Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
KELAYAKAN PENGEMBANGAN KERBAU DI BREBES DITINJAU DARI KESESUAIAN EKOLOGIS LAHAN (The Feasibility of the Development of Buffalo in Brebes Review of Land Ecological Suitability) TATI HERAWATI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT Each type of livestock has different environmental requirements to be able to grow optimally. The appropriate environmental conditions commonly categorized S (Suitable). Otherwise incompatible named NS (Not Suitable). Therefore, this paper examines the suitability of ecological land in Brebes Regency for the development of Buffalo. From the results of the study is expected to be known in the area where the buffalo can be developed better if implementing technology, so it will be retrieved and the production of higher productivity. There are five elements of the environmental factors are examined as part of the terms of the life of the Buffalo, namely the slopes (< 15%), the soil fertility, agroclimate, elevation (< 1500 m above sea level) and temperature (0C). The humidity did not enter into account in this study, due to the limitations of the data obtained in the fields. Retrieved that soil fertility and agroclimate are not a limiting factor for the development of Buffalo. The main factors limiting in Brebes Regency for optimal development of Buffalo is the temperature. Less than 20% of its territory that has a temperature range between 16 to 210C. The area relatively more appropriate than with any other ecological subdistrict with the requirements of the land for the development of optimal buffalo in the Brebes Regency is located in district and subdistrict of Sirampog and Paguyangan, with the value of the S1 continually 21% and 15%. In addition, production and productivity of Buffalo in district of Sirampog and Paguyangan can be improved by implementing the right technology. Key Words: Buffalo, Ecological Land, Brebes ABSTRAK Setiap jenis ternak mempunyai persyaratan lingkungan yang berbeda untuk dapat tumbuh optimal. Kondisi lingkungan yang sesuai biasa dikategorikan S (Suitable). Sebaliknya yang tidak sesuai dinamakan NS (Not Suitable). Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji kesesuaian ekologis lahan di kabupaten Brebes untuk pengembangan kerbau. Dari hasil kajian diharapkan dapat diketahui di kecamatan mana kerbau dapat dikembangkan lebih baik jika mengimplementasikan teknologi budidaya yang sama, sehingga akan diperoleh produksi maupun produktivitas yang lebih tinggi. Ada lima faktor elemen dari lingkungan yang dikaji sebagai bagian dari persyaratan kehidupan kerbau yang sesuai, yaitu kelerengan (<15%), kesuburan tanah (SDR), agroklimat (KSB), elevasi (<1500 m diatas permukaan laut) dan temperatur (0C). Faktor kelembaban tidak ikut diperhitungkan dalam kajian ini, karena keterbatasan data yang diperoleh di lapang. Faktor kesuburan tanah dan agroklimat bukan merupakan faktor pembatas bagi pengembangan kerbau. Temperatur merupakan faktor pembatas utama bagi pengembangan.kerbau di Kabupaten Brebes. Kurang dari 20% wilayahnya yang mempunyai kisaran temperatur antara 16 – 210 C. Kecamatan yang relatif lebih sesuai dibandingkan dengan kecamatan lainnya dengan persyaratan ekologis lahan bagi perkembangan kerbau yang optimal di kabupaten Brebes terletak di Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Paguyangan, dengan nilai S1 berturut turut 21% dan 15%. Selain itu, produksi dan produktivitas kerbau di Kecamatan Sirampog dan Paguyangan dapat ditingkatkan dengan mengimplementasikan budidaya yang baik dan benar. Kata Kunci: Kerbau, Ekologis Lahan, Brebes
235
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
PENDAHULUAN Kerbau (Bubalus bubalis) termasuk salah satu ternak ruminansia besar yang mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Kerbau merupakan ternak asli daerah panas dan lembab, khususnya daerah belahan utara tropika. Kerbau hidup terutama di bagian yang berair dan di musim hujan kerbau dapat menyebar dalam kawasan besar. Di Indonesia umumnya pemeliharaan kerbau bertujuan sebagai tabungan, tenaga kerja dan penghasil daging serta susu. Walaupun demikian, selama 8 (delapan) tahun terakhir, perkembangan ternak kerbau di Indonesia kurang menggembirakan. Populasi ternak kerbau yang ada di Indonesia saat ini 40% berada di Pulau Jawa dengan kepemilikan hanya 1 – 2 ekor per keluarga petani. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya populasi ternak kerbau di Indonesia yang mayoritas berjenis kerbau lumpur (Bubalus bubalis), disebabkan oleh minimnya lahan penggembalaan, keterbatasan bibit unggul, sumber pakan berkurang dan rendahnya mutu pakan, menurunya mutu genetik kerbau akibat inbreeding dan kurangnya pengetahuan peternak dalam menangani produksi dan reproduksi ternak kerbau tersebut (KURNIA, 2009). Oleh karena itu pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian membuat kebijakan khusus untuk pengembangan ternak kerbau, melalui Direktorat Perbibitan. Sementara itu, dijelaskan bahwa Kabupaten Brebes berpotensi untuk mengembangkan ternak kerbau, karena kontribusi daging kerbau mencapai 40% dari total kebutuhan daging sapi. Disamping untuk memenuhi produksi daging juga sebagai ternak kerja untuk membajak sawah, pupuk kompos, krupuk rambak. Selain itu, di Kabupaten Brebes, khususnya di Kecamatan Bumiayu merupakan daerah penghasil alat rebana, maka kulit kerbau sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan rebana tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan peternakan kerbau. Kebijakan pengembangan usaha pembibitan kerbau diarahkan pada suatu kawasan, baik kawasan khusus maupun terintegrasi dengan komoditi lainnya serta terkonsentrasi di suatu wilayah untuk mempermudah pembinaan dan pengawasannya. Menurut Peraturan Menteri
236
Pertanian No. 56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman perbibitan kerbau yang baik (ANONIMUS 2010), kawasan yang dimaksud adalah yang sesuai dengan persyaratan biologis kerbau. Oleh karena itu pemilihan kawasan yang sesuai merupakan langkah awal dalam program pengembangan ternak. Lebih lanjut dalam Permentan No 41/Permentan/OT.140/9/ 2009 tentang kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian dijelaskan bahwa dalam mendukung ketahanan pangan nasional telah ditetapkan kawasan peruntukan pertanian yang ditetapkan dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional. Hal ini sesuai dengan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan khususnya dalam Pasal 45 ditegaskan bahwa pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 47 ditegaskan guna mewujudkan cadangan pangan nasional, pemerintah akan berupaya: a) mengembangkan, membina, dan atau membantu penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat; b). mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan seluas-Iuasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan cadangan pangan setempat dan atau nasional. Dengan demikian melalui penetapan kawasan peruntukan pertanian maka pengembangan pembangunan pertanian akan berorientasi dan fokus pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas yang optimal. Selanjutnya yang dimaksud kawasan atau lahan adalah suatu daerah permukaan daratan di bumi yang ciri-cirinya mencakup segala tanda pengenal baik yang bersifat cukup mantap maupun yang bersifat mendaur dari biosfer, atmosfer, tanah, geologi, hidrologi dan populasi tumbuhan atau hewan serta hasil kegiatan manusia di masa lampau atau masa kini, sejauh tanda-tanda pengenal tersebut memberikan pengaruh murad atas penggunaan manusia pada masa kini atau pada masa datang. (FAO, 1977). Kawasan budidaya peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan untuk kegiatan peternakan atau terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan berakses dan hulu sampai hilir.
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
Kawasan atau lahan mempunyai harkat yang merupakan nilai kualitatif dan karena itu tidak terukur secara langsung, akan tetapi ditetapkan secara ditaksir atau ditafsir. Ada dua macam harkat lahan yaitu kemampuan (capability) dan kesesuaian (suitability). Penilaian harkat kemampuan lahan ditetapkan untuk pembenahan pengelolaan yang diperlukan untuk mencegah degradasi lahan. Sementara itu, harkat kesesuaian lahan ditetapkan untuk peroleh komoditi yang layak dikembangkan berdasarkan biologis ternak yang akan dikembangkan. Dalam makalah ini bahasan penilaian lahan dibatasi pada pengertian kesesuaian lahan. Setiap jenis ternak mempunyai persyaratan lingkungan yang berbeda untuk dapat tumbuh optimal. Kondisi lingkungan yang sesuai biasa dikategorikan S (Suitable). Sebaliknya yang tidak sesuai dinamakan NS (Not Suitable). Lingkungan yang berkategori diantara S dan NS, yaitu kategori sesuai diberi simbol S2 dan yang agak sesuai diberi simbol S3, yang benarbenar cocok atau sangat sesuai dikategorikan S1. Oleh karena itu, kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan atau nilai kesesuaian sebidang lahan untuk pengembangan peternakan yang berbasis lahan. Tingkat kesesuaian lahan tensebut ditentukan oleh kecocokan antara persyaratan tumbuh/hidup komoditas yang bersangkutan dengan kualitas, karakteristik lahan yang mencakup aspek iklim, tanah dan terain (topografi, lereng dan elevasi). MATERI DAN METODE Lokasi penelitian adalah di kabupaten Brebes, dengan pertimbangan bahwa Brebes memiliki zona agroekosistem wilayah yang heterogen, mulai dari pantai sampai dataran tinggi. Pemilihan lokasi kecamatan dan desa sample didasarkan pada basis-basis penyebaran dan pengembangan komoditas ternak dan produk ternak. Data yang dikumpulkan berupa data primer maupun data sekunder. Data sekunder berupa data populasi ternak dan data fisik lahan yang diperoleh dari Balai Penelitian Klimatologi, Badan Litbang Pertanian yang sudah dipublikasikan. Sementara itu, data primer berupa terapan teknologi, komposisi botani Hijauan Makanan Ternak (HMT),
Tanaman Makanan Ternak (TMT) yang digunakan yang dikumpulkan melalui observasi lapang. Parameter lingkungan berupa kelerengan, kesuburan tanah, agroklimat, ketinggian tempat, temperatur dan kelembaban.yang optimal mendukung perkembangan kerbau sebagai berikut: Tabel 1. Kesesuaian ekologis lahan untuk pengembangan kerbau yang optimal Parameter
Kerbau
Kelerengan (%)
< 15
Kesuburan tanah1)
SDR
Agroklimat2)
KSB
Elevasi (m dpl)
< 1500
Temperatur (0C)
16,1 – 21,1
Kelembaban (%)
30 – 70
Kesuburan tanah: S: Subur; D: Sedang; R: Rendah Agroklimat: K: Kering (BK > 4 bl), S: Sedang (BK 2 – 4 bulan), B: Basah (BK < 2 bulan) Sumber: ANONIM (2000), WILLIAMSON, G. (1993)
Untuk melihat kepadatan ternak pada luasan area, dihitung Kepadatan Wilayah (KW) yang menggambarkan proporsi luasan area per satuan ternak, dengan rumus: KW =
Jumlah ternak (ST) Luas lahan (km2)
Nilai KW dikelompokkan berdasarkan kategori: Kategori
Kw (St/km2)
Sangat padat
> 50
Padat
> 20 – 50
Sedang
10 – 20
Jarang
< 10
Sumber: ANONIMUS (2000)
HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah Kabupaten Brebes terbentang dari pantai utara hingga ke perbukitan di bagian barat dan selatan. Secara administratif Kabupaten Brebes berada di Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Brebes
237
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
secara administratif berdasarkan data Potensi Desa (BPS) adalah seluas 166.019,07 ha (SETIAWAN, 2009).
2. Suhu agak panas:21,4 – 24,40C, mempunyai ketinggian tempat 301 – 800 m.dpl 3. Suhu sejuk:17,2 – 21,3°C, mempunyai ketinggian tempat 801 – 1500 m.dpl. Sementara itu, kelembaban tidak digunakan dalam pemetaan saat ini. Dari kelima faktor pembatas yang digunakan, diperoleh luas lahan yang sesuai untuk kerbau (Tabel 3), dimana hanya ada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Paguyangan yang mempunyai nilai kesesuaian lebih dari 10%. Tidak ada satu kecamatan pun yang mempunyai kesesuaian ekologis lebih dari 50%. Faktor pembatas Utama bagi ketiga komoditi ini adalah temperatur. Beruntung kerbau mempunyai kemampuan untuk menetralisir temperatur lingkungan dengan berendam.
Gambar 1. Letak tiap kecamatan di
Tabel 2. Populasi kerbau di Kabupaten Brebes
Gambar 1. Letak tiap kecamatan di kabupaten Brebes
Kecamatan
Berdasarkan data Potensi Desa (BPS), jumlah penduduk di Kabupaten Brebes pada tahun 2009 berjumlah 1,7 juta jiwa. Diantara ternak ruminansia besar, populasi kerbau lebih banyak dari lainnya, tetapi hampir sama banyaknya dengan sapi potong. Kecamatan tertinggi populasinya adalah di Bantarkawung, disusul oleh kecamatan Tonjong dan Salem (Tabel 2). Walaupun demikian jika dibandingkan dengan luas wilayah yang dicerminkan dari nilai kepadatan wilayah, populasi kerbau di Kecamatan Tonjong yang masuk kategori ”padat”. Kecamatan Songgom yang populasinya tidak tinggi (728 ekor), mempunyai tingkat kategori KW yang sama dengan di Bantarkawung yaitu ”sedang”, karena wilayah di Songgom tidak luas. Pemetaan kesesuaian ekologis lahan dilakukan berdasarkan enam parameter syarat hidup ternak yang optimal, yaitu temperatur, kelembaban, elevasi, agroklimat, jenis tanah dan kelerengan. Ada dua data yang tidak dapat diperoleh dilapang, yaitu elevasi dan kelembaban. Data elevasi diestimasi dari nilai konversi data temperatur, yaitu: 1. Suhu panas: 24,5 – 26,3ºC, mempunyai ketinggian tempat 0 – 300 m.d.p.l
238
KW Nilai
Kategori
Salem
Kerbau (ekor) 1982
10,425
Sedang
Bantarkawung
3858
15,056
Sedang
Bumiayu
1072
11,638
Sedang
Paguyangan
384
2,927
Jarang
Sirampog
749
8,939
Jarang
Tonjong
2667
26,256
Padat
Larangan
810
3,935
Jarang
Ketanggungan
844
4,529
Jarang
Banjarharjo
1270
7,244
Jarang
Losari
272
2,433
Jarang
Tanjung
311
3,649
Jarang
Kersana
46
1,459
Jarang
Bulakamba
179
1,410
Jarang
Wanasari
161
1,782
Jarang
Jatibarang
219
5,233
Jarang
Songgom
728
11,483
Sedang
Brebes
1121
10,897
Sedang
Jumlah
16673
8,030
Jarang
Sumber: 1. Kecamatan dalam angka (2003) 2. PPL (komunikasi pribadi) Nilai KW hasil olahan
Wilayah NS tidak dapat diuraikan menjadi S2, S3 dan NS karena dari 5 parameter yang
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
digunakan yaitu kelerengan, kesuburan tanah, agroklimat, elevasi dan temperatur, hanya satu parameter yaitu kesuburan yang dapat direkayasa diperbaiki kondisinya, empat parameter lainnya tidak dapat di up-grade. Dari parameter kesuburan, hanya sapi perah yang memerlukan lahan yang subur sampai sedang, tidak dapat di daerah yang tidak subur. Tetapi, di Kabupaten Brebes tidak ada wilayah yang lahannya masuk kategori kesuburan rendah. Oleh karena itu parameter kesuburan di Brebes tidak merupakan faktor pembatas. Penguraian S2 dan S3 jika diperoleh faktor pembatas di wilayah tersebut untuk masuk kedalam kategori S1 dengan meng up-grade faktor pembatas tersebut Tabel 3. Persentase luas kesesuaian ekologi lahan kerbau (S1) (%) Kecamatan
S1 (%)
NS
Salem
0,004
99,996
Bantarkawung
0,003
99,997
Bumiayu
0,001
99,999
Paguyangan
14,939
85,061
Sirampog
20,791
79,209
Tonjong
0,000
100,000
Larangan
0,004
99,996
Ketanggungan
0,019
99,981
Banjarharjo
0,008
99,992
Losari
0,000
100,000
Tanjung
0,000
100,000
Kersana
0,000
100,000
Bulakamba
0,000
100,000
Wanasari
0,000
100,000
Jatibarang
0,000
100,000
Songgom
0,000
100,000
Brebes
0,094
99,906
Kabupaten Brebes
1,779
99,221
Jika dibandingkan antara wilayah yang sesuai berdasarkan parameter agrofisik lahan kebutuhan perkembangan ternak yang optimal dengan wilayah sentra produksi berdasarkan kepadatan populasi ternak, ada kecamatan yang berbeda. Berdasarkan kesesuaian lahannya, kerbau paling cocok di beberapa tempat di
Kecamatan Sirampog, padahal nilai KW untuk kecamatan ini masuk kategori jarang. Artinya, Sirampog bukan salah satu sentra produksi kerbau. Selain itu, dilihat dari lebih tingginya produksi dan produktivitas ternak di wilayah yang kesesuaiannya hanya 3 – 4% (Kecamatan Bantarkawung dan Salem) namun memiliki populasi paling tinggi, menunjukkan bahwa peubah manajemen lebih berperan daripada faktor lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa: 1. Produksi dan produktivitas kerbau di daerah yang sesuai (Sirampog dan Paguyangan) belum optimum, sehingga harus ditingkatkan lagi untuk memanfaatkan kesesuaian wilayah. 2. Di Kecamatan Sirampog dapat dipertimbangkan untuk pengembangan kerbau. 3. Faktor manajemen pemeliharaan dan pemberian pakan lebih berperan daripada faktor agrofisik lahan. 4. Perlu kajian lebih lanjut pembandingan keragaan kerbau di wilayah eksisting sentra produksi dan wilayah yang sesuai agrofisik lahannya, dilihat dari faktor sistem budidayanya. KESIMPULAN 1. Kesuburan tanah dan agroklimat bukan merupakan faktor pembatas bagi pengembangan kerbau. 2. Faktor utama pembatas di Kabupaten Brebes bagi pengembangan yang optimal kerbau adalah temperatur. Kurang dari 20% wilayahnya yang mempunyai kisaran temperatur antara 16 – 21°C. 3. Kecamatan yang relatif lebih sesuai dibandingkan dengan kecamatan lainnya dengan persyaratan ekologis lahan bagi perkembangan kerbau yang optimal di Kabupaten Brebes terletak di kecamatan Sirampog dan Kecamatan Paguyangan, dengan nilai S1 berturut turut 21 dan 15%. 4. Produksi dan produktivitas kerbau di Kecamatan Sirampog dan Paguyangan dapat ditingkatkan dengan mengimplementasikan budidaya yang baik dan benar.
239
Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2010
DAFTAR PUSTAKA ANONIMUS. 1997. Program, Prioritas dan Hasil Utama Penelitian dan Pengembangan Peternakan Pada Pelita VI. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. ANONIMUS. 2000. Petunjuk Teknis Identifikasi dan Analisis Potensi Wilayah Pengembangan Peternakan. Bag. Proyek Pembinaan Pengembangan Peternakan Pusat. Direktorat Pengembangan Peternakan. ANONIMUS, 2010a. Peraturan Menteri Pertanian Tentang Pedoman Pembibitan Kerbau yang Baik. http://id.wikipedia.org/wiki/Kerbau. Juli. 2010 ANONIMUS, 2010b. Peraturan Menteri Pertanian Tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian. http://www.google.co.id/Kerbau. Juli 2010 ASHARI, B. WIBOWO, E. JUARINI, SUMANTO, A. NURHADI, SOERIPTO, SURATMAN dan A. RUKANDA. 1999. Nisbah Pertumbuhan Daerah Atau Location Quotient Untuk Pertenakan. Dit. Bina Barbang, Dit. Jen. Peternakan dengan Puslitbang Peternakan. FAO. 1977. A frame work for land evaluation. ILRI Publ 22. Wageningen. VIII. 27 halaman HERAWATI,T., N. ELFIANI, KARDIONO, SYAFRIZAL dan NAJIB. 2004. Pengembangan Peternakan di Propinsi Riau Ditinjau Dari Nilai Location Quotient. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis, Seminar Nasional Ruminansia, 7 – 8 Oktober 2004. Buku 3
240
KOENTJARANINGRAT. 1997. Metode Wawancara dalam Metode-metode Penelitian Masyarakat. Ed. 3. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. hlm 129 – 157. ACHJADI, K.R. 2009. Keberhasilan teknologi inseminasi buatan pada ternak kerbau. Semiloka Nasional Kerbau di Brebes. Jawa Tengah. Pros. Semiloka Nasional Kerbau Brebes 11 – 13 Nopember 2009. Puslitbang Peternakan hlm. 25 – 34 NOTOHADIPRAWIRI, T. 1991. Kemampuan dan kesesuaian lahan: pengertian dan penetapannya. Makalah dan lokakarya sumberdaya alam nasional. DRN Bakorsurtanal. Bogor7 – 9 Januari 1991 RIETHMULLER, P. 1999. Livestock Industries Of Indonesia Prior To The Asian Financial Crisis. Food Agriculture Organization Of The United Nations Regional Office For Asia and The Pacific. Dept. Of Economics University of Queensland, Brisbane, Australia. WILLIAMSON G. and W.J.A. PAYNE. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gajah Mada University Press. Yogyakarta