KEBUTUHAN INFORMASI PETERNAK SAPI BALI DALAM PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN DI KABUPATEN BARRU Syahdar Baba1, Hastang1, M. Risal2 1Departemen
Sosial Ekonomi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan, KM 10, Makassar 90245- Indonesia 2 Jurusan Agribisnis STIPER YAPIM Maros Corresponding email :
[email protected]
ABSTRAK Untuk meningkatkan adopsi teknologi Inseminasi Buatan (IB) di kabupaten Barru dapat dilakukan melalui pengenalan kebutuhan informasi peternak sebagai dasar untuk menyusun materi penyuluhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan informasi peternak dan jenis informasi IB sebagai dasar penyusunan materi penyuluhan. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tanete Riaja pada bulan Mei sampai dengan Juli 2015. Survei dilakukan dengan menggunakan kuisioner untuk mengetahui informasi yang dibutuhkan peternak terkait pelaksanaan IB. Jumlah responden adalah 63 orang adopter dan 148 orang non-adopter IB. Data dianalisis menggunakan statistika deskriptif dalam bentuk distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan informasi peternak adopter meliputi penanganan ternak pada saat IB, insentif untuk inseminator alat dan bahan yang dibutuhkan sewaktu IB dan metode menghubungi inseminator. Bagi peternak non-adopter, informasi yang dibutuhkan adalah manfaat IB, insentif inseminator dan metode menghubungi inseminator. Manfaat IB dan insentif untuk inseminator membutuhkan jenis pengetahun yang menggugah kesadaran agar peternak berkeinginan untuk melaksanakannya. Penanganan ternak pada saat IB, metoda menghubungi inseminator, alat dan bahan yang dibutuhkan pada saat IB dan penanganan ternak pada saat IB merupakan jenis pengetahuan prosedur kerja. Kata Kunci: Inseminasi Buatan, Sapi Bali, Barru, Adopsi PENDAHULUAN Kabupaten Barru telah ditetapkan sebagai daerah perbibitan sapi Bali sejak Tahun 2013 oleh Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Selain itu, kabupaten Barru telah ditetapkan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah pemurnian sapi Bali sejak Tahun 1978 dalam rangka menjaga kelestarian plasma nutfah ternak asli Indonesia. Demikian pentingnya posisi kabupaten Barru, maka dibutuhkan upaya yang kuat untuk mempertahankan eksistensi peternakan sapi Bali di kabupaten Barru sekaligus sebagai daerah penghasil bibit sapi Bali bagi Kawasan Timur Indonesia. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa hambatan pengembangan sapi Bali utamanya dalam penyediaan pejantan dan perbaikan genetik. Pejantan sangat sulit didapat karena pejantan yang lolos seleksi akan dikandangkan dengan intensif pada umur 1,5 – 2 tahun sehingga jantan yang mengawini betina adalah jantan yang secara performans rendah dan tidak memenuhi kriteria performan unggul (Baba, dkk, 2015). Untuk meningkatkan kualitas genetik sapi Bali maka salah satu solusi yang cukup efisien adalah dengan menerapkan IB dengan menggunakan semen sapi Bali. Pemanfaatan teknologi IB akan meningkatkan kualitas genetik, karena memudahkan introduksi genetik baru yang berkualitas melalui semen pejantan unggul (Tolihere, 2005). Upaya untuk memasyarakatkan Inseminasi Buatan (IB) telah berjalan cukup lama di Indonesia. Namun demikian, target keberhasilan IB masih rendah (Sulawesi Selatan 50% IB 130
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
dan 50% kawin alam) apalagi pada tingkat keberhasilannya masih sangat rendah (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2015). Di Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru, tingkat keberhasilan IB hanya mencapai 22,29% (Bahar, dkk. 2014). Olehnya itu, dibutuhkan upaya yang cukup kuat untuk mensosialisasikan IB di kabupaten Barru guna mendorong peternak mengadopsi teknologi IB. Salah satu metode untuk mempercepat adopsi teknologi IB adalah dengan menyediakan informasi sesuai dengan kebutuhan peternak berdasarkan jenis informasinya. Menurut Rogers (2003), sebuah materi penyuluhan yang disusun berdasarkan kebutuhan informasi peternak dan jenis informasi yang dibutuhkan, maka proses komunikasi akan berjalan dengan baik sehingga adopsi teknologi dapat ditingkatkan. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kebutuhan peternak dalam pelaksanaan IB dan menggolongkan informasi tersebut menjadi beberapa jenis informasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kabupaten Barru di Kecamatan Tanete Riaja karena di kecamatan ini diseminasi dan penyuluhan IB sapi Bali telah dilaksanakan dengan intensif dan menjadi daerah perbibitan sapi Bali. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2015. Populasi penelitian adalah peternak sapi Bali yang tergabung dalam kelompok perbibitan sapi Bali yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Kementerian Pertanian. Terdapat 22 kelompok tani ternak yang termasuk dalam kelompok perbibitan sapi Bali dengan jumlah peternak mencapai 450 orang. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi tentang karakteristik peternak dan kebutuhan informasi peternak akan IB dan alasan kebutuhan tersebut. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan statistika deskriptif dengan mentabulasi dan membuat persentase peternak sesuai kriteria yang telah disusun. Jumlah responden yang terpilih dan mengembalikan kuisioner yang dibagikan mencapai 63 orang responden yang telah mengadopsi IB (melakukan IB lebih dari 2 kali) dan 148 orang yang belum melakukan IB pada ternak sapinya. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Umur peternak adopter dan non adopter tidak berbeda nyata dimana semuanya berada pada usia produktif. Dalam hal pengalaman usaha, peternak adopter pada umumnya peternak baru (mulai 1 sampai dengan 8 tahun) dibanding non adopter (mulai 1 sampai dengan 19 tahun). Dalam hal jumlah anggota keluarga, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara peternak adopter dan non adopter dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3,93 dan 3,78 orang untuk adopter dan non adopter. Dalam hal tingkat pendidikan, peternak adopter dan non adopter didominasi oleh peternak yang berpendidikan rendah (> 65%) (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa peternak adopter IB memiliki pengalaman usaha beternak yang lebih rendah dibanding peternak non adopter. Artinya, peternak baru cenderung lebih mudah mengadopsi teknologi IB dibanding peternak yang sudah berpengalaman. Peternak baru pada umumnya memelihara sapi secara intensif sehingga sangat sulit menemukan pejantan. Keberadaan teknologi IB mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh peternak baru sehingga adopsi IB lebih tinggi. Identifikasi masalah yang dilanjutkan dengan penyelesaian masalah dalam bentuk
131
Syahdar Baba, dkk.
participatory action merupakan langkah-langkah untuk memudahkan adopsi teknologi dari petani (Bodorkos, et al., 2009; Sewel, et al., 2014). Tabel 1. Karakteristik Responden Adopter dan Non-Adopter IB di kabupaten Barru Variabel Umur (Tahun ) Pengalaman Usaha (Tahun) Jumlah anggota keluarga (org) Jumlah ternak (ekor) Tingkat Pendidikan (%) - Rendah (≤ SMP) - Sedang (SMU Sederajat) - Tinggi (Universitas)
41,61 ± 10,13 4,21 ± 2,47* 3,93 ± 1,34 3,86 ± 1,78
Non Adopter (148 org) 42,43 ± 9,55 11,75 ± 5,16* 3,78 ± 1,21 2,88 ± 1,13
66,67 30,15 3,18
66,26 26,35 7,39
Adopter (63 org)
Sig. ns * ns ns ns
*berbeda nyata, ns : tidak berbeda nyata
Informasi tentang IB yang dibutuhkan peternak Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa informasi yang dibutuhkan peternak dalam rangka pelaksanaan IB meliputi beberapa aspek (Tabel 2). Tabel 2 Informasi yang dibutuhkan peternak dalam pelaksanaan IB Peternak Adopter Peternak Non (63 orang) Adopter (148 No Jenis Informasi orang) Jumlah % Jumlah % 1. Metode menghubungi 37 58,73 136 91,89 inseminator 2. Waktu inseminasi 21 33,33 123 83,10 3. Alat dan bahan yang dibutuhkan 42 66,67 101 68,24 sewaktu IB 4. Penanganan Induk setelah IB 19 30,16 88 59,46 5. Manfaat IB 6 9,52 146 98,65 6. Ciri-ciri berahi 13 20,63 128 86,48 7 Penanganan ternak pada saat IB 50 79,36 131 88,51 8 Insentif pelaksanaan IB 48 76,19 141 95,27 Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa ada empat jenis informasi yang dibutuhkan peternak adopter dalam melaksanakan IB yaitu metode menghubungi inseminator, alat dan bahan yang dibutuhkan sewaktu pelaksanaan IB, penanganan ternak pada saat IB dan insentif pelaksanaan IB (lebih dari 50% peternak yang membutuhkannya). Adapun bagi peternak non adopter membutuhkan ke delapan jenis informasi karena jumlah peternak yang membutuhkannya lebih dari 50%. Dengan demikian, terdapat perbedaan kebutuhan informasi yang signifikan antara peternak adopter dengan peternak non adopter dimana peternak non adopter membutuhkan informasi yang lebih banyak dibanding peternak non adopter (Tabel 2). Bagi peternak adopter penanganan ternak pada saat IB dan setelah IB sangat dibutuhkan agar resiko kegagalan IB dapat dihindari. Penanganan ternak meliputi penanganan pada saat akan di IB, setelah di IB dan pada saat menjelang melahirkan. Ternak 132
Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 25 Agustus 2016
yang telah di IB membutuhkan nutrisi yang lebih karena anak yang akan dilahirkan merupakan ternak unggul. Melalui metode pemberian nutrisi pre natal akan meningkatkan produktivitas ternak sapi potong (Funston et al., 2010). Lain halnya bagi peternak non adopter, informasi yang paling dibutuhkan adalah penjelasan tentang manfaat IB (98,65%). Hambatan utama belum diadopsinya teknologi IB adalah belum mengertinya peternak di Barru akan manfaat IB. IB dengan menggunakan semen sapi Bali sama saja dengan kawin alam karena anak yang lahir tidak langsung dapat dilihat perbedaannya dengan kawin alam. Lain halnya dengan IB dengan menggunakan semen sapi exotic, anak yang lahir langsung terlihat perbedaan performansnya sehingga ketertarikan peternak untuk IB lebih tinggi. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rogers (2003) dan Reimer et al., (2012) bahwa sebuah teknologi yang dapat diamati dengan baik oleh petani dan memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan teknologi lama yang digantikan akan mudah diterima oleh petani, Untuk merancang materi penyuluhan yang dibutuhkan peternak, maka jenis informasi yang dibutuhkan peternak harus disesuaikan dengan kebutuhan informasi sebagaimana yang dikemukakan Rogers (2003) meliputi kebutuhan akan: - Menggugah kesadaran (Awareness). Jenis informasi yang menggugah kesadaran peternak untuk melakukannya. - Bagaimana melakukannya (prosedur kerja). Bagian yang penting diketahui oleh peternak terkait prosedur kerja dari sebuah teknologi. - Prinsip kerja. Bagian yang penting diketahui peternak meliputi prinsip kerja dari teknologi tersebut sehingga peternak dapat melakukan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang tersedia. Tabel 3 menyajikan pemilahan jenis informasi yang dibutuhkan peternak dengan kebutuhan informasi menurut kriteria Rogers (2003). Tabel 3. Kebutuhan informasi dan Jenis Pengetahuan yang dibutuhkan peternak dalam pelaksanaan IB di kabupaten Barru No Kebutuhan Informasi Jenis Pengetahuan 1. Metode menghubungi inseminator Prosedur kerja 2. Waktu inseminasi Prinsip kerja 3. Alat dan bahan yang dibutuhkan sewaktu IB Prosedur kerja 4. Penanganan Induk setelah IB Prinsip kerja 5. Manfaat IB Menggugah kesadaran 6. Ciri-ciri berahi Prosedur kerja 7. Penanganan ternak pada saat IB Prosedur kerja 8. Insentif pelaksanaan IB Menggugah kesadaran Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa terdapat 4 jenis informasi yang membutuhkan informasi tentang prosedur kerja, 2 jenis informasi yang akan menggugah kesadaran, dan 1 jenis informasiprinsip kerja. Informasi yang terkait dengan menggugah kesadaran membutuhkan materi penyuluhan yang sifatnya membangun kesadaran peternak dengan memperlihatkan dampak dari kegiatan tersebut. Misalnya saja manfaat IB membutuhkan materi penyuluhan yang memperlihatkan nilai tambah dari pelaksanaan IB. Adapun untuk insentif bagi inseminator dibutuhkan materi penyuluhan yang memperlihatkan peran kunci dari inseminator bagi keberhasilan pelaksanaan IB di kabupaten Barru. Jenis informasi yang terkait dengan prosedur kerja dapat diselesaikan dengan membuat materi penyuluhan dalam bentuk SOP (standar operating procedure). Di kabupaten Barru, SOP pelaksanaan IB memang belum tersedia sehingga stakholder inseminasi (inseminator, peternak dan instansi terkait) belum mampu menjalin komunikasi dengan baik dan meluas. Untuk itu, perlu dibuatkan SOP yang melingkupi hak dan 133
Syahdar Baba, dkk.
kewajiban setiap stakeholder dan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh setiap stekholde dalam melaksanakan IB. KESIMPULAN Informasi yang dibutuhkan oleh peternak adopter meliputi penangan ternak pada saat IB, insentif pelaksanaan IB, alat dan bahan yang dibutuhkan sewaktu IB dan metode menghubungi inseminator. Bagi peternak non adopter, kebutuhan informasinya meliputi manfaat IB, insentif inseminator dan metode menghubungi inseminator. Manfaat IB dan keinginan membayar insentif inseminator merupakan informasi yang menggugah perasaan, sedangkan metode menghubungi inseminator dan penanganan ternak merupakan prosedur kerja yang harus dipahami oleh peternak. DAFTAR PUSTAKA Baba, S., Hastang, M. Risal. 2015. Hambatan pelaksanaan IB sapi Bali di kabupaten Barru. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Agribisnis untuk Pertanian Berkelanjutan. Prodi Agribisnis FPP UNDIP dan PERHEPI, 9 September 2015 Bahar, L. D., S. Baba, S.N. Sirajuddin. 2014. Hambatan adopsi teknologi IB oleh peternak sapi Bali di Kecamatan Soppeng Riaja kabupaten Barru. Prosiding seminar nasional Optimalisasi sumber daya lokal pada peternakan rakyat berbasis teknologi. Fakultas Peternakan Unhas, 9 Oktober 2014. Bodorkos, B., G. Pataki. 2009. Linking academic and local knowledge: community based research and service learning for sustainable rural development in Hungary. Journal of Cleaner Production 17:1123-1131. Funston, R.N., D.M. Larson, K.A. Vonnahme. 2010. Effect of maternal nutrition on conceptus growth and offspring performance: Implication for beef cattle production. West Central Research and Extension Center, North Platte, Paper 22. Reimer, A.P., D.K. Weinkauf, L.S. Prokopy. 2012. The influence of perceptions of practice characteristics: An examination of agricultural best managemen practice adoption in two Indiana watersheds. Journal of Rural Study (28):118-128. Rogers, E. 2003. Diffusion of Innovation. Fifth edition. Free Press, New York. Sewel, A.M., D.I. Gray, H.T. Blair, P.D. Kemp, P.R. Kenyon, S.T. Morris, B.A. Wood. 2014. Hatching new ideas about herbs pastures: Learning together in a community of New Zealand farmers and agriculture scientists. Agricultural Systems 125:63-73. Tolihere. 2005. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.
134