Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENYERENTAKAN BERAHI DENGAN PROGESTERON DALAM SPONS PADA TERNAK DOMBA DI KABUPATEN CIANJUR (Oestrus Syncronization Using Sponge Progesterone in Sheep in District of Cianjur) UMI ADIATI, D.A. KUSUMANINGRUM dan D. PRIYANTO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The use of commercial progesterone hormone for synchronizing oestrus has been done by researchers. This hormone is used for breeding purposes especially by artificial insemination. Since this hormone is very expensive, it is urgent to find a cheaper way to apply progesterone hormone in synchronization program. This research was conducted in villages: namely Gegbrong, subdistrict of Warung Kondang and Sirna Galih, subdistrict of Cilaku, district of Cianjur. Thirty ewes were used, divided into two groups. One group received sponge with 20 mg progesteron acetate and the other group received sponge with 30 mg progesteron acetate. Sponge were implanted for 14 days. Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) was injected after the removal of sponge to stimulate ovum maturation. Artificial Insemination (AI) was done at 60 hours post injection of PMSG. Fourty five days after AI pregnancy was detected using Ultra Sono Grafi (USG). Parameter observed were oestrus percentage and pregnant percentage. The result showed that synchronization using progesteron acetate resulted in 92.98% oestrus ewes. Group one that received 20 mg/sponge resulted in 100% oestrus ewes and 76.37% pregnant ewes; while group two (30 mg/sponge) resulted in 85.95% oestrus ewes and 69.05% pregnant ewes. It is concluded that sponge containing 20 mg resulted in better oestrus but sponge containing 30 mg resulted in better pregnancy. Key Word: Progesterone, Synchronization, Ewes ABSTRAK Penggunaan hormon progesteron komersial (impor) untuk penyerentakan berahi (sinkronisasi) telah dilakukan oleh banyak peternak/peneliti. Produk ini digunakan terutama untuk ternak yang dikawinkan dengan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Namun demikian mahalnya harga produk komersial disamping sulit pengadaannya mendorong alternatif bahan lokal (dalam negeri) yang dapat digunakan sebagai pengganti. Untuk menghemat biaya penyerentakan berahi pada ternak ruminansia kecil, maka perlu diupayakan modifikasi pembuatan spons yang lebih murah dan ekonomis harganya. Penelitian dilakukan pada kondisi lapang di Desa Gegbrong, Kecamatan Warung Kondang dan Desa Sirna Galih, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur masing-masing menggunakan 30 ekor ternak domba betina dewasa milik peternak yang dibagi atas dua kelompok perlakuan penyerentakan berahi: (1) spons yang diberi 20 mg fluorogeston acetate dan (2) spons yang diberi 30 mg fluorogeston acetate, dengan lama pemasangan spons 14 hari. Setelah pencabutan spons, kemudian disuntik PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin). Sekitar 60 jam setelah penyuntikan PMSG dilakukan IB. Pemeriksaan kebuntingan dengan Ultra Sono Grafi (USG) pada hari ke 45 setelah IB. Parameter yang diamati adalah persentase ternak berahi dan persentase kebuntingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerentakan berahi dengan menggunakan hormon progesteron (steroid fluorogeston acetate) secara intra vaginal dapat menyebabkan 92,98% domba betina pengamatan berahi. Ternak domba lebih baik yang mendapat perlakuan hormon 20 mg/spons memberikan hasil yang baik yang ditunjukkan 100% berahi dengan tingkat kebuntingan 69,05%, sedangkan yang mendapat perlakuan hormon 30 mg/spons menghasilkan persentase berahi lebih rendah (85,95%), dengan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi yaitu 76,37%. Pemberian hormon progesteron dalam bentuk spons secara intravaginal dapat secara efektif menyerentakkan berahi pada domba betina. Pemberian fluorogeston acetate 20 mg dalam spons memberikan hasil yang lebih baik dalam penyerentakan berahi dibandingkan 30 mg/spons. Kata Kunci: Progesteron, Sinkronisasi, Domba Betina
491
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
PENDAHULUAN Penyerentakan berahi merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendukung efisiensi manajemen produksi ternak. Melalui teknologi penyerentakan berahi akan dapat diatur dan ditentukan waktu yang berdampak pada pengaturan saat beranak. Berbagai jenis bahan kimia sintetis yang dapat dipergunakan untuk penyerentakan berahi pada ternak ruminansia kecil dan yang paling umum dipakai adalah bahan yang mengandung progesteron. Penggunaan hormon progesteron komersial (impor) sebagai bahan penyerentakan berahi telah banyak dilakukan oleh peneliti maupun peternak. Pemberian progesteron secara intravaginal banyak dilakukan karena lebih efisien dalam hal efisiensi waktu dan tenaga. Secara fisiologis, selama spons ada didalam vagina maka progesteron yang terkandung dalam spons akan diserap oleh dinding vagina kemudian masuk dalam peredaran darah dan menimbulkan berahi (PARTODIHARDJO, 1982). Bahan ini banyak digunakan terutama untuk ternak yang dikawinkan dengan teknologi Inseminasi Buatan (IB). Namun demikian mahalnya harga bahan komersial ini mendorong pencarian alternatif bahan lain yang dapat digunakan dan berfungsi sama dengan bahan impor. Hasil penelitian ADIATI et al. (2005) menunjukkan bahwa hormon fluorogeston acetate yang dikemas dalam spons yang dimodifikasi memberikan hasil yang sama dengan bahan komersial. Konsentrasi fluorogeston acetat 20 – 50 mg dalam spons yang digunakan pada ternak domba Garut secara intra vaginal dapat menyebabkan 100% domba betina mengalami berahi. Berahi timbul (onset berahi) sekitar 74,55 jam (61,25 – 85,25 jam) sejak spons dicabut dengan lama berahi 27,3 jam (18 – 36 jam). Selain menunjukkan tanda berahi ternyata juga terjadi proses ovulasi yang ditunjukkan dengan adanya corpus luteum dengan jumlah rataan ovulasi kanan dan kiri sebesar 2,1. Bahan penyerentakan berahi yang telah didapat masih perlu dievaluasi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik khususnya penelitian di peternak domba dalam mendukung aplikasi di lapang. Hasil penelitian ADIATI et al. (2005) menunjukkan bahwa modifikasi spons progesterone (steroid
492
fluorogeston acetate) atau aplikasi penggunaan hormon progesterone yang dikemas dalam bentuk spons dengan konsentrasi dibawah standart (20 mg/spons) masih dapat menghasilkan berahi dan dapat digunakan untuk sinkronisasi berahi pada ternak ruminansia kecil dan terbukti memberikan hasil yang sama dengan bahan komersial. Oleh karena itu, penelitian lapang perlu dilakukan sebagai langkah implementasi dalam mendukung program IB pada ternak domba. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada kondisi lapang di kandang peternak (2 desa) yakni Desa Gegbrong, Kecamatan Warung Kondang dan Desa Sirna Galih, Kecamatan Cilaku, Kabupaten Cianjur masing-masing menggunakan 30 ekor ternak domba betina dewasa milik peternak yang dibagi atas dua kelompok perlakuan penyerentakan berahi: Perlakuan 1 = spons yang diberi fluorogeston acetate Perlakuan 2 = spons yang diberi fluorogeston acetate
20
mg
30
mg
Sebelum dilakukan pemasangan spons ternak diperiksa dahulu dengan alat USG untuk mengetahui apakah ternak tersebut dalam keadaan bunting atau tidak. Apabila ternak tidak dalam keadaan bunting baru ternak tersebut dilakukan pemasangan spons yang mengandung fluorogeston acetate yang berfungsi sebagai penyerentakan berahi. Kelompok perlakuan terdiri dari 15 ekor ternak domba betina dimasing-masing desa dengan lama pemasangan spons adalah 14 hari. Setelah waktu pencabutan spons tiba, PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin) yang mengandung hormon estrogen disuntikan agar ovum yang mulai membesar cepat matang. Sekitar 60 jam setelah penyuntikan hormon PMSG diperkirakan akan merupakan masa akhir berahi, pada saat tersebut dilakukan Inseminasi Buatan (IB) dengan menggunakan semen cair. Teknik pelaksanaan IB menggunakan sistem disposisi semen di dalam saluran servix, baik pada posisi ring I yang lebih dekat ke mulut servix hingga posisi ring IV yang agak ke dalam dari mulut servix. Alat yang digunakan untuk IB dengan menggunakan gun
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
khusus dimana ujung gun memiliki bentuk yang bulat sehingga tidak akan melukai mulut dan dinding saluran servix. Pemeriksaan kebuntingan dengan alat Ultra Sono Grafi (USG) pada hari ke-45 setelah IB. Teknik operasional ternak domba diperiksa pada bagian perut. Oleh karena itu, pada bagian ini sebaiknya dibersihkan lebih dahulu dari kotoran yang menempel. Setelah itu ternak didudukkan dengan posisi perut bagian belakang menghadap kemuka, dan posisi kaki depan dipegang secara erat-erat, tetapi penuh dengan relaksasi agar tidak banyak berontak. Alat detektor yang berhubungan dengan USG terlebih dahulu diberi jely atau aquasonic baru ditempelkan pada perut bagian bawah yang terdekat dengan posisi janin. Teknik penekanan detektor ke permukaan perut harus dilakukan agak kuat, dan digerak-gerakkan untuk mencari posisi yang paling tepat agar terdeteksi janin yang ada didalam kandungan. Pada tingkat kebuntingan yang besar akan tampak bagian kepala atau tulang belakang, sedangkan pada kebuntingan yang masih kecil hanya terdeteksi gugusan kotiledon-kotiledon dalam suatu rongga. Pendugaan jumlah anak pada kandungan yang besar akan nampak mudah karena bagian janin jelas tampak tetapi pada kebuntingan yang masih kecil hanya dilakukan dengan menghitung banyak kumpulan kotiledon. Kumpulan kotiledon ini merupakan rongga bagi hidup dan berkembangnya janin. Parameter yang diamati adalah persentase ternak berahi dan persentase kebuntingan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan menunjukkan bahwa penyerentakan berahi dengan menggunakan hormon progesteron (steroid fluorogeston acetate) dalam spons secara intra vaginal dapat menyebabkan 92,98% domba betina pengamatan berahi. Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada kondisi laboratorium dengan hormon yang sama, yakni 100% ternak berahi (ADIATI et al. 2005). Keadaan ini menggambarkan bahwa secara fisiologi domba pengamatan tidak mengalami gangguan reproduksi (berahi). Ternak domba yang mendapat perlakuan hormon 20 mg/spons memberikan hasil yang baik yaitu semua ternak pengamatan 100% berahi (Tabel 1), sedangkan yang mendapat perlakuan hormon 30 mg/spons menghasilkan persentase berahi yang lebih rendah yaitu hanya sebesar 85,95%. Rataan bobot ternak betina saat di IB pada seluruh ternak yang terambil sebagai sampel adalah 24,23 ± 5,1 kg. Apabila dikelompokkan menurut perlakuan hormon hasil yang didapat adalah konsentrasi 20 mg/spons betina yang dikawinkan memiliki rataan bobot hidup sebesar 24,35 ± 4,9 kg, sedangkan konsentrasi 30 mg/spons betina yang dikawinkan rataan bobot hidup adalah 24,10 ± 5,4 kg. Bila dilihat berdasarkan lokasi pengamatan maka dombadomba yang berada di desa Sirna Galih mempunyai rataan bobot hidup yang lebih ringan (20,80 ± 3,3 kg) dibandingkan dengan Desa Gegbrong yaitu seberat 27,65 ± 7,0 kg.
Tabel 1. Persentase berahi dan tingkat kebuntingan ternak domba hasil sinkronisasi dan inseminasi buatan (IB) 20 mg/spons
Variabel
Desa Sirna Galih
30 mg/spons
Desa Gegbrong
Desa Sirna Galih
Desa Gegbrong
Jumlah ternak
15
15
15
15
Spons lepas
3
-
2
2
Ternak mati
1
-
-
-
Dijual sebelum IB
-
1
-
1
100
100
93,33
78,57
20,0 ± 2,8
28,7 ± 6,9
21,6 ± 3,8
26,6 ± 7,0
14
14
15
14
Dijual setelah IB
-
2
-
3
% Kebuntingan
71,43 (10)
66,67 (8)
80 (12)
72,73 (8)
% Berahi Rataan bobot kawin (kg) Ternak di IB
493
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
Perbedaan bobot hidup ini karena sistem pemeliharaan ternak yang berbeda, baik manajemen pemeliharaannya maupun tujuan pemeliharaan. Untuk di Desa Sirna Galih tujuan pemeliharan domba adalah untuk ternak potong yang sebelumnya digemukkan terlebih dahulu, sedangkan di Desa Gegbrong merupakan ternak tabungan yang sewaktuwaktu dapat dijual sesuai kebutuhan. Pada saat pelaksanaan IB dilakukan, jumlah ternak domba betina yang ada sebanyak 57 ekor, dimana yang tidak di IB dikarenakan 1 ekor ternak mati dan 2 ekor ternak dijual. Seangkan yang tidak di IB adalah sejumlah 3 ekor yang disampaikan penyerentakan hanya 52 ekor yang berhasil diamati sementara 5 ekor lainnya berpindah. Dari hasil pemeriksaan kebuntingan menunjukkan bahwa tingkat kegagalan betina untuk bunting setelah di IB hanya sebesar 14 ekor (26,92%). Ini berarti bahwa pendugaan terhadap keberhasilan IB mendekati angka 75% atau tepatnya 73,08%. Hasil ini lebih rendah dari hasil yang dilaporkan oleh ADIATI et al. (2000). Selanjutnya dikatakan bahwa dengan teknik IB yang sama yaitu melalui servik (trans cervical) menghasilkan tingkat kebuntingan sebesar 79,7%, dan hasil ini ternyata sedikit lebih tinggi dari hasil yang dilaporkan oleh Puslitbang Peternakan (1997) dimana teknik IB dengan intra-uterin dengan menggunakan semen beku pada periode I telah menghasilkan tingkat kebuntingan sebesar 72,9% dengan jumlah ternak yang di IB sebanyak 85 ekor. Sementara pada tahap ke dua dengan jumlah ternak hanya 15 ekor mencapai tingkat kebuntingan 93,3%. Hasil ini membuktikan bahwa teknik IB dengan cara intra-uterin sebaiknya dihindarkan karena kurang praktis dan diduga tidak disenangi peternak karena dilakukan operasi kecil. Tingkat kegagalan untuk menghasilkan kebuntingan tertinggi didapat pada perlakuan hormon dengan konsentrasi 20 mg/spons yaitu 30,95% dari 26 ekor betina. Sedangkan tingkat kegagalan untuk menghasilkan kebuntingan pada perlakuan hormon 30 mg/spons yaitu 23,64% dari 26 ekor betina. Spons progesteron 20 mg tingkat kebuntingannya lebih rendah (69,05%) akan tetapi hormon ini dapat digunakan sebagai hormon penyerentak berahi pada ternak domba karena hasil yang diperoleh tidak berbeda jauh dari spons progesteron 30
494
mg (sesuai standart untuk domba) yang menghasilkan tingkat kebuntingan sebesar 76,36%. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian hormon progesteron acetate dalam bentuk spons dengan dua level konsentrasi secara intravaginal selama 14 hari dapat secara efektif menyerentakkan berahi pada domba betina. Pemberian hormon progesteron acetate di bawah standar (20 mg/spons) dapat digunakan sebagai bahan penyerentak berahi untuk ternak domba dan memberikan respon yang baik yaitu 100% ternak berahi dengan tingkat kebuntingan 69,05%. Pemberian hormone progesteron acetate sebesar 30 mg/spons memberikan persentase berahi yang lebih rendah (85,95%), akan tetapi menghasilkan tingkat kebuntingan yang lebih tinggi (76,37%). DAFTAR PUSTAKA ADIATI, U. dan A. SUPARYANTO. 2000. Penampilan kinerja domba persilangan St. Croix dengan Priangan pada kondisi peternak di Garut. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 September 200. Pusat Penelitian Peternakan. Bogor. hlm. 101 – 110. ADIATI, U., SUBANDRYO, B. SETIADI, B. TIESNAMURTI, D. PRIYANTO, P. SITUMORANG, E. TRIWULANINGSIH, R.G. SIANTURI dan D.A. KUSUMANINGRUM. 2005. Pengaruh konsentrasi progesteron yang diberikan dalam spons terhadap persentase berahi ternak ruminansia kecil. Edisi khusus Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Ternak TA 2005. Buku I Ruminansia. Ciawi, Bogor. PARTODIHARDJO, S. 1082. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta. PUSLITBANG PETERNAKAN. 1997. Program, Prioritas dan Hasil Utama Penelitian dan Pengembangan Peternakan pada Pelita VI. Rapat Kerja II. Pembahasan Hasil-Hasil Utama Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Unpublish). WODZISCKA-TOMASZEWSKA, M., I.K. SUTAMA, I.G. PUTU dan T.D. CHANIAGO. 1991. Produksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007
DISKUSI Pertanyaan: 1. Kecepatan berahi yang paling cepat pada dosis berapa? 2. Ternak yang digunakan umur berapa? 3. Bagaimana mendeteksinya? Jawaban: 1. Kecepatan berahi diketahui dari hasil sebelumnya 20 dan 30 g paling bagus. 2. Ternak yang digunakan tidak seragam tetapi semua sudah beranak. 3. Sebagai penyerentak berahi di USG untuk mengetahui kebuntingan.
495