source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
PERAN INSTITUSI PENGEMBANG SAINS DAN TEKNOLOGI DALAM PEMBANGUNAN DI INDONESIA Agus Dharma Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Gunadarma email :
[email protected] website : staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
Abstrak Negara-negara berkembang seperti di Indonesia yang masih berada pada tahap awal industrialisasi memiliki ketergantungan pada pihak negara asing untuk memperoleh teknologi. Proses alih teknologi yang semakin besar telah membentuk pasar teknologi. Penjualan dan pembelian commercial technological prescriptions dalam pasar dunia menunjukan kecenderungan meningkat secara tajam. Tingkat dan ciri ketergantungan suatu negara berkembang pada teknologi asing mempunyai relevansi langsung dengan kemampuan pengindustrian intelegensi negara tersebut. Institusi pengembang sains dan teknologi milik negara atau dibiayai pemerintah pada umumnya tidak berkaitan erat dengan kebutuhan perusahaan industri komoditi dan jasa setempat sehingga tidak dapat menghasilkan teknologi siap pakai. Diantara Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) maka LIPI dan BPPT merupakan lembaga penelitian milik pemerintah terbesar dan paling terkemuka. Perusahaanperusahan manufaktur besar pada umumnya pernah memperoleh jasa–jasa teknologi dari kedua LPND ini. Namun pada umumnya tingkat jasa yang mereka peroleh tidak begitu rumit, hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan tersebut merupakan usaha patungan yang dalam hal teknologi masih banyak tergantung pada prinsipal mereka di luar negeri yang memiliki kemampuan teknologi lebih tinggi dan lebih murah (cost-effective). Status LIPI dan BPPT sebagai lembaga pemerintah mewajibkan mereka untuk tunduk pada semua peraturan pemerintah tanpa diberikan kualifikasi bahwa mereka merupakan lembaga litbang dengan kebutuhan-kebutuhan yang khusus. Ketergantungan kegiatan litbang kedua lembaga ini pada anggaran pemerintah mewajibkan mereka mengikuti peraturan ketat penggunaan dana pemerintah. Kata Kunci : Sains, Teknologi, Institusi, Industrialisasi
1. Pendahuluan Dalam beberapa dasawarsa terakhir komposisi barang-barang yang diperdagangkan dalam perdagangan internasional telah mengalami perubahan. Disatu sisi perdagangan internasional dalam hasil-hasil industri telah meningkat secara tajam, tetapi di lain sisi perdagangan internasional dalam hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil pertambangan hanya tumbuh dengan laju yang sangat rendah (Ganiatsos,1992:2). Laju pertumbuhan ekspor yang paling pesat dicapai oleh industri-industri yang secara langsung atau tidak langsung menanamkan investasinya dalam usaha penelitian dan pengembangan serta kemampuan disain.
1
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ Temuan-temuan dari berbagai kajian empirik memang telah membenarkan bahwa faktor kemampuan teknologi (technological capability) dalam arti yang luas merupakan suatu faktor yang penting dalam menentukan kinerja ekspor hasil-hasil industri suatu negara. Dengan demikian maka kinerja ekspor suatu perusahaan manufaktur suatu negara bukan saja tergantung dari biaya komperatif faktor-faktor produksi tetapi juga pada kemampuan teknologi perusahaan atau negara tersebut. Peningkatan kemampuan sistem produksi dalam institusi komoditi dan jasa tergantung pada jenis teknologi yang digunakan, efisiensi dari pasar-pasar komoditi yang dihasilkan dan faktor-faktor produksi yang dipekerjakan, maupun informasi dan jasa-jasa teknologi yang dapat dipasok oleh lembaga-lembaga prasarana iptek yang tersedia. Kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum bisa berperan banyak dalam inovasi teknologi maju yang dapat memperluas batasan teknologi (technology frontiers).
Kemampuan teknologi industri sendiri terdiri dari berbagai unsur yang
penguasaannya tergantung pada tahap industrialisasi suatu negara. Ernst, Mytelka, dan Ganiatsos (1992:11-23) membagi enam katagori kemampuan teknologi industri yang merupakan bagian dari dua tahap industrialisasi: •
Tahap Industrialisasi Awal : a. Kemampuan investasi (investment capabilities) b. Kemampuan produksi (production capabilities) c. Kemampuan perubahan kecil (minor change capabilities)
•
Tahap Industrialisasi Maju : d. Kemampuan pemasaran (marketing capabilities) e. Kemampuan menciptakan kaitan (linkage capabilities) f.
Kemampuan perubahan besar (major change capabilities)
Dinegara-negara berkembang seperti di Indonesia yang masih berada pada tahap awal industrialisasi memiliki ketergantungan pada pihak negara asing untuk memperoleh teknologi yang lebih canggih. Proses pengindustrian intelegensi dari institusi-institusi pemasok comercial technological resources belum mampu mengimbangi atau tidak memiliki kaitan dengan institusi industri komoditi dan jasa sehingga terjadi kegagalan pasar (market failure) sebagai akibat gagalnya mekanisme pasar dan harga untuk mewujudkan suatu alokasi sumber daya yang optimal dan efisien. Untuk menanggulangi kegagalan pasar tersebut maka pengembangan kemampuan teknologi industri di negara-negara berkembang perlu melibatkan peran pemerintah. Campur
2
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ tangan pemerintah dalam upaya pengembangan kemampuan teknologi perlu dilakukan dengan hati-hati karena apabila kebijaksanaan pemerintah tidak disusun dan dilaksanakan dengan baik akan mengakibatkan kegagalan pasar yang lebih parah dan pada gilirannya akan menghasilkan kegagalan pemerintah (government failure) (Lall,1993:719).
2. Industrialisasi Intelegensi Proses pemanfaatan teknologi untuk sistem produksi dimulai dari informasi preskriptif umum yang merupakan produk institusi pengembang sains dan teknologi. Oleh institusi industri teknologi, informasi ini ditransformasikan menjadi informasi preskriptif yang telah terstruktur dan teruji untuk dapat langsung dimanfaatkan di sistem produksi (Commercial technological prescriptions). Teknologi ini bersifat komersial karena merupakan salah satu sumber daya (resources) bagi institusi industri komoditi dan jasa (Sasmojo,1995:v1). Commercial technological prescriptions pada umumnya dicatatkan dan secara formal implisit mengandung pengakuan akan hak pihak penemu yang biasa disebut dengan paten (patent). Dengan demikian institusi yang mempatenkan hasil temuannya tersebut diakui hak-haknya sebagai pemegang paten. Pihak yang akan memanfaatkan atau menggunakan hak paten untuk input usahanya harus meminta kapada pemegang paten dan terjadilah transaksi lisensi. Proses alih teknologi yang semakin besar telah membentuk pasar teknologi yang cukup menarik. Penjualan dan pembelian commercial technological prescriptions dalam pasar dunia sebagaimana tampak dari neraca pembayaran luar negeri di banyak negara menunjukan kecenderungan yang meningkat secara tajam. Data yang diambil dari UNCTC dan UNCTAD yang kemudian dilaporkan pula dalam laporan neraca IMF, menunjukan bahwa kenaikan perdagangan teknologi di pasar dunia telah mencapai 30% dari komoditi yang diperdagangkan (Sumantoro, 1993:14). Perhitungan harga teknologi dalam pasar teknologi dapat bersifat arbitrer (sepihak) terutama jika perhitungan tersebut harus dilakukan dalam suatu usaha patungan antara perusahaan yang memiliki teknologi dengan perusahaan patungan yang memerlukan teknologi tersebut. Sebuah perusahaan patungan harus membuat berbagai perjanjian, diawali dengan satu perjanjian induk (joint venture agreement) kemudian disusul dengan perjanjian alih teknologi, perjanjian paten atau lisensi teknis (technical licensing agreement) disertai penetapan pembayaran royalti (Sumantoro, 1993: 15). Selanjutnya perjanjian tersebut ditindaklanjuti dengan tahapan basic design, detail design, fabrication &
3
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ procurement, construction, commisioning, dan manajemen proyek (maintenance). Paket investasi teknologi ini disertai pengendalian secara ketat terhadap technology carriers (technoware, infoware, humanware, dan orgaware) oleh pihak prinsipal.
Tabel 1. Identifikasi Komponen dalam Proses Alih Teknologi Industri Komoditi & Jasa
Tahapan Process License Basic Design Detail Design Fabrication & Procurement Construction Commisioning Manajemen Proyek
Pelaku Utama
Penentu Produksi Knowledge Knowledge Knowledge Knowledge & material Material Knowledge Knowledge
Asing Asing Lokal Asing & lokal Lokal Asing Asing & lokal
Persentase Biaya 2-5% 2-3% 2-3% 40-60% (60%asing&40%lokal) 20-30% 2-3% 2-3% (60%lokal&40%asing)
Sumber : Chandra Widodo, 1998, hal.39
Dari Tabel 1 jelas terlihat bahwa faktor penentu produksi dalam alih teknologi yang terbesar adalah faktor knowledge.. Untuk bisa mengalokasikan sumber daya (commercial technology resources) secara optimal dan efisien maka penguasaan faktor ini merupakan hal yang mutlak. Untuk mampu menghasilkan dan mengolah commercial technology resources efektif dan mandiri maka sebuah negara harus mengupayakan dengan sungguh-sungguh industrialisasi intelegensi. Tingkat dan ciri ketergantungan suatu negara berkembang pada teknologi asing mempunyai relevansi langsung dengan kemampuan pengindustrian intelegensi negara tersebut. Seperti negara-negara berkembang lainnya, maka masalah yang dihadapi Indonesia adalah sampai seberapa jauh teknologi harus diperoleh dari luar negeri atau harus dikembangkan sendiri di dalam negeri. Pada dasarnya kedua unsur teknologi ini tidak saling meniadakan (mutually exclusive) akan tetapi justru saling melengkapi, meskipun dalam beberapa hal unsur yang satu bisa menggantikan (subtitute) unsur yang lain (Lall, 1993:95). Tingkat kemampuan industrialisasi intelegensi suatu negara secara kwantitatif sulit diukur. Untuk memperoleh gambaran upaya pengindustrian intelegensi di Indonesia, penulis menggunakan dua jenis indikator yaitu indikator masukan dan indikator luaran. Indikator masukan terdiri dari persentase pengeluaran litbang (R&D expenditures) dari Produk 4
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ Nasional Bruto (PNB), sumber-sumber pembiayaan litbang, dan jumlah sarjana ilmu alam dan teknik yang terlibat kegiatan litbang. Untuk indikator luaran disajikan jumlah paten lokal yang terdaftar di Indonesia.
Tabel 2. Upaya industrialisasi Intelegensi memalui R&D di beberapa negara Asia (tahun 1988)
Negara
Persentase Pengeluaran R&D dari PNB
Persentase Sumber Pembiayaan R & D Pemerintah
Perush. produktif
Sumber lain
-
Jumlah sarjana IPA & teknik yg bekerja di R&D /1juta penduduk 181
Indonesia
0,2
80
19
Thailand
0,2
68,5
9,7
21,7
104
Filipina
0,1
60,9
23,6
15,4
90
India
0,9
89,5
10,5
-
145
Korea Selatan
1,9
17,7
81,9
0,4
1.343
Jepang
2,8
19,9
80,0
0,1
5.183
Sumber : UNESCO (dikutip oleh Wie,1997:86)
Dari angka-angka pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa Jepang sebagai negara yang paling maju dalam perkembangan industri dan teknologinya memiliki upaya industrialisasi intelegensi
yang
paling
tinggi.
Sedangkan
untuk
negara-negara
ASEAN,
upaya
pengindustrian intelegensinya masih rendah. Sumber pembiayaan R&D negara Jepang dan Korea Selatan sebagian besar dari perusahaan manufakturnya sendiri. Untuk negara-negara ASEAN sebagian besar dari pemerintah. Perbedaan dalam sumber pembiayaan R&D ini merupakan sebab mengapa kegiatan litbang (R&D) yang dilakukan di institusi pengembang sains dan teknologi milik negara atau dibiayai pemerintah pada umumnya tidak berkaitan erat dengan kebutuhan perusahaan industri komoditi dan jasa setempat sehingga tidak dapat menghasilkan teknologi siap pakai untuk proses produksi.
5
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
Tabel 3. Jumlah Aplikasi Paten yang diajukan di Biro Paten dan Merek Dagang Indonesia
Tahun
Aplikasi paten Asing 636
Jumlah
1982
Aplikasi paten Domestik 16
1983
40
682
722
1984
27
642
669
1985
49
731
780
1986
33
595
628
1987
62
601
663
1988
44
645
689
652
Sumber : BPPT, Science & Technology Indicators of Indonesia, 1993
Tabel 3 mengungkapkan dengan jelas bahwa ditinjau dari segi aplikasi paten sementara, jumlah paten yang diminta oleh pihak asing masih jauh lebih tinggi dari pada pihak domestik. Hal ini memang tidak mengherankan karena Indonesia sebagai negara yang termasuk dalam tahap industri awal belum memiliki “kemampuan mengadakan perubahan besar dalam teknologi” (major change capability) atau dengan kata lain kemampuan inovasinya masih relatif rendah.
3. Institusi Pengembang Sains & Teknologi di Indonesia Dalam industrialisasi intelegensi terdapat dua institusi yang berperan dan saling berintraksi yaitu Institusi Pengembang Sains & Teknologi dan Institusi Industri Teknologi. Institusi Industri Pengembang Sains dan Teknologi di Indonesia terdiri atas (Wie,1991:88-99): 1. Lembaga-lembaga penelitian di Universitas. 2. Lembaga-lembaga litbang di departemen-departemen yang pada umumnya melakukan penilitian terapan (applied research) dan pengembangan yang relevan bagi misi departemennya masing-masing. 3. Lembaga-lembaga litbang dari Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang bergerak dalam kegiatan litbang yang menunjang pembangunan nasional pada umumnya.
6
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ 4. Balai-balai litbang dari berbagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta yang terlibat dalam kegiatan litbang yang secara langsung menunjang badan usaha mereka sendiri. Dalam pengembangan industrialisasi intelegensi di Indonesia, institusi yang berkembang adalah institusi pengembang sains dan teknologi milik negara dan dibiayai oleh negara.
Dari lembaga-lembaga litbang milik negara yang ada maka yang mempunyai
kemungkinan akses dengan sistem produksi industri komoditi dan jasa hanya Badan Penelitian & Pengembangan Industri (BPPI), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dalam batas dan kondisi tertentu ketiga lembaga ini juga menempatkan diri dalam institusi industri teknologi, terutama untuk institusi industri komoditi dan jasa milik pemerintah.
Gambar 1. Lembaga-lembaga Pemerintah yang Bergerak dalam Industrialisasi Intelegensi
Presiden RI
Menterimenteri Kabinet
Badan-badan litbang departemen termasuk BPPI Deperindag
Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek)
Dewan Riset Nasional (DRN)
Pusat-pusat litbang lembaga pemerintah non departemen (LPND) khususnya LIPI dan BPPT
Menteri Pendidikan& kebudayaan (Mendikbud)
Lembaga-lembaga penelitian Universitas Negeri
Institusi Industri Teknologi di Indonesia sebenarnya masih sangat lemah dan cenderung seperti unsur pelengkap dan bukannya unsur utama dalam industrialisasi intelegensi. Beberapa contoh Institusi Industri Teknologi di Indonesia yang dapat dikemukakan disini adalah (Sripaipan,1990:6) :
7
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ 1.
Lembaga konsultansi teknis, yang memberikan jasa kepada perusahaan manufaktur untuk memanfaatkan secara efektif perlengkapan modal dan teknologi.
2.
Lembaga uji coba, yang menyediakan jasa uji coba untuk berbagai produk dalam memenuhi standar industri nasional dan internasional.
3.
Lembaga kalibrasi, yang memberikan jasa kalibrasi untuk mengukur berbagai instrumen/alat yang digunakan industri manufaktur.
4.
Lembaga informasi, yang memberikan jasa informasi mengenai persediaan peralatan teknis, produk, dan jasa yang diperlukan industri manufaktur. Diantara Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) maka LIPI dan BPPT
merupakan lembaga penelitian milik pemerintah terbesar dan paling terkemuka. Pada waktu ini LIPI mempunyai 19 pusat litbang (Puslitbang) akan tetapi hanya beberapa saja yang melakukan litbang yang secara potensial berguna bagi keperluan industri nasional. Diantara Puslitbang ini adalah Puslitbang KIM (Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi) yang berguna bagi industri nasional khususnya dalam jaminan mutu instrumentasi yang digunakan industri nasional. Selain itu, pusat LIPI lainnya yang penting adalah PDII-LIPI (Pusat Dokumentasi dan Instrumentasi Ilmiah LIPI), yang menyediakan informasi ilmiah dan teknis serta mendokumentasikan hasil-hasil dari kegiatan ilmiah dan teknis di Indonesia (Kartowisastro, 1991: 5-6) Untuk menciptakan suatu lingkungan yang mendukung koordinasi dan integrasi sumber-sumber daya dari berbagai laboratorium, maka di Serpong (Jawa-Barat) telah didirikan suatu science city yang dinamakn Pusat Penelitian, Ilmu pengetahuan, dan Teknologi (Puspitek). Puspitek ini terdiri atas 4 laboratorium LIPI, 6 laboratorium BPPT, sebuah reaktor nuklir BATAN, dan beberapa fasilitas penunjang. Meskipun fungsi LPND khususnya LIPI dan BPPT adalah untuk menciptakan kaitan efektif dan produktif dengan penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi serta untuk melakukan jasa-jasa litbang bagi perusahaan manufaktur swasta, namun fokus puslitbang LPND sekarang ini terutama terpusat pada usaha pengembangan industri strategis dibawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Misi BPIS ini adalah untuk mengelola 10 BUMN yang ditunjuk sebagai industri strategis (IS) dan berfungsi sebagai wadah mengembangkan daya saing 10 badan usaha ini (lihat tabel 4).
8
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ Tabel 4. Daftar 10 Badan Usaha Milik Negara – Industri Strategis Indonesia (BUMN-IS)
BUMN-IS
Bidang Kegiatan Industri
1
PT IPTN
Dirgantara
2
PT PAL
Maritim
3
PT Krakatau Steel
besi & baja
4
PT LEN
Elektronika
5
PT PINDAD
persenjataan & amunisi
6
PT Bona Bisma Indra
motor diesel & peralatan energi
7
PT Barata Indonesia
alat berat & peralatan industri
8
PT Dahana
bahan peledak dan propellant
9
PT INKA
kereta api
10
PT INTI
telekomunikasi & informasi
Sumber: Wie, 1997: 90
Meskipun LIPI dan BPPT mempunyai potensi untuk menghasilkan Commercial Technological Resources kepada perusahaan-perusahaan industri komoditi & jasa milik swasta, hingga kini belum tampak ada hasrat besar dari perusahaan-perusahaan ini untuk menjalin kaitan dengan kedua LPND ini. Menurut survey Korea Institute for Science and Technology dan PT Indoconsult untuk LIPI dan BPPT, perusahaan-perusahan manufaktur besar pada umumnya mengenal LPND ini dan bahkan pernah memperoleh jasa–jasa teknologi dari kedua LPND ini. Namun pada umumnya tingkat jasa yang mereka peroleh tidak begitu rumit. Hal ini disebabkan karena perusahaan-perusahaan tersebut merupakan usaha patungan yang dalam hal teknologi masih banyak tergantung pada prinsipal mereka di luar negeri yang memiliki kemampuan teknologi lebih tinggi dan lebih murah (cost-effective). Oleh karena itu mitra lokal (Indonesia) pada umumnya kurang bermotivasi untuk mengadakan perubahan dalam teknologi, membuat sendiri, atau membeli komponenkomponen buatan dalam negeri (LIPI, 1994: 14-15) Menurut Proyek Kajian STAID (Science and Technology for Industrial Development) yang dilaksanakan oleh BPPT dan dibiayai oleh Bank Dunia, LIPI dan BPPT menghadapi beberapa kendala yang menghambat kedua LPND ini untuk berfungsi sebagai lembaga
9
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ litbang yang dapat memberikan Commercial Technological Prescriptions bagi indusri nasional pada umumnya. Beberapa kendala-kendala tersebut adalah (LIPI,1994:13-16): 1. Status LIPI dan BPPT sebagai lembaga pemerintah mewajibkan mereka untuk tunduk pada semua peraturan pemerintah sama seperti jawatan atau lembaga pemerintah lainnya tanpa diberikan kualifikasi bahwa mereka merupakan lembaga litbang dengan kebutuhan-kebutuhan yang khusus. Oleh karena itu mereka kurang memiliki keluwesan dalam ruang gerak untuk : •
Mengkaitkan motivasi staf peneliti di kedua LPND ini dengan kemampuan mereka
•
Mengadakan reorientasi dalam sistem penilaian dan pelatihan yang dapat memenuhi kebutuhan untuk pengembangan kemempuan teknologi industri nasional
•
Mengembangkan komposisi staf peneliti dan karyawan menjadi lebih baik untuk jangka panjang
2. Ketergantungan kegiatan litbang kedua lembaga ini pada anggaran pemerintah mewajibkan mereka mengikuti peraturan ketat penggunaan dana pemerintah. Dengan demikian kedua LPND ini kurang bermotivasi untuk melibatkan diri dalam kegiatankegiatan dengan pihak luar karena: •
Proses pengelolaan kegiatan litbang harus disesuaikan dengan siklus sistem anggaran pemerintah
•
Tidak ada petunjuk yang dalam sistem mamajemen kedua LPND ini mengenai pengelolaan rasional dana dari sumber-sumber non-pemerintah
3. Sangat lemahnya kaitan (linkage) antara pihak pemasok teknologi (LIPI & BPPT) dengan pihak penerima (perusahaan manufaktur swasta), yang disebabkan oleh : •
Perubahan teknologi industri yang sangat pesat sulit diikuti oleh kedua LPND dengan SDM mereka yang terbatas.
•
Sistem operasional LPND yang kurang memberikan peluang untuk menjalin kaitan aktif dengan sektor swasta.
•
Tidak adanya sistem insentif yang mendorong kedua LPND ini menjalin kaitan dengan perusahaan manufaktur swasta.
•
Tidak adanya kaitan yang jelas antara kebijaksanaan industri nasional dan kebijaksanaan LIPI-BPPT mengenai seleksi proyek.
•
Fokus perhatian LIPI dan BPPT yang jauh lebih banyak berorientasi pada kebutuhan industri-industri strategis (BUMN-IS) dari pada kebutuhan industri-industri milik swasta.
10
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
4. Penutup Sebagai negara dalam tahap industrialisasi awal, Indonesia memang telah menunjukan peningkatan yang signifikan dalam kemampuan investasi, kemampuan produksi, dan kemampuan mengadakan perubahan kecil dalam teknologi proses produksi atau produk yang dihasilkannya. Tetapi hanya dengan memiliki kemampuan tersebut kita memang memilki ketergantungan tanpa akhir pada negara-negara yang dalam teknologi terhitung superior. Perlu diingat bahwa kemampuan kita kemampuan kita membeli teknologi baru lebih dikarenakan kekayaan sumber daya alam yang kita miliki dan keinginan negara maju untuk menjual teknologinya didorong oleh keinginan ekspansi wilayah industri. Sangat besar jumlah devisa yang kita belanjakan guna membeli commercial technological prescription dari negara lain. Untuk jangka panjang, kemampuan-kemampuan disebutkan di atas tidaklah mencukupi. Apabila ingin menjadi negara yang kuat dan mandiri dalam industri, Indonesia harus memiliki kemampuan kaitan, kemampuan pemasaran, dan kemampuan mengadakan perubahan besar dalam teknologi. Kalau pada tahap industrialisasi awal kita hanya berkutat dengan masalah sistem produksi maka untuk bisa memasuki tahap industrialisasi maju kita dihadapkan pada masalah industrialisasi intelegensi. Didominasinya institusi yang berperan dalam industrialisasi intelegensi oleh pemerintah ternyata malah membuat proses industrialisasi intelegensi menjadi tidak berkembang. Sudah saatnya pemerintah memperbaiki policy pengembangan teknologi industri dengan menghapus conflict of interest pihak pemerintah dan swasta. Untuk sebuah negara berkembang akselerasi proses industrialisasi intelegensi hanya bisa dicapai melalui sinergi antara pemerintah dan swasta. Dalam hubungan ini pusat-pusat litbang seperti LIPI dan BPPT bukan saja diharapkan untuk dapat memasok teknologi yang lebih tinggi bagi institusi industri komoditi dan jasa, akan tetapi juga untuk menjadi panutan (role models) kegiatan litbang diperusahaan-perusahaan swasta.
Daftar Pustaka Ganiatsos, Tom. Technological Dynamics and R&D in the Export of manufacture from Developing Countries. UNCTAD / SAREC, Geneva, 1992. Lefebvre, Louis A. & Elisabeth Levebvre (ed.). Management of Technology and Regional Development in a Global Environment. Paul Chapman Publishing. London, 1995. Lall, Sanjaya. Understanding Technology Development. Development and Change vol.24, 1993.
11
source > http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/ LIPI, Overview of the Final Report – STAID Project Element No.10-3, R&D Management system, vol.1. STAID Program & LIPI, 1994. Rosenberg, Nathan. Inside the Black Box: Technology and Economics. Cambridge University Press, London, 1989. Saeed, Khalid, Development Planning and Policy Design. Ashgate, New Castle, 1994. Sasmojo, Saswinadi & Muhhamad Akmasj. Menggalang Potensi dan Inisiatif dalam Upaya Menanggapi berbagai ‘System Disfunction’ dalam Sistem Produksi. Jurnal Studi Pembangunan ITB, vol.1 No.2 Mei 1998. ______ et al. (ed.). Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni dalam Perkembangan Budaya Masyarakat Bangsa Indonesia. Penerbit ITB, Bandung, 1991. Sumantoro. Masalah Pengaturan Alih Teknologi. Alumni, Bandung,1993. Widodo, Chandra. Harapan dalam Kemelut – Pemberdayaan Teknologi Industri Rekayasa-Aliansi Strategi Plus. Jurnal Studi Pembangunan ITB, vol.1 No.2 Mei 1998. Wie, Thee Kian, Pengembangan Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia. UI-Press, Jakarta,1997.
12