Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang Ema Fiki Munaya, Sri Tjahyani Budi Utami Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Abstrak
Latar Belakang: Data Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) selalu menunjukkan peningkatan setiap tahun. Tahun 2013, Provinsi Jawa Tengah menempati posisi ketujuh dengan jumlah penderita ISPA terbanyak. ISPA nonpneumonia selama 2011-2013 di Kota Magelang maupun di Puskesmas Kelurahan Magersari selalu menunjukkan peningkatan dengan sebagian besar penderita adalah balita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar faktor risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah) terhadap kejadian ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah tahun 2013. Metode: Desain penelitian ini adalah case-control dengan masing-masing sampel berjumlah 50 balita. Case adalah balita yang menderita ISPA nonpneumonia dengan diagnosis dokter puskesmas, sedangkan kontrol adalah balita yang didiagnosis tidak menderita ISPA. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat ukur dan wawancara serta observasi dalam pengambilan data di wilayah kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah selama bulan Mei 2014. Hasil: Ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai (nilai p 0,000 &OR 15,881), jenis atap (nilai p 0,000 & OR 13,500), jenis dinding (nilai p 0,000 & OR 17,484), kepadatan hunian (nilai p 0,000 & OR 12,250), keberadaan perokok dalam rumah (nilai p 0,003 & OR 4,205), dan penggunaan bahan bakar memasak (nilai p 0,000 & OR 11,294). Kesimpulan : Ada hubungan yang bermakna antara kualitas lingkungan fisik rumah dan pencemaran udara dalam rumah dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita. (J Respir Indo. 2015; 35: 19-27) Kata Kunci: ISPA nonpneumonia, pencemaran, fisik, lingkungan, balita.
Risk Factors of Nonpneumonia Acute Respiratory Infections among Underfive Children in Magersari Health Center, Magelang Capital Abstract Background: National health data showed that the incidence of acute respiratory infections (ARI) increased every years. In 2013, Central Java Province was the seventh position with the highest number of patients with acute respiratory infection (ARI). The incidence of ARI nonpneumonia during 2011-2013 in the city of Magelang as well as in the Village Health Center Magersari always increase which most of are under five children . This study aims to determine how big the risk factors of physical quality of the home environment (type of floor, roof, walls, extensive ventilation, residential density) and indoor air pollution (presence of smokers in the home, using anti-mosquito, cooking fuel in the house) to nonpneumonia ARI incidence of under five children in the working area of Magersari health center, Magelang, Central Java in 2013. Methods: The Research design was a case-control study by each sample for 50 under five children. Case were under five with nonpneumonia ARI diagnosed by Megersari Health Center doctors, whereas control were underfive children which not diagnosed with ARIs . Results: There is a significant correlation between the type of floor (p=0.000 and OR 15.881), the type of roof (p= 0.000 and OR 13.500), the type of wall (p= 0.000 and OR 17.484), residential density (p= 0.000 and OR 12.250), the presence of smokers in the house (p= 0.003 and OR 4.205) and cooking fuel (p=0.000 OR 11.29) and the occurence of nonpneumonia ARI. Conclusion: There were significant relation between the type of environment physical quality and indoor air pollution with Nonpneumonia ARI’s occurence among undervive children. (J Respir Indo. 2015; 35: 19-27) Keywords: nonpneumonia ARI, polution, physical, environment, underfive children.
Korespondensi: Ema Fiki Munaya, SKM Email:
[email protected], Hp: 085643859850
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
19
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
PENDAHULUAN Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meru pakan penyakit yang hampir ada di semua negara di dunia dan banyak diderita oleh balita. World Health Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan bahwa ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita di seluruh dunia. Angka kematian akibat ISPA pada balita mencapai dua juta per tahun dan ISPA merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama pada penyebab Disability Adjusted Life Years (DALYs) di negara berkembang yaitu sekitar 94,6 juta jiwa atau 6,3% dari total populasi.1 Tahun 2007 terlapor ada 7,2 juta kasus ISPA di Indonesia. Tahun 2010, kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 17,9 juta kasus lalu pada tahun 2011 kasus ISPA di Indonesia meningkat menjadi 18,7 juta kasus. Prevalensi ISPA tertinggi adalah pada balita (>35%), sedangkan terendah pada kelompok umur 15 - 24 tahun.2 Data dari semua kasus ISPA yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun dan ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien terutama balita di Puskesmas (40%60%) dan rumah sakit (15%-30%).3 Beberapa penelitian telah membuktikan bah wa terdapat faktor-faktor risiko tertentu yang mem pengaruhi terjadinya ISPA pada balita. Penelitian yang dilaksanakan oleh Anders Koch dkk.3 pada tahun 2003 tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Denmark membuktikan bahwa kejadian ISPA pada balita dipengeruhi oleh pemberian ASI oleh ibu, keberadaan perokok dalam rumah dan kepadatan ruang tidur balita.4 Penelitian lain yang dilaksanakan di Indonesia oleh Soedjajadi Kaman tentang kesehatan perumahan dan pemukiman pada tahun 2005 menyebutkan bahwa kesehatan rumah yang meliputi keadaan fisik rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni rumah berkaitan erat dengan kesehatan penghuni rumah, terutama balita.5 Agustina Lubis dkk.6 pada tahun 1996 juga melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
20
mempengaruhi kejadian ISPA pada balita pada tahun 1996 yang membuktikan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas lingkungan fisik rumah berupa jenis atap, jenis tembok, lantai, kepadatan hunian dan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.6 Jawa Tengah merupakan propinsi yang menempati peringkat ketujuh dalam kasus ISPA terbanyak di Indonesia. Penderita ISPA di Jawa Tengah sebagian besar merupakan balita. Diketahui bahwa ISPA di Jawa Tengah mempunyai kontribusi 28% sebagai penyebab kematian pada bayi < 1 tahun dan 23% pada anak balita (1- < 5 th) dimana 80% 90% dari seluruh kasus kematian ISPA disebabkan oleh pneumonia pada Tahun 2012.3 Selama tiga tahun terakhir, kasus ISPA non pneumonia di Kota Magelang selalu mengalami peningkatan yaitu 7.129 kasus pada tahun 2011 meningkat menjadi 8.480 kasus pada tahun 2012 dan meningkat kembali menjadi 8.626 kasus selama tahun 2013. Kasus ISPA nonpneumonia di Puskesmas Magersari juga mengalami peningkatan 2011-2013. Tahun 2011 ISPA nonpneumonia di Puskesmas Magersari adalah 58 kasus, lalu meningkat menjadi 230 kasus pada tahun 2012 dan 362 kasus selama tahun 2013. Selama bulan Mei sampai September 2013 kejadian ISPA nonpneumonia di Puskesmas Magersari juga cenderung meningkat. Mei 2013, Kasus ISPA di Puskesmas Magersari adalah 15 kasus, meningkat menjadi 75 kasus pada bulan Juli dan 91 kasus pada bulan September 2013 Dinkes Kota Magelang, 2013). Peningkatan kasus ISPA non Pneumonia di Puskesmas Magersari serta belum adanya penelitian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Magersari membuat peneliti tertarik untuk meneliti risiko kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah) dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah Tahun 2013.
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
METODE Penelitian ini menggunakan desain studi kasuskontrol. Desain ini merupakan desain yang paling cocok diterapkan dalam penelitian ini karena penelitian ini bertujuan untuk melihat besarnya risiko faktor fisik lingkungan rumah dan pencemaran udara dalam rumah tertentu pada kejadian ISPA nonpneumonia balita. Desain ini juga memiliki beberapa kelebihan seperti tidak membutuhkan waktu yang relatif lama, biaya relatif lebih murah, dan outcome sudah dipastikan terjadi pada diri subjek penelitian.7 Waktu MeiSeptember dipilih karena pada bulan-bulan tersebut kasus ISPA nonpneumonia mengalami peningkatan. Populasi dari penelitian ini adalah semua balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari yang datang berobat ke Puskesmas Magersari baik didiagnosis ISPA nonpneumonia maupun bukan ISPA oleh petugas medis di Puskesmas Magersari, Kota Magelang, Jawa Tengah selama tahun 2013 (rentang Mei-September 2013). Populasi kasus dalam penelitian ini berjumlah 191 orang, sedangkan populasi kontrol dalam penelitian ini berjumlah 320 orang. Sampel dari penelitian ini dibagi menjadi kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah balita yang didiagnosis ISPA oleh tenaga medis di Puskesmas Magersari, dengan kriterian inklusi antara lain adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas Magersari dalam rentang Mei - September 2013, berusia maksimal 4 tahun 11 bulan dan bersedia menjadi subjek penelitian. Adapun kriteria eksklusinya adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas Magersari di luar bulan Mei – September 2013, berusia lebih dari 4 tahun 11 bulan atau tidak bersedia menjadi sumbjek penelitian. Kelompok kontrol adalah balita yang berobat ke puskesmas dan tidak menderita ISPA baik ISPA pneumonia maupun ISPA nonpneumonia, dan tinggal bertetangga dengan kelompok kasus. Kriteria inklusi yang digunakan antara lain balita berusia maksimal 4 tahun 11 bulan yang tidak menderita ISPA baik ISPA pneumonia maupun ISPA nonpneumonia dalam rentang Mei-September 2013 serta bersedia menjadi subjek penelitian. Penentuan besar sampel minimal untuk penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow dengan perbandingan 1:1 pada kelompok kasus dan
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
kontrol. Untuk menghindari hilangnya sampel maka ditambahkan 10% dari besar sampel minimal sehingga didapatkan 44 sampel dan dibulatkan menjadi 50 sampel untuk masing-masing sampel kasus dan kontrol dengan perbandingan 1:1 sehingga total responden yang akan diwawancarai sebanyak 100 responden. Sampel akan dipilih dengan cara simple random sampling atau cara acak sederhana. Pemilihan sampel baik kasus atau kontrol akan dipilih secara random dengan menggunakan Microsoft Excel. Nomor data populai kasus maupun data kontrol terlebih dahulu dimasukkan kedalam Microsoft Excel. Data populasi kasus maupun data kontrol ini didapatkan dari catatan pasien balita yang berobat ke Puskesmas Magersari pada periode yang telah ditentukan. Menggunakan rumus tertentu, nomor data tersebut akan dipilih acak secara otomatis hingga menghasilkan nomor data yang akan menjadi sampel, baik kasus ataupun kontrol. Data primer dalam penelitian ini adalah data semua faktor risiko yang diteliti yaitu kualitas lingkungan fisik rumah (jenis lantai, atap, dinding, luas ventilasi, dan kepadatan hunian) dan pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah). Data jenis lantai, atap, dan dinding didapatkan dengan observasi dan dinilai dengan kuesioner. Data luas ventilasi didapatkan dengan mengukur luas seluruh ventilasi kamar balita dan ruang keluarga, lalu dibandingkan dengan luas lantai rumah. Data mengenai kepadatan hunian, dihitung dengan mengukur luas rumah lalu dibagi dengan jumlah penghuni rumah. Data pencemaran udara dalam rumah (keberadaan perokok dalam rumah, pengguaan anti nyamuk bakar, bahan bakar memasak dalam rumah) didapatkan dengan wawancara dan observasi. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data kasus dan kontrol yang didapatkan dari puskesmas Magersari. Data kasus dan kontrol didapatkan dari data pasien yang berobat ke Puskesmas Magersari selama bulan Mei sampai September 2013. Data kasus dan kontrol dipilih secara symple random sampling dari data populasi yang ada, sesuai kriteria inklusi masing-masing. Pengambilan data dilaksanakan oleh peneliti sendiri, dengan dibantu
21
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
oleh kader kesehatan masing-masing rukun warga (RW) dalam pencarian alamat sampel.
Magersari dibagi menjadi 13 RW. RW 1 adalah Perumahan Tidar Baru yang terletak di tepi Jalan Suprapto. RW 2 adalah dusun Magersari Selatan,
HASIL Luas wilayah Kelurahan Magersari adalah 157,2 Ha atau 1,572 km2. Jumlah penduduk di Kelurahan Magersari per bulan Maret 2014 adalah sebanyak 8.689 jiwa. Kepadatan penduduk yang diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan luas wilayah dalam km2 didapatkan angka sebesar 5534 jiwa/km2 atau dalam kategori padat.8 Secara geografis wilayah Kelurahan Mager
RW 3 dan 4 adalah Dusun Magersari Utara, RW 5 dan RW 13 adalah Dusun Sidosari, RW 6 adalah Dusun Rejosari, dan RW 7 adalah Dusun Tejosari. RW 9 terletak di seberang RW 2, 3 dan 4 yaitu Dusun Magersari Timur, RW 10 adalah Dusun Tegalsari. Sebelah selatan Gunung Tidar juga merupakan wilayah Kelurahan Magersari, yaitu RW 8, 11 dan 12 yang tergabung dalam Dusun Tidar Baru. Profil
sari kebanyakan berupa pemukiman serta hutan,
Kelurahan Magersari menyebutkan, ada diantara RW
kebun dan ladang. Pemukiman penduduk Kelurahan
tersebut merupakan pemukiman kumuh.
Tabel 1. Hasil analisis faktor-faktor risiko.
Variabel
ISPA Kontrol N
%
46 4
68,7 12,1
Jenis atap MS TMS
42 8
Jenis dinding MS TMS
Kasus N
Total
OR
95% CI
Nilai-p
%
N
%
21 29
31,3 87,9
67 33
67 33
15,881
(4,949-50,958)
0,000
75 18,2
14 36
25 81,8
56 44
56 44
13,500
(5,087-35,830)
0,000
43 7
76,8 15,9
13 37
23,2 84,1
56 44
56 44
17,484
(6,314-48,415)
0,000
Luas ventilasi MS TMS
48 2
51,1 33,3
46 4
48,9 66,7
94 6
94 6
2,087
(0,365-11,948)
0,687
Kepadatan hunian MS TMS
42 8
73,7 18,6
15 35
26,3 81,4
57 43
57 43
12,250
(4,652-32,258)
0,000
Penggunaan antinyamuk bakar MS 44 TMS 6
52,4 37,5
40 10
47,6 62,5
84 16
84 16
1,833
(0,611-5,502)
0,414
Keberadaan perokok dalam rumah Tidak Ada 24 Ada 26
72,7 38,8
9 41
27,3 61,2
33 67
33 67
4,205
(1,692-10,448)
0,003
Bahan bakar memasak MS 48 TMS 2
53,5 11,1
34 16
41,5 88,9
82 18
82 18
11,294
(2,435-52,379)
0,00
Jenis lantai MS TMS
Keterangan: MS : memenuhi syarat TMS : Tidak memenuhi syarat
22
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
Berdasarkan tabel di atas, terlihat distribusi frekuensi responden berdasarkan variabel jenis
rumah yang memenuhi syarat (95% CI 6,31448,415).
lantai berbeda pada kelompok kasus dan kontrol
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
yaitu tertinggi pada kelompok kontrol dengan
variabel jenis ventilasi rumah tidak berbeda pada
kategori memenuhi syarat sebanyak 46 subjek
kelompok
(68,7%), sedangkan terendah juga pada kelompok
kategori, yaitu tertinggi pada kelompok kontrol
kontrol sebanyak 4 subjek (12,1%). Pada variabel
dengan kategori memenuhi syarat sebanyak 48
ini didapatkan hubungan yang signifikan antara
subjek (51,1%), sedangkan terendah juga pada
jenis lantai dengan kejadian ISPA nonpenumonia
kelompok kontrol kategori tidak memenuhi syarat
pada balita dengan nilai p=0,000 serta besar
sebanyak 2 subjek (33,3%). Tidak ada hubungan
asosiasi OR=15,881 (95% CI 4,949-50,958). Dapat
yang bermakna antara jenis ventilasi rumah dengan
dikatakan bahwa balita dengan jenis lantai rumah
kejadian ISPA nonpenumonia pada balita dengan
yang tidak memenuhi syarat berisiko menderita ISPA
nilai p=0,687. Odds rasio sebesar OR=2,087 (95%
nonpneumonia 15,881 kali lebih besar dibandingkan
CI 6,314-48,415) yang berarti balita dengan jenis
balita dengan jenis lantai rumah yang memenuhi
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko
syarat (95% CI 4,949-50,958). Distribusi frekuensi responden berdasarkan
menderita ISPA nonpneumonia 2,087 kali lebih
kasus
dan
kontrol
masing-masing
kontrol dengan kategori memenuhi syarat sebanyak
besar dibandingkan balita dengan jenis ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
42 subjek (75%), sedangkan terendah juga pada
variabel kepadatan hunian berbeda pada kelompok
kelompok kontrol sebanyak 8 subjek (18,2%). Pada
kasus dan kontrol masing-masing kategori, yaitu
variabel ini didapatkan hubungan yang signifikan
tertinggi pada kelompok kontrol dengan kategori
antara jenis atap rumah dengan kejadian ISPA
memenuhi syarat sebanyak 42 subjek (73,7%),
nonpenumonia pada balita dengan nilai p=0,000
sedangkan terendah juga pada kelompok kontrol
serta besar asosiasi OR=13,500 (95% CI 5,087-
kategori tidak memenuhi syarat sebanyak 8 subjek
35,830). Dapat dikatakan bahwa balita dengan jenis
(18,6%).
atap rumah yang tidak memenuhi syarat berisiko
antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
menderita ISPA nonpneumonia 13,500 kali lebih
nonpenumonia pada balita dengan nilai p=0,000.
besar dibandingkan balita dengan jenis atap rumah
Odds rasio sebesar OR=12,250 (95% CI 4,652-
yang memenuhi syarat (95% CI 5,087-35,830).
32,258) yang berarti balita dengan kepadatan hunian
variabel jenis atap rumah tertinggi pada kelompok
Didapatkan
hubungan
yang
signifikan
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
yang tidak memenuhi syarat berisiko menderita ISPA
variabel jenis dinding rumah berbeda pada kelompok
nonpneumonia 12,250 kali lebih besar dibandingkan balita dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Distribusi frekuensi responden berdasarkan
kasus dan kontrol masing-masing kategori yaitu tertinggi pada kelompok kontrol dengan kategori memenuhi syarat sebanyak 43 subjek (76,8%), sedangkan terendah juga pada kelompok kontrol sebanyak 7 subjek (15,9%). Didapatkan hubungan
variabel
yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan
kontrol dengan kategori memenuhi syarat sebanyak
kejadian ISPA nonpenumonia pada balita dengan
44 subjek (52,4%), sedangkan terendah juga pada
nilai p=0,000, serta besar asosiasi OR=17,484
kelompok kontrol kategori tidak memenuhi syarat
(95% CI 6,314-48,415) sehingga balita dengan
sebanyak 6 subjek (37,5%). Tidak ada hubungan
jenis dinding rumah yang tidak memenuhi syarat
yang signifikan antara penggunaan antinyamuk
berisiko menderita ISPA nonpneumonia 17,484 kali
bakar dengan kejadian ISPA nonpenumonia pada
lebih besar dibandingkan balita dengan jenis dinding
balita dengan nilai p=0,414. Odds rasio sebesar
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
penggunaan
antinyamuk
bakar
tidak
berbeda pada kelompok kasus dan kontrol masingmasing kategori, yaitu tertinggi pada kelompok
23
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
OR=1,833 (95% CI 0,611-5,502) yang berarti
selanjutnya. Penelitiaan ini berbasis Puskesmas,
balita dengan penggunaan antinyamuk bakar yang
sehingga
tidak memenuhi syarat berisiko menderita ISPA
nonpneumonia maupun kontrol didapatkan dari
nonpneumonia 1,833 kali lebih besar dibandingkan
Puskesmas Magersari. Data yang diberikan oleh
balita dengan penggunaan antinyamuk bakar yang
Puskesmas Magersari kurang lengkap, yaitu tidak
memenuhi syarat. Namun, pada variabel ini ada
menyebutkan alamat tinggal jelas keluarga balita
rentang convidence interval melewati null value,
sehingga pencarian kasus maupun kontrol menjadi
hal tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah
susah. Seringkali nama yang tercantum dalam
sampel. Jika sampel diperbesar, kemungkinan
daftar tidak ditemukan ketika dicari. Magersari
rentang CI dapat menyempit dan melewati null value. Distribusi frekuensi responden berdasarkan variabel keberadaan perokok berbeda pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing kategori, yaitu tertinggi pada kelompok kasus dengan kategori ada perokok sebanyak 41 subjek (61,2%), sedangkan terendah juga pada kelompok kasus kategori tidak ada perokok sebanyak 9 subjek (27,3%). Didapatkan hubungan yang signifikan antara keberadaan perokok dengan kejadian ISPA nonpenumonia pada balita dengan nilai p=0,003. Odds rasio sebesar OR=4,205 (95% CI 1,692-10,448) yang berarti balita yang tinggal serumah dengan perokok berisiko menderita ISPA nonpneumonia 4,205 kali lebih besar dibandingkan balita dengan yang tinggal serumah dengan perokok. Distribusi frekuensi responden berdasarkan variabel bahan bakar memasak berbeda pada kelompok kasus dan kontrol masing-masing kategori, yaitu tertinggi pada kelompok kontrol dengan kategori memenuhi syarat sebanyak 48 subjek (53,5%), sedangkan terendah juga pada kelompok
data
sekunder
berupa
kasus
ISPA
adalah pemukiman padat penduduk yang sebagian rumahnya adalah kontrakan, sehingga ada sebagian balita yang telah pindah rumah. Kondisi Magersari yang merupakan pemukiman dengan banyak gang sempit dan sangat padat membuat peneliti sering kesulitan dalam menemukan rumah balita sampel. Desain studi ini adalah case control, sehingga sangat rawan dengan bias informasi karena kasus sudah terjadi satu tahun hingga 7 bulan sebelum pengambilan data dilaksanakan. Bias informasi yang terjadi dalam penelitian ini adalah bias informasi terkait faktor risiko lingkungan fisik rumah. Ada beberapa keluarga balita yang tidak mengizinkan observasi kamar tidur atau pengukuran ukuran rumah sehinggan hanya menggunakan pengetahuan dari ibu atau pengasuh balita tersebut. Penelitian ini hanya melihat fisik rumah dan pencemaran udara dalam ruang sebagai faktor risiko terjadinya ISPA nonpneumonia pada balita, sehingga tidak bisa memunculkan hubungan sebab akibat. Hanya
kontrol kategori tidak memenuhi syarat sebanyak
delapan variabel risiko yang diteliti dalam penelitian ini,
2 subjek (11,1%). Didapatkan hubungan yang
sehingga masih sangat sempit dalam menggambarkan
signifikan antara jenis bahan bakar memasak dengan
faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang
kejadian ISPA nonpenumonia pada balita dengan nilai p=0,000. Odds rasio sebesar OR=11,294 (95% CI 2,435-52,379) yang berarti balita dengan jenis
signifikan antara jenis lantai tempat tinggal balita
bahan bakar memasak yang tidak memenuhi syarat
dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita
berisiko menderita ISPA nonpneumonia 11,294 kali
yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Hal ini
lebih besar dibandingkan balita dengan jenis bahan
sesuai dengan penelitian yang dilaksanakan oleh
bakar memasak yang memenuhi syarat.
Festiani Cahyaningrum Putri9 pada tahun 2010, Ahmad Yuliansyah10 tahun 2002 dan Bambang
PEMBAHASAN Dalam
penelitian
Irianto11 pada tahun 2006. Sementara itu, penelitian ini
terdapat
beberapa
keterbatasan yang bisa diperbaiki dalam penelitian
24
ini tidak sesuai dengan Penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga pada tahun 2012.12
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
Perbedaan ini bisa disebabkan oleh jumlah sampel
balita yang tinggal di rumah dengan atap yang tidak
maupun jumlah balita yang menderita ISPA, baik
memenuhi syarat 13 kali lebih berisiko untuk menderita
dari kelompok dengan lantai yang tidak memenuhi
ISPA nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang
syarat maupun dari kelompok balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Jenis lantai sangat berpengaruh terhadap
tinggal di rumah dengan atap yang memenuhi syarat
kejadian infeksi saluran pernapasan. Nurjazuli dkk.13 syarat mengasilkan banyak debu, yang akhirnya
syarat besarnya hampir sama, yaitu 56% berbanding 44%. Jenis dinding rumah juga menunjukkan
akan dihirup balita dan menyebabkan infeksi saluran
hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA
pernapasan. World Health Organization tahun 2009
nonpneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas
juga menyebutkan bahwa pada lantai yang lembab
Magersari, sama halnya dengan jenis lantai dan
dan kotor, banyak mikroorganisme yang berkembang
atap rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
biak hingga akhirnya terhirup dan menyebabkan
dilaksanakan oleh Festiani Cahyaningrum Putri9 dan
asma, bronkitis atau iritasi pernapasan lainnya.1
Akhmad Yuliansyah.10
menyebutkan bahwa lantai yang tidak memenuhi
kesehatan. Jumlah balita yang tinggal di rumah dengan atap yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi
Penelitian ini sejalan dengan hasil tersebut dengan OR
Hasil penelitian ini, tidak sejalan dengan
sebesar 15, 881 yang artinya adalah bahwa balita yang
pene litian yang dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina
tinggal di rumah dengan lantai yang tidak memenuhi
Sinaga12 dan Bambang Irianto.11 Dalam penelitian
syarat kesehatan, 16 kali lebih berisiko untuk menderita
yang dilaksanakan oleh Agustina Lubis dan Akhmad
ISPA nonpneumonia dibandingkan dengan balita yang
Yulianto, setelah uji multivariat didapatkan bahwa jenis
tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Jenis atap tempat tinggal balita dengan kejadian ISPA nonpneumonia pada balita dalam penelitian
dinding merupakan faktor yang paling mempengaruhi
ini juga menunjukkan hubungan yang bermakna
mendukung atau menyangga atap, menahan angin
secara statistik. Hal ini sesuai dengan penelitian
dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari
yang dilaksanakan oleh Festiani Cahyaningrum
luar, serta menjaga kerahasiaan penghuninya.5
Putri pada tahun 2010.9 Sementara itu, penelitian ini
World Health Organization juga menyebutkan bahwa
tidak sesuai dengan Penelitian yang dilaksanakan
jamur dan bakteri akan tumbuh pada dinding yang
oleh Epi Ria Kristina Sinaga pada tahun 2012 dan
lembab dan kotor. Hal ini yang akan menimbulkan
Agustina Lubis dkk. tahun 1996. Perbedaan ini bisa
alergi atau infeksi jika terhirup oleh manusia.1
disebabkan oleh jumlah sampel maupun jumlah
Perbandingan risiko kejadian ISPA nonpneumonia
balita yang menderita ISPA, baik dari kelompok
antara balita yang tinggal di rumah dengan dinding
dengan lantai yang tidak memenuhi syarat maupun
berfungsi untuk melindungi penghuni rumah dari
yang memenuhi syarat dan balita yang tinggal di rumah yang tidak memenuhi syarat sangat tinggi, yaitu yang tidak memenuhi syarat juga cukup tinggi, yaitu 17 kali. Luas ventilasi dalam penelitian ini adalah luas ventilasi kamar tidur balita karena diestimasikan
panas cahaya matahari maupun hujan. World Health
balita
Organization tahun 2009 menyebutkan bahwa atap
untuk tidur dan beraktivitas adalah di dalam kamar
yang buruk memungkinkan hujan maupun debu masuk
tidur. Luas ventilasi kamar tidur balita menunjukkan
kedalam rumah yang akan mengganggu kesehatan
hubungan yang tidak signifikan dengan kejadian
rumah maupun penghuni rumah.
Hal ini sejalan
ISPA nonpneumonia pada balita di wilayah kerja
dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa
Puskesmas Magersari. Penelitian ini sejalan dengan
12
6
dari kelompok balita yang tinggal di rumah dengan lantai yang memenuhi syarat. Atap merupakan salah satu konstruksi rumah yang penting. Hal ini disebabkan oleh atap yang
1
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
terjadinya ISPA pada balita. Dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk
paling
banyak
menghabiskan
waktunya
25
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
penelitian yang di laksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga.
Penggunaan antinyamuk bakar dalam rumah
Perbedaan hasil penelitian kemungkinan
balita dan kejadian ISPA nonpneumonia menun
disebabkan oleh perbedaan jumlah sampel dalam
jukkan hubungan yang tidak signifikan. Hal ini sejalan
penelitian
dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Epi Ria
12
Rumah yang sehat minimal memiliki luas
Kristina Sinaga12 dan Bambang Irianto.11 Akan tetapi,
ventilasi 10% dari luas lantai rumah. Standar untuk 10% dari luas lantai. Jumlah 10% disini adalah
tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Wattimena.14 Antinyamuk bakar merupakan insektisida
termasuk dengan ventilasi yang tidak permanen
pembasmi nyamuk yang digunakan dengan cara
seperti pintu dan jendela sesuai Kepmenkes Nomor
dibakar. Pembakaran inilah yang menghasilkan
829 Tahun 1999. Peran ventilasi adalah untuk
asap yang dapat mengiritasi saluran pernapasan.
pertukaran udara, yaitu menjaga keseimbangan
Asap dari antinyamuk bakar mengandung partikel
oksigen untuk bernapas para penghui rumah.
debu dan mengandung senyawa kimia beracun
kamar, minimal memiliki ventilasi dengan luas minimal
Secara distribusi, hanya sedikit balita yang
seperi CO dan CO2. Secara frekuensi, hanya sedikit
tidur di kamar dengan ventilasi yang tidak memenuhi
dari responden yang menggunakan antinyamuk bakar
syarat. Hal ini disebabkan karena rumah balita rata-
dalam kesehariannya. Mereka lebih banyak menggu
rata berukuran kecil, sehingga perbandingan lantai
nakan antinyamuk yang berbentuk lotion atau elektrik.
dan luas ventilasinya menjadi besar. Selain itu, banyak
Statistik menunjukkan bahwa balita yang tinggal
pula rumah dan kamar balita yang kondisinya sangat
dirumah pengguna antinyamuk bakar 2 kali lebih
terbuka karena atap dan dinding yang tidak memadai,
berisiko untuk terserang ISPA daripada balita tidak
sehingga memperluas luas lubang angin yang ada.
tinggal di rumah pengguna antinyamuk bakar.
Kepadatan rumah balita dan kejadian ISPA nonpneumonia
menunjukkan
hubungan
Keberadaan perokok dalam rumah balita dan
yang
kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan hubungan
signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
yang signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan
dilaksanakan oleh, Festiani Cahyaningrum Putri9
penelitian yang dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk,
dan Akhmad Yuliansyah.10 Semua referensi menun
Xafier Bonnefoy, Bambang Irianto.11,15,16 Akan tetapi,
jukkan bahwa kepadatan hunian secara statistik
tidak sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan
berhubungan secara bermakna dengan kejadian
oleh Epi Ria Kristina Sinaga.12
ISPA nonpneumonia pada balita.
Asap rokok merupakan pencemar udara
Kepadatan hunian yang berlebihan menye
yang mengandung sekitar 4000 jenis bahan kimia
babkan ruangan terasa pengap dan sesak. Hal
berbahaya. Balita yang tinggal di rumah perokok
ini karena banyaknya orang yang berada dalam
sangat berisiko untuk terserang berbagai gangguan
satu ruangan bernapas dan mengeluarkan karbon
pernapasan yang disebabkan oleh asap rokok.
dioksida, sehingga perbandingan antara oksigen
Terlebih lagi, perokok pasif mempunyai risiko yang
dan karbondioksidanya buruk. Hal itu menyebabkan
lebih besar untuk menderita gangguan akibat rokok
udara terasa pengap dan sesak. Selain itu,
daripada perokok aktif. Rokok juga menduduki
balita sangat rentan terhadap infeksi. Kepadatan
peringkat pertama pada daftar zat yang paling
hunian yang tidak sehat menyebabkan mudahnya
berbahaya pada anak.12 Hal itu sejalan dengan hasil
mikroorganisme menular dari satu orang ke orang
penelitian ini yang menyebutkan bahwa anak yang
lainnya. Secara statistik, balita yang tinggal di rumah
tinggal dengan perokok 4 kali lebih berisiko untuk
dengan kepadatan yang tidak memenuhi syarat
menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita
kesehatan kali lebih berisiko untuk menderita ISPA
yang tidak tinggal serumah dengan perokok.
nonpneumonia dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan yang memenuhi syarat.
26
Penggunaan bahan bakar dengan kejadian ISPA nonpneumonia menunjukkan hubungan yang J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
Ema Fiki Munaya: Faktor Risiko ISPA Nonpneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota Magelang
signifikan secara statistik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Ribka Rerung Layuk,
15
7. Sukidjo N. Metodologi Penelitian Kesehatan. 2010. p. 5-8.
Akhmad Yuliansyah10 dan Festiani Cahya ningrum
8. Putra AA. Analisis sistem informasi geografi
Putri.9 Akan tetapi, tidak sejalan dengan penelitian yang
kepadatan penduduk kota Denpasar dengan
dilaksanakan oleh Epi Ria Kristina Sinaga.12
menggunakan Arc View 3.3. Jurnal Elektronik
Kayu bakar atau arang merupakan pencemar udara yang mengandung partikel, CO2 dan CO. Balita yang tinggal di rumah pengguna kayu bakar atau rang berisiko untuk mengalami iritasi saluran pernapasan yang disebabkan oleh gas-gas tersebut. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian ini yang menyebutkan bahwa anak yang tinggal dirumah pengguna kayu bakar dan arang 11 kali lebih berisiko untuk menderita ISPA nonpneumonia dibandingkan balita yang tidak tinggal dirumah pengguna kayu bakar atau arang.
9. Putri FC. Hubungan kondisi faktor lingkungan dan angka kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Cangkringan Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa
Yogyakarta
pascaerupsi
Gunung Merapi tahun 2010. Skripsi Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta; 2008. 10. Yuliansyah
A.
Hubungan
antara
kondisi
kesehatan lingkungan rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut di Desa Pagar Dewa Kota Bengkulu tahun 2002. Skripsi
KESIMPULAN Kejadian ISPA nonpneumonia secara statistik berhubungan secara signifikan dengan jenis lantai nilai, jenis atap, jenis dinding, kepadatan hunian, keberadaan perokok dalam rumah, dan penggunaan bahan bakar memasak nilai.
1. WHO. Acute Respiratory Infection. [Online]. 2009. [Cited 2012 October 8]. Available from http://www.who.int/vaccine_ research /diseases/ ari/en/index1.html. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan. Jakarta. 2007. p. 103-5. 3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pengen dalian ISPA. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2012. p.1-1. 4. Koch A. Risk factor for Acute Respiratory Tract Infection in Young Greenlandic Children. American Jornal of Epidemiology. 2003. p.374-84. 5. Kaman S. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemu kiman.
Jurnal
Universitas Diponegoro. Semarang; 2002. 11. Irianto B. Hubungan faktor lingkungan rumah dan karakteristik balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon tahun 2006. Tesis Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta; 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Kesehatan
Lingkungan.
2005;2:29-42. 6. Lubis A.
Ilmu Komputer Universitas Udayana.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kejadian penyakit batuk dengan napas cepat pada balita. Buletin Penelitian Kesehatan. 1996;24:2-3.
J Respir Indo Vol. 35 No. 1 Januari 2015
12. Sinaga ERK. Kualitas lingkungan fisik rumah dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Keca matan Tanjung Priok tahun 2011. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta; 2011. 13. Nurjazuli WR. Faktor risiko domi nan kejadian pneumonia pada balita. J Respir Indo. 2009;29:6-7. 14. Wattimena C. Faktor lingkungan rumah yang mempengaruhi kadar PM10 dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah Puskesmas Curug Kabupaten
Tangerang
tahun
2004.
Tesis
Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta; 2004. 15. Layuk R. Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Lembang Batu Sura’. 2011. p.1. 16. Bonnefroy X. Innadequate housing and health: an overview. International Journal of Environment and Pollution. 2007;30:411-5.
27