STUDI JARINGAN KOMUNIKASI DALAM PENERAPAN HIGIEN DAN SANITASI PEMERAHAN PADA KELOMPOK PETERNAK SAPI PERAH (Kasus di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang)
SYAHIRUL ALIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Studi Jaringan Komunikasi dalam Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan pada Kelompok Peternak Sapi Perah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013 Syahirul Alim NRP. I352100041
RINGKASAN SYAHIRUL ALIM. Studi Jaringan Komunikasi dalam Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan pada Kelompok Peternak Sapi Perah (Kasus di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang). Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan BASITA GINTING SUGIHEN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi perah adalah untuk menghasilkan susu yang berkualitas yaitu susu yang bergizi tinggi dan bebas dari segala residu serta memenuhi standar bakteri yang ditetapkan. Salah satu usaha untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan higien dan sanitasi pada saat proses pemerahan dengan baik dan benar. Peningkatan kualitas dan komposisi susu yang dihasilkan melalui penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada kelompokkelompok peternak sapi perah memerlukan adanya informasi yang mengurangi ketidakpastian dan membangun struktur jaringan komunikasi diantara sesama peternak sapi perah. Informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan yang mencukupi dan terpercaya harus disebarkan secara merata kepada semua anggota kelompok. Penelitian jaringan komunikasi dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan di kelompok peternak sapi perah ini mengacu pada konsep model komunikasi konvergen yang mengartikan komunikasi sebagai proses dimana para pelaku komunikasi saling mencipta dan membagi informasi. Aspek kajian jaringan komunikasi dalam penelitian ini mencakup peranan individu terdiri dari bintang, jembatan, penghubung dan pencilan dalam sistem sosial serta indikator jaringan komunikasi yang terdiri sentralitas lokal, sentralitas global dan kebersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk pada kelompok peternak sapi perah, (2) mengetahui hubungan antara karakteristik peternak dan karakteristik usaha ternak sapi perah terhadap jaringan komunikasi (3). mengetahui hubungan antara karakteristik peternak dan karakteristik usaha ternak sapi perah terhadap penerapan higien dan sanitasi pemerahan dan (4) mengetahui hubungan jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif dan korelasional dengan unit analisis individu peternak sapi perah. Responden dalam penelitian ini berjumlah 87 orang peternak sapi perah yang ditentukan berdasarkan metode sampling intact system (sensus). Lokasi penelitian ditentukan secara purposif yaitu di Desa Haurngombong dan Mekar Bakti, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September hingga Nopember 2012. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sosiometri dan analisis korelasi Rank Spearman. Untuk analisis indikator jaringan komunikasi digunakan program UCINET VI . Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) Jaringan komunikasi yang terbentuk dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan di kelompok peternak Harapan Jaya merupakan jaringan individu menyebar (radial individual network) sedangkan jaringan komunikasi yang terbetuk di kelompok peternak Mekar Sari
adalah merupakan jaringan individu yang memusat (interlocking individual network), 2) terdapat hubungan yang sangat nyata antara tingkat pengalaman beternak, pengalaman berkelompok, pengalaman berkoperasi, tingkat kosmopolitan dan jumlah kepemilikan ternak dengan sentralitas lokal dan sentralitas global, 3) terdapat hubungan yang sangat nyata antara tingkat pengalaman beternak, pengalaman berkelompok, pengalaman berkoperasi, tingkat kosmopolitan dan jumlah kepemilikan ternak dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan, 4) terdapat hubungan yang sangat nyata antara sentralitas lokal dan sentralitas global dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Kata kunci : jaringan komunikasi, peternak sapi perah, penerapan higien dan sanitasi pemerahan
SUMMARY SYAHIRUL ALIM. 2013. Study of Communication Network in the Implementation of Milking Hygiene and Sanitation in Dairy Farmers’ Group (Case in Subdistrict of Pamulihan, District of Sumedang) Advisory Commitee of PUDJI MULJONO and BASITA GINTING SUGIHEN
The main goal of dairy farming is to produce a high quality of milk which free from any residue and meet the minimum bacteria standard. One of the efforts to achieve it by doing milking hygiene and sanitation correctly. Dairy farmers need trusted and reliable information about milking hygiene and sanitation to increase the quality of milk. They established a communication network among them to meet their demand of milking hygiene and sanitation information. The research of Communication Network in the Implementation of Milking Hygiene and Sanitation in Dairy Farmers’ Group refered to the convergen communication model which defined communication as process of sharing dan creating information between communicant. The study area of communication network include the individual roles in communication network such as star, bridge, liason, cosmopolite and isolate in their group and communication network variables such as local centrality, global centrality and betweeness. The objectives of this research were: (1) to describe communication network among dairy farmers (2) to analyze the relationship between individual characteristics and dairy farming characteristics to the communication network (3) to analyze the relationship between individual characteristics and dairy farming characteristics to the implementation of milking hygiene and sanitation (4) to analyze the relationship between communication network and the implementation of milking hygiene and sanitation. The research was designed as a correlational and descriptive which used dairy farmers as unit of analysis. The research has been carried out from August to November 2012 at Desa Haurngombong and Mekar Bakti, Subway Pamulihan, Sumedang District which determined by purposive. There are 87 dairy farmers taken as sample by using sampling intact system. Data was analyzed by UCINET VI to calculate the communication network variabels index and Rank Spearman Correlation was applied to analyze the relationship among variables. The result of this research showed that : (1) communication network about milking hygiene and sanitation in Harapan Jaya farmer’s group was radial individual network but communication network with the same theme in Mekar Sari farmer’s group was interlocking individual network, (2) there was a significant relationship between farmers’ experience level, group involvement, cooperation involvement, cosmopolitant and dairy ownership to the local and global centrality, (3) There was also a significant correlation between
cosmopolitant and dairy ownership with the implementation of milking hygiene and sanitation (4) there was a significant relationship between local centrality, global centrality and the implementation of milking hygiene and sanitation.
Keywords : communication network, dairy farmers, implementation of milking hygiene and sanitation
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STUDI JARINGAN KOMUNIKASI DALAM PENERAPAN HIGIEN DAN SANITASI PEMERAHAN PADA KELOMPOK PETERNAK SAPI PERAH (Kasus di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang)
SYAHIRUL ALIM
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi : Dr. Cahyono Tri Wibowo, MM
Judul Tesis
:
Nama
:
Studi Jaringan Komunikasi dalam Penerapan Higien Sanitasi Pemerahan pada Kelompok Peternak Sapi Perah (Kasus di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang) Syahirul Alim
NIM
:
I352100041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Pudji Muljono, MSi Ketua
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Anggota
Diketahui oleh
Koordinator Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS
Tanggal Ujian : 24 Juni 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
dan
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan karena atas rahmat dan karunia-Nya karya ilmiah berjudul Studi Jaringan Komunikasi dalam Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Pada Kelompok Peternak Sapi Perah (Kasus di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang) dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: Dr. Ir. Pudji Muljono, MS selaku ketua komisi pembimbing, serta Dr. Ir. Basita Ginting, MA selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Kepada Dr. Cahyono Tri Wibowo, MM selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku Ketua Mayor KMP, penulis mengucapkan terima kasih atas arahan dan masukan guna perbaikan tesis ini. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Peternakan Unpad dan Kepala Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S2 dan memberi kesempatan kepada penulis untuk berkarya dan mengabdikan diri sebagai staf pengajar. Kepada pimpinan dan teman sejawat di jurusan dan fakultas yang telah memberikan bantuan dan motivasi khususnya Dr. Munandar, Dr. Unang, Pak BB, Sugeng W, Nugraha S, Dr. Lilis, Dr. Marina, Siti Homzah, MS dan Ali, SPt, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada Pak Mamat (Ketua Kelompok Harapan Jaya) dan Pak Memen (Pengurus Kelompok Mekar Sari) beserta para anggotanya yang menjadi subyek penelitian, penulis mengucapkan terima kasih atas berbagai kemudahan dan bantuan yang diberikan selama penelitian. Kepada teman-teman KMP 2010, Teman kosan, terima kasih atas motivasi yang berikan pada penulis. Ungkapan terima kasih dan cinta yang sebesar-besarnya disampaikan kepada seluruh keluarga; terutama istri tercinta Rika Nuraida F, SSi dan buah hati penyejuk mata, Najmi A. Husna dan Muh. A. Fadhilah atas segala do’a, cinta, kasih sayang, kesabaran, pengertian dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan untuk Emih dan (alm) Apa tercinta atas segala cinta, kasih sayang, bimbingan dan teladan yang diberikan. Untuk Apa yang tak sempat melihat cita-cita ini terwujud, penulis berdoa Semoga Allah yang Maha Asih mengampuni segala dosa dan khilaf Apa, menerima Iman & Islam Apa serta memberikan Apa tempat yang teramat nyaman di sisi-Nya (Allahumagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anh) Aamiin ya Allah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Bogor, Juni 2013 Syahirul Alim
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Penelitian 1 Rumusan Masalah Penelitian 4 Tujuan Penelitian 4 Kegunaan Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 7 Komunikasi 7 Jaringan Komunikasi 7 Analisis Jaringan Komunikasi 8 Higien dan Sanitasi Pemerahan 11 Karakteristik Peternak 13 Usaha Ternak Sapi Perah 14 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 17 Kerangka Pemikiran 17 Hipotesis 18 METODE PENELITIAN 19 Desain Penelitian 19 Lokasi dan Waktu Penelitian 19 Populasi Penelitian 19 Definisi Operasional 20 Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi 24 Pengolahan dan Analisis Data 26 HASIL DAN PEMBAHASAN 29 Keadaan Umum Daerah Penelitian 29 Keadaan Geografi dan Topografi 29 Keadaan Sosial dan Ekonomi Penduduk 30 Keadaan Peternakan Sapi Perah 31 Karakteristik Peternak Sapi Perah 32 Usia 32 Tingkat Pendidikan 33 Pengalaman Beternak 34 Pengalaman Berkelompok 35 Pengalaman Berkoperasi 36 Tingkat Kosmopolitan 37 Karakteristik Usahaternak Sapi Perah 37 38 Jumlah Kepemilikan ternak . Produksi Susu 38 38 Harga Jual Susu Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan 40 Analisis Jaringan Komunikasi Higien dan Sanitasi Pemerahan 44 Jaringan Komunikasi di Kelompok Harapan Jaya........................ 45
Jaringan Komunikasi di Kelompok Mekar Sari........................... 48 Analisis Jaringan Komunikasi Tingkat Individu.................................... .51 Sentralitas Lokal............................................................................51 Sentralitas Global...........................................................................53 Kebersamaan................................................................................. 54 Hubungan Karakteristik Individu dengan Jaringan Komunikasi............................................................................ 56 Sentralitas Lokal............................................................................56 Sentralitas Global...........................................................................58 Kebersamaan ................................................................................ 59 Hubungan Karakteristik Usahaternak dengan Jaringan Komunikasi............................................................................. 61 Hubungan Karakteristik Individu dengan Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan 61 Hubungan Karakteristik Usahaternak dengan Penerapan Higien 62 dan Sanitasi Pemerahan Hubungan Jaringan Komunikasi dengan Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan 63 SIMPULAN DAN SARAN... .............................................................................67 Simpulan................................................................................................. 67 Saran ........ ........................................................................................67 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................69 LAMPIRAN 73 RIWAYAT HIDUP 78
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi perekonomian nasional. Pada tahun 2009 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa subsektor peternakan telah berkontribusi 12,75% dari jumlah total PDB (Produk Domestik Bruto) sektor pertanian secara nasional dan mampu menyerap 2.5% tenaga kerja nasional (Bappenas, 2006). Selain itu, secara makro perkembangan subsektor peternakan selama ini cukup pesat dimana populasi dan produksi hasil ternak terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk ternak utama yaitu sapi misalnya, populasinya mencapai 14,8 juta ekor dan sebagian besar berada di pulau Jawa yaitu sekitar 50,68% atau 7,5 juta ekor kemudian Sumatera 18,38% atau 2,7 juta ekor, Bali dan Nusa Tenggara 14,18% atau 2,1 juta ekor, Sulawesi 12,08% atau 1,8 juta ekor, Kalimantan 2,95% atau 437 ribu ekor serta Maluku dan Papua 1,74% atau 258 ribu ekor. Populasi sapi ini ratarata mengalami peningkatan 5,33% atau 655 ribu ekor setian tahun (Kementan dan BPS, 2011). Oleh karena itu tidak mengherankan jika subsektor peternakan diharapkan menjadi sektor pertumbuhan baru, baik dalam bidang pertanian maupun pertumbuhan ekonomi nasional. Permintaan terhadap komoditi peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan kebutuhan pangan bergizi tinggi. Meningkatnya permintaan terhadap komoditas tersebut tentunya harus dijadikan sebagai peluang untuk lebih mengembangkan subsektor peternakan dalam negeri. Salah satu jenis usaha peternakan yang mendapatkan perhatian dari pemerintah adalah usaha peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah merupakan salah satu jenis usaha yang memiliki peluang bisnis yang prospektif. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa dan terus bertambah, merupakan pangsa pasar yang besar, terlebih lagi saat ini, pasokan susu yang dapat dipenuhi oleh peternak sapi perah dalam negeri hanya mampu memenuhi 30% dari total kebutuhan susu nasional, sedangkan sisanya 70% diimpor dari luar negeri (Kementan dan BPS, 2011). Selain itu, Konsumsi susu terus mengalami peningkatan dari 6.8 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 7.7 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25 g/kapita/hari) (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Dengan potensi yang besar ini, tentu harus dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh para pelaku usaha ternak untuk terus meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Populasi ternak sapi perah di Indonesia mencapai 597 ribu ekor dimana sebagian besar (sekitar 99,21%) berada di Pulau Jawa yaitu di Propinsi Jawa Timur 49,62% atau 296,35 ribu ekor, Jawa Tengah 25,11% atau 149,93 ribu ekor serta Jawa Barat 23,44% atau 140 ribu ekor dan sisanya 1,79% tersebar di Pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan (Kementan dan BPS, 2011). Produksi susu yang dihasilkan dari seluruh populasi tersebut mencapai 930 ribu ton dengan tingkat pertumbuhan produksi susu sekitar 14,6% pertahun (IFC,
2
2011). Kontribusi nyata dari usaha peternakan sapi perah adalah mampu menyerap lapangan kerja yang banyak. Data menunjukkan sekitar 100.000 KK mengelola usaha ternak sapi perah, 220 KUD dan 94 perusahaan bergerak dalam industri peternakan sapi perah serta mendorong tingkat investasi asing dimana selama 6 tahun terakhir mencapai 1,45 Trilyun rupiah (Ditjennak, 2006 ; IFC, 2011) Kontribusi yang tak kalah pentingnya dari usaha peternakan sapi perah adalah turut menyediakan pangan sehat bergizi tinggi bagi masyarakat Indonesia. Jawa Barat merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah nasional dengan tingkat produksi perliter perekor yang paling tinggi yaitu 3,4 liter. Dengan populasi sapi perah mencapai 140 ribu ekor menghasilkan 121 ton susu (Kementan 2011 ; IFC, 2011). Peternakan sapi perah di Jawa Barat terpusat di beberapa daerah yaitu Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Garut, Sukabumi, Sumedang, Bogor dan Kuningan. Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Jawa Barat terutama di Kabupaten Sumedang selain diarahkan pada peningkatan produksi susu per ekor juga pada peningkatan kualitas susu yang dihasilkan dalam proses pemerahan. Usaha peningkatan kualitas dan kuantitas produksi susu di lakukan melalui pembinaan dan pendampingan terhadap para peternak sapi perah dengan pendekatan kelompok, dimana para peternak tergabung dalam suatu kelompok-kelompok peternak dan bernaung dibawah Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari. Saat ini di Kabupaten Sumedang terdapat sekitar 1450 peternak sapi perah yang tergabung dalam 60 Kelompok (KSU Tandangsari, 2011). Pendekatan kelompok dalam penyebaran adopsi inovasi terbukti cukup efektif untuk terjadinya terjadinya proses belajar dan interaksi sesama anggota untuk berbagi informasi sehingga diharapkan terjadi perubahan perilaku usaha tani-ternak ke arah yang lebih baik atau berkualitas (Slamet, 2001). Kelompok pada intinya merupakan jaringan komunikasi yang mampu menggerakkan mereka untuk melakukan adopsi teknologi baru. Melalui wadah ini petanipeternak bekerja sama, dibimbing dan diarahkan untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan perekonomian dinamis serta menjadi media penguat bagi anggotanya (Vitayala, 2000). Komunikasi yang terjadi merupakan suatu kegiatan usaha anggota kelompok untuk menyampaikan apa yang menjadi pikiran, harapan ataupun pengalaman kepada orang lain. Ini mengandung makna bahwa komunikasi mempunyai kemampuan untuk mengubah anggota kelompok bahkan masyarakat. Para peternak yang tergabung dalam kelompok akan saling berbagi informasi tentang berbagai hal terutama berkenaan dengan pengelolaan usaha ternaknya yang meliputi aspek breeding (pemuliaan/pembibitan), feeding (pakan) dan management (pengelolaan) hingga terbentuk suatu jaringan komunikasi yang mengungkapkan bagaimana hubungan yang mungkin terjadi antaranggota kelompok. Jaringan komunikasi ini menentukan bagaimana mereka berhubungan, siapa berbicara kepada siapa serta dengan saluran bagaimana informasi terserap. Jaringan komunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok menggambarkan struktur komunikasi kelompok tersebut Jaringan komunikasi pada kelompok mempunyai peranan besar dalam pengembangan berbagai perilaku usaha tani-ternak terutama yang berkaitan dengan adopsi inovasi pengelolaan usaha ternak seperti dalam penerapan higien
3
dan sanitasi pemerahan pada peternakan sapi perah. Higien dan Sanitasi pemerahan mempunyai peran vital dalam upaya peningkatan kuantitas komponen dan kualitas susu yang dihasilkan (Tridjoko, dkk, 2009). Higien dan sanitasi pemerahan pada dasarnya bertujuan untuk menghindarkan semaksimal mungkin kontaminasi yang dapat menurunkan kualitas air susu yang dihasilkan dalam pemerahan serta menjaga bahaya timbulnya penyakit mastitis pada ternak karena proses pemerahan adalah salah satu tahap yang memungkinkan susu dapat mudah tercemar dan menjadi media penyakit jika tidak dilakukan dengan baik dan benar (IDF/FAO, 2004). Dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang baik akan menghasilkan susu yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu mempunyai kadar lemak minimal 3.0%, berat jenis minimal 1.0128, cemaran mikroba maksimum 1.106CFU/ml dan bebas dari residu, cemaran logam berbahaya dan kotoran benda asing (BSN, 1998). Meningkatnya kualitas susu ini akan berimbas pada meningkatnya harga jual susu sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak. Dalam upaya meningkatkan kualitas susu melalui penerapan teknik higien dan sanitasi pemerahan yang baik tersebut, para peternak sapi perah di Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang mendapatkan penyuluhan dari petugas penyuluhan dari koperasi dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) setempat. Penyuluhan dilakukan dengan pendekatan kelompok yaitu dengan mengadakan penyuluhan di kelompok-kelompok peternak sapi perah atau hanya mengundang para pengurus (ketua) kelompoknya saja untuk kemudian diteruskan kepada para anggota kelompoknya. Cara penyuluhan yang demikian menjadikan para peternak harus aktif untuk mencari informasi dengan berusaha memanfaatkan jaringan komunikasi di kelompoknya terutama dari para pengurus kelompok guna memperoleh berbagai informasi yang memadai tentang pengelolaan usahaternak sapi perahnya terutama tata laksana higien dan sanitasi pemerahan untuk meningkatkan kualitas susu. Berdasarkan data dari KSU Tandangsari (2011) menunjukkan bahwa kualitas susu yang dihasilkan oleh para peternak di Kabupaten Sumedang terutama di sentra utama peternakan sapi perah yaitu Kecamatan Pamulihan berbeda-beda, namun secara garis besar dapat dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia) dan tidak sesuai SNI. Perbedaan kualitas susu yang dihasilkan oleh kedua kelompok tersebut salah satunya dikarenakan perbedaan penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang diduga akibat cara difusi informasi yang berbeda, struktur jaringan komunikasi dan keterdedahan anggota terhadap informasi sanitasi dan higien pemerahan yang berbeda. Peningkatan kualitas dan komposisi susu yang dihasilkan melalui penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada kelompok-kelompok peternak sapi perah memerlukan adanya informasi yang mengurangi ketidakpastian dan membangun struktur jaringan komunikasi diantara sesama peternak sapi perah. Informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan yang mencukupi dan terpercaya harus di difusikan dengan baik diantara anggota kelompok. Hasil penelitian Effendy (2002) menyebutkan bahwa pemuka pendapat (opinion leader) dalam suatu jaringan komunikasi mempunyai pengaruh yang signifikan dalam penyebaran dan penerapan inseminasi buatan pada kelompok peternak sapi madura. Adapun Hanafi (2003) menyatakan bahwa struktur jaringan komunikasi
4
bentuk roda cenderung lebih efektif dalam adopsi inovasi teknologi pengembangan agribisnis ternak kambing PE dan peran pemuka pendapat (opinion leader) dalam jaringan komunikasi peternak kambing PE berpengaruh positif dalam penyebaran informasi inovasi teknologi pengembangan agribisnis ternak kambing PE. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jaringan komunikasi akan memberikan gambaran siapa saja yang terjangkau oleh pertukaran informasi yang terdapat dalam kelompok dan menjadi salah satu akses informasi bagi para anggota untuk mendapat berbagai informasi mengenai usaha tani-ternaknya. Berdasarkan uraian tersebut maka menjadi hal yang penting untuk meneliti bagaimana upaya peternak sapi perah dalam mencari dan mendapatkan serta membagi informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan dengan pendekatan jaringan komunikasi serta bagaimana perbandingan struktur jaringan komunikasi yang terbentuk pada dua kelompok tersebut. Selain itu, semakin sering peternak terdedah dengan informasi maka semakin baik pengetahuan dan wawasan yang mereka miliki sehingga dapat membantu mereka dalam menerapkan higien dan sanitasi pemerahan dengan baik maka perlu juga dikaji bagaimana hubungan antara jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan dikedua kelompok tersebut. Perumusan Masalah Para peternak sapi perah yang tergabung dalam kelompok peternak memiliki karakteristik individu dan karakteristik usaha ternak yang berbeda. Mereka bergabung dalam kelompok dengan sebuah harapan terjadi peningkatan produksi dan produktivitas dalam usaha ternaknya. Untuk itu, mereka saling bertukar informasi mengenai pengelolaan usaha ternaknya seperti dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu sehingga dari proses pertukaran informasi tersebut tercipta suatu jaringan komunikasi, siapa berbicara pada siapa. Dari uraian tersebut penting dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana suatu jaringan komunikasi berpengaruh terhadap penerapan higien dan sanitasi pemerahan dalam usaha ternak anggota kelompok. Berikut pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini: 1. Bagaimana jaringan komunikasi yang terbentuk pada kelompok peternak sapi perah dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan? 2. Bagaimana hubungan antara karakteristik individu (peternak) dan karakteristik usaha ternak dengan jaringan komunikasi? 3. Bagaimana hubungan antara karakteristik individu (peternak) dan karakteristik usaha ternak dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan? 4. Bagaimana hubungan jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui deskripsi jaringan komunikasi yang ada di kelompok peternak sapi perah dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan. 2. Mengkaji seberapa jauh hubungan antara karakteristik individu (peternak) dan karakteristik usaha ternak terhadap jaringan komunikasi.
5
3. Mengkaji seberapa jauh hubungan antara karakteristik individu (peternak) dan karakteristik usaha ternak terhadap penerapan higien dan sanitasi pemerahan. 4. Mengkaji seberapa jauh hubungan jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait yaitu : 1. Memberi masukan dan informasi tambahan bagi para pembuat kebijakan, lembaga atau praktisi khususnya yang berada di lingkungan Kabupaten Sumedang dalam pembangunan peternakan sapi perah melalui pendekatan kelompok. 2. Memberikan sumbangan pengalaman ilmiah agar dapat dijadikan bahan informasi dan referensi bagi ilmuwan atau peneliti lain yang akan mengembangkan penelitian yang sejenis. 3. Menambah pengkayaan studi komunikasi pembangunan terutama peran jaringan komunikasi dalam penyebaran informasi peternakan guna terciptanya pembangunan peternakan sapi perah yang merata.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekaligus mempertahankan kehidupannya. Manusia membutuhkan bantuan dari sesamanya hingga tercipta hubungan yang saling bergantung (interdependensi). Manusia harus berkomunikasi dengan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis serta kebutuhan hidup lainnya (Mulyana, 2007). Oleh karena itu, komunikasi menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia sejak lahir dan selama proses kehidupannya. Pada umumnya proses komunikasi ditafsirkan sebagai proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan dan perasaan) dari satu individu kepada individu lain sehingga timbul kesamaan makna antara pengirim dan penerima pesan (Effendi, 1993). Menurut Tedjasutisna (1994) Komunikasi adalah suatu proses kegiatan penyampaian/warta pesan/berita atau informasi yang mengandung arti dari satu pihak kepada pihak lain dalam usaha mendapatkan pemahaman yang sama untuk pencapaian tujuan. Lebih lanjut Ibrahim, dkk. (2003) menyatakan bahwa komunikasi pada hakekatnya merupakan suatu proses pertukaran pesan-pesan verbal (tertulis) atau nonverbal (tidak tertulis) diantara pengirim dengan penerima untuk mengubah tingkah laku yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespons dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Komunikasi dalam hal ini dapat berupa tindakan satu arah, bisa pula sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi. Sebagai tindakan satu arah, komunikasi mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio atau televisi Jaringan Komunikasi Jaringan merupakan jenis atau tipe tertentu dari suatu hubungan yang menyambungkan sekelompok orang atau obyek, dimana orang atau obyek tersebut berlaku sebagai aktor (node) dari jaringan (Wasserman dan Faust, 1994). Dalam konteks komunikasi, suatu jaringan dibangun berdasarkan pada hubungan-hubungan komunikasi antara individu dengan individu, kelompokkelompok, organisasi maupun masyarakat (Monge dan Contractor, 2001). Lebih lanjut Monge dan Contractor (2003) menyatakan bahwa jaringan komunikasi adalah pola-pola hubungan yang timbul oleh adanya aliran pesan (tukar-menukar pesan) diantara pelaku komunikasi sepanjang waktu. Pesan disini dimaknai sangat luas yang meliputi data, informasi, pengetahuan, gambar-gambar, simbol dan berbagai bentuk lain yang dapat dipertukarkan dari satu aktor ke aktor lain dalam sebuah jaringan. Jaringan komunikasi terdiri dari pola-pola hubungan komunikasi yang teratur yang berkembang diantara anggota dalam suatu kelompok dengan menggunakan berbagai bentuk
8
komunikasi (seperti pertemuan, telepon, surat dan lain-lain) untuk mencapai tujuan tertentu (Berggren, 2004). Adapun Gonzales, (1993) berpendapat bahwa Jaringan komunikasi adalah penggambaran “how say to whom” (siapa berbicara kepada siapa) dalam suatu sistem sosial. Jaringan komunikasi menggambarkan komunikasi interpersonal, dimana terdapat pemuka-pemuka opini dan pengikut yang saling memiliki hubungan komunikasi pada suatu topik tertentu, yang terjadi dalam suatu sistem sosial tertentu seperti sebuah desa, sebuah organisasi, ataupun sebuah perusahaan. Sedangkan menurut Rogers dan Kincaid (1981) jaringan komunikasi adalah suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan informasi. Adapun Berger dan Chaffee (1987) mengemukakan bahwa jaringan komunikasi adalah sebagai suatu pola yang teratur dari kontak antara individu yang dapat diidentifikasi sebagai pertukaran informasi yang dialami seseorang di dalam sistem sosialnya. Robbins dalam Moekijat (1993) mengemukakan bahwa jaringan komunikasi adalah dimensi vertikal dan horisontal dalam komunikasi organisasi yang dibangunkan dalam bermacam-macam pola. Menurut Devito (1997) ada lima pola jaringan komunikasi kelompok yang juga akan relevan di dalam menganalisis pola jaringan komunikasi di tingkat klik. Kelima pola tersebut adalah pola lingkaran, pola roda, pola Y, pola rantai dan pola semua saluran. Pola lingkaran tidak memiliki pemimpin, semua anggota posisinya sama. Pola roda mempunyai pemimpin yang jelas yaitu posisinya di pusat. Pola Y relatif kurang tersentralisasi dibandingkan dengan pola lainnya. Pola rantai sama dengan pola lingkaran kecuali orang yang paling ujung hanya dapat berkomunikasi dengan satu orang saja. Pola semua saluran atau pola bintang hampir sama dengan pola lingkaran dalam arti semua anggota adalah sama dan semuanya memiliki kekuatan yang sama untuk mempengaruhi anggota lainnya. Berbeda dengan Devito yang menekankan pada pola jaringan komunikasi yang terjadi dalam kelompok atau organisasi, Rogers dan Kincaid menekankan pola jaringan komunikasi pada masyarakat yang lebih luas. Rogers dan Kincaid (1981) membedakan pola atau model jaringan komunikasi kedalam pola jaringan personal jari-jari (radial personal network) yang sifatnya menyebar serta mempunyai derajat integrasi yang rendah namun mempunyai sifat keterbukaan terhadap lingkungan dan pola jaringan personal saling mengunci (interlocking personal network) yang memusat dan mempunyai derajat integrasi yang tinggi. Individu yang terlibat dalam jaringan komunikasi interlocking adalah individu yang homopili namun kurang terbuka terhadap lingkungannya. Analisis Jaringan Komunikasi Analisis jaringan terdiri dari seperangkat hubungan-hubungan untuk mengidentifikasi sekumpulan entitas (Monge dan Contractor, 2003). Dalam konteks komunikasi organisasi, analisis jaringan sering digunakan untuk mengidentifikasi entitas sebagai orang yang menerapkan satu atau lebih hubungan komunikasi seperti “memberikan informasi kepada siapa”, “mendapatkan informasi dari siapa”, dan “berkomunikasi dengan siapa” (Monge dan Contractor, 2001). Analisis jaringan komunikasi juga digunakan pada kelompok kerja, divisi-divisi dan seluruh organisasi sebagai suatu entitas dan
9
mengkaji berbagai hubungan seperti “berkolaborasi dengan”, “bergabung dengan” dan “kontrak dengan”. Menurut Rogers dan Kincaid (1981) analisis jaringan komunikasi merupakan metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, dimana data hubungan mengenai arus komunikasi dengan menggunakan beberapa tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam analisis jaringan komunikasi adalah: 1) Mengidentifikasi klik-klik yang ada dalam suatu sistem. Klik adalah bagian dari sistem (subsistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggotaanggota lainnya dalam sistem komunikasi. Sebagai dasar untuk mengetahui apakah individu-individu itu dapat dimasukkan ke dalam suatu klik atau tidak, ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi klik, yaitu: (1) setiap klik minimal harus terdiri dari 3 anggota; (2) setiap anggota klik minimal harus mempunyai derajat keterhubungan 50 persen dari hubunganhubungannya di dalam klik; dan (3) seluruh anggota klik baik secara langsung maupun tidak langsung harus saling berhubungan melalui suatu rantai hubungan dyadic yang berlangsung secara kontinyu dan menyeluruh di dalam klik. 2) Mengidentifikasi peranan khusus seseorang dalam jaringan. Peranan seseorang dalam suatu jaringan meliputi star, opinion leader, liasions, bridges, atau isolated. Star adalah individu yang menempati posisi sentral dalam suatu jaringan. Opinion leader adalah seorang pemuka pendapat dan agen pembaharu yang relatif sering dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak dalam cara tertentu secara informal. Liaison adalah seorang indvidu yang menghubungkan dua klik atau lebih dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota klik manapun. Bridge adalah seorang individu yang menghubungkan dua klik atau lebih dalam suatu sistem, dan ia menjadi anggota dari klik-klik tersebut. Isolated adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem atau individu yang tidak terlibat dalam dalam jaringan komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1981). Menurut Hatala (2006) identifikasi terhadap peran-peran yang dimainkan individu dalam suatu jaringan komunikasi dapat membantu menentukan cara yang tepat untuk membuka aliran informasi dalam kelompok maupun dengan kelompok lain. 3) Mengukur berbagai indikator (indeks) struktur komunikasi. Indeks struktur komunikasi pada dasarnya merupakan serangkaian cara pengukuran terhadap berbagai sifat jaringan (network properties) (Monge dan Contractor, 2003). Diantara indikator yang paling sering digunakan oleh para peneliti dalam menganalisis suatu jaringan komunikasi adalah sentralitas dan kebersamaan (betweeness) (Jorgensen, 2004; Hua Yang , dkk, 2004; Hatala, 2006 dan Nolker, 2011). a. Sentralitas Sentralitas merupakan pengukuran terhadap jaringan komunikasi yang ditemukan dalam konsep sosiometrik sebagai star yaitu orang yang menjadi pusat perhatian (sentral) dalam kelompok. Individu yang menjadi pusat perhatian dalam kelompok bermakna ia adalah seorang yang memiliki banyak hubungan dengan anggota lain dalam lingkungan kelompoknya. Sentralitas mengukur tingkat/derajat sejauhmana seseorang berhubungan dengan orang
10
lain dalam sistem sehingga sentralitas juga dapat digunakan untuk mengukur keterunggulan seseorang dalam system. Jadi sentralitas mengacu pada posisi dari aktor/individu dalam suatu jaringan (Paul Hatala, 2006). Sentralitas terdapat dua macam yaitu sentralitas lokal dan sentralitas global. Sentralitas lokal adalah derajat dimana seorang individu berhubungan dengan individu lain dalam sistem. Sentralitas lokal menunjukkan jumlah hubungan yang dapat dibuat individu dengan individu lain dalam sistem. Seorang yang memiliki sentralitas lokal tinggi umumnya adalah seorang yang aktif dalam jaringan komunikasi. Ia sering menjadi penghubung dalam jaringan dan tidak tergantung pada orang lain. Selain itu, dia juga bisa mengambil keuntungan yang banyak dari posisinya dalam suatu jaringan. Adapun sentralitas global digunakan untuk mengukur tingkat pentingnya seorang individu dalam jaringan atau disebut juga closeness centrality. Nilai sentralitas global menunjukkan jumlah ikatan yang seseorang butuhkan untuk menghubungi semua titik dalam jaringan (Scott, 2000). Semakin kecil nilai centralitas global menunjukkan semakin mudah seseorang untuk menghubungi semua titik dalam jaringan. Individu yang mempunyai sentralitas global tinggi mempunyai kemampuan mengakses jaringan komunikasi dengan cepat karena memiliki jalur yang pendek untuk menjangkau orang lain (kelompok lain) dan biasanya memiliki kepekaan dengan apa yang terjadi dalam suatu jaringan. b. Kebersamaan (Betweeness) Kebersamaan (betweeness) adalah frekuensi dimana satu titik terletak diantara titik pada jarak yang menghubungkan mereka. Betweeness diukur dari indeks potensi kontrol komunikasi (perantara informasi/penghubung). Betweeness dari individu mengukur keberadaan agen yang dapat memainkan bagian potensial sebagai broker atau gatekeeper. Betweeness juga menandakan ketergantungan lokal dimana jika seorang individu akan tergantung pada yang lainnya jika jalur yang menghubunginya pada individu lain melewati individu tersebut (Scott, 2000). Penelitian jaringan komunikasi oleh Weenig dan Midden (1991) menyatakan bahwa jaringan komunikasi mempunyai pengaruh terhadap difusi informasi dan proses persuasi. Weenig dan Midden (1991) menyebutkan bahwa tingkat difusi informasi dan proses persuasi terutama pada tahap kesadaran (awareness) dan perhatian (attention) sangat dipengaruhi oleh frekuensi hubungan komunikasi seseorang. Ini menunjukkan bahwa kesadaran dan perhatian akan timbul manakala komunikasi sering dilakukan. Syafril (2002) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa semakin intesifnya hubungan yang terjadi dalam suatu jaringan komunikasi dapat menyebabkan tingkat adopsi teknologi sistem usaha pertanian jagung semakin tinggi pula. Adapun hasil penelitian Jorgensenn (2004) menyatakan bahwa individu yang mempunyai nilai betweeness (kebersamaan) yang tinggi mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sejumlah aliran informasi dari satu sisi ke sisi lain dalam suatu jaringan komunikasi sedangkan individu yang mempunyai nilai sentralitas tinggi dapat dikategorikan sebagai opinion leader dan biasanya mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi individu lain. Menurut Nolker (2011) informasi suatu inovasi menyebar dalam suatu kelompok atau masyarakat melalui hubungan interaksi dan komunikasi. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa struktur jaringan komunikasi dapat mendukung proses
11
difusi inovasi. Para pemain kunci dalam jaringan dapat menjadi fasilitator yang mempercepat terjadinya difusi inovasi. Penelitian Cindoswari (2012) terhadap jaringan komunikasi petani ubikayu menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara sentralitas lokal dan sentralitas global dengan penerapan teknologi produksi ubikayu. Ini bermakna bahwa semakin banyak petani ubikayu terhubung dengan individu anggota sistem lainnya maka semakin tinggi tingkat penerapan teknologi produksi ubikayu. Higien dan Sanitasi Pemerahan Pengertian higien dan Sanitasi berbeda. Higien diartikan sebagai upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring untuk melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes, 2004). Menurut Azwar (1990) higien adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan. Dalam konteks pemerahan sapi perah maka higien diartikan sebagai tindakan-tindakan pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan diri peternak yang mencakup juga perlindungan kesehatan akibat pekerjaan serta ternak sapi perah yang akan diperah. Jadi higien menyangkut kesehatan diri peternak yang memerah dan ternak sapi yang akan diperah. Adapun Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara kebersihan lingkungan dari subyeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci, menyediakan tempat sampah untuk mewadahi sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes, 2004). Sanitasi pada dasarnya usaha pencegahan penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut. Terkait dengan pemerahan, sanitasi didefinisikan sebagai penerapan atau pemeliharaan kondisi yang mampu mencegah terjadinya pencemaran (kontaminasi) terhadap susu yang dihasilkan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti tempat penyimpanan susu, kandang pemerahan, air untuk mencuci ambing dan lainnya. Tujuan utama dari usahaternak sapi perah adalah menghasilkan susu yang berkualitas yaitu susu yang bergizi tinggi, bebas dari segala residu dan bahan kimia lain, bebas dari pemalsuan serta memenuhi standar bakteri yang ditetapkan (Ruegg, dkk, 2000). Susu sebagai produk utama yang dihasilkan dalam proses pemerahan mempunyai kandungan gizi yang sangat tinggi dan sangat rentan terhadap berbagai kontaminasi sehingga keamanannya merupakan hal penting yang mutlak harus diperhatikan dengan ketat dan terjaga (Winarno, 2004). Oleh karena itu dalam proses pemerahan susu harus memperhatikan aspek higien dan sanitasi terutama dalam pemerahan. Menurut Hidayat, dkk (2002) dan Widaningrum, dkk (2006) Higien dan sanitasi pemerahan terbagi menjadi tiga kategori kegiatan yaitu:
12
1) Kegiatan sebelum pemerahan Kegiatan sebelum pemerahan terdiri dari a) penyediaan dan pembersihan sarana pemerahan yaitu menyediakan peralatan yang dibutuhkan dalam pemerahan diantaranya peralatan susu seperti gelas pemerahan (strip cup), ember dan milk can yang bersih dan sudah disucihamakan, kain lap untuk pemerahan untuk tiap ekor sapi yang diperah, kain blacu atau kain tetra untuk menyaring susu, sikat dan keranjang, ember untuk kain lap yang kotor, bahan kimia berupa dabun dan desinfektan untuk sucihama peralatan susu, kain lap dan kain saring serta air panas untuk membilas peralatan susu. b) pembersihan kandang yaitu dengan menjaga kebersihan kandang terutama area pemerahan. c) persiapan pemerahan yaitu pemerah dalam keadaan sehat dan bersih serta sapi yang akan diperah dalam keadaan bersih (sudah dimandikan). d) pembersihan ambing yaitu membilas ambing sebelum dilakukan pemerahan dengan air hangat dan e) pemerahan awal yaitu mengeluarkan 3-4 pancaran susu awal dari masing-masing puting dengan tujuan untuk : mengetahui susu yang kotor dan banyak mengandung mikroba, mengetahui keadaan susu dan merangsang pengeluaran susu. Kegiatan sebelum pemerahan ini penting dilakukan untuk mendapatkan susu yang berkualitas. Menurut Sargeant , dkk (1998) dan Reugg (2000) penyediaan dan pembersihan sarana pemerahan dan area pemerahan efektif mengurangi bakteri pathogen serta menurunkan jumlah sel somatic hingga 40%. Hasil penelitian Pavicic, dkk (2008) juga menyatakan bahwa pembersihan dan suci hama ambing dan puting sapi mempunyai dampak yang signifikan dalam menurunkan jumlah bakteri patogen dan sel somatik. Suci hama ambing dan puting sebelum pemerahan juga secara signifikan dapat menurunkan infeksi bakteri stapilococus dan coliform (Gleeson, dkk, 2009) 2) Kegiatan pemerahan Kegiatan pemerahan mencakup pengaturan jarak dan waktu pemerahan serta metode pemerahan. Pemerahan harus dilakukan secara teratur dan menjadikannya sesuatu kegiatan yang rutin. Pemerahan harus berada dalam selang waktu yang dianjurkan yaitu 12 dan 12 jam atau 9 dan 15 jam. Pemerahan yang dilakukan secara rutin dapat meningkatkan produksi susu hingga 5,5% (Reugg, dkk, 2000). Metode pemerahan yang dianjurkan adalah metode full hand karena dapat mengurangi lecet pada ambing. 3) Kegiatan setelah pemerahan Kegiatan ini terdiri dari pencucian puting sapi yaitu suci hama puting setelah diperah dengan perendaman dalam desinfektan, pencatatan produksi susu untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan produksi susu, penyaringan susu dengan kain yang higienis untuk mendapatkan susu yang bersih, penyimpanan susu dan pengumpulan ke Tempat Pengumpulan Susu (TPS) dimana peternak harus sesegera mungkin menyimpan susu pada tempat yang dingin dan dikumpulkan pada TPS. Higien dan sanitasi pemerahan mempunyai peran vital dalam menghasilkan susu yang berkualitas. Menurut Koshy dan Prasad (1993) higien dan sanitasi pemerahan yang benar mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan jumlah bakteri (TPC) dalam susu. Hal senada dinyatakan oleh Petrovic, dkk (2006) bahwa higien pemerahan berdampak nyata pada
13
penurunan jumlah bakteri dalam susu. Gleeson, dkk (2009) menyatakan bahwa higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukan secara teratur dan menjadi rutinitas dapat mengurangi infeksi penyakit mastitis dari lingkungan sekitar dan dari ternak lainnya. Karakteristik Peternak Karakteristik individu adalah sifat-sifat yang dimiliki seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya seperti umur, jenis kelamin, jabatan, status sosial dan agama (Mardikanto, 1993). Karakteristik yang ditampilkan seseorang berhubungan dengan aktivitas kerjanya. Karakteristik peternakan dapat diasumsikan sebagai sifat-sifat yang ditampilkan peternak yang berhubungan dengan aspek pekerjaannya sebagai peternak yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat kekosmopiltan, pengalaman beternak, pendapatan, serta jumlah kepemilikan ternak. Selanjutnya Zahid (1997) mengemukakan bahwa karakteristik Individu dapat diklasifikasikan kedalam karakteristik demografik dan karakteristik psikografik. Karakteristik demografik mencakup umur, jenis kelamin, ukuran keluarga, daur kehidupan keluarga, penghasilan, pekerjaan, pendidikan, ras, kebangsaan dan tingkat dan tingkat sosial sedangkan karakteristik psikografik meliputi gaya hidup dan kepribadian. Menurut Soekartawi (2005) faktor internal peternak berupa karakteristik individu sangat mempengaruhi tingkat adopsi inovasi. Beberapa faktor internal petani sebagai karakteristik individu antara lain: umur, pendidikan, keberanian mengambil resiko, pola hubungan, sikap terhadap perubahan, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme, sistem kepercayaan tertentu dan karakteristik psikologi. Rogers dan Kincaid (1981) menyatakan bahwa dalam menjalin hubungan sosial pada jaringan komunikasi setiap aktor membawa ciri-ciri kepribadiannya sendiri, sehingga konfigurasi masuknya atau keluarnya seorang aktor dalam jaringan hubungan sosial akan mempengaruhi struktur interaksi yang diciptakan. Zulkarnain (2002) mengemukakan bahwa karakteristik individu akan sangat menentukan atau mempengaruhi perilaku komunikasinya yang ditampilkan melalui pola pikir, pola sikap dan pola tindak terhadap lingkungannya. Karakteristik individu merupakan aspek personal seseorang yang meliputi umur, tingkat pendidikan dan ciri psikologisnya. Beberapa penelitian menyatakan bahwa karakteristik peternak yakni tingkat pendidikan, tingkat kekosmopolitan, jumlah kepemilikan ternak dan keterdedahan media massa berhubungan nyata dengan tingkat adopsi inovasi teknologi peternakan kambing PE (Hanafi, 2002). Syafril (2002) juga menyatakan bahwa karakteristik indvidu yang berkorelasi nyata dengan jaringan komunikasi adalah pengalaman usaha tani, persepsi terhadap teknologi dan kekosmopolitan. Selanjutnya menurut Rangkuti (2007) karakteristik individu mempunyai pengaruh nyata terhadap jaringan komunikasi petani dalam proses tingkat adopsi inovasi teknologi traktor tangan. Hal ini menandakan bahwa tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pengalaman, semakin tinggi tingkat kekosmopolitan maka seorang petani cenderung ikut serta dalam jaringan komunikasi. Senada dengan Rangkuti,
14
Cindoswari (2012) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa karakteristik individu berhubungan nyata dengan jaringan komunikasi petani dalam penerapan teknologi produksi ubikayu. Dalam penelitian ini karakteristik individu yang dikaji dibatasi pada umur, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pengalaman bergabung dalam kelompok, dan tingkat kekosmopilitan.
Usaha Ternak Sapi Perah Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk peternakan (Soeharsono, 2010). Peternakan sapi perah merupakan usaha budidaya ternak sapi perah dengan tujuan utama menghasilkan susu. Keberhasilan suatu usaha ternak sapi perah bergantung pada tiga faktor yang saling menunjang yaitu pemuliabiakan (breeding), pakan (feeding) dan pengelolaan (management). Ketiga aspek tersebut mempunyai peranan yang sama pentingnya. Jika ketiga faktor tersebut dijalankan secara ekonomis dan efisien, maka akan menghasilkan output atau produk yang maksimal (Soeharsono, 2010). Menurut Schmidt dan Hutjuers (1998) kemampuan sapi perah dalam menghasilkan susu ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, dan pemberian pakan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi susu antara lain umur, musim beranak, masa kering, masa kosong, besar sapi, manajemen pemeliharaan dan pakan. Sapi perah umur dua tahun akan menghasilkan susu sekitar 70 sampai 75 persen dari produksi susu tertinggi sapi yang bersangkutan. Pada umur tiga tahun akan menghasilkan susu 80 sampai 85 persen, sedangkan umur empat sampai lima tahun menghasilkan susu 92 sampai 98 persen. Menurut Makin (2011), secara umum penilaian dan keberhasilan dalam peternakan sapi perah yang telah dijalankan oleh peternak, dapat digambarkan atau ditinjau dari berbagai aspek dalam proses budidaya peternakan, sebagai berikut: 1.
Aspek Produksi • Tingkat produksi susu per ekor tinggi, tetapi secara ekonomi masih tetap berada dalam batas-batas yang menguntungkan • Produksi susu per tenaga kerja mencapai rasio (imbangan) yang tinggi • Jumlah sapi yang dipelihara cukup banyak, tetap selalu dalam imbangan yang menguntungkan • Produksi hijauan (tanaman makanan ternak) per hektar cukup banyak, sehingga memungkinkan tersedia sepanjang tahun 2. Aspek Reproduksi • Setiap ekor sapi perah dewasa beranak tiap tahun dengan selang beranak tidak lebih dari 14 bulan • Semua aspek reproduksi yang bernilai ekonomis (masa kosong, service per conception, conception rate, umur pertama kawin, dan umur beranak) selalu dipertahankan pada tingkat yang efisien menguntungkan
15
Setiap pedet yang dilahirkan tumbuh normal dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan umurnya • Selalu tersedia sapi pengganti (replacement stock) dengan umur dan bobot badan yang seragam 3. Aspek Ekonomi • Tingkat keuntungan (profit) per ekor sapi selalu dapat dipertahankan tinggi, berarti investasi pada setiap ekor sapi perah tetap berada pada tingkatan rendah • Tenaga kerja digunakan secara efisien pada berbagai sektor produksi, sehingga ongkos tenaga kerja yang dikeluarkan cukup memadai • Perhitungan dan penggunaan modal (capital) dilakukan secara tepat dan efisien terhadap unit-unit produksi • Kualitas produksi selalu dapat dipertahankan, sehingga nilai jual tinggi 4. Aspek Fasilitas • Pengadaan sarana dan fasilitas dalam jumlah yang memadai dan efisien dalam penggunaannya • Penempatan perkandangan dan bangunan-bangunan lainnya diatur secara strategis dan efisien bagi para tenaga kerja, serta luasnya sesuai dengan kebutuhan • Pelaksanaan dan penggunaan semua catatan (recording) dari setiap kegiatan dilakukan secara teratur dan akurat, sehingga dapat mempermudah dan memperlancar evaluasi, serta pembuatan keputusan yang bersifat manajemen (managerial). •
Apabila keadaan tersebut dapat dilaksanakan oleh para peternak sapi perah, berarti para peternak tersebut telah mampu atau tingkat manajemennya baik, sehingga tingkat keuntungan peternak selalu dapat dipertahankan. Sebaliknya, apabila aspek manajemen tersebut diabaikan atau kurang mendapat perhatian, sekalipun dalam peternakan itu menggunakan sapi yang unggul dan mendapat bahan makanan yang berkualitas baik, maka tingkat produksi akan tetap rendah atau tingkat keuntungan tetap sedikit (rendah). Oleh karena itu, baik tidaknya pelaksanaan kegiatan usaha yang berhubungan dengan aspek manajemen tersebut sepenuhnya bergantung pada kemampuan, keterampilan, dan wawasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh peternak/manager. Seorang peternak mempunyai status/kedudukan sebagai pemimpin, peng-awas, dan pemelihara (pengusaha) yang senantiasa mengharapkan keuntungan dari usahanya. Oleh karen itu, peternak adalah faktor penentu untuk mengoperasikan suatu usaha peternakan. Keberhasilan beternak sapi perah itu sendiri secara nyata dapat diukur dari adanya peningkatan produksi susu per ekor per hari dan kualitas susu yang tergolong baik (Makin, 2011)
16
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Penelitian tentang jaringan komunikasi dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada dua kelompok peternak yaitu kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari ini mengacu pada kerangka pemikiran Rogers dan Kincaid (1981) yang menduga bahwa karakteristik individu berhubungan dengan variabel jaringan komunikasi. Hubungan komunikasi antara anggota kelompok peternak berbeda-beda tergantung pada karakteristik individu dan karakteristik usahaternak. Variabel karakteristik individu diukur melalui umur, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman beternak, tingkat pengalaman berkelompok dan tingkat kekosmopolitan, sementara variabel karakteristik usahaternak meliputi jumlah kepemilikan ternak, tingkat produksi susu dan harga jual susu. Jaringan komunikasi yang dibentuk oleh peternak sapi perah dianggap sebagai upaya peternak dalam mendapatkan informasi mengenai higien dan sanitasi peternakan dengan jalan mencari, menerima dan menyebarkan informasi guna meningkatkan penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang dapat meningkatkan kualitas susu yang dihasilkan. Diduga semakin tinggi kemampuan individu dalam mengakses individu lain dalam sebuah jaringan maka semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukan. Jaringan komunikasi yang timbul membentuk struktur komunikasi kelompok yang terdiri dari dua struktur yaitu jaringan personal jari-jari (radial) dan jaringan personal saling mengunci (interlocking) (Rogers dan Kincaid, 1981). Aspek kajian jaringan komunikasi meliputi peranan individu dan indikator jaringan. Peranan individu ditunjukkan sebagai star, bridge, liaison, gatekeeper, cosmopolite, isolate dan indikator jaringan yaitu sentralitas lokal, sentralitas global dan kebersamaan (betweeness) (Scott, 2000, Hatala, 2006, Nolker 2011). Berikut bagan keterhubungan antara karakteritis individu dan usaha ternak dengan jaringan komunikasi dan penerapan higien dan sanitasi pemerahan :
18
KARAKTERISTIK PETERNAK 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Umur Tingkat Pendidikan Formal Pengalaman Beternak Pengalaman Berkelompok Pengalaman Berkoperasi Tingkat Kekosmopolitan
JARINGAN KOMUNIKASI 1. Sentralitas Lokal 2. Sentralitas Global 3. Betweeness
Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan
KARAKTERISTIK USAHA TERNAK 1. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah 2. Produksi susu 3. Harga Jual Susu
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah : H1: Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik peternak dengan jaringan komunikasi H2: Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik usahaternak dengan jaringan komunikasi. H3: Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik peternak dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan H4: Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik usahaternak dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan H5: Terdapat hubungan yang nyata antara jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan
METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah deskriptif korelasional yaitu suatu metode penelitian yang mempunyai tujuan memberikan deskripsi tentang suatu fenomena. Penelitian ini menekankan pada upaya untuk melakukan kajian terhadap suatu pengubahan sosial melalui analisis jaringan komunikasi dalam bentuk sosiometri yang menggambarkan jaringan komunikasi antarpeternak sapi perah dengan menganalisis siapa berbicara dengan siapa mengenai penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu di Desa Haurngombong dan Desa Mekar Bakti, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pertimbangan utama pemilihan lokasi ini adalah karena daerah tersebut merupakan sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Sumedang. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus hingga Nopember 2012. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota kelompok peternak sapi perah Harapan Jaya Desa Haurngombong dan Kelompok peternak Mekar Sari Desa Mekar Bakti Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Kelompok Harapan Jaya dipilih karena kelompok ini telah menerapkan higien dan sanitasi pemerahan dengan baik sedangkan kelompok Mekar Sari dipilih kelompok ini menerapkan higien dan sanitasi dengan buruk berdasarkan data dari KSU Tandangsari. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan teknik sampling intact system yaitu suatu metode pengambilan sampel dimana seluruh anggota sistem jaringan dijadikan sebagai sampel penelitian (Rogers dan Kincaid, 1981). Jadi sampelnya adalah seluruh peternak yang tergabung dalam kelompok Harapan Jaya yang berjumlah 37 orang dan Kelompok Mekar Sari yang berjumlah 50 orang jadi total sampel adalah 87 orang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh secara langsung dari responden masyarakat melalui penyebaran kuesioner yaitu suatu pedoman pertanyaan yang dilakukan dengan wawancara atau pengisian terinci berupa pertanyaan yang sudah terstruktur meliputi aspek-aspek peubah. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut analisis sosiometri digunakan untuk mengetahui dengan siapa dan kepada siapa peternak melakukan komunikasi mengenai usaha ternak sapi perahnya berkenaan dengan higiene dan sanitasi pemerahan. Pengumpulan data dilakukan tiga tahap yakni: penelitian pendahuluan, pengumpulan data sekunder dan pengambilan data primer. Penelitian pendahuluan mencakup pengamatan dan observasi lapangan guna mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk memperkuat atau mempertajam permasalahan yang terjadi di
20
lapangan. Data sekunder meliputi data umum lokasi tentang kependudukan, pendidikan, tenaga kerja, pertanian dalam arti luas, perhubungan, komunikasi, transportasi, perkoperasian, kelembagaan peternakan, kelompok tani-ternak dan lain-lain yang relevan dengan topik penelitian. 1) Karakteristik peternak yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengalaman berkelompok, pengalaman beternak dan tingkat kosmopolitan. 2) Karakteristik usahaternak meliputi : jumlah kepemilikan ternak sapi perah, produksi susu dan harga jual susu. 3) Jaringan komunikasi meliputi: sentralitas lokal, sentralitas global dan kebersamaan (betweeness) Definisi Operasional Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Karakteristik Peternak Karakteristik peternak mencakup: umur, pendidikan formal, pengalaman berkelompok, pengalaman beternak, dan tingkat kosmopolitan. Berikut pengertiannya : 1. Umur adalah usia responden ditentukan pada saat penelitian dilakukan, yang dihitung dari hari kelahiran dan dibulatkan ke tanggal lahir yang terdekat. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan tahun dan hasilnya dikelompokkan menjadi dua kategori produktif dan tidak produktif. 2. Tingkat pendidikan adalah lama belajar secara formal yang pernah ditempuh oleh responden. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan tahun dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi . 3. Tingkat Pengalaman Beternak adalah lamanya responden mengelola usaha ternak sapi perah. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan tahun dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi 4. Tingkat Pengalaman Berkelompok adalah lamanya responden ikut bergabung dengan kelompok. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan tahun dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi. 5. Tingkat Pengalaman Berkoperasi adalah lamanya responden ikut bergabung menjadi anggota koperasi. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan tahun dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi 6. Tingkat Kosmopolitan adalah kesediaan peternak sapi perah untuk berusaha mencari ide-ide baru diluar lingkungannya. Tingkat kosmopolitan juga menunjukkan tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Dihitung berdasarkan frekuensi peternak sapi perah ke luar desa untuk mencari informasi sanitasi pemerahan dallam satu bulan yang lalu/terakhir. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dan hasilnya di kelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi.
21
No 1
2
3
4
5
6
Tabel 1. Indikator dan pengukuran Karakteristik Peternak Variabel/ Definisi Operasional Pengukuran Indikator Umur Usia responden pada saat Rasio penelitian dilakukan yang dibulatkan. Tingkat Pendidikan formal yang Rasio Pendidikan pernah ditempuh oleh Formal responden Lamanya responden mengelola Rasio Tingkat usaha ternak sapi perah Pengalaman Beternak Tingkat Lamanya responden ikut Rasio bergabung dengan kelompok Pengalaman Berkelompok peternak sapi perah Tingkat Lamanya responden ikut Rasio bergabung menjadi anggota Pengalaman Berkoperasi koperasi Tingkat Frekuensi peternak keluar Rasio Kosmopolitan lingkungannya untuk mencari informasi usaha ternak sapi perah
Kategori 1) Produktif 2) Tidak Produktif
1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi
Karakteristik Usahaternak Karakteristik usahaternak mencakup jumlah kepemilikan ternak, produktivitas ternak, harga jual susu 1. Jumlah kepemilikan ternak sapi perah adalah jumlah ternak sapi perah yang dimiliki dan pelihara oleh peternak. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan ekor dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori besar, menengah dan kecil. 2. Produksi Susu adalah jumlah susu yang dihasilkan per hari per ekor oleh ternak sapi perah milik responden. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan liter dan hasilnya dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang dan tinggi. 3. Harga Jual Susu adalah harga jual susu per liter milik responden. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio dalam satuan rupiah.
22
Tabel 2. Indikator dan Pengukuran Karakteristik Usahaternak No Variabel/ Definisi Operasional Pengukuran Indikator 1 Jumlah Jumlah ternak sapi perah Rasio Kepemilikan yang dimiliki dan Sapi Perah pelihara oleh peternak 2 Produksi Susu Jumlah susu yang Rasio dihasilkan per hari per ekor ternak sapi perah milik responden 3 Harga Jual Harga jual susu per liter Rasio Susu milik responden
Kategori 1) Kecil 2) Menengah 3) Besar 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi -
Jaringan Komunikasi Jaringan komunikasi adalah proses komunikasi yang terjadi antarpeternak dalam usaha menerapkan higien dan sanitasi pemerahan. Jaringan komunikasi menggambarkan hubungan atau interaksi antara satu peternak dengan peternak lainnya yang berkaitan dengan upaya memperoleh dan menyebarkan informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan. Dari data jaringan komunikasi yang diperoleh akan dilihat derajat sentralitas lokal, derajat sentralitas global dan kebersamaan. 1. Sentralitas Lokal adalah derajat yang menunjukkan seberapa baik terhubungnya individu tertentu dalam lingkungan terdekat. Derajat ini menunjukkan jumlah hubungan maksimal yang dapat dibuat individu dengan individu lain dalam sistem. Dengan menggunakan UCINET VI derajat sentralitas lokal diperoleh melalui “normalized degree centrality” atau “centrality degree”. Nilai sentralitas lokal diperoleh melalui network>centrality and power>degree. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio. 2. Sentralitas Global adalah menunjukkan jumlah ikatan yang seseorang butuhkan untuk menghubungi semua titik dalam jaringan. Derajat ini menunjukkan kemampuan individu untuk dapat menghubungi semua individu dalam sistem. Dengan menggunakan UCINET VI derajat sentralitas global diperoleh melalui “centrality closeness”. Nilai sentralitas global diperoleh melalui network>centrality and power>closeness. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio. 3. Kebersamaan (betweenees) adalah frekuensi seorang individu melakukan hubungan dengan satu klik diantara klik lainnya. Derajat ini menunjukkan kemampuan individu untuk menjadi perantara/penghubung antara satu aktor dengan aktor lain dalam suatu jaringan. Dengan menggunakan UCINET VI Nilai betweeness diperoleh melalui network>centrality and power>betweeness. Data yang diperoleh merupakan data skala rasio.
23
Tabel 3. Indikator dan Pengukuran Jaringan Komunikasi No Variabel Definisi Operasional 1 Sentralitas Lokal Jumlah hubungan maksimal yang dapat dibuat individu dengan individu lain dalam sistem 2 Sentralitas Jumlah ikatan yang seseorang Global butuhkan untuk menghubungi semua titik dalam jaringan 3 Betweeness Frekuensi seorang individu melakukan hubungan dengan satu klik diantara klik lainnya
Pengukuran Rasio
Rasio
Rasio
Penerapan Higiene dan Sanitasi Pemerahan Yaitu segala tindakan yang dilakukan peternak untuk pencegahan penyakit dan pemeliharaan diri peternak dan ternaknya dalam proses pemerahan susu sapi. Penerapan higien dan sanitasi pemerahan terdiri dari tiga bagian yaitu sebelum pemerahan, proses pemerahan dan pasca pemerahan. Data yang diperoleh merupakan data skala ordinal. Tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan dianalisis dengan menggunakan indikator yang terdiri dari sebelum pemerahan, proses pemerahan dan pasca pemerahan. Ketiga indikator tersebut menggunakan tiga jumlah kelas yaitu tinggi, sedang dan rendah. Skor tertinggi bernilai 3 dan terrendah 1. Rumus yang digunakan untuk mengukur tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan berpatokan pada Sudjana ( 1990) yaitu : Panjang Kelas Interval = Skor Tertinggi – Skor Terendah Banyaknya Interval Kelas Kategori kelas penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang diperoleh adalah : a. 20 – 33 berarti masuk pada tingkat penerapan higien dan sanitasi rendah b. 34 – 47 berati masuk pada tingkat penerapan higien dan sanitasi sedang c. 48 – 60 berarti masuk pada tingkat penerapan higien dan sanitasi tinggi Tabel 4. Indikator dan Pengukuran Higien dan Sanitasi Pemerahan Variabel Definisi Operasional Pengukuran Kategori No 1 Penerapan Tindakan yang Ordinal 1) Rendah Higien dan dilakukan untuk 2) Sedang Sanitasi pencegahan penyakit, 3) Tinggi Pemerahan pemeliharaan ternak dan peternak dalam pemerahan susu sapi
24
Validitas dan Reliabilitas Menurut Kerlinger (2003), validitas instrumen menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur telah mengukur apa yang akan diukur. Jika peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner tersebut harus dapat mengukur apa yang akan diukur. Titik berat dari ujicoba validitas instrumen adalah pada validitas isi, yang dapat dilihat dari; 1) apakah instrumen tersebut telah mampu mengukur apa yang akan diukur, 2) apakah informasi yang dikumpulkan telah sesuai dengan konsep yang telah digunakan. Validitas atau ketepatan adalah tingkat kemampuan instrumen penelitian mengungkapkan data sesuai dengan masalah yang hendak diungkapkan. Agar kuesioner mempunyai validitas tinggi maka daftar pertanyaan disusun dengan cara 1) mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur, 2) menyesuaikan isi pertanyaan dengan keadaan responden, 3) berpedoman pada teori-teori dan kenyataan yang telah diungkapkan pada berbagai pustaka empiris, 4) mempertimbangkan pengalaman dan hasil penelitian terdahulu dalam kasus yang relevan, dan 5) memperhatikan nasehat dan pendapat dari para ahli, terutama dari komisi pembimbing (Singarimbun, dan Effendy, 1995). Agar diperoleh data yang valid maka butir-butir pertanyaan di dalam kuesioner dianalisis dengan menggunakana rumus korelasi product moment (Arikunto, 2003) yaitu : =
∑ − ∑ ∑
∑ − ∑ ∑ − ∑
Keterangan : r : Koefisien korelasi Pearson n : Jumlah individu dalam sampel X : Skor peubah X Y : Skor peubah Y Nilai r yang diperoleh dibandingkan dengan nilai koefisien r-product moment dari tabel korelasi. Bilai r lebih besar dari r tabel maka butir pertanyaan dinyatakan valid sedangkan bilai lebih kecil maka perlu ada perbaikan pada butir tersebut atau dikeluarkan dari pertanyaan. Hasil uji validitas dengan menggunakan pendekatan korelasi item total dikoreksi (corrected item-total correlation) pada program SPSS V.16 menunjukkan bahwa skor korelasi item total dikoreksi (corrected item-total correlation) lebih besar dari nilai tabel product moment pearson yaitu 0.396 sehingga pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner dianggap valid sebagai instrumen penelitian.
25
Reliabilitas Instrumentasi Reliabilitas (keterandalan) instrumentasi adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukan sejauhmana hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi untuk kedua kalinya atau lebih (Singarimbun dan Effendy, 1995). Reliabilitas instrumen atau tingkatan keajekan adalah suatu istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi untuk kedua kalinya. Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Reliabilitas instrumen dilakukan dengan cara uji coba kuesioner. Upaya untuk memperkuat keterandalan instrumen tersebut dilakukan dengan cara mengoptimalkan keragaman kesalahan dengan mengungkapkan pertanyaan secara tepat, memberikan pertanyaan pendukung dengan satu pertanyaan yang sama macam dan kualitasnya serta memberikan petunjuk pengisian kuesioner secara tepat dan jelas. Reliabilitas instrumen dihitung dengan menggunakan Cronbach-alpa, dimana pengukuran dilakukan hanya satu kali. Metode tersebut digunakan untuk kuesioner yang memiliki lebih banyak pilihan jawaban serta bukan merupakan skor 1 dan 0, melainkan dalam bentuk kategori dan uraian sehingga menghasilkan konsistensi antarbutir pertanyaan (Kerlinger, 2003). Rumus yang digunakan adalah :
∑ 1 −
Keterangan : r11 = Reliabilitas instrumen k = Banyaknya butir pertanyaan = Varians total ∑ = Jumlah varians butir
Nilai r11 yang diperoleh dibandingkan dengan koefisien r tabel korelasi. Bilai r11 lebih besar dari r tabel maka instrumen dinyatakan reliabel sedangkan bila lebih kecil maka perlu ada perbaikkan atau dilakukan uji ulang terhadap pertanyaan tersebut. Hasil uji reliabilitas kuesioner yang diujikan pada 25 orang peternak sapi perah yang bukan responden namun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan responden dengan menggunakan rumus alpha cronbach dari program SPSS V.16 diperoleh nilai koefisien reliabilitas 0,932. Menurut Zulganef (2006) suatu instrumen memiliki reliabilitas yang memadai jika memiliki nilai koefisien alpha Cronbach lebih besar atau sama dengan 0.70. Sementara, hasil uji coba kuesioner diperoleh nilai koefisien alpha cronbach 0.932 sehingga kuesioner yang digunakan dianggap handal sebagai instrumen penelitian.
26
Analisis Data Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah: 1. Analisis sosiometri. Analisis sosiometri dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan digunakan untuk melihat jaringan komunikasi yang terjadi di antara para peternak sapi perah. Sosiometri merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data tentang pola dan struktur hubungan antara individu-individu dalam suatu kelompok (Nurkancana, 1993). Cara yang digunakan adalah dengan membuat matriks hubungan komunikasi terlebih dahulu yang didapat dari pertanyaan sosiometris yang diajukan dalam kuesioner. Matriks hubungan komunikasi terdiri dari baris dan kolom. Baris merepresentasikan sumber hubungan sedangkan kolom merepresaentasikan target. Ada tidaknya hubungan komunikasi ditandai dengan bilangan biner. Jika terdapat hubungan komunikasi maka ditulis 1 sedangkan tidak terdapat hubungan komunikasi ditulis 0 (Hanneman dan Rieddle, 2005). Pertanyaan sosiometris dalam penelitian ini berkenaan dengan higien dan sanitasi pemerahan yang mencakup sebelum pemerahan, proses pemerahan dan setelah pemerahan. Selanjutnya data hubungan tersebut dibuat dalam bentuk sosiogram yang menggambarkan struktur atau pola hubungan di kelompok. Sosiogram ini kemudian digunakan untuk melihat pola hubungan dan peran individu peternak dalam jaringan komunikasi. 2. Analisis Jaringan Komunikasi Analisis jaringan komunikasi terdiri dari Sentralitas Lokal (Local Centrality Index) dan Sentralitas Global (Global Centrality Index) dan Kebersamaan (Betweeness) dihitung dengan software UCINET VI versi 6.216 (Boorgati, Everett dan Freeman, 2002). Sofware UCINET VI dirancang khusus untuk menganalisis jaringan komunikasi. UCINET VI dipilih karena mudah digunakan dan menghasilkan estimasi optimum setelah tiga ulangan perhitungan (Scott, 2000). 3. Analisis Hubungan Analisis hubungan yaitu menggunakan Rank Spearman’s Correlation untuk mengetahui: 1) hubungan antara variabel karakteristik individu dengan jaringan komunikasi dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan, 2) hubungan antara variabel karakteristik usahaternak dengan jaringan komunikasi dalam penerapan higien dan sanitasi pemerahan, 3) hubungan antara variabel karakteristik individu dengan tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan dan 4) hubungan antara variabel karakteristik usahaternak dengan tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan dan 5) hubungan variabel jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Koefisien korelasi rank Spearman dirumuskan sebagai berikut (Zulganef, 2006): 6 ∑ d2 rs =1 n n2 -1
27
Keterangan: = Koefisien korelasi rank Spearman rs = Perbedaan antara pasangan jenjang d = Jumlah individu dalam sampel 4. Analisis uji beda (uji t) Analisis uji beda dalam penelitian ini untuk melihat perbedaan dua rata-rata hasil pengukuran peubah penelitian antara Kelompok Peternak Sapi Perah Harapan Jaya dengan Kelompok Peternak Mekar Sari. Uji beda dirumuskan sebagai berikut (Zulganef, 2006):
$=
! − ! !" !#
Keterangan
t
= Nilai statistik (t hitung) = Rata-rata dari pengamatan sampel 1 X = Rata-rata dari pengamatan sampel 2 X !" !# = Standar error kedua sampel
28
29
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian
Keadaan Geografi dan Topografi Kecamatan Pamulihan berada di wilayah Kabupaten Sumedang Provinsi Jawa Barat. Secara administratif Kecamatan Pamulihan memiliki batas wilayah : sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kecamatan Rancakalong, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cimanggung dan sebelah barat berbatasan dengan wilayah Kecamatan Tanjungsari. Jarak dari ibukota Kabupaten Sumedang sekitar 14 Km dan dari ibukota Provinsi Jawa Barat sekitar 30 km. Topografis Kecamatan Pamulihan merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 720 – 1097 meter diatas permukaan air laut. Temperatur harian berkisar antara 20 – 320C. Kecamatan Pamulihan mempunyai luas wilayah 40.863 Ha dan terdiri dari 11 Desa yaitu Desa Cilembu, Desa Pamulihan, Desa Haurngombong, Desa Mekar Bakti, Desa Ciptasari, Desa Cigendel, Desa Cijeruk, Desa Cimarias, Desa Cinanggereng, Desa Citali dan Desa Sukawangi. Lokasi Penelitian berada di Desa Haurngombong dan Desa Mekar Bakti. Desa Haurngombong mempunyai luas wilayah 219 Ha yang terbagi dalam 3 dusun yaitu dusun Simpang, Pangaseran dan Ciparuag, sedangkan Desa Mekar Bakti mempunyai luas 400 Ha yang terbagi dalam 4 dusun yaitu dusun Kiarajegang, Cipacing, Cipelah dan Lebak Bitung. Desa Haurngombong dapat dicapai melalui jalan umum dan berada sekitar 1 km dari Ibu Kota Kecamatan dan 17 km dari Ibu Kota Kabupaten, sementara Desa Mekar Bakti berada sekitar 3 km dari Ibukota Kecamatan dan 20 Km dari ibukota Kabupaten. Topografi kedua Desa tersebut adalah daerah perbukitan dengan ketinggian antara 720 – 1097 meter diatas permukaan air laut. Temperatur harian berkisar antara 20 – 300C dengan kelembaban 70% sehingga sangat cocok untuk ternak sapi perah yang memang dapat berproduksi secara optimal pada kondisi lingkungan tersebut. Kedua desa tesebut saling berbatasan. Berikut batas wilayah Desa Haurngombong dan Mekar Bakti terdapat pada Tabel 5. Tabel 5. Batas Wilayah Desa Haurngombong dan Mekar Bakti Batas Desa Haurngombong Desa Mekar Bakti Sebelah Utara Desa Ciptasari Desa Haurngombong Sebelah Selatan Desa Mekar Bakti Desa Sindanggalih Sebelah Timur Cilembu Gunung Kareumbi Sebelah Barat Gunung Manik Jalan PUK Sumber : Profil Desa Haurngombong dan Desa Mekar Bakti, 2011
30
Keadaan Sosial dan Ekonomi Penduduk Jumlah penduduk Desa Haurngombong sampai tahun 2011 adalah 5034 jiwa yang terdiri dari 2594 laki-laki dan 2440 wanita, sedangkan jumlah penduduk Desa Mekar Bakti sampai tahun 2011 mencapai 5252 jiwa terdiri dari 2651 laki-laki dan 2601 wanita. Keadaan komposisi penduduk di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Jumlah Penduduk Desa Haurngombong dan Mekar Bakti Berdasarkan Usia Tahun 2011 Desa Haurngombong Desa Mekar Bakti Golongan Usia Jumlah ...%... Jumlah ...%... (Orang) (Orang) Penduduk usia <15 1490 29,59 1769 33,68 Penduduk usia 15 – 64 3000 59,59 1811 34,48 Penduduk usia > 64 544 10,82 1672 31,84 Jumlah 5034 100 5252 Sumber : Profil Desa Haurngombong dan Mekar Bakti, 2011
100
Berdasarkan Tabel 6, mengacu pada BPS (2001) terlihat bahwa hampir 60% penduduk Desa Haurngombong tergolong kedalam usia produktif (15-64 tahun). Banyaknya penduduk yang berusia produktif merupakan sumberdaya manusia potensial yang dapat dikembangkan sebagai modal dasar dalam pembangunan di desa tersebut. Berbeda dengan Desa Haurngombong, Desa Mekar Bakti hanya mempunyai sepertiga (34%) penduduk yang tergolong ke dalam usia produktif dan duapertiga (65%) penduduknya tergolong kedalam usia tidak produktif. Kondisi ini tentunya kurang menguntungkan bagi pembangunan desa tersebut, karena rasio beban tanggungan (RBT) menjadi besar yaitu 1,9. Ini berarti 1 orang usia produktif harus menanggung 19 orang usia nonproduktif. Banyaknya penduduk yang berusia tidak produktif ( >64 tahun) bisa menjadikan desa tersebut kurang produktif dalam upaya pembangunan perekonomian di desa tersebut karena penduduk yang berusia tidak produktif mempunyai fisik yang sudah lemah dan cenderung diam (istirahat) sehingga dapat menghambat pembangunan desa yang bertumpu pada sektor pertanian yang banyak berhubungan dengan aktivitas fisik sifatnya. Pekerjaan penduduk Desa Haurngombong dan Mekar Bakti beragam, namun kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian dari mulai bertani, buruh tani dan beternak dan sedikit sekali yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini menunjukkan bahwa pada kedua desa tersebut memiliki potensi dalam bidang pertanian untuk dikembangkan lebih maju lagi. Berikut daftar mata pencaharian penduduk Desa Haurngombong dan Desa Mekar Bakti disajikan pada Tabel 7.
31
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Haurngombong dan Mekar Bakti berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Jenis Mata Desa Haurngombong Desa Mekar Bakti Pencaharian Jumlah (Jiwa) ...%... Jumlah (Jiwa) ...%... Petani Buruh Tani Peternak Pedagang PNS Karyawan swasta Jasa Pengrajin
615 445 218 203 34 346 293 69
27,7 20 9,8 9,1 1,5 15,6 13,2 3,1
548 218 386 297 48 320 88 20
Jumlah 2223 100 1925 Sumber : Profil Desa Haurngombong dan Desa Mekar Bakti, 2011
28,5 11,3 20,1 15,4 2,5 16,6 4,6 1 100
Dari Tabel 7, diketahui bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Haurngombong dan Mekar Bakti adalah dalam bidang pertanian yaitu 56,7 % dan 59,8 %, kemudian diikuti oleh karyawan swasta yang mencapai 15 -16%. Mata pencaharian yang paling sedikit digeluti oleh penduduk Desa Haurngombong adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang hanya mencapai 1,5% sedangkan untuk penduduk Desa Mekar Bakti, mata pencaharian yang paling sedkiti adalah pengrajin yang hanya mencapai 1%. Dari tabel juga terlihat bahwa hampir 50% atau 2223 jiwa penduduk Desa Haurngombong telah memiliki pekerjaan pokok. Keadaan Peternakan Sapi Perah Kecamatan Pamulihan merupakan sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Sumedang dengan populasi ternak sapi perah mencapai 2799 ekor yang tersebar di tiga Desa yaitu Desa Haurngombong, Desa Mekar Bakti, Desa Cilembu dan Desa Gunung Manik. Perkembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Pamulihan terutama di Desa Haurngombong dan Mekar Bakti banyak dipengaruhi oleh keberadaan Koperasi Serba Usaha (KSU) Tandangsari yang didirikan pada tanggal 16 Mei 1980. KSU Tandangsari mempunyai peran penting dalam peternakan sapi perah di Desa Haurngombong dan Mekar Bakti. KSU Tandangsari memberikan fasilitas kredit dalam pembelian sapi perah kepada peternak anggota koperasi dan menampung produksi susu para peternak di kedua desa tersebut. KSU Tandangsari juga menyediakan berbagai kebutuhan untuk usaha ternak sapi seperti menyediakan makanan jadi yang disebut mako (makanan koperasi), melayani kesehatan ternak milik anggota, melayani kawin suntik (IB) dan melakukan penyuluhan usaha peternakan sapi perah. Selain itu, KSU juga memberikan pelayanan simpan pinjam kepada para peternak sapi perah.
32
Data terakhir menyebutkan, sampai bulan September 2012 populasi ternak sapi perah di Desa Haurngombong dan Mekar Bakti berturut-turut mencapai 602 ekor dan 1136 ekor hingga mendominasi populasi ternak besar lainnya seperti sapi potong, kerbau dan kuda yang ada di kedua desa tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan ternak sapi perah di kedua desa tersebut dalam kehidupan masyarakatnya. Jumlah peternak sapi perah di Desa Haurngombong adalah 182 orang yang tergabung dalam tiga kelompok yaitu kelompok Harapan Jaya, kelompok Harapan Sawargi dan kelompok Putra Saluyu, sedangkan peternak sapi perah di Desa Mekar Bakti berjumlah 289 orang yang tergabung dalam 6 kelompok Mekar Sari, Putra Saluyu, Putra Sari, Wargi Saluyu, Cipacing dan Kiarajegang. Deskripsi Peternak Sapi Perah
Karakteristik Peternak Sapi Perah Karakteristik Peternak pada dasarnya merupakan kondisi yang ditemui dan melekat pada diri peternak yang berhubungan dengan aspek pekerjaannya sebagai peternak. Karakteristik peternak dapat dipakai untuk menggambarkan bagaimana penjabaran dari anggota individu dan menggambarkan keragaman anggota dalam kegiatan pengelolaan peternakan sapi perah. Beberapa faktor karakteristik peternak yang diteliti adalah : 1) Usia, 2) Pendidikan Formal, 3) Pengalaman Beternak, 4) Pengalaman Berkelompok, 5) Pengalaman Berkoperasi dan 6) Tingkat Kosmopolitan. Usia Peternak Sapi Perah Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak responden dari kelompok Harapan Jaya berkisar antara 30 – 75 tahun dengan usia termuda 30 tahun dan tertua 75 tahun, sedangkan dari kelompok Mekar Sari usia peternak berkisar antara 19 – 76 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 76 tahun. Berikut komposisi usia peternak responden di kedua kelompok tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah dan Persentase Peternak anggota kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari berdasarkan Usia Kategori Harapan Jaya Mekar Sari Uji Usia Beda ഥ ഥ ࢞ ࢞ (Tahun) n % n % (t)* 15 – 64 >64 Jumlah
Produktif Tdk Prod
35 2
94,6 5,4
37
100
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
48,35
47 3
94 6
50
100
45,04
1,217
33
Dari Tabel 8, terlihat bahwa kedua kelompok peternak memiliki anggota berusia produktif mencapai 94% lebih dan sisanya sekitar 6% merupakan anggota berusia tidak produktif. Hal ini tentunya berdampak positif dalam pengembangan peternakan sapi perah di kedua kelompok tersebut. Peternak yang berusia produktif cenderung lebih terbuka dan tidak anti terhadap berbagai inovasi yang berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah bahkan mereka cenderung lebih giat mencari informasi inovasi tersebut untuk pengembangan usaha ternak perahnya. Peternak berusia produktif juga mempunyai harapan lebih besar terhadap usaha ternak sapi perahnya dibandingkan dengan peternak berusia tidak produktif. Selain itu, peternak berusia produktif mempunyai fisik yang relatif lebih kuat dibandingkan peternak berusia tidak produktif, karena bagaimanapun dalam mengelola peternakan sapi perah sangat dibutuhkan peternak yang kuat fisiknya untuk melakukan berbagai aktivitas usaha peternakan. Kondisi fisik yang kuat ini lazimnya terdapat pada peternak yang usianya tergolong muda (produktif). Hasil perhitungan uji beda rata-rata usia peternak memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia peternak anggota kelompok Harapan Jaya dan kelompok Mekar Sari. Hal ini menunjukkan bahwa usia para peternak di kedua kelompok tersebut relatif homogen dan sama-sama memiliki kategori usia produktif (dengan proporsi yang tidak berbeda) untuk melakukan berbagai aktivitas usaha peternakan sapi perah. Tingkat Pendidikan Formal Pendidikan merupakan suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian individu atau masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menyerap berbagai informasi yang didapatnya. Tingkat pendidikan peternak responden di kedua kelompok peternak berkisar antara tidak tamat SD sampai Tamat SMA. Tingkat pendidikan formal yang telah dicapai responden dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat Pendidikan Formal Peternak Sapi Perah di Kelompok Peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari Harapan Jaya Mekar Sari Uji Beda Tingkat Pendidikan (t)* Kategori N % n % Formal ≤ SD Rendah SMP/sederajat Sedang SMU/sederajat Tinggi Jumlah
34 1 2
91,9 2,7 5,4
36 6 8
72 12 16
37
100
50
100
-1,906
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan Tabel 9, terlihat bahwa sebagian besar tingkat pendidikan formal tertinggi responden peternak yang ada dikedua kelompok hanya mencapai tamat SD atau berada dalam kategori rendah. Pada kelompok Harapan Jaya 91% lebih anggota kelompoknya berpendidikan SD sedangkan di Kelompok Mekar Sari ada sekitar 72% anggota kelompoknya yang berpendidikan SD bahkan ada dua orang peternak responden yang tidak
34
mengenyam pendidikan SD hingga sempurna. Data juga menunjukkan sedikit sekali peternak yang mempunyai tingkat pendidikan formal hingga tamat SMP atau SMA. Di kelompok Harapan Jaya tercatat hanya 1 orang yang berpendidikan SMP dan 2 orang berpendidikan SMA sedangkan di kelompok Mekar Sari tercatat 6 orang berpendidikan SMP dan 8 orang berpendidikan SMA. Hal ini menunjukkan keadaan pendidikan di perdesaan yang umumnya masih rendah. Rendahnya pendidikan responden disebabkan selain karena keadaan sosial ekonomi pada masa lalu yang belum memungkinkan untuk dapat sekolah pada tingkat yang lebih tinggi, juga karena terbatasnya fasilitas pendidikan seperti tidak adanya SMP atau SMA yang dekat, yang ada di wilayah desa pada masa tersebut . Hasil perhitungan uji beda rata-rata untuk pendidikan peternak diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat pendidikan antara peternak anggota kelompok Harapan Jaya dengan peternak anggota kelompok Mekar Sari. Ini menandakan bahwa para peternak di kedua kelompok tersebut berada dalam kondisi sosial ekonomi yang tidak berbeda dimana pada kondisi tersebut belum memungkinkan para peternak untuk dapat bersekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Pengalaman Beternak Tingkat keberhasilan suatu usaha peternakan selain ditentukan oleh usia dan tingkat pendidikan juga ditentukan oleh pengalaman beternak. Peternak dapat belajar dari pengalamannya sendiri di masa lalu dalam mengelola usaha peternakan sapi perahnya. Tabel 10. Tingkat Pengalaman Beternak Sapi Perah di Kelompok Peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari Kategori Harapan Jaya Mekar Sari Tingkat Pengalaman ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % Beternak SP (Tahun) <11 11 – 20 >20 Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
16 20 1
43,2 54,1 2,7
37
100
12,05
24 16 10
48 32 20
50
50
12,6
Uji Beda (t)*
-0,453
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Dari Tabel 10, terlihat bahwa sebagian besar peternak yang ada dikelompok Harapan Jaya dan Mekar Bakti mempunyai pengalaman beternak sapi perah yang cukup lama yaitu rata-rata 12 tahun, sehingga mereka dapat dinyatakan sudah sangat mahir dan memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang tata cara pengelolaan ternak sapi perah yang meliputi aspek breeding (pemuliaan), feeding (pakan) dan management (pengelolaan). Dari aspek breeding (pemuliaan), peternak sudah mengetahui ciri-ciri bibit sapi perah yang berkualitas, prosedur kawin suntik (inseminasi buatan) dan bahaya kawin inbreeding pada sapi perah.
35
Dari aspek feeding (pakan) peternak sudah mengetahui bahan makanan yang berkualitas, cara menyusun ransum yang baik, cara penyajian dan pengaturan pakan serta pentingnya tambahan pakan konsentrat dan mineral untuk meningkatkan produktivitas sapi perah. Dari aspek management (pengelolaan), peternak sudah memiliki pengetahuan yang cukup dalam memelihara sapi pedet, sapi dara, sapi laktasi, sapi bunting, sapi sakit dan sapi jantan. Mereka juga mengetahui benar tentang pentingnya higien dan sanitasi perkandangan dan kebersihan sapi perahnya untuk peningkatan kualitas susu. Pengalaman beternak ini dari waktu ke waktu terakumulasi dan menjadi pengetahuan baginya dalam memecahkan persoalan usaha ternak sapi perah yang dikelolanya. Pengalaman beternak memungkinkan peternak untuk menjadi tahu dan belajar memecahkan masalah yang berkaitan dengan usaha ternak perahnya. Hasil uji beda rata-rata pengalaman beternak sapi perah para peternak di kelompok Harapan Jaya dan kelompok Mekar Sari menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini berarti tingkat pengalaman mengelola usaha peternakan sapi perah di kedua kelompok tersebut sama. Pengalaman Berkelompok Para peternak ikut bergabung dalam kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari mempunyai tujuan agar usaha ternak sapi perahnya lebih berkembang karena dengan berkelompok mereka dapat saling berbagi informasi dan bertukar pendapat (berkomunikasi) tentang segala hal terutama berkaitan dengan usaha ternak sapi perahnya. Berikut tingkat pengalaman berkelompok para peternak responden tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Pengalaman Berkelompok Peternak Anggota Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Tingkat Kategori Harapan Jaya Mekar Sari Uji Beda Pengalaman ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % (t)* Berkelompok (Tahun) <11 11 – 20 >20 Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
17 19 1
45,9 51,4 2,7
37
100
11,64
24 16 10
48 32 20
50
50
12,6
-0,701
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan Tabel 11, menunjukkan bahwa pengalaman berkelompok yang dimiliki oleh peternak di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari cukup lama. Rata-rata mereka memiliki pengalaman 11 – 12 tahun ikut berkelompok sehingga mereka sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mereka dapat berdiskusi, belajar dari pengalaman anggota yang lain serta membangun jaringan komunikasi dalam kelompok dalam upaya mendapatkan berbagai informasi yang berguna bagi pengembangan usaha ternak sapi perahnya. Para peternak juga sudah cukup mengerti bagaimana mengelola suatu kelompok
36
(berorganisasi) karena setiap 5 tahun sekali ada pergantian pengurus kelompok serta adanya pembinaan kelompok dari koperasi, perguruan tinggi dan dinas pertanian setempat (BPP). Dari uji beda rata-rata pengalaman berkelompok di peroleh bahwa tingkat pengalaman berkelompok para peternak di kelompok Harapan Jaya dan kelompok Mekar Sari menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini berarti para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki tingkat pengalaman berkelompok yang sama. Pengalaman Berkoperasi Peternak yang tergabung dalam kelompok secara otomatis menjadi anggota koperasi. Mereka bergabung menjadi anggota koperasi dengan tujuan untuk mendapatkan berbagai kemudahan dalam usaha peternakan sapi perahnya terutama dalam hal penyediaan pakan konsentrat dan penjualan susu. Para peternak yang tergabung dalam kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari menjadi anggota koperasi serba usaha (KSU) Tandangsari. Berikut tingkat pengalaman berkoperasi peternak responden yang disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Tingkat Pengalaman Berkoperasi Peternak Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Harapan Jaya Mekar Sari Tingkat Pengalaman Kategori ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % Berkoperasi (Tahun) <11 11 – 20 >20 Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
17 19 1
45,9 51,4 2,7
37
100
11,64
24 16 10
48 32 20
50
50
12,6
Uji Beda (t)*
-0,701
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Pada Tabel 12, terlihat bahwa sebagian besar pengalaman berkoperasi responden baik dari kelompok Harapan Jaya maupun kelompok Mekar Sari terbilang cukup lama yaitu rata-rata antara 11 – 12 tahun, bahkan dikelompok Harapan Jaya hanya ada satu peternak yang tingkat pengalaman berkoperasinya dibawah 5 tahun. Keadaan ini menunjukkan bahwa para peternak sudah cukup memahami tentang prosedur atau tata cara untuk mendapatkan layanan koperasi dalam rangka memenuhi kebutuhan Usaha Ternak sapi perahnya. Pelayanan yang di berikan koperasi kepada anggota peternak meliputi penyediaan pakan konsentrat, inseminasi buatan, kesehatan ternak, penjualan susu, simpan-pinjam dan penyuluhan usaha peternakan sapi perah. Hasil uji beda rata-rata pengalaman berkoperasi para peternak di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata sehingga dapat dinyatakan bahwa para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki sama-sama telah mendapatkan pelayanan dari koperasi.
37
Tingkat Kosmopolitan Tingkat kosmopolitan merupakan kesediaan peternak sapi perah untuk berusaha mencari ide-ide baru diluar lingkungannya. Tingkat kosmopolitan juga menunjukkan tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri. Data mengenai tingkat kosmopolitan peternak sapi perah di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Tingkat Kosmopolitan Peternak kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Tingkat Kategori Harapan Jaya Mekar Sari Kosmopolitan ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % <2 2–3 >3 Jumlah
Rendah Sedang Tinggi
27 7 3
73 18,9 8,1
37
100
1,29
40 8 2
80 16 4
50
100
1,24
Uji Beda (t)* 1,654
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Pada Tabel 13 terlihat bahwa tingkat kosmopolitan peternak sapi perah di kedua kelompok termasuk kategori rendah (< 2 kali) dalam mencari informasi keluar Desa yaitu mencapai 80%. Hal ini berarti peternak sapi perah di Kelompok Harapan Jaya maupun kelompok Mekar Sari tidak aktif mencari informasi tentang usaha peternakan sapi perah keluar desa baik informasi dari majalah, radio, surat kabar, televisi maupun dari kegiatan-kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang melalui Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) setempat. Tingkat kosmopolitan dengan kategori tinggi ( > 3) hanya mencapai 8 % untuk kelompok Harapan Jaya dan 4 % untuk kelompok Mekar Sari. Rendahnya jumlah peternak yang berupaya mencari informasi yang dibutuhkan keluar lingkungannya disebabkan oleh mudahnya mereka mendapatkan informasi yang memadai dan terpercaya di dalam lingkungannya yaitu dari pengurus kelompok dan petugas penyuluh/mantri ternak dari koperasi yang berkunjung ke para peternak sebagai bentuk dari pelayanan koperasi. Hasil perhitungan uji beda rata-rata pada tingkat kosmopolitan peternak menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara peternak anggota kelompok Harapan Jaya dengan anggota kelompok Mekar Sari. Ini bermakna bahwa baik peternak kelompok Harapan Jaya maupun kelompok Mekar Sari memiliki peluang yang sama untuk melakukan hubungan dengan lingkungan diluar kelompoknya dalam rangka mencari informasi mengenai usaha ternak sapi perah. Karakteristik Usaha Ternak Sapi Perah Karakteristik usaha ternak dalam penelitian ini adalah faktor-faktor di luar karakteristik individu yang berpengaruh terhadap keadaan usaha ternak sapi perah peternak. Karakteristik usaha ternak sapi perah yang diamati dalam
38
penelitian ini meliputi jumlah kepemilikan ternak sapi perah, produksi susu dan harga jual susu. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah Keadaan pemilikan ternak sapi perah responden di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel. 14. Jumlah Kepemilikan Ternak di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Kategori Harapan Jaya Mekar Sari Uji Jumlah Beda kepemilikan ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % (ekor) (t)* <4 4–6 >6 Jumlah
Kecil Sedang Tinggi
20 10 7
54,1 27 18,9
37
100
4,37
26 19 5
52 38 10
50
100
3,64
0,897
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan Tabel 14 terlihat bahwa jumlah kepemilikan ternak sapi perah responden baik dari kelompok Harapan Jaya maupun kelompok Mekar Sari, umumnya berada pada kategori skala usaha kecil yang tidak ekonomis dengan jumlah kepemilikan kurang dari 4 ekor sapi serta sedikit sekali peternak yang memiliki jumlah ternak di atas 6 ekor atau berskala besar. Hal ini disebabkan oleh kontinuitas ketersediaan pakan hijauan yang tidak menentu sepanjang tahun, terbatasnya modal untuk membeli sapi indukan serta pemilikan lahan yang terbatas baik untuk kandang maupun kebun rumput yang dimiliki sebagian besar peternak sapi perah dikedua kelompok tersebut. Hasil uji beda rata-rata jumlah kepemilikan ternak menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok Harapan Jaya dengan kelompok Mekar Sari dalam hal jumlah kepemilikan ternak. Ini menandakan bahwa para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki skala usaha ternak sapi perah yang tidak berbeda. Produksi Susu Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi perah adalah untuk diambil susunya. Oleh karena itu, produksi susu yang tinggi sangat diharapkan oleh para peternak. Tingginya produksi susu akan berimplikasi pada meningkatnya pendapatan peternak. Berikut produksi susu sapi perah milik peternak responden disajikan dalam Tabel 15.
39
Tabel 15. Produksi susu per ekor per hari di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Prod susu Kategori Harapan Jaya Mekar Sari /ekor/hari ഥ ഥ ࢞ ࢞ n % n % (liter) <11 11 – 16 >16
Rendah Sedang Tinggi
Jumlah
27 9 1
73 24,3 2,7
37
100
10,59
26 24 0
52 48 0
50
100
11,04
Uji Beda (t)* -0,917
* nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan Tabel 15 mengindikasikan bahwa produksi susu per ekor sapi perah milik peternak responden anggota kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari sebagian besar termasuk dalam kategori rendah yaitu berkisar 10 liter perhari. Dari tabel juga terlihat bahwa di Kelompok Harapan Jaya hanya terdapat 1 orang peternak yang memiliki ternak sapi perah dengan produksi susu per ekornya termasuk dalam kategori tinggi diatas 16 liter, sedangkan di kelompok Mekar Sari tidak ada peternak yang masuk dalam kategori tinggi dalam produksi susu sapi perah per ekor per hari. Hal ini diduga karena kualitas pakan yang kurang bagus terutama hijauan dimana saat penelitian ini dilakukan sangat kurang karena masih musim kemarau dimana pakan hijauan sulit diperoleh. Sapi perah milik peternak responden sebagian besar hanya diberi makan jerami dan sedikit sekali diberi hijauan utama dan konsentrat sehingga produksi susunya pun sedikit. Tingginya harga konsentrat juga semakin membuat peternak enggan memberi makan sapinya dengan konsentrat. Dari perhitungan uji beda rata-rata produksi susu hasil perahan peternak menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara peternak anggota kelompok Harapan Jaya dengan kelompok Mekar Sari. Ini bisa dimaknai berarti kualitas pakan yang diberikan dan kualitas genetik sapi perah milik peternak di kedua kelompok tersebut tidak berbeda.
Harga Jual Susu Harga jual susu yang diterima peternak sangat ditentukan oleh kualitas susu. Semakin tinggi kualitas susu yang dihasilkan maka semakin tinggi pula harga jualnya. Kualitas susu diukur dari nilai total solid, jumlah bakteri per cc (TPC), berat jenis susu, kadar lemak dan bahan padat bukan lemak (SNF). Penentuan harga jual di KSU Tandangsari berdasarkan pada kualitas susu kelompok secara keseluruhan. Oleh sebab itu harga jual susu anggota satu dengan anggota lain dalam satu kelompok adalah sama sehingga diperlukan kerjasama antarpeternak untuk melakukan higien dan sanitasi pemerahan dengan baik dan benar. Setiap peternak harus memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya menghasilkan susu yang berkualitas dengan cara melakukan tata cara pengelolaan usaha ternak sapi perah sesuai dengan anjuran dari pihak
40
koperasi termasuk dalam hal higien dan sanitasi pemerahan untuk meminimalisasi kandungan bakteri dalam susu yang dihasilkan. Rendahnya kualitas susu yang dihasilkan oleh satu orang peternak akan berdampak pada harga susu kelompok secara keseluruhan. Harga jual susu yang diterima seluruh peternak anggota kelompok Harapan Jaya dan kelompok Mekar Sari adalah sama yaitu Rp. 3022 per liternya. Hal ini dikarenakan kualitas susu yang dihasilkan tidak jauh berbeda sehingga harga jualnya pun sama. Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Susu sebagai produk utama ternak perah merupakan media pertumbuhan yang sangat ideal bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen terhadap hewan dan manusia. Susu sangat peka terhadap berbagai cemaran/ kontaminasi baik itu dari mikroba maupun zat lain. Proses pencemaran terhadap susu dapat terjadi pada berbagai kesempatan antara lain: saat susu diperah, penyimpanan pada milk-can, transportasi dari kandang ke cooling unit, penanganan ditempat penampungan hingga pengangkutan melalui truk tanki sampai pada industri pengolah susu (IPS). Oleh karena itu, penanganan susu harus dilakukan dengan benar dan sesuai dengan aspek-aspek petunjuk kesehatan agar susu yang dihasilkan mempunyai kualitas yang tinggi. Penanganan susu yang pertama dan paling penting adalah pada saat proses pemerahan yang dilakukan oleh peternak. Peternak harus menyadari bahwa tujuan utama dari pemerahan tidak hanya untuk menghasilkan susu yang banyak tetapi juga susu yang berkualitas serta menjaga sapi tetap sehat. Seringkali peternak tidak menyadari tuntutan untuk menghasilkan susu yang berkualitas ini hingga mereka mengabaikan aspek-aspek penanganan susu pada proses pemerahan seperti dalam hal higien dan sanitasi pemerahan. Higiene dan sanitasi pemerahan mempunyai peranan yang vital dalam menghasilkan susu yang berkualitas serta menjaga sapi tetap sehat. Higien dan sanitasi bertujuan untuk menghilangkan semua sumber potensial kontaminasi dan kontaminasi silang disemua faktor yang dapat beresiko pada kualitas susu dan kesehatan sapi perah. Ruang lingkup higien dan sanitasi pemerahan meliputi pemerah susu, area pemerahan, peralatan dan perlengkapan pemerahan serta ternak sapi perah. Higien dan sanitasi dalam pemerahan menuntut peternak untuk disiplin dalam menjaga kebersihan diri, kandang dan lingkungan sekitar serta melakukan pemerahan sesuai dengan anjuran dari penyuluh (koperasi) agar susu yang dihasilkan sapi perah miliknya mempunyai kualitas yang tinggi. Para peternak yang tergabung dalam kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari sebagian besar melakukan pemerahan dua kali yaitu pada pagi hari sekitar jam 5.00 – 6.00 dan sore hari jam 15.00 – 16.00. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan (handmilking) dan tidak ada yang menggunakan mesin pemerah (milking machine). Metode pemerahan yang digunakan adalah metode Strippen. Setelah pemerahan selesai, peternak memasukkan susu hasil perahan ke dalam milk can atau ember dan kemudian membawanya ke tempat
41
pengumpulan susu (TPS) yang ada di masing-masing kelompoknya untuk kemudian dibawa oleh mobil tangki milik koperasi. Dalam melakukan pemerahan, para peternak anggota kelompok Harapan Jaya dan Kelompok Mekar Sari, secara garis besar telah melakukan prinsipprinsip higien dan sanitasi pemerahan. Mereka umumnya telah mengetahui tata cara melakukan pemerahan yang higienis dari mulai Prapemerahan, Saat pemerahan dan Pascapemerahan, namun pada prakteknya mereka seringkali tidak menjalankan tata cara higien dan sanitasi pemerahan dengan baik dan benar dikarenakan berbagai hal seperti kurangnya persediaan air, tidak tersedianya peralatan pemerahan yang baik hingga tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan higien dan sanitasi pemerahan. Berikut ini disajikan persentase peternak sapi perah di kedua kelompok tersebut berdasarkan kategori penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada Tabel 16. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Peternak Sapi Perah di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Berdasarkan Kategori Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Kategori Kelompok Harapan Jaya Kelompok Mekar Sari Uji Beda (t)* Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (orang) Tinggi 23 62,2 21 42 1,373 Sedang 14 37,8 29 58 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 37 100 50 100 * nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Dari Tabel 16 diatas menunjukkan bahwa secara keseluruhan penerapan higien dan sanitasi pemerahan di kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari masuk dalam kategori tinggi dan sedang serta tidak ada peternak yang tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahannya masuk dalam kategori rendah. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa di kelompok Harapan Jaya terdapat 62,2 persen peternak yang masuk dalam kategori tinggi tingkat penerapan sanitasi pemerahannya dan sisanya 37,8 persen peternak masuk dalam kategori sedang. Sedangkan di kelompok Mekar Sari terdapat 42 persen peternak yang masuk dalam kategori tinggi dan 58 persen peternak masuk dalam kategori sedang tingkat penerapan sanitasi pemerahannya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya para peternak di kedua kelompok tersebut telah mengetahui dan memahami tentang prosedur dan pentingnya higien dan sanitasi pemerahan untuk menghasilkan susu yang berkualitas. Lebih lanjut, data ini juga menandakan bahwa para peternak telah mendapatkan informasi yang cukup dan memadai tentang higien dan sanitasi pemerahan sehingga tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan di kedua kelompok tersebut tergolong dalam kategori tinggi dan sedang. Hasil uji beda rata-rata tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok Harapan Jaya dengan kelompok Mekar Sari dalam hal penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Ini menandakan bahwa para peternak dikedua kelompok tersebut telah menerapkan higien dan sanitasi dengan cara yang tidak berbeda.
42
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan di kelompok peternak sapi perah Harapan Jaya dan Mekar Sari maka ruang lingkup higien dan sanitasi pemerahan dibagi menjadi tiga bagian yaitu prapemerahan, saat pemerahan dan pascapemerahan. 1. Prapemerahan Prapemerahan merupakan kegiatan awal dalam proses pemerahan yang berkaitan dengan persiapan pemerahan meliputi persiapan peralatan dan perlengkapan pemerahan, kebersihan kandang/area pemerahan, kebersihan dan kesehatan sapi yang akan diperah serta kebersihan dan kesehatan pemerah. Prapemerahan menjadi bagian penting dalam usaha higien dan sanitasi pemerahan. Berikut tingkat penerapan prapemerahan dalam kaitan dengan higien dan sanitasi pemerahan di Kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Persentase Peternak Sapi Perah di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Berdasarkan Kategori Prapemerahan Kategori Kelompok Harapan Jaya Kelompok Mekar Sari Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Tinggi 5 13,5 10 20 Sedang 32 86,5 40 80 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 37 100 50 100 Dari Tabel 17 menunjukkan bahwa tingkat penerapan higien dan sanitasi prapemerahan di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari sebagian besar yaitu mencapai 80 persen berada pada ketegori sedang dan sedikit sekali hanya 13 – 20 persen dari jumlah peternak sapi perah di kedua kelompok yang mencapai kategori tinggi. Penyebab utama banyaknya peternak yang masuk dalam sedang untuk tingkat penerapan sanitasi prapemerahan adalah karena minimnya ketersediaan air bersih di daerah kelompok tersebut berada dimana pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan pada saat bulan kemarau. Bahkan beberapa peternak anggota kelompok Harapan Jaya yang tinggal disekitar wilayah sekepaku kekurangan air bersih. Mereka harus mengambil air bersih di tempat lain yang jaraknya cukup jauh. Keadaan ini membuat para peternak berusaha menghemat air bersih yang diperoleh dengan mengutamakan kebutuhan minum, memasak, mandi, mencuci dan sisanya untuk minum ternaknya serta kebersihan kandang. Peternakpun sedikit sekali menggunakan air untuk membersihkan sapi perah dan kandangnya. Hal serupa juga dialami oleh para peternak anggota kelompok mekar bakti yang harus menghemat air bersih yang ada. Kebanyakan peternak hanya membersihkan sapi yang diperah pada bagian ambingnya saja tidak seluruh tubuh sapi. Begitu juga dengan kandang/area pemerahan yang dibersihkan tidak menyeluruh karena terbatasnya air bersih yang ada. Kondisi ini sebenarnya mempunyai dampak serius terhadap kualitas susu yang dihasilkan tertutama pada jumlah bakteri pada susu (TPC) karena salah satu titik kritis dalam higien dan sanitasi pada prapemerahan adalah kebersihan sapi yang akan diperah dan kandang/area pemerahan. Sapi yang bersih dan sehat serta area pemerahan
43
yang bersih akan mengurangi kontaminasi terhadap susu yang diperah. Bila aspek kebersihan sebagai bagian utama dari higien dan sanitasi pada prapmerahan tidak dilakukan dengan benar maka akan mempengaruhi pada tahapan saat pemerahan dan penanganan hasil pemerahan. Oleh karena itu, tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada prapemerahan seharusnya berada pada kategori tinggi bukan berada pada kategori sedang. 2. Saat Pemerahan Saat pemerahan merupakan proses pemerahan yang meliputi waktu pemerahan, cara pemerahan dan suci hama puting. Saat pemerahan memiliki peran penting dalam usaha penerapan higien dan sanitasi pemerahan karena pemerahan yang dilakukan dengan benar akan menghasilkan susu yang berkualitas serta terpeliharanya kesehatan sapi. Berikut tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan pada saat pemerahan di kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Peternak Sapi Perah di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Berdasarkan Kategori Saat pemerahan Kategori Kelompok Harapan Jaya Kelompok Mekar Sari Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Tinggi 21 56,8 25 50 Sedang 16 43,2 25 50 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 37 100 50 100 Berdasarkan Tabel 18 terlihat bahwa tingkat penerapan higien dan sanitasi saat pemerahan di kedua kelompok tidak jauh berbeda yang digolongkan pada dua kategori yaitu tinggi dan sedang dimana perbandingan antara peternak yang masuk kategori tinggi dan sedang masing-masing berkisar 56 dan 43 persen untuk kelompok Harapan Jaya serta 50 dan 50 persen untuk kelompok Mekar Sari. Selain itu, tidak ada peternak yang masuk kategori rendah dalam penerapan higien dan sanitasi saat pemerahan. Hal ini menunjukkan para peternak telah mengetahui tata cara serta metode pemerahan yang benar. Adanya peternak yang masuk kategori sedang umumnya dikarenakan kurang disiplin dalam hal waktu pemerahan serta sikap pragmatis dalam memerah sapi yaitu melakukan metode pemerahan tidak sesuai anjuran karena alasan kemudahan dan ingin cepat selesai. 3. Pascapemerahan Pascapemerahan merupakan kegiatan akhir dalam proses pemerahan yang berkaitan dengan penanganan susu hasil pemerahan sampai kepada tempat pengumpulan susu (TPS). Penanganan susu yang benar akan meminimalisir kontaminasi yang terjadi pada susu sehingga kualitas susu dapat terjaga. Pascapemerahan merupakan salah satu aspek yang dipentingkan dalam higien dan sanitasi pemerahan. Berikut tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan pascapemerahan di kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari disajikan dalam Tabel 19.
44
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Peternak Sapi Perah di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Berdasarkan Kategori Pascapemerahan Kategori Kelompok Harapan Jaya Kelompok Mekar Sari Jumlah (orang) Persentase Jumlah (orang) Persentase Tinggi 32 86,5 21 42 Sedang 5 13,5 29 58 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 37 100 50 100 Berdasarkan Tabel 19, secara umum penerapan higien dan sanitasi pascapemerahan tergolong hanya pada dua kategori yaitu sedang dan tinggi. kelompok peternak Harapan Jaya lebih banyak memiliki peternak yang masuk dalam kategori tinggi yaitu 86,5 persen dibandingkan dengan kelompok Mekar Sari yang hanya mencapai 42 persen peternak dalam penerapan sanitasi pascapemerahan. Masih banyaknya peternak di kelompok Mekar Sari yang masuk kategori sedang dalam penerapan sanitasi pascapemerahan di akibatkan karena mereka umumnya kurang mengabaikan tata cara penanganan susu hasil pemerahan yang benar, terutama dalam hal penyimpanan susu serta penyetoran susu ke koperasi. Para peternak di kelompok Mekar Sari masih banyak yang menyimpan susu di ember plastik dengan tutup kurang rapat dan meletakkannya di dekat kandang sebelum diantar ke tempat pengumpulan susu (TPS). Demikian juga halnya dengan penyetoran susu, banyak peternak yang membawa susu tidak hati-hati sehingga sering tumpah sedikit karena goncangan selama perjalanan menuju TPS dan sesampainya di TPS susu diletakkan pada tempat yang terkena sinar matahari langsung. Hal ini jelas dapat merusak kualitas susu kelompok keseluruhan. Analisis Jaringan Komunikasi Higien dan Sanitasi Pemerahan Jaringan komunikasi yang terbentuk di kelompok peternak sapi perah Harapan Jaya dan Mekar Sari pada dasarnya merupakan proses yang menunjukkan siapa berkomunikasi dengan siapa serta bagaimana suatu informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan terdistribusi di masingmasing kelompok tersebut. Cara berbagi informasi yang terjadi dalam satu waktu menuntun para peternak untuk saling mendekatkan atau menjauhkan pengertian bersama mereka mengenai realitas, sehingga jaringan komunikasi sangat menentukan dalam melakukan perubahan pengelolaan usaha ternak sapi perah terutama dalam mengadopsi teknik higien dan sanitasi pemerahan yang benar. Proses pembentukan jaringan komunikasi yang ada di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari terjadi melalui interaksi yang dilakukan oleh para peternak anggota kelompok dengan sesama anggota kelompoknya maupun dengan orang di luar kelompoknya dengan tujuan memenuhi kebutuhan informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan demi perbaikkan kualitas susu yang diperahnya. Pola interaksi antar peternak tersebut menunjukkan perilaku komunikasi mereka dalam memberi dan menerima serta menyebarluaskan informasi. Analisis terhadap jaringan komunikasi akan memberikan gambaran siapa saja yang terjangkau oleh informasi, bagaimana
45
informasi terdistribusi ke semua anggota sistem (kelompok) dan struktur jaringan komunikasi yang terbentuk serta bagaimana peran-peran dari peternak sapi perah dalam struktur jaringan komunikasi tersebut. Jaringan Komunikasi Higien dan Sanitasi Pemerahan di Kelompok Harapan Jaya Jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan di kelompok Harapan Jaya terbentuk karena para peternak berinteraksi dengan sesamanya (orang dalam kelompok) dan orang diluar kelompok dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan untuk meningkatkan kualitas susu hasil perahannya. Jumlah aktor (node) yang terlibat dalam jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan di Kelompok peternak sapi perah Harapan Jaya adalah 40 aktor yang terdiri dari 37 aktor merupakan peternak anggota kelompok Harapan Jaya, 1 aktor peternak kelompok lain, 1 aktor dari Koperasi dan 1 aktor mewakili Petugas Penyuluh (PPL). Dalam Jaringan komunikasi tersebut, terdapat 124 ikatan/hubungan komunikasi yang dibangun oleh para peternak dengan tingkat keterhubungan (density) yang rendah yaitu 0,079. Ini berarti dalam jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk hanya terdapat 7,9 persen ikatan/hubungan komunikasi yang dijalin oleh para peternak dari total potensi ikatan/hubungan komunikasi yang mungkin terjalin. Rendahnya tingkat keterhubungan ini menandakan miskinnya hubungan komunikasi dalam pencarian informasi higien dan sanitasi pemerahan diantara peternak anggota kelompok Harapan Jaya. Hal ini terjadi karena dalam pencarian informasi higien dan sanitasi pemerahan, sebagian besar peternak langsung berhubungan dengan sumber informasi dalam kelompok yaitu pengurus kelompok terutama ketua, sekretaris atau bendahara, dan diluar kelompok yaitu petugas penyuluh dari koperasi dan balai penyuluhan setempat yang datang ke kelompok. Mereka merasa mendapatkan penjelasan yang memadai tentang sanitasi pemerahan dari sumber informasi tersebut sehingga tak perlu lagi bertanya kepada pihak lain terkecuali bila ada informasi yang kurang jelas atau terlewatkan mereka akan bertanya kepada ke peternak lain. Kondisi ini mengakibatkan ikatan/hubungan komunikasi bertumpu pada sumber informasi utama yang ada yaitu pengurus kelompok, koperasi dan penyuluh. Pada Gambar 1 terlihat aliran informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan sebagian besar berasal dari node nomor 1, 30, 39 dan 40. Individu nomor 1 dan 30 adalah para pengurus kelompok yang bertindak sebagai ketua kelompok dan sekretaris, sedangkan individu nomor 39 adalah petugas penyuluh koperasi dan individu nomor 40 adalah petugas penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) setempat. Para peternak sapi perah sebagian besar mendapatkan informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan melalui pertemuan informal yaitu pada saat pengumpulan susu di TPS (Tempat Pengumpulan Susu) yang terletak tidak jauh dari kediaman mereka. Pada saat itu, ketua kelompok maupun para pengurus kelompok sering menyampaikan berbagai informasi mengenai usaha peternakan sapi perah terutama informasi higien dan sanitasi pemerahan. Begitu juga dengan para peternak, mereka saling berbagi informasi mengenai
46
usaha peternakan sapi perah. Media komunikasi lain yang sering mereka gunakan untuk berbagi informasi adalah pada saat mencari rumput (hijauan) dimana mereka bersama-sama menyewa mobil bak untuk mencari rumput (hijauan) diluar daerahnya (kota). Petugas penyuluh dari koperasi juga sering terlibat pertemuan informal dengan para peternak sapi perah terutama pada saat peternak meminta bantuan teknis seperti inseminasi buatan, pemeriksaan ternak yang sakit dan pemotongan kuku. Pada kesempatan itu, petugas penyuluh dari koperasi sering memberikan informasi mengenai ternak sapi perah termasuk tata cara higien dan sanitasi pemerahan yang baik dan benar. Adapun media komunikasi yang sifatnya formal yaitu pertemuan-pertemuan rutin 3 bulanan yang dilakukan oleh koperasi dengan mengundang beberapa perwakilan dari kelompok. Pihak koperasi menyampaikan berbagai informasi berkenaan dengan usaha ternak sapi perah kepada perwakilan kelompok untuk disampaikan kembali kepada para anggota kelompoknya masing-masing.
Keterangan: Star Bridge Liason
1 : Mamat 30 : Acu 38 : Ganda 39 : Koperasi 40 : BPP
m
Gambar 1. Sosiogram Jaringan Komunikasi di Kelompok Harapan Jaya Pada Gambar 1 juga memperlihatkan interaksi yang terjadi di kelompok Harapan Jaya dalam menerima dan menyebarkan informasi tentang sanitasi pemerahan cenderung membentuk struktur jaringan komunikasi yang bersifat menyebar atau radial personal network. Struktur jaringan komunikasi ini bersifat terbuka terhadap lingkungannya sehingga memberi peluang bagi para peternak untuk mengakses informasi yang tersedia dalam suatu jaringan lebih dalam lagi. Para peternak dapat mengakses sumber informasi utama yaitu para pengurus kelompok, penyuluh dari dinas pertanian dan koperasi serta sumber
47
informasi sekunder yaitu sesama peternak. Identifikasi terhadap sosiogram jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan menghasilkan dua klik yang secara rinci diuraikan pada Tabel 20. Tabel 20. Identifikasi klik dalam jaringan komunikasi peternak sapi perah di kelompok Harapan Jaya mengenai higien dan sanitasi pemerahan. Klik Anggota Klik Jumlah Anggota Klik I 1, 5, 11, 12, 14, 16, 6, 7,18, 36, 37, 8,10 13 II 30, 28, 29, 31, 34, 25, 26, 22, 23,27 10 Masing-masing klik dalam jaringan komunikasi di kelompok Harapan Jaya dapat terhubung satu sama lainnya melalui peran individu dalam jaringan komunikasi sebagai bridge (jembatan). Individu yang berperan sebagai bridge merupakan individu yang menghubungkan satu klik dengan klik yang lainnya, dimana ia merupakan anggota dari salah satu klik yang dihubungkan tersebut. Node yang berperan sebagai bridge (jembatan) yang menghubungkan klik I dengan Klik II adalah node nomor 22, 23, 25, 26, 28, 31, 36 dan 37. Identifikasi peran lain dalam sosiogram yaitu peran sebagai liason (penghubung) yaitu individu yang menghubungkan antara klik satu dengan yang lainnya namun individu itu sendiri bukanlah anggota dari klik tersebut. Indvidu yang berperan sebagai liason adalah indvidu nomor 39 dan 40 yang menghubungkan antara klik I dan Klik II. Kemudian peran cosmopolite yaitu individu yang menghubungkan kelompok dengan di luar sistem adalah individu dengan nomor 1. Peran gate keeper yaitu individu yang mengontrol arus informasi diantara anggota organisasi dilakukan oleh individu nomor 1 dan 30. Individu nomor 1 dan 30 adalah para pengurus kelompok. Individu nomor 1 yaitu Pak Mamat merupakan ketua kelompok Harapan Jaya. Posisinya sebagai ketua kelompok membuatnya sering berhubungan dengan sumbersumber informasi diluar kelompoknya seperti dengan perguruan tinggi, dinas pertanian setempat dan dinas peternakan provinsi sehingga ia memiliki banyak informasi. Ia juga merupakan pengurus koperasi Tandangsari dengan jabatan ketua usaha produksi sapi perah. posisinya baik dikelompok maupun di koperasi memungkinkannya dapat mengakses sejumlah informasi dan juga memiliki kekuasaan untuk mengendalikan arus informasi dalam jaringan komunikasi di kelompoknya. Adapun individu nomor 30 yaitu Bapak Acu yang menduduki jabatan sekretaris kelompok. Posisinya sebagai sekretaris di kelompok Harapan Jaya membuat Bapak Acu sering berhubungan dengan berbagai pihak terutama dengan koperasi oleh karena itu ia memilki banyak informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan. Tabel 21. Karakteristik peran star dalam jaringan komunikasi di kelompok Harapan Jaya Star
Mamat Acu
Pengalaman Pengalaman Tingkat Jumlah Produksi Tingkat Beternak Berkelompok kosmopolitan Kepemilikan Susu/ Pendidikan (tahun) (tahun) (kali) Ternak Ekor/hari (ekor) (liter)
SD SMP
21 14
21 14
5 4
32 4
13 15
48
Pada Tabel 21 menunjukkan bahwa individu yang berperan sebagai star yaitu Pak Mamat dan Pak Acu merupakan para peternak yang memiliki pengalaman beternak dan berkelompok yang sangat lama. Selain itu, mereka juga sering keluar dari daerahnya (keluar sistem) untuk mencari informasi berkenaan dengan usaha ternak sapi perah yang sedang mereka kerjakan. Oleh karena itu, mereka banyak membangun jaringan komunikasi dengan peternak lain dan sumber informasi dari luar kelompoknya. Pada Tabel 21 juga terlihat bahwa mereka yang berperan star pada umumnya merupakan peternak yang aktif keluar lingkungannya untuk mencari informasi dan memiliki jumlah ternak sapi perah yang cukup banyak dengan tingkat produksi susu per ekor per harinya diatas rata-rata di kelompoknya. Sosiogram juga menunjukkan tidak terdapat isolate kelompok Harapan Jaya (individu yang tidak memiliki hubungan dengan siapapun dalam sebuah sistem jaringan komunikasi). Semua peternak sapi perah memiliki hubungan dengan pihak lain dalam jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk di kelompok Harapan Jaya.
Jaringan Komunikasi Higien dan Sanitasi Pemerahan di Kelompok Mekar Sari Jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk di kelompok Mekar Sari mempunyai 53 aktor komunikasi terdiri dari 51 aktor dari anggota kelompok Mekar Sari, 1 aktor lembaga koperasi dan 1 aktor PPL. Ikatan/hubungan yang terbentuk adalah 132 dengan tingkat keterhubungan (density) rendah yaitu 0,049. Ini berarti dalam jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk hanya terdapat 4,9 persen ikatan/hubungan komunikasi yang dijalin oleh para peternak dari total potensi ikatan/hubungan komunikasi yang mungkin terjalin. Rendahnya tingkat keterhubungan ini menandakan miskinnya hubungan komunikasi dalam pencarian informasi higien dan sanitasi pemerahan diantara peternak anggota kelompok Mekar Sari. Tidak berbeda dengan kelompok Harapan Jaya, penyebab rendahnya ikatan/hubungan yang terjadi adalah karena dalam pencarian informasi higien dan sanitasi pemerahan, kebanyakan peternak langsung berhubungan dengan sumber informasi utama yang menurut mereka lebih jelas dan terpercaya yaitu pengurus kelompok terutama ketua, sekretaris atau bendahara, dan diluar kelompok yaitu petugas penyuluh dari koperasi dan balai penyuluhan setempat. Mereka merasa mendapatkan penjelasan yang cukup tentang sanitasi pemerahan dari sumber informasi tersebut sehingga tak perlu lagi bertanya kepada peternak lain dikelompoknya terkecuali bila ada informasi yang kurang jelas atau terlewatkan. Keadaan ini berimbas pada jumlah ikatan ikatan/hubungan komunikasi yang terbentuk di kelompok tersebut. Ikatan/hubungan komunikasi yang terbentuk bertumpu pada sumber informasi utama yang ada yaitu pengurus kelompok, koperasi dan penyuluh. Tidak berbeda dengan kelompok Harapan Jaya, aliran informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan di Mekar Sari juga sebagian besar berasal dari para pengurus kelompok yaitu individu nomor 1 dan 2 yang bertindak sebagai bendahara dan sekretaris kelompok serta berasal dari petugas penyuluh
49
koperasi (nomor 52) dan penyuluh dari BPP setempat (node nomor 53). Para peternak di kelompok Mekar Sari juga kebanyakkan mendapatkan informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan melalui pertemuan informal yaitu pada saat pengumpulan susu di TPS (Tempat Pengumpulan Susu) sore hari sekitar jam 16.00 WIB. Pada saat itu, para pengurus kelompok sering menyampaikan berbagai informasi mengenai usaha peternakan sapi perah terutama informasi higien dan sanitasi pemerahan. Begitu juga dengan para peternak, mereka saling berbagi informasi mengenai usaha peternakan sapi perah. Media komunikasi lain yang sering mereka gunakan untuk berbagi informasi adalah pada saat mencari rumput (hijauan) bersama hingga keluar kota. Pertemuan informal lain yaitu kunjungan petugas penyuluh dari koperasi peternak meminta bantuan teknis seperti inseminasi buatan, pemeriksaan ternak yang sakit serta pemotongan kuku. Pada kesempatan itu, petugas penyuluh dari koperasi sering memberikan informasi mengenai ternak sapi perah termasuk tata cara higien dan sanitasi pemerahan yang baik dan benar. Adapun media komunikasi yang sifatnya formal adalah pertemuan rutin 3 bulanan yang dilakukan oleh koperasi dengan mengundang perwakilan dari kelompok Mekar Sari. Pihak koperasi menyampaikan berbagai informasi berkenaan dengan usaha ternak sapi perah kepada perwakilan kelompok untuk disampaikan kembali kepada para anggota kelompoknya.
Keterangan: Star 1 : Memen 2 : Tisna Bridge 38 : Mukti Liason 52 : Koperasi 53 : BPP m
Gambar 2. Sosiogram Jaringan Komunikasi di Kelompok Mekar Sari
50
Jaringan komunikasi peternak sapi perah mengenai higien dan sanitasi pemerahan dapat diamati pada Gambar 2, terlihat bahwa jaringan komunikasi yang terbentuk diantara peternak sapi perah cenderung membentuk struktur jaringan personal memusat (interlocking personal network) dimana arus informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan, terpusat pada satu individu yang merupakan anggota dalam sistem tersebut ataupun individu diluar anggota sistem. Pada sosiogram juga terlihat arus informasi terpusat pada setiap klik dimana, individu anggota pada klik tersebut cenderung melakukan komunikasi pada satu individu. Rogers dan Kincaid, (1981) menyatakan bahwa jaringan personal yang memusat (interlocking) mempunyai derajat integrasi yang tinggi dan individu yang terlibat dalam jaringan komunikasi interlocking terdiri dari individu-individu yang homopili, namun kurang terbuka terhadap lingkungannya. Pada sosiogram jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan pada Gambar 2 dapat diidentifikasi adanya tiga klik yang secara rinci diuraikan pada Tabel 22. Tabel 22. Identifikasi klik dalam jaringan komunikasi peternak sapi perah di kelompok Mekar Sari mengenai higien dan sanitasi pemerahan. Klik Anggota Klik Jumlah Anggota Klik I 2, 8, 10, 22, 3, 11, 12, 9, 13, 30, 50, 31 12 II 1, 4, 7, 15, 3, 16, 51, 32, 40, 24 10 III 38, 37, 45, 46, 36, 35, 34, 33 8 Pada jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan ini terlihat semua klik terhubung satu sama lain. Klik-klik tersebut dihubungkan oleh individu yang berperan sebagai bridge. Klik I berhubungan dengan klik II melalui peternak nomor 3, 8, 10, 11, 13, 22, 24, 30. Klik I berhubungan dengan Klik III melalui individu nomor 8 dan 45 . klik II berhubungan dengan klik III melalui peternak nomor 16 dan 51. Peran liason sendiri dimainkan oleh node nomor 52 yaitu penyuluh dari koperasi dan node nomor 53 yaitu penyuluh dari BPP. Peran lain yang dapat identifikasi dalam sosiogram jaringan komunikasi pada gambar adalah gate keeper yaitu individu nomor 1 dan 2 yang merupakan pengurus kelompok. Individu nomor 1 adalah Bapak Memen yang merupakan sekretaris kelompok Mekar Sari sedangkan individu nomor 2 adalah Bapak Tisna yaitu bendahara kelompok. Kedua orang tersebut mempunyai banyak informasi mengenai usaha ternak sapi perah termasuk higien dan sanitasi pemerahan. baik pak tisna maupun pak memen sering mewakili kelompok untuk menghadiri pertemuan, penyuluhan atau pelatihan di koperasi maupun di balai penyuluhan. Mereka juga sering berhubungan dengan individu lain terutama dengan sumbersumber informasi seperti pihak koperasi dan , penyuluh dinas pertanian setempat. Oleh karena itu, mereka memiliki kekuasaan untuk mengendalikan arus informasi dalam jaringan komunikasi di kelompoknya. individu lain yang berperan sebagai gate keeper adalah individu nomor 38 yaitu Pak Mukti. Ia adalah mantan ketua kelompok Mekar Sari dan sekarang menempati posisi sebagai tester (penguji) mutu susu. Posisi dan pengalamannya sebagai mantan ketua membuatnya banyak mengetahui informasi tentang higien dan sanitasi pemerahan hingga ia banyak dihubungi oleh peternak lain. Peran lain yang teridentifikasi adalah isolate dimana terdapat 8 individu yang tidak memiliki hubungan dengan individu
51
sekelompok dan hanya berhubungan dengan pihak koperasi yaitu nomor 19,27,18,39,41,43,42, 44. Tabel 23. Karakteristik Peran Star dalam jaringan komunikasi di Kelompok Mekar Sari Star
Memen Tisna Mukti
Tingkat Pengalaman Pengalaman Tingkat Jumlah Produksi Pendidikan Beternak Berkelompok kosmopolitan Kepemilikan Susu/ (tahun) (tahun) (kali) Ternak Ekor/hari (ekor) (liter) SMA 24 24 3 5 10 SMP 25 25 4 5 13 SD 30 30 3 5 10
Pada Tabel 23, terlihat bahwa pada umumnya peternak yang menjadi star (bintang) di kelompoknya merupakan peternak yang memiliki pengalaman dibidang usaha peternakan dan berkelompok yang sangat lama. Selain itu, mereka juga merupakan peternak yang aktif keluar lingkungannya (sangat kosmopolit) untuk mencari informasi seputar usaha ternak sapi perahnya. Dengan pengalaman yang sangat lama dalam usaha ternak sapi perah dan tingkat kosmopolitan yang tinggi menjadikan peternak tersebut banyak memiliki hubungan komunikasi dengan peternak lain dan sumber informasi lain seperti pihak koperasi dan penyuluh dari BPP. Keadaan ini menjadikan mereka banyak memiliki pengetahuan seputar pengelolaan usaha ternak terutama tata cara higien dan sanitasi pemerahan dengan baik dan benar sehingga mereka banyak dihubungi oleh peternak lain untuk dimintai informasinya. Analisis Jaringan Komunikasi Tingkat Individu Analisis jaringan komunikasi di tingkat individu dalam penelitian ini memfokuskan untuk melihat ukuran sentralitas. Pengukuran Sentralitas bertujuan untuk mengidentifikasi posisi atau lokasi serta karakteristik aktor (node) dalam suatu jaringan komunikasi (Hatala, 2006). Dari pengukuran sentralitas akan diperoleh derajat beragam individu dalam sosiogram yang menunjukkan seberapa baik terhubungnya suatu individu dengan lingkungannya. Sentralitas juga dapat digunakan untuk mengukur keterunggulan individu dalam sistem. Dalam penelitian ini pengukuran sentralitas meliputi sentralitas lokal, sentralitas global dan kebersamaan (betweeneess). Sentralitas Lokal Sentralitas lokal merupakan pengukuran sentralitas yang paling sederhana karena mengasumsikan bahwa individu yang paling banyak memiliki ikatan/hubungan merupakan individu yang menjadi pusat (sentral) (Hatala, 2006). Menurut Freeman (1978), sentralitas lokal mempunyai makna sebagai potensi aktivitas komunikasi yang dimiliki oleh seseorang dalam suatu jaringan. Sentralitas lokal menunjukkan sejauhmana seorang individu mempunyai ikatan/hubungan komunikasi dengan individu lain. Nilai sentralitas lokal yang tinggi mengindikasikan posisi aktor (node) yang lebih sentral. Aktor (node) yang memiliki nilai sentralitas lokal tinggi dapat membantu memudahkan aliran
52
informasi dari satu kelompok pada kelompok berikutnya dalam suatu jaringan sehingga ia dapat menjadi saluran utama informasi atau titik pusat (focal point) komunikasi (Freeman, 1978; Hatala, 2006). Adapun individu yang memiliki nilai sentralitas lokal rendah dianggap kurang penting (peripheral) dan posisinya menjadikan terisolasi dari keterlibatan aktif dalam suatu jaringan komunikasi (Freeman, 1978). Pada umumnya aktor/node yang memiliki nilai sentralitas lokal tinggi dalam suatu kelompok tani-ternak adalah para pengurus kelompoknya terutama ketua kelompok, sekretaris dan bendahara. Hal ini dikarenakan mereka sering mendapat informasi dari luar sistemnya (koperasi dan dinas pertanian) sehingga mereka menjadi sumber informasi di kelompok. Demikian juga halnya yang terjadi dengan kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari. Para pengurus kelompok rata-rata memiliki nilai sentralitas lokal yang tinggi karena mereka menjadi sumber informasi bagi anggota kelompoknya. Berikut nilai sentralitas lokal secara umum di kelompok peternak Harapan Jaya dan Mekar Sari pada Tabel 24. Tabel 24. Nilai Sentralitas Lokal Secara Umum di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Sentralitas Lokal Kelompok Uji Beda (t)* Harapan Jaya Mekar Sari Nilai Maksimum 29 25 Nilai Minimum 2 1 1,332 Jumlah Node Minimum 6 (16%) 15 (30%) Rata-rata 5 3,6 * nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan Tabel 24, terlihat bahwa nilai sentralitas lokal tertinggi untuk kelompok Harapan Jaya adalah 29 dan nilai terendah adalah 2. Ini berarti bahwa peternak sapi perah paling banyak mampu menghubungi 29 individu dan paling sedikit hanya mampu menghubungi 2 individu dalam suatu sistem jaringan komunikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok Mekar Sari, dimana nilai sentralitas lokal tertinggi adalah 25 dan nilai sentralitas lokal terendah adalah 1 yang berarti peternak sapi perah paling banyak mampu menghubungi 25 individu dan paling sedikit hanya mampu menghubungi 1 individu dalam sebuah sistem jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan. Pada kelompok Harapan Jaya nilai sentralitas lokal tertinggi itu dimiliki oleh individu nomor satu yaitu Pak Mamat yang berperan sebagai ketua kelompok sedangkan nilai sentralitas lokal tertinggi di kelompok Mekar Sari dimiliki oleh individu nomor dua yaitu Pak Tisna yang menduduki jabatan bendahara kelompok. Individu yang memiliki nilai sentralitas lokal tinggi menunjukkan bahwa individu tersebut aktif membangun hubungan (berkomunikasi) dengan individu-individu lain. Begitu juga dengan Pak Mamat dan Pak Tisna, mereka sangat aktif menghubungi sumber-sumber informasi dan kemudian menyebarkannya kepada para anggota dalam jaringan komunikasi kelompoknya. Pada Tabel 24 juga memperlihatkan bahwa individu yang memiliki nilai sentralitas lokal minimum di kelompok Harapan Jaya hanya mencapai 16% dari keseluruhan anggota kelompok sedangkan di kelompok Mekar Sari ada 30%
53
individu dalam sistem jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan yang terbentuk yang memiliki nilai sentralitas lokal minimum. Ini menandakan bahwa para peternak sapi perah di kelompok Harapan Jaya lebih aktif membangun komunikasi dibandingkan dengan para peternak sapi perah di kelompok Mekar Sari. Hal ini terjadi terutama karena peternak anggota kelompok Harapan Jaya mempunyai pengalaman beternak, ikut berkelompok dan berkoperasi yang lebih tinggi dari pada peternak di kelompok Mekar Sari, sehingga dengan pengalaman-pengalaman tersebut anggota kelompok Harapan Jaya lebih banyak menjalin komunikasi dengan sesamanya maupun dengan pihak luar. Hasil uji beda rata-rata sentralitas lokal menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok Harapan Jaya dengan kelompok Mekar Sari dalam hal jumlah ikatan/ hubungan komunikasi yang terjalin yang berarti para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki peluang dan potensi yang sama untuk membangun jaringan komunikasi di kelompoknya masing-masing. Namun jika melihat keseluruhan terlihat bahwa nilai minimum sentralitas lokal di kedua kelompok berbeda yaitu 2 untuk kelompok Harapan Jaya dan 1 untuk kelompok Mekar Sari. Ini menandakan bahwa pada para peternak kelompok Harapan Jaya memiliki jalinan koneksi yang lebih banyak dibandingkan dengan peternak di Mekar Sari sehingga peternak di kelompok Harapan Jaya lebih bebas dan tidak tergantung kepada satu koneksi komunikasi sedangkan pada kelompok Mekar Sari, anggotanya lebih tergantung pada satu koneksi komunikasi. Hal ini di duga terjadi karena tempat tinggal peternak di Kelompok Harapan Jaya yang mengumpul di satu wilayah yaitu di Sekepaku dan Sekepaku Hilir sehingga para peternak dapat dengan mudah menjangkau (bertemu) peternak lain yang sekelompok untuk berinteraksi berbagi informasi. Sedangkan pada kelompok peternak Mekar Sari, tempat tinggal para anggotanya relatif menyebar bahkan ada seorang peternak yang tempat tinggalnya jauh dari wilayah kelompok sehingga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi terlebih daerah tempat tinggalnya memiliki topografi perbukitan sehingga membuat intensitas komunikasi jarang dilakukan. Akibatnya terdapat 30 persen anggota kelompok peternak Mekar Sari yang hanya mempunyai satu ikatan/hubungan komunikasi dan itupun hanya berhubungan (berkomunikasi) dengan pihak koperasi. Sentralitas Global Sentralitas global merupakan pengukuran sentralitas yang mengacu pada konsep distance atau langkah (hops) yang dibutuhkan untuk menghubungi anggota lain dalam suatu jaringan. Menurut Wasserman dan Faust (1994), sentralitas global bermakna potensi yang dimiliki individu untuk dapat dengan cepat berhubungan dengan individu lain. Nilai sentralitas global menunjukkan jumlah ikatan yang seseorang butuhkan untuk menghubungi semua individu dalam jaringan. Individu yang mempunyai nilai sentralitas global rendah mempunyai kemampuan lebih cepat untuk menghubungi individu lain dalam suatu sistem daripada individu yang yang nilai sentralitas globalnya rendah karena mereka lebih lebih sedikit membutuhkan perantara (intermediaries). Dalam konteks difusi informasi, individu dengan nilai sentralitas global rendah akan lebih dahulu menerima informasi daripada individu dengan nilai sentralitas global tinggi dalam suatu jaringan (Valente dan Foreman, 1998). Dengan
54
demikian sentralitas global dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memilih orang yang tepat sebagai kunci penyebar informasi. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan software UCINET VI diperoleh nilai sentralitas global untuk kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 . Nilai Sentralitas Global Secara Umum di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Sentralitas Global Kelompok Uji Beda (t)* Harapan Jaya Mekar Sari Maksimum 1560 2756 Minimum 172 654 Jumlah Node Maksimum 15 (41%) 42 (84%) -1,848 Rata-rata 1237 2464 * nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan software UCINET VI pada Tabel 25, diperoleh nilai maksimum sentralitas global untuk kelompok Harapan Jaya 1560 dan untuk kelompok Mekar Sari 2756. Individu yang memiliki nilai sentralitas global terbesar pada kelompok Harapan Jaya berjumlah 15 orang yang ditunjukkan oleh nomor sedangkan pada kelompok Mekar Sari terdapat 42 orang yang memiliki nilai sentralitas global maksimum. Ini berarti sebanyak 15 individu pada kelompok Harapan Jaya dan 42 individu pada kelompok Mekar Sari yang merupakan individu yang paling sulit atau paling lambat untuk menghubungi seluruh individu yang menjadi anggota dalam sistem jaringan komunikasi higien dan sanitasi pemerahan. Dari Tabel 25 juga menunjukkan nilai minimum sentralitas global pada kelompok Harapan Jaya adalah 172 sedangkan untuk kelompok Mekar Sari adalah 654. Nilai sentralitas global yang rendah menunjukkan pendeknya jarak yang harus dilalui untuk menjangkau semua individu dalam sistem sehingga informasi dapat cepat menyebar ke seluruh anggota. Oleh karena itu, individu yang mempunyai nilai sentralitas global minimum merupakan individu yang sangat berpotensi sebagai kunci penyebar informasi. Melalui individu inilah informasi-informasi baru dapat diterima dan disebarluaskan kepada seluruh anggota sistem jaringan komunikasi dengan segera. Nilai minimum sentralitas global pada kelompok Harapan Jaya terdapat pada aktor nomor satu yaitu Bapak Mamat yang berperan sebagai ketua kelompok, sedangkan pada kelompok Mekar Sari terdapat pada aktor nomor dua yaitu Bapak Tisma yang menjabat sebagai bendahara kelompok. Kedua aktor tersebut merupakan kunci penyebar informasi di kelompoknya masing-masing dimana setiap informasi yang disampaikan kepadanya dapat segera tersebar kepada seluruh anggota kelompok. Hasil uji beda rata-rata sentralitas global menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari dalam nilai sentralitas global. Ini menandakan bahwa para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki potensi komunikasi yang sama untuk mencapai seluruh anggota di kelompoknya masing-masing.
55
Kebersamaan Kebersamaan merupakan pengukuran sentralitas yang mengukur sejauh mana individu tertentu terletak diantara individu-individu lain dalam suatu jaringan. Menurut Freeman 1978, konsep kebersamaan mengacu pada tingkat frekuensi seorang individu yang berada diantara individu-individu yang berhubungan dalam suatu jalur komunikasi. Jika seseorang berada dalam suatu jalur komunikasi yang menghubungkan antar individu atau klik maka individu tersebut memiliki posisi yang sentral. Individu dengan nilai kebersamaan tinggi mempunyai potensi kendali komunikasi yang dapat memainkan potensi sebagai broker atau gatekeeper dalam suatu jaringan. Individu lain akan menjadi tergantung kepadanya jika jalur yang menghubungkannya dengan orang lain harus melewati individu tersebut. Tabel 26. Nilai Kebersamaan Secara Umum di Kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari Kebersamaan Kelompok Uji Beda (t)* Harapan Jaya Mekar Sari Maksimum 182 126 Minimum 0 0 1,477 Jumlah Node Minimum 22 (59%) 42 (84%) Rata-rata 18 7,42 * nyata jika lebih besar dari t tabel = 1,988
Dari Tabel 26 dapat diamati bahwa nilai maksimum kebersamaan di kelompok Harapan Jaya adalah 182 sedangkan di kelompok Mekar Sari adalah 126. Kemudian dari Tabel terlihat juga bahwa nilai minimum kebersamaan kedua kelompok adalah 0. Individu yang memiliki nilai kebersamaan maksimum berarti individu tersebut mempunyai kendali komunikasi dalam jaringan komunikasi dalam sistemnya. Individu yang mempunyai nilai sentralitas maksimum pada kelompok Harapan Jaya adalah individu nomor satu dan pada kelompok Mekar Sari individu dengan nilai kebersamaan terbesar ada pada individu nomor dua. Kedua individu tersebut adalah pengurus kelompok di kelompoknya, masing-masing berperan sebagai ketua kelompok yaitu Pak Mamat dan Pak Tisna sebagai bendahara kelompok. Pak Mamat selaku ketua kelompok Harapan Jaya memiliki banyak informasi berkenaan dengan sanitasi pemerahan karena ia banyak berhubungan dengan sumber-sumber informasi utama seperti koperasi dan penyuluh BPP hingga ia sendiri banyak dihubungi oleh peternak. Posisinya menjadi sangat kuat karena mampu menyambungkan antarindividu dalam sistem jaringan komunikasi di kelompoknya. begitu juga dengan pak tisna yang memiliki banyak hubungan dengan sumber informasi dari luar, menjadikannya banyak dihubungi oleh peternak lain hingga posisinya menjadi konektor atau penghubung antarindvidu di jaringan komunikasi kelompok Mekar Sari. Pada Tabel juga memperlihatkan terdapat 59% anggota kelompok Harapan Jaya dan 84% anggota kelompok Mekar Sari yang memiliki nilai kebersamaan nol. Ini mengindikasikan bahwa sebanyak 59% anggota kelompok Harapan Jaya bergantung kepada individu tertentu untuk menghubungi sesamanya begitu pula di kelompok Mekar Sari terdapat 84%
56
anggota kelompok yang tergantung pada invidu terntentu untuk menghubungi sesamanya. Hasil uji beda rata-rata kebersamaan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok Harapan Jaya dengan Kelompok Mekar Sari dalam hal nilai kebersamaan. Ini menandakan bahwa para peternak dikedua kelompok tersebut memiliki peluang dan potensi kendali komunikasi yang sama untuk menjadi penghubung komunikasi dalam kelompoknya masing-masing. Hubungan Karakteristik Individu dengan Jaringan Komunikasi Penelitian ini menguji hubungan antara karakteristik individu peternak sapi perah dengan jaringan komunikasi dengan menggunakan korelasi Spearman. Penggunaan uji korelasi Spearman dikarenakan baik variabel karakteristik individu peternak maupun variabel jaringan komunikasi merupakan data skala rasio yang diolah menjadi data ordinal. Karakteristik individu yang diuji dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan formal, pengalaman beternak, pengalaman berkelompok dan pengalaman berkoperasi dan tingkat kosmopolitan, sedangkan varibel jaringan komunikasi meliputi sentralitas lokal, sentralitas global dan kebersamaan (betweeness). Sentralitas Lokal Sentralitas lokal pada dasarnya merupakan jumlah ikatan/hubungan yang mampu dibuat oleh individu tertentu terhadap individu lain yang berada dalam lingkungan terdekatnya. Sentralitas lokal memperhatikan keunggulan relatif individu yang menjadi star dalam hubungan pertetanggaan. Berikut hasil uji korelasi Spearman variabel karakteristik individu dengan sentralitas lokal disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Individu dengan Sentralitas Lokal Karakteristik Individu Sentralitas Lokal Usia 0,047 Pendidikan Formal -0,080 Pengalaman Beternak 0,443** Pengalaman Berkelompok 0,465** Pengalaman Berkoperasi 0,465** Tingkat Kosmopolitan 0,387** Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
Berdasarkan Tabel 27, hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara pengalaman beternak dengan sentralitas lokal dengan nilai r = 0,443**. Ini berarti semakin tinggi tingkat pengalaman seorang peternak dalam mengelola usaha peternakan sapi perah, maka semakin tinggi pula ikatan hubungan komunikasi yang dibuat oleh peternak dalam lingkungan terdekatnya. Pengalaman beternak pada dasarnya merupakan akumulasi berbagai peristiwa yang dialami oleh peternak dalam pengelolaan usaha ternaknya dari mulai awal berusaha ternak hingga saat ini. Berbagai permasalahan terkait usaha ternaknya dialami peternak sehingga mereka
57
harus mencari bantuan guna mengatasi permasalahannya tersebut. Mereka menghubungi peternak lain dan sumber informasi terdekat lainnya yang dianggap memiliki banyak informasi untuk meminta saran atau bertukar pendapat dalam menangani permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, semakin lama pengalaman beternak yang dimiliki seorang, semakin mampu peternak membangun hubungan komunikasi dengan pihak lain dalam lingkungan terdekatnya sehingga sangat mungkin peternak tersebut menjadi sumber informasi dan berperan sebagai star dalam lingkungan terdekatnya. Tingginya pengalaman beternak pada peternak juga dapat menunjukkan banyaknya informasi yang dimiliki peternak tersebut berkaitan dengan usaha ternak sapi perah yang mereka jalani sehingga frekuensi hubungan lebih banyak terjalin karena mereka cenderung dipilih peternak lain sebagai sumber informasi usaha peternakan sapi perah. Hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara pengalaman berkelompok dengan sentralitas lokal dengan nilai r = 0,465**. Ini bermakna semakin lama pengalaman seorang peternak ikut bergabung dalam kelompok peternak sapi perah maka semakin banyak ikatan/hubungan komunikasi yang dibangun peternak dengan pihak lain terutama peternak lain dilingkungannya, pihak koperasi dan penyuluh dari BPP. Kelompok merupakan sekumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai satu tujuan sehingga dengan ikut berkelompok, peternak akan mendapatkan banyak peluang untuk berinteraksi dengan peternak lain. Mereka dapat saling memberi dan menerima informasi tentang berbagai hal berkaitan dengan usaha ternaknya. Kelompok juga menawarkan banyak akses kepada anggotanya untuk menuju sumber informasi yang dapat mereka percayai. Jadi intinya dengan berkelompok, peternak mendapatkan banyak kesempatan untuk membangun jaringan komunikasi yang luas dan berkualitas guna peningkatan usaha peternakan sapi perahnya. Sama halnya dengan pengalaman berkelompok, hasil uji korelasi Spearman juga menunjukkan bahwa pengalaman berkoperasi mempunyai hubungan yang positif dan sangat nyata terhadap variabel jaringan komunikasi yaitu sentralitas lokal dengan nilai r = 0,465**. Ini artinya semakin tinggi tingkat pengalaman ikut bergabung dengan koperasi seorang peternak, maka semakin banyak ikatan/hubungan komunikasi yang dibuat oleh peternak tersebut. Koperasi adalah suatu lembaga ekonomi yang menganut azas kekeluargaan dengan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggotanya. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, mutlak diperlukan adanya interaksi dan kerja sama yang baik diantara anggotanya. Kerja sama yang dilakukan oleh para anggota koperasi tersebut akan berdampak pada proses transfer ilmu pengetahuan dari sumber informasi ke penerima. Mereka akan saling berbagi informasi mengenai usaha ternak sapi perahnya. Koperasi juga mempunyai banyak anggota yang bermata pencaharian sebagai peternak sapi perah. hal ini tentunya merupakan peluang bagi peternak untuk membangun ikatan/hubungan komunikasi yang lebih banyak lagi dengan peternak lain guna terwujudnya tujuan utama bergabung menjadi anggota koperasi. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang sangat nyata dan positif antara tingkat kosmopolitan peternak sapi perah dengan nilai sentralitas lokal dengan nilai korelasi r = 0,387** yang berartinya semakin tinggi tingkat kosmopolitan peternak sapi perah maka semakin banyak hubungan yang
58
terjalin dengan peternak lain. Kosmopolitan berkaitan erat dengan perilaku komunikasi. Semakin terbuka seorang peternak terhadap dunia luar dan bersedia menerima ide-ide baru dalam pengembangan usaha ternaknya maka semakin banyak pengetahuan yang diperoleh sehingga peternak yang tingkat kosmopolitnya tinggi cenderung akan dihubungi peternak lain untuk dimintai informasinya terutama berkaitan dengan peternakan sapi perah. Semakin tinggi kekosmopolitan peternak sapi perah semakin memungkinkan dirinya berperan sebagai star dalam lingkungan terdekatnya. Peran sebagai star merupakan peran yang dijalankan oleh individu tertentu yang memiliki jumlah hubungan maksimal dengan individu lainnya dalam lingkungan terdekatnya. Individu yang berperan sebagai star dalam lingkungan terdekatnya merupakan orang yang menjadi pusat perhatian dalam interaksi sesamanya, mereka juga merupakan sumber informasi yang paling sering diajak berkomunikasi dengan individu lain yang berada di lingkungan terdekat mereka. Hal ini menjadikan mereka banyak terhubung dengan peternak sapi perah lainnya. Oleh karena itu, semakin tinggi kekosmopolitan peternak sapi perah, semakin besar kemungkinan mereka menjadi sumber informasi bagi peternak sapi perah yang lain di lingkungan terdekat mereka. Dari Tabel 27 juga memperlihatkan bahwa usia dan tingkat pendidikan peternak responden tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan sentralitas lokal. Sentralitas Global Sentralitas global merupakan derajat yang menunjukkan banyaknya jalur yang harus dilalui oleh individu tertentu untuk menghubungi semua individu di dalam sistem. Derajat ini menunjukkan kemampuan individu untuk dapat menghubungi semua individu lain dalam sistem. Derajat sentralitas global dapat memberikan petunjuk mengenai siapa-siapa saja di dalam sebuah sistem yang dapat menjadi kunci penyebar informasi. Selanjutnya, hubungan antara karakteristik individu peternak sapi perah dengan sentralitas global dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini. Tabel 28. Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Invidu dengan Sentralitas Global Karakteristik Individu Sentralitas Global Usia -0,080 Pendidikan Formal 0,143 Pengalaman Beternak -0,201 Pengalaman Berkelompok -0,191 Pengalaman Berkoperasi -0,191 Tingkat Kosmopolitan -0,236* Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
Pada Tabel 28 memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara tingkat kosmopolitan para peternak dengan sentralitas global dengan nilai r = -0,236**. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kosmopolitan seorang peternak maka semakin pendek “distance” yang harus dilalui seorang peternak untuk menghubungi semua individu dalam kelompoknya.
59
Semakin rendah nilai sentralitas global menunjukkan semakin pendek “distance” yang harus dilalui untuk menghubungi semua individu dalam sistem sebaliknya, semakin tinggi nilai sentralitas global menunjukkan semakin panjang “distance” yang harus dilalui untuk menghubungi semua individu dalam sistem (Scott, 2000). Kosmopolitan menunjukkan seberapa banyak orang yang dapat diakses oleh seseorang, baik datang langsung menemuinya atau peternak yang mendatangi sumber informasi tersebut. Peternak sapi perah yang memiliki kekosmopolitan yang tinggi dan pengetahuan yang lebih luas akan sangat dengan mudah dihubungi oleh peternak lainnya untuk dijadikan sumber informasi, karena informasi dan pengetahuan tentang usahatani sapi perah yang dimiliki oleh individu tersebut dibutuhkan oleh peternak lain, maka tidak menutup kemungkinan para peternak sapi perah dalam sistem menjadikan peternak tersebut sebagai sumber informasi mereka. Kondisi seperti ini juga menunjukkan semakin banyak individu yang berhubungan dengan peternak sapi perah tersebut sehingga, semakin pendek jarak atau “distance” yang harus dilalui sehingga semakin mudah bagi peternak sapi perah tersebut untuk menghubungi seluruh individu yang berada dalam sistem jaringan komunikasi. Pada Tabel 28 juga terlihat bahwa usia dan tingkat pendidikan peternak tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan sentralitas global. Hal ini diduga karena semua peternak baik berusia muda maupun tua dengan tingkat pendidikan yang beragam memiliki potensi yang sama untuk menjadi penyebar informasi. Dari Tabel 28 juga menunjukkan bahwa pengalaman beternak, pengalaman berkelompok dan pengalaman berkoperasi tidak memiliki hubungan yang nyata dengan sentralitas global. Hal ini terjadi karena sedikitnya interaksi (hubungan komunikasi) yang dilakukan oleh para peternak dengan sesama peternak dalam mencari dan menyebarkan informasi sanitasi pemerahan. peternak tidak memanfaatkan dengan optimal wadah kelompok dan koperasi untuk membangun jejaring. Kebersamaan (Betweeness) Kebersamaan merupakan posisi individu tertentu terletak diantara individuindividu lain pada suatu jaringan dimana posisi tersebut menunjukkan kemampuannya untuk menjalin hubungan dengan klik atau kelompok lain dalam suatu jaringan. Selanjutnya, hubungan antara karakteristik individu peternak sapi perah dengan kebersamaan dapat dilihat pada Tabel 29 di bawah ini. Tabel 29. Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Karakteristik Individu dengan Kebersamaan Karakteristik Individu Kebersamaan Usia -0,073 Pendidikan Formal 0,163 Pengalaman Beternak 0,188 Pengalaman Berkelompok 0,192 Pengalaman Berkoperasi 0,192 Tingkat Kosmopolitan 0,477** Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
60
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman yang disajikan pada Tabel 29 terlihat bahwa terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kosmopolitan peternak dengan nilai kebersamaan, dimana r = 0,477**. Ini berarti semakin kosmopolit seseorang semakin tinggi kebersamaannya. Dengan kata lain semakin terbuka seorang peternak terhadap dunia luar maka semakin tinggi pula kemampuannya untuk membuat hubungan dan menjadi penghubung dengan pihak lain. Tingkat kosmopolitan menunjukkan tingkat partisipasi seorang peternak dalam aktifitas sosial yang berada di dalam maupun di luar lingkungannya. Kekosmopolitan juga berkaitan erat dengan perilaku komunikasi. Peternak dengan tingkat kosmopolitan yang tinggi akan menghubungi dan dihubungi peternak lain guna mencari dan membagi informasi. Semakin tinggi kosmopolitan peternak semakin memungkinkan dirinya berperan sebagai star dalam sistem jaringan komunikasi. Peternak yang berperan sebagai star dalam lingkungan terdekatnya merupakan orang yang menjadi pusat perhatian dalam interaksi sesamanya. Ia juga merupakan sumber informasi yang paling sering diajak berkomunikasi dengan peternak lain yang berada di lingkungan terdekat sehingga peternak tersebut banyak memiliki koneksi yang banyak sehingga peternak tersebut memiliki posisi strategis mampu membuat hubungan dengan pihak lain. Berdasarkan uji korelasi Spearman yang disajikan pada Tabel 29 di atas, terlihat bahwa pengalaman beternak sapi perah berhubungan sangat nyata dan positif dengan kebersamaan dimana r = 0,291*. Artinya, semakin tinggi tingkat pengalaman beternak semakin tinggi kebersamaan peternak dalam sistem jaringan komunikasi. Dalam arti lain, semakin tinggi pengalaman beternak seorang peternak sapi perah, maka semakin tinggi kemampuan peternak tersebut untuk dapat menjalin hubungan dengan peternak lain dalam sistem. Hal ini bisa terjadi karena dengan tingginya pengalaman beternak yang dimiliki mengindikasikan peternak tersebut banyak mengetahui informasi tentang usaha ternak sapi perah yang diperoleh dari hubungan-hubungan yang dibangunnya dengan berbagai sumber informasi seperti peternak lain, koperasi maupun penyuluh. Hubungan-hubungan yang dijalinnya dalam rangka mencari informasi peternakan terutama sanitasi pemerahan, membuat peternak banyak mengenal aktor lain dalam jaringan sehingga peternak tersebut memiliki posisi yang berpengaruh dalam jaringan karena ia menjadi jalur penghubung untuk menuju pihak lain. Peternak tersebut juga mampu mengakses informasi apa saja yang mereka butuhkan baik yang berada di dalam lingkungan terdekatnya maupun di lingkungan yang lebih luas atau di luar sistem sekalipun. Pada Tabel 29 juga memperlihatkan bahwa usia dan tingkat pendidikan, tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kebersamaan. Hal ini diduga karena kebanyakkan peternak di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari kurang aktif dalam membangun relasi dengan pihak lain terutama dalam kelompoknya meskipun hubungan komunikasi yang terjadi di kelompoknya tidak mendasarkan pada status sosial seperti usia dan latar belakang pendidikan. Siapapun bisa membangun relasi dengan peternak berusia muda maupun tua. Akibat miskinnya jejaring komunikasi yang dimiliki peternak akan menempatkan dirinya pada posisi yang tidak dikenal sehingga potensi untuk menjadi penghubungpun tidak berkembang. Miskinnya jejaring yang dijalin peternak akibat kurang aktifnya peternak dalam membangun jejaring komunikasi juga diduga menjadi penyebab dari tidak terdapatnya hubungan
61
yang nyata antara pengalaman beternak, pengalaman berkelompok dan pengalaman berkoperasi dengan kebersamaan. Kelompok dan koperasi merupakan wadah bagi para peternak untuk bersama-sama menggapai suatu tujuan. Dengan ikut berkelompok dan berkoperasi, peternak memiliki banyak kesempatan untuk membuka hubungan komunikasi dengan banyak pihak seperti pengurus kelompok, penyuluh koperasi, peternak lain dan penyuluh BPP, namun sayangnya para peternak kurang memanfaatkan wadah tersebut untuk membangun jaringan komunikasi interpersonalnya. Hubungan Karakteristik Komunikasi
Usaha
Ternak
dengan
Variabel
Jaringan
Penelitian ini menguji hubungan antara karakteristik usaha ternak dengan jaringan komunikasi. Variabel karakteritstik usaha ternak yang diteliti meliputi jumlah kepemilikan ternak, produksi susu dan harga jual susu. Berikut ini hasil uji korelasi hubungan antara karakteristik usaha ternak dengan jaringan komunikasi tersedia pada Tabel 30. Tabel 30. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Karakteristik Usaha Ternak dengan Variabel Jaringan Komunikasi Karakteristik Usaha Ternak Variabel Jaringan Komunikasi Sentralitas Sentralitas Kebersamaan Lokal Global Jumlah Kepemilikan 0,323** -0,127 0,127 Ternak Produksi Susu 0,33 0,141 0,25 Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
Berdasarkan Tabel 30 dapat diamati bahwa terdapat hubungan sangat nyata antara jumlah kepemilikan ternak dengan sentralitas lokal ( r = 0,323**) namun tidak memiliki hubungan yang nyata dengan sentralitas global dan kebersamaan. Hubungan yang sangat nyata antara jumlah kepemilikan ternak dengan sentralitas lokal dapat dimaknai semakin tinggi jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak, semakin banyak ikatan/hubungan komunikasi yang dijalin oleh peternak tersebut. Peternak dengan jumlah kepemilikan ternak sapi perah yang banyak (skala besar) tentunya berbeda dengan peternak yang memiliki ternak sedikit dalam pengelolaan usaha ternaknya. Peternak dengan skala usaha besar membutuhkan informasi lebih banyak lagi guna mengatasi segala persoalan yang muncul dalam pengembangan usaha ternak sapi perahnya sehingga dia harus mencari informasi dengan menghubungi peternak lain baik dalam lingkungan kelompoknya maupun di luar kelompok yang dianggap memiliki banyak informasi. Oleh karena itu, ikatan komunikasi yang terjalinpun menjadi semakin banyak. Peternak seperti ini bisa menjadi star dalam lingkungan terdekatnya. Hubungan Karakteristik Personal Individu dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Penelitian ini menguji hubungan antara karakteristik individu peternak sapi perah dengan jaringan komunikasi dengan menggunakan korelasi Spearman.
62
Karakteristik individu yang diuji dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan formal, pengalaman beternak, pengalaman berkelompok dan pengalaman berkoperasi dan tingkat kosmopolitan. Berikut hasil uji korelasinya terdapat pada Tabel 31. Tabel 31. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Karakteristik Individu dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Karakteristik Individu Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Usia 0,145 Pendidikan Formal 0,031 Pengalaman Beternak 0,172 Pengalaman Berkelompok 0,191 Pengalaman Berkoperasi 0,191 Tingkat Kosmopolitan 0,320** Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
Berdasarkan Tabel 31, terlihat bahwa terdapat hubungan sangat nyata dan positif antara tingkat kosmopolitan dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan dengan nilai r = 0,320**. Ini berarti semakin kosmopolit seorang peternak maka semakin tinggi penerapan higien dan sanitasi pemerahannya. Kosmopolitan berarti keterbukaan dan kesediaan peternak menerima informasi dari luar atau seringnya peternak mencari informasi mengenai usaha ternak sapi perah ke luar lingkungannya sehingga peternak semakin banyak memiliki pengetahuan tentang tata cara higien dan sanitasi pemerahan yang baik dan benar. Pada Tabel 31 juga memperlihatkan bahwa usia, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, pengalaman berkelompok dan pengalaman berkoperasi tidak memililki hubungan yang nyata dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. hal ini diduga karena tata cara higien dan sanitasi pemerahan mudah untuk dipahami dan diaplikasikan oleh para peternak baik tua maupun muda, berpendidikan tinggi atau rendah serta berpengalaman lama atau kurang. Hubungan Karakteristik Usaha Ternak dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Penelitian ini menguji hubungan antara karakteristik usaha ternak dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan. Variabel karakteritstik usaha ternak yang diteliti meliputi Jumlah kepemilikan ternak, Produksi Susu dan Harga Jual Susu. Berikut ini hasil uji korelasi hubungan antara karakteristik usaha ternak dengan jaringan komunikasi tersedia pada Tabel 32. Tabel 32. Hasil Uji Korelasi antara Karakteristik Usaha Ternak dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Karakteristik Usaha Ternak Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Jumlah Kepemilikan Ternak
0,438**
Produksi Susu
-.0,93
Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
63
Pada Tabel 32 terlihat bahwa jumlah kepemilikan ternak mempunyai hubungan yang sangat nyata dan positif dengan tingkat Higien dan Sanitasi Pemerahan dengan nilai r = 0,438**. Ini bermakna semakin banyak jumlah ternak sapi perah yang dimiliki oleh peternak maka semakin tinggi tingkat penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahannya. Hal ini dikarenakan dengan memiliki ternak sapi perah yang banyak akan memotivasi peternak untuk melakukan usaha peternakan dengan serius. Peternak akan memberi perhatian yang lebih kepada usaha ternak sapi perahnya termasuk dengan memelihara sapi perahnya dengan baik, menjaga kesehatan sapi perahnya dengan melakukan sanitasi kandang dan ternak sapi perahnya sehingga berdampak pada tingginya tingkat penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan. Hubungan antara Jaringan Komunikasi dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Peternak sapi perah di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari membentuk jaringan komunikasi dengan sesamanya guna memenuhi kebutuhan informasi dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas susu yang diperahnya. Peningkatan kuantitas dan kualitas susu merupakan salah satu kondisi yang dapat dicapai dengan penerapan tata cara higien dan sanitasi pemerahan dengan baik dan benar. Higien dan sanitasi pemerahan memiliki peran sangat penting karena tidak hanya bertujuan untuk meminimalkan jumlah bakteri (TPC) yang ada dalam susu tetapi juga menjaga agar sapi tetap sehat serta menjamin terciptanya produk yang aman dan sehat. Penerapan teknik higien dan sanitasi pemerahan yang baik dan benar tentunya memerlukan suplai informasi yang baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya sehingga peternak dapat mudah memahami dan kemudian mengaplikasikannya. Selain itu, juga diperlukan ketersediaan sumber informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan yang memadai agar peternak bisa mendapatkan informasi yang handal dan terpercaya. Jaringan komunikasi yang terbentuk di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari akan membantu anggota kelompok dalam memenuhi kebutuhan informasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan. Mereka dapat menghubungi sesama peternak yang dianggap mengetahui informasi tersebut maupun yang telah berhasil atau bahkan dihubungkan oleh peternak rekannya dengan pihak diluar kelompok seperti koperasi maupun penyuluh BPP. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara jaringan komunikasi peternak sapi perah dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. semakin luas jaringan komunikasu yang dimiliki oleh peternak sapi perah maka semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Pengukuran jaringan komunikasi dalam penelitian ini menggunakan tiga jenis pengukuran yaitu sentralitas lokal dan sentralitas global serta kebersamaan (betweeness). Pengujian hubungan antara variabel jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan menggunakan korelasi rank spearman. Berikut hasil uji korelasi Rank Spearman terhadap kedua variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 33.
64
Tabel 33. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Jaringan Komunikasi dengan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Variabel Jaringan Tingkat Penerapan Higien dan Sanitasi Pemerahan Komunikasi Sentralitas Lokal 0,402** Sentralitas Global -0,227* Kebersamaan 0,211 Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05 dan ** berhubungan nyata pada P<0,01
Berdasarkan Tabel 33 terlihat bahwa terdapat hubungan sangat nyata serta positif antara sentralitas lokal dengan tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan dengan nilai r = 0,402**. Ini berarti semakin banyak peternak memiliki ikatan /hubungan dengan peternak lain atau terhubung dengan berbagai sumber informasi maka semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukan peternak tersebut. Sentralitas lokal menunjukkan banyaknya jumlah individu yang terhubung dengan peternak lain sehingga peternak yang memiliki ikatan/hubungan yang banyak dapat dikategorikan sebagai peternak yang aktif dalam mencari dan menyebarkan informasi serta memungkinkan dirinya menjadi star dalam jaringan kelompoknya karena banyak individu yang menghubungi dan dihubunginya, bahkan peternak tersebut dapat menjadi sumber informasi karena banyak memperoleh pengetahuan (informasi) hasil interaksi dengan berbagai pihak. Tingkat keterhubungan seseorang dengan banyak individu lain memungkinkan terjadinya proses pertukaran informasi dalam peristiwa komunikasi yang jauh lebih sering dibandingkan dengan orang yang hanya berhubungan dengan sedikit individu. Frekuensi pertukaran informasi yang dialami oleh seseorang dalam proses komunikasi menjadikan seseorang memiliki pengetahuan dan cadangan wawasan yang memadai dalam menerapkan higien dan sanitasi pemerahan. Semakin sering peternak sapi perah melakukan pertukaran informasi dengan peternak sapi perah lainnya di dalam sistem maka semakin banyak informasi yang ia terima, sehingga semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahannya. Oleh karena itu peternak yang memiliki ikatan hubungan dengan banyak individu terutama dengan sumber informasi akan mempunyai pengetahuan yang memadai tentang usaha ternak sapi perah terutama tata cara higien dan sanitasi pemerahan sehingga tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukannya tinggi pula. Pada Tabel 33 juga memperlihatkan terdapat hubungan yang nyata dan negatif antara sentralitas global dengan tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan dengan nilai r = -0,227*. Ini bermakna semakin pendek jalur atau distance untuk menghubungi semua individu dalam sistem maka semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Sentralitas global merupakan derajat kemampuan individu untuk mengakses seluruh anggota jaringan. Dalam arti lain, semakin besar kemampuan peternak sapi perah tersebut untuk menghubungi seluruh peternak sapi perah lainnya dalam sistem maka, semakin tinggi tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahan yang dilakukan oleh peternak sapi perah. Sentralitas global merupakan kemampuan konektivitas individu dengan individu lain dalam satuan sistem tertentu sehingga dapat berperan sebagai kunci penyebar informasi. Individu yang berperan sebagai kunci penyebar informasi adalah orang yang memiliki keberdayaan informasi
65
yang dapat disebarluaskan kepada individu lain. Pada kelompok Harapan, individu yang menjadi kunci penyebar informasi adalah Bapak Mamat yang menjabat sebagai ketua kelompok, sedangkan pada kelompok Mekar Sari, kunci penyebar informasi adalah Bapak Tisna yang menjabat sebagai bendahara. Dua orang tersebut merupakan peternak-peternak yang sering terlibat dalam arus pertukaran informasi yang terjadi dalam sistem jaringan komunikasi. Mereka memiliki kemampuan untuk menghubungi seluruh anggota kelompoknya dengan cepat sehingga informasi apapun yang berkenaan dengan usaha ternak sapi perah dapat tersampaikan kepada seluruh anggota kelompoknya.
66
67
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1.
2.
3.
4.
Struktur jaringan komunikasi mengenai higien dan sanitasi pemerahan di kelompok Harapan Jaya merupakan radial personal network (menyebar) sedangkan struktur jaringan komunikasi di kelompok Mekar Sari merupakan interlock personal network (memusat). Terdapat hubungan antara karakteristik individu serta karakteristik Usaha Ternak dengan jaringan komunikasi. Variabel karakteristik individu yang mempunyai hubungan nyata dengan jaringan komunikasi adalah tingkat pengalaman beternak sapi perah, tingkat pengalaman berkelompok, tingkat pengalaman berkoperasi dan tingkat kosmopolitan. Adapun karakteristik Usaha Ternak yang berhubungan nyata dengan jaringan komunikasi adalah jumlah kepemilikan ternak. Terdapat hubungan antara karakteristik individu serta karakteristik Usaha Ternak dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Variabel karakteristik individu yang mempunyai hubungan sangat nyata dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan tingkat kosmopolitan. Adapun karakteristik Usaha Ternak yang berhubungan nyata dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan adalah jumlah kepemilikan ternak Terdapat hubungan antara jaringan komunikasi dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan. Variabel jaringan komunikasi yang mempunyai hubungan nyata dengan penerapan higien dan sanitasi pemerahan adalah sentralitas lokal dan sentralitas global.
Saran 1.
2.
3.
Pihak koperasi dan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) setempat harus memanfaatkan seoptimal mungkin para pengurus kelompok yang berperan sebagai kunci penyebar informasi dalam usaha mendifusikan informasi tentang pengelolaan usaha ternak sapi perah di kelompok-kelompok peternak sapi perah agar informasi yang disampaikan dapat segera terdistribusi secara merata pada seluruh anggota kelompok masing-masing. Peternak sapi perah yang tingkat penerapan higien dan sanitasi pemerahannya termasuk kategori rendah dan sedang harus aktif terlibat ke dalam jaringan komunikasi yang terbentuk di kelompoknya agar dapat menerapkan higien dan sanitasi pemerahan dengan baik dan benar. Perlu di lakukan penelitian lebih lanjut mengenai perilaku komunikasi peternak sapi perah di kelompok Harapan Jaya dan Mekar Sari untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anggota kelompok terisolasi dalam lingkungannya.
68
69
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2011. Profil Desa Haurngombong Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Anonymous. 2011. Profil Desa Mekar Bakti Kecamatan Pamulihan Kabupaten Sumedang. Anonymous. 2011. Laporan Tahunan KSU Tandangsari. Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Anonymous. 2000. Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Tani. Biro Perencanaan dan KLN Departemen Pertanian. Jakarta. Azwar A. 1990. Ilmu Kesehatan Lingkungan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta Arikunto S. 2003. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Cetakan ke-8. Rieneka Cipta. Yogyakarta [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Profil Tenaga Kerja Pertanian di Indonesia. Jakarta Berger CR, Chaffe SH. 1987. Hand Book of Communication Science. California Sage Publisher. Berggren A. 2004. Communication Structure and Information Distribution In An Indian NGO Network [Thesis Master]. Magisteruppsats I Biblioteks - Och Informationsvetenskap Vid Biblioteks. Boorgati, Everett dan Freeman. 2002. UCINET VI. Reference Manual. Analytic Technologies. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2001. Statistika Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta . 2009. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-3141. Susu Segar. Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Jakarta. Cindoswari A. 2012. Jaringan Komunikasi Dalam Penerpan Teknologi Produksi Ubikayu [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2004. Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Dirjen PPM dan PL. Jakarta. [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pengembangan Kelembagaan Peternak dikawasan Agribisnis Berbasis Peternakan. Direktorat Pengembangan Peternakan Dirjen Bina Produksi Peternakan. DeVito JA. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Edisi Kelima. Hunter College of the City University of New York. Alih Bahasa Agus Maulana. Jakarta. [DHI] Dairy Hygiene Inspectorate. 2006. Milk Hygiene on the Dairy Farm: Apractical Guide for Milk Producers to the Food Hygiene Regulation. Food Standards Agency, England [Dirjen BSPP] Direktorat Jenderal Bina Sarana Produksi Peternakan. 2008. Peternakan dalam Angka. Jakarta.
70
Effendi J. 2003. Hubungan Karakteristik Peternak dan Aktivitas Jaringan Komunikasi dalam Proses Adopsi Inovasi Inseminasi Buatan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Effendy OU. 2000. Ilmu Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Freeman LC (1978). Centrality in Social Networks: Conceptual Clarification. Social Networks 1, 215-239. Gleeson D, O’Brien B, Flynn J, O’ Callaghan E, Galli. 2009. Effect of PreMilking Teat Preparation Procedures on Microbial Count on Teats Prior to Cluster Aplication. Irish Vet. Journal. Vl. 62 No. 7: 461-467 Hanneman R, Mark R. 2005. Introduction to Social Network Methods. Riverside. CA: University of California, Riverside. Hatala J. 2006. Social Network Analysis in Human Resource Development: A New Methodology. Human Resource Development Review Vol.5 No. 1 March. Hidayat AP, Effendi A, Fuad Y, Patyadi K, Taguchi. 2002. Buku Petunjuk Teknologi Sapi Perah di Indonesia untuk Peternak. PT Sony Sugema Presindo. Bandung. Hua Yang, Chyiin W, Man KL. 2004. How Many Is Good Enough? A Study for Nomination of Social Network. Sociology Conference. Taiwan. Ibrahim JT, Sudiyono, Harpowo. 2003. Komunikasi dan Penyuluhan Pertanian. Bayu Media. Malang [IDF/FAO] International Dairy Federation/ Food-Agriculture Organization of the United Nations. 2004. Guide to Good Dairy Farming Practice. IDF and FAO Task Force on Good Dairy Farming Practices, Roma, Italia. [IFC] International Finance Corporation. 2011. Dairy Industri Development Edited By Philip Morey. World Bank. Australia. Jahi A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan PeDesaan di Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Gramedia . Jakarta. Jorgensen D. 2004. Networking to Meet The Demands of Youth: An Analysis of Communication Networks Among Nueces County Youth Services Organizations. Southwestern Social Science Conference. Texas. [Kementan dan BPS] Kementrian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. 2011. Rilis Hasil Akhir PPSKI 2011. Jakarta. Kerlinger FN. 2003. Asas-Asas Penelitian Behavioral. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Koshy JK, Prashad J. 1993. Studies on Post Milking Treatments of Mammary Quarters in Production of Low Bacterial Count Milk. Ind. Vet. J. 70(8): 773-774. Makin M. 2011. Tata Laksana Peternakan Sapi Perah. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Cetakan Kedua. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Moekijat. 1993. Teori Komunikasi. Mandar Maju. Bandung Monge PR, Contractor N. (2003). Theories of Communication Networks. New York: Oxford University Press. Monge PR, Contractor N. 2001. Emergence Theories of Communication Networks. Sage pubication Inc.
71
Mulyana D. 2007. Imu Komunikasi Suatu Pengantar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Nolker RD. 2011. Diffusion In Social Networks: A Model of Member Diffusion Behavior [PhD Thesis]. Faculty of the Graduate School of the University of Maryland, Baltimore County. Notoatmodjo S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta. Nurkancana W. 1993. Pemahaman Individu. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya Pavicic Ž., Cergolj, Balenovi ć, A. Eke rt-Kaba lin, H. Valpoti ć. 2008. Influence of Udder Sanitation on Hygienic Quality of Cow Milk. Vet. Arhiv 78, 105112. Petrovic I, Pavicic Z, Tomaskovic A, Cergoij M. 2006. Effect of Milking Hygiene to the Number of Bacteria in Milk. Stocarstvo 60(6): 403-411 Rakhmat J. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Penerbit Remaja Rosada Karya. Bandung Rangkuti PA. 2007. Jaringan Komunikasi dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor Rogers EM, L. Kincaid. 1981. Communication Network: toward a New Paradigm for Research. London: Collier Macmillan Publisher. Ruegg P, Morten R, Doug R. 2000. The Seven Habits of Highly Successful Milking Routines. Department Of Agriculture, University WisconsinExtension. Madison Sargeant JH, HM. Scott, Leslie MJ, Bashirl. 1998. Clinical mastitis in dairy cattle in ontario. Can Vet Journal. 39; 33 -38 Schmidt GH, Hutjuers MF. 1998. Principles of Dairy Science. 2nd Edition. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. Scott J. 2000. Social Network Analysis: A Handbook. Second Edition. Sage Publication. Inc Singarimbun M, Effendi S.1995. Metode Penelitian Survai. Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S). Jakarta Slamet M. 2001. Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Seminar Perhiptani. Tasikmalaya. Soeharsono. 2010. Bionomika Ternak. Edisi Pertama. Penerbit Widya Utama Padjadjaran. Bandung Soekartawi. 2005. Prinsip-Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta. Sudjana. 1990. Statistika. Edisi 4 . Penerbit Tarsito. Bandung. Sukanta I M. 1995. Etika Komunikasi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Syafril D. 2002. Hubungan Karakteristik Petani dan Jaringan Komunikasi dengan Adopsi Inovasi Teknologi Sistem Usaha Pertanian Jagung. (Kasus di Kecamatan Rambah Hilir, Riau) [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Tedjasutisna A. 1994. Etika Komunikasi. Armico. Bandung Tridjoko M, Purnomo H, Usmiati S. 2009. Profil Usaha Peternakan Sapi Perah Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta Valente TW, Foreman RK. 1998. Integration and Radiality: Measuring the Extent of an Individual's Connectedness and Reachability in a Network. Social Networks 20, 89-109. Vitayala A. 2000. Suatu Pikiran Tentang Kebijakan Pemberdayaan Kelembagaan Tani. Deptanhut. Jakarta
72
Wasserman S, Faust K. 1994. Social Network Analysis. Cambridge, MA: Cambridge University Press. Weenig WH, Cees JH, Midden. 1991. Communication Network Influences on Information Diffusion and Persuasion. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 61, No. 5. 734-742. Winarno F. 2004. HACCP dan Penerapaan dalam Industri Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yunasaf U. 2008. Dinamika Kelompok Peternak Sapi Perah dan Keberdayaan Anggotanya Di Kabupaten Bandung [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Yunasaf U, Winaryanto, Nugraha. 2005. Kepemimpinan Ketua Kelompok dan Hubungannya dengan Keefektifan Kelompok. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Unpad. Zahid A. 1997. Hubungan Karakteristik Peternak Sapi Perah dengan Sikap dan Perilaku Aktual dalam Pengelolaan Limbah Peternakan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Zulganef. 2006. Pemodelan Persamaan Struktur dan Aplikasi AMOS 5 SPSS. Penerbit Pustaka. Bandung Zulkarnain M. 2002. Hubungan Karakteristik Kelompok Anggota Masyarakat dengan Keterlibatannya dalam Jaringan Komunikasi Pembinaan Teknis serta Partisipasi dalam Program Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) [Tesis].Institut Pertanian Bogor, Bogor.
73
Lampiran 1. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas Kuesioner Case Processing Summary N Cases
Valid a
Excluded Total
% 25
100.0
0
.0
25
100.0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items .932
20
Item-Total Statistics Corrected Item-
Cronbach's
Scale Mean if
Scale Variance
Total
Alpha if Item
Item Deleted
if Item Deleted
Correlation
Deleted
VAR00001
48.5600
40.340
.737
.927
VAR00002
48.6000
41.500
.470
.932
VAR00003
48.3200
40.977
.714
.927
VAR00004
48.4000
40.000
.702
.927
VAR00005
48.7600
42.273
.485
.931
VAR00006
48.6400
41.490
.564
.930
VAR00007
48.4800
41.677
.446
.933
VAR00008
48.7200
41.210
.644
.929
VAR00009
48.7200
39.210
.735
.927
VAR00010
48.3600
40.490
.769
.926
VAR00011
48.4800
41.260
.593
.930
VAR00012
48.4800
41.010
.633
.929
VAR00013
48.4800
41.010
.633
.929
VAR00014
48.4800
42.427
.408
.933
VAR00015
48.2800
41.377
.679
.928
VAR00016
48.4400
41.840
.508
.931
VAR00017
48.4800
41.093
.619
.929
VAR00018
48.3600
40.490
.769
.926
VAR00019
48.3600
40.490
.769
.926
VAR00020
48.3600
41.740
.554
.930
74
Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Variabel Karakteristik Individu dengan Variabel Jaringan Komunikasi Usia Usia
Pend
Pbtnk
Pkel
Pkop
Kosm
SLok
SGlo
Keb
Pend
Pbtnk
Pkel *
Pkop
.261
*
Kosm
.261
SLok
SGlo
Keb
*
-.024
.047
-.080
-.073
1.000
-.121
.258
.
.264
.016
.014
.014
.824
.667
.460
.502
87
87
87
87
87
87
87
87
87
-.121
1.000
-.205
-.196
-.196
.014
-.080
.143
.163
.264
.
.057
.069
.069
.898
.461
.186
.131
87
87
87
87
87
87
87
87
87
**
**
**
**
-.201
.188
*
-.205
1.000
.016
.057
.
.000
.000
.003
.000
.062
.081
87
.258
.984
.984
.318
.443
87
87
87
87
87
87
87
87
*
-.196
**
1.000
**
**
**
-.191
.192
.014
.069
.000
.
.
.002
.000
.077
.075
87
.261
.984
1.000
.326
.465
87
87
87
87
87
87
87
87
*
-.196
**
**
1.000
**
**
-.191
.192
.014
.069
.000
.
.
.002
.000
.077
.075
87
87
87
87
87
87
87
87
87
-.024
.014
**
**
**
1.000
**
*
.824
.898
.003
.002
.002
.
.000
.028
.000
87
87
87
87
87
87
87
87
87
.047
-.080
**
**
**
**
1.000
**
.667
.461
.000
.000
.000
.000
.
.000
.001
87
87
87
87
87
87
87
87
87
*
**
1.000
.261
.984
.318
.443
1.000
.326
.465
.326
.465
.326
.387
.465
.387
-.545
.477
.337
**
**
.143
-.201
-.191
-.191
-.236
.460
.186
.062
.077
.077
.028
.000
.
.000
87
87
87
87
87
87
87
87
87
**
**
**
1.000
.337
-.442
-.442
**
-.080
.477
-.545
-.236
-.073
.163
.188
.192
.192
.502
.131
.081
.075
.075
.000
.001
.000
.
87
87
87
87
87
87
87
87
87
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
75
Lampiran 3. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Variabel Karakteristik Usaha Ternak dengan Variabel Jaringan Komunikasi dan Higien dan Sanitasi Pemerahan
JKT Spearman's
JKT
rho
Correlation Coefficient
PS
PS
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SLok
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
SGlo
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
HSP
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
HSP
-.127
.
.681
.002
.240
.000
87
87
87
87
87
-.045
1.000
.033
.141
-.093
.681
.
.758
.191
.392
87
87
87
87
87
**
.033
1.000
.002
.758
.
.000
.000
87
87
87
87
87
-.127
.141
**
1.000
-.227
.240
.191
.000
.
.035
87
87
87
87
87
**
-.093
*
1.000
.000
.392
.000
.035
.
87
87
87
87
87
.438
-.545
.402
**
-.545
**
-.227
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2tailed).
.438
**
-.045
.323
.323
SGlo **
1.000
Sig. (2-tailed) N
SLok
.402
**
*
76
Lampiran 4. Hasil Uji Korelasi Spearman antara Variabel Karakteristik Individu dengan Higien dan Sanitasi Pemerahan
Usia Usia
Pend
Pbtnk
Pkel
Pkop
kosm
HSP
Pend
Pbtnk
Pkel *
Pkop
.261
*
Kosm
.261
HSP
*
-.024
.145
1.000
-.121
.258
.
.264
.016
.014
.014
.824
.179
87
87
87
87
87
87
87
-.121
1.000
-.205
-.196
-.196
.014
.031
.264
.
.057
.069
.069
.898
.775
87
87
87
87
87
87
87
**
**
**
.172
*
-.205
1.000
.016
.057
.
.000
.000
.003
.112
87
.258
.984
.984
.318
87
87
87
87
87
87
*
-.196
**
1.000
**
**
.191
.014
.069
.000
.
.
.002
.076
87
87
87
87
87
87
87
*
-.196
**
1.000
**
.191
.014
.069
.000
.
.
.002
.076
87
87
87
87
87
87
87
-.024
.014
**
**
**
1.000
.824
.898
.003
.002
.002
.
.003
87
87
87
87
87
87
87
**
1.000
.261
.261
.984
.984
.318
**
1.000
.326
1.000
.326
.326
.326
.320
.320
**
.145
.031
.172
.191
.191
.179
.775
.112
.076
.076
.003
.
87
87
87
87
87
87
87
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
77
Lampiran 5. Hasil Uji Beda Rata-rata (Uji t) t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
t Umur
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
1.223
85
.225
3.331
2.725
-2.087
8.749
1.280
84.996
.204
3.331
2.603
-1.845
8.508
Pddkn -1.773
85
.080
-.265
.149
-.562
.032
-1.906
81.662
.060
-.265
.139
-.541
.012
-.523
85
.602
-.746
1.425
-3.579
2.087
-.577
73.334
.566
-.746
1.292
-3.322
1.830
-.844
85
.401
-1.191
1.412
-3.998
1.615
-.936
71.079
.353
-1.191
1.273
-3.730
1.348
-.844
85
.401
-1.191
1.412
-3.998
1.615
-.936
71.079
.353
-1.191
1.273
-3.730
1.348
1.700
85
.093
.424
.250
-.072
.921
1.645
67.178
.105
.424
.258
-.091
.939
Pbtnk
Pkel
PKop
Kosm
78
Lanjutan Lampiran 5. Hasil Uji Beda Rata-rata (Uji t)
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
t
Jum Ternak
Prod Susu
Higien
SLok SGlo Kebs
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
.897
85
.372
.738
.823
-.898
2.375
.801
43.757
.428
.738
.922
-1.120
2.597
-.917
85
.362
-.445
.486
-1.412
.521
-.914
76.857
.364
-.445
.487
-1.416
.525
1.309
85
.194
.991
.757
-.514
2.497
1.373
84.960
.173
.991
.722
-.444
2.426
1.346
85
.182
1.360
1.010
-.649
3.369
1.332
74.514
.187
1.360
1.021
-.675
3.395
-1.848
85
.124
-1227.480
138.731
-1503.314
-951.646
-1.889
84.544
.121
-1227.480
131.326
-1488.611
-966.349
1.477
85
.143
10.565
7.152
-3.654
24.785
1.386
57.266
.171
10.565
7.620
-4.693
25.823