Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
PERAN DAN KETERSEDIAN TEKNOLOGI PENGEMBANGAN KERBAU DI INDONESIA A. BAMUALIM, ZULBARDI MUHAMMAD dan CHALID TALIB Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16152
ABSTRAK Kerbau (Bubalus bubalis) yang kita jumpai sekarang sangat patuh, bergerak lamban, mau memakan hijauan apa adanya dan sanggup memberikan kondisi badan yang baik. Perkembangan domestikasi kerbau yang dimulai di India tersebut menyebar dan menjalar ke Asia Tenggara, China, Jepang dan Korea sekitar 2000 tahun yang lalu. Dikenal dua tipe yakni kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan kerbau sungai sebagai penghasil susu, namun perbedaan topografi membuat beragam kerbau liar yang masih ditemukan di India, Indonesia dan Asia Barat. Kerbau lumpur di Asia Tenggara banyak terdapat di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Namun kini muncul berbagai spesifikasi mengikuti agroekosistem yang membentuknya. seperti kerbau Tedong Bonga, kerbau Kalang, kerbau Binanga dan Moa serta di daerah Taman Nasional Baluran terdapat kerbau liar. Populasi kerbau pada tahun 1841 di Jawa sebanyak 1.287.862 ekor, pada tahun 1921 meningkat sebesar 67% menjadi 2.146.437 ekor. Puncak populasi kerbau di Indonesia pada tahun 1925 yang mencapai 3.321.959 ekor, namun pada tahun 2007 menurun hanya 2.246.017 ekor. Sejalan dengan pergeseran populasi dan daerah pemukiman, animo masyarakat untuk memelihara kerbau ikut pula berubah. Namun peternak senantiasa memelihara kerbau seadanya, kadangkala di malam hari tidak dikandangkan, bernaung di bawah pohon, di pinggir hutan atau di lapangan terbuka. Lapang pengembalaan adalah arena utama tempat ternak mencari makan dan tempat ternak kawin secara alam. Akan tetapi lapang pengembalaan dalam penyediaan pakan hanya ditumbuhi rumput alam dan leguminosa dengan kualitas rendah yang biasa dikonsumsi ternak terus-menerus tanpa ada usaha perbaikan. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari daerah beriklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian subur di Jawa, hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Sumatera. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara dan Tengger serta dataran rendah di pinggir laut seperti Tegal dan Brebes. Bahkan di cagar alam Baluran, populasi kerbau lebih tinggi dibanding banteng. Namun kerbau mempunyai keistimewan tersendiri dibandingan dengan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Dalam kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau justru lebih baik dibandingkan sapi, dan masih dapat berkembang biak dengan baik. Peran kerbau sebagai tenaga kerja lebih banyak dimanfaatkan untuk mengolah sawah bukan sebagai tenaga penarik gerobak karena memiliki kelebihan alamiah telapak kaki yang lebih lebar dibandingkan sapi atau kuda sehingga mampu bekerja lebih berat. Kerbau lumpur yang banyak dipelihara masyarakat memang bukan kerbau tipe susu tetapi di beberapa daerah para peternak kerbau melakukan pemerahan. Produksi susu dari setiap ternak kerbau yang diperah berkisar antara 1,50 - 2,50 liter/ekor/hari dengan lama pemerahan sekitar 7 bulan. Kerbau dapat dikembangkan melalui upaya perbaikan sistem perkandangan, pmeliharaan ternak, perbaikan pemberian pakan ternak kerbau dan sasaran peningkatan daya tahan dadih untuk pemasaran yang lebih luas. Kata kunci: Kerbau, populasi, pengembangan, adaptasi, perbaikan produksi
PENDAHULUAN Kerbau (Bubalus bubalis) yang kita jumpai sekarang sangat patuh, bergerak lamban, mau memakan hijauan apa adanya dan sanggup memberikan kondisi badan yang baik. Nenek moyang kerbau berasal dari Asia dan Afrika sekitar 5000 tahun lampau. Pada mulanya ternak kerbau diburu, untuk dikonsumsi sebagai bahan makanan dan kulitnya dijadikan
bahan pakaian akan tetapi kesulitan memburu membuat manusia berusaha untuk berada dekat dengan sumber makanan yang akhirnya dilakukanlah domestikasi terhadap kerbau. Situasi tersebut membawa masyarakat tinggal di Indus Valley daerah sungai Gangga yang berdampingan dengan keberadaan kerbau liar disana. Perkembangan domestikasi kerbau di India tersebut menyebar dan menjalar ke Asia
1
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
Tenggara, China, Jepang dan Korea sekitar 2000 tahun yang lalu (DHANA, 2006). Kerbau dikenal dua tipe yakni kerbau lumpur sebagai penghasil daging dan kerbau sungai sebagai penghasil susu, namun menurut DHANA (2006) perbedaan topografi membuat beragam kerbau liar yang masih ditemukan di India, Indonesia dan Asia Barat. Kerbau lumpur di Asia Tenggara banyak terdapat di Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Selain itu, masih ada jenis kerbau sungai yang berasal dari Eropa, Azerbaijan, dan Timur Tengah seperti kerbau Menofi, Baheri, Saidi dan Baledi. Di Indonesia sebagian besar terdiri dari kerbau lumpur (swamp buffalo), namun telah muncul berbagai spesifikasi mengikuti agroekosistem yang membentuknya (SIREGAR et al., 1997). Sementara sekitar 5% kerbau sungai seperti kerbau Murrah di sekitar Medan (MURTI dan
CIPTADI, 1987). Di Toraja ada kerbau Tedong Bonga, di daerah Alabio ada kerbau Kalang, di Tapanuli Selatan ada kerbau Binanga dan di Maluku ada kerbau Moa. Disamping itu, di daerah Taman Nasional Baluran terdapat kerbau liar. Populasi kerbau (Grafik 1) tercatat pada tahun 1841 di Pulau Jawa terdapat 1.287.862 ekor, pada tahun 1921 meningkat sekitar 67 % menjadi 2.146.437 ekor. Puncak populasi kerbau di Indonsia terjadi pada tahun 1925 yang mencapai 3.321.959 ekor yang tersebar di P. Jawa dan Bali 2.227.985 ekor (66,1%) diluar P.Jawa 1.093.974 ekor (32,9%) (MERKENS, 1927). Pada tahun 2007 populasi kerbau di luar P.Jawa 1.757.475 ekor (78,25%) dan di Pulau Jawa dan Bali menurun menjadi 488.542 ekor (21,75%) dengan populasi kerbau di Indonesia hanya 2.246.017 ekor (DEPTAN., 2007).
Grafik 1. Grafik Populasi Kerbau di Jawa, Luar Jawa dan Indonesia
Sejalan dengan pergeseran populasi dan daerah pemukiman, animo masyarakat untuk memelihara kerbau ikut pula berubah. Jumlah keluarga yang memelihara kerbau pada tahun 1983 di luar P.Jawa dan Bali (05.034 KK meningkat pada tahun 2003 menjadi 326.000 KK) sedangkan di P. Jawa dan Bali adalah 282.762 KK, menurun menjadi 124.605 KK. Rata-rata pemilikan di luar P. Jawa 6,3
2
ekor/KK dan di P. Jawa dan Bali 2,3 ekor/KK (DITJENNAK., 2006). Hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa masyarakat peternak pemilik kerbau hanya sebagai keeper atau user, bukan sebagai produser atau breeder (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006) sehingga penggunaan ternak kerbau bagi masyarakat ikut pula bergeser dari persediaan bahan pangan, mejadi tenaga kerja yang andal.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
Di luar Jawa seperti di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Maluku, walaupun kerbau sudah dipelihara dalam jumlah yang banyak namun manajemen pemeliharaan masih saja menggunakan sistem ekstensif. Dalam hal ini, ternak kerbau lebih menjurus kepada status sosial budaya, status keagamaan dan kesenangan serta belum menyentuh penggunaan ternak sebagai suatu usaha komersial. Dalam kaitan inilah dirasa perlu untuk mengetengahkan kedudukan kerbau dimasyarakat meliputi pemeliharaan, kegunaan dan peluang dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat peternak. Kemungkinan, berabadabad yang lampau masyarakat telah menelaah keunggulan dan kekuatan yang dipunyai ternak kerbau makanya kerbau sering dijadikan mitos bagi kehidupan masyarakat. Selanjutnya kerbau mempunyai peran dan fungsi strategis dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terutama sebagai penghasil daging. Ternak kerbau juga menjadi komoditas penggemukan, merupakan bagian usaha tani yang memanfaatkan limbah pertanian, penghasil kompos, tenaga kerja dan menjadi komponen penting dalam kehidupan masyarakat serta dimanfaatkan dalam kegiatan hobby, agrowisata dan olah raga. Di satu sisi potensi kerbau sebagai sumber kehidupan masih belum termanfaatkan sehingga pengembangan kerbau perlu mendapat perhatian agar kerbau dapat berkontribusi lebih besar terhadap program kecukupan daging nasional. Sejak zaman megalit, Indonesia merupaka pusat kultur kerbau. Hal ini ditandai dari proses pemotongan ternak kerbau secara berlebihan yang akan menjadi salah satu bagian keseluruhan peranan sesajen pada pembangunan sarana fisik di zaman Megalit. Perkembangan yang berkelanjutan dan turun temurun inilah yang menjadikan kehadiran dan partisipasi kerbau sangat dibutuhkan dalam upacara adat dan keagamaan. Disamping itu ternak kerbau merupakan lambang soial pemiliknya dalam kehidupan sosial beberapa suku bangsa di Indonesia. Rumah adat Minangkabau mempunyai ciri yang sangat spesifik, atap melengkung menyerupai tanduk kerbau. Rumah adat di Sumba, punya keistimewaan oleh karena tidak mempunyai bilik-bilik pembatas, tidak ada jendela, punya
satu pintu di depan yang berhiaskan tanduk kerbau dan berdinding kulit kerbau. Secara sosial budaya, ternak kerbau telah lama menjadi kebutuhan masyarakat sehingga punya kedudukan yang tinggi. Hal tersebut diungkapkan pada pesta tertinggi “Horja”, acara adat “Gaja Toba” di Tapanuli, pengukuhan penghulu adat “Datuk” di Minangkabau yang wajib menggunakan daging kerbau tanpa penggunaan daging ternak yang lain. PERILAKU BUDIDAYATERNAK KERBAU YANG DIABAIKAN Kandang ternak kerbau Kerbau diperlihara seadanya, di malam hari sering tidak dikandangkan, bernaung di bawah pohon, dipinggir hutan atau di lapangan terbuka (ZULBARDI, 2002a). Kalau mempunyai kandang, kandangnya sangat sederhana tanpa dinding, beratapkan alang-alang, daun kelapa, jerami padi atau rumbia dengan lantai tanah yang kadang-kadang berlumpur namun ada yang menempatkan kerbau di kolong rumah (ZULBARDI, 2002a: 2003a) Pada malam hari ruas jalan negara Aceh Barat Daya (Abdya) Aceh Barat menjadi kawasan kandang mencapai panjang puluhan km. Puluhan kelompok ternak kerbau di kawasan Kecamatan Babahrot dan Manggeng menjadikan badan jalan negara itu sebagai tempat istirahat alias kandang pada malam hingga pagi hari. Kebebasan ternak kerbau berkeliaran mencari makan membahayakan penerbangan oleh kerena tertabrak pesawat kargo Boeing 737-200 sipil 4 Januari 2005 di NAD sehingga kegiatan lapangan udara terhenti sampai 3 jam. Pemberian Pakan pada Ternak Kerbau Lapang pengembalaan adalah arena utama tempat ternak mencari makan dan tempat ternak kawin secara alam. Akan tetapi lapang pengembalaan dalam penyediaan pakan hanya ditumbuhi rumput alam dan legunimosa dengan kualitas rendah yang biasa dikonsumsi ternak terus-menerus tanpa ada usaha perbaikan. Pada hal peranannya sebagai arena kehidupan ternak sangat besar. Setiap hektar
3
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
menanggung muatan sampai 4 satuan ternak (ST). Penggunaan ini sangat tinggi, sebaiknya satu ST/ha (HALOHO dan YUFDI, 2006). Di sisi nutrisi dan pakan ternak, sifat dasar rumput seperti rumput alam, jerami padi dan palawija yang rendah mutunya. Hijauan ini mempunyai serat kasar dan kadar silika yang tinggi dan bahan kering yang rendah. Akibatnya pertambahan bobot badan menjadi lambat, produksi rendah, dan kadang-kadang terjadi gangguan terhadap anak yang dilahirkan (SIHOMBING dan SUSETYO, 1977; ZULBARDI et al., 1980; ZULBARDI, 1996). Oleh karena itu pemberian pakan tambahan perlu dilakukan agar kekurangan gizi yang dikonsumsi dapat diatasi, seimbang dan sepadan dengan kebutuhan produksi optimal. Keberpihakan inovasi teknologi pengelolaan pada ternak kerbau terasa belum menyentuh. Ternak kerbau sebagai primadona peternakan belum memperoleh tempat utama kecuali di 21 kabupaten yang menempatkan ternak kerbau sebagai unggulan pertama, unggulan kedua 23 kabupaten, unggulan ketiga 25 kabupaten, dan unggulan keempat 16 kabupaten (DIRBINBARBANGNAK, 2000). Di sisi penelitian yang berpihak pada ternak kerbau masih terjadi tarik ulur, sering terputusputus dari tahun ke tahun sehingga perkembangan teknologi tepat guna dan tepat sasaran masih jauh dari memadai dan kadang kala belum sinkron. Sarana dan prasarana dalam sistem agribisnis kerbau belum memadai. Belum ada pasar hewan kerbau, rumah potong kerbau, toko peternakan kerbau dan sebagainya untuk mendukung agribisnis kerbau. Sistem produksi masih bersifat tradisional yang mengarah kepada biaya minimal, bukan pada efisiensi usaha. Kerbau sebagai mutiara yang terlupakan (HARDJOSUBROTO, 2006) menyebabkan SUHUBDI (2007) bertanya apa dosa kerbau padahal kerbau memang ternak yang baik dan sabar. POTENSI DAN KEMAMPUAN TERNAK KERBAU Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat dari penyebarannya yang luas, mulai dari daerah beriklim kering di NTT
4
dan NTB, lahan pertanian subur di Jawa, hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan Sumatera. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara dan Tengger serta dataran rendah di pinggir laut seperti Tegal dan Brebes. Bahkan di cagar alam Baluran, populasi kerbau lebih tinggi dibanding banteng. Konsumen susu kerbau memang masih terbatas, namun peluang pengembangan produk olahan dari susu kerbau cukup besar karena susu kerbau memiliki kadar lemak tinggi. Bibit kerbau penghasil susu cukup tersedia dan dapat diimpor dalam bentuk semen atau embrio, sedang teknologinya telah dikuasai. Di pedesaan India dan Pakistan, minum susu kerbau telah menjadi kebiasaan. Susu kerbau juga biasa dikonsumsi dengan dicampur teh Ternak kerbau di alam bebas mempunyai zona paling ideal untuk perkembangan kehidupannya. Kehidupan tersebut memerlukan tempat bermukim pada suhu antara 16–24ºC, dengan batas toleransi maksimal 27,6ºC. Namun perbedaanperbedaan kondisi alam, menyebabkan ternak kerbau mencari lokasi yang sesuai bagi kehidupannya. Dampak penyesuaian tersebut populasi ternak kerbau menjadi terpencar dan tersebar luas tidak merata di Indonesia (MARKVICHITR, 2006). Selain dari itu, perkembangan pori-pori keringat ternak kerbau kurang baik, hanya sekitar 160/cm2 (NAIR dan BENJAMIN, 1963) sehingga kerbau sulit untuk beradaptasi dan merasa kurang nyaman berada di daerah yang berudara panas. Kekurangan pori-pori tubuh menyebabkan pengaturan panas (termoregulasi suhu) tubuh terganggu. Padahal suhu normal badan kerbau pada 37,4-37,8 ºC dan meningkat sejalan dengan proses permentasi dan metabolisme tubuh. Mensiasati pengaturan panas tubuh tersebut, kerbau memerlukan dirinya untuk berkubang di siang hari, melumuri badannya dengan lumpur atau berendam di air antara 4,47 jam sampai 5,90 jam (KASSIM dan BAHARIN, 1979; MARKVICHITR, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, kerbau mempunyai keistimewan tersendiri dibanding dengan sapi, karena ternak ini mampu hidup di kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
kondisi kualitas pakan yang tersedia relatif kurang baik, setidaknya pertumbuhan kerbau dapat menyamai atau justru lebih baik dibandingkan sapi, dan masih dapat berkembang biak dengan baik (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). Kerbau juga dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering (HARDJOSUBROTO, 2006). Penghasil Kompos Kotoran ternak kerbau sebagai hasil samping, mempunyai kandungan unsur hara bervariasi tergantung pada jenis ternak, pakan ternak, cara penyimpanan, kondisi cuaca dan kesehatan ternak. Selain menyediakan unsur hara bagi tanaman, kompos akan membantu memperbaiki struktur tanah dan mikroba tanah (SOURI, 2001). Feses dikeluarkan kerbau yang mengkonsumsi jerami padi sampai 19 kg/hari dan 53,8% di antaranya dikeluarkan siang hari (ZULBARDI, SIREGAR dan MATHIUS, 1983) sehingga satu ton feses dapat dikumpulkan oleh sekitar 60 ekor kerbau perhari. Akan tetapi feses sebanyak satu ton dapat dikumpulkan dari 108 ekor kerbau per hari apabila kerbau berada dikandang hanya pada malam hari (ZULBARDI, 1987) sehingga dari populasi kerbau tahun 2007 (2.246.017 ekor) dapat menghasilkan kompos sekitar 7.590.706 ton/tahun. Dengan demikian menggunakan pemupukan 10 ton/ha/tahun, menjadikan lahan pertanian dapat disuburkan seluas 759.071 ha (SOURI, 2001). Namun sayang sekali, feses kerbau tidak terkumpul dan berserakkan sewaktu merumput atau pengangonan di lapang. Tenaga Kerja Sejak masuknya kerbau di Indonesia, tenaganya digunakan sebagai tenaga angkutan dan tenaga kerja mengolah lahan pertanian. Kecepatan dan kemampuan kerbau dalam mengolah sawah dipengaruhi bentuk pengolahan seperti untuk menggaru atau membajak (MERKENS, 1927; SUDJATMIKO, 1967). Akan tetapi kerbau sebagai tenaga kerja kurang tahan terhadap cekaman panas sehingga
kemampuannya mengolah lahan pertanian terbatas hingga sampai jam 10.00 siang dengan masa kerja sekitar 50 hari dalam setahun. Akan tetapi setelah dilakukan usaha untuk mengatasi cekaman panas melalui upaya penyiraman dengan lumpur atau air kemampuan kerbau bekerja mengolah lahan pertanian dapat meningkat sampai 6 jam dengan masa kerja sampai 80 hari setahun (ROBINSON, 1977). Sepasang kerbau mampu membajak tanah 1,6 km/jam dan menggaru sawah 2 km/jam, akan tetapi kedalaman olahan tanah sekitar 33,3 cm perlu 20 jam/ha membajak dan 15 jam/ha menggaru (SOEDJATMIKO, 1967). Peran kerbau sebagai tenaga kerja lebih banyak dimanfaatkan untuk mengolah sawah bukan sebagai tenaga penarik gerobak karena memiliki kelebihan alamiah punya telapak kaki yang lebih lebar dibandingkan sapi atau kuda sehingga mampu bekerja lebih berat (SOEDJATMIKO dan TANDOSALIMO, 1977). Sekitar 77% ternak kerbau yang dimiliki peternak di Sumedang digunakan sebagai tenaga kerja pengolah sawah (MULJADI et al., 1981) namun di Provinsi Banten hanya 29,1% kerbau digunakan sebagai tenaga kerja (KUSNADI et al., 2005). Produksi Susu Kerbau lumpur yang banyak dipelihara masyarakat memang bukan kerbau tipe perah tetapi di beberapa daerah para peternak kerbau melakukan pemerahan. Produksi susu dari setiap ternak kerbau yang diperah berkisar antara 1,50-2,50 liter/ekor/hari dengan lama pemerahan sekitar 7 bulan (ZULBARDI, 2002). Nilai gizi susu kerbau terlihat lebih tinggi dari kandungan gizi susu sapi dengan kadar protein 5,25 vs 3,27 %; kadar lemak 8,79 vs 3,45 %; kadar air 82,42 vs 87,96 % (SIRAIT dan SETYANTO, 1995). Kadar lemak susu kerbau pada umumnya (tipe perah dan tipe daging) antara 6,6 – 9,0% di atas kadar lemak susu sapi 3,6 – 4,9 % (DHANA, 2006) yang antara lain dipengaruhi oleh bangsa ternak dan faktor pakan. Pada umumnya, peminat susu kerbau relatif sedikit. Mungkin hal ini akibat persediaan yang terbatas, tidak ada pemasaran atau tidak disukai karena kandungan lemak yang dapat menyebabkan rasa mual atau bahkan sampai
5
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
membuat diare apabila susu kerbau di minum dalam jumlah yang cukup banyak. Padahal di Italia, harga susu kerbau lebih mahal, €1.20/kg dibandingkan dari susu sapi yang hanya dihargai €0.30/kg (BORGHESE, 2005). Oleh karena itu upaya pengembangan ternak kerbau perlu mendapat perhatian sehingga tidak lagi berstatus sebagai pelengkap demi memenuhi kebutuhan akan tetapi menjadi suatu komoditi yang dapat diandalkan bagi kehidupan masyarakat peternak dan dapat menjadi andalan komoditi export beberapa daerah. Tingginya kadar dalam susu kerbau, sehingga para pemerah susu kerbau mengupayakan untuk membuat produk pasca panen sehingga ditemukanlah dali di Sumatera Utara, dadih di Sumatera Barat, dangke dan jadih di Sulawesi, susu goreng di NTT dan lain sebagainya. Di Italia keju Mozzarella yang bahan baku utama adalah susu kerbau merupakan penghasil devisa yang cukup besar (14%), sebagai komoditi expor ke Jerman, Prancis, Inggeris, Swiss, USA dan Jepang. Sementara susu kerbau misalnya di Sumatera Barat, dapat menghasilkan bahan makanan yang lezat berupa dadih. Hasil susu kerbau yang hanya sedikit tersebut merupakan sumber penghasilan yang cukup berarti dan bisa mencapai Rp.30.000-32.000 per hari. (ZULBARDI, 2002). Dengan lama produksi maksimal 9.5 bulan menjadikan pendapatan dari penjualan dadih per tahun diperkirakan melampaui pendapatan rata-rata penduduk Indonesia. UPAYA PENGEMBANGAN KERBAU TERHADAP PENYEDIAAN DAGING NASIONAL Inovasi Perkandangan Ternak Kerbau Kandang merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan produktivitas ternak. Ketentuan arah, bentuk, ukuran (tinggi dan luas), tempat pakan/air minum yang sesuai dengan tinggi dan besar ternak serta pengaruhnya terhadap produktivitas produksi ternak belum pernah dijamah penelitian. Kebanyakan luas kandang kerbau berdasarkan perasaan sehingga terdapat bermacam-macam ukuran dan bentuk.
6
Usaha pengadaan kandang kelompok seperti di Subang, Jawa Barat (ZULBARDI, 1987), Brebes, Jawa Tengah (ZULBARDI dan KUSUMANINGRUM, 2005), Banten dan Batanghari, Jambi, merupakan kemajuan penting namun kandang yang dibangun masih belum sesuai dengan persyaratan kandang yang baik terutama lantai dan dinding. Lantai tanah bahkan sering berlumpur dan dinding berupa pembatas kayu atau bambu. Di daerah misalnya di Kalimantan Selatan telah dilakukan pengembangan ternak kerbau rawa sebagai usaha pada agroekosistem lahan rawa dengan sistem kalang (sekitar 25 x 10 m2). Setiap kalang dibagi menjadi ancap (5 x 5 m2) yang berkapasitas 10 - 15 ekor kerbau dewasa per ancap (SURYANA dan HAMDAN, 2006: HAMDAN et al., 2006). Inovasi Pemeliharaan Ternak Pemeliharaan masih mengandalkan zero input dengan konsumsi pakan diserahkan kepada sumberdaya alam semata dimana perolehan ternak pada umumnya dari warisan orang tua. Untuk mendapatkan uang yang relatif besar, ternak kerbau jantan sering menjadi andalan utama untuk dijual. Manajemen pemeliharaan inilah yang menjadi penyebab mengapa sering terjadi kekurangan kerbau jantan sehingga timbul kesulitan memperoleh pejantan (ZULBARDI, 2003a). Teknologi pemeliharaan yang sederhana ini sangat berpotensi untuk dijadikan usaha peternakan kerbau yang intensif, memberi harapan untuk melaksanakan agribisnis ternak kerbau Di satu sisi ternak kerbau masih menberikan lambang status sosial, harga diri dan martabat yang tinggi serta dapat digunakan sebagai penghasil daging, pupuk (ZULBARDI, 1987), tenaga kerja dan penghasil susu (ZULBARDI, 2003b). Perlu dicermati keberhasilan di NTB dimana terdapat 66 kelompok, terdiri dari 1650 KK, memelihara ternak kerbau antara 70 – 100 ekor per kelompok, bahkan ada enam kelompok (150 KK) yang memiliki ternak kerbau 457 ekor (MUTHALIB, 2006). Upaya seperti ini kalau diperbaiki lagi melalui pemberian pakan yang lebih baik lagi seperti pemberian pakan tambahan, akan mnjadikan
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
pertambahan berat badan ternak tersebut semakin meningkat lagi.
kerbau
Inovasi Pemberian Pakan Ternak Kerbau Keistimewaan kerbau adalah kemampuannya dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas. Sewaktu musim kering (ketika pakan hijauan sulit) terlihat keunggulan kerbau mencerna bahan hijauan yang dikonsumsi dibandingkan dengan sapi. Kerbau betina mencerna bahan kering hijauan 54% sementara sapi betina 41%. Kerbau jantan mencerna bahan kering hijauan 60% dibandingkan dengan sapi jantan mencerna bahan kering 44% (ZULBARDI dan BAMUALIM, 1989). Pelaksanaan pemberian hijauan di waktu malam di kandang kiranya dapat meningkatkan bobot badan seperti sering dilakukan di Subang (ZULBARDI, 1989). Demikian pula upaya mengkombinasikan hijauan (70%) dengan pakan penguat (30%) berdasarkan bahan kering, melalui pemberian hijauan rumput gajah yang dipotong-potong pendek 2-3 cm dan dicampur dengan makanan penguat (campuran dedak gandum, jagung giling dan mineral). Selanjutnya komposisi bahan penguat yang ditingkatkan dari 30% menjadi 70% dapat memperbaiki laju pertumbuhan kerbau jantan sebanyak 0,142 kg (124%) dari 0,59 kg/ekor/hari menjadi 0,73 kg/ekor/hari (MORAN, 1985) setara dengan memproduksi daging 266,5 kg/ekor/tahun (0,73 kg x 365 hari) dan senilai Rp.5.330.000,- (dengan asumsi Rp.20.000/kg berat daging). Demikian pula upaya penambahan pakan penguat sekitar 1,5 kg per hari dilakukan untuk peningkatan produksi daging pada kerbau jantan yang mengkonsumsi rumput alam, memberikan peningkatan pertambahan berat badan 0,44 kg (232,9 %) dari 0,33 kg/ekor/hari menjadi 0,76 kg/ekor/hari (ZULBARDI et al., 1997; 1998) setara dengan memproduksi daging 278,8 kg/ekor/tahun (0,76 kg x 365 hari) dan bernilai Rp.5.576.000. Sedangkan pada ternak kerbau betina, melalui upaya yang sama, menghasilkan pertambahan bobot badan meningkat sampai 0,34 kg (212,6%), dari 0,301 kg/ekor/hari menjadi 0,64 kg/ekor/hari (ZULBARDI et al., 1997; 1998) setara dengan memproduksi
daging 233,6 kg/ekor/tahun (0,64 kg x 365 hari) yang bernilai Rp.4.672.000. Dengan demikian upaya penambahan pakan penguat berdampak pada produksi daging asal ternak kerbau pada tahun 2007 seharusnya 102.465 ton yang diperoleh dari 53.567 ton (232,9% x 46.000 ton x 50%) dari kerbau jantan ditambah dengan 48.898 ton (212,6 % x 46.000 ton x 50%) dari kerbau betina, dan sumbangan daging kerbau secara nasional meningkat dari 2,12% menjadi 4,51%, dengan asumsi kerbau yang dipotong adalah 50% kerbau jantan dan 50% betina. Upaya pemberian ampas tahu sekitar 665 g/ekor/hari (16,64%) yang diperkaya dengan dedak padi (41,60%), bungkil sawit (41,60%), mineral (0,08%) dan garam (0,08%) dapat meningkatkan produksi ternak kerbau. Pemberian pakan penguat berbahan ampas tahu tersebut sebanyak 4 kg/hari pada kerbau yang mengonsumsi rumput alam telah menghasilkan peningkatan pertambahan berat badan mencapai 0,51 kg (261,5%) dari 0,32 kg/ekor/hari menjadi 0,83 kg/ekor/hari (SIREGAR et al., 1998). Peningkatan produksi daging yang diperoleh setara dengan 302 kg/ekor/tahun (0,83 kg x 365 hari) dan bernilai Rp.6.040.000,-. Dengan demikian secara potensial, upaya pemberian ampas tahu berdampak pada produksi daging kerbau pada tahun 2007 sebesar 120.290 ton (261,5% x 46.000 ton) dan sumbangan daging kerbau secara nasional meningkat dari 2,12% menjadi 5,25 %. Panas asal fermentasi dalam rumen kerbau dan oksidasi di tubuh kerbau lebih kecil dari yang terjadi pada sapi. Keadaan ini bermanfaat untuk mengatur suhu tubuhnya agar terhindar dari cekaman panas. Apabila kerbau diberi kesempatan berendam di air atau berkubang sangat berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan karena manfaat pakan dapat mencapai optimal (ZULBARDI et al., 1982). Upaya berkubang di lumpur atau berendam di air inilah yang sering diabaikan, padahal kesempatan berkubang hanya selama 30 menit tiga kali seminggu telah dapat mendorong peningkatkan bobot badan kerbau yang mengonsumsi jerami padi di Bogor, sampai 162,2% dari 0,37 kg/ekor/hari menjadi 0,60 kg/ekor/hari (ZULBARDI et al., 1982), setara dengan memproduksi daging 219 kg/ekor/tahun (0,60 kg x 365 hari), yang
7
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
bernilai Rp. 4.380.000/ekor/tahun (asumsi Rp.20.000,-/kg berat hidup daging). Dengan demikian upaya pemberian kesempatan berkubang, seharusnya potensi produksi kerbau daging pada tahun 2007 adalah 74.612 ton (162,2% x 46.000 ton). Padahal kenyataannya hanya memproduksi 46.000 ton. dan sumbangan daging kerbau secara nasional meningkat dari 2,12% menjadi 3,32%. Tingkat reproduksi yang lebih rendah, karena kesulitan mendeteksi ternak betina yang estrus, masa kebuntingan yang relatif lebih lama dibanding sapi dan interval kelahiran yang lebih panjang, merupakan suatu kendala untuk perkembangan ternak kerbau di Indonesia, namun demikian kerbau mampu bertahan hidup (survive) dengan pakan yang berkualitas rendah dibanding sapi.
BORGHESE, A. 2005. Buffalo Cheese and Milk Industry. Buffalo Production and Research REU Technical Series 67. FAO Regional Office for Europe. pp, 197-218.
KESIMPULAN
DIWYANTO, K dan E. HANDEWIRAWAN. 2006. Strategi Pengembangan Teranak Kerbau: Aspek Penyaringan dan Distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 3 – 12.
Kerbau mempunyai potensi dari berbagai sudut pandang untuk dikembangkan di berbagai wilayah di Indonesia. Kemampuan adaptasinya merupakan keuntungan bahwa kerbau dapat disebar luaskan ke banyak daerah di Indonesia. Pemeliharan kerbau masih sangat sederhana, bahkan kandangnya di beberapa daerah hanya di pinggir hutan, sepanjang jalan atau di bawah kolong rumah. Disamping itu pakan hanya diserahkan kepada kebaikan rumput lapangan sehingga belum mengenal pakan penguat. Upaya perbaikan pemberian pakan dapat meningkatan produksi di atas 2,12%, sehingga ekonomi peternak kerbau semakin meningkat pula. Peluang meningkatan hasil ikutan berupa olahan susu kerbau seperti dali, dadih, susu goreng, jadih, dankei dan lainnya, perlu diikuti dengan usaha industri yang dapat bersaing dengan negara lain. Namun semuanya sangat tergantung pada masalah keseriusan pelaksanaanya yang ditunjang melalui upaya pengkajian/penelitian yang lebih mendalam dan terarah serta kontinu. DAFTAR PUSTAKA BAMUALIM, A. dan M. ZULBARDI. 2007. Situasi dan Keberadaan Kerbau di Indonesia. Workshop Kerbau di Jambi. 22 – 23 Juni 2007
8
Deptan. 2007 Statistik Pertanian 2007. Departemen Pertanian RI. Jakarta. DHANDA, O. P. 2006. Buffalo Production Scenario in India Opportunities and Challenges. Proceedings International Seminar The Artificial Reprodictive Biotechnologies for Buffaloes. ICARD and FFTC-ASPAC Bogor, Indonesia. August 29 - 31, 2006. : 159 - 167. BINA PENYEBARAN dan DIREKTORAT PENGEMBANGAN PETERNAKAN. 2000. Peta Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta, Februari 2000. DITJEN. PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan 2006. Direktorat Jenderal Peternakan Deptan. RI.
HALOHO, L. dan P. YUFDI. 2006. Kondisi Ternak Kerbau di Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukut Barisan, Sumatera Utara. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 157-162. HAMDAN, A., E.S.ROHAENI dan A.SUBHAN. 2006. Karakteristik Sistem Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 170-177. HARDJOSUBROTO, W. 2006. Kerbau : Mutiara yang terlupakan. Orasi Purna Tugas UGM., Yogyakarta 17 Juli 2006. KASSIM, H., and K. BAHARIN.1979. Grazing behaviour of the swamp buffalo (Bubalus
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
bubalis). Jurnal Pertanika UPM. 2(2) : 125127. KREEMER, J. 1985. Kerbau dan Manfaatnya untuk Rakyat Indonesia (De karbouw-zijn betekenis voor de valken van de Indonesische archipel). Dalam Kerbau dan manfaatnya untuk Indonesia. Proyek Sumberdaya Ekonomi Kelompok Studi Literatur. Penterjemah R.P.Utojo. Penyunting: Sunartono Adisumarto. Seri Sumber Daya Alam 116. LIPI, April 1985, pp 1-228. KUSNADI, U., D. A. KUSUMANINGRUM, R. G. SIANTURI dan E.TRIWULANNINGSIH. 2005. Fungsi dan Peranan Kerbau dalam Sistem: Usahatani di Provinsi Banten. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. Hlm.: 316 – 322. MARKVICHITR, K. 2006. Role of Reactive Oxygen Species in the Buffalo Sperm Fertility Assessment. Proceedings International Seminar The Artificial Reproductive Biotechnologies for Buffaloes. ICARD and FFTC-ASPAC Bogor, Indonesia. August 29 31, 2006.: 68 - 78. MERKENS, J. 1927. Sumbangan Pengetahuan Tentang Kerbau dan Petemakan Kerbau di Indonesia (Bijdrage tot de kennis van den Karbouw en de Karbowenteclt in Nederlandsch Oost - Indie). Thesis Di dalam. S. Adisoemarto (Penyunting) dan R. P. Utoyo (Penterjemah) Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia, Proyek Sumber Daya Ekonomi, Kelompok Studi Literature SDE 97. LlPI.: 25 - 188. MULJADI, A., SANTOSO dan K. SURADISASTRA. 1981. Peranan Tenaga Kerja Ternak Kerbau pada Usaha Tani Sawah di Sumedang. Bulletin Lembaga Penelitian Peternakan 27: 21 - 30. MUTHALIB, H.A. 2006. Potensi Sumberdaya Ternak Kerbau Di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 64 – 72. NAIR, P.G. dan B.R. BENJAMIN, 1963. Studies on Sweet Glands in the Indian Water Buffalo. I. Standardization of Techniques and Preliminary Observations. Indian J. Vet. Sci. 33 : 102 – 106.
PASAMBE, D., M. SARIUBANG, SUHARDI dan S.N. TAMBING. 2006. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm. 213-218. RAMDAN, A. 2008. Legenda kerbau kepala dua. http:www.seranbinews.com. ROBINSON, D.W. 1977 . Pengamatan Pendahuluan Atas Daya Hasil dari Kerbau Kerja di Indonesia. Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan (Australia-Indonesia) Ciawi, Bogor, Indonesia. No. 2. SIHOMBING, D.T.H. dan S. SUSETYO. 1977. Strategi pengembangan potensi peternakan di Indonesia. Media Peternakan 5 (5) : 27 - 47. SIRAIT, C.H dan H. SETYANTO. 1995. Evaluasi Mutu Dadih Di daerah Produsen. Prosidengs Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pengolahan dan Hasil-hasil Penelitian Balitnak, Ciawi Bogor, 25 – 26 Oktober 1994. Buku I : 284 – 280. SIREGAR A. R., P. SITUMORANG, M. ZULBARDI, L. P. BATUBARA, A. WILSON, E. BASUNO, S.E. SINULINGGA dan C.H. SIRAIT. 1998. Peningkatan Produktivitas Kerbau Dwiguna (Daging Dan Susu) Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hlm: 571 – 584. SOEDJATMIKO dan S. TONDOSALIMO. 1977. Laporan Survei Pengkajian Kelayakan Tenaga Kerja Ternak. Survai Agro Ekonomi. Jakarta. SOEDJATMIKO. 1967. Penelitian Analisa Bandingan Pengolahan Tanah dengan Ternak dan Traktor Kecil di Tajur. Lembaga Daya Guna Ternak dan Peralatan Pertanian, Pasarminggu Jakarta. SOURI, S. 2001. Penggunaan Pupuk Kandang Meningkatkan Produksi Padi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram. SURYANA dan A. HAMDAN. 2006. Potensi Lahan Rawa di Kalimantan Selatan untuk Pengembangan Peternakan Kerbau Kalang. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Ditjen Peternakan, Dinas Petrnakan Propinsi NTB dan Pemda Kabupaten Sumbawa. Bogor. Hlm.: 201–207.
9
Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau 2008
TOELIHERE, M .R., 1979. Ternak Kerbau dan Peranannya dalam Pembangunan Pertanian Di Pedesaan. BIPT., 23 (1) ; 1 – 7. ZULBARDI, M., M. RANGKUTI dan S. SASTRODIHARDJO. 1980. Daya Konsumsi dan Daya Cerna Makanan Kerbau terhadap Rumput Gajah (Pennisetum purpureum var Hawaii). Bulletin LPP. 26 : 32 – 40. ZULBARDI, M., A. DJAJANEGARA dan M. RANGKUTI. 1982 Pengaruh Pelepasan terhadap Konsumsi Jerami Padi pada Kerbau. Proceedings Seminar Penelitian Peternakan. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hlm.: 30 – 36. ZULBARDI, M. 1987. Limbah Hasil Ternak dan Lingkungan Hidup. Proceedings Seminar Papers on National Seminar Utilization on Livestock Wastes. Conducted by UNESCO and Environmental Research Center (PPLH) IPB. Bogor, Bogor. 11 August. 1987 : 1 – 9. ZULBARDI, M. 1989. Feedstuffs of Cattle and Buffaloes at Padamulya and Tanjungwangi, Subang, West Java. DAP Project Bulletin: 8 : 16 - 18. ZULBARDI, M. dan A. BAMUALIM. 1989. Feed Dry Matter Intake by Cattle and Buffaloes as Measured by the Chromium Sesquioxide Technique. DAP Project. Bulletin 8 : 11 - 15. ZULBARDI. M. 1996. Kendala Penggunaan Limbah Agro Industri Bagi Pengingkatan Pendapatan Petani Ternak Ruminansia. Jurnal Peternakan dan Lingkungan. Fakultas Peternakan Unand. Padang. 2 (01): 35 – 47. ZULBARDI, M., A.R.SIREGAR, L.P. BATUBARA, A. WILSON dan E. BASUNO. 1997. Penentuan Ransum Ekonomis bagi Pembesaran Ternak Kerbau di Desa Sinambolak, Sipirok, Tapanuli Selatan. Laporan Penelitian Balitnak 1997.
10
ZULBARDI, M., L. P. BATUBARA, A. R. SIREGAR, A. WILSON dan E. BASUNO. 1998. Peningkatan Sumberdaya Kerbau melalui Perbaikan Pakan di Desa Sabatolang Kecamatan Sipirok, Kabupeten Tapanuli Selatan Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997. Puslitbangnak. Bogor. Hlm.: 547- 554. ZULBARDI, M. 2002. Upaya Peningkatan Produksi Susu Kerbau bagi Ketersediaan dan Mempertahankan Potensi Dadih. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor. Hal: 186 – 189 ZULBARDI, M. 2003a. Gagasan Pengembangan Potensi Ternak Kerbau Melalui Pembuatan Dadih Bagi Peningkatan Pendapatan Masyarakat Peternak Di Sumetera Barat. Jurnal Animal Production, Fakultas Peternakan Universitas Djendral Soedirman Purwokerto. 5 (2): 93 - 98. Zulbardi, M. 2003b. Sumberdaya Ternak Kerbau Penopang Potensial Terselubung Bagi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Di Sumatera Barat. Disajikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) VIII Tanggal 9 – 11 September 2003 LIPI dan Dirjen. Dikti Depdiknas RI. Zulbardi, M. dan D. A. Kusumaningrum 2005. Penampilan Produksi Ternak Kerbau Lumpur (Bubalus bubalus) Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12-13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Hlm.: 310–315.