TINJAUAN PUSTAKA Peranan Inseminasi Buatan (IB) dan Seleksi Pejantan Pada Sapi Inseminasi buatan merupakan bioteknologi yang pertama diterapkan untuk meningkatkan genetik dan reproduksi pada hewan ternak. Sejalan dengan perkembangan waktu, penerapan IB melibatkan berbagai metode seperti pengelolaan pejantan dan koleksi semen, evaluasi, preservasi serta inseminasi (Foote 2002). Selain itu keberhasilan IB juga tidak lepas dari faktor betina, seperti deteksi estrus dan kontrol siklus estrus. Untuk menjaga kualitas genetik dan menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan seleksi calon-calon pejantan sebelum digunakan atau dikoleksi semennya. Balai inseminasi buatan Lembang mengelompokan pejantan dalam tiga kategori, yaitu proven bull (keunggulan sudah terbukti berdasarkan produksi dari anak-anaknya), register bull (keunggulan didasarkan pada catatan produksi (susu dan pertambahan berat badan) dari tiga generasi diatasnya), serta performances bull (keunggulan berdasarkan tampilan individu pejantan tersebut) (Tumbuh Agribisnis Indonesia 2008). Sementara itu Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) sapi perah Batu Raden menerapkan seleksi berdasarkan; berat sapih (weaning weight), berat setahun (yearling weight), tes performans, tes sexual behavior, dan uji zuriat, dengan metode seleksi dilakukan secara independent culling level, artinya calon pejantan yang tidak dapat melampaui salah satu kriteria tersebut di atas, akan disingkirkan sebagai calon pejantan elit (BBPTU 2009). Cara lain untuk seleksi atau melihat potensi pejantan yang biasa dilakukan di luar negeri dengan menggunakan metode breeding soundness evaluation (BSE). Breeding soundness evaluation merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang mempengaruhi fertilitas seekor pejantan. Breeding soundness evaluation atau bull breeding soundness evaluation (BBSE) mudah dilakukan dan relative tidak mahal serta sangat berguna untuk peternakan. Society for Theriogenology (SFT) menggunakan standar BBSE yang diadopsi pada tahun 1993, empat katagori standar minimum yang harus dipenuhi seekor pejantan, yaitu pemeriksaan kesehatan dan organ reproduksi secara umum,
indeks lingkar skrotum (scrotal circumference indexed) sesuai umurnya, motilitas spermatozoa dan morfologi spermatozoa (Alexander 2008). Untuk dapat digunakan dalam program breeding, seekor pejantan harus melebihi nilai minimum dari ketentuan yang ditetapkan. Menurut Godfrey dan Dodson (2005), minimum lingkar skrotum seekor sapi ditetapkan berdasarkan umur, dimana minimal berukuran 30 cm pada umur 12-15 bulan, dengan morfologi spermatozoa normal sekurang-kurangnya 70%, dan sedikitnya 30% spermatozoa memiliki motilitas progresif. Lebih lengkap lagi Alexander (2008) menguraikan batasan minimum BSE yang harus dipenuhi seekor pejantan sapi adalah; lingkar skrotum, 30 cm (umur < 15 bulan), 31 cm (umur 15-18 bulan), 32 cm (umur 18-21 bulan), 33 cm (umur 21-24 bulan), dan 34 cm (> 24 bulan); morfologi spermatozoa (≥ 70% spermatozoa normal); motilitas spermatozoa (≥ 30% motilitas individu). Fisiologi Semen Semen terdiri atas sel spermatozoa (gamet jantan) dan campuran antara cairan seluler dan sekresi-sekresi kelenjar asesoris (plasma seminalis) yang berasal dari saluran reproduksi jantan (Garner & Hafez 2000). Spermatozoa dibentuk didalam tubuli seminiferi testes dan selanjutnya mengalami proses penyempurnaan untuk kemudian disimpan pada epididimis, sedangkan plasma seminalis merupakan cairan dengan pH basa serta banyak mengandung bahanbahan kimia yang diperlukan bagi spermatozoa. Karakteristik dan komponen kimia dari beberapa hewan ternak tersaji dalam Tabel 1. Morfologi Spermatozoa Spermatozoa merupakan sel memanjang, terdiri atas bagian kepala berbentuk datar dan ekor yang mengandung mitokondria yang penting bagi pergerakan sel, dimana diantara kepala dan ekor dihubungkan oleh bagian yang disebut leher (Garner & Hafez 2000)(Gambar 1). Komponen utama kepala adalah nukleus, yang tersusun atas kromatin, dengan 60% bagian anterior kepala diliputi akrosom; bagian belakang kepala diliputi oleh tudung nuklear (Salisbury et al. 1978) (Gambar 2). Hubungan antara anterior dan posterior disebut cincin nuklear.
Tabel 1 Karakteristik dan komponen kimia semen beberapa hewan ternak Komponen Volume (ml) Konsentrasi spermatozoa (106/ml) Spermatozoa/ejakulat (109) Motilitas (%) Morfologi normal (%) Protein (g/100 ml) pH Fruktosa Sorbitol Asam sitrat Inositol Glyceryl phosphoryl choline (GPC) Ergitionin Sodium Potassium Kalsium Magnesium Chlorida
Sapi 5-8 800-2000
Domba 0.8-1.2 2000-3000
Hewan ternak Babi 150-200 200-300
Kuda 60-100 150-300
Ayam 0.2-0.5 3000-7000
5-15
1.6-3.6
30-60
5-15
0.06-3.5
40-75 65-95 6.8 6.4-7.8 460-600 10-140 620-806 25-46 100-500
60-80 80-95 5.0 5.9-7.3 250 26-170 110-260 7-14 1100-2100
50-80 70-90 3.7 7.3-7.8 9 6-18 173 380-630 110-240
40-75 60-90 1.0 7.2-7.8 2 20-60 8-53 20-47 40-100
60-80 85-90 1.8-2.8 7.2-7.6 4 0-10 16-20 0-40
0 225±13 155±6 40±2 8±0.3 174-320
0 178±11 89±4 6±2 6±0.8 86
17 587 197 6 5-14 260-430
40-110 257 103 26 9 448
0-2 352 61 10 14 147
(Sumber; Hafez & Hafez 2000) *Nilai rataan komponen kimia (mg/100ml±S.E)
Dibagian tengah dan ekor dibagi menjadi tiga daerah. Dimulai dari bagian anterior adalah bagian tengah, bagian yang lebih tipis adalah bagian utama ekor, dan bagian yang sangat tipis merupakan bagian ujung.
Bagian utama ekor,
merupakan pusat metabolisme, dihubungkan dengan bagian kepala spermatozoa dengan suatu segmen yang sangat pendek yang disebut ekor. Kepala
Akrosom Leher
Bagian tengah
Annulus Bagian utama
Bagian ujung
Gambar 1 Struktur sel spermatozoa sapi. Potongan melintang dari bagian tengah, utama dan ujung memperlihatkan serat-serat axonema yang dilapisi oleh mitokondria pada bagian tengah, pembungkus berserabut pada bagian utama dan serabut aksonema pada bagian ujung
(Sumber; Barth & Oko 1989)
Rigi apikal akrosom
Akrosom Nukleus
Selubung postacrosomal
Membran sel
Gambar 2 Gambaran ultrastruktur kepala spermatozoa sapi (Sumber; Saacke & Almquist 1964)
Kepala Spermatozoa Pada hewan ruminan, kepala spermatozoa berbentuk oval, datar/flat, dengan nukleus terdiri atas kromatin yang kompak. Kromatin yang sangat padat mengandung deoksiribonuklead asid (DNA) kromosom. Jumlah kromosom yang terdapat pada spermatozoa adalah haploid atau setengah dari jumlah DNA sel somatik pada spesies yang sama, yang dihasilkan dari pembelahan miosis yang terjadi selama pembentukan spermatozoa (Ball & Peters 2004). Membran Plasma Membran plasma atau disebut juga plasmalemma merupakan bagian yang mengandung sedikit sisa sitoplasma dan meliputi seluruh permukaan spermatozoa dan merupakan bagian luar spermatozoa juga berfungsi sebagai sebagai tempat keluar-masuknya cairan seluler (Garner & Hafez 2000). Bagian utama membran spermatozoa terdiri atas lipoprotein yang tersusun ganda (Gambar 3). Menurut Salisbury et al. (1978) membran plasma pada sapi mengandung 31.1% lipoprotein. Pentingnya fungsi membran plasma pada spermatozoa dikarenakan keutuhan membran plasma akan menjadi tolak ukur bagi keberhasilan fertilisasi spermatozoa dengan sel telur. Menurut Colenbrander et al. (1992) kerusakan membran pada bagian tengah spermatozoa akan menyebabkan produksi ATP terhenti sehingga spermatozoa tidak bisa bergerak. Sementara Flesch dan Gadella
(2000) menyatakan membran plasma akan mengalami modifikasi sehingga menyebabkan spermatozoa menjadi lebih aktif atau yang disebut dengan kapasitasi untuk proses fertilisasi.
Gambar 3 Membran plasma spermatozoa (Sumber; Amann & Graham 1993 dalam Morel 1999)
Akrosom Akrosom terletak pada bagian ujung anterior dari nukleus, yang menutupi spermatozoa. Akrosom merupakan kantong membran dengan lapisan ganda, yang melapisi nukleus selama tahap akhir pembentukkan spermatozoa, mengandung unsur-unsur enzim yang penting, seperti akrosin, hialuronidase, dan berbagai enzim hidrolisis lain yang berperan dalam proses fertilisasi.
Pada akrosom
terdapat bagian equatorial (equatorial segmen) yang merupakan bagian akrosom yang penting dari spermatozoon, bagian ini terdapat di sepanjang anterior dari daerah
setelah
akrosom
(post
acrosomal
region),
yang
menginisiasi
penggabungan dengan membran oosit selama fertilisasi (Garner & Hafez 2000). Ekor Sperma Ekor spermatozoa terbagi atas bagian leher (neck), tengah (middle), utama (principal), dan bagian ujung (end piece). Pada bagian tengah serta seluruh ekor terdiri atas aksonema. Aksonema merupakan tersusun dari sembilan pasang mikrotubulus secara radial mengelilingi dua pusat filamen. Di dalam bagian
tengah ini tersusun 9+2 mikrotubulus yang di bagian luar dibungkus oleh sembilan lapisan kasar atau serabut tebal yang berhubungan dengan sembilan pasang aksonema (Garner & Hafez 2000). Selanjutnya aksonema dan serabut tebal ini di bagian periper dilapisi oleh sejumlah mitokondria, yang merupakan sumber energi yang diperlukan bagi spermatozoa untuk motilitasnya (Silva & Gadella 2006) Bagian utama (principal piece) merupakan lanjutan dari annulus sampai mendekati ujung ekor, dibagian tengahnya disusun oleh aksonema yang berhubungan dengan serabut tebal. Selanjutnya bagian ujung ekor (end piece), merupakan bagian posterior dari pembungkus berserabut, yang terdiri hanya bagian aksonema yang dibungkus oleh membran plasma (Ball & Peters 2004). Protoplasmik atau sitoplasmik droplet biasanya dilepaskan pada saat spermatozoa diejakulasikan, yang merupakan sisa sitoplasma. Pada beberapa spesies, abnormal ejakulasi spermatozoa, droplet dapat tertahan didaerah leher sering disebut proksimal droplet, dan pada bagian yang mendekati annulus disebut distal droplet (Garner & Hafez 2000). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Abnormalitas Spermatozoa Tingginya persentase abnormalitas spermatozoa dapat berpengaruh terhadap peningkatan fertilitas (Al-Makhzoomi 2008). Abnormalitas spermatozoa merupakan kelainan struktur spermatozoa dari struktur normal yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan, genetik atau kombinasi dari keduanya (Chenoweth 2005). Faktor Lingkungan Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar.
Miller et al. (1982) menemukan adanya peningkatan
abnormalitas spermatozoa jenis diadem diakibatkan oleh obat-obatan, ketidak seimbangan hormonal dan stress. Sementara Barth dan Oko (1989) menemukan kurangnya pakan dan keadaan iklim yang terlalu ekstrim dapat berpengaruh terhadap peningkatan abnormalitas spermatozoa tersebut. Sedangkan Dada et al. (2001) juga menemukan adanya peningkatan abnormalitas spermatozoa thick
coiled tail, amorphous head, pinpoint head, narrow, dilated midpiece dan short thick tail pada orang-orang yang bekerja dengan temperatur tinggi. Faktor Genetik Menurut Chenoweth (2005), ada beberapa katagori kelainan spermatozoa bersifat genetik yaitu, kelainan pada akrosom (KA defect, ruffled dan incomplete acrosome), kepala (abnormal DNA condensation, decapitated (disintegrated) sperm defect, round head, rolled-head, nuclear crest, dan giant head syndrome), kelainan pada midpiece (dag, pseudo-droplet, dan corkscrew midpiece defect) dan kelainan pada ekor spermatozoa (coiled tails, tail stump defect, dan primary ciliary dyskinesia (immotile cilia syndrome)). Abnormalitas Spermatozoa dan Kemampuan Membuahi Pada dasarnya analisis semen bertujuan mengukur kemampuan pejantan dalam menghasilkan semen yang berkualitas. Beberapa analisis tersebut diantaranya adalah; 1) Kapasitas produksi semen seekor pejantan yang biasanya digambarkan dengan pengukuran lingkar skrotum atau melalui pengukuran volume ejakulat dan konsentrasi spermatozoa, 2) Viabilitas spermatozoa yang diukur melalui pengamatan motilitas, rasio hidup/mati. Pada kasus semen beku umumnya diamati persentase tudung akrosom utuh, dan 3) Persentase spermatozoa yang memiliki struktur anatomi normal (morfologi), dimana parameter ini secara umum akan saling berhubungan (Barth & Oko 1989). Untuk mengetahui bagaimana batasan struktur normal dan abnormalitas spermatozoa, Barth dan Oko (1989), menyimpulkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh William pada tahun 1920 dan Lagerlof pada 1934, yaitu ; 1) Ukuran kepala spermatozoa dari pejantan-pejantan yang mempunyai fertilitas yang baik benarbenar seragam, 2) Pada pejantan-pejantan yang mempunyai tingkat abnormalitas >17% tidak mempunyai efisiensi reproduksi yang tinggi, dan 3) Jumlah yang diijinkan bagi abnormalitas spermatozoa dalam satu ejakulat bergantung besarnya jenis abnormalitas yang ada. Hubungan antara abnormalitas spermatozoa dengan fertilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal dan internal. Adanya pengaruh faktor eksternal
terhadap
peningkatan
abnormalitas
spermatozoa
harus
dapat
dikendalikan dan ditangani. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi abnormalitas spermatozoa diantaranya adalah teknik penampungan. Penelitian yang dilakukan oleh Arifiantini dan Ferdian (2004) menemukan bahwa koleksi semen dengan teknik masase pada kerbau lumpur menghasilkan abnormalitas spermatozoa sebesar 31.86%. Pengaruh faktor internal yang mempengaruhi fertilitas dapat dikontrol ketika melakukan analisis semen di laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar dapat semakin meningkatkan kualitas spermatozoa yang akan digunakan dalam program breeding. Abnormalitas sel spermatozoa dapat terjadi pada saat pembentukkan spermatozoa dan selama penanganan semen (baik selama dan setelah koleksi). Abnormalitas
spermatozoa
dapat
dihasilkan
oleh
kegagalan
proses
spermatogenesis atau spermiogenesis yang disebabkan faktor genetik, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak sesuai.
Selain itu juga dapat disebabkan
karena penanganan semen yang tidak benar. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat tingkat abnormalitas spermatozoa yang terdapat pada beberapa sapi pejantan (Tabel 2). Beberapa jenis abnormalitas spermatozoa, yang apabila tinggi ditemukan pada satu individu akan berpengaruh besar terhadap tingkat fertilitas individu tersebut, seperti pada abnormalitas inti aneuploid, kandungan gen yang abnormal atau perubahan struktur, dapat menurunkan fertiltas pejantan dan masih belum dapat diketahui melalui pengamatan secara morfologi (Salisbury et al. 1978). Tabel 2 Persentase abnormalitas spermatozoa pada beberapa sapi pejantan Friesian1) 2.5
Hereford2) 3.3
SRB/SLB3) 6.1±2.8
Friesian3) 5.34±1.3
Detached head
2.5
5.7
1.6±2.2
-
-
-
Coiled tail
1.6
1.9
-
-
-
-
Nuclear pouches
-
-
0.1±0.5
-
-
-
Abnormalitas akrosom
-
-
0.8±0.9
-
-
30
2.7
2.9
1.4±1.6
-
-
-
Abnormalitas midpiece
-
-
1.1±0.9
-
-
-
Loose head
-
-
-
-
-
-
5.7
5.2
-
-
-
-
-
-
1.2±1.7
11.35±2.2
9.38±1.9
1
14.9
19.1
12.3
16.40±2.7
13.45±2.8
35
Jenis abnormalitas (%) Abnormalitas kepala
Proximal droplet
Abnormalitas minor Abnormalitas ekor Total Abnormalitas (%)
Sahiwal3) 4.3±1.4
Sim4) 4
Sumber ; 1) Willmington (1981) di dalam Ball dan Peters (2004), 2) Söderquist et al. (1996), 3. Sarder (2004), 4. Bart (1986), SRB = Swedish Red and White, SLB = Swedish Holstein, Sim = Simmental
Determinasi abnormalitas spermatozoa berbeda-beda diantara peneliti maupun laboratorium. Menurut Chenoweth (2005), abnormalitas spermatozoa terbagi dalam dua katagori, yakni berdasarkan sekuen proses proses pembentukan spermatozoa (primer dan sekunder) dan berdasarkan dampaknya bagi fertilitas. Katagori kerusakan spermatozoa bersifat primer adalah yang terjadi pada saat spermatogenesis, sedangkan sekunder jika kejadiannya setelah spermiasi. Pengelompokkan kelainan mayor dan minor didasarkan pada dampaknya terhadap fertilitas jantan tersebut. Kelainan mayor akan berdampak besar pada fertilitas, sebaliknya kelainan yang bersifat minor dampaknya kecil pada fertilitas. Sementara itu Ax et al. (2000) mengelompokkan abnormalitas spermatozoa ke dalam tiga katagori, yaitu primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom), sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan pada ekor). McPeake dan Pennington (2009), mengelompokkan abnormalitas dalam dua katagori, yaitu primer (yang meliputi abnormalitas kepala dan bentuk midpiece, abnormalitas midpiece dan tightly coiled tails) dan sekunder (kepala normal yang terputus, droplet dan ekor yang membengkok). Di Amerika dan Eropah kajian morfologi (abnormalitas) spermatozoa telah banyak dilaporkan (Barth & Oko 1989; Ax et al. 2000). Pada pejantan sapi potong dan perah ( Soderquist et al. 1996; Sarder 2004; Rocha et al. 2006; AlMakhzoomi et al. 2007; Freneau et al. 2009),
kuda (Morrell et al. 2008),
rodensia (dasyprocta leprorina) (Mollineau et al. 2008), ruminansia kecil (capricornis sumatraensis) (Suwanpugdee et al. 2009), anjing (Freshman, 2002), dan sterlet (golongan ikan) (Psenicka et al. 2009). Pada beberapa ternak, morfologi
spermatozoa
yang
abnormal
telah
banyak
dilaporkan
akan
mempengaruhi fertilitas (Jasko et al. 1990; Chenoweth 2005). Spermatozoa yang abnormal kemungkinan tidak dapat digunakan untuk membuahi oosit. Menurut Salisbury et al. (1978) kemampuan membuahi seekor pejantan tergantung perbandingan antara spermatozoa normal dan abnormal dalam semen, akan tetapi penurunan fertilitas tidak selalu berhubungan dengan morfologi abnormal spermatozoa. Beberapa kelainan abnormalitas spermatozoa
dapat ditemukan dalam satu ejakulat dan telah diinterpretasikan berbeda-beda antar peneliti dan laboratorium, demikian juga untuk tinggi dan rendahnya tingkat abnormalitas. Berbagai kemungkinan morfologi abnormalitas primer dapat ditemui dalam melakukan pengamatan morfologi. Adapun abnormalitas morfologi primer yang mungkin teramati meliputi tapered head, micro dan macrocephalic, head less, amorphous, double head, dan immature sperm (Ax et al. 2000), selain itu jenis abnormalitas kepala lainnya dapat pula teramati seperti underdeveloped, knobbed acrosome defect, diadem defect, pearshape, narrow at the base, narrow, abnormal contour, detached head, dan abaxial implantation (Salisbury et al. 1978).