Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
PERAN MANAJEMEN TEKNOLOGI DALAM KEBERHASILAN REVITALISASI PABRIK GULA DI INDONESIA Triwulandari S. Dewayana Jurusan Teknik Industri - Universitas Trisakti e-mail :
[email protected]
ABSTRAK Kajian yang dilakukan dengan metode deskriptif ini bertujuan untuk memaparkan permasalahan yang dihadapi industri gula Indonesia dan peran manajemen teknologi dalam keberhasilan revitalisasi pabrik gula di Indonesia. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa hasil penelitian terdahulu dan pustaka yang berkaitan dengan topik kajian. Permasalahan utama yang dihadapi industri gula Indonesia adalah in-efisiensi mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Hal ini menyebabkan menyebabkan produksi gula menurun dan tidak dapat mencukupi permintaan gula yang terus bertambah akibat meningkatnya jumlah populasi dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Saat ini, Indonesia merupakan negara ke-9 pengkonsumsi gula terbesar (mencapai 3,8 juta ton per tahun) dan sekaligus menjadi negara pengimpor gula ke-9 terbesar di dunia. Salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi adalah revitalisasi pabrik gula. Adapun lingkup dari revitalisasi pabrik gula meliputi peningkatan kapasitas, penggantian mesin dan peralatan, serta mempertahankan potensi produksi. Revitalisasi yang merupakan bagian integral dari peningkatan daya saing industri gula nasional akan sangat menguntungkan bagi Indonesia, baik dari sudut pandang ekonomi maupun dari sudut pandang pengembangan wilayah. Manajemen Teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam keberhasilan revitalisasi. Tanpa manajemen teknologi, revitalisasi tidak dapat menyelesaikan permasalahan in-efisiensi yang dihadapi industri gula Indonesia. Kata kunci : in-efisiensi, revitalisasi, manajemen teknologi
PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan sumberdaya yang melimpah, wilayah daratan yang sangat luas serta ditunjang oleh struktur geografis beriklim tropis yang sangat cocok untuk pembudidayaan berbagai komoditi pertanian, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk mengembangkan sektor pertanian. Pada periode 1968 -2001, pertumbuhan sektor pertanian Indonesia mencapai 3,73 persen ratarata per tahun (Arifin, 2003 dalam Arifin 2004) dimana sub sektor pangan dan tanaman perkebunan memiliki peran yang cukup dominan dalam struktur pertumbuhan tersebut. Kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan dan perekonomian nasional di negara-negara sedang berkembang menurut Kuznets (1964) dalam Tambunan (2003) yaitu meliputi : 1) kontribusi produk, yaitu kontribusi yang diberikan sektor pertanian karena adanya ekspansi dari sektor-sektor non pertanian yang sangat tergantung pada produk-produk hasil pertanian untuk kelangsungan pertumbuhan suplai pangan dan penyediaan bahan baku dalam kegiatan produksi; 2) kontribusi pasar, yang disebabkan oleh populasi di sektor pertanian membentuk bagian yang sangat besar dari pasar
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
(permintaan) domestik terhadap produk-produk dari industri dan sektor lain di dalam negeri; 3) kontribusi faktor-faktor produksi di lihat dari sumbangan out-putnya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB); dan 4) kontribusi devisa, melalui ekspor hasil-hasil pertanian atau peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian menggantikan impor (substitusi impor) yang menyebabkan surplus neraca perdangangan atau neraca pembayaran. Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia terutama dalam bentuk penyediaan kesempatan kerja dan pembentukan PDB serta ekspor (Tambunan, 2003). Berdasarkan data BPS (Biro Pusat Statistik), dalam hal penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2000 menunjukkan sektor pertanian masih tetap dominan dibandingkan dengan sektor lainnya yaitu sebesar ± 45.3% (± 40 juta orang) dari jumlah tenaga kerja yang bekerja (± 90 juta orang). Dari sisi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), dalam kurun waktu 1997 – 2001 pangsa sektor pertanian tidak lebih dari 20% sedangkan industri pengolahan mencapai lebih dari 25% (Tambunan, 2003). Sedangkan pada tahun 2007 (Media Indonesia, 29 September 2007), sektor pertanian menyumbang 13,6% terhadap PDB untuk periode triwulan I, dan meningkat menjadi 13,7% pada triwulan II. Keterbatasan kapasitas produksi dan lemahnya daya saing komoditi-komoditi pertanian menyebabkan Indonesia hingga saat ini belum dapat mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu sumber devisa negara. Menurut Tambunan (2003), jika dibandingkan dengan industri pengolahan, hasil pertanian hanya berkontribusi sebesar ± 3% sedangkan industri pengolahan mencapai 70% terhadap total ekspor nasional. Sektor pertanian yang kuat sangat penting di Indonesia dengan beberapa alasan (Tambunan, 2003) sebagai berikut : 1) Sektor pertanian yang kuat berarti ketahanan pangan terjamin, sehingga tidak ada kelaparan dan menjamin kestabilan sosial dan politik; 2) Dari sisi permintaan agregat, pembangunan pertanian yang baik menyebabkan tingkat pendapatan riil per kapita di sektor tersebut tinggi yang pada akhirnya akan meningkatkan sumber permintaan terhadap hasil produksi sektor lainnya; 3) Dari sisi penawaran agregat, sektor pertanian merupakan salah satu sumber input bagi industri pengolahan; dan 4) dapat menghasilkan surplus uang yang bisa menjadi sumber investasi di sektor lainnya. Konsep ketahanan pangan (food security) minimal mengandung dua unsur pokok (Arifin, 2004) yaitu 1) ketersediaan pangan; dan 2) aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan. Ketersediaan pangan mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat ditempuh melalui 2 cara (Arifin,2004) yaitu 1) produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan mengalokasikan sumber daya alam, manajemen dan pengembangan yang optimal; dan 2) impor dari negara lain, dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri. Sedangkan aksesabilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar, mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien dan penyempurnaan kebijakan tata niaga. Peningkatan produksi pangan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat dan bervariasi. Indonesia harus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan utama. Ketergantungan Indonesia terhadap impor yang tinggi untuk sejumlah komoditi (pangan utama) dapat menyebabkan nilai saldo dari neraca perdagangan (ekspor dan impor) pertanian Indonesia selalu negatif.
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Permasalahan lain yang juga dihadapi oleh Indonesia adalah permasalahan ketenagakerjaan yang sangat besar, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menyerap pertumbuhan angkatan kerja. Angka pengangguran di Indonesia mencapai 10,9 juta jiwa atau 10,3 persen dari total angkatan kerja (BAPPENAS, 2006). Kebijakan Pembangunan Industri Nasional menyatakan bahwa terdapat sepuluh (10) Klaster Industri inti yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan. Salah satu klaster Industri Inti yang akan diprioritaskan untuk dikembangkan adalah Industri Makanan dan Minuman. Industri Pengolahan Gula merupakan salah satu industri pengolahan yang termasuk dalam Industri Makanan dan Minuman yang akan dikembangkan dalam jangka menengah. Pemerintah Indonesia telah menetapkan bahwa pada tahun 2009 akan mewujudkan Kemandirian Pangan gula (Dewan Gula Nasional, 2004). Beberapa alasan yang mendukung antara lain yaitu : 1) Industri gula ditinjau dari aktivitas ekonomi merupakan industri yang memberikan dampak ganda cukup signifikan secara nasional terhadap penciptaan output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja mengingat gula merupakan suatu komoditi pangan yang penggunaannya sangat luas. Selain dikonsumsi secara langsung (konsumsi akhir), gula juga merupakan bahan baku bagi banyak industri (input antara). Struktur Industri gula (Ismail, 2005) berdasarkan analisis keterkaitan antara industri melalui analisis input-output menunjukkan bahwa secara nasional industri gula memiliki keterkaitan langsung dengan sektor-sektor dibelakangnya sebanyak 53 sektor (dari 172 sektor) dan keterkaitan langsung ke depan dengan 30 sektor ; 2) sebagian besar industri pengolahan gula dikelola atau dimiliki oleh pemerintah; 3) Indonesia pernah menjadi negara pengekspor gula; 4) Ditinjau dari potensi yang dimiliki (iklim yang sangat sesuai untuk tumbuhnya tebu dan sebagai negara terkaya sumber daya genetik tebu) serta kapasitas produksi industri gula nasional baru terpakai 72%, maka para ahli gula dunia berpendapat bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula (Khudori,2004). Menurut Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) dalam www.antara.co.id (27 April 2007), saat ini Indonesia merupakan negara ke-9 pengkonsumsi gula terbesar (mencapai 3,8 juta ton per tahun) dan sekaligus menjadi negara pengimpor gula ke-9 terbesar di dunia. Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian melalui alternatif lain selain impor untuk memenuhi kebutuhan akan gula. Mekipun kemandirian pangan gula tidak berarti harus swasembada , tetapi ketergantungan terhadap impor harus semakin kecil, sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh instabilitas harga dan suplai gula di pasar dunia. Kajian yang dilakukan dengan metode deskriptif ini bertujuan untuk memaparkan permasalahan yang dihadapi industri gula Indonesia dan peran manajemen teknologi dalam keberhasilan revitalisasi pabrik gula di Indonesia. Sumber data yang digunakan berupa data sekunder berupa hasil penelitian terdahulu dan pustaka yang berkaitan dengan topik kajian. Permasalahan Industri Gula Indonesia Pada umumnya, Pabrik gula di Indonesia didirikan sejak jaman Belanda. Lokasi Pabrik gula (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005) tersebar di 8 propinsi. Di Jawa, sebagai sentra utama adalah Jawa Timur (32 PG), sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki 8 (delapan) dan 5 (lima) PG. Di luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan 5 (lima) PG, diikuti oleh Sulawesi Selatan (3 PG), Sumatera Utara (2 PG), Sumatera Selatan (1 PG), dan
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Gorontalo (1). Menurut Sawit, dkk (2004) 53 % PG di Jawa memiliki kapasitas giling kecil (< 3.000 TTH), 44 % berkapasitas giling menengah (antara 3.000 – 6.000 TTH), dan hanya 3% yang berkapasitas giling besar ( > 6.000 TTH). 75 % PG swasta berskala lebih besar dari 3.000 TTH. Pabrik Gula (PG) di Indonesia menurut Ismail (2005) sebagian besar dikelola dalam manajemen BUMN, ada 7 BUMN sebagai holding company yang mengelola 52 PG dan 3 perusahaan swasta mengelola 6 PG. Berdasarkan hasil kajian Tim Kecil Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia (1999) dalam Lembaga Penelitian IPB (2002), pada kurs dollar Rp. 7.000;, hanya 10 PG di Jawa yang efisien secara ekonomis dan teknis, 6 PG efisien secara teknis tetapi tidak efisien secara ekonomis, 2 PG efisien secara ekonomis tetapi tidak efisien secara teknis, dan 26 PG tidak efisien secara teknis dan ekonomis. Sedangkan hasil Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional (2002) yang membagi kinerja PG ke dalam 4 kategori yaitu 1) 3 PG yang sudah baik untuk semua indikator kinerja (kinerja teknis, kinerja usaha tani, kinerja manajemen, dan kinerja keuangan), 2) 4 PG dengan kinerja keuangan yang sudah baik, namun masih bisa ditingkatkan , 3) 1 PG dengan kinerja keuangan yang kurang baik, namun masih bisa ditingkatkan dengan perbaikan satu jenis kinerja, dan 4) 13 PG dengan tiga atau lebih jenis kinerja bernilai kurang baik. Adapun hasil pemantauan Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) dalam Fahmi (2007), dari empat variabel yang menjadi indikator kinerja PG, pada tahun 2006 tidak satu pun yang menggambarkan hasil memuaskan. Keempat variabel itu adalah produktivitas tingkat kesuburan tanah, hari giling, tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) dan kapasitas terpasang ton tebu per hari (TTH). Dari kegiatan 52 PG, hanya 19 PG (36%) yang memiliki produktivitas kesuburan tanah (habrur) tinggi (diatas tujuh ton per ha) dan 22 PG lainnya (42,31%) memiliki produktivitas habrur lima ton sampai enam ton per ha. Sedangkan produktivitas habrur 11 PG sisanya sangat rendah yakni hanya tiga ton sampai empat ton per ha. Untuk variable hari giling, sebagian besar PG (71,15%) memiliki kapasitas giling 121 hari sampai 200 hari. Lima PG (9,62%) memiliki kapasitas giling 68 hari-120 hari dan hanya 10 PG (19,23%) yang mampu melakukan kapasitas giling di atas 20 hari. Sedangkan untuk tingkat efisiensi pabrik, hanya tiga PG (5,77%) yang mempunyai overall recovery baik (di atas 85%). Sebanyak 43 PG tingkat overall recovery-nya sedang (di bawah 85%). Bahkan 6 PG memiliki overall recovery rendah (65%-75%). Untuk kapasitas terpasang TTh, ditemukan hanya 17 PG yang ekonomis ( di atas 2000 TTH), 26 PG (50%) memiliki kapasitas terpasang sedang dan 9 PG (17,31%) rendah. Permasalahan utama yang dihadapi industri gula Indonesia adalah in-efisiensi mulai dari pertanaman tebu hingga pabrik gula (melibatkan generasi 1, 2, dan 3 ). Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 1 adalah kelemahan dalam budidaya bibit tebu. Kualitas bibit antara lain ditentukan oleh varietas tebu yang akan digunakan sebagai bibit tanaman. Varietas tebu ini akan berpengaruh terhadap besarnya rendemen (prosentase kandungan gula) dalam tebu. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 2 adalah kelemahan dalam budidaya tanaman tebu yang menggunakan sistem budidaya ratoon dengan keprasan (membesarkan tunas setelah tebu di panen) yang lebih dari 3 kali, bahkan hingga belasan kali, dengan pemeliharaan yang kurang memadai sehingga sebagaian besar tanaman banyak terserang hama penyakit. Selain itu, pengelolaan proses tebang, angkut dan giling kurang optimal. Selain kelemahan dalam hal budidaya tanaman tebu, permasalahan pada generasi 2 juga di sebabkan oleh menurunnya luas areal tebu. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu disebabkan oleh adanya kebebasan petani untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya, yang semula segala
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
sesuatunya diatur oleh pemerintah, sejak adanya Inpres Nomor 5 tahun 1998 dan Undang-undang nomor 12 tahun 1992. (Sastrotaruno, 2001). Keengganan petani untuk memanfaatkan lahan (yang relatif sempit) yang dimilikinya untuk menanam tebu merupakan akibat dari rendahnya provenue yang ditetapkan oleh pemerintah dibandingkan dengan biaya budidaya tebu yang harus dikeluarkan oleh petani. Selain itu, sistem pengukuran rendemen yang dilakukan oleh pabrik gula lebih banyak merugikan petani, padahal berdasarkan pengukuran tersebut petani akan memperoleh kompensasi terhadap tebu yang diserahkan ke pabrik gula. Menurunnya luas lahan yang ditanami tebu pada akhirnya akan menyebabkan kurangnya produksi tebu yang dihasilkan dan menyebabkan kontinuitas pasokan tebu ke pabrik gula menjadi terhambat. Permasalahan yang dihadapi pada Generasi 3 adalah rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula yang antara lain disebabkan oleh teknologi yang dimiliki telah usang, mesin pabrik yang sudah tua, dan hari giling per tahun yang rendah (karena kontinuitas pasokan bahan baku (tebu) yang rendah). Permasalahan-permasalahan tersebut di atas menyebabkan produksi gula menurun dan tidak dapat mencukupi permintaan gula yang terus bertambah akibat meningkatnya jumlah populasi dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Gap yang terjadi dan ketidaktepatan kebijakan pemerintah menyebabkan permasalahan yang dihadapi industri gula nasional semakin besar. Oleh karena itu, in-efisiensi pada industri gula Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan kebijakan ekonomi mikro dan kebijakan ekonomi makro yang mempengaruhinya. Revitalisasi sebagai alternatif solusi Berbagai alternatif solusi telah dijabarkan pada sasaran pengembangan industri gula yang ditetapkan dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional (www.deprin.go.id) meliputi industri gula berskala kecil, menengah dan besar, dimana dalam jangka menengah yaitu tahun 2009 diharapkan produksi industri gula dapat mencapai 3 juta ton. Sasaran jangka panjang yang ingin dicapai adalah meningkatkan diversifikasi bahan baku gula non-tebu. Sedangkan sasaran jangka menengah adalah mengakselerasi peningkatan produktivitas tebu; merevitalisasi industri gula; mendiversifikasi produk olahan dan produk samping; serta mendorong investasi baru. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi adalah revitalisasi pabrik gula. Adapun lingkup dari revitalisasi pabrik gula meliputi peningkatan kapasitas, penggantian mesin dan peralatan, serta mempertahankan potensi produksi. Pemerintah telah mentargetkan peningkatan produksi gula sebesar 1 juta ton menjadi 3,4 juta ton per tahun. Target tersebut dapat dicapai melalui revitalisasi 25 pabrik gula dengan biaya sebesar 5 triliun rupiah (Media Indonesia, 21 Juni 2007). Namun, kalangan industri menilai hanya 20 pabrik gula yang layak untuk dimasukkan program revitalisasi guna mencapai target swasembada gula pada tahun 2009 (Media Indonesia, 14 September 2007). Problem mendasar yang harus diselesaikan melalui program revitalisasi industri gula nasional menurut Yulianto (2007) yaitu 1) perlunya peremajaan pabrik gula yang dikelola pemerintah melalui badan persero (BUMN); 2) peningkatan kenaikan rendemen tebu setiap tahun sehingga di awal tahun 2010 mencapai angka 15%; dan 3) penyediaan ketercukupan lahan pertanian untuk dikonversi menjadi perkebunan tebu dengan melibatkan peran serta petani sebagai mitra pabrik yang ada diberbagai daerah. Revitalisasi PG yang merupakan bagian integral dari peningkatan daya saing industri gula nasional akan sangat menguntungkan bagi Indonesia, baik dari sudut
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
pandang ekonomi maupun dari sudut pandang pengembangan wilayah. Revitalisasi PG diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sehingga dapat memenuhi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor gula. Pemilihan lokasi pada saat pendirian PG oleh Kolonial Belanda memperhitungkan berbagai aspek yang terkait, seperti bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, dan transportasi. Ciri khas pemilihan lokasi ini adalah PG cenderung tersebar mendekati bahan baku, sehingga mayoritas PG terletak di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, dari sudut pandang pengembangan wilayah, revitalisasi PG dapat mengurangi kesenjangan antara wilayah pedesaan dengan perkotaan. Revitalisasi ini juga akan mengurangi arus tenaga kerja dari kawasan pedesaan ke perkotaan, serta dapat meningkatkan kesejahteraan disekitarnya. Peran Manajemen Teknologi dalam Keberhasilan Revitalisasi Salah satu sumberdaya yang dimiliki oleh PG adalah teknologi (interaksi antara perangkat keras, pengetahuan manusia, informasi, sistem dan organisasi) yang memiliki karakteristik mudah berubah atau cepat berkembang. Teknologi sebagai sumberdaya tidak akan memberikan nilai tambah jika tidak di kelola dengan baik atau tidak melaksanakan manajemen teknologi. Menurut Tjakraatmadja (1997), manajemen teknologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memaksimumkan nilai tambah suatu teknologi, dengan cara melakukan proses manajemen yang tepat. Gumbira-Sa’id, E. dkk (2004) menyatakan bahwa manajemen teknologi merupakan upaya pengelolaan teknologi yang efektif, mulai dari perencanaan teknologi, pengorganisasian teknologi, pelaksanaan aplikasi teknologi, pengawasan dan evaluasi aplikasi teknologi, serta upaya pengendalian yang diperlukan. Selanjutnya, Badawi (1995) dalam Tjakraatmadja (1997) menegaskan bahwa masalah utama dari manajemen teknologi bukanlah pada hal-hal teknikal, namun sangat ditentukan oleh hal-hal nonteknis terutama sikap, wawasan, serta kompetensi sumberdaya insaninya, agar selalu dapat memperoleh manfaat maksimum dari adanya pengetahuan atau teknologi. Lebih lanjut, Djajadiningrat (1998) menegaskan bahwa maksud dari manajemen teknologi adalah pencapaian efisiensi pemanfaatan kemampuan teknologi untuk memperkuat kompetitif suatu organisasi. Dewayana, Triwulandari S. (2007) menyebutkan permasalahan yang dihadapi pabrik gula berkaitan dengan teknologi antara lain 1) Mesin-mesin sudah tua, 2) Adanya ketidaksesuaian antara kapasitas mesin-mesin, dan 3) Kurangnya perawatan (maintenance) mesin-mesin. Mesin-mesin yang sudah tua menyebabkan mesin tidak dapat berfungsi sesuai dengan kapasitasnya. Kondisi tersebut berakibat pada tingkat efisiensi pada unit penggilingan, pengolahan, dan ketel (boiler) lebih rendah dari standar serta terjadinya kerusakan mesin pada waktu yang tidak diharapkan. Prihandana (2005) menyebutkan kondisi PG Sindanglaut yang menggunakan mesin berkapasitas 1600 ton tebu per hari peninggalan jaman kolonial dan dibuat pada tahun 1928, efisiensi dari mesin boiler-nya hanya mencapai 70% (efisiensi di pabrik modern mencapai 85%). Selain itu, efisiensi mesin pada proses pemerahan nira hanya mencapai 91% (efisiensi di pabrik modern mencapai 94%). Permasalahan lainnya akibat mesin yang sudah tua yaitu kebutuhan uap untuk menggerakkan turbin mencapai 0,7 kg uap per 1 kuintal tebu (mesin baru memerlukan 0,4 kg uap per 1 kuintal tebu), dan suhu pemasakan di stasiun masakan sering tidak terkendali dengan baik (Prihandana,2005). Ketidaksesuaian antara kapasitas mesin-mesin disebabkan oleh ketidakcermatan dalam pengadaan mesin-mesin. Kasus PG Subang menjadi salah satu contoh ketidakcermatan dalam pengadaan mesinmesin. Pada PG Subang (Prihandana, 2005), mesin giling pabrik berkapasitas 3000 ton tebu perhari sedangkan mesin penguapan hanya cukup untuk 2900 ton tebu dan bejana
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
masak cukup untuk 3100 ton tebu. Ketidaksesuaian tersebut menyebabkan efisiensi pabrik menjadi berkurang dari yang semestinya. Berbeda dengan PG Subang, PG Gunung Madu Plantation telah memperhitungkan ukuran dan kesesuaian setiap bagian dengan benar meskipun mesin-mesin yang ada terdiri dari berbagai merek (produsen yang berbeda). Kurangnya perawatan mesin-mesin menyebabkan terjadinya kerusakan mesin pada waktu yang tidak diharapkan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya jam henti giling yang cukup tinggi. Jam henti giling mengakibatkan kerusakan pada tebu yang sudah ditebang yaitu kadar gula dalam tebu mengalami penurunan yang pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya produksi gula. Terdapat keterkaitan antara lingkup dari revitalisasi dengan manajemen teknologi. Untuk peningkatan kapasitas dan penggantian mesin maka dalam pengadaan mesin-mesin baru perlu perencanaan dan pengorganisasian teknologi. Perencanaan teknologi antara lain berkaitan dengan pemilihan teknologi yang akan digunakan (mengingat teknologi lama memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak) dan penyesuaian kapasitas dari mesin-mesin dan peralatan yang akan digunakan, sedangkan pengorganisasian teknologi antara lain berkaitan dengan penyesuaian kapasitas pabrik dengan nilai availabilitas atau kemampuan mesin yang ada dan penataan ulang akibat ketidaksesuaian antara kapasitas mesin-mesin dan peralatan. Untuk mempertahankan potensi produksi maka diperlukan pengawasan dan evaluasi aplikasi teknologi, serta upaya pengendalian (berkaitan dengan perawatan (maintenance) mesin dan peralatan). Penyesuaian kapasitas pabrik dengan nilai availabilitas atau kemampuan mesin yang ada mensyaratkan kesesuaian jumlah tebu yang diolah dengan kapasitas operasional pabrik. Pemasukan tebu yang konstan pada kapasitas giling akan menjamin performance dan recovery yang baik serta penggunaan uap, bahan bakar, dan bahan bantu lainnya akan lebih hemat dan efisien (Sriwana,2006). Selain itu, penyesuaian secara kontinu terhadap kecepatan giling dengan kapasitas pabrik perlu dilakukan. Penataan ulang terhadap ketidaksesuaian antara kapasitas mesin-mesin sangat diperlukan. Meskipun mesin-mesin yang diperlukan didatangkan dari tempat (merek) yang berbeda, namun ukuran dan kesesuaian dari setiap mesin perlu diperhitungkan agar tingkat efisiensi yang tinggi dapat dicapai. Melalui penelitian yang dilakukan, Sriwana (2006) menyimpulkan bahwa dengan melakukan perawatan mesin sesuai jadwal maka jam henti giling pabrik dapat direduksi dan terjadi peningkatan produksi. Dengan demikian potensi produksi dapat dipertahankan. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen teknologi memiliki peran yang sangat besar dalam keberhasilan revitalisasi. Tanpa manajemen teknologi, revitalisasi tidak dapat menyelesaikan permasalahan in-efisiensi yang dihadapi industri gula Indonesia. DAFTAR PUSTAKA [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Sistem Industri Pergulaan Nasional. [LPPM-IPB] Lembaga Penelitian IPB. 2002. Studi Pengembangan Agribisnis Pergulaan Nasional. Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
Dewayana, Triwulandari S. 2007. Peningkatan Produksi Gula Indonesia Melalui Manajemen Teknologi. Proceeding Seminar Nasional Sains & Teknologi. ISBN 978-979-15535-2-0. Lampung. Djajadiningrat, Surna T. 1998. Beberapa catatan tentang Konsep Teknologi dan Manajemen Teknologi. Jurnal ISTMI, Vol. 2 No. 2, pp. 27. ISSN 0215-5443 Fahmi, Ismail. 19 Januari 2007. Kinerja 52 pabrik gula memprihatinkan : Holding Company layak jadi solusi. www. Bisnis Indonesia.com. Gumbira-Sa’id, E. dkk. 2004. Manajemen Teknologi Agribisnis: Kunci Menuju Daya Saing Global Produk Agribisnis. Jakarta : PT. Ghalia Indonesia. Ismail N.M. 2005. Restrukturisasi Industri Gula Nasional. Makalah Seminar Gula Nasional. Jakarta. Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarta : Penerbit Resist Book. Prihandana R. 2005. Dari Pabrik Gula Menuju Industri Berbasis Tebu. Jakarta : Proklamasi Publishing House. Sastrotaruno, S. 2001. Dampak Produksi Gula Terhadap Perkembangan Wilayah, Pabrik Gula dan Petani. [Thesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sawit, M. H. dkk. 2004. Ekonomi Gula : Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Jakarta : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. (2004), Ekonomi Gula : Kajian Komparasi dari Perspektif Indonesia. Jakarta : Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Sriwana I. K. 2006. Pemodelan Sistem Untuk Peningkatan Produksi Gula Tebu : Studi Kasus di PT. PG RAJAWALI II Unit PG Subang [Thesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian Di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia. Tjakraatmadja, Jann H. 1997. Manajemen Teknologi. Bandung : Studio Manajemen Teknik Industri ITB. Yulianto, T. 1 September www.suaramerdeka.com
2007.
Membangkitkan
lagi
Pabrik
Gula.
-----. 27 April 2007. Kinerja BUMN Digenjot Untuk Capai Swasembada Gula Tahun 2009. www.antara.co.id -----. 21 Juni 2007. Revitalisasi Pabrik Gula Ditargetkan Dua Tahun. Media Indonesia. -----. 14 September 2007. Hanya 20 Pabrik Gula yang Layak Rehab. Media Indonesia. -----. 29 September 2007. Menuju Swasembada Pangan 2009. Media Indonesia. -----. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional .www.deprin.go.id.
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-8
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-9
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Pebruari 2008
ISBN : 978-979-99735-4-2 A-25-10