1
PENGARUH WAKTU INSEMINASI BUATAN TERHADAP ANGKA KEBUNTINGAN SAPI TURUNAN SIMMENTAL DI KECAMATAN SANGIR KABUPATEN SOLOK SELATAN
Nama : ZULFAHMI NPM : 0710005311001 Jurusan : Peternakan Fakultas : Pertanian Universitas : Tamansiswa Padang Pebimbing: Prof. Ir. Sahili Dt Gn Putih, SU Dr. Ir. Syafrizal, MP
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TAMAN SISWA PADANG 2014
2
Pengaruh Waktu Inseminasi Buatan terhadap Kebuntingan Sapi Turunan Simmental di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan ZULFAHMI I) Prof. Ir. Sahili Dt.Gn.Putih, SU. 2) Dr.Ir. Syafrizal,MP 3) Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Tamansiswa Padang
ABSTRAK Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu Ineminasi buatan terhadap angka kebuntingan sapi turunan Simmental di kecamatan Sangir kabupaten Solok Selatan. Penelitian ini dilakukan dikecamatan Sangir yang di mulai bulan Juni 2012 sampai bulan Januari 2013.Manfaat penelitian adalah untuk memperoleh gambaran umum dan informasi pada peternak serta instansi terkait mengenai efisiensi reproduksi ternak sapi dalam rangka pengembangan ternak sapi turunaSimmental di Sumatera Barat Umumnya dan di kecamatan Sangir kabupaten Solok Selatan Khususnya. Materi penelitian adalah 95 ekor induk sapi turunan Simmental yang di IB pada bulan Juni 2012 sampai Januari 2013. Penelitian dilakukan dengan metode surve. Peubah yang di ukur adalah Conception Rate (CR). Hasil penelitian menunjukan persentase CR pada pagi hari adalah (60.0%), siang (2,12%) dan sore hari (62,5%). analisis ChiSquare terhadap angka kebuntingan menunjukkan bahwa waktu Inseminasii Buatan berpengaruh nyata terhadap angka kebuntingan sapi turunan Simmental di kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan (P <0,005).. Kata kunci : Inseminasi Buatan, Turunan Simmental.
1) 2) 3)
Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Peternakan Universitas Tamansiswa Angkatan 2007 Pembimbing I ( Dosen Universitas Tamansiswa Padang) Pembimbing II ( Dosen Universitas Tamansiswa Padang)
3
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha peningkatan produksi ternak sapi melibatkan bidang ilmu reproduksi dan ilmu genetika, di mana ilmu reproduksi bertujuan untuk meningkatkan populasi ternak sedangkan ilmu genetika ternak untuk memperbaiki genetik ternak. Salah satu alternatif yang dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak melalui reproduksi adalah dengan program Inseminasi Buatan. Peternakan sapi potong yang berkembang saat ini ternyata memiliki kontribusi cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan asal hewan. Secara Nasional ternak sapi yang dipelihara secara intensif diperkirakan 15% dari populasi nasional (1.838.550 ekor) sedangkan untuk Sumatera Barat diperkirakan 40% dari populasi Sumatera Barat (187.944 ekor). Intensifikasi ternak sapi potong ini sangat berpengaruh terhadap angka kelahiran, jarak melahirkan serta angka kematian anak dibawah tiga bulan. Pelayanan pemerintah yang diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan teknisi reproduksi yang bermanfaat dalam meningkatkan populasi ternak masyarakat dan kualitas genetik ternaknya secara massal dilakukan dengan Inseminasi Buatan (IB) dan kegiatan lainnya dengan mendatangkan bibit unggul dari luar negeri seperti : Sapi bakalan, pejantan unggul, Transfer Embrio (Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat, 2008). Inseminasi Buatan (IB) bertujuan untuk peningkatan efisiensi reproduksi dan penyebaran bibit unggul secara meluas serta dapat mencegah penyebaran penyakit kelamin menular. Inseminasi Buatan (IB) adalah perkawinan dengan mendeposisikan atau penyampaian semen kedalam alat kelamin betina dengan menggunakan alat yang dibuat oleh manusia. Pengenalan Inseminasi buatan (IB) di Indonesia dimulai sejak tahun 1952 yang dikembangkan oleh Borge Seit, seorang ahli IB berkebangsaan Denmark di Fakultas Kedokteran hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Pelaksanaan IB di Sumatera Barat telah dimulai sejak tahun 1971 dengan menggunakan semen cair dengan Kabupaten 50 Kota sebagai pilot proyek (Adikarta, 1981).
Kecamatan Sangir merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Solok Selatan yang sebagian besar penduduknya hidup dari bertani dan beternak. Peternakan sapi di Kecamatan Sangir tersebar pada peternakan rakyat. Pada daerah Kecamatan Sangir IB kebanyakan dilakukan pada waktu pagi, Siang dan sore hari. Menurut Toelihere (1981) menyatakan bahwa waktu birahi tidak dapat ditentukan dengan pasti, oleh karena itu dipakai patokan untuk IB pada ternak sapi sebagai berikut: apabia terlihat pagi harus dilaksanakan pada hari yang sama, apabila dilaksanakan besok terlambat dan apabila terlihat sore, IB dilaksanakan besok pagi sampai siang, sesudah jam 15.00 WIB sudah terlambat. Lama estrus berlangsung kira-kira 18 jam, ini dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing 6 jam, maka saat terbaik inseminasi adalah 6 jam kedua dimana angka konsepsi maksimal kira-kira 72 % dari inseminasi pertama (Partodihardjo, 1992). Toelihere (1985) menyatakan waktu inseminasi tidak kurang dari 4 jam sebelum ovulasi atau tidak boleh lebih dari 6 jam sesudah estrus. Populasi ternak api adalah 3.658 ekor yang terdiri dari sapi lokal 782 ekor, peranakan Ongole 1.016 ekor, Populasi tersebut di dominasi oleh sapi Bali dan sapi peranakan Ongole. Sedangkan sapi induk turunan Simmental berjumlah 421 ekor. Minat peternak mengawinkan ternaknya dengan bibit Simmental cukup tinggi, di tandai denganbanyaknya permintaan terhadap bibit Simmental ini. Kendala utama pada awal pelaksanaan IB di kecamatan Sangir terkait dengan waktu pelaporan birahi yang kurang tepat dan sarana komunikasi yang tidak lancer serta pemeliharaan yang masih bersifat tradisional. Pada praktek selama ini jika sapi birahi pagi hari maka paling lambat sore sudah harudi IB dan jika sapi birahi pada sore hari makapaling lambat esok pagi harinya sudah di IB. Pengalaman lapangan dan laporan dari peternak menyebutkan banyak diantara sapi yang telah di IB tersebut masih menujukkan gejala birahi pada hari ke 2 bahkan sampai hari ke 4 bahkan sering terjadinya IB berulang berdasarkan uraian diatas, maka Penuli tertarik untuk melakukan penelitian
4
mengenai “Pengaruh Waktu Inseminasi Buatan Terhadap Kebuntingan Sapi Turunan Simmental di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan”. B. Perumusan Masalah Apakah ada pengaruh waktu terbaik Inseminasi Buatan terhadap angka kebuntingan (Conception Rate) pada ternak sapi turunan Simmental. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu IB terhadap angka kebuntingan (CR) pada ternak sapi Turunan Simmental di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan.
D. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah bahwa waktu pelaksanaan IB berpengaruhi terhadap angka kebuntingan (CR) pada ternak sapi Turunan Simmental di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum dan informasi pada peternak serta instansi terkait mengenai efisiensi reproduksi ternak sapi dalam rangka pengembangan populasi dan produksi ternak sapi serta kapan waktu yang baik untuk pelaksanaan IB pada sapi turunan Simmental di provinsi Sumatera Barat umumnya dan di kecamatan Sangir kabupaten Solok Selatan khususnya.
5
MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi Penelitian Materi dalam penelitian ini adalah 95 ekor induk sapi Turunan Simmental yang di IB mulai pada bulan Juni 2012 di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan metode survey, pengambilan sampel secara sensus terhadap 173 ekor sapi induk turunan Simmental yang telah beranak dalam rentang waktu bulan Maret sampai bulan Juni 2012. Sampel yang dapat di IB dan di amati dari 173 ekor tersebut adalah 95 ekor, yang terdiri atas tiga perlakuan IB sesuai dengan waktu berahinya yaitu 30 ekor yang di IB pagi hari,33 ekor yang di IB siang hari dan 32 ekor pada sore harinya. C. Peubah penelitian Peubah penelitian ini adalah Conception Rate. Conception Rate adalah Persentase sapi betina yang bunting pada Insenminasi pertama.
CR= Jumlah sapi yangbunting IB I x 100% Jumlah sapi yangdi inseminasi
D. Analisis Data Data di analisis menggunakan chi-square (Gaspersz,1991). Model Analisis, dengan rumus sebagai berikut :
dengan keterangan : 2 = Nilai chi-square fe = Frekuensi yang diharapkan fo = Frekuensi yang diperoleh diamati
/
E. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan selama 8 bulan dari tanggal 1 Juni 2012 sampai dengan 31 Januari 2013.
6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Daerah Penelitian Letak Geografis dan Luas Wilayah Penelitian Kecamatan Sangir adalah Kecamatan yang terletak di pusat pemerintahan Kabupaten Solok Selatan. Secara Geografi Kecamatan Sangir terletak pada: 01 0 32’ 00” dan 01 0 46’ 45” Lintang Selatan 101 0 04’ 55” dan 101 0 26’ 27” bujur timur Kecamatan Sangir dalam angka BPS, 2010). Ketinggian Kecamatan Sangir 350-450 M diatas permukaan laut, dengan temperature 20o – 33o C dengan curah hujan cukup tinggi yaitu 1.600 – 4.000 mm/tahun. Kelembaban udara berkisar 80 %. Sapi Simmental yang umumnya berasal dari daerah subtropics dengan suhu 18-25derajat C. Sapi Simmental juga dapat hidup di iklim di iklim tropis atau panas Sapi Simmental biasa beradaptasi dengan lingkungan panas serta tahan terhadap kondisi yang jelek (Blakely dan Bade,1992). Namun di daerah tropis pertumbuhan sapi Simmental tentu tidaklah sama bila di bandingkan dengan pertumbuhan daerah asalnya, karena di daerahtropis sapi Simmental nafsu makannya akan lebih berkurang bila di bandingkan dengan daerah asalnya, dan di lihat dari nilai gizi hijauan makan ternak tentu tidaklah sama dengan nilai gizi hijauan makan ternak yang ada di daerah subtropis. Luas wilayah kecamatan Sangir adalah + 632.99 KM (Kecamatan Sangir dalam angka, BPS, 2010) dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sangir Jujuan b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pauh Duo c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sungai Pagu d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sangir Balai Janggo dan Kabupaten Kerinci Kecamatan Sangir terdiri dari 4 Nagari yaitu: a. Nagari Lubuk Gadang b. Nagari Lubuk Gadang Timur c. Nagari Lubuk Gadang Selatan d. Nagari Lubuk Gadang Utara Jumlah jorong sebanyak 44 jorong yang ada di kecamatan Sangir
B. Keadaan Umum Peternakan Sapi di Kecamatan Sangir Peternakan. Secara Umum usaha peternakan sapi masih merupakan usaha sampingan selain bertani, wirausaha, Pegawai negeri sipil. Pola pemeliharaan ternak sapi yang ada di kecamatan Sangir dilakukan secara semi intensif dan intensif. Dimana pemeliharaan semi intensif dapat dilihat dari peternak yang mengeluarkan sapi dari kandangnya mulai dari pukul 8.00 – 17.30 wib dan setelah itu sapi dikandangkan kembali. Pemeliharan secara intensif dilakukan didalam kandang dengan menyediakan pakan,air minum dan juga mengatur perkawinannya. Survey lapangan diketahui sebanyak 70% dari peternak telah memelihara sapi lebih dari 10 tahun, ini menunjukan pengetahuan tentang beternak sapi yang di miliki peternak sudah biasa di golongkan baik, yang dapat dilihat dengan pengetahuan tanda-tanda birahi, ketepatan waktu dalam menginsiminasi sapi dan kemudian melaporkan sapi yang birahi tersebut pada inseminator, serta peternak cukup terampil memelihara ternak sapi yang sedang bunting dan merawat anak yang baru dilahirkan. Kondisi sapi potong di peternakan rakyat masih mengalami beberapa permasalahan, yaitu tingginya kawin berulang baik melalui kawin alam atau dengan IB dan angka kebuntingan lebih kurang 60 % dan mahalnya biaya operasionalnya sehingga menyebabkan panjangnya Calving Interval. Ini di sebabkan oleh pengalaman dari petugas Inseminator yang baru 3 tahun, komunikasi yang sulit diterima oleh petugas dari peternak dan jauhnya jarak lokasi peternak dengan pos IB. Kandang. Khusus untuk kandang terlihat bahwa bahan baku dari bamboo dan kayu yang sudah dipotong menurut ukuran yangdiinginkan.adapun bahan yang digunakan anyaman/bilah bamboo untuk dinding, tempatmakan, tonggak dari bambu,atapnya dari eng dan ada yang mengunakan terpal dan lantai kandang dibuat dari bilahan bamboo yang disusun sedemikian rupa, keadan lantai datar, lantai terbuat dari papan dan ada juga yang langsung dari tanah saja.Kebanyakan peternak mengunakan kandang tunggal. Meskipun tipe kandang yang banyak ditemukan masih berbentuk sederhana atau
7
semi permanen akan tetapi ada sebahagian petani peternak yang sudah memiliki kandang permanen, yang umumnya lantai kandang dibuat dari semen, beratap seng dan tersedianyantempat penampungan kotoran ternak. Di sini petani peternak dalam pembuatan kandang belum sesuai dengan istem pembuatan kandang yang dianjurkan. Dimana ditemukan maih banyak peternak mengunakan lantai dari tanahyang bias berakibat buruk pada kuku sapi dan kesehatan ternak itu sendiri. Dengan kemiringan lantai yang tidak di perhitungkan, seharusnya kemiringan haru di buat lebih kurang dari 5 derajat guna supaya mudah dalam membersihkan kandang ternak dan juga mencengah tumbuhnya jamur pada lantai. Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji, (1980). kandang sapi petani peternak di daerah Indonesia walaupun hanya terbuat dari tiang bambu, atap rumbia dan lantai tanah yang dipadatkan, tetapi cukup baik. ini disebabkan karena petani peternak di Indonesia, terutama di Jawa hanya memiliki sapi antara 2-4 ekor saja. Demikian juga dengan pendapat Hafid (2008), sistim pemeliharaan yaitu kandang yang nyaman dapat menunjang proses biologis ternak dan ternak yang istirahatnya nyaman proses biologisnya akan sempurna sehingga laju pertumbuhan dan produktifitasnya akan lebih sempurna pula. Bibit. Hasil penelitian yang diperlihara adalah turunan Simmental. Semen yang digunakan dalam pelaksanaan IB adalah bibit yang di datangkan dari BIBD Tuah Sakato,Payakumbuh. Sedangkan mutu semen diasumsikan cukup baik karena prosessing semen di BIBD Tuah Sakato sesuai dengan standar dan sapi jantan Simmental yang dijadikan penghasil semen adalahsapi yang sudah terseleksi dengan baik, cirri utama spermatozoa adalah daya gerak atau motilitas yang di jadikan patokan atau caralain yang paling sederhana dalam penilaian mikroskopik terhadap motilitas spermatozoa yang bersifat ubjektif ( Toelihere, 1985).Toelihere (1981) Mengatakan, Motilitas spermatozoa sapi di bawah 40% merupakan nilai semen kurang baik dan sering dihubungkan dengan infertilitas. Kebanyakan pejantan Fertil mempunyai 50-80% spermatozoa motil, aktif progersif. Dan untuk inseminasi buatan maka persentase hidup spermatozoa harus lebih dari 50 %. Proses pengambilan semen di BIBD Tuah Sakato dilakukan seminggu
sekali dimulai jam 09.00 wib dan dilakukan oleh tenaga yang professional di bidangnya masing-masing baik petuga kandang maupun petugas labor bagian pengecekan sperma, pengepakan dan pengemasan serta pemberian label pada straw. Makanan. Hasil pengamatan secara umumnya, makanan yang banyak diberikan pada sapi berupa hijauan dan konsentrat. Pemberian hijauan berkisar antara 25-40 kg/ hari. Hijauan ini di peroleh dari rumput gajah yang ditanam Sendiri oleh peternak, rumput lapangan, daun jangung, jerami padi, kulit ubi kayu. Konsentrat seperti ampas tahu dan dedak. Dalam pemeliharaan semi intensif pakan yang diberikan untuk ternak sapi turunan Simmental di kecamatan Sangir adalah jerami padi, rumput lapangan dan kandang-kandang dicampur dengan rumput unggul namun jumlah pemberiannya tidak ditentukan dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut dan diberikan menjelang malam. Berbeda dengan pakan dengan pemeliharaan yang bertujuan untuk pengemukan, pakan yang diberikan adalah limbah pertanian berupa jerami padi (50%) dan konsentratnya berupa ampas tahu (30%) dicampur dedak padi (20%) dengan waktu pemberian pakan pagi, siang dan sore hari. Pakan yang diberikan oleh peternak sapi turunan Simmental dan sapi lainnya yang ada di kecamatan Sangir ini, sama dengan sistim pemberian pakan di Indonesia yang di lakukan secara semi intensif. Menurut pendapat Anggoro (1979) kekurangan zat makanan pada ternak yang sedang bunting akan menganggu pertumbuhan embrio serta kematian foetus didalam uterus atau kelainan pada anak yang di lahirkan. Inseminator. Di lokasi penelitian saat ini yang bertugas jadi tenaga Inseminator di Kecamatan Sangir sebanyak Tiga orang : (1) Alidas telah mengikuti pelatihan IB di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Singosari Malang pada tahun 1996. (2) Ahmad Rusdi yang juga telah menjadi tenaga Inseminator sejak tahun 2010 di BIBD Tuah Sakato dan (3) Iswandi yang juga telah menjadi tenaga Inseminator sejak tahun2011 yang dilaksanakan di Cinagara Bogor. Pelayanan dapat di lakukan kapan saja dengan cara pelaporan oleh peternak pada Inseminator bahwa sapi dalam keadaan birahi. Toelihere (1981) menyatakan bahwa angka kebuntingan dapat tercapai apabila terdapat kerja sama yang baik antara penak
8
dengan petugas Inseminator yang terampil dan berpengalaman. Penyimpanan semen beku dan thawing. Penyimpanan semen beku di Kecamatan Sangir menggunakan Kontainer yang berisi Nitrogen cair yang bersuhu -1960C sedangkan Inseminator membawa semen beku ke lapangan dengan menggunakan Termos kecil yang berisi Nitrogen) bahwa untuk daerah Indonesia semen beku yang di cairkan harus segera di Inseminasikan dalam waktu kurang dari 5 menit. Teknik Pelaksanaan IB. metoda yang di gunakan Inseminator adalah Rectovaginal yaitu teknik Inseminasi yang menggunakan Insemination gun. Sesuai dengan pernyataan Salisbury dan Van Demark (1985) bahwa dengan metoda rektovaginal akan di peroleh angka kebuntingan yang lebih tinggi dan metoda ini lebih praktis karena alat-alat yang
digunakan tidak perlu di cuci dan disterilkan. Karena alat ini tidak menyebarkan bibit penyakit dan dapat lansung digunakan. Prosedur kerja metoda ini adalah semua alat Inseminasi gun di siapkan dan di rangkai yang didalamnya terdapat straw dengan jenis semen sesuai permintaan peternak, lalu tangan kiri di bungkus dengan dengan plastic glof diberi sabun dan dimasukkan ke dalam rectum untuk mencari servik, kemudian diikuti dengan memasukkan Inseminasi Gun yang telah disiapkan kedalam vulva terus kevagina dan mulut servik. Tangan kiri yang memegang servik di goyangkan agar ujung Iseminasi Gun mudah melewati lipatan yang terdapat dalam servik, setelah ujung Inseminasi Gun sampai pangkal korpus uteri atau posisi tempat servik semen disemprotkan.
Gambar 1. Organ Reproduksi Sapi Betina IB pada sapi turunan Simmental di Kecamatan Sangir seperti terlihat pada Tabel sebagai berikut.
B. Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan IB di Kecamatan Sangir 1. Conseption Rate (CR) Hasil penelitian didapatkan Conception Rate (CR) pelaksanaan
Tabel 1. Angka Conception Rate (CR) sapi keturunan Simmental yang di Inseminasi pagi dan sore hari di Kecamatan Sangir. Jumlah Sapi Betina Waktu IB
Tidak
CR (%)
IB
Bunting IB I
Pagi
30
18
12
60,0
Siang
33
7
26
2,12
Sore
32
20
12
62,5
Bunting
9
Hasil penelitian memperlihatkan angka CR sapi keturunan Simmental yang di Inseminasi pagi, siang dan sore hari adalah 60,0%, 2,12% dan 62,5% . Hasil penelitian ini tergolong rendah, dikarenakan oleh deteksi berahi yang kurang tepat oleh peternak dalam menentukan kapan seharunya sapi di IB dan jarak tempuh Inseminator ke lokasi peternak yang terlalu jauh. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1985) hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa angka CR yang baik pada ternak sapi adalah 65% – 75%. . Tinggi angka CR sapi yang di IB sore di bandingkan angka CR sapi yang di IB pagi dan siang mungkin disebabkan karena IB sore di lakukan tepat pada pertengahan birahi atau pada 6 jam kedua dari permulaan birahi, sedangkan IB pagi dan siang pada saat terjadinya IB telah lewat dari pertengahan birahi atau IB terjadi pada saat akhir berahi, sehingga CR sapi yang di IB pagi relative lebih rendah dari dari dari CR sapi yang di IB sore. Sesuai dengan pendapat Partodihardjo bahwa lama estrus berlansung kira –kira 18 jam, ini dibagi menjadi tiga bagian yang masing –masing 6 jam, maka saat terbaik Inseminasi adalah 6 jam kedua di mana angka konsepsi maksimal kira-kira 72 % dari Inseminasi pertama (Partodihardjo, 1992). Toelihere (1985) menyatakan waktu Inseminasi tidak kurang dari 4 jam sebelum ovulasi atau tidak boleh lebih dari 6 jam sesudah estrus. Data lain dari Rustanto (2000) yang menyatakan bahwa persentase kebuntingan tinggi pada pelaksanaan IB pada pertengahan berahi sesuai dengan uraian berikut: permulaan berahi sebesar 44%, pertengahan berahi 82%, akhir berahi 75%, 6 jam sesudah berahi 62,5%, 12 jam sesudah berahi 32,5%, 18 jam sesudah berahi 24%, 24 jam sesudah berahi 12%,36 jam sesudah berahi 8% dan 48 jam sesudah berahi 0%. Partodihardjo (1992) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi angka konsepsi antara lain penyakit kelamin, kesuburan betina, umur dari ternak yang terus meningkat, dan ketepatan dalam mengawinkan ternak. Ditambahkan bahwa kegagalan kebuntingan biasa juga terjadi
karena kegagalan mendektesi birahi, kegagalan fertilisasi, kematian embrio, dan kegagalan perkembangan atau pertumbuhan zigot.Terlambatnya mengawinkan sapi dara dari umur yang optimal dapat menimbulkan kegagalan reproduksi, seperti yang dikemungkakan Toelihere (1981) bahwa ternak sapi yang tidak kawin sampai umur 4-5 tahun akan menjadi sulit bunting dan akan mengalami kista ovarium dan abnormalitas endometrium. Bellows dkk (1978) menyatakan bahwa kegagalan kebuntingan pada sapi betina berahi adalah akibat dari berbagai factor antara lain kegagalan mendeteksi birahi, kegagalan fertilisasi ovum, kegagalan perkembangan zigot dan kematian embrio. Kemudian Hafez (1980) menyatakan bahwa selama kebuntingan banyak hal yang menyebabkan kematian faetus dalam kandungan. Kematian faetus pada 40 hari pertama kebuntingan berkisar antara 3-5% sedangkan pada masa kebuntingan angka berpengaruh terhadap keberhasilan kebuntingan sehingga jumlah anak yang dilahirkan dapat ditingkatkan. lebih lanjut dijelaskan bahwa angka konsepsi dari induk muda cukup tinggi tapi tingkat kelahirannya rendah karena factor yang mempengaruhi angka konsepsi adalah kesuburan betina, kesuburan pejantan dan keterampilan Inseminator serta factor ovulasi susulan. Angka CR di tentukan oleh tiga factor yaitu : 1. Kesuburan pejantan, 2. Kesuburan betina, 3. Teknik Inseminasi, deteksi yang tepat dan penentu waktu optimum untuk Inseminasi akan mempertinggi angka konsepsi dan mempersingkat interval antar kelahiran pada sekelompok ternak Toelihere (1981). Dikuatkan oleh Partodihardjo (1992) selain kesuburan pejantan dan betina, keterampilan Inseminator dan faktor kebetulan turut pula mempengaruhi. Keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) sangat ditentukan oleh kerjasama yang baik antara petani peternak dengan petugas Inseminator, kemampuan dalam hal deteksi estrus, sebab dengan deteksi estrus yang tepat dapat membantu operator IB dalam menentukan waktu yang tepat dalam melakukan Inseminasi buatan.
10
KESIMPULAN DAN SARAN a.
Kesimpulan 1. Waktu pelaksanaan IB (pagi, siang dan sore hari) berpengaruh terhadap angka kebuntingan pada sapi turunan Simmental di kecamatan Solok Selatan, (p<0,05). 2. Persentase angka kebuntingan terbaik pada penelitian ini adalah pada sore hari (62,5%).
b.
Saran 1 Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan jarak waktu yang lebih pendek. 2 Perlu dilakukan penyuluhan tentang deteksi birahi teramati. 3 Perlu digalakan penanaman rumput unggul. 4 Perlu perubahan pola pemeliharaan dari semi intensif ke intensif.
11
DAFTAR PUSTAKA Andika, E. W. 1981, Inseminsai Buatan pada Sapi dan Kerbau. Jurusan ilmu ternak Universitas Gajah Mada. Yogjakarta. Anggorodi,R.1979. Ilmu Makanan ternak umum. Fakultas peternakan IPB. Bogor Blakely J and D.H Bade,1992 ilmu Peternakan, edisi keempat, Gajah Mada Universiti Press.Yogyakarta Badan Pusat Statistik Solok Selatan, 2010. Data lua Kecamatan anger Kabupaten Solok Selatan. Badan Pusat Statistik Solok Selatan, 2012. Data populasi ternak kabupaten Solok Selatan. Bearden. H.J dan J.W. dan Fuquay. 1990. Reproduksi Hewan terapan. Fakultas Kedokteran Hewan Univeritas Gajah Mada Yogyakarta. Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) Tuah Sakato 2002. Petunjuk Teknis Produksi Semen Beku BIBD Tuah Sakato. Disnak Propinsi Sumatera Barat. Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Solok Selatan, Tahun 2012 data perkembangan kegiatan Ineminasi Buatan. Dinas Peternakan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat.2008.”data base Peternakan Provinsi Sumatera Barat.” Jalan Rasuna Said No.8 Padang. Direktorat Bina Produksi Peternaknan, 1983. Kegiatan Inseminasi Buatan di Indonesia, Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. Gaspersz V, 1991 Metode Perancangan Percobaan. V. Amriko, Bandung Hafez, E, S, E. 1987, Reproduction in Fram Animal. Ed. Lea Febringer. Philadelpihia, USA . Hafid, N. 2008. Teknis beternak sapi potong. http:)// ternakblog. Blgspot.com. Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan, Cetakan ke-3. PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Rustanto, 2000. Katalog Pejantan Sapi Potong. Balai Inseminasi Buatan, Lembang Bandung. Sartyo, U. 2001. Deteksi Kebuntingan dengan “Air Aki”. Majalah Infovet Edisi 086 September 2001. Jakarta. Saladin , R. 1983. Pedoman Berternak Sapi Daging. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas. Padang. Saladin, R. 1993. Teknik Produksi Sapi Potong. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Andalas, Padang. Saladin, R., N. Bachtiar, A. Syamsuddin dan A. Zainal. 1985. Pengembangan Peternakan di Daerah Propinsi Sumbar. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas, Padang. Salisbury,G. W. dan N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi (Terjemahan R. Januar). Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sarwono, B. dan H. B. Aristo. 2003. Pengemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya, Jakarta.
12
Sosroamidjojo, M. S. 1980. Ternak Potong dan Kerja. CV Yasa Guna, Jakarta. Sudjana, 1989. Metoda Statistika. Edisi ke 5, Transito. Bandun Sitorus, p dan M.E. Siregar. 1974. Masalah Ganguan Reproduksi dan Cara Penagulangannya pada Ternak Sapi di Indonesia yang Disebabkan Pengaruh Lingkungan. LPP.Th.8No.4 Soenarjo, Ch. 1983. Beberapa Faktor Penyebab Ganguan Rendah Efisiensi Reproduksi dan Usaha Meningkatkannya pada Sapi Betina di Daerah Inseminasi Buatan. Disertasi . fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor. Toelihere, M. R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak.Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Cetakan ke 4 Penerbit Angkasa Bandung. _______________1983. Tinjauan Tentang Penyakit Reproduksi pada Ruminansia Besar di Indonesia. Dalam Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor _______________1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Cetakan ke 2. Penerbit Angkasa Bandung.