Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERCEPATAN ADOPSI INOVASI INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI MADURA (STUDI KASUS PADA KELOMPOK TERNAK BAROKAH) (Factors Affecting Acceleration of Innovation Adoption of Artificial Insemination in Cows) JAUHARI EFENDY dan A. RASYID Loka Penelitian Sapi Potong, Jl. Pahlawan No. 2, Grati, Pasuruan 67184
ABSTRACT Artificial insemination (AI) technology for Madura cattle actually has been introduced a long time ago, but on the contrary the results of its application rate is relatively low. In connection with the adoption of AI technology, Madura cattle is main model of the most effective way in order to accelerate the dissemination of AI innovation. The study was conducted in Manding Selatan, Sumenep, East Java. The number of respondents were 35 people, chosen by purposive sampling method. Data analysis was done based on descriptive statistics. To determine the relationship between a model of acceleration of AI innovation adoption, an analysis was conducted by comparing two variables, degree of individual connection and the intensity of communication between farmer with the opinion leaders to speed the adoption of AI innovations using Spearman Rank analysis. The results showed that the model is a very important role in accelerating the adoption rate of AI innovation. This is evident from the statistical analysis of Rank Spearman that the degree of individual connections was significant effect on the acceleration of innovation adoption. Results of statistical analysis showed that farmers act to adopt the AI technology was strongly influenced by interactions with fellow farmers. There was a very significant relationship between the degree of individual connection with the adoption of AI innovation. The more prospective adopter interact with earlier adopter farmers the increase their knowledge about the AI technology. Key Words: A Model, AI Technology, Acceleration of the Adoption, Degree of Individual Connections ABSTRAK Teknologi IB pada sapi Madura sebenarnya sudah diperkenalkan sejak lama, namun di sisi lain tingkat penerapannya menunjukkan hasil yang relatif rendah. Dalam kaitannya dengan pengadopsian teknologi IB pada sapi Madura percontohan merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam rangka mengakselerasi penyebarluasan inovasi IB. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Manding Selatan, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur. Jumlah responden sebanyak 35 orang, dipilih berdasarkan metode purposive sampling. Metode analisis data menggunakan statistik deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara teknik percontohan dengan percepatan adopsi inovasi IB, dilakukan analisis dengan cara membandingkan dua variabel yaitu antara derajat koneksi individu dengan intensitas komunikasi peternak dengan para opinion leader terhadap kecepatan adopsi inovasi IB menggunakan analisa Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa percontohan sangat berperan dalam mengakselerasi tingkat adopsi inovasi IB pada sapi Madura. Hal ini terbukti dari hasil analisis statistik Rank Spearman dimana derajat koneksi individu berpengaruh sangat signifikan terhadap percepatan adopsi inovasi IB dengan nilai koefisien korelasi Rank Spearman 0,376 pada nilai peluang (P) 0,004. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut menunjukkan bahwa tindakan peternak untuk mengadopsi teknologi IB sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan sesama peternak. Terdapatnya hubungan sangat signifikan antara derajat koneksi individu dengan adopsi inovasi IB dapat terjadi karena semakin banyak calon adopter berinteraksi dengan peternak lain yang lebih awal mengadopsi akan semakin menambah wawasan mereka tentang teknologi IB. Kata Kunci: Percontohan, Teknologi IB, Percepatan Adopsi, Derajat Koneksi Individu
314
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Pengembangan usaha sapi Madura dewasa ini dihadapkan pada masalah peningkatan efisiensi penggunaan sarana produksi dan produktivitas. Inovasi teknologi yang mampu mencapai tujuan tersebut sangat diharapkan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan produksi sapi Madura yang populasinya dari waktu ke waktu semakin berkurang. Dalam upaya pelestarian dan efisiensi peningkatan mutu bibit serta pengembangan sapi Madura, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yaitu “Program Pembinaan Mutu Bibit” yang kegiatannya diantaranya adalah penyebaran pejantan unggul dan meningkatkan program IB (SOEHADJI dalam MA’SUM et al., 1993). Sebetulnya teknologi IB pada ternak sapi telah diperkenalkan di Indonesia sejak permulaan tahun lima puluhan, namun tingkat adopsinya belum maksimal. Hal ini disebabkan karena perencanaan yang kurang matang serta pelaksanaan program yang tidak konsisten sehingga menyebabkan terjadinya kegagalan selama beberapa dekade sejarah perkembangannya di negeri ini (TOELIHERE, 1985). Adanya fenomena di atas dikhawatirkan akan menghambat upaya memperbaiki mutu genetik ternak sapi termasuk diantaranya sapi Madura. Salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi akibat kegagalan program IB di masa lalu adalah munculnya keraguan pada diri peternak terhadap kehandalan teknologi IB tersebut bahkan secara luas berdampak terhadap program-program pemerintah lainnya. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan suatu program pembangunan pertanian (termasuk di dalamnya subsektor peternakan) tidak terlepas dari peran pemerintah dan berbagai pihak terkait lainnya mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pengawasan (HANAFI, 1987). Namun demikian, metode penyebarluasan inovasi yang efektif dan efisien perlu mendapat perhatian khusus agar teknologi yang diperkenalkan secara cepat diadopsi oleh petani-peternak (JAHI, 1988). Dalam kaitannya dengan pengadopsian teknologi IB pada sapi Madura, teori modeling merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam rangka mengakselerasi penyebarluasan inovasi tersebut. Melalui metode ini peternak
dapat secara langsung mengobservasi sekaligus mengevaluasi kehandalan teknologi IB berdasarkan pedet-pedet yang dilahirkan dari hasil percontohan. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Desa Manding Selatan, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Madura, Provinsi Jawa Timur. Penentuan lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa teknologi IB telah diterapkan oleh sebagian besar petani setempat dan telah berhasil dengan baik. Penelitian dilaksanakan melalui pendekatan metode survei dengan jumlah responden sebanyak 35 orang yang merupakan anggota Kelompok Ternak Barokah. Pemilihan responden dilakukan berdasarkan metode purposive sampling yaitu memilih peternak yang sudah mengadopsi teknologi IB lebih dari 2 tahun atau minimal telah menerapkan teknologi IB sebanyak 2 (dua) kali berturutturut dan berhasil dengan baik. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang proses adopsi inovasi IB pada sapi Madura yang diintroduksikan melalui teori modeling. Untuk mengetahui hubungan antara teori modeling dengan percepatan adopsi inovasi IB maka dilakukan analisis dengan cara membandingkan dua variabel yaitu antara derajat koneksi individu dengan intensitas komunikasi peternak dengan para opinion leader terhadap kecepatan adopsi inovasi IB menggunakan analisa Rank Spearman. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil kelompok ternak Barokah Kelompok Ternak Barokah adalah salah satu dari 9 kelompok ternak berbasis sapi yang ada di Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Kelompok ternak ini didirikan pada tahun 1994 bersamaan dengan masuknya Program Inseminasi Buatan (IB) dimana nama “Barokah” diambil dari nama kelompok tani yang sudah ada sebelumnya dengan jumlah anggota yang relatif sama.
315
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Saat ini Kelompok Ternak Barokah mempunyai anggota 51 orang tersebar di seluruh wilayah Desa Manding Selatan. Dilihat dari jenis pekerjaan, sebagian besar anggota kelompok yaitu sebanyak 37 orang (72,5%) menjadikan usaha pertanian (tanaman pangan dan tembakau) sebagai mata pencaharian utama, sementara itu seluruh anggota kelompok menjadikan usaha ternak sapi Madura sebagai bentuk usaha sambilan. Beternak sapi, khususnya bagi sebagian besar masyarakat di Desa Manding Selatan dan Kecamatan Manding umumnya merupakan bentuk usahatani yang sudah membudaya, dimana daerah ini merupakan salah satu sentra pengembangan sapi Madura di Kabupaten Sumenep disamping Kecamatan Sepudi. Secara umum, usaha budidaya sapi di Desa Manding Selatan mengalami perkembangan cukup baik, hanya saja masih kurang memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Hal ini terlihat dari banyaknya lokasi kandang yang masih menyatu atau berdekatan dengan rumah peternak. Tidak jarang terlihat antara tempat tinggal peternak dengan lokasi kandang hanya dibatasi pagar bambu berukuran tinggi sekitar 1 meter atau setengah ukuran badan orang dewasa. Kondisi ini tentu saja memberikan dampak negatif terhadap kesehatan lingkungan. Namun demikian, berbagai keberhasilan sudah banyak dicapai oleh kelompok ternak ini baik berupa penghargaan dalam meraih prestasi pada berbagai lomba maupun keberhasilannya dalam menerapkan beberapa teknologi budidaya sapi Madura. Hal ini karena disamping menerapkan teknologi IB, sebagian besar anggota kelompok ternak yaitu sebanyak 39 orang (76,5%) juga menerapkan penanaman rumput unggul, seperti rumput Gajah (Pennisetum purpureum) yang ditanam
di tanggul-tanggul sawah juga di sebagian lahan tegalan. Karakteristik peternak ROGERS (1995) menyatakan proses pengambilan keputusan seseorang (peternak) apakah menerima atau menolak suatu inovasi tergantung pada sikap mental, situasi intern dan situasi ekstern. Situasi intern individu (karakteristik peternak) dipengaruhi antara lain oleh umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, keberanian mengambil risiko dan tingkat kekosmopolitanan. Sedangkan situasi ekstern (karakteristik usaha) meliputi tingkat kepemilikan ternak sapi dan pendapatan rumah tangga tani (HORNIK, 1988). Distribusi karakteristik peternak sapi Madura di Desa Manding Selatan disajikan pada Tabel 1. Ditinjau berdasarkan umur, secara kumulatif sebanyak 33 orang (94,29%) berada dalam kategori usia produktif (ukuran usia produktif 15 sampai 65 tahun), artinya pada usia tersebut mereka masih aktif menjalankan usahataninya seperti bercocok tanam dan beternak sapi. Dengan demikian para peternak sapi secara psikologis, fisik maupun mental berada pada kondisi matang sehingga dapat menjalankan usahataninya secara optimal. Hal ini karena membudidayakan ternak sapi termasuk salah satu aktivitas yang banyak membutuhkan curahan tenaga serta pemikiran yang cukup matang dalam upaya pengembangan usahatani dimana tiap keputusan yang diambil harus benar-benar tepat. Tingkat pendidikan formal yang pernah dicapai seluruh responden menunjukkan adanya keragaman, yaitu mulai dari peternak yang tidak pernah mengenyam pendidikan (0 tahun) sampai dengan tingkat pendidikan pada
Tabel 1. Karakteristik peternak sapi Madura di Desa Manding Selatan Kategori nilai
Uraian jenis karakterisik Rendah
Tinggi
Usia (tahun)
24
70
Pendidikan formal (tahun)
0
15
Pengalaman beternak sapi (tahun)
2
50
Tingkat kepemilikan ternak sapi (ekor)
1
7
439.000
2.146.450
Tingkat pendapatan (Rp)
316
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
level perguruan tinggi atau akademi ( 15 tahun). Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dinyatakan bahwa sebagian besar peternak mengenyam pendidikan formal hanya sampai setingkat SD (54,29%), kemudian diikuti oleh tingkat pendidikan SLTP sebanyak 17,14%. Sementara itu, responden dengan tingkat pendidikan sampai pada jenjang perguruan tinggi/akademi maupun yang tidak tamat SD mempunyai proporsi terendah yaitu 2,86%. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada umumnya tingkat pendidikan para peternak relatif rendah sehingga berimplikasi pada terbatasnya kemampuan memahami teknologi (inovasi). Berdasarkan pengalamannya dalam beternak sapi, ternyata sebagian besar peternak yaitu sebanyak 28 orang (80,00%) memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, sedangkan sisanya sebanyak 7 orang (20,00%) antara 2 sampai 10 tahun. Tingginya pengalaman beternak sapi disebabkan beberapa faktor. Pertama, kegiatan usahatani ternak sapi merupakan aktivitas yang diwariskan secara turun temurun dari orang tua. Kedua, ternak sapi merupakan salah satu komoditas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan peternak karena berkaitan erat dengan aktivitas usahatani yang dikelola, yaitu sebagai ternak kerja (membajak lahan pertanian). Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada umumnya jumlah sapi yang dimiliki masingmasing peternak relatif kecil yaitu tidak lebih dari dua ekor dan hampir semuanya (95%) betina. Kecilnya jumlah kepemilikan sapi sangat berkaitan dengan terbatasnya tenaga kerja yang hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Sebagai bentuk usaha sambilan, curahan tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola ternak sapi jauh berkurang ketika musim tanam tiba terutama untuk komoditas tembakau yang merupakan satu-satunya usahatani andalan dan sumber penghasilan utama bagi masyarakat setempat. Disamping itu, karena tujuan pemeliharaan ternak sapi adalah untuk menghasilkan pedet (pembibitan), maka ditinjau dari aspek ekonomi lebih menguntungkan menjual anak sapi saat umur muda (umur 6 sampai 10 bulan) atau sesaat setelah lepas sapih (umur 4 sampai 5 bulan) daripada dipelihara sampai umur dewasa. Rata-rata tingkat pendapatan total peternak dalam satu bulan menunjukkan angka yang
relatif besar, yaitu Rp. 784.139,60 dimana proporsi terbesar berada pada kategori dengan jumlah penghasilan > Rp. 500.000 – 1.000.000 dengan jumlah peternak 16 orang (45,71%). Keadaan tingkat pendapatan yang cukup besar tersebut karena beragamnya sumber pendapatan (seperti berdagang, usaha perbengkelan, tukang ojek, sopir taksi, dan lain sebagainya) disamping usahatani dimana komoditas tembakau merupakan sumber pendapatan terbesar dari sektor pertanian. Dari sejumlah pendapatan keluarga tersebut, usahatani ternak sapi memberikan kontribusi pendapatan sebesar 20 – 35% yang berasal dari penjualan pedet. Percontohan sebagai metode mempercepat adopsi inovasi IB Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam memasyarakatkan inovasi adalah pemahaman secara mendalam mengenai bagaimana suatu inovasi diintroduksikan ke dalam sistem sosial dan bagaimana pengaruhnya (LIONBERGER dan GWIN, 1982). Selanjutnya, tindakan penerimaan dan penolakan terhadap suatu inovasi merupakan keputusan akhir yang dibuat oleh seseorang (SOEKARTAWI, 1988). Sehubungan dengan hal di atas, berbagai strategi telah disusun. Pada dasarnya ada satu program utama dari dua program pokok yang dilakukan sebelum teknologi IB diintroduksikan secara luas kepada masyarakat pengguna (peternak sapi Madura). Strategi tersebut adalah mengupayakan untuk menghasilkan beberapa ekor pedet melalui teknologi IB sebagai percontohan menggunakan semen bangsa sapi Brahman. Untuk mencapai tujuan ini, dipilih empat anggota kelompok ternak agar bersedia induk sapinya diinseminasi dengan jaminan dari pemerintah apabila di kemudian hari terjadi musibah (misalnya induk mati saat melahirkan). Dihasilkannya beberapa pedet melalui teknologi IB dari hasil percontohan tersebut membuat para calon adopter (peternak) tertarik sehingga termotivasi untuk mengadopsi teknologi IB tanpa harus melalui beberapa tahapan yang biasa terjadi dalam setiap pengambilan keputusan adopsi inovasi, seperti
317
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
tahap menimbang (evaluation) dan mencoba (triability). Demikian juga halnya apabila dikaitkan dengan adanya kenyataan bahwa pedet yang dihasilkan melalui teknologi IB memiliki bobot lahir 5 – 7 kg lebih berat dibandingkan dengan hasil keturunan melalui kawin alam dengan pejantan sapi Madura. Kenyataan di atas mampu meyakinkan calon adopter bahwa teknologi IB secara signifikan memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan kawin alam. Ternyata upaya tersebut di atas tidak hanya menjadikan teknologi IB dapat diterima dengan mudah dan diterapkan oleh sebagian besar peternak, tetapi lebih jauh dari itu adalah bahwa dengan adanya berbagai pembinaan, bimbingan maupun pengarahan yang intensif dari pihak terkait telah menjadikan sang ketua kelompok menjadi inseminator. Dengan adanya inseminator dari internal kelompok tersebut secara langsung dapat membantu meningkatkan pelayanan IB serta mengatasi hambatan komunikasi dan operasional yang selama ini terjadi sebagai akibat jauhnya jarak tempuh antara lokasi sasaran (peternak) dengan domisili petugas/inseminator. Hubungan derajat koneksi individu vs frekuensi interaksi dengan opinion leader terhadap adopsi inovasi IB Dalam memasyarakatkan program IB, kerjasama dengan berbagai pihak merupakan faktor yang menentukan keberhasilan program tersebut. Oleh karena itu, keterlibatannya dalam pemasyarakatan inovasi menjadi sangat penting karena akan menentukan sikap calon adopter dalam proses pengambilan keputusan inovasi (HANAFI, 1987). Tabel 2 memperlihatkan nilai peluang (P) pada derajat koneksi individu (tingkat interaksi
antar peternak) jauh lebih kecil dari nilai koefisien korelasi Rank Spearman pada selang kepercayaan (α) = 0,01. Sementara itu, nilai peluang (P) pada frekuensi interaksi peternak dengan opinion leader lebih kecil dari nilai koefisien korelasi Rank Spearman pada selang kepercayaan (α) = 0,05. Artinya, derajat koneksi individu berpengaruh sangat signifikan dengan percepatan adopsi inovasi IB, sedangkan frekuensi interaksi peternak dengan opinion leader berpengaruh signifikan terhadap percepatan adopsi inovasi IB. Berdasarkan hasil analisis statistik di atas menunjukkan bahwa tindakan peternak untuk mengadopsi teknologi IB sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan sesama peternak. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa para calon adopter tidak secara langsung memutuskan mengadopsi inovasi IB dengan hanya mengandalkan informasi yang diterima dari para opinion leader saja. Artinya, para calon adopter tersebut baru akan mengadopsi inovasi IB setelah melihat langsung rekanrekannya yang sudah terlebih dahulu menerapkan inovasi tersebut dan berhasil dengan baik. Terdapatnya hubungan sangat signifikan antara derajat koneksi individu dengan adopsi inovasi IB dapat terjadi karena semakin banyak calon adopter berinteraksi dengan peternak lain akan semakin menambah wawasan mereka tentang teknologi IB. Hal ini disebabkan terjadi proses modeling, yaitu proses peniruan terhadap apa yang telah dilakukan peternak lain sehingga muncul suasana pembelajaran sosial (social learning process) diantara mereka (ROGERS dan KINCAID, 1981). Terjadinya proses peniruan tersebut dilakukan agar kekhawatiran peternak terhadap risiko kegagalan dalam mengadopsi teknologi IB dapat diminimalisasi. Sebagaimana
Tabel 2 Derajat koneksi individu dan frekuensi interaksi dengan opinion leader terhadap adopsi inovasi IB Adopsi inovasi IB Aktivitas penelusuran informasi inovasi IB
Koefisien korelasi Rank Spearman (rs)
Nilai peluang (P)
Derajat koneksi individu
0,376**
0,004
Frekuensi interaksi dengan opinion leader
0,214*
0,041
*Berpengaruh nyata/signifikan (P < 0,05); **Berpengaruh sangat nyata/signifikan (P < 0,01)
318
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
SOEKARTAWI (1988) menyatakan bahwa pada umumnya petani (peternak) kecil mempunyai kecenderungan menolak risiko (risk averter). Mereka berani mengambil risiko kalau adopsi inovasi itu benar-benar telah diyakini keberhasilannya dan dapat memberikan rasa aman serta menguntungkan dari aspek ekonomi.
prasarana pendukung yang optimal serta inseminator yang handal. Dengan demikian penting untuk memperhatikan kualitas straw dan penanganan thawing yang baik dan benar serta keterampilan dan pengetahuan inseminator yang cukup tinggi. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN
HANAFI, A. 1987. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Cetakan ke-3. Usaha Nasional, Surabaya.
1. Kelompok Peternak Sapi Madura Barokah
HORNIK, R.C. 1988. Development ComunicationInformation, Agriculture and Nutrition in The Third World. The Annenberg School of Communications University of Pennsylvania, Philadelphia.
2.
3.
4.
5.
6.
didirikan pada tahun 1994 bersamaan dengan masuknya Program Inseminasi Buatan (IB) dengan jumlah anggota 51 orang yang tersebar di seluruh wilayah Desa Manding Selatan. Ditinjau dari aspek karakteristik peternak, sebagian besar anggota Kelompok Peternak Sapi Barokah berpendidikan relatif rendah (setingkat SD) dengan rata-rata tingkat penghasilan sebesar Rp. 784.139,60 per bulan. Salah satu strategi dalam upaya percepatan adopsi inovasi IB pada sapi Madura adalah dengan cara menghasilkan beberapa ekor pedet melalui sistem perkawinan IB sebagai percontohan dengan menggunakan semen dari bangsa sapi Brahman. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan peternak untuk mengadopsi teknologi IB sangat dipengaruhi oleh interaksinya dengan sesama peternak melalui percontohan. Dalam rangka meningkatkan adopsi teknologi IB pada sapi terutama bagi calon akseptor, maka disarankan untuk memanfaatkan media percontohan sebagai sarana pembelajaran bagi peternak (calon adopter). Efektivitas dan efisiensi penerapan teknologi IB pada sapi membutuhkan sarana dan
JAHI,
A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. PT Gramedia, Jakarta.
LIONBERGER, H.F. and P.H. GWIN. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agent. The Interstate Printers and Publishers, Inc., Danville-Illinois. MA’SUM, K., M.A. YUSRAN dan M. RANGKUTI. 1993. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura, Sumenep 11 – 12 Oktober 1992. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. ROGERS, E.M. 1995. Diffusion of Innovations Fourth Edition. The Free Press, New York. ROGERS, E.M. and L. KINCAIDS. 1981. Communication Network. McMillan Publishing Co. Inc., New York. SOEKARTAWI. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta. TOELIHERE, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
319