PREFERENSI DAN TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI IB DI KABUPATEN BARRU Syahdar Baba1 dan M. Risal2 1Laboratorium
Penyuluhan dan Sosiologi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin 2Stiper Yapim Maros Email:
[email protected]
ABSTRAK Sosialisasi pelaksanaan IB di kabupaten Barru telah dimulai sejak tahun 2004. Sarana dan prasarana IB juga telah dilengkapi. Namun, jumlah akseptor IB dan angka kelahiran tetap rendah dibanding yang tidak melakukan IB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peternak tentang pelaksanaan IB serta untuk mengetahui preferensi peternak terhadap teknologi IB dibanding dengan kawin alami. Penelitian dilaksanakan di kecamatan Soppeng Riaja karena di daerah ini telah dilakukan sosialisasi IB sejak tahun 2009 serta telah disediakan sarana dan prasarana. Jumlah responden adalah 46 orang. Jenis penelitian deskriptif dan analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif berupa distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan peternak terhadap tanda-tanda berahi tergolong sedang (hanya dua indikator yang diketahui) dan masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang waktu yang tepat untuk melakukan IB. Peternak masih memiliki pengetahuan yang rendah tentang peralatan yang perlu disiapkan untuk pelaksanaan IB. Sebagian besar peternak telah mengetahui bahwa tidak munculnya berahi yang berulang merupakan tanda bahwa sapi betinanya telah bunting. Peternak telah mengetahui teknik memelihara sapi bunting dengan menyediakan suplemen berupa mineral. Pengetahuan tentang pemeliharaan ternak menjelang kelahiran masih tergolong rendah namun peternak pada umumnya telah mengetahui penanganan ternak setelah melahirkan. Preferensi peternak tentang IB lebih baik dibanding kawin alam dalam hal keuntungan yang diperoleh, ketersediaan sarana IB, kemampuan untuk melaksanakan dan biaya yang harus dikeluarkan. Namun, dalam hal waktu yang dibutuhkan, resiko yang akan diterima serta tingkat keberhasilan, peternak mempunyai preferensi yang lebih baik jika kawin alam dilakukan. Kata kunci: Pengetahuan peternak, preferensi, IB, sapi Bali, Barru PENDAHULUAN Teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan mutu genetik ternak sapi dengan murah dan cepat. Kualitas genetik pejantan unggul dapat disebarluaskan dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak pada waktu yang bersamaan (Hartati, 2010). Teknologi IB juga merupakan solusi disuatu daerah yang sulit memperoleh pejantan untuk mengawini betina seperti di Kabupaten Barru. Saat ini, di kabupaten Barru, persentase betina yang melahirkan setiap tahunnya hanya mencapai 60%, padahal sapi Bali mempunyai peluang untuk melahirkan sebesar minimal 80% (Dinas Peternakan Kabupaten Barru, 2013). Keadaan
334
ini cukup merugikan peternak sekaligus dapat menghambat pengembangan ternak sapi Bali. Upaya untuk mensosialisasikan teknologi IB kepada peternak sapi Bali di kabupaten Barru telah dilakukan oleh berbagai stakeholder. Pada tahun 2009, Universitas Hasanuddin bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Sulawesi Selatan melakukan uji performan ternak hasil IB yang dipusatkan di kecamatan Soppeng Riaja. Sejak saat itu, kabupaten Barru menjadi salah satu daerah sasaran pengembangan teknologi IB utamanya IB sapi Bali. Pada tahun 2012, Dinas peternakan dan kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan melakukan promosi IB kepada peternak dengan melakukan sinkronisasi berahi yang dilanjutkan dengan IB. Namun demikian, perkembangan IB di kabupaten Barru belum begitu menggembirakan. Jumlah peternak yang mengadopsi IB baru berkisar 22.28% dengan angka S/C baru mencapai 2,2 (Dinas Peternakan Kabupaten Barru, 2013). Diharapkan, peternak yang mengadopsi IB semakin meningkat seiring dengan semakin gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan tersedianya sarana dan prasarana IB serta tenaga inseminator PNS (pegawai negeri sipil) dan mandiri di setiap kecamatan. Peran penyuluhan dalam membangun kesadaran peternak dan mensosialisasikan IB sangat penting guna mendorong peningkatan pengetahuan dan preferensi peternak tentang IB. Menurut Mardikanto (2009) penyuluhan merupakan wadah pembelajaran bagi peternak untuk meningkatkan pengetahuannya. Diharapkan, dari pengetahuan yang tinggi, akan meningkatkan sikap dan keterampilan peternak tentang teknologi IB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peternak dan preferensi peternak tentang teknologi IB di kabupaten Barru. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Barru Kecamatan Soppeng Riaja. Pemilihan lokasi disebabkan karena di lokasi tersebut telah dilaksanakan penyuluhan tentang IB dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana berupa insemintor, insemination kit dan operasional pelaksanaan inseminasi. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif yang menggambarkan tentang tingkat pengetahuan peternak akan IB dan yang terkait dengan IB serta preferensi peternak terhadap teknologi IB dibandingkan dengan kawin alam. Deskripsi variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Populasi adalah seluruh peternak sapi potong yang ada di kecamatan Soppeng Riaja sebanyak 947 peternak. Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus slovin dengan tingkat kelonggaran 15% sehingga diperoleh jumlah sampel minimal 43 orang. Pengumpulan data menggunakan kuisioner yang disusun berdasarkan variabel dan indikator yang telah disusun. Analisis data menggunakan statistika deskriptif berupa tabel distribusi frekuensi. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Umur rata-rata peternak sapi Bali di kabupaten Barru adalah 42.66 tahun (SD 10.34). Semua peternak berada pada usia produktif sehingga mampu mengembangkan usaha peternakan dengan baik. Usaha sapi Bali merupakan usaha turun temurun yang telah dilaksanakan dalam jangka waktu lama oleh peternak. Usaha ini diperoleh dari
335
orang tuanya yang juga peternak. Peternak yang telah berpengalaman dapat memberikan dampak positif pada pengalamannya dalam mengelola usaha ternak sapi tetapi sekaligus juga dapat menghambat adopsi sebuah teknologi baru. Peternak yang mempunyai pengalaman merasa sudah berada pada zona nyaman beternak sehingga sulit menerima pengetahuan baru (Mardikanto, 2009). Tabel 1. Deskripsi variabel penelitian Variabel Tingkat pengetahuan peternak akan IB
Sub Variabel - Tanda-tanda berahi
- Waktu yang untuk IB
tepat
- Peralatan diperlukan
yang
- Deteksi kebuntingan
- Pemeliharaan bunting
sapi
- Penanganan menjelang kelahiran - Penanganan melahirkan Preferensi peternak akan dibanding kawin alam
pasca
teknologi
IB
Indikator T: semua tanda-tanda S:1/2-3/4 tanda-tanda R: maksimal 2 tanda T: semua waktu S: hanya waktu tepat R: tidak tahu waktunya T: semua peralatan S: 2-3 peralatan disiapkan R: tidak ada peralatan T: awal kebuntingan S: tengah kebuntingan R: akhir kebuntingan T: pakan komplit S: hijauan unggul+kons. R: Hijauan saja T: pakan dan tempat S: pakan saja R: sama saja T: pakan, tempat, suasana S: pakan dan tempat R: sama saja - Keuntungan yang diperoleh - Ketersediaan sarana IB - Waktu yang dibutuhkan - Resiko - Kemampuan untuk melaksanakan - Biaya yang harus ditanggung - Tingkat keberhasilan
Skala usaha peternak sapi Bali di Kabupaten Barru berkisar 2 ekor sampai 15 ekor. Semakin tinggi skala usaha, maka peluang untuk mengadopsi sebuah teknologi semakin tinggi karena tuntutan efisiensi usaha yang dilaksanakan (Ibrahim, dkk. 2003). Dalam hal pendidikan, peternak di kabupaten Barru memiliki pendidikan rendah (tidak sekolah, SD dan SMP) sebanyak 97.79% (Tabel 2). Diperlukan upaya yang lebih intensif dalam memberikan penyuluhan agar peternak dapat mengadopsi teknologi IB. Tingkat pengetahuan peternak Tingkat pengetahuan peternak tentang pelaksanaan IB dapat dilihat pada Tabel 3.
336
Tabel 2. Karakteristik responden peternak sapi Bali di kabupaten Barru Variabel Umur (Year) Pengalaman usaha (tahun) Anggota Keluarga (orang) Skala Usaha (ekor) Tingkat Pendidikan (%) Tdk Sekolah SD SMP SMA atau lebih
Rata-rata 42.66 16.79 3.78 5.74
SD 10.34 4.12 1.41 4.82
35,56 55,56 6,67 2,21
Tabel 3. Tingkat pengetahuan peternak tentang teknologi IB di kabupaten Barru Tinggi Sedang Rendah Uraian Orang (%) Tanda-tanda berahi 10 (21.74) 23 (50) 13 (28.26) Waktu yang tepat untuk IB 3 (6.52) 7 (15.22) 36 (78.26) Peralatan yang diperlukan 1 (2.17) 4 (8.70) 41 (89.13) Deteksi kebuntingan 23 (50) 19 (41.30) 4 (8.70) Pemeliharaan sapi bunting 28 (60.87) 10 (21.74) 8 (17.39) Penanganan menjelang 2 (4.34) 9 (19.57) 35 (76.09) melahirkan Penanganan anak pasca 38 (82.61) 7 (15.22) 1 (2.17) kelahiran Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa pemahaman tentang tanda-tanda berahi berada pada level sedang dimana peternak hanya mengetahui tanda berupa ternak yang gelisah dan vulva yang berwarna merah sebagai tanda sapi berahi. Keluarnya lendir dan nafsu makan yang menurun tidak dipahami peternak sebagai tanda-tanda berahi (Toilihere, 2005). Dalam hal pengetahuan peternak tentang waktu IB yang tepat pada umumnya rendah. Begitu mengetahui adanya tanda-tanda berahi pada sapinya, langsung dilaporkan kepada inseminator untuk di IB. Peternak tidak sabar dan tidak mengetahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan inseminasi. Padahal, waktu yang tepat untuk inseminasi adalah pada enam jam kedua sejak hewan menunjukkan gejala berahi akan menghasilkan angka konsepsi tertinggi berkisar antara 72% dibandingkan dengan bila dilakukan pada enam jam yang pertama sejak timbulnya gejala berahi (Partodihardjo, 2004). Penyiapan peralatan untuk pelaksanaan IB pada umumnya disiapkan oleh inseminator. Peternak tidak mengetahui bahwa untuk IB diperlukan proses thawing (air hangat), lap bersih, vaselin sebagai pelumas maupun sarung tangan plastik (Herawati, 2012). Jika inseminator tidak membawa peralatan, maka waktu inseminasi akan molor karena peternak tidak mempersiapkan peralatan perlengkapan untuk IB. Peternak mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang deteksi kebuntingan. Peternak telah mengetahui bahwa sapi yang tidak berahi ulang merupakan tanda bahwa sapi tersebut telah bunting. Ketika sapi bunting, peternak juga pada umumnya telah mengetahui perlakuan yang harus diberikan berupa pemberian hijauan, konsentrat dan suplemen berupa mineral. Namun demikian, peternak belum
337
mengetahui bahwa ternak yang akan melahirkan memerlukan penanganan khusus berupa pemisahan dengan ternak lainnya, pemberian tambahan suplemen serta exercise (Sariubang, 2006). Penanganan anak yang lahir telah mampu ditangani peternak dengan baik dengan mengusahakan pemberian colustrum pada anak sapi. Peternak berusaha menjaga agar induk sapi dapat memberikan kolustrum pada anaknya. Selain itu, peternak akan memisahkan induk yang baru melahirkan dengan ternak lainnya serta menyiapkan alas kandang yang menghangatkan anak sapi. Berdasarkan tingkat pengetahuan peternak, maka materi penyuluhan yang tepat untuk diberikan kepada peternak di kabupaten Barru meliputi pengenalan pada tanda-tanda berahi, waktu yang tepat untuk IB, penyediaan peralatan untuk IB dan penanganan ternak menjelang kelahiran. Materi penyuluhan yang baik adalah materi penyuluhan yang didasarkan pada kebutuhan peternak dan memecahkan permasalahan peternak (Hagmann, et al. 2000: Mardikanto, 2009).
Preferensi peternak terhadap teknologi IB Preferensi peternak terhadap teknologi IB di Kabupaten Barru dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Preferensi peternak terhadap teknologi IB Uraian Keuntungan yang diperoleh Ketersediaan sarana IB Waktu yang dibutuhkan Resiko Kemampuan untuk melaksanakan Biaya yang harus ditanggung Tingkat keberhasilan
IB
Kawin Alam Orang (%) 41 (89.13) 5 (10.87) 21 (45.65) 25 (54.35) 2 (4.35) 44 (95.65) 46 (100) 0 (0) 18 (39.13) 28 (60.87) 33 (71.74) 15 (32.61)
13 (28.26) 31 (67.39
Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa preferensi peternak terhadap keuntungan yang diperoleh dan biaya yang ditanggung serta resiko lebih tinggi pada teknologi IB dibanding dengan kawin alam. Peternak merasa bahwa pelaksanaan IB akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi karena pertumbuhan ternak hasil IB jauh lebih cepat dibanding dengan kawin alam sehingga harga akhirnya juga tinggi (Nurtini, 2008). Namun demikian, resiko pelaksanaan IB lebih tinggi dibanding kawin alam seperti distokia, sulit melahirkan dan diperlukan kondisi betina yang lebih baik dibanding kawin alam. Demikian halnya dengan biaya, peternak merasa bahwa pelaksanaan IB membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding dengan kawin alam termasuk biaya IB, sarana dan prasarana IB serta kesiapan tenaga ineseminator yang kesemuanya membutuhkan biaya yang besar. Kemampuan peternak untuk melakukan kawin alam masih lebih tinggi dibanding melakukan IB pada sapinya. Pada kawin alam, peternak hanya perlu menyediakan pejantan sedangkan pada IB peternak harus menghubungi inseminator, menyiapkan sarana prasarana, sehingga tingkat keberhasilan IB juga lebih rendah dibanding dengan kawin alam.
338
KESIMPULAN Tingkat pengetahuan peternak tentang deteksi kebuntingan dini, pemeliharaan ternak bunting dan penanganan ternak pasca kelahiran sudah cukup tinggi namun dalam hal pengetahuan tentang waktu yang tepat untuk IB, peralatan yang perlu disiapkan dan penanganan ternak menjelang kelahiran masih berada pada level yang rendah. Meskipun peternak mempersepsikan bahwa resiko IB dan biaya yang dibutuhkan untuk IB lebih tinggi dibanding dengan kawin alam, namun peternak mempersepsikan keuntungan yang diperoleh anak sapi hasil IB lebih tinggi dibanding anak sapi hasil kawin alam. Olehnya itu, penyuluhan yang intensif dengan menonjolkan kelebihan IB dan memperhatikan hal-hal yang belum sepenuhnya diketahui peternak tentang IB diharapkan dapat meningkatkan adopsi teknologi IB oleh peternak sapi Bali di Kabupaten Barru. DAFTAR PUSTAKA Dinas Peternakan Kabupaten Barru. 2013. Laporan tahunan pelaksanaan kegiatan SKPD Dinas Peternakan kabupaten Barru. Disnak Barru, Barru. Hagman, J., E. Chuma, K. Murwira and M. Connoly. 2000. Learning Together Through Participatory Extension: A Guide to an Approach Developed in Zimbabwe, Departement of Agricultural Technical & Extension Services (AGRITEX) Zimbabwe, Harare. Hartati, S. 2010. Pedoman Pelaksanaan Inseminasi Buatan Pada Ternak Sapi. Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian, Jakarta.
Direktorat
Herawati, T., A. Anggraeni, L. Praharani, D. Utami dan A. Argiris. 2012. Peran inseminator dalam keberhasilan inseminasi buatan pada sapi perah. Jurnal informatika pertanian, vol. 21 no.2, Desember:81 – 88. Ibrahim, J.T., Armand Sudiyono, dan Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Banyumedia Publishing, Malang. Mardikanto, T. 2009. Membangun Pertanian Modern. UNS Press, Surakarta. Nurtini, S. 2008. Kajian sosial ekonomi pelaksanaan inseminasi buatan sapi potong di Kabupaten Kebumen. Jurnal Mediagro 1 Vol 4. No 2: Hal 1 -12. Patodihardjo. 2004. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta. Sariubang, M. 2006. Pengkajian teknologi pembibitan sapi potong berbasis pedesaan mendukung swasembada daging di Sulawesi Selatan. Jurnal SulSel Litbang DepTan. Tolihere. 2005. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung.
339