ARTIKEL FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WEDARIJAKSA II KABUPATEN PATI
Oleh : Danistia 020112a007
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN 2016
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WEDARIJAKSA II KABUPATEN PATI Danistia*) Sigit Ambar Widyawati S.KM, M.Kes.,**) Puji Pranowowati, S.KM, M.Kes**) *Mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo ** Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Ngudi Waluyo ABSTRAK Penyakit ISPA pada balita masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya meningkat. ISPA menyebabkan kematian pada balita serta komplikasi lain seperti otitis media. Faktor penyebab ISPA di bagi menjadi tiga yaitu faktor individu meliputi : status gizi, imunisasi campak, ASI eksklusif. Faktor perilaku meliputi : perilaku merokok. Faktor sosial meliputi : tingkat pendidikan ibu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berkunjung di Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati yang berjumlah 169 balita. Sampel yang diambil sebanyak 63 balita dengan menggunakan tekhnik sampel secara Quota Sampling. Analisis dalam penelitian ini menggunakan uji Chi-Square dan Kolmogorov Smirnov. Hasil penelitian yang menunjukkan ada hubungan dengan kejadian ISPA adalah perilaku merokok di rumah (p =0,002), tingkat pendidikan ibu (p =0,006). Variabel yang menunjukkan tidak ada hubungan adalah status gizi (p=1,000), status imunisasi campak (p=0,251), ASI Eksklusif (p=0,335). Disarankan kepada fasilitas pelayanan kesehatan supaya memberikan penyuluhan tentang status gizi, imunisasi campak, pemberian ASI eksklusif, perlaku merokok di rumah, dan pengetahuan ibu agar perawatan terhadap balita lebih optimal sehingga balita tidak mengalami ISPA. Kata Kunci
: Status gizi, Status imunisasi campak, ASI Eksklusif, Perilaku merokok di rumah, Tingkat pendidikan ibu, ISPA Kepustakaan : 50 (2000 – 2014) ABSTRACT Acute Respiratory Infections in toddlers is still a public health problem because of the prevalence is increasing. Acute Respiratory Infections cause of death in toddlers under five as well as other complications such as otitis media. The factors causing of Acute Respiratory Infections divided into three namely individual factors including nutrition, measles and exclusive breastfeeding. Behavioral factors including the presence of smoking members. Social factor including mother’s education level. This study aims to determine factors related to the incidence of Acute Respiratory Infections in toddlers. The study design used cross sectional approch. The population in this study were all toddlers who visited at Puskesmas Wedarijaksa II working area Pati Regency as many as 169 toddlers. Samples taken as many as 63 toddlers by using quota sampling. The analysis in this study used Chi- Square and Kolmogorov Smirnov. The results show that the correlation between the incidence of Acute Respiratory Infections is smoking behavior at home (p=0,002), mother`s education level (p=0,006). Variables that show don`t correlation is nutritional status (p=1,000), measles immunization (p=0,251), exclusive breastfeeding (p=0,335). Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
It is recomended to health care facilities to provide education on the nutrition status, measles immunization, exclusive breastfeeding, the smoking behavior at home, and mother`s knowledge, to to be more optimal treatment for the toddlers so toddlers do not experience Acute Respiratory Infections. Keywords
: Nutritional status , status of measles immunization , exclusive breastfeeding , smoking behavior at home, mother`s education level, Acute Respiratory Infections. Bibliographies : 50 (2000 – 2014)
PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Infeksi ini disebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Anak di bawah lima tahun adalah kelompok yang memilki sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Hartono dkk, 2012). ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah (WHO, 2012). Penyakit ISPA di Indonesia berada pada 10 daftar penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit tahun 2013 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian balita terbesar di Indonesia dengan persentase 32,10% dari seluruh kematian balita (DepKes, 2013). Penyakit ISPA di Jawa Tengah merupakan masalah kesehatan utama masyarakat. Pada tahun 2013 jumlah angka kejadian ISPA pada balita sebanyak 25,85% kasus. Pada tahun 2014 meningkat dengan jumlah 71.451 (26,11%) kasus (Profil Kesehatan Jawa Tengah, 2014). ISPA akan menyerang host apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun. Balita merupakan kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh
yang masih rentan terhadap berbagai penyakit sekaligus kelompok masa yang dianggap kritis karena terdapat masa keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila ditinjau dari kesehatan keluarga, balita merupakan kelompok yang rentan terhadap masalah infeksi (Proverawati dkk, 2010). Penyakit ISPA merupakan penyebab kematian pada balita. Selain itu akibat dari komplikasi ISPA adalah otitis media yang merupakan penyebab ketulian hingga dewasa, otitis eksterna atau infeksi pada telinga luar yang berasal dari flora telinga, sindrom sesak nafas yang merupakan obstruksi sluran udara bagian atas, epiglotis akut, laring akut, spasmodic laryngitis akut atau penyumbatan laryngeal yang terutama terjadi pada malam hari, bacterial tracheitis (Hartono dkk, 2012). Faktor- faktor terjadinya ISPA secara umum dipengaruhi oleh faktor individu (umur, status gizi, imunisasi yang tidak lengkap, ASI eksklusif) faktor perilaku (kebiasaan merokok, bahan bakar memasak, penggunaan obat nyamuk) faktor lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, ventilasi, kelembaban, letak dapur, jenis lantai, jenis dinding) faktor sosial ekonomi ( pendidikan orang tua, penghasilan orang tua,) (Depkes RI, 2004). Balita mempunyai resiko terserang ISPA. Hal ini dikarenakan pada usia balita imunitas masih belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit (Hartono dkk, 2012). Pada
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
penelitian yang dilakukan oleh Hernil 2006 didapatkan hasil ada hubungan antara karakteristik umur balita dengan kejadian ISPA dimana nilai (p=0,212). Keadaan ini diperparah dengan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan keadaan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Prabu, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Lindway (2010) didapatkan hasil ada hubungan yang signifikan antara keadaan status gizi dengan penyakit ISPA pada balita. Namun penelitian yang dilakukan oleh Kholisah (2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan status gizi balita dengan kejadian ISPA. Penelitian lain yang di lakukan oleh Irianto (2006) didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Program imunisasi diharapkan dapat mencegah balita dari berbagai jenis penyakit Infeksi. Salah satunya yaitu penyakit ISPA. Target cakupan imunisasi dasar lengkap Subdit Imunisasi Ditjen PP & PL Kemenkes RI pada tahun 2013 yaitu 89,3% telah mencapai target dan diharapkan tahun 2014 sebesar 90%. Balita yang telah mendapatkan imunisasi tentunya tidak beresiko untuk terkena ISPA (Hartono dkk, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh Marhamah (2012) didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Pemberian ASI eksklusif juga dapat mencegah balita dari penyakit ISPA. ASI merupakan makanan terbaik utama karena mengandung imunoglobin yang dapat mencegah bayi dari penyakit infeksi dan mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap
kejadian ISPA yaitu pada penelitian Sinaga (2012). Penelitian lain, Khalisoh (2009) didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada balita. Faktor resiko penyebab ISPA yang tidak kalah penting yaitu faktor kebiasaaan perilaku atau gaya hidup. Salah satunya kebiasaan merokok anggota keluarga di rumah dapat menyebabkan resiko balita terserang ISPA. Pada teori H L. Bloom (1974) dikatakan bahwa sehat tidaknya lingkungan dan keluarga tergantung pada perilaku. Perilaku merokok merupakan salah satu gaya hidup yang berpengaruh pada kesehatan manusia (Depkes RI, 2011). Menurut penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mempunyai resiko kesakitan lebih besar dari pada perokok aktif. Rumah yang penghuni/ anggota keluarga mempunyai kebiasaan merokok di rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang didalamnya tidak terdapat anggota keluarga yang merokok. Namun pada penelitian Khalisoh (2009) didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Hernil 2006 didapatkan bahwa penggunaan bahan bakar memasak serta penggunaan obat nyamuk ada hubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan uraian diatas, faktor penyebab ISPA tidak berasal dari faktor individu dan faktor perilaku saja. Faktor lingkungan fisik rumah dapat mempengaruhi faktor terjadinya penyakit ISPA. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lindway (2010), ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan resiko 3,07 kali lebih besar dibandingkan dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2012) ada hubungan kepadatan hunian rumah dan letak dapur dengan
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
kejadian ISPA pada balita. Pada penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2010) didapatkan hasil ada hubungan jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, kelembaban rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Sebagian pencegahan penyakit ISPA pada balita dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Pengetahuan adalah hasil tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan. Ibu dengan latar belakang pendidikan yang rendah cenderung untuk tidak memperhatikan pola asupan, perawatan, serta kesehatan pada anak. Sehingga anak akan mudah terserang penyakit infeksi salah satuya ISPA (Notoadmodjo, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Affandi (2012) didapatkan hasil ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian lain dilakukan oleh Khalisoh (2009) didapatkan hasil tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita, ada hubungan tingkat pendapatan dengan kejadian ISPA pada balita Khalisoh (2009). Angka kejadian ISPA di Puskesmas Wedarijaksa II dari bulan Januari sampai dengan bulan Agustus tahun 2015 sebanyak 243 kasus dan 198 diantaranya adalah balita. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Wedarijaksa II sebanyak 15 responden didapatkan hasil bahwa balita dengan kasus ISPA sebanyak 9 anak (60%). Dari hasil wawancara ibu balita sebanyak 15 responden didapatkan bahwa balita dengan keberadaan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah sebanyak 12 orang (80%), status gizi kurang 6 anak (40%), imunisasi lengkap 14 anak (93%), cakupan ASI ekslusif 9 anak (60%), tingkat pendidikan ibu SD 7
orang (47%), SMP sebanyak 4 orang (27%), SMA sebanyak 4 orang (27%). Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. A. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. B. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi untuk pengembangan dan acuan atau sumber data untuk penelitian berikutnya yang berkaitan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. METODE PENELITIAN Desain dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional.Tekhnik pengambilan sampel menggunakan quota sampling. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
f 32 31 63
(%) 50,8 49,2 100,0
Berdasarkan table 1 dapat diketahui bahwa balita yang berjenis kelamin lakilaki sebanyak 50,8% (32 balita) dan perempuan sebanyak 49,2% (31 balita). Tabel 2 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Status Gizi di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
Status Gizi Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Jumlah
f (%) 18 28,6 39 61,9 6 9,5 63 100,0
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan status gizi didapatkan bahwa balita dengan status gizi baik sebanyak 61,9% (39 balita), balita dengan status gizi kurang sebanyak 28,6% (18 balita), dan balita dengan status gizi lebih sebanyak 9,5% (6 balita). Tabel 3 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Status Imunisasi Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Status Imunisasi Campak Tidak Ya Jumlah
f
(%)
8 55 63
12,7 87,3 100,0
Berdasarkan table 3 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan status imunisasi campak didapatkan bahwa balita yang mendapatkan imunisasi campak sebanyak 87,3% (55 balita) sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak sebanyak 12,7% (8 balita). Tabel 4 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati ASI Eksklusif Tidak Ya Jumlah
f 26 37 63
(%) 41,3 58,7 100,0
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa balita yang mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 58,7% (37 balita) sedangkan balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 41,3% (26 balita).
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Perilaku Merokok Anggota Keluarga di Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Perilaku merokok anggota keluarga di rumah Ya Tidak Jumlah
f
(%)
41 22 63
65,1 34,9 100,0
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa balita yang memiliki anggota keluarga merokok di rumah sebanyak sebanyak 65,1% (41 balita) sedangkan yang tidak memiliki anggota keluarga merokok di rumah sebanyak sebanyak 34,9% (22 balita). Tabel 6 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Ibu Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Tingkat Pendidikan Ibu Rendah Tinggi Jumlah
f
(%) 47 16 63
74,6 25,4 100,0
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa distribusi ibu balita berdasarkan tingkat pendidikan dimana ibu balita dengan pendidikan rendah sebanyak 74,6% (47 balita), sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 25,4% (16 balita). Tabel 7 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Angka Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati Kejadian ISPA ISPA Tidak ISPA
f 43 20
(%) 68,3 31,7
Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa balita yang menderita ISPA
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
sebanyak 68,3% (43 balita) sedangkan balita yang tidak menderita ISPA sebanyak 31,7% (20 balita). Tabel 8 Rekapitulasi Analisis Bivariat FaktorFaktor Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati Variabel Status Gizi dengan Kejadian ISPA Status Imunisasi Campak dengan Kejadian ISPA ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA Perilaku Merokok dengan Kejadian ISPA Tingkat Pendidikan Ibu dengan Kejadian ISPA
p 1,000 0,251 0,335 0,002 0,006
Berdasarkan tabel 8 hasil analisis uji statistik variabel status gizi dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p sebesar 1,000 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati, variabel status imunisasi campak dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p sebesar 0,251 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara status imunisasi campak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati, variabel ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA diperoleh p sebesar 0,335 (p>0,05) berarti tidak ada hubungan antara ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati, variabel perilaku merokok dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p sebesar 0,002 (p<0,05) berarti ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga di rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati, variabel tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA diperoleh nilai p sebesar 0,006 (p<0,05)
berarti ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 2 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan status gizi didapatkan balita status gizi baik sebanyak 61,9% (39 balita), balita dengan status gizi kurang sebanyak 28,6% (18 balita), dan balita dengan status gizi lebih sebanyak 9,5% (6 balita). Gizi merupakan proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara langsung melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ–organ serta menghasilkan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh (Hardiana, 2014). Status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan, persepsi individu, kebiasaan atau pantangan, kesukaan jenis makanan tertentu, jarak kelahiran yang terlalu rapat, sosial ekonomi, penyakit infeksi (Proverawati, 2010 ). Balita dengan gizi baik menempati persentase terbanyak yaitu 39 balita (61,9%). Balita dengan status gizi baik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor nutrisi. Balita yang mendapatkan asupan gizi seimbang baik kualitas maupun kuantitasnya meliputi air, karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, akan memperoleh energi yang cukup untuk pertumbuhan yang akan mempengaruhi peningkatan pada berat badannya secara normal. Namun sebaliknya apabila balita mendapatkan asupan yang tidak simbang maka akan
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
mengakibatkan balita mengalami malnutrisi atau kelainan nutrisi dalam hal ini adalah gizi kurang maupun gizi lebih. Hal ini sejalan dengan penelitian Merdawati dkk (2012) yang mengatakan bahwa balita yang mempunyai gizi baik dipengaruhi oleh asupan makanan yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada table 3 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan status imunisasi campak didapatkan bahwa balita yang sudah mendapatkan imunisasi campak sebanyak 87,3% (55 balita) sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak sebanyak 12,7% (8 balita). Imunisasi campak diberikan pada usia 9 bulan agar anak memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi. Imunisasi campak menjadi indikator perlindungan terhadap penyakit ISPA. Penyakit ISPA pada balita merupakan salah satu tanda dan gejala dari penyakit campak disebabkan virus yang masuk melalui saluran pernafasan ke dalam selsel dan berkembang biak di dalam. (Proverawati dkk, 2010). Balita yang mendapatkan imunisasi campak sebanyak 55 balita (87,3%). Pemberian imunisasi campak dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pengetahuan ibu. Pengetahuan yang baik akan mempunyai pengaruh yang baik pula terhadap perilaku ibu dalam pemberian imunisasi pada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarimin dkk (2014) yang menunjukkan pemberian imunisasi pada anak dipengaruhi oleh pengetahuan ibu. Kegiatan Posyandu di Wilayah Wedarijaksa rutin dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah di programkan. Selain itu kader posyandu sangat aktif dalam menjalankan program imunisasi pada balita. Pemantauan KMS di strukturkan dengan baik agar tidak terjadi kehilangan sehingga tenaga kesehatan dapat memantau perkembangan balita khususnya
mengenai imunisasi. Penyuluhan tentang pentingnya imunisasi telah di lakukan dengan baik oleh para kader setiap bulan sehingga pengetahuan tentang pentingnya imunisasi dapat direalisasikan dengan baik. Namun terdapat beberapa balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak. Hal ini dikarenakan kesibukan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik. Selain itu, terdapat beberapa keyakinan bahwa balita tidak perlu diberikan imunisasi dikarenakan balita sudah memiliki kekebalan dari lahir, jadi tidak perlu diberikan vaksin, karena vaksin sendiri dianggap suatu bibit penyakit yang dilemahkan kemudian dimasukkan didalam tubuh. Jadi ibu balita beranggapan bahwa pada saat bayi lahir mereka sudah sehat. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 4 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan pemberian ASI Eksklusif menunjukkan bahwa balita yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 58,7% (37 balita), sedangkan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif sebanyak 41,3% (26 balita). ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, merupakan makanan alamiah yang sempurna, mudah dicerna, mengandung zat gizi yang sesuai kebutuhan untuk pertumbuhan, kekebalan, serta meningkatkan kecerdasan. Kolostrum mengandung banyak antibodi untuk melindungi bayi dari penyakit infeksi termasuk ISPA pada balita (Hartono dkk, 2012). Sebagian besar responden memiliki perilaku yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif yaitu sebanyak (58,7%). Pemberian ASI Eksklusif dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah pengetahuan yang dimiliki oleh ibu. Pengetahuan berpengaruh pada perilaku yang dimiliki seseorang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fernando (2013) yang mengungkapakan bahwa pemberian ASI Eksklusif
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki ibu. Sebanyak 26 balita (41,3%) tidak mendapatkan ASI Eksklusif. Selain tingkat pengetahuan yang dimiliki seorang ibu, faktor lain seperti dukungan keluarga, kondisi psikologis ibu, kelainan yang dimiliki ibu, menjadi faktor resiko tentang perilaku pemberian ASI Eksklusif kepada bayi. Pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif di rasa masih kurang. Bayi usia 0-6 bulan sudah diberikan makanan tambahan seperti pisang dan biskuit. Dari 63 balita 26 balita tidak mendapatkan ASI secara eksklusif. Pentingnya pemberian ASI Eksklusif sebaiknya lebih ditingkatkan di masyarakat karena sebagian besar ibu balita memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 5 dapat diketahui bahwa distribusi balita berdasarkan perilaku merokok anggota keluarga di rumah menunjukkan bahwa balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah sebanyak 65,1% (41 balita), sedangkan balita yang tidak memiliki anggota keluarga merokok di rumah sebanyak 34,9% (22 balita). Kebiasaan merokok dapat menyebabkan saluran pernafasan mengalami iritasi akibat asap rokok yang dihirup secara aktif maupun pasif. Asap rokok mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko kesakitan. Balita dengan anggota keluarga perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan balita yang bukan keluarga perokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasif lah yang mengalami risiko lebih besar daripada perokok aktif. Perilaku merokok anggota keluarga di rumah disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah kesadaran yang dimiliki oleh seseorang. Sebagian besar perokok adalah ayah dimana ayah
balita masih merokok di dekat balita. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan keluarga mengenai bahaya merokok belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Sebagian besar belum mempunyai kesadaran bahwa perokok pasif terkena dampak dari asap yang dikeluarkan dari rokok. Penyuluhan tentang bahaya merokok sebaiknya sering di lakukan karena hampir semua rumah memilki anggota keluarga yang merokok. Jika ingin merokok sebaiknya tidak merokok di dalam rumah karena dapat menyebabkan balita terpapar asap rokok. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana disajikan pada tabel 6 dapat diketahui distribusi tingkat pendidikan ibu balita menunjukkan bahwa balita yang menderita ISPA dengan kategori tingkat pendidikan ibu rendah sebanyak (74,6%) 47 balita, sedangkan kategori tingkat pendidikan ibu tinggi sebanyak dengan presentase (25,4%) 16 balita. Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi yang baik untuk anak. ISPA pada anak di pengaruhi oleh dukungan keluarga dan rumah asuh, dalam hal ini adalah ibu karena ibu sering bersama dengan anak. Selain itu, peran pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang, lingkungan , pelayanan kesehatan, serta hereditas (Hartono dkk, 2012). Sebagian besar ibu balita berpendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Dasar. Ibu balita yang berpendidikan SMP tidak melanjutkan ke pendidikan SMA dikarenakan sudah menjadi kebiasaan di masyarakat bahwa anak perempuan yang lulus SMP harus bekerja, kemudian menikah. Begitu juga dengan yang lulus SD. Selain itu, alasan biaya juga menjadi kendala bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan. Sosialisasi
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
terhadap pentingnya pendidikan seharusnya lebih digalakkan untuk meningkatkan pendidikan para ibu balita mengingat sangat pentingnya pendidikan terhadap peran terhadap perawatan anak. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana ditunjukkan pada tabel 8 bahwa Kejadian ISPA pada balita dengan status gizi lebih sebanyak 83,3% (5 balita) lebih tinggi dibandingkan balita dengan status gizi kurang yaitu sebanyak 72,2% (13 balita) dan balita dengan status gizi baik yaitu sebanyak 64,1% (25 balita). Berdasarkan hasil uji statistik Kolmogorov Smirnov diperoleh nilai p sebesar 1,000 ( p ≥ 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita. Zat gizi yang berasal dari makanan yang di konsumsi setiap hari harus dapat memenuhi kebutuhan tubuh, karena konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi sesorang. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh asupan zat gizi yang cukup sehingga dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, produktifitas kerja serta daya tahan tubuh terhadap infeksi (Moehji, 2003). Kejadian ISPA tidak ada hubungannya dengan status gizi karena ketahanan tubuh setiap orang berbedabeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian ISPA lebih banyak dari balita yang mempunyai gizi lebih. Namun angka kejadian ISPA pada balita dengan gizi kurang dan gizi baik tidak jauh berbeda dengan angka kejadian ISPA pada balita dengan gizi lebih. Balita secara gizi sudah tercukupi dengan baik, tetapi ketahanan setiap tubuh berbeda. Hasil penelitian didapatkan bahwa balita dengan gizi baik proporsinya lebih sedikit terserang ISPA. Namun balita dengan keadaan gizi kurang dan dengan gizi lebih tetap beresiko terserang ISPA. Perbedaan ISPA
yang dialami oleh balita dengan status gizi kurang, baik, dan lebih terletak pada frekuensi dan tingkat keparahan pada penyakit ISPA yang diderita. Gizi merupakan faktor protektif terhadap pencegahan penyakit infeksi, namun kembali lagi pada faktor pendukung yang ada disekitar tempat balita misalnya keadaan lingkungan fisik, ada atau tidaknya ventilasi, kualitas udara yang didapatkan oleh balita serta perawatan terhadap balita apakah sudah sinergis antara satu dengan yang lain. Apabila faktor resiko ISPA dapat di minimalisir dengan baik maka faktor resiko balita terserang ISPA dapat di cegah. Hasil penelitian Irianto (2006) didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Gizi merupakan proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara langsung melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ–organ serta menghasilkan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh (Hardiana, 2014). Berdasarkan hasil penelitian dimana disajikan pada tabel 8 kejadian ISPA pada balita yang mendapatkan imunisasi campak sebanyak 70,9% (39 balita) lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan imunisasi campak yaitu sebanyak 50,0% (4 balita). Berdasarkan hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p sebesar 0,251 (p ≥ 0,05) maka Ho diterima dan Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status pemberian imunisasi campak dengan kejadian ISPA. Kejadian ISPA tidak ada hubungannya dengan status pemberian imunisasi campak. Balita yang sudah pernah diberikan imunisasi campak dapat beresiko terhadap ISPA. Hal ini berkaitan
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
dengan daya efektivitas imunisasi terhadap kekebalan tubuh. Balita yang telah mendapatkan imunisasi bersiko untuk terkena penyakit infeksi namun tingkat keparahan dan frekuensinya berbeda dibandingkan dengan balita yang tidak mendapatkan imunisasi. Selain itu vaksin yang diberikan pada saat imunisasi apakah terjaga dengan baik pada saat proses penyimpanan. Balita sudah diberikan imunisasi campak namun adanya faktor lain seperti perilaku merokok anggota keluarga dapat menjadi faktor resiko karena kandungan dari asap rokok yang dihasilkan mengandung bahan toksik yang menyebabkan infeksi pada saluran nafas. Selain itu, tingkat pendapatan yang didapatkan dari keluarga secara tidak langsung akan mempengaruhi pola hidup. Keluarga dengan tingkat pendapatan yang minim tentu akan mencukupi kebutuhan makanan seadanya sehingga berpengaruh terhadap gizi terhadap balita yang kemudian menjadi faktor resiko langsung penyebab penyakit infeksi salah satunya ISPA. Hasil penelitian Hernil (2006) mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Imunisasi campak diberikan pada usia 9 bulan agar anak memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi. Imunisasi campak menjadi indikator perlindungan terhadap penyakit ISPA. Penyakit ISPA pada balita merupakan salah satu tanda dan gejala dari penyakit campak disebabkan virus yang masuk melalui saluran pernafasan ke dalam selsel dan berkembang biak di dalam. (Proverawati dkk, 2010). Berdasarkan hasil penelitian dimana disajikan pada tabel 8 bahwa kejadian ISPA pada balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sebanyak 76,9% (20 balita) lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif yaitu sebanyak 62,2% (23 balita). Berdasarkan
hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p sebesar 0,335 (p ≥ 0,05) maka Ho diterima Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Pemberian ASI eksklusif berpengaruh terhadap daya tahan tubuh balita terhadap berbagai macam penyakit. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan bayi hingga lanjut usia serta mengandung zat antibodi yang dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit (Hartono dkk, 2012). ASI Eksklusif tidak ada hubungannya dengan kejadian ISPA. Balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif lebih banyak yang terserang ISPA dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif. ASI berperan terhadap daya protektif untuk pencegahan penyakit infeksi pada bayi. Namun dengan bertambahnya usia daya efektifitas daya protektif ASI semakin berkurang. Adanya faktor resiko lain seperti lingkungan luar yang kurang sehat akan menyebabkan balita terpapar sehingga balita terserang ISPA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mendapatkan ASI Eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif terserang ISPA, tetapi frekuensi ISPA dan tingkat keparahan tentunya akan berbeda. Produksi ASI ibu pada saat menyusui haruslah berkualitas agar ASI yang dihasilkan juga berkualitas. Ibu menyusui dengan keadaan stress tentu akan berbeda dengan ibu yang menyusui dengan keadaan yang stabil. Begitu juga dengan asupan makanan yang dikonsumsi oleh ibu tentu akan mempengaruhi kualitas ASI yang diberikan terhadap bayi. Kualitas ASI yang diberikan akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh yang didapatkan oleh bayi sampai dengan usia dewasa. Faktor lain seperti umur,
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
lingkungan fisik, sosial ekonomi menjadikan faktor resiko lain penyebab ISPA. Hasil penelitian Kholisoh (2009) menunjukkan bahwa pemberian ASI Eksklusif tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita. Berdasarkan hasil penelitian dimana disajikan pada tabel 8 bahwa kejadian ISPA pada balita yang memiliki anggota keluarga merokok di rumah sebanyak 82,9% (34 balita) lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak memiliki anggota keluarga merokok di rumah yaitu sebanyak 40,9% (9 balita). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p sebesar 0,002 ( p ≤ 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok di rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Fungsi paru adalah untuk bernafas yaitu dengan memasukkan udara bersih dan mengeluarkan udara kotor dari dalam tubuh. Bahan kimia yang berasal dari asap rokok merangsang permukaan sel saluran pernafasan sehingga mengakibatkan keluarnya lendir atau dahak. Mirip dengan rangsangan debu, virus atau bakteri pada saat terjadi flu. Dahak yang ditimbulkan karena virus flu akan didorong keluar oleh bulu getar disepanjang saluran nafas dengan menstimulasi refleks batuk. Lendir yang lama tertahan didalam saluran nafas, dapat menjadi tempat berkembangnya bakteri yang menyebabkan pneumonia. Asap rokok dapat mengganggu saluran pernafasan termasuk ISPA terutama pada kelompok usia balita yang memiliki daya tahan tubuh masih lemah. Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang akan menambah resiko kesakitan bahan toksisk pada balita. paparan yang terus menerus akan menimbulkan gangguan pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa (Syahriyanti, 2010).
Hasil penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak – anak yang di dalam anggota keluarganya terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan anak – anak yang bukan keluarga perokok. Hasil wawancara didapatkan bahwa dari 63 balita, yang di dalam anggota keluarganya memiliki kebiasaan merokok di rumah sebesar 41 balita. Perokok dari masing-masing anggota keluarga rata-rata adalah ayah dan kakek. Pengetahuan tentang bahaya merokok pada balita di rasa masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari perilaku merokok orang tua yang secara sadar di dekat balita. Penyuluhan tentang bahaya merokok sebaiknya rutin dilakukan karena hampir semua ayah balita adalah perokok. Jika pun harus merokok sebaiknya, tidak merokok di rumah karena dapat menyebabkan balita terpapar asap rokok. Berdasarkan hasil penelitian dimana disajikan pada tabel 8 bahwa kejadian ISPA pada balita dengan kategori tingkat pendidikan ibu yang rendah sebanyak 78,7% (37 balita) lebih tinggi dibandingkan dengan balita dengan kategori tingkat pendidikan ibu tinggi yaitu sebanyak 37,5% (6 balita). Berdasarkan hasil uji statistik chi-squre didapatkan nilai p sebesar 0,006 ( p ≤ 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai kesehatan anak. ISPA pada anak di pengaruhi oleh dukungan keluarga dan rumah asuh, dalam hal ini adalah ibu karena ibu yang sering bersama dengan anak. Selain itu, peran pendidikan juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang, lingkungan , pelayanan kesehatan, serta hereditas (Hartono dkk, 2012).
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa balita dengan tingkat pendidikan ibu rendah lebih banyak terserang ISPA dibandingkan dengan balita dengan tingkat pendidikan ibu tinggi. Hal ini berkaitan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu balita mempengaruhi informasi yang diterima tentang bagaimana perawatan anak supaya tetap sehat dan terhindar dari penyakit ISPA. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah tentunya akan berbeda bagaimana merawat anak yang baik dibandingkan dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Dalam hal ini adalah mengenai perawatan terhadap anak seperti asupan yang diberikan kepada anak balita, pemberian imunisasi sebagai daya tahan tubuh, pemberian ASI secara eksklusif serta tidak adanya polusi yang didapatkan dari tempat tinggal balita yaitu keberadaan anggota keluarga yang merokok di rumah. Apabila semua itu sudah dilakukan dengan baik maka resiko balita untuk terserang ISPA dapat diminimalisir. Kegiatan posyandu sebaiknya disertai dengan penyuluhan terhadap ibu balita agar pengetahuan tentang bagaimana perawatan ISPA meningkat. Dengan pelayanan kesehatan yang baik drajat kesehatan masyarakat akan meningkat dan penyakit infeksi yang ada dapat dikurangi salah satunya ISPA. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Sebagian besar balita dengan status gizi baik sebanyak (61,9%) 2. Sebagian besar balita yang mendapatkan imunisasi campak sebanyak (87,3%) 3. Sebagian besar balita yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak (58,7%) 4. Sebagian besar balita yang memiliki anggota keluarga merokok di rumah sebanyak (65,1%)
5. Sebagian besar balita dengan kategori tingkat pendidikan ibu yang rendah (74,6%) 6. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita (p= 1,000) di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. 7. Tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi campak dengan kejadian ISPA (p=0,251) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. 8. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,335) di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. 9. Ada hubungan yang bermakna antara perilaku merokok anggota keluarga di rumah dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,002) di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. 10. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,006) di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati. B. Saran Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan lebih lanjut penelitian ini, yaitu dengan mengukur frekuensi ISPA pada balita sehingga dapat menganalisis lebih jauh keterkaitan status gizi, imunisasi campak, ASI Eksklusif, perilaku merokok anggota keluarga di rumah, tingkat pendidikan ibu dengan kejadian ISPA. Serta dapat mengembangkan penelitian lebih lanjut pada faktor lain yang mempengaruhi ISPA seperti umur,
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
jenis kelamin, keadaan lingkungan fisik, keadaan sosial ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Ade Irwan. 2012. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada anak Balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Skripsi. FKM UI. Depok. Citra, Putri. 2012. Hubungan Lingkungan dalam Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balitadi Wilayah Puskesmas Atang Jungkat Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tahun 2012. Skripsi. FKM UI. Depok. Depkes RI. 2004. Jakarta: Depkes RI (Online) http://www.ppid.depkes.go.id/index. php?option=com_docman&task=d c_downloa&gid=53&Itemid=87Di akses 4 Oktober 2015. Depkes RI. 2011. Kualitas Udara dalam Rumah Terhadap ISPA pada Balita. Jakarta: Direktoral Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI. 2013. Jakarta: Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Dewi, C. 2012. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dan Perilaku Orang Tua Dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. UNDIP, Semarang. Volume 1, nomor 2, tahun 2012, halaman 904 – 910. (online).http:ejurnals/undip.ac.id/in dex.php/jkm. Diakses 20 Oktober 2015. Fernando, Muhammad P. 2013.FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pemberian ASI Eksklusif Pada Ibu Yang Memiliki Bayi Usia 0-12 Bulan di Rumah Sakit Syarif Hidayatulloh Jakarta.
Hardiana HS, Dr. Pemanfaatan Gizi dan Obesitas. Tahun 2014. Yogjakarta: Nuha Medika. Hartono, R dkk. ISPA Gangguan Pernafasan Pada Anak. Tahun 2012. Yogjakarta: Nuha Medika. Hernil, Rina. 2006. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Jagalampeni Kabupaten Brebis Tahun 2006. Irianto, Bambang. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana FKM UI Depok. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014 Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Hal 1. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyuluhan Lingkungan : Jakarta (Online) http://pppl.depkes.go.id/asset/down load/FINAL-DESIGNPEDOMAN- PENGENDALIANISPA.pdf Diakses 20 November 2015. Lindway, 2010. Hubungan Faktor Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita (Penelitian di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan tahun 2009- 2010). Tesis FKM UI. Depok. Marhamah, A. 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Bontangan Kabupaten Enrekang. Jurnal: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar. Merdawati, Leni dkk. 2012. Perilaku Ibu Terhadap Kartu Menuju Sehat Balita Dan Hubungannya Dengan
Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati
Status Gizi Balita di Kecamatan Padang Timur Padang. Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi Dan Penanggulangan Gizi Baik. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Oktaviani, D, fajar. 2010. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku Keluarga Terhadap Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cambai Kota Prabumulih Tahun 2010. Jurnal Pembangunan Manusia. Volume 4, nomor 12,Universitas.Sriwijaya.hal.15.http :balitabangnovdasumsel.com/data/d ownload/20140128150303/pdf. 21 oktober 2015. Proverawati, Atikah dkk. Imunisasi dan Vaksinasi. Tahun 2010. Yogjakarta : Nuha Medika. Profil Kesehatan Jawa Tengah. 2014. Profil Kesehatan Jawa Tengah: Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Sarimin dkk, 2014. Analisis FaktorFaktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Ibu Dalam Pemberian Imunisasi Dasar Pada Balita Di Desa Taraitak Satu Kecamatan Langowan Utara Wilayah Kerja Puskesmas Walantakan. Universitas Sam Ratulangi Manado. Sinaga, Epi Ria Kristina. 2012. Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara 2011. Skripsi FKM UI Depok. Syahriyanti, E. 2010. Stop Merokok. Yogyakarta : Dara Ilmu WHO. 2008. Pencegahan dan Penanggulangan ISPA di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Diakses : 23 November 2015 Faktor - Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wedarijaksa II Kabupaten Pati