 (Basa)
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Pelaksanaan Penelitian Domba-domba betina dikandangkan sesuai dengan perlakuan perkawinan yang akan dilakukan. Setelah diistirahatkan satu hari, mulai esok hari dilakukan pengamatan tanda-tanda birahi pada setiap domba betina. Pengamatan domba birahi dilakukan oleh domba jantan pengusik. Pengamatan ini dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Bila ada domba yang birahi, domba betina langsung
64 dikeluarkan dan dimasukan ke kandang pejantan sesuai dengan perlakuan perkawinan kemudian dikawinkan. Perkawinan dilakukan selama domba betina masih birahi atau selama 2 hari Hal ini dilakukan sampai semua domba betina sudah dikawinkan.
Kemudian untuk mengetahui keberhasilan perkawinan
(domba bunting), dilakukan pengamatan kebuntingan setelah 3 minggu dengan menggunakan USG. Bila ada domba betina yang belum bunting, maka akan dikawinkan kembali pada siklus estrus berikutnya, sehingga semua domba betina menjadi bunting. Pengamatan konsumsi dilakukan setelah domba betina dinyatakan bunting (umur 3 minggu kebuntingan) karena setelah domba menjadi bunting, ransum perlakuan diganti menjadi ransum pemeliharaan sampai domba beranak. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada pada percobaan ini adalah: 1. Konsumsi ransum harian bahan kering (BK), protein, TDN, lemak kasar, serat kasar dan BETN (g/hari) domba betina bunting. Jumlah konsumsi harian (g/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan (g) dengan jumlah sisa ransum keesokan harinya (g). 2. Pertambahan bobot badan domba betina bunting (kg/2 minggu). Pertambahan bobot badan harian dihitung setiap 2 minggu dengan cara menghitung selisih bobot badan setiap 2 minggu pengamatan. 3. Jumlah anak yang dilahirkan. 4. Rasio jenis kelamin anak, dihitung dengan cara membagi jumlah anak jantan dengan jumlah total anak sekelahiran pada setiap pola perkawinan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba Betina Bunting Ternak membutuhkan nutrien ransum untuk memenuhi kebutuhan akan nutrien bagi hidup pokok, aktivitas dan produksi maupun reproduksi. Pada setiap fase pertumbuhan, kebutuhan akan nutrien berbeda. Pada ternak betina yang sedang bunting kebutuhan akan nutrien meningkat karena terjadi pertumbuhan
65 fetus yang juga membutuhkan nutrien terutama protein, TDN, lemak kasar, dan BETN. Seiring dengan peningkatan umur dan bobot badan kebuntingan maka konsumsi nutrien ransum domba bunting meningkat (Tabel 14). Rataan konsumi ransum domba betina bunting antara perlakuan pada setiap minggu tidak jauh berbeda (Gambar 6). Konsumsi ransum pada domba betina tidak berbeda karena setelah kebuntingan, domba memperoleh ransum dengan komposisi dan susunan ransum sama. Di samping itu bobot awal sebelum bunting diantara domba betina relatif sama.
Sejalan dengan peningkatan umur
kebuntingan, konsumsi ransum domba meningkat mulai umur kebuntingan 5 minggu sampai mencapai puncak umur kebuntingan 15 minggu. Hal tersebut dapat terjadi karena pada umur-umur 6 minggu terjadi peningkatan bobot badan yang terjadi karena pertumbuhan fetus yang mulai membesar. Setelah itu konsumsi konstan dan sedikit ada penurunan yang disebabkan oleh desakan perut domba karena pertumbuhan uterus dan fetus domba yang sudah besar akan menurunkan konsumsi.
Konsumsi Bahan Kering (g)
1000 900 800 700
RJA RBA
600
RJBB 500 400 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Umur Kebuntingan (minggu)
Gambar 6 konsumsi bahan kering ransum domba Garut betina bunting (g BK)
66
Tabel 14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g) Umur Kebuntingan (minggu) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
PK 34.3 34.6 37.0 49.3 51.3 55.6 54.6 60.0 63.0 62.1 63.0 66.1 68.6 69.3 69.9 63.7 59.2
TDN ±0.5 ±1.2 ±0.3 ±1.6 ±0.2 ±1.0 ±1.2 ±0.9 ±0.9 ±0.3 ±0.9 ±1.6 ±1.2 ±1.6 ±1.7 ±0.8 ±2.0
232.4 ±4.5 235.4 ±12.0 258.6 ±2.5 382.2 ±16.4 402.3 ±2.4 445.2 ±9.9 435.4 ±11.6 471.0 ±8.6 481.7 ±8.6 473.5 ±2.5 481.7 ±8.8 476.1 ±16.3 501.2 ±11.9 507.7 ±16.3 513.9 ±17.0 489.2 ±7.7 444.1 ±19.8
SK 104.2 105.6 117.2 178.8 188.8 210.2 205.3 221.2 224.5 220.4 224.5 217.8 230.3 233.6 236.7 228.3 205.8
±2.3 ±6.0 ±1.3 ±8.2 ±1.2 ±4.9 ±5.8 ±4.3 ±4.3 ±1.3 ±4.4 ±8.1 ±5.9 ±8.2 ±8.5 ±3.8 ±9.9
LK 12.7 12.9 14.1 20.5 21.6 23.8 23.3 25.3 25.9 25.5 25.9 25.8 27.1 27.5 27.8 26.3 24.0
±0.2 ±0.6 ±0.1 ±0.9 ±0.1 ±0.5 ±0.6 ±0.5 ±0.5 ±0.1 ±0.5 ±0.9 ±0.6 ±0.9 ±0.9 ±0.4 ±1.0
BETN 207.9 ±4.2 210.6 ±11.1 232.1 ±2.4 346.6 ±15.2 365.1 ±2.3 404.9 ±9.2 395.8 ±10.8 427.6 ±8.0 436.2 ±8.0 428.6 ±2.4 436.2 ±8.2 428.7 ±15.1 451.8 ±11.0 457.8 ±15.1 463.6 ±15.7 443.2 ±7.1 401.4 ±18.3
Tabel 15 Rataan bobot badan domba garut Betina selama kebuntingan (kg) Umur Kebuntingan (minggu) 0 6 8 10 12 14 16
RJA 31.2 32.6 32.8 35.6 34.9 35.0 36.1
Perlakuan RBA 28.8 30.8 33.3 34.4 34.9 35.8 35.8
RJBB 30.1 33.4 33.9 33.5 34.3 34.5 36.5
Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)
Pada Tabel 15 disajikan rataan bobot badan domba Garut sejak awal kebuntingan sampai umur kebuntingan 16 minggu. Pada tabel tersebut tampak bahwa mulai minggu ke-6 umur kebuntingan, bobot badan domba garut bunting meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang terjadi pada
67 minggu-minggu tersebut. Pertambahan bobot badan ini terjadi sebagian besar karena pertumbuhan fetus. Pertambahan bobot badan selama kebuntingan berhubungan sangat erat dengan umur kebuntingan dengan R sebesar 95.6% (Gambar 7).
Persamaan
antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan selama kebuntingan merupakan persamaan regresi, dengan persamaan Y= 0.704+0.369X (R2=0.91, P <0.01). Peningkatan umur kebuntingan satu minggu akan meningkatkan bobot badan betina bunting sebesar 0.369 kg. Pertambahan bobot badan betina bunting dipengaruhi oleh umur kebuntingan sebesar 91%, sedangkan 9% dipengaruhi oleh
Pertamhan Bobot Badan(kg/ekor)
faktor lain.
7,00 6,00 5,00 4,00 RJA
3,00
RBA
2,00
RJBB
1,00 0,00 6
8
10
12
14
16
Umur Kebuntingan (minggu) Gambar 6 Pertambahan bobot badan domba Garut betina bunting (kg)
Jumlah Anak, Rasio Jenis Kelamin, Bobot Lahir Anak dan Lama Kebuntingan Domba Garut Praseleksi jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplay pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem
68 produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000).
Aplikasi teknologi
tersebut mengakibatkan bergesernya rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan sesuai dengan yang diharapkan. Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut disajikan pada Tabel 16. Pada
perlakuan RBA,
jumlah anak sekelahiran lebih banyak
dibandingkan perlakan RJA dan RJBB. Sedangkan lama kebuntingan domba Garut dengan perlakuan RJA lebih lama 3 hari dibandingan pada domba garut dengan perlakuan RBA dan RJBB. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan (Tabel 16). Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB. Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang memiliki daya fertilitas dan viabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan
spermatozoa Y. Tabel 16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut Peubah Jumlah anak sekelahiran (ekor/induk) Rasio kelamin anak (%) Lama kebuntingan (hari) Bobot Lahir (kg): Anak Satu Anak Dua Anak Tiga Anak Empat Anak Lima
RJA 2.00±0.76 50.00±43.14 150±3.04
Perlakuan RBA 3.00±1.41 75.00±30.00 147±3.40
RJBB 2.25±0.84 77.48±44.72 147±2.70
1.92±0.03 1.92±0.25 1.33±0.39 -
1.58±0.75 1.47±0.21 1.22±0.26
2.00±0 1.77±0.59 1.08±0.44 -
Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)
69 Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basal yang diberikan pada domba Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung, yang mengandung banyak asam linoleat.
Kadar asam lemak tertinggi pada
minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994).
Hasil
penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak ) > karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% (pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Di samping itu ransum basa yang diberikan pada domba jantan RBA dan RJBB berpengaruh terhadap viabilitas spermatozoa, dimana spermatozoa Y lebih tahan pada kondisi basa. Penggunaan ransum basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung dapat meningkatkan rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA yang ransum domba jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau menekan pengaruh tersebut. Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menurun dibandingkan perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba jantan terhadap penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan. Berdasarkan hal tersebut,
pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan dapat
menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa penurunan NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa
Y selama
transportasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens menjadi ejakulat. Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara spermatozoa dan makro nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar vesikularis, ampula dan bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan viabilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).
70 SIMPULAN Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa hubungan yang sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting yang disuplementasi Cr dan penurunan NKAR.
Suplementasi Cr dan penurunan
NKAR pada ransum domba jantan dan betina tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan penurunan NKAR -10 cenderung meningkat. Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada
anak hasil
perkawian domba jantan yang diberi ransum basa. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun. DAFTAR PUSTAKA Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation on lactation performance and blood parameters of Holstein cows under heat stress. Anim Feed Sci Technol. 117(3-4): 223-233. Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawed European mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologous fertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. CSIRO Repr Fertility Dev 15:19–25 Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta. Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments to Investigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan J Nutr 2 (4): 238-241 Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary CationAnion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of the Early Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392. Cunningham EP. 1975. The effect of changing the sex ratio on the efficiency of cattle breeding operations. Livestock Prod Sci 2:29-38. Garner DL et al. 1983. Quantification of the X and Y chromosome bearing spermatozoa of domestic animal by flowcytometry. J Biol Repr 28:312-321 Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A. 2008. Keasaman Cairan Tubuh dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi KationAnion Ransum yang Berbeda. Med. Pet. 31(2):87-98
71 Green MP et al. 2008. Nutritional skewing of conceptus sex in sheep: effects of a maternal diet enriched in rumen-protected polyunsaturated fatty acids (PUFA). Repr Biol Endocr 6:21 Hafez ESE. 1987. Philadelphia.
Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger,
Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolom menggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angka kebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisi fisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anion ransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut. JITV 14(1): 25-35. Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: the state-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107. Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers in seminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMC Clinical Pathology 7:6 Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role of superoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutase activity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa. Hum Repr 6(7):987-991. [17 September 2008] Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:29722977. Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. [NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Ed. Washington DC: National Academic Press. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. Washington DC: National Academy Press. [NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7th revised edition. Washington DC: National Academic Press. Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003. Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma and spermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42: 805-807 Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review. Veterinarni Medicina 52(1):1-18. Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis and glucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266.
72 Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affecting offspring sex ratio : A Review. Biol Reprod 71:1063−1070. Rosenfeld CS. et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to mice according to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS 10(8):4628–4632. Saili T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalam upaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Y pada sapi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International, Wallingford. Hlm.453.
73
PEMBAHASAN UMUM Keberhasilan peningkatan produksi ternak respon sinergis dari bibit ternak, manajemen pemeliharaan dan pakan ternak, dan efisiensi reproduksi ternak yang baik. Pemberian nutrisi tidak hanya memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan tetapi juga mendukung efisiensi reproduksi yang baik. Reproduksi ternak adalah bagian yang penting dalam proses produksi. Ternak domba yang menghasilkan banyak anak (prolifik) sangat menguntungkan bagi peternak. Lebih jauh lagi untuk menghasilkan produksi ternak yang tinggi dibutuhkan induk sebagai penghasil bakalan anak domba. Pada ternak perah (kambing dan sapi perah) peningkatan kelahiran anak betina sangat penting bagi produksi susu. Cunningham (1975) menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat meningkatkan efsiensi produksi susu sampai 30% jika
pada saat inseminasi buatan dapat
diseleksi kelahiran anak betina. Hal tersebut dapat dilakukan melalui seleksi jenis kelamin anak sebelum dilahirkan. Menurut Johnson (2000) prapenentuan jenis kelamin ternak yang akan dilahirkan merupakan tuntutan dan sangat penting untuk memberikan efisiensi produksi tertinggi dari suplai pangan dunia. Bersama dengan perubahan yang terjadi pada bidang peternakan sepanjang generasi terakhir, aplikasi praseleksi jenis kelamin untuk sistem produksi menjadi semakin diperlukan. Usaha yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan domba Garut dapat dilakukan melalui optimalisasi dan aplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut (Boediono et al. 2007). Selain itu pelestarian dan pengembangan domba Garut banyak pula dilakukan melalui perbaikan, manipulasi nutrisi dan pemberian pakan sehingga akan memperbaiki performa produksi maupun efisiensi reproduksi domba Garut.. Penelitian ini mengkaji pengaruh suplementasi kromium dalam ransum yang mengandung kalsium dan neraca kation anion ransum (NKAR) berbeda pada respon produksi dan reproduksi domba Garut.
Suplementasi Cr dalam
ransum ternak dibutuhkan untuk metabolisme karbohidrat, lemak, protein, asam nukleat dan berperan dalam proses reproduksi karena diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan fetus, fertilitas dan produksi spermatozoa (Anderson & Polansky 1981; NRC 2001; Pollard et al. 2001; Suttle 2010; Lindemann 2004;
74 Pechova & Pavlata 2007). Sedangkan nilai NKAR akan mempengaruhi keseimbangan asam basa, khususnya pH darah dan semen, dan metabolisme mineral khususnya kalsium, serta rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan (Pratt et al. 1987; Stolkowski & Lorrain 1980; Celik et al. 2003; Chan et al. 2005; Hidayat et al. 2009). Suplementasi Cr dan Ca dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi bahan kering (BK) total, konsumsi BK mingguan dan pertambahan bobot badan harian (PBBH) domba Garut jantan (Tabel 2 dan Gambar 3). Namun cenderung konsumsi BK domba yang diberi ransum R3 lebih tinggi (Gambar 3). Hasil tersebut berbeda dengan yang dilaporkan oleh Kraidees et al. (2009) bahwa suplementasi Cr sebanyak 0.3
ppm meningkatkan konsumsi ransum dan
pertambahan bobot badan pada domba yang mengalami cekaman. Sedangkan pada penelitian Mathius et al. (2005) suplementasi Cr 4 ppm pada ransum ternak domba tidak mempengaruhi konsumsi dan pertambahan bobot badan. Kadar Cr ransum percobaan diduga telah cukup dan masih dalam kisaran aman sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum dan pertumbuhan. Kebutuhan Cr akan meningkat pada kondisi seperti aktivitas gerak atau stres, transportasi, dan infeksi ketika kehilangan Cr dalam urin meningkat (NRC 1987). Suplementasi Cr dalam ransum domba nyata menurunkan persen absorpsi Cr. Suplementasi Cr menurunkan jumlah Cr yang diabsorpsi pada ransum rendah Ca (R1) namun tidak berpengaruh terhadap ransum cukup Ca (R3) (Tabel 3). Ransum R1 dan R3 yang disuplementasi Cr 3 ppm persen absorpsinya menjadi turun yaitu 19.25% dan 30.01% dibandingkan ransum yang tanpa disuplementasi Cr. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Anderson et al. (2004) bahwa dengan suplementasi Cr-histidinate memperbaiki absorpsi kromium. Perbedaan tersebut diduga karena kebutuhan mineral Cr domba Garut telah tercukupi. Menurut Anderson et al. (2004), respon terhadap suplementasi Cr akan tampak pada ternak yang mengalami defisiensi atau marginal Cr.
Selain itu konsumsi Cr yang
lebih tinggi menyebabkan absorpsi Cr menjadi lebih rendah dibandingkan konsumsi Cr yang rendah (Anderson & Kozlovsky 1985). Hal tersebut diperkuat hasil persamaan regresi dan korelasi antara konsumsi Cr dengan penurunan absorpsi Cr (R=0.58) (Tabel 4).
75 Suplementasi Cr dalam ransum domba Garut menurunkan absorpsi Ca pada ransum R1 yang rendah Ca. Hal ini berarti bahwa suplementasi Cr pada ransum rendah Ca memperburuk absorpsi Ca. Pada ransum R2 dan R3 yang mengandung cukup Ca, suplementasi Cr tidak mempengaruhi absorpsi Ca. Absorpsi Ca dalam saluran pencernaan memerlukan Calbindin yaitu suatu Ca-binding protein (CaBP) untuk masuk ke dalam membran saluran pencernaan. Molekul CaBP memiliki afinitas yang tinggi terhadap Ca (Georgievskii et a1 1982). Namun afinitas yang lebih tinggi pada mineral lain mempengaruhi ikatan antara Ca dan Calbindin dalam usus (Suttle 2010).
Berdasarkan perioda pada tabel periodik
unsur, afinitas Cr lebih besar dibandingkan Ca, sehingga Cr lebih mudah berikatan dengan senyawa protein seperti CaBP. Selain itu terdapat kemiripan mekanisme kerja dan struktur antara Calbindin dan low molecular-weight chromium binding substance (LMWCr) (Vincent 1999) akan menyebabkan kompetisi antara mineral (Lehninger et al. 2004). Oleh karena itu rendahnya absorpsi Ca pada R1 diduga disebabkan oleh adanya kompetisi diantara kedua mineral tersebut untuk berikatan dengan CaBP. Rataan absorpsi Ca ransum R2 dan R3 lebih tinggi daripada ransum R1 dan R2 juga disebabkan oleh perbedaan NKAR. Rendahnya NKAR pada R2 dan R3 merangsang peningkatan penyerapan Ca dari usus. Menurut Ramberg et al. (2009), penurunan nilai NKAR meningkatkan produksi 1,25-(OH)2D3 dalam ginjal, sehingga meningkatkan efisiensi absorpsi Ca dan mobilisasi Ca dari tulang. Suplementasi Cr dalam ransum dengan kadar Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95 oC dan pada siang hari berkisar antara 38.09-39.14 oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38.2-40 oC (Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban siang hari yang cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan domba Garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak pada siang hari. Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara
76 statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam mempengaruhi (P>0.05)
ransum tidak
profil darah domba penelitian (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan ketatnya homeostasis metabolisme mineral dalam tubuh (Hidayat et al. 2009). Uji kualitas secara
mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas
spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas makroskopis dan makroskopis semen domba Garut (Tabel 9, 10, 11). Hal ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca pada NKAR berbeda tidak mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut. Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan 21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 – 46.60% pada fraksi atas dan 35.41 – 45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47 – 49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%).
Spermatozoa pada fraksi bawah
sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dan NKAR0 dalam ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi bawah. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen akibat suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya mennjukkan bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen akan menurunkan motilitas spermatozoa. Pada
H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan.
Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi kualitas semen. Seperti diketahui proses spermatogenesis pada domba lama proses spermatogenesis berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay
77 2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan nilai MPU baru terlihat pada spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh Cr yang diberikan. Hal in sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan (satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan. Sehingga respon reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak berpengaruhnya suplementasi Cr pada H0 atau H 21 karena semen yang diejakulasikan adalah hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya. Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut mengindikasikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang sebagian besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen domba Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba betina maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih banyak anak betina dibandingkan anak jantan. Hasil penelitian perkawinan induk dan pejantan domba Garut yang telah diberi ransum perlakuan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan (Tabel 16). Hasil tersebut sejalan dengan pendugaan rasio jenis kelamin anak berdasarkan nilai MPU spermatozoa hasil separasi kolom albumin (Tabel 12). Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB. Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang memiliki daya fertilitas dan viabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan
spermatozoa Y. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio
78 alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basa yang diberikan pada domba Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung, yang mengandung banyak asam linoleat.
Kadar asam lemak tertinggi pada
minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994).
Hasil
penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak ) > karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% (pada tikus). Selain itu menurut Green et al (2008) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Penggunaan ransum basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung dapat meningkatkan rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA yang ransum domba jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau menekan pengaruh tersebut. Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menunjukkan adanya penurunan dibandingkan pada perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba jantan terhadap penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan. Berdasarkan hal tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan dapat menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan.
Diduga bahwa
penurunan NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y selama transportasi dan maturasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens menjadi ejakulat. Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara spermatozoa dan makro nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar vesikularis, ampula dan bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan viabilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011). Implikasi teoritis dan praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan efisiensi reproduksi suatu usaha peternakan. Pada peternakan yang bertujuan untuk menghasilkan ternak pedaging, dibutuhkan ternak jantan yang diketahui pertumbuhannya lebih baik dari ternak betina. Pada peternakan ini pemberian pakan pada ternak bibit dengan tujuan untuk menghasilkan rasio jenis kelamin yang tinggi sehingga akan diperoleh lebih banyak anak jantan. Di pihak lain, pada peternakan ternak perah yang bertujuan
79 menghasilkan susu atau ternak betina sebagai bibit, maka dibutuhkan lebih banyak ternak betina.
Pada peternakan ini pemberian pakan juga dengan tujuan
menghasilkan rasio jenis kelamin anak yang lebih rendah. Program pelestarian dan pengembangan ternak domba Garut pada khususnya dan ternak ruminansia lainnya pada umumnya dapat menggunakan ransum ini. Namun diperlukan pengujian dalam skala populasi di lapangan yang lebih besar untuk konfirmasi hasil penelitian ini.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Umum Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Suplementasi Cr menurunkan absorpsi Cr dan absorpsi Ca pada ransum rendah Ca. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi status Cr, Ca, Zn, dan Mg darah dan semen domba Garut. 2. Konsumsi Cr berkorelasi negatif dengan absorpsi Cr dan berkorelasi positif dengan kadar Cr dalam darah. Terdapat hubungan positif antara konsumsi Ca dengan absorpsi Ca dan Mg serta kadar Ca dan Zn dalam darah. 3. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada kadar Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar netrofil. 4. Suplementasi Cr tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis. 5. Suplementasi Cr yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49. 6. Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada domba betina yang diberi ransum basa. 7. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi ransum NKAR asam dan Cr menurun dibandingkan ransum basa.
80 Saran Umum Saran yang dapat dikemukakan berdasarkan simpulan penelitian di atas adalah: 1. Pemeliharaan domba Garut memerlukan suhu lingkungan yang nyaman dan sirkulasi udara yang baik. 2. Pemberian mineral sebagai suplemen harus memperhatikan sumbangan mineral tersebut terhadap nilai NKAR. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjut pengaruh Cr dan
NKAR pada kualitas
semen dalam epididymis dan rasio jenis kelamin anak dari hasil separasi spermatozoa.
81
DAFTAR PUSTAKA Abu Hassan DA. 2005. Separation Techniques for X And Y Chromosome Bearing Human Spermatozoa [Dissertation]. Department of Biomedical Sciences Faculty of Health Sciences Tshwane University of Technology. Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect on sperm count and fertility in rats. Biol Trace Element Res 3:1-5 Aruldhas M et al. 2005. Chronic chromium exposure-induced changes in testicular histoarchitecture are associated with oxidative stress: study in a non-human primate (Macaca radiata Geoffroy). Hum Repr 20(10):2801– 2813 Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Mississipi State University. Boediono A, Setiadi MA, Agungpriyono S. 2007. Pelestarian plasma nutfah dalam pembentukan bank genom melalui optimalisasi sistem reproduksi dan aplikasi teknologi reproduksi bantuan pada domba Garut. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Borucki-Castro SI, Phillip LE, Girard V, Tremblay A. 2004. Altering dietary cation-anion difference in lactating dairy cows to reduce phosphorus excretion to the environment. J. Dairy Sci. 87:1751-1757. Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments to Investigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan J Nutr 2 (4): 238-241 Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary CationAnion Difference on Intake , Milk Yield , and Blood Components of the Early Lactation Cow. J Dairy Sci 88: 4384-4392. Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Buku Statistik Peternakan. Departemen Pertanian RI. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta. Garner DL, Hafez ESE. 2000. Spermatozoa And Seminal Plasma. In: Hafez ESE, B Hafez. 2000. Reproduction In Farm Animals. Ed ke-7 Baltimore: Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia. p.106-112 Gentry LR et al. 1999. Dietary Protein and Chromium Tripicolinate in Suffolk Wether Lambs: Effects on Production Characteristics, Metabolic and Hormonal Responses, and Immune Status. J Anim Sci 77:1284–1294 Grant VJ, Chamley LW. 2007. Sex-Sorted Sperm and Fertility: An Alternative View. Biol Repr 76:184–188. Gledhill BL. 1988. Selection and separation of X- and Y-chromosome-bearing mammalian sperm. Gamete Res 20:377–395. Griswold MD. 1995. Interactions between Germ Cells and Sertoli Cells in the Testis. Biol Repr 52: 211-216
82 Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism, Fifth edition. Wadsworth Cengage Learning, Belmont USA. Hal. 513-516 Guyton AC, Hall JE. 2006. Textbook of medical physiology. 11th Edition. Saunders Elsevier, Pennsylvania Harris Jr B, Beede DK. 1993. Dietary Cation-Anion Balancing of Rations in the Prepartum or Late Dry Period. In DS86 seri of the Animal Science Department Florida Cooperative Extension Service. Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. http://www.edis.ifas.ufl.edu [14 Pebruari 2009]. Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolom menggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angka kebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hu W, Murphy MR. 2004. Dietary cation-anion difference effects on performance and acid-base status of lactating dairy cows : A meta-analysis. J Dairy Sci 87(7):2222-2229. Hylan DA. 2007. In Utero And in Vitro Sex Ratio Of Bovine Embryos and Calves Originating From The Left And Right Ovaries [Dissertation]. Louisiana State University. Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: the state-of-the-art. Anim Repr Sci 60-61:93-107. Kegley EB, Spears JW. 1995. Immune Response, Glucose Metabolism, and Performance of Stressed Feeder Calves Fed Inorganic or Organic Chromium. J Anim Sci 73:2721-2726 Kegley EB, Galloway DL, Fakler TM. 2000. Effect of dietary chromium-Lmethionine on glucose metabolism of beef steers. J Anim Sci 78:3177– 3183 Kitchalong L, Fernandez JM, Bunting LD, Southern LL, Bidner TD. 1995. Influence of Chromium Tripicolinate on Glucose Metabolism and Nutrient Partitioning in Growing Lambs. J Anim Sci 73:2694-2705 Kornegay ET, Wang Z, Wood CM, Lindemann MD. 1997. Supplemental Chromium Picolinate Influences Nitrogen Balance, Dry Matter Digestibility, and Carcass Traits in Growing-Finishing Pigs. J Anim Sci 75:1319–1323. Kumar S. 2008. Is environmental exposure associated with reproductive health impairments? (Review). J. Turkish-German Gynecol Assoc.. 9(1): 60-69. Luseba D. 2005. The effect of selenium and chromium on stress level, growth performance selected carcass characteristic and mineral status of feedlot cattle [Thesis]. Universitiy of Pretoria Etd. Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972-2977
83 Mansjoer SS, Kertanugraha T, Sumantri C. 2007. Estimasi Jarak Genetik antar Domba Garut Tipe Tangkas dengan Tipe Pedaging. Med Pet 30(2): 129138 McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press, Inc. San Diego California. Moore SJ et al. 2000. Effects of altering dietary cation-anion difference on calcium and energy metabolism in peripartum cow. J Dairy Sci 83 : 20952104. Mowat DN. 2008. Supplemental organic chromium for beef and dairy cattle. University of Guelph, Canada. www.ksu.edu.sa/sites/Colleges/Foods AndAgriculture/AnimalProduction/Documents/alhaidary%20i.pdf. [20 Maret 2009] Mulliadi, D. 1996. Sifat fenotipe domba Priangan di Kabupaten Pandeglang dan Garut [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Noakes DE, Parkinson TJ and England GCW. 2001. Arthur's Veterinary Reproduction and Obstetrics. Saunders An imprint of Elsevier Limited. [NRC] National Research Council. 1997. The Role of Chromium in Animal Nutrition. National Academy Press. Washington, D. C. Ollero O et al. 2000. Separation of Ram Spermatozoa Bearing X and Y Chromosome by Centrifugal Countercurrent Distribution in an Aqueous Two-phase System. J Andrology, Vol. 21, No. 6 Pechova A, Pavlata L, 2007. Chromium as an essential nutrient : a review. Veterinarni Medicina 52(1):1-18. Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis and glucose uptake in ruminants. The Professional Anim Scientist 17:261-266. Ramberg CF, Ferguson JD, Galligan DT. 2009. Metabolic Basis of the Cation Anion Difference Concept DCAD. Center for Animal Health and Productivity University of Pennsylvania. http://130.91.88.59/pc96/ cationanion.html [2 Maret 2009] Rizal M, Toelihere MR, Yusuy TL, Purwantara B, Situmorang P. 2003. Karakteristik penampilan reproduksi pejantan domba garut. JITV 8(2): 134140 Riwantoro. 2005. Konservasi plasma nutfah domba Garut dan strategi pengembangannya secara berkelanjutan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Roche JR et al. 2003. Dietary cation-anion difference and the health and production of pasture-fed dairy cows. Dairy cows in early lactation. J Dairy Sci 86:970-978. Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affecting offspring sex ratio : A Review. Biol Repr 71:1063−1070. Senger PL. 2005. Pathways to Pregnancy and Parturition. Second Revised Ed. Cadmus Proffesional Communication, USA. Hlm 203.
84 Solomon NW. 1988. Physiological Interaction of Mineral. In: Bodwell CE, Erdman JW, editor. Nutrient Interaction. Marcel Dekker, Inc. Skandhan KP, Makada MT, Amit S. 2005. Levels of cadmium, chromium, nickel, manganese and lead in normal and pathological human seminal plasma. Urologia 72: 461-464. Stolkowski J, Lorrain J. 1980. Preconceptional Selection of Fetal Sex. Int. J. Gynaecol. Obstet 18(6): 440-3. Striffler JS, Law JS, Polansky MM, Bhathena SJ, AndersonRA. 1995. Chromium improves insulin response to glucose in rats. Metabolism. 44(10):1314-20. Sudarmono AS, Sugeng B. 2008. Beternak Domba. Edisi Rev. Cetakan ke-19. Penebar Swadaya, Jakarta. Stewart PA. 1983. Modern _ansom_ative acid-base chemistry. Can. J. Physiol. Pharmacol. 61:1444-1461 Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International, Wallingford. Hlm.453. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Cetakan ke-2. Penerbit Angkasa Bandung. Van de Ligt CPA, Lindemann MD, Cromwell GL. 2002. Assessment of chromium tripicolinate supplementation and dietary protein level on growth, carcass, and blood criteria in growing pigs. J Anim Sci 80:2412–2419 Vincent JB. 2000. Recent Advances in Nutritional Sciences : Biochemistry of Chromium. J Nutr 130: 715–718.
The
85
LAMPIRAN
86 Lampiran 1 Komponen medium Brackett-Oliphant (BO) Komponen Medium A (500 ml) 1. NaCl (Merck) 2. KCl (Merck) 3. CaCl2.2H2O (Merck) 4. NaH2PO4. 2H2O (Merck) 5. MgCl2.6H2O (Merck) 6. Phenol Red 0,5% (Sigma) 7. Distilled water Medium B (200 ml) 1. NaHCO3 (Merck) 2. Phenol Red 0,5% (Merck) 3. Distilled water Medium BO (100 ml) 1. Medium A 2. Medium B 3. Glukosa 4. Sodium pyruvat (Sigma) 5. Penisilin (Sigma) 6. Streptomisin (Sigma)
Jumlah 4,3092 g 0,1974 g 0,2171 g 0,0840 g 0,0697 g 0,1 ml 500 ml
2,5873 g 0,04 ml 200 ml
76,0 ml 24,0 ml 0,15 g 0,0137 g 100 IU/ml 0,005 gr/100 ml
87 Lampiran 2 Alur proses separasi spermatozoa dengan media albumin (Saili, 1999) Semen Domba
Sentrifugasi 2500 rpm 10 menit
Endapan Spermatozoa
++
BO
Konsentrasi Spermatozoa 150 Juta/ml
1 ml sampel spermatozoa
Tabung kolom pemisah Fraksi Atas 10% (2,5 ml albumin + 22,5 ml BO Fraksi Bawah 50%(7,5 ml albumin + 7,5 ml BO Biarkan mengendap 1 jam suhu 28oC
Fraksi Bawah
Fraksi Atas
Sentrifus 2500 rpm 10 menit
Sentrifus 2500 rpm 10 menit + BO
Sampel Spermatozoa X
Sampel Spermatozoa Y
88 Lampiran 3 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Cr
Dependent Variable: KONS_Cr Type III Sum of Squares
Source Corrected Model Intercept
Df
Mean Square
F
Sig.
67.900(a)
11
6.173
5.074
.005
816.667
1
816.667
671.270
.000
PERL
57.803
3
19.268
15.837
.000
BLOK
7.956
2
3.978
3.270
.074
.293
.929
PERL * BLOK
2.141
6
.357
Error
14.599
12
1.217
Total
899.166
24
Corrected Total
82.499 23 a R Squared = .823 (Adjusted R Squared = .661)
Tukey HSD konsumsi Cr N PERL R0
Subset
1 6
2 4.1650
R2
6
4.5583
R1
6
R3
6
Sig.
1
6.6367 7.9733 .924
.208
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.217. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Lampiran 4 Analisis ragam dan uji Tukey konsumsi Ca Dependent Variable: KONS_Ca Source Corrected Model Intercept
Type III Sum of Squares 29.495(a)
Df 11
Mean Square 2.681
F 11.085
Sig. .000
168.487
1
168.487
696.527
.000
PERL
26.912
3
8.971
37.085
.000
BLOK
1.900
2
.950
3.927
.049
.470
.818
PERL * BLOK
.683
6
.114
Error
2.903
12
.242
Total
200.884
24
32.397
23
Corrected Total
a R Squared = .910 (Adjusted R Squared = .828)
89 Tukey HSD konsumsi Ca N PERL R0
Subset
1
2
1
6
1.5750
R1
6
1.6333
R2
6
3.4583
R3
6
3.9317
Sig.
.997 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .242. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
.381
Lampiran 5 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Cr Dependent Variable: ABS_Cr Type III Sum of Squares
Source Corrected Model
Df
Mean Square
F
Sig.
8698.163(a)
10
869.816
8.840
.002
36381.991
1
36381.991
369.773
.000
PERL
5473.964
3
1824.655
18.545
.000
BLOK
60.618
2
30.309
.308
.742
1394.116
5
278.823
2.834
.083
98.390
Intercept
PERL * BLOK Error
885.511
9
Total
56345.860
20
Corrected Total
9583.674 19 a R Squared = .908 (Adjusted R Squared = .805)
ABS_Cr Tukey HSD N PERL R1
Subset 3
2 19.2533
R3
5
30.0080
R2
6
R0
6
Sig.
1
1
58.0267 68.5200 .402
.421
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 98.390. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.615. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = .05.
90 Lampiran 6 Analisis ragam dan uji Tukey absorpsi Ca Dependent Variable: ABS_Ca Type III Sum of Squares 1488.623(a)
Source Corrected Model
11
Mean Square 135.329
149589.723
1
149589.723
5673.938
.000
PERL
623.535
3
207.845
7.884
.004
BLOK
131.595
2
65.798
2.496
.124
PERL * BLOK
733.492
6
122.249
4.637
.012
Error
316.372
12
26.364
Total
151394.718
24
Intercept
df
F 5.133
Sig. .004
Corrected Total
1804.995 23 a R Squared = .825 (Adjusted R Squared = .664) ABS_Ca Tukey HSD N PERL R1
Subset
1 6
2 70.9950
R0
6
78.1117
R2
6
82.5317
R3
6
84.1567
Sig.
1 78.1117
.130
.228
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 26.364. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .05.
Lampiran 7 Analisis ragam dan uji Tukey MPU spermatozoa fraksi bawah
Dependent Variable: MPU_B Source Model
Type III Sum of Squares 36655.436(a)
df 12
Mean Square 3054.620
F 49.452
Sig. .000
RANSUM
1103.293
3
367.764
5.954
.010
KBB
1129.522
2
564.761
9.143
.004
RANSUM * KBB
1001.068
6
166.845
2.701
.067
741.234
12
61.769
Error Total
37396.670 24 a R Squared = .980 (Adjusted R Squared = .960)
91 MPU_B Tukey HSD N RANSUM R3
Subset 6
2 28.3617
R1
6
36.6050
36.6050
R2
6
36.8383
36.8383
R0
6
Sig.
1
1
47.4633 .291
.131
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 61.769. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b Alpha = .050.