Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI UNTUK PENGEMBANGAN KERBAU BELANG (“TEDONG BONGA”) BAHARUDDIN TAPPA Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor
ABSTRAK Kerbau mempunyai peranan yang penting dalam ekonomi peternakan di beberapa negara Asia, Eropa dan Amerika untuk menyediakan hampir separuh untuk kebutuhan susu, daging dan tenaga kerja. Populasi kerbau di dunia berkisar 172,6 juta tersebar lebih dari 129 negara, dimana 167,5 juta (97,1%) berada di Asia (FAO, 2004), sedangkan populasi kerbau di Indonesia sekitar 3,0 juta ekor dan populasinya terus menurun sampai tahun 2005. Ada 2 tipe kerbau yaitu kerbau sungai (river buffalo) dengan 50 pasang kromosom dan tipe rawa/lumpur (swamp buffalo) dengan 48 pasang kromosom. Persilangan dengan mengawinkan antara kerbau sungai dengan kerbau lumpur menghasilkan anak F1 dengan kromosom 2n = 49. Kebanyakan kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau rawa/lumpur (Bubalus bubalis), hanya beberapa ratus ekor kerbau tipe sungai yang terdapat di Sumatera Utara. Kerbau memiliki efisiensi reproduksi yang rendah disebabkan karena pubertas terlambat, umur calving pertama tinggi, priode pos partum anestrus panjang, periode inter-calving panjang, tanda-tanda berahi kurang jelas dan angka kebuntingan rendah. Juga, kerbau mempunyai sedikit primordial follicles dan tingginya angka follicular atresia. Karakteristik volume semen kerbau rata-rata 1,8 ± 1,0 ml tergantung dari umur. Konsentrasi semen 800-1,000x106 sperm/ml. Kerbau rawa umumnya pubertas lebih lambat dibanding dengan sapi. Rata-rata pubertas kerbau betina 3 - 4 tahun, siklus estrus 22 - 24 hari dengan lama estrus 41 jam dan waktu ovulasi 6 - 21 jam setelah akhir estrus. Berahi tenang dengan adanya variasi di antara individu. Hasil evaluasi kualitas semen segar kerbau Belang menunjukkan bahwa volume yang diperoleh berkisar antara 0,5 sampai 2 ml dengan rata-rata 1,06 ± 0,5 ml; warna putih susu sampai krem; konsistensi encer sampai kental, derajat keasaman (pH) rata-rata 7,22 ± 0,67; motalitas 73,75 ± 5,18%; gerakan massa rata-rata ++(+); konsentrasi berkisar antara 600 sampai 3.105 x 106 / ml dan rata-rata 1709,8 ± 823,5 x 106/ml; persentase sel hidup sperma berkisar antara 86.45 sampai 94.8% dengan rata-rata 90,94 ± 4,02%; persentase abnormal sperma segar kerbau Belang 6,67 sampai 14,2% atau rata-rata 11,31 ± 2,39% dan persentase membran plasma utuh (MPU) antara 69,94 sampai 88,23% atau rata-rata 78,17 ± 7,16%. Dari hasil penelitian kualitas semen segar kerbau Belang yang lahir dan tumbuh sampai dewasa kelamin di luar habitat Tana Toraja tetap mempunyai kualitas yang normal dan tingkat kesuburan yang tinggi. Bioteknologi reproduksi adalah penerapan konsep-konsep teoritis ilmu reproduksi dengan memakai teknik-teknik tertentu untuk meningkatkan efisiensi proses reproduksi (ternak) dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia seharihari (daging, susu, dan sebagainya). Bioteknologi memberikan suatu peluang untuk memperbaiki efisiensi reproduksi pada kerbau dan dengan memasukkan materi genetik dapat mempercepat produktivitas kerbau. Aplikasi bioteknologi yang paling penting pada kerbau adalah menghasilkan pejantan unggul untuk tujuan IB. seperti yang telah dilakukan pada IB ternak sapi perah. Sampai saat ini sudah dikembangkan empat generasi bioteknologi reproduksi pada ternak ruminansia besar yaitu: (1). Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI); (2). Transfer Embrio (TE) atau Embryo Transfer (ET); (3). Kloning (Cloning) dan Sexing; (4). Transfer Gen (TG) atau Gene Transfer (GT). Kata kunci: Bioteknologi, reproduksi, efisiensi, semen, IB, Sexing, kerbau Belang
PENDAHULUAN Kerbau mempunyai peranan yang penting dalam ekonomi peternakan di beberapa negara Asia, Eropa dan Amerika untuk menyediakan hampir separuh untuk kebutuhan susu, daging dan tenaga kerja. Populasi kerbau di dunia berkisar 172,6 juta tersebar lebih dari 129 negara, dimana 167,5 juta (97,1%) berada di Asia (FAO, 2004). Pada empat dekade
40
terakhir populasi kerbau dunia mengalami peningkatan dari 89,95 juta menjadi 170,66 juta (hampir dua kali lipat). India mempunyai populasi kerbau paling tinggi (75 juta ekor) diikuti oleh Pakistan sekitar 18 juta ekor. Produksi susu kerbau meningkat dari 18,67 menjadi 72,69 juta metrik ton (mendekati empat kali lipat; FAO, 2004) atau sekitar 41% susu dunia berasal dari susu kerbau. Di antara negara Asia, India mempunyai jenis kerbau
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
unggul seperti Murrah, Nili-Ravi, Bhadawari, Surti, Mehsana Jaffarabadi (MISRA, 2005), kerbau pendukung utama industri susu India dengan kontribusi sekitar 52% dari 91,94 juta MT produksi susu per tahun (FAO, 2005) membuat negara ini menjadi produser susu terbesar (Bandingkan Indonesia hanya produksi susu sekitar 1,08 juta MT susu per tahun). Ada dua tipe kerbau yaitu kerbau sungai (river buffalo) dengan 50 pasang kromosom dan tipe rawa/lumpur (swamp buffalo) dengan 48 pasang kromosom. Persilangan dengan mengawinkan antara kerbau sungai dengan kerbau lumpur telah dilakukan di banyak tempat untuk mendapatkan anak F1 dengan kromosom 2n bervariasi dari 48-50 pasang. Populasi kerbau di Indonesia sekitar 3,0 juta ekor dan populasinya terus menurun sampai tahun 2005 (STATISTIK PERTANIAN, 2005) Kebanyakan kerbau di Indonesia adalah tipe kerbau rawa/lumpur (Bubalus bubalis), hanya beberapa ratus ekor kerbau tipe sungai yang terdapat di Sumatera Utara (SITUMORANG, 2005). Kerbau memiliki efisiensi reproduksi yang rendah disebabkan karena pubertas terlambat, umur calving pertama tinggi, priode pospartum anestrus panjang, periode inter-calving panjang, tanda-tanda berahi kurang jelas dan angka kebuntingan rendah. Juga, kerbau mempunyai sedikit primordial follicles dan tingginya angka follicular atresia. Bioteknologi memberikan suatu peluang untuk memperbaiki efisiensi reproduksi pada kerbau dan dengan memasukkan materi genetik dapat mempercepat produktivitas kerbau. Aplikasi bioteknologi yang paling penting pada kerbau adalah menghasilkan pejantan unggul untuk tujuan IB seperti yang telah dilakukan pada ternak sapi perah. Rendahnya efisiensi reproduksi pada kerbau pada umumnya dipertimbangkan sebagai masalah utama. Rendahnya fertilitas kerbau sekitar 35 - 40% disebabkan oleh kelambatan dewasa (late maturity) pada jantan dan betina. Beranak pertama pada kerbau sekitar 4,19 tahun bervariasi dari 3,58 sampai 4,91 tahun dan calving interval sekitar 573 hari bervariasi dari 490 sampai 700 hari. Ini berarti bahwa jarak hari yang panjang merupakan penyebab rendahnya efisiensi reproduksi pada kerbau.
Pada umumnya, organ reproduksi alat kelamin jantan kerbau adalah sama dengan tipe hewan mamalia umumnya. Alat organ kerbau jantan umumnya kecil dan lingkar scrotum hanya 10 cm dan dekat dengan pelekatan dinding abdominal. Ukuran scrotum kerbau lebih kecil dibanding scrotum Bos taurus dengan umur yang sama. Pada umumnya pejantan kerbau mencapai pubertas pada umur sekitar 20 bulan dimana spermatogenesis telah terbentuk. Karakteristik volume semen 1,8 ± 1,0 ml tergantung dari umur. Konsentrasi semen 8001.000x106 sperm/ml. Kerbau rawa umumnya pubertas lebih lambat dibanding dengan sapi. Rata-rata pubertas kerbau betina 3 - 4 tahun, siklus estrus 22 - 24 hari dengan lama estrus 41 jam dan waktu ovulasi 6 - 21 jam setelah akhir estrus. Berahi tenang dengan adanya variasi di antara individu. Ada tanda pengaruh pola musim terhadap perkembangbiakan. Aktivitas reproduksi (sexually) kerbau betina dari bulan Maret sampai akhir Juni walaupun ada juga yang mengatakan estrus kerbau banyak terjadi awal musim panas yang lebih pendek. Data dari Surin Baffalo Breeding melaporkan bahwa kerbau betina disapih selama musim dingin. Hasil evaluasi kualitas semen segar kerbau Belang pada Tabel 1 menunjukkan bahwa volume yang diperoleh berkisar antara 0,5 sampai 2 ml dengan rata-rata 1,06 ± 0,5 ml; warna putih susu sampai krem; konsistensi encer sampai kental, derajat keasaman (pH) rata-rata 7,22 ± 0,67; motalitas 73,75 ± 5,18%; gerakan massa rata-rata ++(+); konsentrasi berkisar antara 600 sampai 3,105 x 106/ml dan rata-rata 1709,8 ± 823,5 x 106/ml; persentase sel hidup sperma berkisar antara 86,45 sampai 94,8% dengan rata-rata 90,94 ± 4,02%; persentase abnormal sperma segar kerbau Belang 6,67 sampai 14,2% atau rata-rata 11,31 ± 2,39% dan persetase membran plasma utuh (MPU) antara 69,94 sampai 88,23% atau ratarata 78,17±7,16%. Hasil ini menunjukkan kisaran yang sama dengan semen segar kerbau Belang di Sulawesi Selatan yang ditampung dengan metode vagina buatan, seperti yang dilaporkan BATOSAMMA (1985) yaitu; volume berkisar antara 0,3 sampai 3,8 ml dengan ratarata 1,7 ± 0,8 ml; warna krem dan putih susu yang menunjukkan semen
41
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 1. Karakteristik semen kerbau Belang Parameter yang diamati Volume (ml) Warna Konsistensi pH Motilitas (%) Gerakan Massa Konsentrasi (x 106)
Rataan 1,06 ± 0,5 Putih susu - krem Encer - kental 7,2 ± 0,6 74,5 ± 4,97 ++(+) 1709,8 ± 823,5
Sel sperma hidup (%)
90,94 ± 4,02
Abnormalitas sperma (%)
11,31 ± 2,39
Membran plasma utuh /MPU (%)
78,17 ± 7,16
Sumber: PUSLIT BIOTEKNOLOGI LIPI normal dan sehat; konsistensi antara agak kental (sedang) dan kental; pH antara 6,9 sampai 7,2 dengan rata-rata 7,0 ± 0,1; motilitas rata-rata 74 ± 4.8%; gerakan massa positif dua setengah (++/+); konsentrasi berkisar antara 200 sampai 2.500 x 106/ml atau rata-rata 1200 ± 0,5 x 106/ml; abnormalitas sperma berkisar antara 10 sampai 20% atau rata-rata 15,06 ± 4,93. TOELIHERE (1975a) melaporkan bahwa kerbau Belang di Tana Toraja, Sulawesi Selatan mempunyai kualitas: volume semen per ejakulat rata-rata 2 ml; berwarna krem, krem keputihan dan putih; pH dengan kertas lakmus menunjukkan agak ke basa; gerakan massa sperma antara + sampai +++; konsentrasi sperma berkisar antara 600 sampai 1000 juta, rata-rata 800 juta sel per ml semen (TOELIHERE, 1975) dan persentase sperma hidup 48 sampai 80%. Dari hasil penelitian kualitas semen segar kerbau Belang yang lahir dan tumbuh sampai dewasa kelamin di luar habitat Tana Toraja tetap mempunyai kualitas yang normal dan tingkat kesuburan yang tinggi. Hasil thawing semen beku kerbau Belang pada Tabel 2 menunjukkan bahwa motilitas 43,33 ± 2,58%, sel sperma hidup 86,72 ± 4,54%, abnormalitas sperma 12,175 ± 1,12% dan MPU 62,72 ± 2,02%. Hasil motilitas pascathawing ini lebih rendah dari hasil penelitian BATOSAMMA (1985) yaitu antara 40 sampai 60% dengan rata-rata 50 ± 6,5%. HARDIS (1988) melaporkan hasil thawing semen beku kerbau Lumpur dengan equilibrasi 4 jam dan pencampuran gliserol satu tahap
42
sebelum dibekukan adalah motilitas 47,50 ± 4,18%; semen hidup 61,67 ± 3,35% dan MPU 51,67±3,64%. Hasil penelitian ini menyatakan motilitas 51,3 ± 5,5% dan MPU 43,8 ± 3,2%. Perbedaan antara hasil-hasil penelitian di atas relatif kecil dan masih menunjukkan kisaran kualitas semen beku yang dapat digunakan untuk IB. Bioteknologi reproduksi adalah penerapan konsep-konsep teoritis ilmu reproduksi memakai teknik-teknik tertentu untuk meningkatkan efisiensi proses reproduksi (ternak) dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari (daging, susu, dan sebagainya). Bioteknologi reproduksi adalah pemakaian data dan teknik rekayasa untuk mempelajari dan mencari solusi terhadap berbagai masalah reproduksi pada makhluk hidup. Sampai saat ini sudah dikembangkan empat generasi bioteknologi reproduksi yaitu : I. Inseminasi Buatan (IB) atau Artificial Insemination (AI) II. Transfer Embrio (TE) atau Embryo Transfer (ET) III. Kloning (Cloning) dan Sexing IV. Transfer Gen (TG) atau Gene Transfer (GT) Pengembangan dan penerapan bioteknologi tersebut berlangsung secara bertahap menurut generasinya, tetapi penerapannya secara massal dan meluas terbatas pada generasi I yaitu IB (terutama pada sapi perah), sedangkan untuk
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 2. Kualitas semen beku kerbau Belang hasil thawing Parameter yang diamati Motilitas (%)
Hasil 43,33 ± 2,58
Sel sperma hidup (%)
86,72 ± 4,54
Abnormalitas sperma (%)
12,175 ± 1,12
Membran plasma utuh/MPU (%)
62,72 ± 2,02
generasi II yaitu TE masih terbatas aplikasinya untuk produksi bibit unggul. Untuk generasi III dan IV masih merupakan wacana dan pelaksanaannya baru pada tingkat percobaan di laboratorium. PEMANFAATAN INSEMINASI BUATAN (ARTIFICIAL INSEMINATION) Secara teoritis di dalam ilmu reproduksi dinyatakan bahwa testes (sebagai organ reproduksi primer) yang pada hewan jantan dengan berat sekitar 600 g dapat menghasilkan 9 x 106 spermatozoa/g/hari atau sekitar 5,4 milyar sepermatozoa per ekor per hari. Secara teoritis pula dinyatakan bahwa setiap ejakulat pada pejantan sapi unggul menghasilkan ratarata 10 ml semen dengan konsentrasi spermatozoa rata-rata 1200 x 106 sel per ml atau sekitar 10 x 1200 x 106 = 12 x 109 spermatozoa per ejakulat. Pada perkawinan secara alamiah, seluruh 12 x 109 spermatozoa tersebut disemprotkan ke dalam saluran kelamin betina ( di bagian dalam vagina atau di mulut rahim/cervix) pada hanya satu ekor betina, padahal diperlukan hanya satu spermatozoa untuk membuahi satu sel telur pada satu sapi betina yang berahi. Ini berarti terjadi suatu inefisiensi yang tinggi dalam pemanfaatan bibit hewan jantan. Oleh karena itu diciptakanlah bioteknologi generasi pertama, yaitu inseminasi buatan (IB), untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bibit hewan jantan tersebut. Pejantan yang dipakai dalam program pemuliabiakan ternak tentulah pejantan unggul yang sudah diseleksi dan tinggi mutu genetik dan kualitas semennya. Dengan demikian IB dapat didefinisikan sebagai suatu teknologi reproduksi (generasi pertama) yang dipakai dalam program pemuliabiakan ternak (hewan) dengan memanfaatkan bibit pejantan unggul secara maksimal dan higienis untuk meningkatkan
produktivitas (jumlah dan kualitas) ternak dalam memenuhi kebutuhan manusia seharihari. IB selaku bioteknologi reproduksi generasi pertama dikembangkan oleh Spallanzani dari Italia pada anjing (1780) dan kuda (1803), dilanjutkan oleh Sand dan Stribolt dar Denmark dan oleh Ivanoff dari Rusia, keduanya pada sapi, masing-masing pada tahun 1902 dan 1912. Selanjutnya Sorensen mendirikan Koperasi IB pertama di Denmark (1936) yang ditiru dan dikembangkan oleh Perry di USA (1938). Tonggak sejarah IB yang menonjol di abad ke 20 adalah penemuan teknik pembekuan semen oleh Polge, Smith dan Perkes dari Inggris (1949) yang menemukan gliserol sebagai krioprotektan yang dapat mempertahankan kehidupan spermatozoa dalam keadaan beku (-196oC). IB diperkenalkan pertama kali di Indonesia oleh Prof. B. Seith dari Denmark pada tahun 1953. Metode IB menggunakan sistem vaginaskop dengan semen cair (chilled semen) diadaptasi dan dikembangkan pada Balai IB Ungaran di Jawa Tengah dan di Bedugul, Bali. Periode ini (1953 - 1973) dianggap sebagai masa perkenalan IB. Hasil IB pada saat itu masih rendah dengan angka konsepsi sekitar 20 - 30% (TOELIHERE, 2006). Semen beku (frozen semen) mulai diperkenalkan (diimpor) pada tahun 1973. Melihat lebih efisien penggunaan semen beku dan membatasi impornya, Pemerintah cq Direktorat Jenderal Peternakan bekerjasama dengan Pemerintah Selandia Baru mendirikan Balai IB (BIB) di Lembang Jawa Barat (1975/1976) untuk produksi dan distribusi semen beku, khususnya sapi perah ke daerah-daerah, terutama di Pulau Jawa. Pejantan unggul yang sudah terseleksi diimpor dari Australia. Dapat dikatakan bahwa penerapan IB di Indonesia sudah memasuki periode pemantapan pelaksanaan IB secara nasional (1975/1976 - 1998). Berhubung kapasitas produksi semen beku oleh BIB
43
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Lembang masih kurang, maka dikembangkan BIB Singosari di Malang, Jawa Timur (1982/1983). Penerapan IB pada sapi potong, terutama di luar Pulau Jawa, masih tersendat-sendat karena sistem peternakan yang ekstensif (bandingkan dengan sapi perah di Pulau Jawa) yang dipelihara secara intensif dan memudahkan penerapan IB terutama pengamatan berahi dan pelaporannya untuk dilakukan inseminasi. Sejak memasuki era otonomi dan desentralisasi, setiap daerah (propinsi) diberi kebebasan untuk mengembangkan Balai IB di daerahnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan serta potensi yang dimiliki. Dengan demikian dimulailah suatu periode akselerasi IB pada sapi potong yang didukung oleh pemerintah pusat (Dirjen Peternakan) yang mendistribusikan sapi-sapi pejantan Simmental, Limousin dan Brahman ke daerah-daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, NTB, Bali, dan Sulawesi Selatan. Selain IB pada sapi, juga dilakukan IB pada ternak kerbau yng diperkenalkan oleh Toelihere pada tahun 1975 di Tanah Toraja (Sulawesi Selatan) dan di Pulau Sumba (NTT), masing-masing menggunakan semen cair yang ditampung dari pejantan kerbau Belang dan kerbau Lumpur. Hasil IB tersebut cukup memuaskan (CR mencapai sekitar 50%). Pemanfaatan teknologi IB memudahkan persilangan antara kerbau lokal dan (semen beku) kerbau perah (bangsa Murrah) seperti yang dilakukan juga di Brebes (Jawa Tengah). Kerbau hasil persilangan (F1) tersebut bertumbuh dengan cepat dan laku terjual dengan cepat pula. Kegiatan IB tersebut terhenti sampai tahun 1999 karena pejantan yang ada di BIB Lembang tidak produksi lagi atau pejantan kerbau sudah tidak ada lagi. Namun pada tahun 2003/2004 Tappa dkk. telah memulai produksi semen kerbau (kerbau Belang) di Puslit Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor dan BIB Daerah Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Hasil produksi semen cair dan semen beku kerbau Belang telah diuji coba dengan hasil CR sekitar 60% pada betina kerbau Belang dan betina kerbau biasa.
44
Seperti halnya pada ternak sapi, mulai tahun 2006 Tim peneliti Bioteknologi Reproduksi Puslit Bioteknologi LIPI kerjasama dengan dinas daerah melakukan sinkronisasi estrus (penyerentakan berahi) pada kerbau dalam pelaksanaan IB pada ternak kerbau di 2 lokasi yaitu Kelompok Ternak Usaha Bersama Kotabaru Kalimantan Selatan dan Kelompok Ternak Kerbau di Kuantan Sengingi, Riau (Tabel 3) Dengan teknik sinkronisasi estrus, waktu berahi dan waktu IB dapat diprediksi dan dilaksanakan secara serentak untuk meningkatkan efisiensi kegiatan IB pada ternak kerbau. Salah satu metode sinkronisasi estrus adalah menggunakan hormon progesteron yang mempunyai pengaruh umpan balik negatif (negative feedback mechanism) terhadap sekresi gonadotrophin (FSH dan LH). Pemberian progesteron dalam kurun waktu tertentu (9 - 14 hari) akan menghambat sekresi gonadotrophin, dan pada saat pengaruh progesteron di dalam tubuh hilang atau sangat berkurang, maka hormon gonadotrophin (FSH dan LH) akan disekresikan dalam jumlah banyak yang merangsang perkembangan sel telur di dalam folikel ovarium sampai terjadi pelepasan sel telur (ovulasi) dan dapat dibuahi oleh spermatozoa yang masuk sewaktu IB. Pada tahun 1975 ditemukan dan diisolasi prostaglandin (PGF2α) yang bersifat lutolitik (meruntuhkan corpus luteum, CL) dan dipakai untuk sinkronisasi estrus secara massal. Pemberian PGF2α dapat dilakukan cukup satu kali (sekitar 75% hewan betina akan bereaksi dan memperlihatkan gejala-gejala berahi) atau dapat dilakukan dua kali (berselang 11-12 hari) yang dapat menimbulkan respon pada semua (100%) betina normal, sehat, bersiklus dan tidak bunting. IB sebagai teknologi reproduksi generasi pertama tetap menjadi landasan untuk mengembangkan dan menerapkan teknologi reproduksi generasi berikutnya. Sebelumnya perlu diingat bahwa IB maupun teknologi reproduksi lainnya hanyalah alat, bukan tujuan, dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 3. Hasil sinkronisasi kerbau dengan hormon prostaglandin Perlakuan Hormon
Jumlah ternak perlakuan (ekor)
Jumlah ternak respon (ekor)
Kotabaru, Kalimantan Selatan
PGF2 alpha
10
7 (70,0%)
Kuantan Singingi, Riau
PGF2 alpha + Estrogen
7
6 (85,7%)
Lokasi
TRANSFER EMBRIO (EMBRYO TRANSFER) Selain hewan jantan, sumbangan informasi genetik juga berasal dari hewan betina. IB sebagai teknologi reproduksi generasi pertama dipakai untuk memanfaatkan bibit (spermatozoa) pejantan unggul secara maksimal. Transfer embrio (TE) selaku teknologi reproduksi generasi kedua berupaya memanfaatkan bibit (oosit) betina unggul secara maksimal. Walaupun jumlah sel kelamin yang diproduksi oleh hewan jantan bermilyar-milyar bahkan triliunan banyaknya dan diproduksi terus menerus pada hewan jantan sejak puber (dewasa kelamin) sampai tidak produktif lagi. Kelahiran teknologi TE diawali pada tahun 1891 pada kelinci oleh Heape. Pada tahun 1949 Warwick dan Barry melaporkan kelahiran anak domba dan kambing hasil TE. WILLET (1951) melaporkan kelahiran anak sapi hasil ET. Sedangkan untuk kerbau, kelahiran pertama dilaporkan di University of Florida, USA (DROST et al.., 1983). Kemudian, DROST kerjasama dengan Bulgarian melaporkan kelahiran kedua kerbau hasil TE (DROST et al., 1985). Di Asia/India kelahiran pertama kerbau hasil TE dilaporkan oleh MISRA (1988); Malaysia (JAENUDEEN, 1989); Pakistan (MEHMOOD et al., 1989; ULLAH et al., 1992); Thailand (CHANTARAPRATEEP et al., 1989; TECHAKUMPHU et al., 1989), Japan (OCAMPO et al, 1988); Phillipines (CRUZ et al., 1991); Egypt (ISMAIL, 1993; OSMAN and SHEHATA, 2002); China (WANG et al., 1994; JIXIAN, 2006), Brazil (BARUSELLI et al., 1989). Kelahiran pertama hasil fertilisasi in vitro dengan menggunakan oosit dari RPH dilaporkan di National Dairy Research Institute, Karnal, India (MADAN, 1991), sedangkan kelahiran pertama dari hasil koleksi oosit dari donor kerbau berhasil dilakukan oleh
GALLI et al. (1998) di Italia. KASIRAJ et al. (1992) melaporkan kelahiran kerbau dari embrio beku. LU (2006) melaporkan kelahiran kerbau pertama menggunakan sperma sexing untuk FIV, hal sama dilakukan TAPPA (2006) menggunakan sexing sperma untuk IB pada kerbau Belang. Dengan teknik FIV, oosit dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik dari betina dewasa, betina muda maupun hewan betina yang sudah dipotong di RPH. Dengan demikian terbuka peluang untuk memanfaatkan oosit dari hewan langka yang mati mendadak untuk tetap diusahakan pelestarian dan konservasi jenis hewan tersebut. KLONING (CLONING) Kloning adalah teknologi reproduksi generasi ketiga yang berupaya menciptakan makhluk-makhluk identik melalui pembelahan embrio dan transfer inti. Inti sel-sel embrio atau sel somatik yang sudah memiliki 2n kromosom diambil dan dipindahkan ke dalam oosit yang sudah dikosongkan inti selnya kemudian dipupuk dan dimatangkan untuk kemudian ditanamkan ke resipien yang sudah dipersiapkan. Karena jumlah sel somatik dalam satu jaringan tubuh hewan tidak terbatas jumlahnya, maka secara teoritis dapat diproduksi banyak embrio yang nanti berkembang menjadi individu-individu yang identik untuk tujuan tertentu. PRATHER (2007) melaporkan kelahiran klon anak sapi yang berasal dari 9-15 sel morula. Berita yang agak menggemparkan adalah domba Dolly hasil cloning menggunakan inti sel ambing oleh WILMUT et al. (1996), setelah percobaan memakai ribuan oosit. Belakangan klon domba tersebut mati tanpa diketahui penyebabnya. Kloning embrio kerbau telah dihasilkan menggunakan sel embrionik (SINGLA, 1997), fetal (MEENA dan DAS, 2005) dan sel somatik
45
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
dewasa (PARNPAI et al., 2004) dan sitoplasma oosit sapi (KITIYANANT et al., 2001) dapat dipergunakan untuk produksi embrio cloning. Angka kebuntingan hasil transfer embrio cloning telah dilaporkan akan tetapi kebuntingan tidak sampai melahirkan. Baru pada tahun 2006, SHIDESDHUM (2006), melaporkan kelahiran 6 ekor kerbau betina hasil cloning dari tahun 2004 - 2005 di China menggunakan fetal fibroblast atau sel granulose dan menunjukkan bahwa teknik ini efektif dipakai untuk produksi kerbau klon. Oleh karena itu, kloning pada kerbau Belang terbuka kesempatan untuk menghasilkan individu-individu kerbau Belang yang identik dalam jumlah yang banyak dan seragam. SEXING SPERMA Penetuan jenis kelamin (sexing) sangat penting untuk penetuan rasio jenis kelamin (sex) pada anak sehingga mempunyai nilai komersial pada industri peternakan. Usahausaha yang telah dilakukan dengan melakukan pemisahan sperma X dan Y dengan teknik serum albumin (TAPPA et al., 1997) dan sexing embrio dengan karyotyping pada embrio utuh dan embrio paruh hasil splitting (TAPPA et al. 2006). Produksi anak sapi kembar identik dengan memisahkan sel-sel blastomer embrio tahap perkembangan awal telah banyak dilakukan di industri peternakan. Angka kebuntingan embrio yang sudah diketahui jenis kelaminnya masih rendah dibandingkan dengan embrio yang masih utuh. Begitu juga dengan sperma yang dipisahkan jenis kelaminnya, tingkat motilitas pascapemisahan hampir sama dibandingkan dengan sperma yang tidak dipisahkan yaitu sekitar 60 - 80%, tetapi setelah dilakukan pembekuan, motilitasnya menurun pada sperma yang dipisahkan (TAPPA et al., 1999, TAPPA., 2006). Untuk menentukan kelahiran jenis kelamin anak yang diinginkan, sexing embrio kerbau telah berhasil dilakukan di India (RAO dan TOTEY, 1999) dan Italia (MEENA et al., 2005) dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR). Selanjutnya LU (2006) melaporkan kelahiran anak kerbau menggunakan sexing sperma untuk FIV.
46
KESIMPULAN Kerbau Belang termasuk tipe kerbau rawa/lumpur (Bubalus bubalis), yang terdapat di Tanah Toraja. Kerbau Belang, seperti tipe kerbau lainnya memiliki efisiensi reroduksi yang rendah disebabkan karena puberitas terlambat, umur calving pertama tinggi, periode pos partum anestrus panjang, periode inter-calving panjang, tanda-tanda berahi kurang jelas dan angka kebuntingan rendah. Kerbau Belang umumnya puberitas lebih lambat dibanding dengan sapi. Rata-rata puberitas kerbau betina 3-4 tahun, siklus estrus 22-24 hari dengan lama estrus 41 jam dan waktu ovulasi 6-21 jam setelah akhir estrus. Berahi tenang dengan adanya variasi di antara individu. Hasil evaluasi kualitas semen segar kerbau Belang menunjukkan bahwa volume yang diperoleh berkisar antara 0,5 – 2 ml dengan rata-rata l,06 ± 0,5 ml; warna putih susu sampai krem; konsistensi encer sampai dengan kental; derajat keasaman (pH) rata-rata 7,22 ± 0,67; motilitas 73,75 ± 5,l8%; gerakan massa rata-rata ++ (+); konsentrasi berkisar antara 600 sampai 3.105 x l06 /ml dan rata-rata 1.709,8 ± 823,5 x l06 /ml; persentase sel hidup sperma berkisar antara 86,45 – 94,8% dengan rata-rata 90,94 ± 4,02%; persentase abnormal sperma segar kerbau Belang 6,67 – 14,2% atau rata-rata ll,31 ± 2,39% dan persentase membran plasma utuh (MPU) antara 69,94 – 88,23% atau rata-rata 78,17 ± 7,16%. Dari hasil penelitian kualitas semen segar kerbau Belang yang lahir dan tumbuh sampai dewasa kelamin di luar habitat Tana Toraja tetap mempunyai kualitas yang normal dan tingkat kesuburan yang tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi reproduksi kerbau Belang perlu diterapkan bioteknologi reproduksi dengan memasukkan materi genetik. Aplikasi bioteknologi yang paling penting pada kerbau adalah menghasilkan pejantan unggul untuk IB.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
DAFTAR PUSTAKA BARUSELLI, P.P., R.G. MUCCIOLO, R. ARRUDA, E.H. MADUREIRA, R. AMARAL, M.E.O.A. ASSUPCAO. 1999. Embryo recovery rate in superovulated buffalo. Theriogenology, Volume 51, Issue l, l January l999, p. 401. BATOSAMMA, J.T. 1985. Penerapan teknologi inseminasi buatan untuk pelestraian sumberdaya ternak kerbau Belang. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. BATOSAMMA, J.T. 2006. Potential and application of reproduction technologies of water buffaloes in Indonesia. International Seminar on “The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes” August 28- September 1, 2006 at Bogor, Indonesia. CHANTARAPRATEEP, P., C. LOHACIHIT, M. TECHAKUMPHU, G. KOBAYASHI, P. VIRAKUL, A. KUNAYONGKRIT, P. PRATEEP, A. LIMSKUL. 1989. Theriogenology, Volume 31, Issue 6, June 1989. pp. 1131-1139. CRUZ, L.. 1991. Successful transfer of Murrah buffalo embryo into Philippine Swamp buffalo recipient. Proceeding of the IIIrd World Buffalo Congress, Bulgaria Vol III : 586-590. DROST, M., J.M. Wright Jr., W.S. Cripe, A.R. Richter. 1983. Theriogenology, Volume 20, Issue 5, November l983, pp. 579-584. DROST, M. and R. PETER ELSDEN. 1998. Theriogenology, Volume 23, Issue 1, January 1985, p. 191. FAO. 2004. FAO Rome, Databank FAO. 2005. FAO Rome, Databank GALLI, C., R. Duchi, G. Crotti, G. Lazzari. l998. Theriogenology, Volume 49, Issue 1, January 1998, p. 400. GUNAWAN M, E.M.KAIIN., S. SAID dan B. TAPPA. 2006. Evaluasi semen beku kerbau Belang (Bubalus bubalis) di Cibinong. Seminar Bioteknologi LIPI. Bogor 12-14 April 2006. HERDIS. 1998. Metode pemberian gliserol dan lama ekuilibrasi pada proses pembekuan semen kerbau Lumpur. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.Bogor. ISMAIL, S.T. 1993. Effect of HCG and GnRH on the ovulation rate and embryo production in buffalo cows superovulated with PMSG. Buffalo Journal 2: 129 - 134.
JAENUDIN, M.R. l989. Embryo tranfer tecnology in the buffalo: A review. A paper persented to joint FAO/IAEA/ACIAR Research Coordination and Planning Meeting on Buffalo Productivity, CSIRO, Rockhampton, Queensland, Australia, February 20-24, l989. JIXIAN. 2006. Effect of different superovulatory treatment on response in swamp buffalo. Proc. 5 th Asian Buffalo Conggress, Nanning, China, pp. 642-645. KASIRAJ, R., M. MUTHA RAO, N.S. RANGAREDDI and A.K. MIRA. 1992. Theriogenology, Volume 37, Issue 1, January l992, p. 234.. KITIYANANT, Y., J. SAIKHUN, B. CHAISALEE, K.L. WHITE and K. PAVASUTHIPASIT. 2001. Somatic cell cloning in buffalo (Bubalus bubalis); effect of interspecies cytoplasmic recipient and activation procedures. Cloning Stem Cells: 3 (3): 97-104. LU Y. Q. 2006. Flow cytometric sorting the sperm and production of sex-preselected embryo in buffalo (Bubalus bubalis). Proc 5th Asian Buffalo Congress, Nanning, China, pp. 155 161. MADAN, M.I. L991. In vitro fertilization and birth of first ever IVF buffalo calf. In: proc. Third World Buffalo Conggress, Varna, Bulgaria Vol. 7: pp. ll-17. MEENA, C.R and S.K. DAS. 2005. In vitro development of reconstructed water buffalo (Bubalus bubalis) oocytes after fetal skin fibroblast cell nuclear transfer. J. Reprod. Fertil and Development 17 (2): 248-248. MEHMOOD, A. l989. Superovulation with PMSG begining on three different days of the cycle in Nili-Ravi buffaloes (Bubalus bubalis). Buffalo Journal 1: 79-84. MISRA, A.K. 2004. Advances in embryo technologies in water buffaloes. Proceeding of the 7th World Buffalo Congress. Manila Philippines, 20-23 October, pp. 140-156. MISRA, A.K. 2006. Application of embryo biotechnology to augment reproduction and production in buffaloes: Current status and future possibilities. International Seminar on “The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes” August 28- September 1, 2006 at Bogor, Indonesia. MISRA, A.K. 2008. Successful embryo transfer in a buffalo (Bubalus bubalis). Proceeding of the II World Buffalo Congress, New Delhi. India Vol. l: 56.
47
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
NA-CHIENGMAI, A. 2002. Development of swamp buffalo breeding improvement for sustainable use in Thailand. Workshop on EC-China water buffalo development project, 5-8 April, Kunming, PRC, 7p. OCAMPO, B.M., UENISHI, VALIDEZ, J. PASTOR, KANAGAWA. L988. embryo recovery in the Vet Res 36: 257-263.
S. ROGERIO, A.C. L. CRUZ and H. 1988. Non-urgical water buffalo. Jpn J
OSMAN, A.M. dan S.H. SHEHATA. 2002. Transport of preimplantation embryos in genetalia of buffalo heifers superovulated with pFSH and variable does of LH. J. Anim. Sci. 80 (Suppl. I): 388. PARNPAI, R., C. LAOWTAMMATHRON, T. TERAO, C. LORTHONGPANICH, S. MUENTHAISONG, T. VETCHAYAN and S. HOCHI. 2004. Development into blastocyts of swamp buffalo oocytes after vitrification and nuclear transfer. Reprod. Fertil. Dev. 16: 180-181. PRATHER, R.S 2007. Nuclear remodeling and reprogramming for making Transgenic Pigs by Nuclear Transfer. Chapter one in “Advances in Exprimental Medicine and Biology: Somatic Cell Nuclear Transfer” by P. Sutovsky. RAO, K.B.C. and S.M. TOTEY. 1999. Cloning and sequencing of buffalo male-specific repetitive DNA sexing of in-vitro developed buffalo embryos using multiplex and nested polymerase chain reaction. Theriogenology 51: 785-797. SHIDESHUM, 2006. Development of nuclear transfer technology in buffaloes. Proc 5th Asian Buffalo Congress, Nanning, China, pp. 22-27. SINGLA, S.K.. 1997. Micromanupaltion and cloning studies on buffalo oocytes and embryo using nucleus transfer. Indian J Exp Biol 35: l2731283. SITUMORANG, P. 2005. Effect of the administration of human chorionic gonadotrophin (hCG) hormone following superovulation in buffalo. J. Ilmu Peternakan dan Veteriner l0: 286-292. SITUMORANG, P., D.A. KUSUMANIGRUM dan R.G. SIANTURI. 2006. Suerovulation in buffalo in Indonesia. Research paper presented in International Seminar on The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. Agustus 28 – September l, 2006. Boro, Indonesia.
48
STATISTIK PERTANIAN. 2005. Departemen Pertanian R.I. TAPPA, B. 2000. Puslitbang Bioteknologi LIPI pertama kali berhasil mengembangkan kerbau Belang “Tedong Bonga”. Biro Pemasyarakatan IPTEK. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. TAPPA,.B., S. SAID dan E.M.KAIIN 2006. Kerbau Belang (Bubalus bubalis) berkembang di luar habitat aslinya Tana Toraja. International Seminar on “The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes” August 28September 1, 2006 at Bogor, Indonesia. TAPPA, B. 2006. Aplikasi Bioteknologi Reproduksi Ternak di Indonesia. Seminar Nasional Peranan Bioteknologi Reproduksi dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia. Fakultas Kedokteran Hewan – IPB, Bogor 8 April 2006. THECHAKUMPHU, M. l989. Prelimanary report on cryopreservation of Thai swamp buffalo embryos. Manual and automatic methods. Buffalo Bulletin 8 (2): 29-36. TOELIHERE, M.R. 1975. Physiology of reproduction and artificial insemination of water buffaloes. Dalam: The Asiatic Water Buffaloe, ASPAC Food and Fertilizer Technology Center. Taipei, Taiwan. TOELIHERE, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. TOELIHERE, M.R. 2006. Pokok-pokok pikiran tentang perkembangan bioteknologi reproduksi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang dalam menunjang pembangunan peternakan di Indonesia. Seminar Nasional Peranan Bioteknologi Reproduksi dalam Pembangunan Peternakan di Indonesia. Fakultas Kedokteran HewanIPB, Bogor 8 April 2006. ULLAH, N. 1992. Endocrine profile in relation to ovarian response, cevovery rate and quality of embryos in Nili-Ravi buffaloes treated with FSH. Buffalo Journal I: 47-56. WANG, Z.K., T.G. WU, D.Q. YU, Z. WANG, K.H. WANG, C. LEI and L.H. LUI. 1994. Effect of LH on superovulation on swamp buffalo in China. Theriogenology 41: 331 (abstr.). WILMUTI, I., A.E. SCHNIEKE, J. MCWHIR, A.J. KIND, and K.H.S. CAMPBELL. 1997. Viable offspring derived from fetal and adult mammalian cells. Nature, 385 (6619): 810-813.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
6