PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI CACING ZOONOTIK PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTA BOGOR
MURNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor, Februari 2015 Murniati NIM B251120071
RINGKASAN MURNIATI. Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan YUSUF RIDWAN. Kucing rumah (Felis silvestris catus) merupakan hewan peliharaan yang berperan dalam penyebaran cacing parasit pada manusia. Infeksi cacing zoonotik dapat berpotensi menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya pemilik kucing, mengingat populasi kucing yang sangat besar dan kedekatan dengan kehidupan manusia. Penelitian ini bertujuan untuk menduga prevalensi dan menentukan faktor-faktor risiko terkait infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Metode penelitian ini adalah studi cross sectional dengan menggunakan dua jenis data, yaitu hasil pemeriksaan laboratorium sampel tinja dan hasil wawancara dari pemilik kucing menggunakan kuesioner terstruktur, meliputi karakteristik pemilik, karakteristik kucing peliharaan dan manajemen pemeliharaan kucing. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan uji khi-kuadrat dan pendugaan nilai risiko relatif (RR). Hasil penelitian dari 243 sampel feses kucing peliharaan di Kota Bogor menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Toxocara cati adalah 35% (SK95%: 3040%) dan hookworm adalah 18.5% (SK95%: 16.0-20.5%). Adapun derajat infeksi cacing zoonotik pada kucing termasuk rendah yaitu untuk T cati 253 telur tiap gram tinja (TTGT) (SK95%: 219.9-286.1 TTGT) dan hookworm 136 (TTGT) yaitu (SK95%: 126.9-141.1 TTGT). Faktor risiko yang signifikan terkait dengan infeksi T cati dan hookworm adalah jenis kelamin kucing, ketersediaan pasir, pengulangan pemberian obat anti cacing dan jenis pakan. Kucing jantan berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%: 1.1-2.1 kali) dibandingkan dengan kucing betina. Kelompok kucing yang tidak disediakan pasir berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%: 1.1-2.0 kali) dibandingkan yang disediakan pasir. Kucing yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi T cati 1.8 kali (SK95%:1.3-2.7 kali) dibandingkan kucing yang diberi obat anti cacing secara berulang. Pemberian campuran pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi T cati 1.4 kali (SK95%:1.0-1.9 kali) dibandingkan dengan pakan komersial. Faktor-faktor yang berisiko terhadap infeksi hookworm, pada kucing jantan berisiko terinfeksi hookworm 1.8 kali (SK95%: 1.1-3.2 kali) dibandingkan dengan kucing betina. Kucing yang disediakan pasir berisiko terinfeksi hookworm 1.7 kali (SK95%: 1.2-2.4 kali) dibandingkan yang tidak disediakan pasir. Kucing yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi hookworm 1.3 kali (SK95%: 1.0-1.6 kali) dibandingkan yang dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing. Disamping itu, pemberian campuran pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi hookworm 1.2 kali (SK95%: 1.0-1.5 kali) dibandingkan pakan komersial. Manajemen pemeliharaan kucing di Kota Bogor sudah baik, namun demikian tingkat kejadian infeksi T cati di Kota Bogor masih cukup tinggi. Hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya pada pemilik kucing, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap risiko infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.
Tindakan tersebut berupa pemberian obat anti cacing pada kucing secara rutin, menyediakan pasir tempat defekasi kucing, meningkatkan higiene dan sanitasi dan tidak memberikan pakan campuran ikan/daging dalam kondisi mentah. Kata kunci: hookworm, kucing peliharaan, prevalensi, faktor risiko, T cati
SUMMARY MURNIATI. Prevalence and Risk Factors of Zoonotic Helminth Infection in Pet Cats in Bogor City. Supervised by ETIH SUDARNIKA and YUSUF RIDWAN. Domestic cats (Felis silvetris catus) are pets that play part in spreading parasitic worms to human. Zoonotic helminth infection can be potential public health problems especially for cat owners, considering that large population of cat lives around the community. The aims of this study were to estimate the prevalence and to determine the risk factors related to zoonotic helminth infection in domestic cats in Bogor City. The method of this study was cross sectional study using two types of data, including laboratory examination result of faecal samples and questionnaire data from cat owners. Questionnaire data included characteristic of cat owners, characteristic of pet cats, and management of cat breeding. The data were tested using chi-square and relative risk (RR) values assessment. The result of the study on 243 feces of domestic cats in Bogor City showed that the prevalence of Toxocara cati were 35% (95% CI: 30-40%) and hookworms were 18.5% (95% CI 16.0-20.5%). The degree of zoonotic helminth infection in cats was considered to be low, showing 253 eggs per gram (EPG) for T cati (95% CI: 219.9-286.1 EPG) and 136 EPG for hookworms (95% CI: 126.9141.1 EPG). The significant risk factors related to T cati and hookworm infection were sex of cats, defecation sand availability, frequency of deworming, and type of cat food. T cati infection risk was 1.5 times greater in male cats compared to the female cats (95% CI: 1.1-2.1 times). Similarly, the groups without defecation sand had 1.5 times greater T cati infection risk (95% CI: 1.1-2.0 times) compared to those with defecation sand. The cats that were not treated frequently with anthelmintic had 1.8 times greater T cati infection risk (95% CI: 1.3-2.7 times) compared to the cats that consume anthelmintic frequently. Beside that, cats were fed with mixture of commercial cat food and fish/meat had 1.4 times greater T cati infection risk (95% CI: 1.0-1.9 times) compared to those which were fed with commercial cat food only. Risk factor of hookworm infection in male cats was 1.8 times greater than in female cats (95% CI: 1.1-3.2 times). The groups with defecation sand had 1.7 times greater hookworm infection (95% CI: 1.2-2.4 times) compared to those without defecation sand. The cats that were not treated frequently with anthelmintic had 1.3 times greater hookworm infection (95% CI: 1.0-1.6 times) compared to cats that were treated frequently with anthelmintic. Beside that, cats were fed with mixture of commercial cat food and fish/meat had 1.2 times greater hookworm infection (95% CI: 1.0-1.5 times) compared to those which were fed with commercial cat food only. Generally, pet care management in Bogor City was good, but the rate of T cati infection in Bogor City was relatively high. This can be potential public health problems, especially for cat owners. Therefore, it was needed to control zoonotic helminth infection in pet cats in Bogor City by regularly treating cats with anthelmintics, providing sand for defecation, increasing hygiene and sanitation, and by not feeding cats wih raw fish/meat.
Keywords: hookworm, pet cats, prevalence, risk factors, T cati
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindung Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI CACING ZOONOTIK PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTA BOGOR
MURNIATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi: Dr Drh Fadjar Satridja, PhD
Judul Tesis : Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor Nama : Murniati NIM : B251120071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Etih Sudarnika, MSi Ketua
Dr drh Yusuf Ridwan, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi
Tanggal Ujian: 6 Februari 2015
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Dr drh Yusuf Ridwan, MSi selaku anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya untuk seluruh staf pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang telah memberikan bimbingan dalam proses pembelajaran selama penulis kuliah. Selanjutnya terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Dinas Pertanian Kota Bogor yang telah memberikan izin selama di lapangan, serta terima kasih penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Helminthologi Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah memberikan bantuan dan izin dalam proses pemeriksaan sampel di laboratorium. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua, Ibunda Nursaniah dan Ayahanda M Iksan, serta kakak-kakak yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi, do’a dan kasih sayang kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas dukungan dan semangatnya. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihakpihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah, masyarakat dan kalangan akademisi. Bogor, Februari 2015
Murniati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Cacing Zoonotik Transmisi Infeksi Cacing Zoonotik Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik Lokasi Penelitian 3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Kerangka Konseptual Penelitian Desain Penelitian Besaran Sampel Koleksi Sampel Pemeriksaan Sampel Metode Mc Master Metode Pengapungan Sederhana Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karateristik Kucing Peliharaan Manajemen Pemeliharaan Kucing Infeksi Cacing Zoonotik Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi T cati Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi hookworm Infeksi Cacing Zoonotik Ditinjau dari Kesehatan Masyarakat 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
1 1 2 2 2 2 2 4 5 5 6 5 6 7 8 8 9 9 9 9 10 10 10 11 11 12 15 17 18 21 21 22
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Definisi operasional dari peubah yang diamati Besaran sampel di setiap kelurahan Kota Bogor Karateristik responden Karateristik kucing peliharaan di Kota Bogor Manajemen pemeliharaan kucing Prevalensi dan TTGT infeksi cacing zoonotik di Kota Bogor Hubungan faktor risiko terhadap infeksi T cati Hubungan faktor risiko terhadap infeksi hookworm
7 8 10 11 12 14 16 18
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka konsep penelitian 2 Toxocara cati 3 hookworm
6 13 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuisioner
26
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kucing dikenal sebagai hewan kesayangan yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Manusia telah memelihara kucing ribuan tahun yang lalu, melalui proses domestikasi sehingga kucing menjadi hewan peliharaan (Sardjono et al. 2008). Pada umumnya kucing peliharaan memiliki hubungan yang erat dengan pemiliknya, karena sifat dasar kucing yang mudah dipelihara dan mudah menyesuaikan diri. Kucing juga memiliki kecenderungan dan pengabdian yang cukup tinggi pada pemiliknya (Sardjono et al. 2008). Pemeliharaan kucing tidak hanya sekedar hobi namun telah menjadi gaya hidup saat ini, oleh karena itu kesehatan kucing sangat penting diperhatikan. Kesehatan kucing memiliki hubungan erat terhadap kesehatan manusia, khususnya pemilik kucing. Kucing rumah (Felis silvestris catus) merupakan hewan peliharaan yang tersebar di seluruh dunia dan dapat berperan dalam penyebaran berbagai jenis penyakit parasit termasuk cacing parasit (Sardjono et al. 2008). Kecacingan atau yang biasa disebut dengan istilah helminthiasis adalah salah satu penyakit yang perlu diperhatikan pada kucing. Kecacingan sering diabaikan, karena tidak menimbulkan gejala klinis yang serius kecuali pada infeksi berat, kronis dan dalam waktu yang lama (Soeharsono 2007). Prevalensi infeksi cacing pada kucing di Indonesia khususnya di wilayah Surabaya sebesar 60.9% (Kusnoto 2005) dan Denpasar sebesar 32.5% (Nealma et al. 2013). Hal tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian relatif tinggi untuk terjangkit kecacingan pada kucing. Penyakit yang menyerang hewan dan dapat menular pada manusia dikenal sebagai zoonosis. Zoonosis ini terjadi disebabkan karena adanya kontak manusia dengan hewan kesayangan atau kucing yang terinfeksi. Kucing dapat terinfeksi cacing melalui tertelannya telur infektif bersama makanan dan air minum, serta dapat juga terinfeksi melalui kontak langsung dengan tanah atau pasir yang mengandung telur atau larva yang infektif (Overgaauw 1997). Kucing tersebut dapat menunjukkan gejala seperti kekurusan, bulu kusam, pembesaran perut, muntah dan diare. Infeksi cacing zoonotik berpotensi menginfeksi manusia, infeksi tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia seperti demam intermiten, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri otot dan sendi, nyeri abdominal, dermatitis, batuk terus menerus dan gangguan saraf (Heukelbach dan Feldmeier 2008). Pengendalian penyakit cacing parasitik tidak mudah karena intensitas dan distribusi penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor geografi, iklim, dan ekonomi (Soeharsono 2007). Kota Bogor merupakan kota yang memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta jumlah penduduk yang padat. Kelembaban yang cukup tinggi merupakan kondisi optimum dalam perkembangan dan penyebaran berbagai jenis cacing parasit (Nealma et al. 2013). Kondisi ini dapat menjadi faktor penyebab terjadinya infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.
2
Perumusan Masalah Infeksi cacing zoonotik berpotensi menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya pemilik kucing, mengingat populasi kucing yang sangat besar dan kedekatan dengan kehidupan manusia. Penelitian mengenai infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan masih jarang dilakukan di Indonesia, termasuk tingkat infeksi cacing zoonotik pada kucing. Penelitian ini perlu dilakukan sebagai tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mengidentifikasi jenis cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. 2 Mengukur prevalensi infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. 3 Menentukan hubungan faktor risiko terhadap tingkat kejadian infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mmberikan informasi secara ilmiah mengenai faktor risiko dan tingkat kejadian infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Infeksi tersebut berpotensi menjadi sumber infeksi pada manusia terutama pemilik kucing, sehingga perlu dilakukan tindakan pengendalian penyakit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap peningkatan kesadaran dan kepedulian masayarakat akan bahaya infeksi cacing zoonotik pada kucing, serta memberikan masukan program-program yang bersifat edukatif kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan kucing.
2 TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Cacing Zoonotik Infeksi cacing pada umumnya jarang menimbulkan penyakit serius, tetapi dapat menyebabkan penyakit kronis yang dapat merugikan secara ekonomis. Diperkirakan lebih dari 60% anak-anak di Indonesia menderita penyakit kecacingan, akibat adanya kontak dengan larva atau cacing infektif (Maryanti 2006). Infeksi cacing zoonotik pada kucing yang berpotensi antara lain Toxocara cati, Echinococcus multilocularis, Ancylostoma braziliense, A. tubaeforme dan Uncinaria stenocephala (Bowman et al. 2002). T cati merupakan salah satu spesies Toxocara yang dapat menyerang kucing (Uga et al. 1990). Kucing dapat terinfeksi melalui tertelannya telur infektif bersama makanan dan air minum. Kucing yang terinfeksi T cati menunjukkan gejala
3
kekurusan, bulu kusam, pembesaran perut, muntah dan diare. Gejala batuk dapat terjadi akibat migrasi melalui sistem respirasi. Migrasi larva pada kucing muda dapat menyebabkan pneumonia. Cacing dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan menurunnya penyerapan makanan, hingga terjadi hipoalbuninemia yang dapat menyebabkan kekurusan dengan perut membesar dan pada beberapa kasus dapat terjadi kematian (Overgaauw 1997). Manusia dapat terinfeksi Toxocara melalui termakannya telur infektif yang terdapat dalam feses kucing dan tanah terkontaminasi. Toxocariasis pada manusia menyebabkan visceral larva migrans (VLM) dan ocular larva migrans (OLM) (Gillespie 2006). Larva tersebut pada manusia dapat mencapai otak sehingga dapat menimbulkan gangguan yang sangat berat pada anak-anak maupun pada orang dewasa. VLM dapat menyebabkan pembengkakan organ tubuh atau sistem syaraf pusat. Organ yang dapat terserang antara lain hati, paru-paru, ginjal, dan otak. OLM pada manusia terjadi saat larva memasuki mata, yang dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat pada retina. Luka pada mata akibat migrasi larva ke dalam posterior chamber bola mata, mengakibatkan granulomatous renitis, perlekatan retina, penurunan daya lihat, dan pada kasus yang berat dapat terjadi kebutaan permanen (Gillespie 2006). Infeksi cacing tambang (hookworm) merupakan salah satu penyakit yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Kucing dapat terinfeksi hookworm melalui kontak langsung dengan tanah atau pasir yang mengandung larva infektif (Brentlinger et al. 2003). Hookworm pada kucing yang berpotensi menimbulkan zoonosis adalah Ancylostoma braziliense, A. tubaeforme, A. ceylanicum dan Uncinaria stenocephala (Bowman et al. 2002). Cacing tambang Ancylostoma braziliense dan A. ceylanicum merupakan penyebab utama kejadian Cutaneus Larva Migran (CLM) atau yang sering disebut creeping eruption pada manusia. (Soeharsono 2007). Infeksi CLM pada manusia terjadi melalui kulit yang kontak dengan larva infektif, larva tersebut dapat menembus kulit. Heukelbach dan Feldmeier (2008) dalam penelitanya menyatakan bahwa cacing tambang ini juga dapat menyebabkan myositis pada manusia. Anderson (2003), melaporkan kejadian CLM pada manusia lebih banyak menyerang anak-anak karena kebiasaan bermain di tanah atau pasir. Cacing yang dapat menginfeksi hewan, dapat juga menyerang tubuh manusia seperti A. ceylanicum dengan cara menembus kulit manusia dan menyebabkan cutaneus larva migrans (CLM). Di dalam tubuh manusia, ada cacing yang tidak mengalami perkembangan atau pertumbuhan lebih lanjut hanya dalam bentuk larva, seperti seperti A. braziliense, A. caninum dan U. stenocephala. Larva A. caninum bermigrasi hingga ke usus manusia dan menyebabkan eosinophilic enteritis. Larva A. caninum juga merupakan penyebab diffuse unilateral subacute neuroentritis (Maryanti 2006). Transmisi utama cacing tambang pada manusia, umumnya penetrasi melalui kulit oleh larva stadium ketiga, oleh karena itu pencegahan penularan CLM, dapat dilakukan dengan cara memakai sepatu atau alat pelindung lainnya untuk mencegah kontak langsung antara kulit dengan tanah atau pasir (Mani dan Maguire 2009).
4
Transmisi Infeksi Cacing Zoonotik Kucing akan terinfeksi T cati jika menelan telur infektif yang mengandung larva stadium kedua bersama makanan atau air minum. Telur infektif akan menetas pada usus halus beberapa jam setelah ditelan. Larva bermigrasi melalui sistem sirkulasi dan kemudian menuju ke hati, seterusnya larva terbawa sampai paru-paru (sistem respirasi). Larva kedua akan manjadi larva ketiga di paru-paru, kemudian pada hari ke sepuluh larva ketiga menembus alveoli menuju bronkus, trakea dan faring, akhirnya terjadi iritasi yang menyebabkan kucing batuk, sehingga larva tertelan masuk kembali ke saluran pencernaan, selanjutnya menjadi larva keempat dalam waktu 2 minggu setelah infeksi dan dalam usus halus berkembang menjadi cacing dewasa kelamin dalam waktu 3 sampai 4 minggu setelah infeksi. Cacing betina dewasa bertelur, kemudian telur dikeluarkan bersama feses, kemudian berkembang di lingkungan dalam waktu 10 sampai 14 hari sampai menjadi infektif. Perkembangan telur tersebut tergantung pada temperatur dan kondisi cuaca. Apabila feses yang mengandung Toxocara spp. jatuh di tanah dengan temperatur 10-35ºC dan kelembaban 85% serta kondisi yang optimal maka dalam waktu paling sedikit 5 hari akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung embrio (Kusnoto 2005). Infeksi T cati pada kucing dapat terjadi melalui tertelannya larva infektif bersama makanan dan minuman. Larva akan masuk dan berada dalam tubuh kucing kemudian telur menetas dan berkembangbiak di dalam usus (Brentlinger et al. 2003). Telur yang keluar bersama feses, jika berada dalam kondisi yang menguntungkan maka telur akan menetas dalam waktu 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform akan tumbuh dalam feses atau tanah setelah 5 sampai 10 hari dan akan mengalami dua kali pergantian kulit sehingga larva akan berkembang menjadi larva infektif. Larva tersebut dapat bertahan antara 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan. Jika kontak dengan hewan ataupun manusia maka larva akan menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan paru-paru. Larva ini akan menembus ke dalam alveoli paru, naik ke cabang bronkial hingga ke faring. Jika larva ini tertelan, larva mencapai usus kecil, di mana larva ini tinggal dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa hidup di lumen usus kecil, di mana mereka menempel pada dinding usus. Infeksi T cati dapat terjadi melalui transmammary yakni larva cacing pada induk yang terinfeksi akan bermigrasi ke glandula mammae dan kucing akan terinfeksi melalui susu. Selain itu infeksi T cati pada kucing juga dapat melalui hospes paratenik. Hospes definitif dari T cati adalah kucing jantan dan anak kucing (Hubner et al.2001). Infeksi hookworm pada kucing dapat terjadi melalui tertelannya larva stadium ketiga yang infektif bersama makanan dan air minum, serta dapat juga terinfeksi melalui kontak langsung dengan tanah/pasir yang mengandung larva infektif (Overgaauw 1997). Larva stadium kedua tidak akan pernah berkembang menjadi larva stadium ketiga apabila menginfeksi selain hospes definitif dan hospes transpor (cacing tanah, kecoa, ayam, anak kambing dan mencit). Kondisi yang demikian disebut larva dorman, yaitu larva yang tidak mengalami perkembangan dan hanya menetap di dalam jaringan.
5
Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik Faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi infeksi cacing parasit antara lain lingkungan dan faktor internal hewan. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap infeksi cacing parasit kucing. Lingkungan yang tidak bersih atau kotor memungkinkan tercemar telur infektif Toxocara, sehingga kucing liar yang hidup dan berkembangbiak di tempat yang kotor akan terinfeksi cacing lebih tinggi daripada kucing yang dipelihara (Nealma 2013). Faktor penting yang mempengaruhi infeksi cacing tambang (hookworm) pada kucing adalah iklim, umur kucing dan identitas kucing sebagai hewan peliharaan atau hewan liar. Infeksi cacing hookworm pada kucing yang tertinggi ditemukan pada iklim tropis, dengan pengecualian U. stenocephala. Suhu yang hangat dan kelembaban yang cukup untuk perkembangan telur dan larva (Palmer et al. 2007). Faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan infeksi cacing pada manusia yang penyebarannya melalui tanah antara lain lingkungan, jenis tanah, iklim, perilaku hewan, sosial ekonomi dan status gizi (Hotez et al. 2004). Perilaku manusia mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan lewat tanah. Anak-anak paling sering terinfeksi cacing karena memiliki kebiasaan bermain ditanah dan memasukan jari-jari tangan ke dalam mulut atau makan tanpa cuci tangan (Ginting 2003). Prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan dan diperkotaan yang masyarakatnya masih hidup dalam kekurangan. Penyebaran infeksi cacing zoontik dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ideal dalam perkembangbiakan cacing (Hotez et al. 2004). Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi dan suhu berkisar antara 25 sampai 30 oC sangat baik untuk perkembangan telur cacing sampai menjadi bentuk infektif, sedangkan untuk pertumbuhan larva yaitu memerlukan suhu optimum 28 sampai 32 oC dan tanah gembur seperti pasir atau humus yaitu 23 sampai 25 ºC (Gandahusada et al. 2003).
Lokasi Penelitian Kota Bogor kurang lebih berjarak 56 km dari Ibu Kota Jakarta. Kedudukan wilayah Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Wilayah administrasi Kota Bogor terdiri atas 6 kecamatan dan 68 kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan 11 850 ha (BPS 2013). Wilayah Kota Bogor memilik curah hujan 3.500 hingga 4 500 mm/tahun dengan kelembaban 80% dan suhu optimum 21 sampai 31 oC (BPS 2013). Jumlah Penduduk di Kota Bogor pada tahun 2013 adalah sebesar 987 448 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 8 838 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk Kota Bogor rata-rata per tahun kurang lebih 2.8%, maka diproyeksikan jumlah penduduk Kota Bogor akan berjumlah di atas 1 juta jiwa pada tahun 2014. Tingginya pertumbuhan tersebut disebabkan posisi Kota Bogor berada di wilayah Jabodetabek (BPS 2013). Kota Bogor memiliki curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta jumlah penduduk yang padat. Kondisi ini merupakan kondisi ideal untuk perkembangan dan penyebaran berbagai jenis penyakit cacing di lingkungan (Nealma et al. 2013). Kota Bogor diduga memiliki risiko terhadap adanya infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan.
6
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor selama empat bulan, dari Maret sampai Juni 2014. Pemeriksaan sampel feses kucing dilakukan di Laboratorium Helminthologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Kerangka Konseptual Penelitian Kerangka konseptual penelitian ini memaparkan kajian tentang hubungan antara faktor-faktor risiko penyebab infeksi cacing zoonotik dengan kasus infeksi cacing zoonotik pada kucing. Hubungan tersebut ditentukan berdasarkan beberapa variabel-variabel (Gambar 1) yang diduga memilik hubungan terhadap infeksi cacing zoonotik (Woodword 1999). Variabel tersebut kemudian dianalisis statistik untuk mengetahui hubungan keterkaitan antar variabel dan untuk menentukan variabel mana atau faktor mana yang mempengaruhi atau yang memiliki hubungan signifikan terhadap infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Karakteristik 1. Responden/Pemilik Kucing Pendidikan Penghasilan 2. Karakteristik Kucing Peliharaan Jenis Kelamin Kucing Umur Kucing Infeksi Cacing Zoonotik Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik: Manajemen Pemeliharaan: Kucing dikandangkan Kandang kucing dibersihkan Disediakan pasir Kucing dimandikan Pengulangan pemberian obat cacing Pemberian pakan campuran Gambar 1 Kerangka konsep penelitian
7
Adapun definisi operasional dari peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1 Definisi operasional dari peubah yang diamati No 1
Peubah Infeksi cacing zoonotik
Definisi Operasional Persentase kejadian kecacingan pada kucing yang menular ke manusia
Alat Ukur Uji laboratorium
Cara Ukur Pemeriksaan feses
2
Pendidikan
Jenjang pendidikan terakhir pemilik kucing
Kuisioner
Wawancara
3
Penghasilan
Kuisioner
Wawancara
4
Jenis kelamin kucing
Besaran penghasilan perbulan pemilik kucing Jenis kelamin betina atau jantan
Kuisioner
Wawancara
5
Umur kucing
Kuisioner
Wawancara
6
Kucing dikandangkan
Kuisioner
Wawancara
7
Membersihkan kandang
Kuisioner
Wawancara
8
Disediakan pasir
Kuisioner
Wawancara
9
Kucing dimandikan
Kuisioner
Wawancara
10
Pengulangan pemberian obat cacing Pakan campuran
Kategori umur kucing di bawah enam bulan atau diatas eman bulan Semua kucing dipeliharan yang dikandangkan Segala tindakan dalam menjaga kebersihan kandang Kesediaan pasir tempat defekasi kucing Semua kucing yang dipeliharan dimandikan Pemberian obat cacing lebih dari satu kali Pemberian selain pakan jadi
Kuisioner
Wawancara
Kuisioner
Wawancara
11
Skala Nominal 0=positif cacing 1=negatif cacing Ordinal 1=dibawah SMA 2=diatas SMA Ordinal 1= <3Juta 2= >3Juta Ordinal 1=Jantan 2=Betina Ordinal 1= <6 bln 2= >6 bln Ordinal 1=Tidak 2=Ya Ordinal 1=Tidak 2=Ya Ordinal 1=Tidak 2=Ya Ordinal 1=Tidak 2=Ya Ordinal 1=Tidak 2=Ya Ordinal 1=Pakan komersial dengan Ikan/daging 2=Pakan komersial
Desain Penelitian Penelitian ini merupakan kajian observasional cross sectional study yang menggunakan dua jenis data, yaitu data hasil pemeriksaan sampel feses di laboratorium dan data hasil wawancara terhadap pemilik kucing. Wawancara dilakukan secara langsung dengan menggunakan kuisioner terstruktur dan responden yang diwawancarai adalah anggota keluarga yang merawat kucing
8
sehari-hari. Sampel feses diambil dari kucing yang dikandangkan. Pengambilan sampel secara acak sederhana dari 68 kelurahan diambil sembilan kelurahan, tiap kelurahan diambil 27 sampel, dengan besaran sampel sebesar 243 sampel. Sampel feses kemudian dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode Mc Master, pengapungan sederhana dan modifikasi filtrasi dan sedimentasi.
Besaran Sampel Metode pengambilan sampel kucing dilakukan dengan menggunakan metode penarikan contoh acak bertingkat (multistage random sampling), dengan memilih kelurahan yang ada di Kota Bogor. Pemilihan kelurahan dipilih secara acak sederhana (simple random sampling), dari 68 kelurahan diambil sembilan kelurahan. Setiap kelurahan diambil masing-masing sebanyak 27 sampel. Besaran sampel menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan prevalensi dugaan 36% dan tingkat kesalahan sebesar 6%, sehingga diperoleh besaran sampel sebesar 243 kucing. Besaran sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus: 4pq n= L2 Keterangan: n = Besaran sampel p = Prevalensi dugaan q = (1 – p) L2 = Tingkat kesalahan maksimum yang dapat di terima (Dohoo et al. 2003) Distribusi dan besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut: Tabel 2 Besaran sampel di setiap Kelurahan Kota Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Total
Kelurahan Cilendek Barat Bubulak Batutulis Lawang Gintung Pamoyanan Sempur Tajur Cimahpar Ciparigi
Besaran Sampel 27 27 27 27 27 27 27 27 27 243
Koleksi Sampel Sampel feses berasal dari kucing yang dikandangkan dan yang tidak dikandangkan. Kucing ditangkap kemudian dikandangkan dan dibiarkan sampai melakukan defekasi. Sampel feses dikoleksi dan disimpan dalam kantong plastik,
9
kemudian diberi keterangan menggunakan kertas label. Sampel feses dibawa ke laboratorium dengan menggunakan cool box yang telah diberi ice pack. Sesampainya di laboratorium sampel disimpan di dalam pendingin pada suhu 4 0C hingga sampel tersebut dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan Sampel Metode Mc Master Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode Mc Master untuk menghitung jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram menggunakan alat timbang digital dan dimasukkan ke dalam gelas plastik, kemudian ditambahkan larutan gula jenuh sebanyak 58 mL, kemudian diaduk dan disaring dengan saringan teh. Campuran feses yang telah disaring dimasukkan ke dalam kamar hitung Mc Master dan dibiarkan selama 5 menit sampai telur mengapung, kemudian diamati dan dihitung menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Cardillo et al. 2014). Jumlah TTGT dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan : n : Jumlah telur cacing dalam kamar hitung Vh : Volume kamar hitung (mL) Vt : Volume total sampel (mL) : Berat tinja (gram) Bt Metode Pengapungan Sederhana Metode pengapungan sederhana dilakukan terhadap sampel yang dinyatakan negatif pada metode McMaster, untuk memastikan keberadaan telur cacing. Sampel feses yang telah ditambahkan larutan gula jenuh pada metode Mc Master dituang ke dalam tabung reaksi sampai penuh dan terbentuk miniskus. Gelas penutup diletakan pada ujung tabung reaksi dan didiamkan selama 10 menit, kemudian gelas penutup diambil dan diletakkan pada gelas objek. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Cardillo et al. 2014). Metode Modifikasi Filtrasi dan Sedimentasi Metode modifikasi filtrasi dan sedimentasi dilakukan bertujuan untuk mendeteksi adanya telur cacing trematoda dalam tinja. Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dan dimasukkan ke dalam gelas plastik, kemudian ditambahkan aquades sebanyak 58 mL dan dihomogenkan dengan cara diaduk, setelah itu disaring dengan saringan teh, penyaringan dilanjutkan lagi dengan saringan bertingkat yang memiliki lubang berukuran 400 µm, 100 µm, dan 40 µm. Filtrat dari saringan ketiga (40 µm) dituang ke dalam cawan petri. Filtrat yang diperoleh dimasukkan ke dalam gelas Baemann, lalu ditambahkan aquades sampai penuh, kemudian didiamkan selama 15 menit. Cairan bagian atas dibuang sehingga
10
menyisakan cairan yang berisi endapan. Proses sedimentasi ini diulangi sebanyak 3 kali sampai cairan jernih. Sisa cairan dalam gelas Baermann ditampung ke dalam cawan petri, kemudian dilakukan pengamatan dan penghitungan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan uji khi-kuadrat dan pendugaan nilai risiko relatif untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan kejadian infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Data dianalisis dengan menggunakan softwas SPSS versi19 (Dahlan 2001).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karateristik Responden Karakteristik responden yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan (Tabel 3). Mayoritas responden memiliki usia produktif yaitu antara usia 17 sampai 25 tahun dengan persentase sebesar 39.9%. Berdasarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah perempuan (60.9%), dengan tingkat pendidikan sarjana (51.1%). Sementara jika dilihat pada jenis pekerjaan menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah mahasiswa/pelajar sebesar 28.8%, dengan rata-rata sumber pendapatan atau penghasilan 1 sampai 2 juta perbulan (36.2%). Tabel 3 Karateristik responden pemiliki kucing peliharaan di Kota Bogor Variabel yang Diamati Umur < 17 tahun 17 – 25 tahun 25 – 40 tahun > 40 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SMP SMA Sarjana Penghasilan < 1 juta 1-2 juta 2-5 Juta > 5 juta Pekerjaan Ibu rumah tangga Pegawai negeri Pegawai swasta Wiraswasta Mahasiswa/Pelajar
Frekuensi
Persentase (%)
15 97 45 86
6.2 39.9 18.5 35.4
74 169
30.5 69.5
5 12 70 91
2.1 4.9 28.8 51.1
48 88 72 27
19.8 36.2 29.6 11.1
46 23 44 59 70
18.9 9.5 18.1 24.3 28.8
11
Karakeristik Kucing Peliharaan Karakteristik kucing peliharaan yang diamati meliputi ras/breed, jenis kelamin dan umur kucing (Tabel 4). Kucing peliharaan di Kota Bogor mayoritas kucing jenis persia (33.9%) dan didominasi kucing betina (52.7%), dengan rata-rata usia antara 6 sampai 12 bulan (35.0%). Tabel 4 Karateristik kucing peliharaan di Kota Bogor Variabel yang Diamati Ras/Breed Domestik Himalaya Persia Anggora Maincoon Mix Jenis Kelamin Jantan Betina Umur Kucing < 6 bulan 6 – 12 bulan 12 – 18 bulan 18 – 42 bulan >42 bulan
Frekuensi
Persentase (%)
51 6 82 45 1 57
21.1 2.5 33.9 18.6 0.4 23.5
115 128
47.3 52.7
61 85 28 57 11
25.1 35.0 11.5 23.5 4.5
Manajemen Pemeliharaan Kucing Manajemen pemeliharaan kucing yang ada di Kota Bogor disajikan pada Tabel 5. Adapun manajemen tersebut meliputi kucing dikandangkan, kandang kucing dibersihkan, disediakan pasir/abu, kucing dimandikan, pemberian obat cacing, pengulangan pemberian obat cacing, dan pakan campuran. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pemilik kucing di Kota Bogor, dalam memelihara kucing menyediakan kandang sebagai tempat tinggal kucing yaitu sebesar 56%, dan menyediakan pasir/abu sebagai tempat defekasi kucing sebesar 75%. Hampir seluruh pemilik kucing (97%) membersihkan kandang kucing, hal tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pemilik kucing dalam rangka untuk menghindari adanya kontaminasi feses terhadap lingkungan rumah pemilik kucing. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah aspek kebersihan dan kesehatan kucing. Memandikan kucing merupakan bagian dari aspek kebersihan dan kesehatan kucing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar kucing dimandikan (94%). Disamping itu ada aspek lain yang perlu diperhatikan pada manajemen pemeliharaan kucing yaitu mengenai pemberian obat anti cacing. Obat anti cacing biasanya diberikan pada kucing umur 2 sampai 12 minggu. Persentase pemberian obat anti cacing di Kota Bogor sebesar 63%, dan sebanyak 70% pemilik kucing yang memberikan pengulangan obat anti cacing. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua pemilik kucing memberikan obat anti cacing pada kucing peliharaannya, dan sebagian kecil pemilik kucing tidak melakukan pengulangan
12
obat anti cacing. Pengulangan tersebut bertujuan untuk menghindari adanya kemungkinan larva yang masih tertinggal di dalam tubuh kucing. Tabel 5 Manajemen pemeliharaan kucing Variabel yang Diamati Kucing Dikandangkan Ya Tidak Kandang Kucing Dibersihkan Ya Tidak Disediakan Pasir/Abu Ya Tidak Kucing Dimandikan/Grooming Ya Tidak Pengulangan Pemberian Obat Anti Cacing Ya Tidak Pakan Campuran Pakan komersial Pakan komersial dengan ikan/daging Mencuci Tangan Setelah Bermain dengan Kucing Ya Tidak Frekuensi Respondenn Memotong Kuku 1 kali seminggu 2 kali seminggu Lantai Rumah Dipel Dipel menggunakan sabun/desinfektan Dipel tidak menggunakan sabun/desinfektan
Frekuensi
Persentase (%)
137 106
56 44
133 4
97 3
179 60
75 25
228 15
94 6
101 44
70 30
74 44
63 37
223 10
96 4
155 88
64 36
172 62
74 26
Sebagian besar kucing peliharaan di Kota Bogor diberikan pakan komersial. Hal tersebut dilihat dari persentase yang diperoleh sebesar 63%. Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan kemudahan dalam penyajian pakan. Adapun aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kesadaran pemilik kucing untuk menjaga kesehatan dirinya, variabel yang menjadi alat ukur dalam menilai yaitu mencuci tangan setelah bermain dengan kucing, frekuensi pemilik kucing memotong kuku dan lantai rumah dipel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pemilik kucing (96%) di Kota Bogor mencuci tangan setelah bermain dengan kucing. Sementara hasil penelitian menunjukkan 64% pada pemilik kucing memotong kuku dan kebiasaan pemilik kucing dalam aktifitas membersihkan lantai rumah dengan menggunakan sabun/desinfektan sudah dilakukan dengan baik sebesar 74%. Persentase tersebut memberikan makna bahwa sebagian besar higiene dan sanitasi pemilik di Kota Bogor sudah baik.
Infeksi Cacing pada Kucing Hasil pemeriksaan dari 243 sampel feses kucing peliharaan di Kota Bogor menunjukkan, 85 sampel positif Toxocara cati (Gambar 2) dan 45 sampel positif hookworm (Gambar 3). Hasil penelitian ditemukan jenis cacing nematoda dan tidak
13
ditemukan cacing trematoda maupun cestoda, hal tersebut terlihat dari hasil pemeriksaan sampel dengan menggunakan modifikasi filtrasi dan sedimentasi menunjukkan hasil negatif. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh mayoritas pemilik kucing di Kota Bogor tidak memberikan pakan campuran daging/ikan dalam bentuk mentah yaitu sebesar 62.7% (dari total persentase pakan campuran 39.5%). Telur T cati yang ditemukan berbentuk sub grobuler, berwarna kecoklatan dan dikelilingi oleh lapisan albumin yang tebal. Ukuran telur cacing T cati 65 sampai 75 µ, dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 3 sampai 7 cm dan cacing betina 4 sampai 12 cm. Telur infektif dikeluarkan bersama feses, feses yang mengandung Toxocara spp, jatuh di tanah dengan temperatur 10 sampai 35ºC dan kelembaban 85% serta kondisi yang optimal, maka dalam waktu 5 hari telur akan berkembang menjadi telur infektif yang mengandung embrio (Bowman et al. 2002).
Gambar 2 Toxocara cati Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing termasuk tipe strongyloid yaitu berdinding tipis, oval dan bila dikeluarkan dari tubuh kucing memiliki 2 sampai 3 gelembung dalam stadium blastomer. Cacing tambang pada kucing adalah cacing Ancylostoma tubaeforme, A. braziliense dan Unicinaria stenocephala. Ukuran telur cacing A. tubaeforme 55 sampai 75 µ dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 9.5 sampai 1.1 mm dan cacing betina 12 sampai 15 mm. Ukuran telur cacing A. braziliense 75 sampai 95 µ dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 6 sampai 8 mm dan cacing betina 7 sampai 10 mm, sedangkan ukuran telur cacing Unicinaria stenocephala 63 sampai 76 µ dengan ukuran cacing dewasa pada cacing jantan 5 sampai 8 mm dan cacing betina 7 sampai 12 mm. Daur hidup cacing ini bersifat langsung tanpa hospes antara. Satu sampai dua hari setelah telur dikeluarkan di dalam tinja, di tempat yang lembab atau basah , telur akan menetas dan dikeluarkan larva stadium pertama (larva rhabditiform). Setelah lebih kurang 1 minggu akan terbentuk larva infektif (larva stadium filariform) yang siap menginfeksi hewan yang rentan (Gandahusada 2003).
14
Gambar 3 Hookworm Kucing dapat terinfeksi oleh cacing rondworm (T cati) dan hookworm. Kedua jenis ini berpotensi sebagai cacing zoonotik pada kucing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kejadian infeksi untuk T cati sebesar 35% dengan selang kepercayaan (SK95%: 30-40%), sedangkan prevalensi pada hookworm diperoleh sebesar 18.5% (SK95%: 16-20.5%). Berdasarkan hasil perhitungan ratarata telur cacing tiap gram tinja (TTGT) pada penelitian ini yang disajikan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa derajat infeksi untuk T cati sebesar 253 TTGT (SK95%: 219.9-286.1 TTGT) dan hookworm sebesar 136 TTGT (SK95%: 126.9141.1 TTGT). Hal tersebut menunjukkan bahwa derajat infeksi T cati dan hookworm pada penelitiaan ini masih rendah. Satu cacing betina dewasa pada T cati dapat menghasilkan 700 TTGT dan hookworm 250 TTGT. Derajat infeksi berat pada T cati 15 000 TTGT sedangkan pada hookworm 20 000 TTGT (Subronto 2006). Tabel 6 Prevalensi dan TTGT infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor Telur cacing Toxocara cati hookworm
Jumlah sampel 243 243
Jumlah terinfeksi 85 45
Prevalensi (SK 95%)
TTGT (SK 95%)
35 (30-40) 18.5 (16.0-20.5)
253 (219.9-286.1) 136 (126.9-141.1)
Prevalensi T cati pada kucing peliharaan di Kota Bogor cukup tinggi yaitu sebesar 35%. Adapun survei yang dilakukan di wilayah kampus IPB Darmaga Bogor menunjukkan prevalensi 53% (Jabbir 2013). Hasil survei tersebut berasal dari kucing liar. Sedangkan hasil survei yang dilakukan di wilayah Denpasar dapat dibandingkan karena menggunkan sampel kucing peliharaan. Prevalensi T cati di wilayah Denpasar menujukan hasil lebih rendah (32.5%) dibandingkan pada kucing peliharaan di Kota Bogor (Nealma et al. 2013). Hal tersebut diduga adanya perbedaan manajemen pemeliharaan dan kondisi lingkungan daerah penelitian. Kota Bogor memiliki curah hujan 3 500 sampai 4 500 mm/tahun dengan kelembaban 80% dan suhu optimum 21 sampai 31 oC (BPS 2013). Kondisi tersebut merupakan kondisi ideal untuk perkembangan T cati di lingkungan. Gandahusada et al. (2003), melaporkan bahwa tanah dengan kelembaban 80% dan suhu optimal ± 30 oC merupakan kondisi optimum dalam perkembangan telur cacing hingga menjadi infektif.
15
T cati memiliki lapisan seperti cangkang yang sangat tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Bowman et al. 2002). Kondisi ini menjadi penyebab tingginya prevalensi T cati di berbagai wilayah, di Eropa prevalensi T cati antara 8 sampai 76%, di Amerika 10 sampai 85%, dan di Asia prevalensi T cati 20 sampai 65% (Sommerflelt et al. 2006; Barbabose et al. 2002; Luty 2001; Sadjjadi et al. 2001). Prevalensi hookworm pada kucing peliharaan di Kota Bogor diperoleh hasil sebesar 18.5%. Sementara dari hasil survei di wilayah kampus IPB Darmaga Bogor menunjukkan kejadian hookworm sangat tinggi (72%) pada kucing liar (Jabbir 2013). Hasil tersebut memberikan bahwa kucing peliharaan di Kota Bogor cukup tinggi terinfeksi hookworm. Hal tersebut diduga terjadi didasarkan pada kemampuan hookworm untuk berkembangbiak pada kondisi lingkungan yang ideal. Suhu optimum bagi perkembangan larva hookworm adalah 200C (Bowman et al. 2002). Hookworm juga dapat menginfeksi kucing di berbagai usia (Caparia et al. 2012). Sedangkan rute utama penularan hookworm adalah melalui penetrasi ke kulit secara langsung oleh larva stadium ketiga (Bowman et al. 2002). Berdasarkan survei menunjukkan tingkat kejadian hookworm di wilayah Jakarta dilaporkan prevalensi sebesar 72% (Manalu 2006) dan di wilayah Kulon Progo, Yogyakarta sebesar 42.9% (Haryanto 2012).
Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi T cati Faktor risiko yang diduga memiliki hubungan terhadap infeksi T cati pada kucing peliharaan di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kucing jantan memiliki risiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%: 1.1-2.1 kali) dibandingkan pada kucing betina. Hal tersebut memberikan makna bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin jantan terhadap tingkat kejadian infeksi T cati pada kucing. Kucing jantan diduga memiliki peluang untuk keluar rumah lebih tinggi dibandingkan kucing betina, disebabkan karena kucing jantan berusaha mencari kucing betina untuk kawin, sehingga kucing jantan dapat terpapar dengan kucing liar yang terinfeksi T cati. Berbeda hal dengan umur kucing, kucing dapat terinfeksi T cati pada semua tingkatan umur (Nealma et al. 2013). Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat infeksi T cati pada kucing adalah manajemen pemeliharaan kucing. Kucing yang tidak disediakan pasir memiliki risiko terinfeksi T cati sebesar 1.5 kali (SK95%: 1.0-2.0 kali) dibandingkan dengan kucing yang disediakan pasir. Hal tersebut diduga karena kucing yang tidak disediakan pasir, akan melakukan defekasi disembarang tempat, sehingga akan sulit menghindari penyebaran infeksi T cati di lingkungan rumah dan mempermudah terjadi kontaminasi pada kucing. Kucing memiliki kebiasaan defekasi satu kali sehari sehingga perlu disediakan pasir sebagai tempat defekasi kucing. Feses merupakan sumber penularan toxocariasis pada kucing maupun pada manusia, khususnya pemilik kucing, sehingga sangat penting menjaga kebersihan pasir sebagai tempat defekasi (Manurung et al. 2012). Menjaga kesehatan kucing merupakan hal yang terpenting, agar dapat terhindar dari infeksi T cati, melalui pemberian anthelmintik (Palmer et al. 2007). Pemberian anthelmintik atau obat anti cacing yang tepat memiliki pengaruh
16
terhadap tingkat kejadian toxocariasis pada kucing (Palmer et al. 2007). Kucing yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing memiliki risiko terinfeksi T cati 1.8 kali (SK95%: 1.3-2.7 kali) dibandingkan yang dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing. Hal tersebut diduga obat anti cacing yang diberikan hanya membunuh cacing dewasa saja, akan tetapi tidak memberikan efek terhadap larva yang bermigrasi, oleh karena itu, dianjurkan untuk dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing. Pengulangan pemberian obat anti cacing 2 sampai 4 minggu setelah pengobatan terakhir. Pada saat pengobatan terakhir, kebanyakan larva masih bermigrasi dan pada saat treatment dilakukan kedua kalinya diharapkan larva telah sampai di usus dan dapat terbunuh oleh obat anti cacing (Palmer et al. 2007). Benzimidazoles merupakan obat anti cacing yang efektif untuk membunuh larva T cati pada kucing. Obat anti cacing lainnya adalah thiabendazole, ivermectin, albendazole, mebendazole, thiabendazole, albendazole, dan mebendazole. Lalu ditambahkan obat suportif seperti anti alergi dan antibiotika. Pemberian obat anti cacing berdasarkan umur, yaitu dimulai dari umur 2 sampai 12 minggu dan diberikan setiap dua minggu sekali. Sementara pada umur 12 minggu sampai 6 bulan diberikan setiap bulan sekali dan pada saat umur 6 bulan hingga seterusnya diberikan setiap tiga bulan sekali (Palmer et al. 2007). Tabel 7 Hubungan faktor risiko terhadap infeksi T cati Variabel yang Diamati Pendidikan < SMA > SMA Penghasilan < 3 juta perbulan > 3 juta perbulan Jenis Kelamin Kucing Jantan Betina Umur Kucing < 6 bulan > 6 bulan Membersihkan Kandang Tidak dibersihkan Dibersihkan Disediakan Pasir Tidak Ya Pengulangan Obat Anti Cacing Tidak Ya Pakan Campuran Pakan komersial dengan ikan/daging pakan komersial
Prevalensi (%)
RR
Selang Kepercayaan 95%
44 35
1.2
0.9 – 1.8 Referensi
39 30
1.3
0.9 – 1.8 Referensi
43 28
1.5*
1.1 – 2.1 Referensi
35 34
1.1
0.7 – 1.6 Referensi
0 33
-
-
53 29
1.5*
1.1 – 2.0 Referensi
59 25
1.8*
1.3 – 2.7 Referensi
50 30
1.4*
1.0 – 1.9 Referensi
Keterangan: *menunjukkan adanya asosiasi pada tingkat kepercayaan 95%
Selain pemberian pakan komersial, sebagian kucing peliharaan di Kota Bogor juga diberi pakan campuran, yaitu pakan komersial dicampur dengan ikan/daging. Pada kelompok kucing yang diberi pakan campuran memiliki risiko 1.4 kali (SK95%: 1.0-1.9 kali) untuk terinfeksi T cati dibandingkan dengan pakan
17
komersial. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian campuran pakan komersial dengan ikan/daging memiliki hubungan terhadap infeksi T cati pada kucing. Pakan campuran yaitu ikan/daging yang diberikan diduga masih dalam bentuk mentah. Macpherson (2013) melaporkan, bahwa pemberian ikan/daging yang tidak diolah atau dalam bentuk mentah pada kucing dapat mengakibatkan kucing terinfeksi cacing, sebab ikan/daging yang diberikan telah terkontaminasi oleh larva infektif.
Hubungan Faktor Risiko terhadap Infeksi hookworm Faktor risiko yang diduga memiliki hubungan terhadap infeksi hookworm pada kucing peliharaan di Kota Bogor disajikan pada Tabel 8. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kucing jantan memiliki risiko terinfeksi hookworm 1.8 kali (SK95%: 1.1-3.2 kali) dibandingkan pada kucing betina, hal tersebut memberikan makna bahwa adanya hubungan antara jenis kelamin jantan terhadap tingkat kejadian infeksi hookworm pada kucing. Kucing jantan diduga memiliki peluang untuk keluar rumah lebih tinggi dibandingkan kucing betina, sehingga memiliki peluang untuk terpapar dengan tanah yang mengandung larva infektif lebih tinggi. Berbeda dengan umur kucing, bahwa umur kucing tidak berpengaruh terhadap tingkat infeksi hookworm, hal tersebut disebabkan hookworm dapat menginfeksi kucing pada semua tingkatan umur (Hotez et al. 2004). Faktor risiko infeksi hookworm pada kucing yang diduga adalah ketersedian pasir sebagai tempat defekasi kucing. Pasir yang disediakan memiliki risiko terinfeksi hookworm pada kucing sebesar 1.7 kali (SK95%: 1.2-2.4 kali) dibandingkan pada kucing yang tidak disediakan pasir. Hal tersebut diduga kucing yang terinfeksi mengeluarkan telur hookworm bersama tinja dan masuk ke dalam pasir, kemudian telur tersebut akan berkembangbiak pada pasir yang disediakan, sehingga pasir tersebut menjadi sumber penularan infeksi hookworm pada kucing. Transmisi infeksi hookworm pada umumnya dapat terjadi melalui kontak langsung dengan tanah atau pasir yang mengandung larva infektif yaitu larva stadium ketiga, lalu larva tersebut langsung menembus kulit dan bermigrasi melalui pembuluh darah (Brentlinger et al. 2003). Kucing yang terinfeksi hookworm dapat dicegah dengan pemberian anthelmintik atau obat anti cacing (Palmer et al. 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pada kucing yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing memiliki risiko terinfeksi hookworm 1.3 kali (SK95%: 1.0-1.6 kali) dibandingkan yang dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing. Hasil tersebut menunjukkan makna pengulangan pemberian obat cacing sebagai faktor risiko infeksi hookworm pada kucing. Hal tersebut diduga karena ada reinfeksi cacing hookworm pada kucing, walaupun sebagian besar pemilik kucing di Kota Bogor telah memberikan drontal cat pada kucing peliharaanya, namun hal tersebut tidak dapat menghindari terjadinya reinfeksi pada kucing, sehingga diperlukan dilakukan pengulangan pemberian obat cacing. Bahan aktif drontal cat terdiri praziquantel dan pamoate pyrantel yang memiliki spektrum luas dan aktif membunuh cacing hookworm dan roundworm. Pengulangan pemberian obat anti cacing pada anak kucing pada usia 6, 8, 10 dan 12 minggu, kemudian 1 bulan sampai 6 bulan, setelah itu dilakuakan setiap 3 bulan sekali atau sesuai saran dokter hewan (Palmer et al. 2007).
18
Tabel 8 Hubungan faktor risiko terhadap infeksi hookworm Variabel yang Diamati Pendidikan < SMA > SMA Penghasilan < 3 juta perbulan > 3 juta perbulan Jenis Kelamin Kucing Jantan Betina Umur Kucing < 6 bulan > 6 bulan Membersihkan Kandang Tidak dibersihkan Dibersihkan Disediakan Pasir Ya Tidak Pengulangan Obat Anti Cacing Tidak Ya Pakan Campuran Pakan komersial dengan ikan/daging pakan komersial
Prevalensi (%)
RR
Selang Kepercayaan 95%
21 19
1.1
0.6 – 2.0 Referensi
20 16
1.3
0.7 – 2.2 Referensi
24 13
1.8*
1.1 – 3.2 Referensi
20 23
1.1
0.9 – 1.2 Referensi
0 17
-
-
28 16
1.7*
1.2 – 2.4 Referensi
32 10
1.3*
1.0 – 1.6 Referensi
29 12
1.2*
1.0 – 1.5 Referensi
Keterangan: *menunjukkan adanya asosiasi pada tingkat kepercayaan 95%
Pemberian pakan campuran pada penelitian ini menunjukkan bahwa, pada kelompok kucing yang diberi campuran pakan komersial dengan ikan/daging memiliki nilai RR=1.2 (SK95%: 1.0-1.5 kali) untuk terinfeksi hookworm dibandingkan pakan komersial. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian campuran pakan komersial dengan ikan/daging memiliki hubungan terhadap infeksi hookworm pada kucing, dengan meningkatkan risiko terinfeksi hookworm sebesar 1.2 kali dibandingkan pakan komersial. Hal tersebut diduga campuran pakan yang diberikan yaitu ikan/daging dalam kondisi mentah. Pemberian ikan/daging yang tidak diolah atau dalam bentuk mentah pada kucing dapat mengakibatkan kucing terinfeksi cacing, sebab ikan/daging yang diberikan telah terkontaminasi oleh larva infektif (Macpherson 2013)
Infeksi Cacing Zoonotik Ditinjau dari Kesehatan Masyarakat Sebagian besar manajemen pemeliharaan kucing di Kota Bogor sudah cukup baik, hal tersebut ditunjukan bahwa pemilik kucing di Kota Bogor mayoritas telah menyediakan kandang (56%), penyediakan pasir tempat defekasi kucing (75%), membersihkan kandang (97%) dan kucing dimandikan (94%). Namun demikian dari hasil penelitian ini menunjukkan tingkat kejadian infeksi T cati dan hookworm masih cukup tinggi yaitu prevalensi T cati 35% (SK95%: 30%-40%) dan hookworm 18.5% (SK 95%: 16-20.5%). Hal tersebut jika dibiarkan dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat, khususnya pada pemilik kucing,
19
mengingat populasi kucing yang sangat besar dan kedekatan dengan kehidupan manusia. Kedua jenis cacing ini tidak saja berbahaya bagi kucing, tetapi juga dilaporkan dapat menginfeksi manusia, karena termasuk penyakit zoonosis (Uga et al. 1990). Manusia dapat tertular cacing zoonotik pada kucing, melalui termakannya telur infektif yang terdapat dalam feses kucing atau kontak secara langsung dengan tanah yang terkontaminasi oleh larva infektif, sehingga perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap risiko infeksi cacing zoonotik dari kucing ke manusia. Kejadian toxocariasis pada manusia lebih banyak menyerang pada anak-anak karena kebiasaan bermain di tanah dan pasir. Penelitian yang dilakukan pada anakanak di Iran didapatkan 25% siswa positif terinfeksi Toxocara (Sadjjadi et al. 2001). Penularan pada anak-anak umumnya terjadi melalui termakan telur infektif Toxocara secara tidak sengaja setelah bermain di tanah atau pasir yang terkontaminasi. Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, dilaporkan di Surabaya terhadap 178 sampel tanah di sekitar rumah potong hewan dan peternakan sapi perah, didapatkan hasil 23.6% sampel positif mengandung telur Toxocara spp (Kusnoto et al. 2002). Cacing tambang Ancylostoma braziliense dan A. ceylanicum merupakan penyebab utama kejadian Cutaneus Larva Migran (CLM) pada manusia (Soeharsono 2007). CLM atau yang sering disebut creeping eruption pada manusia. Pada manusia Infeksi CLM terjadi melalui kulit yang kontak dengan larva infektif, larva tersebut dapat menembus kulit (Suhartono et al. 2007). CLM merupakan kelainan kulit berupa adanya peradangan yang berbentuk linear atau berkelokkelok, menonjol dan progresif, disebabkan oleh invasi cacing tambang yang berasal dari kucing. Invasi sering terjadi pada anak-anak terutama pada mereka yang sering berjalan tanpa alas kaki atau sering berhubungan dengan pasir atau tanah (Sebastián et al. 2000). Tingkat kejadian CLM pada manusia tinggi dari berbagai survei di Indonesia menunjukkan angkat mencapai 30 sampai 60% (Haryanto 2012). Manajemen pemeliharaan kucing berpengaruh terhadap infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Mayoritas jumlah kucing yang dipelihara lebih dari dua ekor kucing (57%) dengan tujuan sebagai hewan kesayangan, namun ada juga sebagian kecil memelihara kucing untuk komersial atau dijual. Sebagian besar kucing dikandangkan, dan mayoritas jenis kandang yang digunakan adalah kandang besi (79%) serta diletakan di teras rumah (51%). Jumlah kucing dalam satu kandang biasanya lebih dari dua ekor. Kandang kucing selalu dibersihkan dengan frekuensi lebih dari satu kali seminggu dan sebagian besar dibersihkan dengan cara disikat dan disiram dengan air saja (68%). Pasir merupakan faktor risiko infeksi cacing zoonotik, sehingga sangat penting untuk diperhatikan. Pemilik kucing di Kota Bogor sebagian besar menyediakan pasir, mayoritas jenis pasir yang digunakan adalah pasir untuk satu kali pakai atau pasir yang tidak dapat dicuci (75%). Biasanya pasir diletakan di dalam kandang kucing. Frekuensi pembuangan pasir satu kali sehari setelah digunakan (76%), pembuangan pasir dan kotoran/feses kucing dengan cara digabung dengan sampah rumah, dan hanya sebagian kecil yang dibuang ditempat khusus (36%). Membuang kotoran/feses kucing sebaiknya dilakukan terpisah dengan sampah rumah dan dibuatkan lubang khusus untuk pembungan kotoran atau feses kucing.
20
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kucing peliharaan yang disediakan pasir sebagai tempat defekasi kucing, memiliki risiko rendah untuk terinfeksi T cati. Sedangkan pada infeksi hookworm menunjukkan hasil sebaliknya, kucing yang disediakan pasir sebagai tempat defekasi kucing, berpengaruh meningkatkan risiko untuk terinfeksi hookworm. Hal tersebut memberikan makna bahwa pemilik kucing di Kota Bogor, harus menyediakan pasir sebagai tempat defekasi kucing dan senantiasa menjaga kebersihan pasir. Berdasarkan manajemen kesehatan kucing sebagian besar pemilik kucing di Kota Bogor perna membawa kucingnya untuk diperiksan ke dokter hewan, namun tidak rutin hanya pada saat kucing sakit atau pada saat pemberian obat anti cacing. Sebagian kecil pemilik kucing tidak memberikan obat anti cacing pada kucingnya, namun hanya sekali pemberian saja, dan yang memberikan obat anti cacing sebagian besar bukan dokter hewan (66%). Asal obat anti cacing yang diperoleh bukan dari dokter hewan namun dari petshop atau apotik (56%). Sebagian besar sediaan obat anti cacing yang diberikan adalah kapsul/tablet, dan mayoritas pemilik kucing tidak mengetahui obat anti cacing yang diberikan. Pemberian obat anti cacing yang tidak benar dapat berpengaruh terhadap kesehatan kucing serta tidak dapat mengobati atau menghilangakan cacing pada tubuh kucing. Pemberian obat anti cacing sebaiknya dilakukan oleh dokter hewan, dan obat anti cacing yang digunakan berasal dari dokter hewan, selain itu pemilik kucing harus memperhatikan jadwal pemberian obat anti cacing. Pemilik kucing juga harus memperoleh penjelasan tentang obat anti cacing yang diberikan serta mekanisme kerja obat tersebut, sehingga pemilik kucing dapat memiliki pengetahuan bahwa pemberian obat anti cacing sangat penting untuk kesehatan kucingnya. Pemilik kucing pada umumnya memberikan pakan secara rutin dengan frekuensi pemberian lebih dari tiga kali sehari (77%). Pakan yang diberikan berupa pakan jadi/pakan komersial (60%), jenisnya adalah pakan kering (81%). Namun sebagian kecil pemilik kucing memberikan campuran ikan/daging yang telah dimasak (37%). Pemberian pakan berpengaruh pada kesehatan kucing, mengingat pakan sebagai sumber nutrisi tubuh kucing dan energi untuk kucing tetap sehat. Pakan yang diberikan dapat menjadi faktor risiko infeksi cacing zoonotik, bila pakan tersebut terkontaminasi oleh larva atau telur cacing yang infektif, oleh karena itu pemilik kucing harus mencegah kontaminasi pakan tersebut, maka dengan cara tidak boleh memberikan campuran pakan berupa ikan, kepiting atau daging dalam kondisi mentah atau belum dimasak. Higiene personal yang telah dilakukan oleh pemilik kucing di Kota Bogor salah satunya adalah mencuci tangan setelah bermain dengan kucing serta frekuensi pemilik kucing memotong kuku. Mencuci tangan setelah membersihkan kandang atau pasir dengan menggunakan sabun atau desinfektan memiliki risiko lebih kecil dibandingkan yang tidak menggunakan sabun atau desinfektan (Nealma et al. 2013). Penanggulangi terhadap penularan infeksi cacing dari hewan ke manusia dapat dilakukan dengan melakukan penyuluhan kesehatan baik pada kesehatan kucing maupun pemilik kucing. Adapun upaya tersebut dapat dilakukan berupa program-program yang bersifat edukatif kepada masyarakat khususnya pada pemilik kucing. Hal tersebut dapat optimal bila mendapatkan dukungan dan peran pemerintah setempat dalam mensosialisasikan, sehingga dapat meningkatkan
21
pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat khususnya pemilik kucing tehadap bahaya infeksi cacing ini. Hal-hal penting yang harus dilakukan oleh pemilik kucing untuk mencegah infeksi kecacingan adalah dengan cara membawa kucing peliharaan ke dokter hewan untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan kucing, pemberiaan obat cacing secara rutin dan juga anjuran untuk meningkatkan kebersihan kandang kucing, disediakan pasir tempat defekasi kucing, menjaga kebersihan pasir dan memperhatikan pakan yang diberikan. Sedangkan untuk anggota keluarga yang memiliki kucing peliharaan disarankan untuk meminum obat cacing secara rutin. Anak-anak dihimbau untuk selalu menggunakan alas kaki ketika kontak dengan tanah atau pasir, menghindari anak-anak untuk bermain di tanah atau di pasir, mencuci tangan setelah bermain dengan kucing, frekuensi memotong kuku maksimal 2 minggu sekali dan menjaga sanitasi lingkungan rumah dengan cara rumah selalu dipel menggunakan desinfektan.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Cacing zoonotik yang berhasil diindentifikasi pada kucing peliharaan di Kota Bogor adalah Toxocara cati dan hookworm. Prevalensi pada T cati diperoleh sebesar 35% (SK 95%: 30-40%) dan hookworm 18.5% (SK 95%: 16-20.5%). Adapun derajat infeksi cacing zoonosis pada kucing masih rendah, yang menunjukkan angka dibawah 300 TTGT. Faktor risiko yang signifikan terkait dengan infeksi T cati dan hookworm adalah jenis kelamin kelamin, ketersediaan pasir, pengulangan pemberiaan obat anti cacing dan jenis pakan. Kucing jantan berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%: 1.1-2.1 kali) dibandingkan dengan kucing betina, begitu juga pada kelompok kucing yang tidak disediakan pasir berisiko terinfeksi T cati 1.5 kali (SK95%:1.1-2.0 kali) dibandingkan yang disediakan pasir dan yang tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi T cati 1.8 kali (SK95%:1.3-2.7 kali) dibandingkan yang dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing serta campuran pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi T cati 1.4 kali (SK95%:1.0-1.9 kali) dibandingkan dengan pakan komersial. Faktor-faktor yang berisiko terhadap infeksi hookworm, pada kucing jantan berisiko terinfeksi hookworm 1.8 kali (SK95%: 1.1-3.2 kali) dibandingkan dengan kucing betina. Kucing yang disediakan pasir berisiko terinfeksi hookworm 1.7 kali (SK95%: 1.2-2.4 kali) dibandingkan yang tidak disediakan pasir dan tidak dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing berisiko terinfeksi hookworm 1.3 kali (SK95%: 1.0-1.6 kali) dibandingkan yang dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing serta campuran pakan komersial dengan ikan/daging berisiko terinfeksi hookworm 1.2 kali (SK95%: 1.0-1.5 kali) dibandingkan pakan komersial. Manajemen pemeliharaan kucing di Kota Bogor sudah baik, namun demikian tingkat kejadian infeksi T cati di Kota Bogor masih cukup tinggi, sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan masyarakat khususnya pada
22
pemilik kucing. Perlu dilakukan tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap risiko infeksi cacing zoonotik pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Tindakan tersebut berupa pemberian obat anti cacing pada kucing secara rutin, menyediakan pasir tempat defekasi kucing, tidak memberikan pakan campuran ikan/daging dalam kondisi mentah dan meningkatkan higiene dan sanitasi lingkungan rumah.
Saran Perlu dilakukan tindakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) mengenai manajemen pemeliharaan kucing dan pencegahan kecacingan yang dapat menular dari kucing ke manusia melalui seminar, iklan, layanan masyarakat, leaflet dan lainlainnya.
DAFTAR PUSTAKA Anderson TC, Garry WF, Donald JF. 2003. Hookworm of faecal cats in Florida. Vet Parasitol. 115:19-24. Barbabosa IM, Tsuji OV, Cabello RR, Cardenes EMG, Chadin OA. 2003. The prevalence of Toxocara cati in domestic cats in Mexico City. Vet Parasitol. 114:43-49. Bowman DD, Hendrix CM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical Parasitology. Iowa (US): Iowa State University Pr. Bowman DD, Barr SC, Hendrix CM, Lindsay DS. 2003. Gastrointestinal parasitology of cat. Comp and Exotic Anim Parasitol. 221:21-34. Brentlinger PE, Capps L, Denson M. 2003. Hookworm infection and anemia in adult women in rural Chiapas Mexico City. Vet Parasitol. 115:176-180. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Badan Pusat Statistik Kota Bogor dalam Angka. Bogor (ID): BPS Pr. Caparia B, Hamelc D, Visserc M, Winterc R, Pfisterb K, Rehbeinc S. 2012. Parasitic infection of domestic cats, Felis catus in Western Hungary. Vet Parasitol. 192:33-42. Cardillo N, Sommerfelt I, Farina F, Pasqualetti M, Perez M, Ercole M, Rosa A, Ribicich M. 2014. A Toxocara cati eggs concentration method from cats feces, for experimental and diagnostic purposes for experimental and diagnostic purposes. Vet Parasitol. 56:198-205. Dahlan MS. 2011. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Jakarta (ID): Salemba Medica Pr. Dohoo I, Wayne M, Henrik S. 2003. Veterinary Epidemiologic Research. Canada (US): Prince Edward Island Pr. Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis pada hewan dan bahayanya pada manusia. Wartazoa. 15(3):210-221. Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W. 2003. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke III. Jakarta (ID): UI Pr. Gillespie TR. 2006. Noninvasive assessment of gastrointestinal parasite infections in free ranging primates. J Primatol. 27:1129-1143.
23
Ginting SA. 2003. Hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian Kecacingan pada anak Sekolah Dasar di Desa Suka Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan (ID): USU. Haryanto L. 2012. Analisis faktor risiko kejadian creeping eruption di Kabupaten Kulon Progo, Provinisi Daerah Istimewa Yogyakarta [Tesisi]. Yogyakarta (ID): UGM. Heukelbach J, Feldmeier H. 2008. Epidemiological and clinical characteristics of hookworm related cutaneus larva migrans. Lancet Infect Dis. 8:302-309. Hotez PJ, Broker S, Bethony JM. 2004. Hookworm infection. Vet Med. 351(8):799807. Hubner J, Uhlikova M, Leissova M. 2001. Diagnosis of early phade of larvae Toxocariasis using Ig avidity. Epidemial Mikrobial Imunal. 50(2):67-70. Jabbir AH. 2013. Potensi parasit saluran pencernaan pada kucing liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB. Kusnoto. 2005. Prevalensi toxocariasis pada kucing liar di Surabaya melalui bedah saluran perncanaan. Media Kedokteran Hewan. 21(1):7-11. Luty L. 2001. Prevalence of species of Toxocara in dogs, cats an dred foxes from the Poznan region, Poland. J Helmithol. 75:152-156 Macpherson CNL. 2013. The epidemiology and public health importance of toxocariasis a zoonosis of global importance. J Parasitol. 22:200-222. Manalu SM, Biran SI. 2006. Infeksi Cacing Tambang. Cermin Dunia Kedokteran. 19 (4): 234-237. Mani I, Maguire JH. 2009. Small animal zoonoses and immune compromised pet owners. J Topics in Comp Anim Med. 24(4):153-160. Manurung RS, Lambok S. 2012. Infeksi Toxocara pada hewan peliharaan di Kelurahan Padang Bulan tahun 2012. E Journal. 1(1):1-3. Maryanti. 2006. Hubungan perilaku pemakaian APD dan kebersihan diri dengan kejadian infeksi cacing tambang, studi kasus Desa Tegal Badeng Timur Kecamatan Jembrana Provinsi Bali. [Sripsi]. Surabaya (ID):UNAIR. Nealma S, Dwinata IM, Oka IBM. 2013. Prevalensi infeksi cacing Toxocara cati pada kucing lokal di wilayah Denpasar. J Med Vet Indones. 2(4):428-436. Overgaauw PA. 1997. Aspect of Toxocara epidemiology toxocariosis in dogs and cats. J Parasitol. 23(3):215-231. Palmer CS, Rebecca JT, Ian DR, Rusell PH, Aileen E, Lyndon W, Robert R, Andrew T. 2007. The veterinary and public significance of hookworm in dogs and cats in Australia and the status of A ceylanicum. Vet Parasitol. 145:304313. Park SP, Huh S, Magnaval JF, Park I. 1999. A case of presumed ocular toxocariosis in a 28 year old women. J Opthalmol. 13(2):115-119. Sadjjadi SM, Khosravi M, Mehrabani D, Orya A. 2001. Seroprevalence of toxocara infection in school in Shiratz, Sountherm Iran. J Trop Pediatr. 46(6):372-330. Sardjono TW, Fitri LE, Josafat A. 2006. Perbedaan jenis dan jumlah telur cacing pada feses kucing rumah (Felis silvestris catus) peliharaan dan liar (Studi kasus di daerah Kebon Agung, Taman Sulfat dan Sawojajar, Kota Malang). [Tesis]. Malang (ID): UB. Sebastián M, Santiago S. 2000. Control of intestinal helminths in schoolchildren in Low-Napo, Ecuador: impact of a two-year chemotherapy program. Med Tropical. 33(1):69-73.
24
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Suhartono, Hendratno S, Satoto, Kartini A. 2007. Faktor-faktor risiko infeksi cacing tambang pada murid Sekolah Dasar di Kabupaten Karanganyar. Med Medika Indones. 33(1):3-6. Soeharsono. 2007. Penyakit Zoonotik pada Anjing dan Kucing. Yogyakart (ID): Kanisius Pr. Sommerflet IE, Cardillo N, Lopez C, Ribicich M, Gallo C, Franco A. 2006. Prevalence of Toxocara cati and other parasites in cats feaces collwcted from the open spaces of public institutions.Buenoe Aires. Argentina. Vet Parasitol. 140:296-301. Uga S, Matsumara T, Fujisawa K, Okubo K, Kataoka N, Kondo K. 1990. Incidence of seropositivity to human Toxocariasis in Hyogo Prefecture, Japan and its possible role in Ophthalmic Disease. Japan. J Parasitol. 39(5):500-5002. Woodword M. 1999. Epidemiology Study Design and Data Analysis. London (UK): Chapman Hall/CRC.
25
LAMPIRAN
26
Lampiran 1. Kuisioner Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi No Kuisioner : Cacing Zoonotik pada Kucing Enumerator : Peliharaan di Kota Bogor Tanggal : Pernyataan persetujuan Selamat pagi/siang Bapak/Ibu responden. Kami mahasiswa Sekolah Pascasarajana IPB hendak melakukan wawancara tentang pandangan Bapak/Ibu tentang Prevalensi dan Faktor Risiko Infeksi Cacing Zoonotik pada Kucing Peliharaan di Kota Bogor. Informasi ini akan membantu kami dalam menyelesaikan tugas akhir tesis kami. Informasi yang Bapak/Ibu berikan akan kami jaga kerahasiaannya dan tidak akan ditunjukan kepada orang lain. Partisipasi dalam wawancara ini bersifat sukarela. Kami berharap Bapak/Ibu dapat berpartisipasi karena informasi yang Bapak/Ibu berikan sangatlah penting bagi kami. Apakah Bapak/Ibu bersedia diwawancarai? Ya Tidak Jika tidak, mohon berikan alasanya mengapa Bapak/Ibu tidak bersedia diwawancarai…………………………………………………………… …… A. DATA RESPONDEN/PEMILIK KUCING 1. Nama : ................................................................................... 2. Alamat : ................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... 3. No Telp/HP : ................................................................................... 4. Umur : ................................................................................... 5. Jenis Kelamin : L/P B. KARAKTERISTIK PEMILIK KUCING 6. Apa pendidikan formal Bapak/Ibu? Tidak sekolah SD SMP SMA D1/D2/D3/Sarjana 7. Berapa penghasilan Bapak/Ibu perbulan? < 1 Juta 1 – 2 Juta 2–5 Juta 5-10 Juta > 10 Juta 8. Apa pekerjaan utama Bapak/Ibu? Ibu rumah tangga
27
Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Lain-lain, sebutkan: ……….................................................................. C. IDENTITAS KUCING 9. Nama Hewan : .................................................................................. 10. Ras/Breed : .................................................................................. 11. Warna bulu : .................................................................................. 12. Jenis kelamin : Jantan/Betina 13. Umur :............ Bulan........ Tahun 14. Kondisi Tubuh : kurus/sedang/gemuk D. MANAJEMEN PEMELIHARAN KUCING 15. Berapa jumlah kucing yang Bapak/Ibu pelihara:................................ekor 16. Tujuan Bapak/Ibu memelihara kucing? Hewan kesayangan Komersial/untuk dijual Lainnya, sebutkan……………………………….................................... 17. Berapa lama Bapak/Ibu sudah memelihara kucing:…......bulan.......tahun 18. Apakah kucing Bapak/Ibu dikandangkan? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 26) 19. Jika Ya, jenis kandang apa yang Bapak/Ibu gunakan? Kandang dari plastik Kandang dari besi Kandang dari kayu Lainnya, sebutkan…………………………………................................ 20. Dimana kandang kucing diletakan? Diteras Ruang tamu Dekat dapur Dekat kamar mandi Lainnya,sebutkan…………………………............................................. 21. Berapa jumlah kucing dalam satu kandang? 1 ekor 2 ekor 3 ekor > 3 ekor 22. Apakah kucing selalu dikadangkan? Ya Kadang-kadang Lainnya, sebutkan…………………........................................................ 23. Apakah kandang kucing dibersihkan? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 26 ) 24. Jika Ya, berapa frekuensi kandang kucing dibersihkan? Setiap hari
28
1 kali seminggu 2 kali seminggu Kadang-kadang 25. Bagaimana cara membersihkan kandang kucing? Menggunakan desinfektan Disikat dan disiram menggunakan sabun dan air Disiram menggunakan sabun dan air Disikat dan disiram dengan air Disiram dengan air saja Dilap saja 26. Apakah disediakan pasir/abu tempat defekasi kucing? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 35) 27. Jenis pasir/abu apa yang Bapak/Ibu gunakan? Pasir/abu sekali pakai Pasir/abu bisa dicuci Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 28. Jika Ya, bagaimana meletakan pasir/abu tempat defekasi? Diletakan dalam kandang pada waktu tertentu Terpisah atau diluar kandang Disatukan dalam kandang Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 29. Apakah pasir tempat defekasi setelah digunakan langsung dibuang? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 32) 30. Jika Ya, bagaimana frekuensi pembuangannya? 1 kali sehari 2 kali sehari 1 kali seminggu Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 31. Bagaimana cara membuang pasir/abu defekasi? Dilubang khusus tempat pembuangan sisa pasir defekasi Diletakan bersamaan dengan sampah rumah Dibuang di sekitar rumah Dibuang disaluran pengbuangan air/selokan Lainnya, sebutkan………........……………………................................ 32. Apakah pasir defekasi digunakan kembali setelah dicuci? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 35) 33. Jika Ya, bagamana frekuensi pencucian pasir defekasi? 2 kali sehari 1 kali sehari 1 kali seminggu Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 34. Bagaimana cara pencucian pasir defekasi? Disikat dan disiram menggunakan sabun dan air Disiram menggunakan sabun dan air Disikat dan disiram dengan air
29
Disiram dengan air saja Dari No.34 Langsung ke No. 37 35. Dimana kucing Bapak/Ibu biasanya defekasi? D kebun Di pekarangan rumah Di sekitar rumah Dikamar mandi/WC Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 36. Apa yang dilakukan oleh Bapak/Ibu? Disiram dengan air dan desinfeksi Disiram dengan air saja Menimbun dengan tanah Dibiarkan saja Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 37. Apakah kucing dimandikan/grooming? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 39) 38. Jika Ya, berapa frekuensi kucing dimandikan/grooming? < 2 minggu sekali 2 minggu sekali > dari 2 minggu sekali Lainnya, sebutkan……………………………….................................... 39. Apakah kucing sering berada di luar rumah? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 41) 40. Jika Ya, berapa frekuensi kucing sering berada di luar rumah? Pada siang/sore hari Pada malam hari Selalu Lainnya, sebutkan……………………………….................................... E. MANAJEMEN KESEHATAN KUCING 41. Apakah kucing Bapak/Ibu pernah diperiksa ke dokter hewan? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 43) 42. Jika Ya, berapa frekuensi pemeriksaan kesehatan hewan pernah dilakukan Satu tahun sekali Dua hingga tiga kali setahun Jika sakit saja Lainnya, sebutkan……………………………….................................... 43. Apakah kucing Bapak/Ibu pernah sakit? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 49) 44. Jika Ya, apa yang dilakukan? Dibawa ke dokter hewan Diobati sendiri Dibiarkan saja Lainnya, sebutkan………………………………....................................
30
45. Bagaimana gejala klinis kucing Bapak/Ibu saat sakit (pilihan bisa lebih dari satu)? Diare Kurus Muntah/mual Flu Tidak mau makan Lainnya, sebutkan………………......................................................... 46. Bagaimana konsistensi fesesnya? padat lembek cair 47. Apakah kucing Bapak/Ibu pernah diberi obat anti cacing? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 55) 48. Jika Ya, kapan pemberian obat anti cacing pada kucing Bapak/Ibu? sekali pemberian Setiap 3 bulan Setiap 6 bulan Lainnya, sebutkan…………………………………………................... 49. Siapa yang memberian obat anti cacing? Dokter hewan Diberikan sendiri Lainnya, sebutkan………………………………………….................... 50. Asal obat anti cacing yang Bapak/Ibu peroleh? Dokter hewan Beli di klinik hewan Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 51. Bagaimana bentuk pemberian obat anti cacing yang diberikan? Cairan Tablet Kapsul Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 52. Apakah Bapak/Ibu tahu nama obat anti cacing yang diberikan? Ya, Sebutkan……………....................................................................... Tidak tahu 53. Apakah dilakukan pengulangan pemberian obat anti cacing? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 55) 54. Jika Ya, apakah obat anti cacing yang diberikan jenis obat yang sama? Ya Tidak, sebutkan………………………………………........................... 55. Apakah kucing Bapak/Ibu pernah divaksin? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 59) 56. Jika Ya, bagaimana pemberiannya? Rutin
31
Tidak rutin Lainnya, sebutkan…………………………………………................... 57. Siapa yang memberian vaksin? Dokter hewan Diberikan sendiri Lainnya, sebutkan………………………………………….................... 58. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jenis vaksin yang diberikan? Ya, Sebutkan........................................................................................... Tidak F. MANAJEMEN PAKAN 59. Bagaimana Bapak/Ibu memberikan pakan pada kucing? Kucing diberikan pakan rutin Kucing mencari sendiri Lainnya, sebutkan………………………………………….................... 60. Jika kucing diberikan pakan, bagaimana frekuensi pemberiannya? > 3 kali sehari 3 kali sehari 2 kali sehari Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 61. Asal pakan kucing yang disediakan oleh Bapak/Ibu? Dibeli pakan jadi Dibuat sendiri Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 62. Jika disediakan pakan jadi, apa jenis pakan yang diberikan? Pakan kering Pakan basah Campuran pakan kering dan basah Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 63. Jika pakan dibuat sendiri, apa jenis pakan yang diberikan? Ikan/daging Campuran ikan/daging dan nasi Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 64. Jika yang diberikan ikan/daging, bagaimana pemberianya? Dimasak terlebih dahulu Diberikan dalam keadaan mentah Lainnya, sebutkan……………………………........................................ G. HIGIENE PERSONAL PEMILIK KUCING 65. Apakah Bapak/Ibu atau anggota keluarga yang sering bermain dengan kucing? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 68) 66. Jika Ya, apakah selalu mencuci tangan setelah memegang kucing? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 68) 67. Bagaimana mencuci tangan? Menggunakan desinfektan saja Mencuci dengan menggunakan sabun
32
Mencuci dengan air saja Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 68. Bagaimana frekuensi Bapak/Ibu atau anggota keluarga yang selalu memotong kuku? seminggu sekali dua minggu sekali Lainnya, sebutkan……………………………........................................ 69. Apa yang dilakukan Bapak/ibu setelah membersihkan kandang/pasir/abu defekasi? Menggunakan desinfektan saja Mencuci tangan dengan mengunakan sabun Mencuci tangan dengan air saja Tangan dilap saja Tidak melakukan apa-apa Lainnya, sebutkan……………………………........................................ H. SANITASI LINGKUNGAN RUMAH 70. Apakah lantai rumah selalu dipel? Ya Tidak (langsung ke pertanyaan No. 73) 71. Jika Ya, berapa frekuensi lantai rumah selalu dipel? Setiap hari 2 hari sekali Kalau kotor saja Lainnya, sebutkan……………………………..................................... 72. Bagaimana lantai rumah dipel? Menggunakan desinfektan saja Menggunakan sabun Menggunakan air saja Lainnya, sebutkan……………………………..................................... 73. Bagaimana cara membuang kotoran hewan? Ditempatkan pada tempat yang terpisah Digabung dengan sampah rumah lainnya Dibuang langsung diperkarangan rumah Dibuang disaluran air pembungan/selokan Lainnya, sebutkan……………………………....................................
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palembang Sumatera Selatan pada tanggal 24 April 1984, sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak M Iksan dan Ibu Nursaniah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD N 02 Tanjung Kemala, Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan pada Tahun 1996. Tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 02 Muara Kuang, Kecamatan Ogan Kombering Ilir, Sumatera Selatan. Tahun 2002 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA N 11 Palembang. Tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan Diploma 3 Higiene Makanan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 2011 penulis menyelesaikan Profesi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner tahun 2012.