Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer (SNSA) 2015 Peran Sains dan Teknologi Atmosfer dalam Pelestarian Bumi dan Lingkungan
Prosiding ini berisi makalah-makalah yang telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Sains Atmosfer (SNSA) 2015 yang dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, LAPAN pada tanggal 22 April 2015 di Auditorium LAPAN Bandung dan prosiding dicetak Februari 2016.
Editor : 1. Prof. Dr. Eddy Hermawan 2. Drs. Sri Kaloka 3. Drs. Mahmud 4. Dra. Sinta Berliana S., M.Sc 5. Dr. Lilik Slamet S., M.Si Layout desain : Indah Susanti, Sartika dan Emmanuel Aditya Dipublikasikan oleh : Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djunjunan No. 133 Bandung 40173 Telepon : 022-6037445, Fax : 022-6037443 Website : www.sains.lapan.go.id ISBN : 978-979-1458-96-2
i
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr Wb Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga kegiatan Seminar Nasional Sains Atmosfer (SNSA) 2015 dengan tema Peran Sains dan Teknologi Atmosfer dalam Pelestarian Bumi dan Lingkungan dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 22 April 2015 di Auditorium LAPAN Bandung, Jl. Dr. Djunjunan No.133. Seminar nasional ini dilaksanakan oleh Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN Bandung yang dihadiri oleh pakar iklim, lingkungan, polusi udara, GRK, serta para pakar sains atmosfer dari berbagai instansi pemerintah, universitas, dan swasta. Pembicara utama seminar ini menghadirkan Dra. Sri Tantri Arundhati, M.Sc, Asisten Deputi Adaptasi Perubahan Iklim pada
Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan , dan Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), sedangkan pembicara tamu menghadirkan Prof. Mamoru Yamamoto (RISH/Kyoto University), dan A. Rita Tisiana Dwi Kuswardani, Ph.D (Balitbang KP, KKP), serta pemakalah yang berasal dari instansi lainnya yaitu lembaga penelitian dan universitas dari beberapa daerah di kota-kota di Jawa maupun di luar Jawa. Pemakalah yang mendaftarkan untuk mengikuti penyajian seminar dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 70 dari bidang sains dan teknologi atmosfer. Setelah melewati proses seleksi terpilih makalah yang layak untuk dipresentasikan dalam bentuk oral maupun poster adalah sebanyak 64 makalah. Pengumpulan makalah telah dilakukan pada tanggal 22 April 2015. Selanjutnya dilakukan proses review atas makalah-makalah tersebut sebanyak 3 kali, yaitu 5 Mei-26 Juni 2015, 5 September-4 Oktober 2015, dan 5 November-31 Desember 2015. Kemudian setelah dilakukan 2-3 kali perbaikan dan proses perbaikan layout oleh editor, makalah tersebut dinilai layak untuk diterbitkan. Akhirnya sebanyak 43 makalah diterbitkan dalam prosiding SNSA 2015 ini. Akhir kata, terima kasih kepada seluruh Panitia dan semua pihak yang telah membantu terbitnya prosiding ini. Kami juga mengucapkan permohonan maaf atas keterlambatan terbitnya prosiding ini dikarenakan proses review yang cukup panjang dan penyesuaian format-format berdasarkan ketentuan LIPI. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi pembaca semua. Amiin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, Januari 2016
Tim Editor
ii
LAPORAN KETUA PANITIA SSA 2015 Assalamu’alaikum Wr Wb
Yang terhormat Kepala LAPAN Yang terhormat Kepala BMKG Yang terhormat Deputi Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Yang terhormat para narasumber dan pejabat struktural Yang terhormat para peserta seminar dan tamu undangan Kami ucapkan selamat datang di acara Seminar Nasional Sains Atmosfer (SNSA) 2015 yang bertemakan Peran Sains dan Teknologi Atmosfer dalam Pelestarian Bumi dan Lingkungan. Seminar ini bertujuan untuk memasyarakatkan hasil penelitian sains atmosfer terkait dengan variabilitas dan perubahan iklim, variabilitas dan karakteristik komposisi kimia atmosfer (gas rumahkaca, ozon, kualitas udara dan pemodelannya), serta teknologi pengamatan atmosfer dalam rangka mendukung pelestarian bumi dan lingkungan. Acara seminar ini merupakan rangkaian dari acara peringatan hari bumi yang diselenggarakan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Seminar yang dihadiri oleh 150 orang peserta ini secara umum terbagi menjadi tiga sesi presentasi, yaitu presentasi pembicara utama, presentasi narasumber dan presentasi pemakalah. Presentasi pemakalah dibagi menjadi dua katagori, yaitu oral dan poster. Narasumber utama pada seminar ini adalah Dr Andi Eka Sakya, M. Eng (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geosfisika) dan yang mewakili Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan , Bpk Arifiyono. Adapun presentasi pemakalah oral disampaikan oleh 9 pemakalah, dan presentasi pemakalah poster disampaikan oleh 61 pemakalah. Makalah yang dipresentasikan telah melewati seleksi abstrak makalah. Dari total 90 abstrak yang masuk telah diseleksi oleh tim seleksi makalah sehingga diputuskan 70 makalah yang dapat dipresentasikan dalam seminar ini. Makalah-makalah yang dipresentasikan telah melalui proses editing dan koreksi hingga dinyatakan layak untuk dipresentasikan pada SNSA 2015. Makalah-makalah yang telah dipresentasikan baik secara oral maupun poster akan diseleksi ulang oleh tim reviewer hingga dinyatakan layak untuk diterbitkan dalam prosiding SNSA 2015. Selain para narasumber dan pemakalah, seminar ini juga dihadiri oleh para tamu undangan yang berasal dari beberapa Bappeda dan BLH di Indonesia, BMKG, LAPAN, BATAN, IPB, ITB, UPI , UNPAD, UNDIP, UNSRI, UNPAS, Sekolah Tinggi Meteorologi dan Geofisika, Univ Tridinanti Palembang, Stasiun Meteorologi Lampung, dan Balai Besar Logam dan Mesin, Kementrian Perindustrian. Akhirnya kami panitia seminar mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu terlaksananya seminar ini, dan kami mohon maaf apabila ada kekurangan. Kami ucapkan selamat mengikuti seminar, semoga bermanfaat bagi kita semua. Terimakasih Wassalamualaikum Wr Wb, Bandung, 22 April 2015 Ketua Panitia SNSA 2015
Asri Indrawati, S.Si, M.T iii
DAFTAR PANITIA No 1.
Nama Jabatan Pengarah/ Penanggung Jawab
2.
Ketua
Asri Indrawati, S.Si, M.T
3.
Wakil Ketua
Farid Lasmono, ST
3.
Sekretaris
1. Dyah Aries Tanti, A.Md 2. Indah Susanti, S.T 3. Fanny Adityaputri, M.Si
4. 4.
Keuangan Sie. Acara
1. 1. 2. 3. 4.
5.
Sie. Desain, dokumentasi
6.
Sie. Perlengkapan, akomodasi
7.
Sie. Makalah / Editor Prosiding
1. Prof. Dr. Eddy Hermawan 2. Drs. Sri Kaloka Prabotosari 3. Dra. Sinta Berliana S, MSc 4. Dr. Lilik Slamet S 5. Drs Mahmud
8.
Moderator & Notulen
Moderator : 1. Dr. Didi Satiadi 2. Drs. W.Eko Cahyono, M.IL 3. Dr. Laras Tursilowati, M.Sc 4. Dra. Sumaryati, M.T Notulen : 1. Novita Ambarsari, S.Si, M.T 2. Sartika S.T
Publikasi
konsumsi
Personil Ka. PSTA: Ir. Halimurrahman, MT
Hasan Sadikin Aisya Nafisyanti, S.T Sartika, S.T Dessy Gusnita, S.Si Novita Ambarsari, S.Si, M.T
dan 1. Sudirman SH, M.AP 2. Edi Maryadi, ST 3. Emmanuel Aditya, S.Kom dan 1. Sugito 2. Muchtar Gunawan 3. Djoko Trianas, A.Md 4. Mulyono 5. Nur Rahmayanti
iv
JADWAL KEGIATAN SSA 2015 Waktu
Acara
08.00 – 08.30 08.30 – 08.35 08.35 – 08.45
08.45 – 09.15
Registrasi Laporan Ketua Panitia Pembukaan : Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (Kepala LAPAN) Sesi: Keynote Speaker Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc (Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
09.15 – 09.45
Dr. Andi Eka Sakya, M.Eng (Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika)
09.45 – 10.00
10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 10.45 10.45 – 11.05
11.05 – 11.20
11.20 – 11.35
11.35 – 11.50 11.50 – 12.10 12.10 – 13.00
13.00 – 13.15
Penyerahan Cinderamata dan Foto Bersama di Auditorium Sesi Panel: Invited Speaker (Moderator: Dra. Sumaryati, MT) Prof. Mamoru Yamamoto (RISH/ Kyoto University) Instrumentation technologies (both terrestrial and remote sensing instruments) and atmospheric observation methods. Ir. Puji Lestari, Ph.D (T.Lingkungan ITB) Komposisi Partikulat dari Pembakaran Lahan Gambut Rita Tisiana Dwi Kuswardani (Balit KP) Potensi Sumber Daya Laut dan Pesisir dan Pengelolaannya Diskusi Sesi Panel 1: Pemodelan Atmosfer (Moderator: Dr. Didi Satiadi) Martono, M.Si (PSTA) Karakteristik Arus Permukaan Perairan Samudera Pasifik Barat pada saat terjadi El-Nino dan La-Nina Agie Wandala Putra (BMKG) Prakiraan Hujan Lebat dengan Menggunakan Teknik Support Vector Machine dari Indeks Stabilitas Atmosfer di Jakarta Andi Syahid Muttaqin (ITB) Pola Telekoneksi Suhu Muka Laut terhadap Distribusi Pusat Konvektif di Wilayah Benua Maritim Diskusi Sesi: Poster Ishoma & tanya jawab poster Sesi Panel 2: Komposisi Atmosfer (Moderator: Drs. Waluyo Eko Cahyono, M.IL) Duwi Kaeruni Asih (IPB) Analisis Potensi Deposisi Asam Menggunakan Chimere Model v
13.15 – 13.30
13.30 – 13.45 13.45 – 14.05 14.05 – 14.25
14.25 – 14.40
14.40 – 14.55 14.55 – 15.10 15.10 – 15.25 15.25 – 15.45 15.45 – 16.00
Eko Heriyanto (BMKG) Perbandingan Konsentrasi SO2, NO2, dan Partikel Debu Luaran WRF/Chem dengan Data Pengukuran Rosida (PSTA) Karakteristik Aerosol dan Radiative Forcing Selama Pra Monsum dan Pasca Monsun di Indonesia Diskusi Coffee Break Sesi Panel 3: Teknologi Atmosfer Moderator: Dr. Laras Tursilowati Parwati Sofan (Pusfatja LAPAN) Korelasi Antara Hasil Estimasi Suhu Udara Berdasarkan Suhu Permukaan Lahan dari Data NOAA-AVHRR 18 Noersomadi (PSTA LAPAN) Investigasi Potensi Hujan Es Berdasarkan Hasil Pengamatan X-Band Radar Menggunakan Metode Severe Hail Index Dwi Hartomo Ramdani (BMKG) Pemanfaatan Data Radar Untuk Peringatan Dini Gelombang Tinggi Diskusi Pengumuman poster terbaik, pemaparan sekilas isi poster, dan penyerahan hadiah Resume dan Penutupan Seminar (Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer)
vi
JADWAL REVIEW MAKALAH DAN PENYUSUNAN PROSIDING
TANGGAL
-
22 April 2015
TAHAPAN
Pendaftaran dan pengumpulan abstrak makalah
22 April 2015
Pelaksanaan Seminar dan pengumpulan makalah lengkap
5 Mei – 26 Juni 2015
Review makalah lengkap tahap pertama oleh Tim Makalah
13 Juli – 3 Agustus 2015
Perbaikan tahap pertama oleh penulis
5 September – 4 Oktober 2015
Review makalah lengkap tahap kedua oleh Tim Makalah
6 – 26 Oktober 2015
Perbaikan tahap kedua oleh penulis
1 November 2015
Batas akhir pengumpulan makalah hasil perbaikan tahap kedua
5 November – 31 Desember 2015
Tahap editing, desain dan penyusunan prosiding
9 – 16 Januari 2016
Pemeriksaan ulang
18 Februari 2016
Pencetakan prosiding
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR LAPORAN KETUA PANITIA SNSA 2015 DAFTAR PANITIA JADWAL KEGIATAN SNSA 2015 JADWAL REVIEW MAKALAH DAN PENYUSUNAN PROSIDING DAFTAR ISI
1.
2.
ii iii iv v vii viii
Identifikasi Kejadian Hujan Es menggunakan Radar Cuaca Doppler (Studi kasus hujan es Jakarta 22 April 2014 dan Denpasar 16 Desember 2010) Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
1
Analisis Konsentrasi Particulate Matter 10 (PM10) Saat Terjadi Kabut Asap Di Palembang(Studi Kasus 26 September 2014) Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
7
3.
Analisis Klaster Kandungan Kimia Air Hujan Di Sebagian Wilayah Indonesia Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
4.
Variabilitas Musim Terkait Dengan Anomali Suhu Muka Laut Pasifik (El Niño Dan La Niña) Di Provinsi Jawa Timur Akhmad Fatony, Linda Natalia So’langi dan Haris Suprayogi
5.
Skill Coupled Model Intercomparison 5 Pada Wilayah Tropis Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
6.
Aplikasi Citra Satelit Untuk Identifikasi Perubahan Luasan Mangrove di Teluk Bungus Kota Padang Aprizon Putra, Try Al Tanto, Ilham
14
20
28
33
7.
Pengaruh Skema Cumulus Yang Berbeda Pada Polutan Dalam Model WRF-Chem Danang Eko Nuryanto dan Tri Astuti Nuraini
8.
Kajian Variabilitas Musim dan Analisis Dampak Madden-Julian Oscillation di Jawa Bagian Utara Dani Irwansyah
47
Analisis Beban Emisi Polutan di Kota Besar dari Konsumsi BBM (Studi Kasus Kota Jakarta & Surabaya) Dessy Gusnita
53
10. Perbandingan Konsentrasi NO2, SO2 Dan Partikel Debu Luaran WRF-Chem Dengan Data Pengukuran : Studi Kasus Dki Jakarta 2009 Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
61
9.
11. Koreksi Atmosfir Citra Landsat-7 Menggunakan Modul Envi Flaash Fadila Muchsin viii
39
70
12. Variasi Diurnal Awan Di Atas Indonesia Tahun 2014 Farid Lasmono, Suaydhi, dan Aisya Nafiisyanti 13. Analisis Pergerakan Hujan Lebat Terkait Deteksi Wilayah Rawan Longsor Di Wilayah Pulau Jawa Tahun 1999-2013 Firsta Zukhrufiana Setiawati 14. Curah Hujan Ekstrim Di Katulampa Dan Kaitannya Dengan Sirkulasi Atmosfer Gigih Bangun Wicaksono dan Rahmat Hidayat 15. Identifikasi Pergerakan Area Reflektivitas Hujan Menggunakan Metode Optical Flow Berdasarkan Data Pengamatan RDH Ginaldi Ari Nugroho dan Edy Maryadi
76
81
88
93
16. Penentuan Rentang Data Untuk Analisis Frekuensi Curah Hujan Maksimum Di DAS Cikapundung Hary Pradiko, Arwin, Prayatni Soewondo, dan Yadi Suryadi
100
17. Analisis Indikasi Perubahan Iklim dan Proyeksi Iklim Hingga Tahun 2050 Dengan Skenario RCP4.5 dan RCP8.5 di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai I Wayan Andi Yuda
106
18. Variabilitas Curah Hujan dan Suhu Puncak Awan Diurnal Hasil Analisis Luaran CCAM-NWP dan Satelit MTSAT di Wilayah Jawa Barat Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
113
19. Analisis Akurasi Informasi Daerah Berpotensi Banjir dan Hubungannya dengan Tinggi Curah Hujan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh Indah Prasasti dan Any Zubaidah
119
20. Karakteristik Aerosol Dan Radiative Forcing Selama Pra-Monsun Dan Pasca Monsun Asia Di Indonesia Indah Susanti, Rosida, Waluyo Eko Cahyono, dan Nani Cholianawati
127
21. Koreksi Bias Data Satelit TRMM 3B43V7 Untuk Wilayah Pulau Jawa Krismianto
136
22. Pengaruh Aspek Fisika Curah Hujan pada Konsentrasi CH4 (Metana) Lilik Slamet Supriatin dan Novita Ambarsari
144
23. Pengaruh Angin Musim Terhadap Transport Arus Lintas Indonesia Martono
149
24. Analisis Banjir di Pulau Bawean Berdasarkan Interpretasi Citra Satelit, Streamline, Pibal, dan Keluaran WRF EMS Nanda Alfuadi
155
25. Karakteristik Karbon Monoksida (CO) dan Nitrogen Oksida (NOx) di Kota Bandung Nihayatuz Zulfa, Novita Ambarsari, Waluyo Eko Cahyono
167
26. Karakteristik Komposisi Atmosfer Indonesia Tahun 2003-2014 Berbasis Data Satelit Ninong Komala
173
ix
27. Potensi Hujan Es Berdasarkan Hasil Pengamatan X-Band Radar Menggunakan Metode Severe Hail Index Noersomadi dan Tiin Sinatra
179
28. Profil Vertikal Karbon Monoksida (CO) dan Bromin Monoksida (BrO) di Lapisan Stratosfer di Indonesia Hasil Observasi Sensor MLS/AURA Novita Ambarsari, Niñong Komala, Asri Indrawati
185
29. Evaluasi Hasil Estimasi Suhu Udara dari Data Satelit NOAA-18 AVHRR di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa Parwati Sofan, Suwarsono, Fajar Yulianto, Kusumaning Ayu DS, dan Indah Prasasti
191
30. Kajian Prediktor Potensial Puncak Musim Hujan di Utara Jakarta Rista Hernandi Virgianto, Amir Mustofa Irawan dan Selvy Yolanda
200
31. Perbandingan Metode Estimasi Suhu Vertikal Atmosfer Berbasis Data Modis Risyanto, Sinta Berliana Sipayung, Edy Maryadi
206
32. Analisis Radiative Forcing Karbon Dioksida Dan Metana Berdasarkan Data Satelit Di Indonesia Rosida, Indah Susanti dan Waluyo Eko Cahyono
212
33. Variabilitas Curah Hujan dan Ketersediaan Debit (Studi Kasus: DAS Komering Hulu, Danau Ranau-Bendung Perjaya) Rosmalinda Permatasari, Arwin Sabar, Dantje Kardana Natakusumah
220
34. Proyeksi Iklim Oldeman 2011-2050 Berdasarkan Skenario Representative Concentration Pathway 4.5 dan 8.5 di Wilayah Banten Selvy Yolanda dan Ardin
225
35. Analisis Data Curah Hujan CRU untuk Penentuan Kawasan Berpotensi Iklim Ekstrim di Indonesia Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
232
36. Pengembangan Bank Data Hasil Pengamatan BPD Pontianak untuk Mendukung Basis Data Atmosfer Indonesia Siti Maryam, dan Ahmad Zulfiana Utama
242
37. Konsentrasi CO2 Permukaan sebagai Fungsi Radiasi Matahari di Bandung Sumaryati dan Ginaldi Ari Nugroho
247
38. Karakteristik Reflektansi Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (Burned Area) dari Data Landsat-8 Operational Land Imager Suwarsono, Yenni Vetrita, Parwati, M. Priyatna, M.Rokhis Khomarudin
252
39. Deteksi Titik Api (Fire Spot) Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Citra Landsat-8 TIRS Suwarsono, Yenni Vetrita, Parwati, Any Zubaidah, M.Rokhis Khomarudin
262
40. Komposisi Kimia Deposisi Asam Dan Fenomena Hujan Asam Di Indonesia Tuti Budiwati, Elmaya Rahmawati, Dyah Aries Tanti, dan Asri Indrawati
271
41. Variasi Musiman Konsentrasi Metan Di Kota Semarang dan Jakarta Toni Samiaji
279
x
42. Variabilitas Diurnal Parameter Atmosfer Berbasis Pengamatan di Kototabang Wendi Harjupa, Syafrijon dan Ridho Pratama 43. Variabilitas Temporal Total Hidrokarbon dan Karbon Monoksida di Udara Ambien Perkotaan(Studi Kasus: Kota Bandung) Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Mulyono dan Suparno
xi
284
291
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
IDENTIFIKASI KEJADIAN HUJAN ES MENGGUNAKAN RADAR CUACA DOPPLER (STUDI KASUS HUJAN ES JAKARTA 22 APRIL 2014 DAN DENPASAR 16 DESEMBER 2010) IDENTIFICATION OF HAIL EVENT BY USING DOPPLER WEATHER RADAR (THE CASE OF STUDY OF HAIL IN JAKARTA AT APRIL 22ND 2014 AND DENPASAR AT DECEMBER 16TH 2010) Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl. Perhubungan I no 5, Tangerang Selatan 15221 pos-el :
[email protected] ABSTRACT At April 22nd 2014 09.00-09.10UTC hail is reported occur in Jakarta. Hail occurrence in Indonesia is different from hail occurrence in subtropical area based on convective system, duration, and hailstone size. Identification’s done by analyze reflectivity and radial velocity signature. Based on weather radar observation, weak echo region signature and tight low level gradient signature as convective system indication is detected at 07.20 UTC as 57 dBz reflectivity. At 09.00 UTC, 63 dBz reflectivity is detected and downdraft dominate till 2 km height as maximum value is 23 m/s at 09.10 UTC. Another hail occurrence in Denpasar at December 16th 2010 at 07.40 UTC. Shows weak echo region’s detected at 07.10 UTC as 66 dBz reflectivity. At 07.40 UTC low level divergence signature is detected as microburst indication by 18.2 m/s inbound value. Identification is done to know certain reflectivity and radial signature appears in weather radar imagery so that the extreme weather early warning is disseminated fast. Keywords : hail, radar cuaca, reflectivity signature, radial velocity signature, Jakarta, Denpasar ABSTRAK Pada tanggal 22 April 2014 jam 09.00 – 09.10 UTC dilaporkan terjadi hujan es di Jakarta. Kejadian hujan es di Indonesia berbeda dengan hujan es di daerah lintang menengah ditinjau dari aspek sistem konvektif, durasi dan ukuran hailstone. Identifikasi dilakukan melalui analisa pola reflectivity dan pola radial velocity. Berdasarkan pengamatan radar cuaca doppler, pola weak echo region dan tight low level gradient sebagai indikasi sistem konvektif kuat terdeteksi pukul 07.20 UTC dengan nilai reflektivitas 57 dBz. Pada pukul 09.00 UTC terdeteksi nilai reflektivitas 63 dBz dan dominasi downdraft hingga ketinggian 2 km dengan nilai maksimum 23 m/s pada pukul 09.10 UTC. Kejadian hujan es yang lain di Denpasar tanggal 16 Desember 2010 pukul 07.40 UTC menunjukkan pola weak echo region terdeteksi pukul 07.10 UTC dengan nilai reflektivias 66 dBz. Pada pukul 07.40 UTC terdeteksi pola low level divergence sebagai indikasi microburst dengan nilai inbound 18,2 m/s. Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui pola tertentu yang muncul pada saat kejadian hujan es agar peringatan dini dapat segera didiseminasikan. Kata kunci : hujan es, pola reflectivity,pola radial velocity, Jakarta, Denpasar
PENDAHULUAN Hujan es merupakan bentuk presipitasi berupa bola, potongan, maupun serpihan yang memiliki diameter antara 5-50 mm atau dapat berukuran lebih besar saat sistem konvektif yang ekstrem.1 Awan yang menyebabkan hujan es adalah awan cumulonimbus yang merupakan awan dingin. Awan dingin yang mengandung partikel es (hailstone) dan butiran kelewat dingin disebut awan campuran.2 Hailstone terbentuk saat tetes hujan yang besar yang membeku tumbuh melalui proses kolisi dan koalisensi dari tetes awan
kelewat jenuh.3 Proses pembentukan partikel es (hailstone) terjadi di atas freezing level. Masa partikel es yang lebih padat menyebabkan kecepatan jatuh yang lebih cepat, sehingga masa es akan tumbuh karena adanya kolisi dan koalisensi oleh partikel kelewat dingin yang ditabrak.4 Ketika tinggi dasar awan sangat rendah, ketinggian freezing level yang juga lebih rendah, sistem konvektif yang sangat kuat, kondisi permukaan yang cukup dingin, dan downdraft yang sangat kuat hingga lapisan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 1
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
permukaan, maka akan berpeluang terjadi hujan es sangat besar. Fenomena hujan es terjadi di Indonesia dalam keadaan dan kondisi tertentu yang berbeda dengan kejadian hujan es di lintang menengah atau tinggi ditinjau dari aspek sistem konvektif, durasi, dan ukuran hailstone.5 Radar cuaca merupakan salah satu instrumentasi meteorologi yang dapat mendeteksi kejadian hujan es melalui analisis dan interpretasi citra reflektivitas, radial velocity, dan spectral width.6,7,8 Pola yang paling sering muncul pada saat kejadian hujan es adalah pola-pola reflektivitas yang menunjukkan konvektif kuat, yaitu pola very high reflectivity, weak echo region, tight low level gradient, dan three body scatter spike. Sedangkan pola radial velocity yang menunjukkan konvektif kuat adalah pola low level convergence.5,8,9,10 Pola very high reflectivity (Gambar 1) terdeteksi melalui nilai reflektivitas yang sangat tinggi di lapisan bawah. Nilai reflektivitas yang sangat tinggi menunjukkan sistem konvektif yang sangat kuat.6 Batas ambang untuk menentukan kejadian hujan es adalah 55 dBz. 11,12 Weak echo region (Gambar 2) merupakan daerah dengan echo reflektivitas rendah dan tepat diatasnya dikelilingi oleh echo dengan reflektivitas tinggi sebagai indikasi adanya updraft kuat.6 Tight low level gradient (Gambar 3 dan 4) merupakan reflektivitas dengan gradien yang tajam pada lapisan bawah. Pola ini juga mengindikasikan adanya updraft yang kuat. 6,11
Gambar 1. Pola very high reflectivity (sumber : MetEd, 2011)
Pola three body scatter spike (Gambar 5) merupakan pola reflektivitas rendah yang berbentuk seperti paku tepat disamping inti sel konvektif pada lapisan tengah yang disebabkan oleh atenuasi partikel es.13 Pola three body scatter spike (Gambar 5) merupakan pola reflektivitas rendah yang berbentuk seperti paku tepat disamping inti sel konvektif pada lapisan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 2
tengah yang disebabkan oleh atenuasi partikel es.3,4,6
Gambar 2. Pola weak echo region (sumber : Meted, 2011)
Gambar 3. Pola tight low level gradien (sumber : MetEd, 2011)
Low level divergence (Gambar 6) merupakan pola radial velocity yang menunjukkan adanya divergensi di lapisan bawah. Divergensi di lapisan bawah menunjukkan terjadi downdraft yang sangat kuat. Pada saat kejadian hujan es, aspek downdraft sangat diperhatikan. Selain sistem konvektif yang kuat, dorongan downdraft terhadap partikel es akan memperbesar kemungkinan partikel tersebut mencapai permukaan.15 Identifikasi dilakukan pada kejadian hujan es tanggal 22 April 2014 di Jakarta dan 16 Desember 2010 di Denpasar. Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi kejadian hujan es menggunakan radar cuaca doppler. Diharapkan dengan mengetahui pola-pola reflektivitas dan radial velocity tertentu yang muncul, peringatan dini dapat segera dibuat dan didiseminasikan dengan cepat, tepat, dan akurat guna menghindari potensi-potensi kerusakan akibat hujan es.
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
METODOLOGI Lokasi dan Data
Gambar 4. Pola tight low level gradient crosssection (sumber : MetEd, 2011)
Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah Jakarta, khususnya di wilayah Kebon Jeruk, Kembangan, Kedoya, Kemanggisan dan Karawaci yang merupakan tempat jatuhnya hailstone pada saat kejadian hujan es 22 April 2014. Sedangkan pada saat kejadian hujan es tanggal 16 Desember 2010 lokasi penelitian terdapat di daerah Denpasar, khususnya Kecamatan Denpasar Barat. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data radar cuaca volumetrik yang kemudian diolah menjadi data reflektivitas dan data kecepatan radial radar cuaca EEC di Tangerang tanggal 22 April 2014 dan data radar cuaca EEC di Denpasar tanggal 16 Desember 2014. Pengolahan Data Analisis pola reflektivitas dan radial velocity dilakukan dengan mengamati dan menginterpretasi citra radar sebelum kejadian dan pada saat kejadian. Pola-pola yang mengindikasikan sistem konvektif kuat diinterpretasikan sebagai penyebab kejadian hujan es. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Pola Reflectivity dan Radial Velocity Kejadian Hujan Es Jakarta 22 April 2014 Hujan es tanggal 22 April 2014 di Jakarta terjadi pada pukul 09.00UTC hingga 09.10UTC di Jakarta Barat. Pada pukul 07.20 UTC di koordinat 6,2°LS 106,8°BT atau sekitar Jakarta Timur terdeteksi sistem konvektif dengan nilai reflektivitas mencapai 57dBZ pada sel A dan 55 dbZ pada sel B yang terletak di selatan sel A (Gambar 7).
Gambar 5. Pola three body scatter spike (sumber : MetEd, 2011)
Gambar 7. Produk CMAX (Z) pukul 07.20 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Gambar 6. Pola low level divergent (sumber : apliksi Edge 5.0) Prosiding SNSA 2015 – Halaman 3
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
Gambar 8 (a) Produk PPI (Z) sweep 1 pukul 07.20 UTC, (b) Produk PPI(Z) sweep 2 pukul 07.20 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0. (c) Crossection PPI(Z) sweep 2 pukul 07.20 UTC yang menunjukkan pola WER.
Hasil analisa pada sel awan A terdeteksi pola reflektivitas weak echo region (WER) melalui produk PPI(Z) sweep 1 dan sweep 2 dan PPI(Z) crosssection. Weak echo region merupakan daerah dengan echo reflektivitas rendah dan tepat diatasnya dikelilingi oleh echo dengan reflektivitas tinggi. Pada titik REF dalam posisi sweep 2 terdeteksi reflektivitas senilai 53-55 dBz dan sweep 1 senilai 18 – 20 dBz (Gambar 8). Hasil identifikasi sel B terdeteksi pola tight low level gradient (TLLG) melalui produk CMAX(Z) dan CMAX(Z) crosssection (Gambar 9). Tight low level gradient merupakan reflektivitas dengan gradien yang tajam pada lapisan bawah (Gambar 9). Pola weak echo region dan tight low level gradient merupakan indikasi updraft kuat dan daerah inflow. Updraft kuat yang ditandai oleh pola weak echo region dan tight low level gradient akan membawa masa uap air ke atas dan menyebabkan pertumbuhan awan dan sistem konvektif yang signifikan. Deteksi kedua pola tersebut menunjukkan inisiasi sistem konvektif terjadi pada pukul 07.20 UTC. Pengamatan time series pada Gambar 10 menunjukkan arah pergerakan sel B ke utara dan bergabung dengan sel A, serta sistem konvektif menguat hingga pukul 08.20 UTC. Dari nilai reflektivitas rendah yang terdeteksi, terlihat anvil condong ke arah selatan-barat daya. Pada lapisan permukaan luas cakupan awan mencapai lebih dari 50 km dengan ketinggian dibawah 1 km. Pukul 09.00 UTC terdeteksi nilai reflektivitas mencapai 63 dBZ melalui produk CMAX(Z) dan CMAX(Z) crosssection pada ketinggian dibawah 1 km yang menjadi indikasi keberadaan hailstone (Gambar 10e). Hailstone terdeteksi pada ketinggian di bawah 1 km akibat dominasi downdraft kuat dari lapisan atas hingga ketinggian 2 km (Gambar 11). Profil angin vertikal diamati melalui produk VVP(V) dan menunjukkan dominasi downdraft dari lapisan 10 km hingga 2 km, nilai maksimum pada ketinggian 6 km mencapai 11 m/s, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 4
sedangkan lapisan 2 km – 3 km mempunyai nilai dengan rentang 5,6 m/s – 9,3 m/s. Pukul 09.10 UTC profil angin vertikal masih didominasi downdraft hingga ketinggian 2 km, dan nilai maksimum meningkat hingga 23 m/s pada ketinggian 6 km. Downdraft kuat akan mendorong hailstone hingga ke permukaan (Gambar 11). Pola three body scatter spike tidak terdeteksi pada kejadian hujan es di Jakarta tanggal 22 April 2014. Hujan es hanya terdeteksi melalui nilai reflektivitas yang sangat tinggi dan profil angin yang menunjukkan adanya dominasi downdraft dengan intensitas kuat.
Gambar 9 (a) Produk CMAX(Z) pukul 07.20 UTC (b) Produk CMAX(Z) crosssection pukul 07.20 UTC. (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Gambar 10. (a) Produl CMAX (Z) pukul 07.20 UTC, (b) Produk CMAX(Z) pukul 08.00 UTC, (c) Produk CMAX(Z) pukul 08.20 UTC, (d) Produk CMAX(Z) pukul 09.00 UTC, (e) Produk CMAX(Z) crosssection pukul 09.00 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
Gambar 13 (a) Produk PPI(Z) sweep 1 pukul 07.20 UTC, (b) Produk PPI(Z) sweep 1 pukul 07.20 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Gambar 11. (a) Produk VVP (V) pukul 09.00 UTC (b) Produk VVP(V) pukul 09.10 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Pola reflektivitas weak echo region terdeteksi pada pukul 07.20 UTC. Pada PPI(Z) sweep 1 di titik REF terdeteksi reflektivitas 18-23 dBz sedangkan pada PPI(Z) sweep 2 terdeteksi 58-63 dBz. Pola weak echo region menunjukkan aktivitas konvektif yang semakin menguat. (Gambar 13).
Analisa Pola Reflectivity dan Radial Velocity Kejadian Hujan Es Denpasar 16 Desember 2010 Laporan dari media, hujan es terjadi pada pukul 07.40 UTC. Pengamatan time series pada Gambar 4.2.1 menunjukkan sistem konvektif terinisiasi pukul 07.10 UTC dengan nilai reflektivitas sebesar 66 dBz pada koordinat 8,5814 LS; 1151554 BT. Pada pukul 07.20 UTC hingga 07.30 UTC nilai reflektivitas semakin meningkat secara signifikan. Nilai reflektivitas tertinggi terdeteksi pada pukul 07.40 UTC senilai 72,5 dBz. Produk CMAX(Z) crosssection menunjukkan pada ketinggian 400 meter terdapat echo senilai 65 dBz, sedangkan echo 70 - 72,5 dBz terdeteksi pada ketinggian 1,9 km. Nilai tersebut menjadi indikasi kejadian hujan es (Gambar 12).
Gambar 14 : (a) Produk PPI(V) sweep 1 pukul 07.40 UTC (Sumber : Aplikasi Edge 5.0)
Profil angin horizontal menunjukkan pola low level divergence terdeteksi pada pukul 07.40 UTC melalui produk PPI(V) sweep 1. Terlihat pola inbound dengan nilai maksimum 18,2 m/s dan pola outbound dengan nilai maksimum 5,6 m/s. Divergensi di lapisan bawah tersebut menunjukkan kejadian microburst yang sangat kuat dan mendorong hailstone hingga permukaan (Gambar 14). Sedangkan pola three body scatter spike tidak terdeteksi pada kejadian hujan es di Denpasar tanggal 16 Desember 2014. Hujan es hanya terdeteksi melalui nilai reflektivitas yang sangat tinggi dan profil angin yang menunjukkan adanya dominasi downdraft dengan intensitas kuat.
Gambar 12. a) Produk CMAX(Z) pukul 07.10 UTC, (b) Produk CMAX(Z) pukul 07.20 UTC, (c) Produk CMAX(Z) pukul 07.30 UTC, (d) Produk CMAX(Z) pukul 07.40 UTC, (e) Produk Crossection (Z) dari CMAX(Z) 07.40 UTC
KESIMPULAN Hujan es di Jakarta tanggal 22 April 2014 terdeteksi pukul 09.00 UTC ditandai dengan reflektivitas 63 dBZ. Kejadian tersebut diawali dengan sistem konvektif kuat pada pukul 07.20 – 08.30 UTC yang ditandai dengan pola weak echo Prosiding SNSA 2015 – Halaman 5
Abdullah Ali dan Richard Mahendra Putra
region dan tight low level gradient. Profil angin vertikal didominasi downdraft hingga ketinggian 2 km pada pukul 09.00 – 09.10 UTC dengan nilai maksimal 23m/s. Downdraft kuat terdeteksi pada pukul 09.00-09.10 mencapai 23 m/s. Sedangkan pada kejadian hujan es di Denpasar sistem konvektif mulai terlihat pada pukul 07.10 UTC dengan reflektivitas 66 dBz. Sistem konvektif menguat hingga hingga pukul 07.30 UTC ditandai dengan pola weak echo region pada pukul 07.20 UTC. Hujan es terjadi pada pukul 07.40 UTC ditandai dengan reflektivitas 72,5 dBz dan pola low level divergence yang sangat kuat dengan nilai maksimal 18,2 m/s. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Eko Wardoyo yang telah banyak memberi arahan dan masukan pada penulisan ini. Kepada seluruh rekan-rekan dan dosen di lingkungan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang telah memberi dukungan dan semangat pada penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Fadholi, Akhmad. 2012. Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es ( HAIL). Simetri: Jurnal Ilmu Fisika Indonesia Vol 1 No 2D 2 Tjasyono, B.H.K. 2007, Mikrofisika Awan dan Hujan: Hal 150. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika. 3 Rogers, R.R. Yau, M.K. 2006. A Short Course in Cloud Physiscs (Third Edition). Burlington: Elsevier Science 4 Nelson, S and Wiit, A. 1991. The Use of Single Doppler Radar for Estimating Maximum Hailstone Size. J. Meteor,30,402-431 5 Tjasyono, B.H.K. 2004, Klimatologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung 6 Rinehard, Ronald E. 2010. Radar for Meteorologist fifth Edition: Hal 146-160. Nevada Missouri. 7 Sauvageot, Henri. 1991. Radar Meteorology. London : Artech House 8 Wardoyo, Eko. 2012. Pengantar II Modul Radar Cuaca. Jakarta: BMKG. 9 Meted. 2011. Radar Signature for Severe Convective Weather. United States: COMET 10 Wardoyo, Eko. 2012. Pengantar IV Modul Radar Cuaca. Jakarta: BMKG. 11 Holleman, Iwan. 2001. Hail Detection Using Single Polarization Radar. Netherland:KNMI 12 Setiawati, Kadek. 2014. Analisa Kejadian Hujan Es dengan Menggunakan Citra Radar Prosiding SNSA 2015 – Halaman 6
Gemma Tronik (studi kasus hujan es Narmada tanggal 8 Januari 2014). Prosiding Workshop Operasional Radar dan Satelit Cuaca. Jakarta : BMKG. 13 Lemon, Leslie R. 1997. The Radar “ThreeBody Scatter Spike” an Operational Large Hail Signature. 14 Tjasyono, B.H.K. 2008, Meteorologi Terapan: Hal 119-120. Bandung: Institut Teknologi Bandung 15 Wardoyo, Eko. 2012. Pengantar III Modul Radar Cuaca. Jakarta: BMKG
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
ANALISIS KONSENTRASI PARTICULATE MATTER 10 (PM 10 ) SAAT TERJADI KABUT ASAP DI PALEMBANG (STUDI KASUS 26 SEPTEMBER 2014) PARTICULATE MATTER 10 (PM 10 ) CONCENTRATION ANALYSIS DURING SMOG DISASTER IN PALEMBANG (CASE STUDY SEPTEMBER 26TH 2014) Adyaksa Budi Raharja* dan Dyni Frina Meisda Stasiun Klimatologi Klas I Kenten Palembang, Jl. Residen H. Amalauddin, Kenten, Sako-Palembang, 30164* Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jalan Perhubungan I No. 5, Pondok betung, Bintaro, Tangerang Selatan, 15221 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Palembang experiences smog disaster for almost every year, especially during the dry season. Therefore, this study will discuss about the smog disaster happened in Palembang on September 26th, 2014 which led the Sultan Mahmud Badaruddin Palembang Airport to be closed. The data used in this study are PM 10 concentration data, hotspot data from BMKG, weather data such as visibility, velocity and direction of wind from Kenten Climatological Station and Sultan Mahmud Badaruddin II Meteorological Station on 25-26th September 2014, as well as weekly meteorological data from Global Data Assimilation System (GDAS) for 4th week of September obtained from Air Research Laboratory (ARL) NOAA. Methods used in this study includes: analysis and mapping hotspots distribution, smog trajectory analysis using HYSPLIT model, PM 10 concentration analysis, windrose analysis and analysis of weather conditions such as visibility in Palembang. The result showed that smogs disaster in Palembang on September 26th 2014 was caused by peat land or forest fires that occurred in the Ogan Komering Ilir district. It is indicated by the smog trajectory in the HYSPLIT model. The smogs had the PM 10 concentration beyond the safety line for human’s health and had caused low horizontal visibility in Palembang. Keywords: hotspot, hysplit, PM 10, smog, trajectory, visibility. ABSTRAK Kota Palembang hampir setiap tahun mengalami bencana kabut asap, terutama pada musim kemarau, maka pada penelitian ini akan dibahas mengenai kabut asap yang terjadi di Palembang tanggal 26 September 2014 yang menyebabkan ditutupnya bandara di Palembang. Data yang digunakan adalah data konsentrasi PM 10 tanggal 1-26 September 2014, data hotspot dari BMKG, data visibility, arah dan kecepatan angin dari Stasiun Meteorologi dan Stasiun Klimatologi Palembang tanggal 25 dan 26 September 2014, serta data meteorologi mingguan (minggu ke empat) dari GDAS resolusi 1o yang diperoleh dari Air Research Laboratory NOAA. Metode yang digunakan meliputi : analisis dan pemetaan sebaran hotspot, running trajectory asap menggunakan model HYSPLIT, analisis konsentrasi PM 10 , analisis angin menggunakan windrose dan analisis kondisi cuaca (visibility) di Palembang. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa kabut asap yang menyelimuti kota Palembang pada tanggal 26 September 2014 disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kab. Ogan Komering Ilir yang ditunjukkan oleh trajectory asap pada model HYSPLIT. Kabut asap tersebut memiliki konsentrasi PM 10 yang jauh melebihi ambang batas yang aman bagi kesehatan dan termasuk dalam kategori berbahaya, serta menyebabkan rendahnya jarak pandang mendatar (visibility) di Palembang. Kata kunci: hotspot, hysplit, kabut asap, PM 10 , trajectory, visibilitas.
PENDAHULUAN Provinsi Sumatera Selatan dalam skala nasional termasuk salah satu daerah yang sangat rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan. Hampir dapat dipastikan terjadi kebakaran yang sangat parah pada setiap tahun-tahun kritis kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Indonesia.1 Pada musim kemarau panjang, bencana kebakaran lahan dan
hutan menjadi berita besar. Hal ini dikarenakan asap yang ditimbulkan oleh kebakaran tersebut tidak hanya mengganggu transportasi darat dan udara, tetapi juga mengganggu kesehatan masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi bencana kebakaran, bahkan ke negara tetangga.2 Beberapa media lokal maupun nasional banyak memberitakan kabut asap yang terjadi di Prosiding SNSA 2015 – Halaman 7
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
Sumatera Selatan, termasuk kota Palembang (Sumatera Selatan). Tribunnews.com (26 September 2014) memberitakan bahwa bencana kabut asap yang dialami kota Palembang pada tanggal 26 September 2014 sudah di atas ambang batas. Bencana tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada mata dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Ketebalan kabut asap di Palembang ternyata disumbangkan dari 50 titik api (hotspot) di berbagai kabupaten di Sumsel. Banyaknya kebakaran hutan tersebut membuat jarak pandang hanya berkisar 40 meter (Liputan6.com, 16 September 2014). Bahkan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumatera Selatan sempat ditutup pada tanggal 26 September 2014. Penutupan bandara tersebut disinyalir dampak dari jarak pandang yang diakibatkan kabut asap yang sangat pekat di kota Palembang dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan terdapat sedikitnya 79 titik api yang tersebar di Sumatera Selatan (Liputan6.com, 26 September 2014). Berdasarkan latar belakang tersebut sangat perlu dilakukan analisis terhadap konsentrasi udara ambien untuk parameter PM 10 pada saat terjadi kabut asap di Palembang. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi PM 10 pada saat terjadi kabut asap di Palembang, mengetahui dampak kabut asap tersebut bagi lingkungan dan manusia, mengetahui sumber dan arah penjalaran kabut asap serta pengaruhnya terhadap visibility di Palembang sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam melakukan antisipasi terhadap bencana kabut asap yang setiap tahun terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Kabut Asap dan Kebakaran Hutan Pencemaran kabut asap merupakan masalah utama yang terkait dengan kebakaran. Masalah ini menarik perhatian negara-negara tetangga dan melalui tekanan yang negara-negara jiran berikan, menarik perhatian pemerintah Indonesia. Ada beberapa peristiwa pencemaran kabut asap yang melintasi batas negara selama dua dekade terakhir dan yang terpenting adalah peristiwa yang terkait dengan kebakaran hutan terbesar tahun 1997.3 Menurut BAPPENAS (1999) dalam Tacconi (2003) bahwa kebakaran hutan gambut merupakan penyumbang pencemaran kabut asap yang terbesar di Indonesia. Tahun 1997/1998, kebakaran hutan gambut mungkin menghasilkan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 8
60-90% emisi yang menyebabkan kabut asap. Kebakaran hutan ini juga merupakan sumber utama emisi karbondioksida.3 Kajian yang lebih khusus oleh Forest Fire Prevention and Control Project (FFPCP) tahun 2001, bahwa kebakaran tidak terkendali dengan banyak asap yang terjadi pada tahun 1997, pada waktu El Niño, bertahan lebih dari satu bulan sehingga hutan rawa gambut yang tersisa di Kabupaten Ogan Komering Ilir semuanya rusak pada tahun 1997. Kebakaran gambut ini menyebabkan adanya polusi asap di Palembang selama bulan September dan November.4 Selama tahun-tahun di luar masa ENSO, pembukaan lahan gambut untuk perkebunan tampaknya merupakan sumber utama kabut asap.5 Glover dalam Wahyuni (2011) menambahkan bahwa pembakaran hutan dan lahan dengan cara membakar dan penebangan liar dapat menghasilkan kabut asap dan zat berbahaya, seperti PM 10 , CO, NO x dan SO 2 . Zat ini berbahaya dan mengganggu kesehatan manusia antara lain memicu ISPA, asma, iritasi kulit, iritasi mata dan paru-paru.6 Pencemaran kabut asap dan emisi karbon terutama disebabkan oleh kebakaran hutan yang disengaja dan rambatan api dari kawasan lahan gambut.3 Model Hysplit Model HYSPLIT_4 (Hybrid Single-Particle Lagrangian Integrated Trajectory) merupakan sebuah sistem yang lengkap untuk menghitung simulasi gerak trayektori, dispersi dan deposisi dengan menggunakan pendekatan gerak partikel atau hembusan. Model ini dilengkapi oleh beberapa modul struktur yang terdiri dari program utama untuk setiap aplikasi primer seperti trayektori dan konsentrasi udara.7,8 Model ini menggunakan masukan data meteorologi untuk pergerakan lintasan dan konsentrasi polutan. Data meteorologi yang dibutuhkan untuk perhitungan, dapat diambil melalui data arsip yang telah tersedia atau dari model luaran prakiraan yang sudah diformat ke dalam HYSPLIT.9 Aplikasi HYSPLIT meliputi tracking dan forecasting pelepasan bahan polutan, lintasan polutan di udara, abu vulkanik, dan asap kebakaran hutan dan lahan. Model ini secara operasional digunakan oleh NOAA melalui lembaga seperti NCEP dan NWS.10 NOAA menggunakan model HYSPLIT untuk aplikasi penelitian dan juga sebagai respon atas kejadian darurat yang membutuhkan model lintasan dan dispersi dari polutan berbahaya yang terlepas ke
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
atmosfer.11 Di Indonesia, BMKG sebagai penyedia informasi kualitas udara juga telah mengaplikasikan model HYSPLIT ini untuk mendukung penyedian informasi kualitas udara terutama berkaitan dengan informasi lintasan/trajectory asap kebakaran hutan dan lahan, serta penyebaran debu vulkanik akibat letusan gunung berapi.
tingkat kepercayaan (confidence) > 80%, serta data meteorologi dari GDAS (Global Data Assimilation System) tanggal 21-27 September 2014 (minggu ke-4) dengan resolusi 1o yang digunakan sebagai input model HYSPLIT. Data GDAS tersebut diperoleh dari http://www.ready.noaa.gov/ ready2bin/extract/extracta.pl.
PM 10 Particulate Matter (PM) atmosfer secara umum didefinisikan sebagai campuran partikel padat maupun cair yang terdapat di udara. PM atmosfer dihasilkan dari berbagai macam sumber yang mempengaruhi ukuran fisisnya (ukuran, luas permukaan, densitas), komposisi kimia, dan distribusi ukuran.12 Menurut Koren dalam Lindawaty (2010), PM 10 adalah partikulat padat dan cair yang melayang di udara dengan nilai media ukuran diameter aerodinamik 10 mikron.13 Pengukuran PM 10 di Palembang, dilakukan dengan menggunakan alat PM 10 Monitor Thermo Scientific 5014i. Alat tersebut mampu mengukur dan memonitor konsentrasi ambien aerosol PM 10 di atmosfer dengan akurat setiap menit secara real time. Pengukuran didasarkan pada prinsipprinsip hamburan cahaya aerosol (nephelometer) dan redaman beta untuk mengukur secara tepat dan akurat konsentrasi ambien dari aerosol di udara.14 Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, baku mutu udara ambien nasional untuk PM 10 adalah 150 μg/m3 per hari. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara.15 METODOLOGI Lokasi dan Data Data yang digunakan pada penelitian ini antara lain data pengamatan PM 10 tiap jam mulai tanggal 1 s.d. 26 September 2014 yang diukur dari peralatan PM 10 Monitor Thermo Scientific 5014i , data pengukuran arah dan kecepatan angin dari AWS dan data pengamatan visibility pada tanggal 26 September 2014 yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kenten Palembang, data visibility, arah dan kecepatan angin di Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, data hotspot dari satelit Terra-Aqua yang diperoleh dari Sub Bidang Citra Satelit BMKG tanggal 24-27 September 2014 yang dipilih berdasarkan tingkat kepercayaannya dimana data hotspot yang digunakan memiliki
Gambar 1: Alat Pengukur PM 10 Klimatologi Klas I Kenten Palembang.
di
Stasiun
Metode Metode yang digunakan pada penelitian ini secara umum terbagi menjadi 6 (empat) tahap, meliputi : pengumpulan data dan bahan pendukung, pemetaan sebaran hotspot tanggal 24-27 September 2014 menggunakan software Arc GIS 9.3, running model HYSPLIT dengan mengasumsikan data hotspot sebagai sumber kebakaran hutan/lahan, analisis konsentrasi PM 10 , analisis arah dan kecepatan angin menggunakan software windrose, serta analisis kondisi cuaca di kota Palembang terutama parameter jarak pandang mendatar (visibility) pada saat terjadi kabut asap. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh dari satelit Terra-Aqua yang diperoleh dari BMKG dengan tingkat kepercayaan > 80 %, jumlah hotspot di Sumatera Selatan sejak tanggal 25-27 September 2014 berkisar antara 17-96 titik. Jumlah hotspot terbanyak terjadi pada tanggal 26 September 2014, yaitu sebanyak 96 titik yang tersebar di beberapa kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, dengan komposisi terbanyak terdapat di Kab. Ogan Komering Ilir: 69 titik, Kab. OKU Selatan: 8 titik, Kab. Ogan Komering Ulu: 7 titik, sisanya terdapat di Kab. Musi Rawas, Kab. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 9
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
Empat Lawang, Kab. Lahat dan Kab. Banyuasin masing-masing 1-4 titik. Hasil pemetaan sebaran hotspot di Prov. Sumatera Selatan tanggal 25 dan 26 September 2014 dapat dilihat pada pada Gambar 2. Man dan Shih (2001) mengidentifikasi sumber dari aerosol PM 10 dengan menggunakan metode analisis lintasan/trajectory angin yang dapat membantu dalam menentukan sumber dari polusi udara dengan menelusuri lintasan/pergerakan massa udara16. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis trajectory dengan bantuan model HYSPLIT untuk menentukan sumber kabut asap yang terjadi di Palembang. Hasil analisis trajectory menggunakan model HYSPLIT dengan asumsi lokasi hotspot sebagai sumber kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa sumber kabut asap yang melanda kota Palembang pada tanggal 26 September 2014 berasal dari kebakaran hutan/lahan gambut yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3, dimana lintasan/trajectory asap berasal dari arah Timur/Tenggara kota Palembang kemudian bergerak ke arah baratbarat laut melewati Kota Palembang, kemudian sebagian berbelok ke arah barat laut-utara.
b.
Gambar 2: Peta Sebaran Hotspot di Prov. Sumatera Selatan (a. 25 September 2014; b. 26 September 2014)
a.
a.
b.
Gambar 3. Lintasan / Trajectory Kabut Asap Hasil running Model HYSPLIT_4 (a. 25 September 2014, b. 26 September 2014) Prosiding SNSA 2015 – Halaman 10
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
2016, konsentrasi PM 10 melebihi ambang batas 150 μg/m3 hampir sepanjang jam pengukuran mulai pukul 00:00 sampai dengan pukul 18:00, dapat dilihat pada Gambar 5 b.
NORTH
a.
30%
24%
18%
12%
a.
6% WEST
EAST
WIND SPEED (Knots) >= 17 14 - 17 11 - 14 9 - 11 6-9 4-6 2-4 1-2 0-1
SOUTH
Calms: 0.00%
b.
Wind Class Frequency Distribution
45
b.
40 37.5 35 29.2
30 25.0
25 % 20 15 10
8.3 Calms
0-1
1-2
2-4
4-6 6-9 Wind Class (Knots)
9 - 11
11 - 14
14 - 17
>= 17
Gambar 4: Analisis Arah dan Kecepatan Angin menggunakan Software Windrose (a. Windrose b. Frekuensi)
Berdasarkan hasil analisis angin dengan menggunakan software windrose dapat dilihat bahwa arah angin di Palembang pada tanggal 26 September 2014 bervariasi antara Timur Laut sampai dengan Selatan dengan arah dominan berasal dari Tenggara dengan kecepatan berkisar antara 1-6 Knot . Hal ini memperkuat hasil dari analisis trajectory yang menyatakan bahwa kabut asap di Kota Palembang bersumber dari Kab. Ogan Komering Ilir yang lokasinya berada pada arah Timur-Tenggara Kota Palembang. Di bawah ini adalah grafik konsentrasi PM 10 yang terukur dari alat PM 10 Monitor Thermo Scientific 5014i yang terpasang di Stasiun Klimatologi Kenten Palembang. Hasil analisis konsentrasi PM 10 di Palembang sejak tanggal 1-26 September 2014 berfluktuasi pada kisaran 40-650 μg/m3 pada pagi hingga sore hari dan turun pada kisaran 0-300 μg/m3 pada malam hingga dini hari. Puncak konsentrasi maksimum 646.9 μg/m3 terjadi pada pukul 11:00 tanggal 26 September 2014. Selama periode pengukuran tanggal 1-25 September 2014, konsentrasi PM 10 secara umum di atas ambang batas 150 μg/m3 mulai pukul 8:00 sampai dengan 16:00. Akan tetapi, pada tanggal 26 September
Gambar 5: Konsentrasi PM 10 di Palembang (a. Time Series b. Harian)
Gambar 6: Jarak Pandang Mendatar (visibility) di Palembang Tanggal 26 September 2014
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 11
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda
Pengamatan kondisi cuaca di Palembang, yaitu di Stasiun Klimatologi Kenten dan Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang, untuk parameter jarak pandang mendatar (visibility) dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, dapat dijelaskan bahwa kejadian kabut asap di Palembang berpengaruh terhadap keadaan cuaca. Utamanya pada parameter visibility, terlihat jelas bahwa jarak pandang mendatar (visibility) cukup rendah baik Staklim Kenten maupun di Stamet Palembang. Bahkan di Staklim Kenten, visibility kurang dari 1 km pada pagi hari hingga pukul 14.00 WIB. Hal ini dikarenakan adanya kabut asap yang cukup pekat. Yang menarik adalah, ternyata jika dikaitkan dengan konsentrasi PM 10 , rendahnya visibility di Palembang sejalan dengan tingginya konsentrasi PM 10 . Hal ini terlihat pada Gambar 6, dimana pada pukul 16.00 WIB saat konsentrasi PM 10 mulai turun, visibilty di Stamet Palembang dan Staklim Kenten Palembang juga mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan penelitian Chanand Yao (2008) dalam Goyal, dkk (2008) yang mengatakan bahwa polusi udara merupakan penyebab utama terjadinya degradasi visibility. Selain itu, Chanetal (1997) dan Christoforou, dkk (2000) dalam Goyal (2008) juga berpendapat bahwa aerosol ambient memainkan peran yang dominan dalam penurunan visibility di atmosfer.17 KESIMPULAN Kabut asap yang menyelimuti kota Palembang pada tanggal 26 September 2014 disebabkan oleh kebakaran hutan/lahan gambut yang terjadi di Kab. Ogan Komering Ilir yang ditunjukkan oleh trajectory asap pada model HYSPLIT dan diperkuat dengan analisis angin dimana arah dominan angin berasal dari arah Timur-Tenggara sesuai dengan lokasi Kab. Ogan Komering Ilir yang berada pada arah Timur-Tenggara kota Palembang. Kabut asap tersebut memiliki konsentrasi PM 10 yang jauh melebihi ambang batas yang aman bagi kesehatan dan termasuk dalam kategori berbahaya, serta menyebabkan rendahnya jarak pandang mendatar (visibility) di kota Palembang. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sub Bidang Citra Satelit BMKG, Stasiun Klimatologi Kelas I Kenten Palembang dan Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang atas ketersediaannya memberikan data kepada penulis sehingga makalah ini dapat Prosiding SNSA 2015 – Halaman 12
diselesaikan. Tak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Air Research Laboratoy (ARL) NOAA atas ketersediaan data GDAS dan software HYSPLIT_4 yang penulis gunakan dalam menyusun makalah ini. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada saudara Yudi Riamon atas sumbangan saran dan masukannya serta diskusi yang bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA 1
Hasanuddin, 2004. Perspektif Pemerintah terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan dengan Kehidupan Masyarakat di Areal Rawa/Gambut. Prosiding Semiloka. Center for International Forestry Research, Bogor. 2 Indrajaja, Denny D., 2010. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jakarta. 3 Tacconi, Luca, 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR) Occasional No. 38(i). CIFOR, Bogor. 4 Forest Fire Prevention and Control Project (FFPCP), 2001. Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan Di Sumatera Selatan: Tanggung Jawab Kita Bersama. Proceedings Land and Forest Fire Workshoop South Sumatera, FFCP, Palembang. 5 Sargeant, H.J., 2001. Vegetation Fires in Sumatra Indonesia. Oil Palm Agriculture in the Wetlands of Sumatra: Destruction or Development?. Forest Fire Prevention and Control Project; European Union, Departemen Kehutanan, Palembang. 6 Wahyuni, Dwi, 2011. Permasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan Indonesia dan Malaysia. Skripsi. Prodi Hubungan Internasional. UIN, Jakarta. 7 Draxler, R.R. dan G.D. Hes, 1998. An Overview of the HYSPLIT_4 Modelling System for Trajectories, Dispersion, and Deposition, Revised 1998. Australian Meteorological Magazine, Australian Bureau of Meteorology, Melbourne, Australia. 8 Draxler, R.R. dan G.D. Hes, 2014. Description Of The HYSLPIT_4 Modelling System, Revised 2014. NOAA Air Research Laboratory, Silver Spring, Maryland. 9 BMKG, 2012. Panduan Penggunaan Model HYSPLIT_4. Kegiatan Penguatan Kapasitas Operasional Kualitas Udara 2012, Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Jakarta
Adyaksa Budi Raharja dan Dyni Frina Meisda 10
Heriyanto, Eko dan Wido Hanggoro, 2014. Perbandingan Luaran WRF-EMS Dan GDAS Untuk Simulasi Sebaran Asap Kebakaran Hutan Menggunakan Model HYSPLIT. Prosiding Seminar Sains Atmosfer 2014, LAPAN, Bandung. 11 NOAA. 2013. HYSPLIT Summary Handout, http://www.arl.noaa.gov/HYSPLIT_info.php diakses tanggal 28 Maret 2015 12 Perrino, Cinzia, 2010. Atmospheric Particulate Matter. Proceedings of a C.I.S.B. Minisymposium. C.N.R. Institute of Atmospheric Pollution, Roma, Italia. 13 Lindawaty, 2010. Partikulat (PM 10 ) Udara Rumah Tinggal Yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita (Penelitian Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2009-2010). Tesis Prodi Magister Kesehatan masyarakat. Universitas Indonesia, Depok. 14 Thermo Fisher Saintific, Inc., 2013. Model 5030 SHARP Monitor Instruction Manual, Thermo Fisher Scientific, Inc, 27 Forge Parkway, Franklin. 15 Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Lembaran Negara RI No 41, Jakarta : Sekretariat Negara. 16 Man, C.K. and Shih, M. Y. (2001). Identification of sources of PM10 aerosols in Hong Kong by wind trajectory analysis. Aerosol Science, 3, 1213-1223. 17 Goyal, P., Sumer Budhiraja, Anikender Kumar, 2014. Impact of Air Pollutants on Atmospheric Visibility in Delhi. International Journal of Geology, Agriculture and Environmental Sciences Vol 2 : 11-16. http://www.ready.noaa.gov/ready2bin/extract/extracta.pl diakses tanggal 24 Maret 2015 http://www.tribunnews.com/regional/2014/09/26/ kabut-asap-di-palembang-makin-pekat diakses tanggal 24 Maret 2015 http://news.liputan6.com/read/2106214/50-titikapi-sumbang-kabut-asap-tebal-di-palembang diakses tanggal 24 Maret 2015 http://news.liputan6.com/read/2110577/kabutasap-pekat-selimuti-bandara-palembang-takada-penerbangan diakses tanggal 24 Maret 2015
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 13
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
ANALISIS KLASTER KANDUNGAN KIMIA AIR HUJAN DI SEBAGIAN WILAYAH INDONESIA CLUSTER ANALYSIS CHEMICAL CONTENT OF RAIN WATER IN SOME AREAS IN INDONESIA Ai Citraningsih* dan Waluyo Eko Cahyono Alumni Departemen Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran* Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl Djunjunan No.133 Bandung 40173 Pos-el :
[email protected]
ABSTRACT One of the sources air pollutant are motor vehicles. Type of pollutant gases originating from motor vehicles which are sulphate (SO 4 ) and nitrate (NO 3 ). Both types of these gases can chemically react with air to produce acid rain. In this research, we grouping observation stations through k-means cluster analysis based on Euclidean distance. The grouping is expected to be an evaluation, a group which areas require special attention because it has the characteristics of a water content of rain mainly sulphate and nitrate are high. Based on the results of analysis, we can be concluded that 21 observation stations can be grouped into four clusters. The cluster which has an average of the most high chemical content is the second cluster whose members four stations, in which these areas can be categorized as area (province) that have a high number of vehicles. Keywords: air pollution, motor vehicles, acid rain, sulphate, nitrate, k-means clustering.
ABSTRAK Salah satu sumber pencemar udara adalah kendaraan bermotor. Jenis gas pencemar yang bersumber dari kendaraan bermotor diantaranya adalah sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ). Kedua jenis gas tersebut dapat bereaksi secara kimia dengan udara sehingga menghasilkan hujan asam. Pada penelitian ini dilakukan pengelompokan stasiun pengamatan melalui analisis klaster k-means berdasarkan jarak Euclidean. Pengelompokkan tersebut diharapkan dapat menjadi evaluasi, kelompok daerah mana yang memerlukan perhatian khusus karena memiliki karakteristik kandungan air hujan terutama sulfat dan nitrat yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa 21 stasiun pengamatan dapat dikelompokkan menjadi empat klaster. Klaster yang memiliki rata-rata kandungan kimia yang paling tinggi adalah klaster 2 yang beranggotakan 4 stasiun, dimana wilayah-wilayah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah (provinsi) yang memiliki jumlah kendaraan bermotor yang tinggi. Kata Kunci: pencemaran udara, kendaraan bermotor, hujan asam, sulfat, nitrat, klaster k-means.
PENDAHULUAN Udara merupakan sumber daya alam yang sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup di Bumi, sehingga udara perlu dipelihara, dijaga, dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara.1 Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi, dan/atau komponen lain (emisi) ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada di dalam wilayah yuridiksi Prosiding SNSA 2015 – Halaman 14
Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya. Salah satu sumber emisi adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor. Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini ditunjukkan pada Gambar 1 dimana terdapat peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang cukup signifikan terutama setelah tahun 2000. Gas buang kendaraan bermotor mengandung berbagai zat berbahaya, diantaranya karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NO x ), sulfur dioksida (SO x ), dan partikulat (PM 10 ).2 Kandungan gas buang tersebut dapat merugikan kehidupan manusia,
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
diantaranya adalah gas sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ) di atmosfer jika bereaksi secara kimia dengan kelembaban udara akan menghasilkan hujan asam.3
Gambar 1. Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia (Sumber: Badan Pusat Statistik, http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1413)
Hujan asam merupakan satu dari masalah paling serius mengenai lingkungan di beberapa lokasi di dunia.4 Hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia menulis tentang polusi industri di Inggris.3 Batas normal pH air hujan dalam atmosfer bersih adalah antara 5,0 dan 5,6.5 Menurut Yatim,6 sekitar 50% SO x terutama SO 2 yang ada dalam atmosfer adalah alamiah berasal dari letusan gunung dan kebakaran hutan, sedangkan sisanya antropogenik yaitu berasal dari kegiatan manusia terutama pembakaran bahan bakar fosil. NO x juga berasal dari sumber alamiah dan antropogenik yang sebagian besar disumbang dari pembakaran bahan bakar fosil. Sumber alamiah NO x yaitu aktivitas jasad renik tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa hujan asam sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik, dan kendaraan bermotor yang akan menghasilkan gas SO x dan NO x . Hujan asam dapat berdampak terhadap kesehatan, hutan, pertanian, ekosistem akuatik, dan material.6 Kerusakan hutan oleh hujan asam menyebakan kematian hutan (Forest Dieback atau Waldsterben) sehingga terjadi peningkatan risiko terjadinya tanah longsor dan juga kelonggaran salju pada musim dingin. Hujan asam juga mengakibatkan keracunan kronik dan penurunan hasil pertanian. Oleh karena dampak hujan asam yang sangat merugikan, perlu adanya upaya identifikasi daerah mana saja yang memiliki potensi hujan asam. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan pengelompokkan daerah berdasarkan kandungan kimia air hujan, terutama sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ).
Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari hujan asam yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah membuat pengelompokkan (clustering) stasiun pengamatan berdasarkan kandungan kimia air hujan yang berada di sebagian wilayah di Indonesia. Dari pengelompokkan tersebut diharapkan dapat menjadi evaluasi kelompok daerah mana yang memerlukan perhatian khusus karena memiliki karakteristik kandungan air hujan terutama sulfat dan nitrat yang tinggi, dimana keduanya berpotensi menyebabkan hujan asam. Analisis klaster merupakan salah satu metode statistika multivariat, dimana sejumlah objek pengamatan dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (kemudian disebut klaster). Menurut Madhulatha,7 Singla,8 dan Kouser,9 suatu klaster merupakan kelompok objek yang memiliki kemiripan (similar) diantaranya dan memiliki ketidakmiripan (dissimilar) dengan objek pada klaster lainnya. METODOLOGI Lokasi dan Data Penelitian ini menggunakan data kimia air hujan yang bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan data jumlah kendaraan bermotor yang bersumber dari BPS.10 Pada penelitian ini unsur kimia air hujan yang dilibatkan adalah sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ). Kedua unsur ini diukur dalam satuan yang sama yaitu mg/l. Data dari BMKG berupa data bulanan pada tahun 2010 yang selanjutnya dirata-ratakan, sehingga didapat data rata-rata bulanan selama tahun 2010. Data yang didapat direkap dan disusun berdasarkan bulan dan stasiun pengamatan. Data rekap tersebut kemudian dirata-ratakan pada masing-masing stasiun pengamatan, sehingga didapat 21 data pengamatan berpasangan unsur sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ). Stasiun pengamatan yang dilibatkan adalah Angkasa Pura, Banjar Baru, Beto Ambari, Branti, Citeko, Juanda, Kemayoran, Kenten, Kototabang, Ngurahrai, Panakukang, Patimura, Pulau Baai, Sampali, Samratulangi, Selaparang, Siantan, St Thaha, Supadio, Temindung, dan Winangun. Pengolahan Data Seluruh analisis dalam penelitian ini menggunakan bantuan software STATISTICA. Langkah pertama dalam analisis klaster adalah menghitung ukuran ketidakmiripan dengan menggunakan Jarak Euclidean (Euclidean Distance). Selanjutnya, mengidentifikasi jumlah Prosiding SNSA 2015 – Halaman 15
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
klaster dengan metode klaster hierarki (hierarchical clustering). Jumlah klaster tersebut kemudian digunakan dalam analisis klaster kmeans (k-means clustering). Hasil pengelompokkan kemudian divalidasi untuk untuk melihat variabel mana yang merupakan variabel pembeda dalam pengklasteran melalui uji parsial F.11
dapat dibuktikan melalui Gambar 2 yang menunjukkan garis regresi positif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data kimia air hujan yang telah direkap, berikut ini disajikan beberapa besaran statistik yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi data kimia air hujan Unsur SO 4 NO 3
Rata-rata 1,2458 0,5869
Min 0,5291 0,0493
Maks 3,2000 1,5926
Varians 0,4675 0,1743
Rentang nilai pengamatan relatif sama, hal ini dapat dilihat pada nilai minimum dan maksimum yang tercantum pada Tabel 1. Keragaman data pengamatan sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ) cukup kecil yaitu 0,4675 dan 0,1743. Unsur kimia air hujan nitrat (NO 3 ) dengan nilai rata-rata dan varians masing-masing sebesar 0,5869 mg/l dan 0,1743 lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata dan varians sulfat (SO 4 ) masing-masing sebesar 1,2459 mg/l dan 0,4675. Kandungan sulfat (SO 4 ) terendah teramati di stasiun Kototabang (Sumatera Barat) yaitu sebesar 0,5291 mg/l. Kandungan nitrat (NO 3 ) terendah termati di stasiun Samratulangi (Sulawesi Utara) yaitu sebesar 0,0493 mg/l. Sedangkan kandungan sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ) tertinggi teramati di stasiun Juanda (Jawa Timur) masing-masing sebesar 3,2000 mg/l dan 1,5926 mg/l.
Gambar 2. Korelasi antara jumlah kendaraan dengan SO 4 (a) dan NO 3 (b)
Identifikasi inisial jumlah klaster yang digunakan dalam klaster k-means menggunakan metode klaster hierarki dan metode penggabungan (agglomerative method) Ward’s Method. Jarak Euclidean dari objek analisis ditunjukkan pada Tabel 3 dan hasil pengelompokkan ditunjukkan pada Gambar 3. Tabel 3. Jarak Euclidean
Tabel 2. Korelasi antara jumlah kendaraan bermotor dengan konsentrasi SO 4 dan NO 3 Unsur SO 4 r 0,7650 * p-value 0,0000 * signifikan pada taraf 5%
NO 3 0,7470 * 0,0000
Berdasarkan Tabel 2, jumlah kendaraan bermotor memiliki hubungan yang erat dengan konsentrasi SO 4 dan NO 3 di udara dimana besar korelasi (r) mendekati nilai 1 dan nilai signifikansi 0,0000. Besar korelasi yang bernilai positif (korelasi positif) dapat diartikan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor maka akan terjadi peningkatan konsentrasi SO 4 dan NO 3 . Hal tersebut juga Prosiding SNSA 2015 – Halaman 16
Gambar 3. Diagram pohon analisis klaster hierarki
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
Tabel 4. Besaran statistik setiap klaster (dalam satuan mg/l) Unsur SO 4
NO 3
Gambar 4. Cost sequence untuk jumlah klaster
Berdasarkan Gambar 3, data pengamatan cenderung berkelompok menjadi empat klaster. Hal tersebut juga didukung oleh hasil pada Gambar 4, dimana pada Gambar tersebut terlihat bahwa titik cluster cost menurun tajam sampai titik empat klaster dan melandai saat menuju lima klaster. Setelah didapat bahwa jumlah klaster yang memungkinkan adalah empat klaster, maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis klaster kmeans. Berdasarkan hasil analisis didapatkan hasil pengelompokkan data sebanyak empat klaster dengan anggota pada masing-masing klaster adalah sebagai berikut: 1. Anggota klaster 1 adalah stasiun Branti (Lampung), Citeko (Jawa Barat), Panakukang (Sulawesi Selatan), Selaparang (Nusa tenggara Barat), dan Temindung (Kalimantan Timur). 2. Anggota klaster 2 adalah stasiun Juanda (Jawa Timur), Kemayoran (DKI Jakarta), Ngurahrai (Bali), dan Sampali (Sumatera Utara). 3. Anggota klaster 3 adalah stasiun Beto Ambari (Sulawesi Tenggara), Kenten (Sumatera Selatan), Samratulangi (Sulawesi Utara), Siantan (Kalimantan Barat), dan Winangun (Sulawesi Utara). 4. Anggota klaster 4 adalah stasiun Angkasa Pura (Papua), Banjar Baru (Kalimantan Selatan), Kototabang (Sumatera Barat), Patimura (Maluku), Pulau Baai (Bengkulu), St Thaha (Jambi), dan Supadio (Kalimantan Barat). Besaran statistik dari masing-masing klaster disajikan pada Tabel 4.
Klaster 1 2 3 4 1 2 3 4
Rata-rata 1,3327 2,4065 1,0810 0,6382 0,7336 1,2459 0,3184 0,2974
Varians 0,0481 0,2998 0,0187 0,0061 0,0150 0,1060 0,0390 0,0269
Tabel 4 menunjukkan bahwa klaster 2 memiliki rata-rata dan keragaman data pengamatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga klaster lainnya. Hal ini juga dapat dilihat dari Gambar 5 dimana garis rata-rata klaster 2 (warna merah) berada jauh di atas garis rata-rata klaster lainnya, dimana rata-rata sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ) adalah sebesar 2,4065 mg/l dan 1,2459 mg/l. Klaster 1 (warna biru) cenderung dalam rentang sedang diantara klaster lainnya. Klaster 3 (warna hijau) dan klaster 4 (warna merah muda) memiliki data pengamatan yang lebih rendah dibandingkan dengan klaster lainnya. Kedua klaster ini memiliki nilai rata-rata nitrat (NO 3 ) yang hampir sama yaitu 0,3184 mg/l untuk klaster 3 dan 0,2974 mg/l untuk klaster 4, namun jika dilihat dari rata-rata sulfat (SO 4 ) klaster 3 memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan klaster 4. Berdasarkan hal tersebut, klaster 2 dapat dikatakan merupakan stasiun-stasiun pengamatan di wilayah dengan jumlah kendaraan bermotor yang relatif tinggi sebagai penyumbang polusi udara sebagai kontribusi terhadap hujan asam, sedangkan klaster 4 merupakan stasiun-stasiun pengamatan di wilayah yang tingkat kimia air hujan yang paling rendah.
Gambar 5. Rata-rata kimia air hujan tiap klaster
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 17
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono
KESIMPULAN
Gambar 6. Rata-rata jumlah kendaraan bermotor setiap klaster
Berdasarkan data BPS,10 jumlah kendaraan bermotor di Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, dan Sumatera Utara cukup tinggi yaitu masingmasing sebesar 10.568.384 unit, 1.077.473 unit, 3.171.824 unit, dan 4.036.502 unit, sehingga stasiun-stasiun pengamatan tersebut dapat dikatakan berada di wilayah padat kendaraan bermotor. Berdasarkan Gambar 6, rata-rata jumlah kendaraan bermotor paling tinggi adalah klaster 2, sedangkan yang terendah adalah klaster 4. Jika dikaitkan dengan korelasi positif antara jumlah kendaraan dengan SO 4 dan NO 3 , hasil dari pengelompokkan mendukung hal tersebut. Urutan nilai statistik dan rata-rata jumlah kendaraan bermotor pada setiap klaster memberikan hasil yang sama, yaitu klaster dengan potensi tertinggi yaitu klaster 2 dan yang terendah adalah klaster 4. Tabel 5. Hasil analisys of varians (ANOVA) klaster k-means Sumber Variasi
df
Between Within
3 17
SS
SO 4 8,1468 1,2030 NO 3 Between 3 2,7916 Within 17 0,6953 * signifikan pada taraf 5%
F
p -value
38,3740 -
0,0000 -
22,7526 -
0,0000 -
*
*
Tabel 5 menunjukkan apakah SO 4 dan NO 3 merupakan variabel pembeda dalam pengelompokkan atau bukan. Kedua nilai p-value pada Tabel 5 mendekati nol, hal ini dapat diartikan bahwa SO 4 dan NO 3 merupakan variabel pembeda atau berkontribusi dalam pengelompokkan data ke dalam empat klaster. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 18
Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa dari 21 stasiun pengamatan, kandungan sulfat (SO 4 ) terendah teramati di stasiun Kototabang (Sumatera Barat) yaitu sebesar 0,5291 mg/l sedangkan kandungan nitrat (NO 3 ) terendah teramati di stasiun Samratulangi (Sulawesi Utara) yaitu sebesar 0,0493 mg/l. Kandungan sulfat (SO 4 ) dan nitrat (NO 3 ) tertinggi di stasiun Juanda (Jawa Timur) masingmasing sebesar 3,2000 mg/l dan 1,5926 mg/l. 21 stasiun pengamatan dapat dikelompokkan menjadi empat klaster dengan distribusi anggota sebanyak 5 stasiun, 4 stasiun, 5 stasiun, dan 7 stasiun. Klaster 2 yang beranggotakan 4 stasiun merupakan stasiun pengamatan di wilayah yang memiliki tingkat kimia air hujan yang paling tinggi yaitu stasiun Juanda (Jawa Timur), Kemayoran (DKI Jakarta), Ngurahrai (Bali), dan Sampali (Sumatera Utara), hal ini dapat dikaitkan dengan wilayah-wilayah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah (provinsi) yang memiliki jumlah kendaraan bermotor yang tinggi. Sedangkan klaster 4 yang beranggotakan 7 stasiun yaitu stasiun Angkasa Pura (Papua), Banjar Baru (Kalimantan Selatan), Kototabang (Sumatera Barat), Patimura (Maluku), Pulau Baai (Bengkulu), St Thaha (Jambi), dan Supadio (Kalimantan Barat) merupakan stasiun pengamatan di wilayah yang memiliki tingkat kimia air hujan yang paling rendah dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer yang telah memberikan dukungan dan memfasilitasi data sekunder dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sehingga terlaksananya penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Lembaran Negara RI No 41, Jakarta : Sekretariat Negara. 2 Siswantoro, dkk, 2012. Analisa Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 4 Tak Berbahan Bakar Campuran Premium dengan Variasi Penambahan Zat Aditif. Jurnal Bidang Teknik 4 (1) : 75-84.
Ai Citraningsih dan Waluyo Eko Cahyono 3
Cahyono, W. E., 2007. Pengaruh Hujan Asam pada Biotik dan Abiotik. Jurnal Berita Dirgantara 8 (3): 48-51. 4 Cherόn, R.M., 2013. Chemical Composition, Fluxes and Seasonal Variation of Acid Deposition in Carmen Island, Campeche, Mexico. Journal of Environmental Perotection 4: 50-56. 5 Budiawati, T., 2009. Analisis Hujan Asam dan CO2 Atmosfer . Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan Mipa. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. 6 Yatim, E.M., 2007. Dampak dan Pengendalian Hujan Asam di Indonesia. Jurnal kesehatan Masyarakat 2 (1) . 7 Madhulatha, T.S., 2012. An Overview on Clustering Methods. IOSR Journal of Engineering 2 (4): 719-725.
8
Singla, A. dan Karambir, 2012. Comparative Analysis and Evaluation of Euclidean Distance Function and Manhattan Distance Function Using K-Means Algorithm. International Journal of Advanced research in Computer Science and Software Engineering 2 (7). 9 Kouser, K. dan Sunita, 2013. A Comparative Study of K Means Algorithm by Different Distance Measures. International Journal of Innovative Research in Computer and Communication Engineering 1. 10 BPS, 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 664 hlm. 11 Sitepu, R., Irmeilyana dan Berry Gultom, 2011. Analisis Klaster terhadap Tingkat Pencemaran Udara pada Sektor Industri di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains 14 (3A).
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 19
Akhmad Fatony, dkk.
VARIABILITAS MUSIM TERKAIT DENGAN ANOMALI SUHU MUKA LAUT PASIFIK (EL NIÑO DAN LA NIÑA) DI PROVINSI JAWA TIMUR SEASONAL VARIABILITY RELATED TO PACIFIC SEA SURFACE TEMPERATURE ANOMALY (EL NIÑO DAN LA NIÑA) IN EAST JAVA Akhmad Fatony, Linda Natalia So’langi dan Haris Suprayogi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jalan Perhubungan I No.5 Pondok Betung, Tangerang Selatan Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Seasonal variability which occurs due to Pacific sea surface temperature anomaly known as El Niño and La Niña phenomenon affects the economy of East Java especially in agriculture. A Mapping of seasonal Variability related to El Niño and La Niña was made based on rainfall data during 1991-2010 period using seasonal index and Zona Musim (ZOM) BMKG. When El Niño happened, most of ZOM experienced an earlier and longer period of dry season. It also experienced a later and shorter period of rainy season with the characteristic of rain was below the normal rate. When La Niña happened, most of ZOM experienced a later and shorter period of dry season. It also experienced an earlier and longer period of rainy season with the characteristic of rain was beyond the normal rate. The phenomenon of El Niño and La Niña was seen in the shifting of the beginning of the season (onset), the end of the season (withdrawal), and the period of the rainy and dry seasons (period). It may be varied for each ZOM zone whose factor is related to geographical location of ZOM. Keywords : Seasonal Variability, El Niño dan La Niña ABSTRAK Variabilitas musim yang timbul akibat anomali suhu muka laut pasifik yang dikenal sebagai fenomena El Niño dan La Niña berdampak pada perekonomian Provinsi Jawa Timur terutama sektor pertanian. Pemetaan variabilitas musim terkait El Niño dan La Niña di Provinsi Jawa Timur dibuat berdasarkan data curah hujan tahun 1991-2010 menggunakan metode indeks musim. Pada tahun kejadian El Niño mayoritas ZOM mengalami awal musim kemarau maju dengan panjang musim yang lebih panjang dan awal musim hujan mundur dengan panjang musim yang lebih singkat serta sifat hujan dibawah normal. Pada tahun kejadian La Niña mayoritas ZOM awal musim kemarau mundur dengan panjang musim yang lebih singkat dan awal musim hujan maju dengan panjang musim normal serta sifat hujan yang diatas normal. Fenomena El Niño dan La Niña terlihat pada perbedaan awal musim (onset), berakhir (withdrawal), dan panjang musim (period) musim hujan dan musim kemarau, berbeda untuk masingmasing wilayah ZOM yang salah satu faktor terkait dengan letak geografis wilayah ZOM tersebut. Kata kunci : Variabilitas musim, El Niño dan La Niña
PENDAHULUAN Jawa Timur sebagai salah wilayah di Indonesia dengan potensi pertanian dan perkebunan. Hal ini terlihat pada tahun 2013, Jawa Timur menjadi salah satu lumbung padi nasional dengan produksi total gabah kering mencapai 1,1 Juta ton tertinggi dibandingkan provinsi lain dan produksi gula mencapai 1,23 Juta ton yang merupakan 48% produksi gula nasional. Jawa Timur juga masih memiliki beberapa komoditi unggulan seperti tembakau, kakao, dan cengkeh. Pada tahun 2013 sektor pertanian dan perkebunan Jawa Timur bernilai total Rp 54 Triliun yang menempati urutan kedua setelah sektor industri1. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 20
Potensi Jawa Timur dalam sektor pertanian dan perkebunan didukung dengan kondisi bentang alam dan iklim yang bervariasi, yang sangat cocok untuk budidaya dan pengembangan berbagai macam tanaman pertanian dan perkebunan.2 Pola musim di Jawa Timur secara umum, musim penghujan terjadi pada periode bulan November-Maret dan musim kemarau terjadi pada periode bulan April-September, dengan rata-rata curah hujan tahunan berkisar 1000 – 3000 mm.3 Pola musim umum ini selain dipengaruhi oleh sirkulasi angin monsun AsiaAustralia juga dipengaruhi oleh fenomenafenomena global seperti El Niño dan La Niña yang dapat mempengaruhi variabilitas musim.4
Akhmad Fatony, dkk.
Variabilitas musim yang muncul dapat mempengaruhi sektor pertanian dan perkebunan Jawa Timur secara langsung5 serta mengakibatkan kerugian yang besar sebagaimana pada tahun 2010. Pada tahun 2010 fenomena La Niña yang terjadi mengakibatkan curah hujan diatas normal berdampak pada penurunan produksi tebu Jawa Timur sebesar 360 ribu ton serta menyebabkan kerusakan pada tanaman tembakau siap panen.1 El Niño adalah fenomena anomali positif antara suhu muka laut yang teramati dibandingkan keadaan normal di wilayah Samudera Pasifik Ekuatorial. El Niño merupakan fenomena interaksi lautan dan atmosfer skala global yang terjadi secara periodik setiap periode 2-7 tahun, ditandai dengan anomali positif (+) di wilayah Niño 3.4. Pada kondisi El Niño, suhu muka laut di Pasifik timur sekitar Ekuator menjadi lebih panas dari pada kondisi normal. Kondisi ini mengakibatkan massa udara berkumpul ke Wilayah Pasifik timur sekita Ekuator, termasuk massa udara dari Indonesia sehingga wilayah Indonesia mengalami pengurangan curah hujan dan dibeberapa wilayah mengalami kekeringan.6 La Niña adalah fenomena berskala global dengan periode yang hampir sama dengan El Niño. Dampak La Niña di Wilayah Indonesia adalah peningkatan intensitas curah hujan di beberapa wilayah. Selama periode La Niña, angin pasat cenderung menjadi lebih kuat dari kondisi normal diakibatkan peningkatan gradien tekanan antara Samudera Pasifik bagian barat dan timur. Hasilnya, upwelling menjadi lebih kuat di sepanjang pantai Amerika Selatan dengan suhu muka laut lebih dingin dari normal di Wilayah Samudera Pasifik bagian timur, dan suhu muka laut yang lebih hangat di Samudra Pasifik bagian barat ditandai dengan anomali negatif (-) di wilayah Niño 3.4.6,7 Pada saat kondisi La Niña, suhu muka laut di Pasifik timur sekitar Ekuator lebih rendah dari pada kondisi normal, sedangkan suhu muka laut di Wilayah Indonesia menjadi lebih hangat. Kondisi hangat ini memicu banyak terjadi konveksi dan mengakibatkan massa udara berkumpul di wilayah Indonesia, termasuk massa udara dari Pasifik timur sekitar Ekuator. Hal tersebut menunjang pembentukan awan dan hujan, sehingga fenomena La Niña sering mengakibatkan curah hujan di atas normal.6,7 Aldrian dkk (2003)7 membagi Wilayah Indonesia menjadi tiga wilayah berdasarkan pengaruh yang timbul berkaitan dengan kejadian El Niño dan La Niña terhadap curah hujan.
Gambar 1. Peta sebaran wilayah dampak El Niño dan La Niña (Aldrian, 2003)
Wilayah A adalah wilayah Indonesia yang terpegaruh saat terjadi El Niño dan La Niña. Wilayah B adalah wilayah Indonesia hampir tidak terpengaruh oleh kejadian El Niño dan La Niña, hanya pada saat tertentu wilayah ini terpengaruh kejadian El Niño dan La Niña dengan intensitas kuat. Wilayah C adalah wilayah yang paling awal merasakan pengaruh El Niño dan La Niña dengan panjang periode kejadian sama dengan wilayah A, hanya saja pengaruh dari El Niño dan La Niña tidak akan tampak apabila kejadian fenomena bertepatan dengan periode puncak hujan wilayah tersebut. Pengaruh El Niño dan La Niña terhadap curah hujan yang terjadi di Wilayah Indonesia memunculkan variasi jumlah curah hujan yang berbeda pada saat kejadian El Niño dan La Niña yang berkaitan erat dengan variabilitas musim.8 Pada wilayah yang memiliki pola monsunal variabilitas musim mempengaruhi awal kejadian (onset), kondisi melemah (break), berakhir (withdrawal), dan panjang musim yang bersangkutan (period) dari musim hujan dan musim kemarau.9 Musim didefinisikan sebagai periode waktu tertentu yang bertalian dengan keadaan iklim atau kondisi cuaca secara umum, dimana kondisi cuaca yang dimaksud adalah curah hujan.8 Indonesia mengenal dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Awal musim hujan, ditetapkan berdasar jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh dua dasarian berikut. Awal musim kemarau, ditetapkan berdasar jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh dua dasarian berikut.3 Zona Musim (ZOM) adalah daerah dengan pola hujan rata-rata memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan. Daerah-daerah dengan pola hujan rata-rata tidak memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 21
Akhmad Fatony, dkk.
disebut Non ZOM. Luas suatu wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas suatu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian, satu wilayah ZOM bisa terdiri dari beberapa kabupaten, dan sebaliknya satu wilayah kabupaten bisa terdiri dari beberapa ZOM.3 Variabilitas musim adalah keadaan yang bervariasi atau cenderung berubah-ubah terkait dengan awal kejadian (onset), kondisi melemah (break), berakhir (withdrawal), dan panjang musim yang bersangkutan (period) terhadap kondisi normal (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2010). Faktor geografis merupakan salah satu unsur yang memicu variabilitas musim, dimana tipe musim pada daerah pegunungan berbeda dari daerah pantai atau dataran rendah begitu juga pengaruh fenomena global terhadap pola musim diwilayah tersebut juga berbeda.8,9 Berdasarkan fakta diatas dibuatlah suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara variabilitas musim di Jawa Timur terkait anomali suhu muka laut di pasifik (El Niño dan La Niña) terhadap masing-masing ZOM dengan harapan pengetahuan dan informasi yang diperolah dapat di manfaatkan dalam perencanaan dan pengembangan di berbagai sektor terutama di sektor pertanian dan perkebunan. METODOLOGI Obyek utama dalam tulisan ini adalah variabilitas musim yang muncul terkait anomali suhu muka laut pasifik (El Niño dan La Niña) meliputi pergeseran awal musim, panjang periode musim dan sifat curah hujan terhadap kondisi normal pada 54 ZOM yang ada di wilayah Provinsi Jawa Timur meliputi ZOM 149 hingga ZOM 202. Data curah hujan dasarian tahun 1991 sampai 2010 serta data normal ZOM bersumber dari BMKG. Data Anomali SST Niño 3.4 dan tahun kejadian El Niño dan La Niña didapat dari BMKG dan NOAA sebagaimana terlihat di Tabel 1. Tabel 1. Tabel Tahun Kejadian El Niño dan La Niña El Niño
La Niña
1991-92 1994-95 1997-98 2002-03 2004-05 2006-07 2009-10
1995-96 1998-99 1999-00 2000-01 2007-08 2010-11
(sumber data : NOAA dan BMKG, 2015)
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 22
Dalam proses pengolahan data, data dasarian dikonversikan kedalam indeks 1 – 36 dimana 1 mewakili dasarian I Januari dan dasarian 36 adalah dasarian III Desember. Penentuan variabilitas menggunakan perbandingan antara kondisi awal dan panjang musim pada tahun kejadian El Niño dan La Niña dengan awal dan panjang musim kondisi tahun normal. Sifat musim dihitung menggunakan persentase kondisi pada tahun kejadian El Niño dan La Niña dengan kondisi tahun normal.11,12 Hubungan keterkaitan antar ZOM dilihat berdasarkan korelasi antara anomali curah hujan masing-masing ZOM dengan anomali SST Niño 3.4. (1) dengan : r = X = Y = n
=
Nilai korelasi Data anomali Niño 3.4 Data Anomali Curah Hujan masingmasing wilayah ZOM Jumlah data
(Suprapto, 2009) 13
Pengolahan data menggunakan software minitab16 dan pembuatan tampilan spasial berupa peta menggunakan software ArcView 3.3 dengan peta dasar ZOM wilayah Jawa Timur hasil pembaharuan tahun 2010 BMKG. HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas musim dikaitkan dengan musim hujan dan musim kemarau pada saat periode El Niño dan La Niña berdasarkan anomali curah hujan. Penentuan musim hujan dan kemarau menggunakan batasan 50 mm dimana tiap ZOM memiliki karakteristik masing-masing sehingga awal, panjang dan sifat musim berbeda.3,8,9 Oleh sebab itu, penyajian peta sebaran variabilitas musim bersifat temporal yang membandingkan kondisi normal wilayah ZOM tehadap kondisi pada saat El Niño dan La Niña.12 Pada periode tahun El Niño, awal musim kemarau pada 14 ZOM maju, 32 ZOM normal dan 8 ZOM mundur dengan panjang musim kemarau 13 ZOM lebih singkat, 10 ZOM normal dan 31 ZOM lebih panjang serta sifat hujan musim kemarau 52 ZOM dibawah normal dan 2 ZOM normal. Awal musim hujan pada 26 ZOM normal dan 28 ZOM mundur dengan panjang musim hujan 30 ZOM lebih singkat, 11 ZOM normal dan 13 ZOM lebih panjang serta sifat
Akhmad Fatony, dkk.
hujan musim hujan pada 11 ZOM dibawah normal, 40 ZOM normal dan 13 diatas normal. Pada periode tahun La Niña, awal musim kemarau pada 2 ZOM maju, 37 ZOM normal dan 15 ZOM mundur dengan panjang musim kemarau 28 ZOM lebih singkat, 9 ZOM normal dan 17 ZOM lebih panjang serta sifat hujan musim kemarau 8 ZOM di bawah normal, 6 ZOM normal dan 40 ZOM diatas normal. Awal musim hujan pada 26 ZOM maju, 21 ZOM normal dan 7 ZOM mundur dengan panjang musim hujan 18 ZOM lebih singkat, 9 ZOM normal dan 27 ZOM lebih panjang serta sifat hujan musim hujan pada 8 ZOM dibawah normal, 31 ZOM normal dan 15 diatas normal. Gambar 2 dan Gambar 3 memberikan penjelasan yang sesuai dengan pendapat yang dikemukkan oleh Schmidt dan Vecht tahun 195210 serta Wirjohamidjojo dan Swarinoto tahun 20109 dimana fluktuasi atau variabilitas musim di Jawa Timur dan Madura dipengaruhi oleh faktor topografi (geografi). Variabilitas musim wilayah ZOM di pesisir utara Jawa Timur yang merupakan dataran rendah luas cenderung memiliki kemiripan variabilitas musim, menjadi lebih kering dengan musim kemarau lebih cepat dan panjang serta musim hujan lebih lambat dan singkat pada saat El Niño dan menjadi lebih basah dengan musim kemarau lebih singkat dan pendek serta musim penghujan lebih cepat dan panjang pada saat La Niña. Hal yang berkebalikan pada pesisir selatan pulau Jawa yang secara topografi merupakan dataran tinggi dan pegununggan, pada saat kejadian El Niño beberapa ZOM mengalami musim kemarau lebih pendek dan pada saat kejadian La Niña beberapa ZOM mengalami musim kemarau lebih panjang dengan musim penghujan lebih pendek yang berkaitan dengan faktor lokal wilayah ZOM tersebut.11 Pada saat kejadian El Niño dan La Niña pergeseran awal, penyimpangan panjang dan sifat hujan musim untuk masing-masing ZOM berbeda. Awal musim kemarau pada periode El Niño (Gambar 2a) dominan maju atau sama dibandingkan kondisi normal, dengan tidak ada ZOM yang awal musim kemarau mundur. Panjang musim kemarau dominan lebih panjang (Gambar 2c). Sifat curah hujan musim kemarau dominan dibawah normal (Gambar 2e). Awal musim hujan dominan sama dibanding kondisi normal (Gambar 2b), dengan panjang musim dominan lebih singkat (Gambar 2d) dan sifat curah hujan dominan normal (Gambar 2f). Awal musim kemarau pada periode La Niña dominan normal meskipun terdapat beberapa
ZOM yang awal musim kemarau maju dan terdapat yang mengalami awal musim mundur dibandingkan kondisi normal (Gambar 3a). Panjang musim kemarau dominan lebih singkat (Gambar 3c). Sifat curah hujan musim kemarau dominan diatas normal (Gambar 3e). Awal musim hujan dominan maju atau sama dibanding kondisi normal meskipun beberapa ZOM mengalami awal musim hujan mundur dibanding kondisi normal (Gambar 3b). Panjang musim hujan bervariasi dengan sebagian ZOM lebih singkat (Gambar 3d), sama atau lebih panjang dari kondisi normal. Sifat curah hujan dominan normal (Gambar 3f). Pada Gambar 2a dan Gambar 3a yang menggambarkan awal musim kemarau tampak dominasi kondisi normal pada awal musim kemarau, hal ini tidak menujukan bahwa El Niño dan La Niña tidak mempengaruhi pergeseran awal musim tetapi lebih disebabkan awal kejadian fenomena El Niño dan La Niña mayoritas terjadi pada pertengahan periode musim kemarau dan berakhir pada pertengahan periode musim hujan.11 Pada Gambar 2f dan Gambar 3f yang menggambarkan sifat curah hujan musim hujan juga tampak dominasi warna kuning yang menunjukan kondisi normal, hal ini disebabkan anomali curah hujan yang terjadi pada saat El Niño dan La Niña masih belum dianggap signifikan karena belum melewati ambang batas ±15% dari curah hujan normal ZOM tersebut.3 Variabilitas musim sangat terlihat pada kejadian El Niño dan La Niña dengan intensitas sedang hingga kuat, pada intensitas lemah El Niño dan La Niña memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabilitas musim di wilayah Indonesia.4 ZOM 197 memiliki variabilitas musim yang unik, dimana pada saat tahun El Niño wilayah ZOM ini memiliki awal musim kemarau yang sama dengan kondisi normal tetapi dengan panjang musim yang lebih singkat dan sifat hujan diatas normal sedang pada saat La Niña awal musim penghujan yang sama dengan normal tetapi panjang musim hujan lebih singkat dengan sifat hujan dibawah normal. Hal ini dimungkinkan karena faktor lokal wilayah tersebut yang lebih dominan sehingga pengaruh akan faktor global kurang terlihat.11
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 23
Akhmad Fatony, dkk.
Tahun El Niño
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) (f) Gambar 2. Peta variabilitas musim pada tahun kejadian El Niño, (a) pergeseran awal musim kemarau, (b) pergeseran awal musim penghujan, (c) penyimpangan panjang musim kemarau, (d) penyimpangan panjang musim hujan, (e) sifat hujan musim kemarau dan (f) sifat hujan musim hujan.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 24
Akhmad Fatony, dkk.
Tahun La Niña
(a)
(b)
(c)
(d)
(e) (f) Gambar 3. Peta variabilitas musim pada tahun kejadian La Niña, (a) pergeseran awal musim kemarau (b) pergeseran awal musim penghujan, (c) penyimpangan panjang musim kemarau, (d) penyimpangan panjang musim hujan, (e) sifat hujan musim kemarau dan (f) sifat hujan musim hujan.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 25
Akhmad Fatony, dkk.
Korelasi antara anomali curah hujan dan anomali SST Niño 3.4 Tabel 2 di bawah menunjukan hasil korelasi anomali curah hujan bulanan dan anomali bulanan suhu permukaan laut (SST) samudera pasifik (Niño 3.4), sebanyak 53 ZOM menunjukan korelasi negatif (-) dan hanya satu ZOM yaitu ZOM 197 yang menunjukan korelasi positif (+) dengan nilai kurang dari 0,5. Hasil korelasi memperlihatkan dominasi korelasi negatif (-) yang menunjukan hubungan berkebalikan12 dimana anomali positif (kenaikan) SST di wilayah pasifik memiliki dampak pada anomali negatif (penurunan) curah hujan di wilayah Jawa Timur, terkecuali untuk ZOM 197 yang menunjukan korelasi positif (+) dimana anomali positif SST mempengaruhi anomali positif curah hujan di ZOM ini. Pengaruh anomali SST Pterhadap anomali curah hujan di wilayah ZOM Jawa Timur tidak signifikan dan bukan merupakan faktor utama.
KESIMPULAN Fenomena anomali suhu muka laut pasifik (El Niño dan La Niña) memiliki pengaruh beragam terhadap variabilitas musim di wilayah Jawa Timur. Secara umum, El Niño mempengaruhi variabilitas musim kemarau dengan awal musim normal, musim kemarau lebih panjang dengan curah hujan dibawah normal sedangkan awal musim hujan cenderung mundur, dengan panjang musim lebih singkat dan curah hujan normal. La Niña berpengaruh pada variabilitas musim dimana awal musim kemarau normal, dengan panjang musim lebih singkat dan curah hujan diatas normal. Awal musim hujan maju dan lebih panjang dari kondisi normal dengan curah hujan normal. ZOM 197 merupakan satu wilayah yang memiliki variabilitas yang berbeda dengan wilayah lain disebabkan pengaruh faktor lokal yang kuat. UCAPAN TERIMA KASIH
Tabel 2 Tabel Nilai Korelasi Anomali Curah Hujan Bulanan dan Anomali SST Niño 3.4 untuk masingmasing ZOM. No. ZOM 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175
Nilai -0,23 -0,35 -0,17 -0,09 -0,09 -0,22 -0,35 -0,25 -0,25 -0,17 -0,09 -0,23 -0,2 -0,3 -0,03 -0,12 -0,25 -0,27 -0,16 -0,26 -0,21 -0,2 -0,14 -0,29 -0,24 -0,26 -0,31
No. ZOM 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 26
Nilai -0,24 -0,3 -0,37 -0,31 -0,29 -0,38 -0,27 -0,22 -0,32 -0,35 -0,48 -0,31 -0,28 -0,23 -0,31 -0,36 -0,33 -0,32 -0,28 -0,09 -0,16 0,11 -0,12 -0,03 -0,09 -0,19 -0,15
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Suwandi dan Bapak Nuryadi, M.Sc yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan selama penulisan makalah. BMKG terkhusus kepada Stasiun Kelas II Karang Ploso, Malang untuk penyediaan data curah hujan di wilayah Jawa Timur. DAFTAR PUSTAKA 1
Badan Pusat Statistik, 2014, Jawa Timur dalam Angka 2013, Surabaya : BPS. 2 Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2014, Laporan Analisis Potensi Jawa Timur 2014, Surabaya : BKPM. 3 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2014, Buku prakiraan musim 2014-2015, Jakarta : BMKG. 4 Harijono, S. W. B., 2008, Interaksi Fenomena El Niño dan Dipole Mode Secara Simultan Serta Monsun Musim Panas India Terhadap Variabilitas Curah Hujan di Sumatera Bagian Utara, Desertasi Program Doktor Falkultas Ilmu Kebumian dan Tekhnologi Mineral, Bandung : ITB. 5 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Provinsi Jawa Timur, 2014, Press Release Prediksi Dampak Dinamika Iklim Dan ElNiño 2014-2015 Terhadap Produksi Pangan, Surabaya. 6 Jun-Ichi, H., dkk., 2002, Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO, Journal of the
Akhmad Fatony, dkk.
Meteorological Society of Japan, Vo.80, No.2 pp. 285-310. 7 Aldrian, E., Gates, L. D., dan Widodo, F. H., 2003, Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 imulations andin the Reanalyses, MPI Report 346, MPI Project, Hamburg : Max-Plack Institute of Meteorology. 8 Tjasyono, B. H. K., 2006, Klimatologi, Bandung : ITB. 9 Wirjohamidjojo, S., dan Swarinoto, Y. S., 2010, Iklim Kawasan Indonesia, Jakarta : BMKG. 10 Sudaryatno, A., dkk., 2003, El Niño dan La Niña dan Penyimpangan Musim di Jawa Tengah, Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol.4, No.3 pp. 5-10, Jakarta : BMG. 11 Pribadi, Yanuar H., 2012, Variabilitas Curah Hujan dan Pergeseran Musim Di Wilayah Banten Sehubungan dengan Variasi Suhu Muka Laut Perairan Indonesia, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, Tesis Program Magister Fakultas Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Depok : Universitas Indonesia. 12 Suprapto, J., 2009, Statistik Teori dan Aplikasi, Jilid 1, Edisi 6, Jakarta : Erlangga.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 27
Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
SKILL COUPLED MODEL INTERCOMPARISON 5 PADA WILAYAH TROPIS SKILL OF COUPLED MODEL INTERCOMPARISON 5 IN TROPICAL AREA Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor, Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Skill model in projecting climate need to be tested in line with the rapid development of climate modeling. Climate models development is conducted by various agencies who are members of CMIP5. This research aims to determine the results and analyze the skill of models which incorporated in CMIP5. Models are analyzed include the BCCCSM1.1, MPI-ESM-LR and IPSL-CM5A-LR using precipitation and temperature parameters in the tropical area, with the monthly data and decadal 1980 experiment. Models are compared with observation data (GPCP v2.2 data for precipitation and NCEP reanalysis 1 data for air temperature). All three models can capture the signal of ITCZ and SPCZ. Variability of precipitation in all three models are overestimate. Bias precipitation and air temperature in each region showed that there is no model that has a good performance in all areas. Keywords: performance, skill, cmip5, decadal, tropical ABSTRAK Pengujian kemampuan model dalam memproyeksikan iklim perlu dilakukan seiring kembang pesatnya pemodelan iklim. Pengembangan model iklim dilakukan oleh berbagai instansi yang tergabung dalam CMIP5. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hasil dan menganalisis kemampuan model-model yang tergabung dalam CMIP5. Model yang dianalisis diantaranya adalah BCC-CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR dengan parameter curah hujan dan suhu di wilayah tropis, menggunakan data bulanan dan eksperimen dekadal 1980. Data pembanding digunakan GPCP v2.2 untuk parameter curah hujan dan NCEP Reanalysis 1 untuk parameter suhu udara. Ketiga model dapat menangkap adanya sinyal ITCZ dan SPCZ. Keragaman curah hujan pada ketiga model overestimate. Bias curah hujan dan suhu udara pada masing-masing wilayah menunjukkan bahwa tidak ada model yang memiliki performa baik di semua wilayah tersebut. Kata kunci: performa, kemampuan, cmip5, dekadal, tropis
PENDAHULUAN Model iklim berkembang begitu pesat, namun tidak semua model-model tersebut mempunyai kemampuan (performance) yang baik dalam memproyeksikan iklim di suatu wilayah khususnya wilayah tropis yang memiliki kompleksitas iklim dan cuaca. Untuk itu perlu dilakukan kajian kemampuan (skill) setiap model khususnya di daerah tropis. Kajian kemampuan (skill) dilakukan pada model-model yang tergabung dalam CMIP5 (kerangka model eksperimen iklim yang dikembangkan oleh Working Group of Coupled on Coupled Modelling (WCGM)).1 Climate Model Intercomparison Project (CMIP) merupakan kerangka model eksperimen iklim yang terkoordinasi. CMIP dikembangkan oleh Working Group of Coupled on Coupled Modelling (WCGM) dalam programnya World Climate Research Programme’s (WCRP). Prosiding SNSA 2015 – Halaman 28
Desain eksperimen CMIP5 terdiri dari integrasi long-term (skala waktu abad) dan integrasi near-term (10–30 tahun, biasa disebut dengan decadal prediction experiments). Modelmodel yang tergabung dalam CMIP5 diantaranya adalah BCC-CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSLCM5A-LR. Beijing Climate Center-Climate System Model 1.1 merupakan model iklim yang dikembangkan oleh institusi Beijing Climate Center. Model BCC_CSM1.1 overestimate terhadap pemanasan global dan underestimate terhadap amplitudo pemanasan di wilayah Cina.2 MPI-ESM-LR merupakan model iklim yang dikembangkan oleh Max Planck Institute for Meteorology. Model ini mampu menampilkan secara signifikan variabilitas internal Maden Julian Oscilation (MJO) baik inter-annual maupun inter-dekadal, namun tidak mampu menampilkan fakta-fakta yang signifikan untuk variabilitas dalam skala waktu yang lebih lama.3
Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
Model ini juga mampu mensimulasikan periode dan keberadaan vertikal dari Quasi Bineal Oscillation (QBO) di stratosfer wilayah tropis.4 Pada wilayah Pasifik Tropis model ini memiliki skill negative.5 IPSL-CM5A-LR merupakan model iklim yang dikembangkan oleh IPSL Climate Modelling Centre (ICMC). Model ini mampu menangkap sinyal South Pacific Convergence Zone (SPCZ) yang ditandai dengan perubahan curah hujan di Pasifik Ekuator terletak di wilayah barat dengan adanya pertanda 2 ITCZ.6 Perubahan curah hujan yang disimulasikan sangat kecil di wilayah pasifik ekuator jika dibanding dengan IPSL-CM5B-LR. Penelitian ini bertujuan menganalisis kemampuan Coupled Model Intercomparison 5 (CMIP5) untuk parameter curah hujan dan suhu udara pada wilayah tropis pada bulan DesemberJanuari-Febriari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Wilayah tropis dipilih menjadi objek kajian karena dinamika cuaca yang terjadi lebih kompleks dibanding wilayah sub tropis maupun kutub. Pada wilayah tropis bagian laut pemanasan oleh radiasi matahari menyebabkan adanya pengangkatan massa udara yang mengandung air sehingga terbentuklah awan. Peristiwa ini terjadi sepanjang tahun di wilayah tropis dengan zona yang berubah-ubah. Zona pembentukan cluster awan di sepanjang wilayah tropis ini disebut dengan ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone). Terdapat zona konveksi pula di wilayah Pasifik barat di selatan ekuator, tepatnya melintang dari Papua menuju sekitar wilayah 30 LS dan 120 BB yang disebut South Pacific Convergence Zone (SPCZ).7 ITCZ dan Monsoon pada wilayah tropis mempunyai peranan penting dalam penyebaran curah hujan di daerah tropis.8 METODOLOGI Model dengan eksperimen dekadal pada CMIP5 yang digunakan yaitu; BCC-CSM1.1, MPI-ESMLR dan IPSL-CM5A-LR dengan parameter curah hujan dan suhu udara resolusi bulanan. Sebagai data pembanding digunakan data observasi sebagai berikut; GPCP v2.2 untuk parameter curah hujan dan NCEP Reanalysis 1 untuk parameter suhu udara. Data model dan pembanding tersebut dianalisis secara klimatologi pada bulan DJF dan JJA, kemudian dihitung nilai standart deviasi bulan DJF dan JJA, dan dihitung nilai bias pada beberapa wilayah yaitu Afrika, Samudra Hindia, Indonesia, Samudra Pasifik dan Amerika.
HASIL DAN PEMBAHASAN Klimatologi curah hujan dan suhu udara bulan DJF Curah hujan tinggi hasil GPCP pada bulan DJF berada di sekitar Indonesia dan Amerika yang berada di Selatan ekuator, yaitu berkisar antara 300-400 mm/bulan. Hal ini dipengaruhi oleh posisi matahari pada bulan DJF yang berada pada Selatan garis katulistiwa, sehingga pada wilayah Selatan katulistiwa terjadi pembentukan awan yang optimal dibandingkan dengan wilayah lainnya. Model BCC-CSM 1.1 juga menunjukkan intensitas curah hujan tinggi di wilayah Selatan garis katulistiwa, begitu juga dengan model MPIESM-LR dan IPSL-CM5A-LR (Gambar 1). Curah hujan tinggi pada bulan JJA berada pada wilayah Utara ekuator baik pada model maupun observasi. Variasi musiman pada bulan DJF dan JJA dapat ditangkap dengan baik pada model, dengan kata lain model dapat menangkap adanya sinyal ITCZ di wilayah tropis dan SPCZ pada wilayah pasifik ekuator. ITCZ mengalami pergerakan menuju selatan selama periode DJF9, sama dengan hasil yang ditunjukkan oleh model. SPCZ terbentuk dengan nilai tertinggi dan luasan wilayah yang terbesar pada bulan DJF10, sesuai dengan hasil pada GPCP dan ketiga model. Hasil curah hujan berintegrasi dengan hasil klimatologi suhu bulan DJF dan JJA tahun 1981-2010 bahwa hasil observasi maupun model juga menunjukkan pada wilayah tropis pada bulan DJF suhu tinggi dialami oleh wilayah Selatan ekuator dan pada bulan JJA wilayah Utara ekuator (Gambar 2). Standart deviasi curah hujan dan suhu udara bulan DJF dan JJA Baik pada bulan DJF maupun JJA, variabilitas ketiga model untuk nilai suhu udara (Gambar 4) pada wilayah Amerika tropis bagian Selatan selalu lebih tinggi dari pada model. Pada wilayah pantai Barat Amerika Selatan selalu lebih rendah pada model MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR. Model BCC menunjukkan variabilitas yang paling mendekati model pada wilayah ini. Pada wilayah lain, secara umum ketiga model menunjukkan variabilitas yang sama dengan NCEP. Standar deviasi curah hujan baik pada bulan DJF maupun JJA menunjukkan keragaman model overestimate terhadap keragaman hasil GPCP.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 29
Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
Gambar 1. Klimatologi curah hujan bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) tahun 1981-2010 berdasarkan hasil (a) GPCP, (b) BCC-CSM-1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR pada wilayah tropis
Gambar 3. Standart deviasi curah hujan bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) tahun 1981-2010 berdasarkan hasil (a) GPCP, (b) BCC-CSM-1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR pada wilayah tropis (20oLU20oLS)
Gambar 2. Klimatologi suhu udara bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) tahun 1981-2010 berdasarkan hasil (a) GPCP, (b) BCC-CSM-1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR pada wilayah tropis
Gambar 4. Standart deviasi suhu udara bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) tahun 1981-2010 berdasarkan hasil (a) GPCP, (b) BCC-CSM-1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR pada wilayah tropis (20oLU20oLS)
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 30
Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
Bias curah hujan dan suhu udara pada bulan DJF dan JJA Bias menunjukkan selisih data model dan observasi. Bias suhu udara pada bulan DJF dan JJA menunjukkan model pada wilayah Afrika dan Amerika overestimate pada ketiga model. Pada wilayah Hindia dan Pasifik model IPSL dan MPI underestimate dan BCC overestimate. Pada wilayah Indonesia model BCC dan MPI overestimate dan IPSL underestimate. Bias curah hujan menunjukkan pada wilayah Amerika ketiga model underestimate baik pada bulan DJF maupun JJA. Pada wilayah Pasifik, ketiga model overestimate pada bulan JJA. Model MPI dan IPSL overestimate pada wilayah Hindia sedang BCC underestimate pada JJA. Pada wilayah Indonesia model IPSL dan MPI overestimate sedangkan MPI underestimate.
model overestimate. Bias curah hujan dan suhu udara pada kelompok bulan DJF dan JJA di masing-masing wilayah menunjukkan bahwa tidak ada model yang memiliki performance baik di semua wilayah tersebut.
Gambar 6. Bias suhu udara pada bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) pada beberapa wilayah tahun 1981-2010
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Rahmat Hidayat yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan selama penelitian maupun penulisan KTI ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 5. Bias curah hujan pada bulan DJF (atas) dan JJA (bawah) pada beberapa wilayah tahun 19812010
KESIMPULAN Model BCC-CSM-1.1, IPSL-CM5A-LR dan MPI-CSM-LR, pada parameter curah hujan dan suhu udara dapat menunjukkan adanya variasi musiman yang mendekati hasi observasi. Ketiga model dapat menangkap adanya sinyal ITCZ dan SPCZ. Standar deviasi suhu udara overestimate (pada ketiga model) pada wilayah daratan Amerika Tropis bagian Selatan. Pada pantai Barat Amerika Selatan model MPI dan IPSL underestimate dan BCC paling mendekati nilai observasi. Keragaman curah hujan pada ketiga
Taylor KE., R. J. Stou®er, and G. A. Meehl. 2011. An overview of CMIP5 and the experiment design. Bull. Amer. Meteorol. Soc., doi:10.1175/BAMS-D-11-00094.1. 2 Xin X, Wu T dan Zhang J. 2013. Introduction of CMIP5 experiment carried out with the Climate System Models of Beijing Climate Center. Advances in Climate Change Research. 4(1): 41-49. 3 Schubert JJ, Stevens B dan Crueger T. 2013. Madden-Julian oscillation as simulated by the MPI Earth System Model: over the last and into the next millennium. Journal of Advances in Modeling Earth System. 5: 71-84. 4 Krismer TR, Giorgetta MA, dan Esch M. 2013. Seasonal aspects of the quasi-biennial oscillation in the Max Planck Institute Earth System Model and ERA-40. Journal of Prosiding SNSA 2015 – Halaman 31
Anis Purwaningsih dan Rahmat Hidayat
Advances in Modeling Earth System. 5: 406421. 5 Muller WA, Baehr J, Haak H, Jungclaus, Kroger J, Matei D, Notz D, Pohlmann H, Storch JSV dan Marotzke. 2013. Forecast skill of multiyear seasonal means in the decadal prediction system of the Max Planck Institute for Meteorology. Geophysical Researcg Letters. 39: 22-28. 6 Dufrense JL., Fojoul M.A., Denvil, S, et al. 2013. Climate change projection using the IPSL-CM5 Earth System Model: from CMIP3 to CMIP5. Clim Dyn. 40:2123-2165. 7 Vincent DG. 1994. The South Pacific Convergence Zone: a review. Monthly Weather Review. 122: 1949-1970.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 32
8
Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor (ID) Pustaka Jaya. 9 Leech PJ, Stieglitz JL dan Zhang R. 2012. Western Pacific thermocline structure and the Pacific marine Intertropical Convergence Zone during the last glacial maximum. Earth and Planetary Science Letters. 363: 133-143. 10 Vincent EM, Lengaigne M, Menkes CE, Jourdain NC, Marchesielo P dan Madec G. 2009. Interannual variability of the South Pacific Convergence Zone and implications for tropical cyclone genesis. Clim Dyn. DOI 10.1007/s00382-009-0716-3.
Aprizon Putra, dkk.
APLIKASI CITRA SATELIT UNTUK IDENTIFIKASI PERUBAHAN LUASAN MANGROVE DI TELUK BUNGUS KOTA PADANG SATELLITE IMAGERY APPLICATION FOR IDENTIFICATION MANGROVE AREA CHANGE IN TELUK BUNGUS PADANG CITY Aprizon Putra, Try Al Tanto, Ilham Loka Penelitian Sumber Daya Dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP, Kementerian Kelautan dan Perikanan Jl. Raya Padang- Painan Km 16 Padang, Sumatera Barat Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Reduced width of mangroves in Teluk Bungus Padang City due to location mangrove adjacent the fishing port and crossing, Pier Pertamina, the location of marine tourism as well as the location of mangrove grow directly adjacent to the main road so easily exploited by society. This research aims to find out changes in mangrove area using Landsat satellite image LM + 1 1989, 5 TM 1995, 7 ETM+ 2008 and 8 OLI 2014. The method used is the analysis of Maximum Likelihood Classification (MLC). The results showed Mangroves in Teluk Bungus decreased by 11.17 ha/year, the decline is located in Teluk Buo of 4.14 ha in 1989 to 0 ha 2014 is due to the region in conversion into the power plant area, as well as in Labuan Tarok from 4.86 ha in 1989 to 1.99 ha in 2014 is due to the area converted into residential areas. While the addition of mangrove found in Teluk Pandan from 20.43 ha in 1989 to 29.06 ha in 2014 is due to the conservation carried out by the relevant agencies and the growth of mangroves are the natural location with mud substrate. Keywords: Mangrove, Satellite Imagery, Teluk Bungus ABSTRAK Berkurangnya luasan mangrove di Teluk Bungus Kota Padang disebabkan karena lokasi tumbuh mangrove berdekatan dengan pelabuhan perikanan dan penyebrangan, Dermaga Pertamina, lokasi wisata bahari serta lokasi tumbuh mangrove berdekatan langsung dengan jalan utama sehingga mudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan luasan mangrove dengan menggunakan citra satelit Landsat LM +1 1989, 5 TM 1995, 7 ETM+ 2008 dan 8 OLI 2014. Metode yang digunakan adalah dengan analisa Maximum Likelihood Classification (MLC). Hasil penelitian menunjukan kondisi mangrove di Teluk Bungus mengalami penurunan luasan sebesar 11.17 ha/tahun, penurunan tersebut berlokasi di Teluk Buo dari 4.14 ha tahun 1989 menjadi 0 ha tahun 2014 ini disebabkan karena wilayah tersebut di konversi menjadi kawasan PLTU, begitu juga di Labuhan Tarok dari 4.86 ha tahun 1989 menjadi 1.99 ha tahun 2014 ini disebabkan karena wilayah tersebut di konversi menjadi kawasan permukiman. Sedangkan penambahan mangrove terdapat di Teluk Pandan dari 20.43 ha tahun 1989 menjadi 29.06 ha tahun 2014 ini disebabkan adanya konservasi yang dilakukan oleh instansi terkait dan tumbuh kembang mangrove berada pada lokasi yang alami dengan substrat tanah lumpur. Kata Kunci : Mangrove, Citra Satelit, Teluk Bungus
PENDAHULUAN Mangrove merupakan gabungan kata mangue (Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil, yang secara keseluruhan bahwa mangrove berarti tumbuhan yang membentuk hutan kecil. Secara fisik mangrove sebagai struktur habitat yang melindungi kerusakan pantai akibat pukulan gelombang laut. Namun secara ekologis, mangrove merupakan tempat siklus rantai makanan karena tersedianya sumber unsur hara yang kaya.1
Ekosistem mangrove di dunia sekitar 15.90 juta ha, dimana 27% diantaranya berada di Indonesia. Indonesia yang mempunyai panjang garis pantai 95.181 km, terpanjang kedua di dunia setelah Kanada dan memiliki 17.504 buah pulau - pulau kecil pada tahun 1982 serta memiliki ekosistem mangrove seluas 4.25 juta ha dengan penyebaran 35.51% di Papua, 30.51% di Kalimantan, 22.86 % di Sumatera, 6.71% di Sulawesi, 3.98% di Maluku, 0.90 % di Jawa, dan 0.43% di Bali dan Nusa Tenggara. Pada tahun 1996, luas ekosistem mangrove Indonesia menyusut menjadi 3.53 juta ha, dan pada tahun Prosiding SNSA 2015 – Halaman 33
Aprizon Putra, dkk.
2005 luasan ekosistem mangrove menyusut menjadi 3.53 juta ha.2 Teluk Bungus merupakan salah satu kawasan pengembangan wilayah pesisir untuk wisata bahari di Kota Padang. Kecenderungan pengembangan wilayah berdampak pada peningkatan penduduk yang pesat di wilayah ini dan diikuti oleh degradasi kualitas lingkungan serta merubah kualitas perairan yang sebagian besar masih dalam kondisi baik.3
Gambar 2. Peta Lokasi penelitian.7 Gambar 1. Peta Sebaran Ekosistem Mangrove di Indonesia dan sekitarnya.4
Perubahan tutupan lahan di Teluk Bungus memerlukan usaha pengkajian berbasis kewilayahan yang diharapkan dapat memperoleh data dan informasi yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi dalam pengelolaan kawasan tersebut.5 Identifikasi perubahan tutupan lahan penting dilakukan untuk memantau terjadinya perubahan tutupan lahan sehingga degradasi lahan dapat dihindari.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai peranan yang sangat penting dalam usaha pemantauan perubahan luasan ekosistem mangrove. SIG dapat digunakan untuk analisa, dan pengolahan dari data informasi geografis secara optimal. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luasan ekosistem mangrove di Teluk Bungus Kota Padang. METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Bungus Kota Padang pada koordinat 100°2’27.69”BT 1°0’42.60”LS dan 100° 26’00.08”BT 1°4’53.02”LS. Dimana lokasi sampling dilakukan di delapan lokasi pengamatan yaitu Teluk Buo, Teluk Pandan, Teluk Kaluang, Teluk Kabung, Batung, Cindakir, Sako+Caroline dan Labuhan Tarok.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 34
Analisa Data Analisa data luasan ekosistem mangrove dihasilkan dari interpretasi citra landsat. Selain itu, penafsiran tutupan lahan mangrove juga mengacu dari data tutupan lahan yang dihasilkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 2008-2028.8 Data dari citra landsat dengan resolusi 30 x 30 meter digunakan untuk mengekstraksi tutupan lahan ekosistem mangrove di Teluk Bungus, dikarenakan mudah untuk di interpretasi dan cakupan areanya memenuhi seluruh wilayah penelitian. Metode yang digunakan dalam klasifikasi ini adalah metode Maximum Likelihood Classification (MLC), dimana pengkelasan piksel didasarkan pada kemiripan maksimum piksel dengan sekelompok piksel lainnya dalam suatu citra. Piksel yang diketahui identitasnya akan dikelompokkan berdasarkan evaluasi secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral kategori tertentu dengan asumsi bahwa distribusi piksel dari data daerah contoh menyebar normal, sehingga nilai peluang piksel yang belum teridentifikasi akan dihitung oleh komputer dan dimasukkan dalam kelas yang peluangnya paling tinggi. Hasil klasifikasi dengan menggunakan daerah contoh kemudian dikelaskan kembali atau pengkelasan ulang (reclass) untuk mendapatkan citra yang lebih informatif mengenai daerah kajian. Alur kerja penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Aprizon Putra, dkk. 1. 2. 3. 4.
Citra Citra Citra Citra
Landsar Landsat Landsat Landsat
proses tumpang susun (overlay) sehingga diketahui perubahan luasan ekosistem mangrove tersebut.
LM 1 1989 T5 1995 7 2008 8 2014
Pemotongan Citra (Cropping)
Koreksi Radiometrik (Histogram Adjustment)
Gambar 4. Ekosistem Mangrove pada kawasan Teluk Kabung.
Citra Terkoreksi
Penajaman Citra Band (453)
Maximum Likelihood Classification (MLC)
Luasan Spasial Mangrove 1989, 1995, 2008 dan 2014
Gambar 5. Ekosistem Mangove yang hilang pada kawasan pembangunan Pabrik Pengolahan Sawit di Sako+Caroline.
Gambar 3. Diagram Alur Penelitian.
Perhitungan Luasan Mangrove Luas ekosistem mangrove dapat diketahui dengan mengacu pada formula9 sebagai berikut : (1) dengan : L = = r = 0.0001 =
Luas (ha) Jumlah pixel Resolusi spasial landsat = 30 x 30 m Konversi m2 ke dalam (ha)
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi ekosistem mangrove di Teluk Bungus berada pada kawasan teluk dan muara sungai. Lokasi yang berada di kawasan teluk yaitu di Teluk Buo (dialihfungsikan menjadi kawasan terbangun PLTU pada pertengahan tahun 2009), Teluk Pandan, Teluk Kabung dan Teluk Kaluang serta di lokasi muara sungai yaitu di Sako+Caroline dan Labuhan Tarok yang berada di muara Sungai Batang Bungus serta di Cindakir dan Batung yang berada di muara Sungai Batang Cindakir. Untuk mendeteksi perubahan luas ekosistem mangrove di Teluk Bungus digunakan dengan analisa citra Landsat LM+1 1989, TM 5 1995, tahun 1994, 7 ETM+ 2008 dan 8 OLI 2014. Dari hasil analisis keempat citra kemudian dilakukan
Gambar 6. PLTU Teluk Sirih yang dahulunya adalah lokasi ekosistem mangrove.
Luas ekosistem mangrove di Teluk Bungus berdasarkan analisa citra landsat LM+1 1989 adalah 57.51 ha dengan lokasi terluas berada di Teluk Pandan seluas 20.43 ha dan terkecil berada di Batung seluas 3.42 ha. Sedangkan berdasarkan analisa citra landsat 5 Tm 1995 adalah 73.25 ha dengan lokasi terluas di Teluk Pandan seluas 29.09 ha dan terkecil di Batung seluas 1.14 ha, berdasarkana analisa citra landsat 7 ETM+ 2008 adalah 75.20 ha dengan lokasi terluas di Teluk Pandan seluas 31.15 ha dan terkecil di Batung seluas 1.16 ha, dan analisa citra landsat 8 OLI 2014 adalah 73.39 ha dengan lokasi terluas masih berada di Teluk Pandan seluas 29.06 ha dan terkeci 1.04 ha di Batung dan 1.99 ha di Labuhan Tarok, bahkan di Teluk Buo ekosistem mangrove hilang draktis dari 2.48 ha berdasarkan analisa dengan citra landsat 7 ETM+ 2008 menjadi 0 ha pada tahun 2014. Ini sebabkan karena wilayah Prosiding SNSA 2015 – Halaman 35
Aprizon Putra, dkk.
tersebut dialihfungsikan menjadi kawasan PLTU yang pembangunannya dimulai pada pertengahan tahun 2009 yang mengakibatkan hilang dan rusaknya ekosistem yang berada pada sekitar kawasan tersebut. Sedangkan akses jaringan jalan menuju PLTU dibangun berdekatan dengan ekosistem mangrove Teluk Buo. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya konversi lahan menjadi permukiman di sepanjang jalan tersebut. Pada bagian belakang ekosistem mangrove Teluk Pandan yang berdekatan dengan jaringan jalan juga telah terlihat konversi kawasan mangrove menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Untuk lebih jelasnya perubahan ekosistem mangrove di Teluk Bungus dapat di lihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Perubahan Mangrove di Teluk Bungus. Lokasi
1989
1995
2008
2014
Laju Perubahan 0.43
Teluk Buo
4.14
4.11
2.48
0
Teluk Pandan
20.4 3
Teluk Kaluang
8.73
29.0 9 10.7 1
31.1 5 12.9 8
29.0 6 12.7 4
Teluk Kabung
3.78
4.85
5.77
4.14
0.74
Batung
3.42
1.14
1.16
1.04
0.27
4.14
4.63
2.09
4.35
0.61
5.14
17.4 6
20.0 7
2.03
2.11
1.99
0.90
75.2 0
73.3 9
11.17
Cindakir Sako Caroline Labuhan Tarok Jumlah
+
8.01 4.86 57.5 1
13.5 9 73.2 5
4.39 1.81
Laju perubahan luas ekosistem mangrove yang paling besar berada di Teluk Pandan dengan rata-rata bertambah setiap tahunnya sebesar 4,39 ha/th. Sementara itu pengurangan luasan terkecil berada di Batung dengan rata-rata berkurang setiap tahunnya sebesar 0,27 ha/th dan di Teluk Buo dengan rata-rata 0,43 ha/th dan sampai sekarang, tidak ada lagi ekosistem mangrove di kawasan tersebut. Kamal10 menambakan berkurangnya luas ekosistem mangrove di Teluk Bungus umumnya lebih disebabkan karena adanya konversi kawasan ekosistem mangrove menjadi lahan terbangun. Sedangkan pertambahan luasan ekosistem mangrove disebabkan karena perkembangan secara alami dan lokasi ekosistem mangrove tersebut jauh dari lokasi pemukiman dan aktifitas penduduk.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 36
Gambar 7. Peta Tutupan Mangrove di Teluk Bungus Kota Padang Tahun 1989.
Gambar 8. Peta Tutupan Mangrove di Teluk Bungus Kota Padang Tahun 1995.
Aprizon Putra, dkk.
Gambar 9. Peta Tutupan Mangrove di Teluk Bungus Kota Padang Tahun 2008.
tahun 2008-2028 memperlihatkan bahwa terdapat beberapa lokasi sebaran hutan mangrove yang akan berkurang luasannya dan ada juga beberapa lokasi yang akan bertambah luasannya. Lokasilokasi ekosistem mangrove yang diperkirakan akan berkurang luasannya adalah Labuan Tarok, Cindakir, Batung, Teluk Kabung, Sako + Caroline dan Teluk Buo (sudah tidak ada sejak pertengahan tahun 2009). Selain dekat dengan permukiman dan jalan, potensi pengurangan luas ekosistem mangrove di Labuan Tarok dan di Sako+Caroline juga disebabkan karena berada dekat dengan Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, Pelabuhan penyeberangan Bungus dan pembangunan pabrik pengolahan sawit. Bahkan ekosistem mangrove di Cindakir dan Batung diperkirakan juga berkurang luasannya karena berada di samping jalan dan dekat dengan permukiman penduduk. Khusus di Batung, lokasi ini juga berdekatan dengan Dermaga Pertamina. Sedangkan di Teluk Kabung berdekatan dengan permukiman dan areal pertanian, serta merupakan tempat tambatan kapal nelayan. Sementara itu lokasi yang diperkirakan akan bertambah luasannya adalah Teluk Kaluang dan Teluk Pandan. Lokasi ini merupakan sebuah teluk yang terlindung dari arus Samudera Hindia dan bagian belakangnya berbatasan langsung dengan bukit. Selain itu juga terisolir dari permukiman sehingga kemungkinan terjadinya konversi wilayah ekosistem mangrove menjadi areal pemukiman ataupun kebun sangat kecil. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kepala Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, yang telah memberikan dorongan penuh bagi kami dalam melaksanakan penelitian. Kami juga menghaturkan banyak terima kasih bagi semua pihak yang telah membantu proses administrasi, penyediaan data-data penelitian dan juga pihak yang membantu kami di lapangan. DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 10. Peta Tutupan Mangrove di Teluk Bungus Kota Padang Tahun 2014.
KESIMPULAN Perubahan ekosistem mangrove di Teluk Bungus berdasarkan hasil overlay peta sebaran ekosistem mangrove dengan peta RTRW Kota Padang
Arief, A., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius. 10 hlm. 2 Kamal, E., JS, Bujang, M, Rahman., dan S, Othman, 1998. Kondisi dan Kebijakan Hutan Mangrove di Sumatera Barat. Majalah Ilmiah Wawasan IPTEKNI Tahun V No.2. Hal. 7383. 3 Salim, HI., Rustam, A., dan Ati, RNH., 2007. Pola Sebaran Spasial Kualitas Air Teluk Bungus Padang. Jurnal Segara, 3(1):1-10.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 37
Aprizon Putra, dkk. 4
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), 2008. Data Luas Potensial Hutan Mangrove Indonesia. Jakarta: Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS). 5 Yulius., Tanto, TA., Ramdhan, M., Putra, A., dan Salim, HI., 2014. Perubahan Tutupan Lahan di Pesisir Bungus Teluk Kabung, Sumatra barat Tahun 2003-2013 Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 6(2): 311-318. 6 Akhirudin, NH., dan Suharjo, 2006. Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Kota Surakarta Tahun 1993-2004 dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG). Jurnal Penelitian Sains dan Teknologi, 7(2):170 178. 7 Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP), 2013. Kerentanan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 38
Ekosistem Kawasan Teluk Bungus Terhadap Perubahan Tata Guna Lahan. Laporan Tahunan Kegiatan Penelitian Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP), Balitbang KP Kementerian Kelautan dan Perikanan. 8 Putra, A., Husrin, S., dan Kelvin, J., 2015. Identifikasi Perubahan Luasan Greenbelt Di Kabupaten Pangandaran - Jawa Barat Menggunakan Citra Landsat. Jurnal Akuatika, 6(1): 59-67. 9 Febrian, A., 2010. Estimasi laju Perubahan Hutan Mangrove dengan Sistem Informasi Geografis. Thesis, Mayor Teknologi Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 10 Kamal, E., 2006. Potensi dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir: Hutan Mangrove dan Terumbu Karang di Sumatera Barat. Jurnal Mangrove dan Pesisir, VI (1): 12-18
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
PENGARUH SKEMA CUMULUS YANG BERBEDA PADA POLUTAN DALAM MODEL WRF-CHEM EFFECT OF DIFFERENT CUMULUS SCHEME ON POLLUTANT WITHIN WRF-CHEM MODEL Danang Eko Nuryanto* dan Tri Astuti Nuraini Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, Jl. Meranti Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 * Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Angkasa I No 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT The Weather Research Forecasting – Chemistry (WRF-Chem) model simulation have been done on Great Jakarta domain for time period from 22 – 25 August 2013 with 0.5o resolution input data from Global Forecast System (GFS) and 00 Coordinated Universal Time (UTC) as its initial time. Performed a comparison of the output of WRFChem with different settings cumulus scheme, which uses Grell 3D and Grell-Freitas ensemble schemes. The purpose of this simulation is to determine pollutant differences in the model output of two different settings of the cumulus schemes. The simulation results of WRF-Chem for PM10 indicate that Grell 3D ensemble scheme shows more intensity PM10 in Bogor, Curug and Cikarang than the Grell-Freitas ensemble scheme. While pollutants of CO indicate that the Grell-Freitas ensemble scheme shows more intensity CO in Bogor than ensemble 3D Grell scheme. Keywords: particulate matter, cumulus scheme, WRF-Chem ABSTRAK Telah dilakukan simulasi model Weather Research Forecasting – Chemistry (WRF-Chem) domain wilayah Jabotabek pada tanggal 22 – 25 Agustus 2013 dengan data input dari Global Forecast System (GFS) resolusi 0.5o dan inisial data jam 00 Coordinated Universal Time (UTC). Metode yang dilakukan adalah perbandingan hasil keluaran WRF-Chem dengan setting skema cumulus yang berbeda, yaitu menggunakan skema ensemble 3D Grell dan skema ensemble Grell-Freitas. Tujuan simulasi ini adalah untuk mengetahui perbedaan polutan keluaran model dari dua setting skema cumulus yang berbeda tersebut. Hasil simulasi WRF-Chem untuk polutan PM10 menunjukkan bahwa skema ensemble 3D Grell memberikan efek meningkatnya konsentrasi PM10 pada Bogor, Curug dan Cikarang dibanding skema ensemble Grell-Freitas. Sedangkan untuk polutan CO menunjukkan bahwa skema ensemble Grell-Freitas memberikan efek meningkatnya konsentrasi CO pada wilayah Bogor dibanding skema ensemble 3D Grell. . Kata kunci : particulate matter, skema cumulus, WRF-Chem
PENDAHULUAN Masih minimnya data kualitas udara di Indonesia ditambah masih terbatasnya pengamatan menjadikan model sebagai pilihan alternatif untuk dikembangkan. WRF-Chem adalah model Weather Research Forecasting (WRF) yang dilengkapi dengan modul Chemistry (kimia). Model tersebut dapat mensimulasikan emisi, transportasi, pencampuran, dan transformasi gas kimia dan aerosol bersamaan dengan proses meteorologi. Perbedaan WRF-Chem 3.5 dengan WRF adalah terdapat penambahan modul kimiawi (chemistry) pada data input yang digunakan oleh WRF-Chem. Data input tambahan ini disediakan
oleh WRF Preprocessing System (WPS, bagian dust erosion) atau dalam proses real.exe (yaitu pembakaran biomassa, emisi biogenik, emisi background dari Goddard yaitu Global Ozone Chemistry Aerosol Radiation and Transport (GOCART) dan lain-lain) atau dalam proses eksekusi wrf.exe (yaitu emisi anthropogenik, syarat batas, emisi vulkanik dan lain-lain).1 Pada studi sebelumnya, Grell et al,2 menemukan bahwa model WRF-Chem mempunyai kemampuan lebih baik dibanding dengan model MM5-Chem. Sedangkan Fast et al,3 melakukan simulasi variasi skala urban hingga regional model WRF-Chem yang dibandingkan dengan data pengukuran kualitas Prosiding SNSA 2015 – Halaman 39
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
udara di Texas selama tahun 2000. Kemudian Zhang et al,4 melakukan perbandingan simulasi model WRF-Chem dengan data pengukuran kualitas udara kota Meksiko. Pada kota yang sama De Foy et al,5 melakukan simulasi dan analisis trayektori partikel menggunakan model Mesoscale Model version 5 (MM5) dan WRF. Sementara itu untuk wilayah Asia Selatan pertama kali dilakukan oleh Kumar et al,6 yaitu melakukan simulasi tahunan ozon troposfer menggunakan WRF-Chem yang kemudian di bandingkan dengan data observasi. Pada studi tersebut menunjukkan bahwa model WRF-Chem menangkap banyak fitur penting dari pengamatan dan menghasilkan simulasi ozon secara akurat. Pada penelitian ini dilakukan simulasi model WRF-Chem domain wilayah Jabotabek pada tanggal 22 – 25 Agustus 2013 dengan data input dari Global Forecast System (GFS) resolusi 0.5o dan inisial data jam 00 Coordinated Universal Time (UTC). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keluaran dua setting skema cumulus, yaitu menggunakan skema ensemble 3D Grell7,8 dan skema ensemble GrellFreitas9 wilayah Jabotabek pada tanggal tersebut. METODOLOGI Lokasi dan Data Wilayah studi yang dipilih adalah wilayah Jabotabek karena pada wilayah tersebut merupakan salah satu pusat daerah urban dengan pertumbuhan penduduk dan industri sangat tinggi. Domain model didefinisikan pada proyeksi peta Mercator yaitu proyeksi peta silinder yang sumbunya berimpit dengan bola Bumi, yang terpusat pada 6o LU dan 106.9o BT dengan resolusi 10 km. Domain tersebut mempunyai titik grid sebanyak 100 grid arah Barat-Timur dan 100 grid arah Utara-Selatan. Kimia fase gas yang diterapkan dalam WRFChem adalah mekanisme kimia,10 dari kimia Regional Acid Deposition Model version 2 (RADM2),11 dan aerosol GOCART tanpa menggunakan Kinetic Pre-Processor (KPP) library.12,13,14 Mekanisme RADM2 adalah kompromi antara detail kimia, prediksi kimia yang akurat dan sumber daya yang tersedia di komputer. Hal ini banyak digunakan dalam model atmosfer untuk memprediksi konsentrasi oksidan dan polusi udara lainnya. Model WRFChem pada penelitian ini juga menggunakan skema fotolisis Madronich, dengan emisi RETRO / EDGAR untuk input emisi antropogenik, dan untuk emisi biogenik menggunakan skema Gunther.15,16 Pada Prosiding SNSA 2015 – Halaman 40
percobaan ini menghidupkan fase gas dan kimia aerosol; maka umpan balik dari aerosol ke skema radiasi dan transportasi konvektif subgrid juga diaktifkan (Tabel 1). Pengolahan Data Diagram alur langkah proses running model dapat diperhatikan pada Gambar 1. Secara sederhana dapat diilustrasikan bahwa ada 3 modul proses utama yang perlu dilakukan. Pertama adalah modul WPS, untuk mempersiapkan data meteorologi sesuai dengan pilihan domain. Kedua adalah modul prep_chem_sources, untuk mempersiapkan data emisi global supaya dapat dibaca WRF-Chem. Ketiga adalah modul WRF, dimana pada modul ini ada sub modul chem untuk proses kimianya. Pada simulasi ini dilakukan dua kali running dengan dua skema cumulus yang berbeda yaitu skema ensemble 3D Grell (merupakan parameterisasi konversi otomatis dari air awan ke hujan adalah konstan) 7,8 dan skema ensemble Grell-Freitas (menggunakan persamaan untuk konversi dari air awan ke hujan menggunakan persamaan Berry) 9. Persamaan Berry17 adalah sebagai berikut: ……………. (1) Dengan : M = kadar air presipitasi m = kadar air awan Nb = densitas jumlah tetesan awan Db = dispersi relatif tetesan awan
Gambar 1. Diagram Alir Proses Simulasi WRF – Chem 3.5. (Sumber: Peckam et al, 2013)
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
Tabel 1. Pilihan Konfigurasi dalam WRF-Chem Proses Kimia dan Atmosfer Chemistry Photolysis Anthropogenic Emissions Biogenic Emissions Biomass Burning Emissions Dust Emissions Sea Salt Emisions DMS Emissions Aerosol Optical Properties Gas phase chemistry Aerosol chemistry Feedback from the aerosols Subgrid convective transport Cumulus Scheme Microphysics Shortwave radiation Longwave radiation Land surface model Surface-layer Boundary-layer
Pilihan Model RADM2 Chemistry dan GOCART aerosols tanpa KPP library Fotolisis Madronich (TUV) Emisi RETRO/EDGAR Skema Gunther biomass burning emissions dan plume rise calculation Emisi debu GOCART Emisi garam laut GOCART Emisi dms GOCART dari permukaan laut calculated based upon volume approximation Turn on Turn on Turn on to the radiation schemes Turn on Grell 3D ensemble scheme WSM 6-class scheme Goddard Short Wave RRTM Scheme Noah MM5 Monin-Obukhov scheme Skema YSU
HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Temperatur Secara umum dari penelitian sebelumnya dapat dilihat bahwa temperatur dan kecepatan angin memiliki fase yang sama, hal ini terlihat dengan pola yang saling bersesuaian, yaitu ketika temperatur naik kecepatan angin juga naik, begitu juga sebaliknya.18 Angin merupakan udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Sementara tekanan pada suatu daerah berbanding terbalik terhadap temperatur, yaitu temperatur tinggi berarti tekanannya rendah sedangkan temperatur rendah maka tekanannya tinggi. Pada Gambar 2 memperlihatkan perbandingan temperatur hasil keluaran model WRF-Chem memiliki pola diurnal yang mirip dengan observasi pada tiga lokasi pengamatan, yaitu Bogor, Curug dan Cikarang tanggal 22-25 Agustus 2013 (Gambar 2a-c), namun tetap disertai dengan bias yang kecil. Bias terkecil (0.05) ada di Curug dengan RMSE 1.86 dan korelasi 0.9 (Tabel 2). Sedangkan luaran model
di Kemayoran memiliki anomali untuk dua hari pertama pengamatan dimana maksimum temperatur justru dicapai pada saat malam hari. Bias antara luaran model dan observasi pun terlihat sangat besar (Gambar 2d) dengan nilai bias 1.99 dan RMSE 2.09 serta korelasi 0.66 (Tabel 2). Perbandingan Kecepatan Angin Gambar 3 menunjukkan kecepatan angin pada hasil keluaran model WRF-Chem memiliki pola diurnal yang belum mengikuti dengan observasi pada tiga lokasi pengamatan, yaitu Bogor, Curug dan Cikarang (Gambar 3a-c), namun tetap disertai dengan bias yang kecil. Korelasi tertinggi (0.62) ada di Cikarang dengan RMSE 1.45 dan bias 0.61 (Tabel 2). Sedangkan luaran model di Kemayoran memiliki anomali untuk dua hari pertama pengamatan dimana maksimum kecepatan angin justru dicapai pada saat malam hari. Bias antara luaran model dan observasi pun terlihat sangat besar (Gambar 2d) dengan nilai bias -3.14 dan RMSE 2.18 serta korelasi 0.09 (Tabel 2). Secara umum menunjukkan bahwa hasil model tidak memperlihatkan pola yang sesuai dengan observasi, meskipun pada waktu tertentu menunjukkan pola yang mirip (jam 13.00 – 16.00) kecuali di Kemayoran. Di Bogor, Curug dan Kemayoran terdapat angin dengan kecepatan sangat rendah, hal ini dimungkinkan karena lokasi pengamatan dikelilingi gedung dan pohon. Perbandingan Polutan Gambar 4 merupakan perbandingan distribusi konsentrasi PM10 wilayah Jabotabek antara hasil pengamatan dengan keluaran model WRF-Chem tanggal 22-25 Agustus 2013. Pada Gambar 4a menunjukkan perbandingan distribusi konsentrasi PM10 di wilayah Bogor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi PM10 terjadi pada malam hari (22:00 – 02:00 WIB). Hal ini juga terlihat pada luaran model WRFChem juga menunjukkan konsentrasi tinggi terjadi pada malam hari (22:00 - 02:00 WIB). Namun siklus diurnal pada model WRF-Chem masih belum terlihat dengan jelas dibandingkan dengan pengamatan. Sedangkan nilai konsentrasi model WRF-Chem di wilayah Bogor masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 41
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 2. Perbandingan Distribusi Temperatur Wilayah Jabotabek Hasil Pengamatan Dengan Keluaran Model WRF-Chem Tanggal 22 – 25 Agustus 2013, yaitu (A) Bogor, (B) Curug, (C) Cikarang Dan (D) Kemayoran.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Perbandingan Distribusi Kecepatan Angin Wilayah Jabotabek Hasil Pengamatan Dengan Keluaran Model WRF-Chem Tanggal 22 – 25 Agustus 2013, yaitu (A) Bogor, (B) Curug, (C) Cikarang dan (D) Kemayoran.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 42
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
Tabel 2. Perbandingan Rata-Rata, Korelasi(R), Bias dan RMSE Kecepatan Angin dan Temperatur Pada Empat Lokasi Pengukuran dengan Hasil Keluaran Model WRF-Chem. Bogor Temperatur
Curug
Cikarang
Kemayoran
Rata 28.75 R 0.94 Bias 0.92 RMSE 1.19 Kecepatan Angin
27.02 0.90 -0.05 1.86
28.20 0.96 1.39 3.02
29.48 0.66 1.99 2.09
Rata R Bias RMSE
1.08 0.58 -1.01 1.28
2.99 0.62 0.61 1.45
1.39 0.09 -3.14 2.18
1.55 0.37 -0.34 1.49
Pada Gambar 4b menunjukkan perbandingan distribusi konsentrasi PM10 di wilayah Curug. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi PM10 terjadi pada malam hari (22:00 – 02:00 WIB). Namun pada luaran model WRF-Chem menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi terjadi pada siang hari (10:00 – 14:00 WIB) dan malam hari (22:00 - 02:00 WIB). Untuk siklus diurnal pada model WRF-Chem terlihat dengan jelas ada siklus 12 jam-an sedangkan pada pengamatan menunjukkan siklus 24 jam-an. Sedangkan nilai konsentrasi model WRF-Chem di wilayah Curug juga masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan. Pada Gambar 4c menunjukkan perbandingan distribusi konsentrasi PM10 di wilayah Cikarang. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi PM10 terjadi pada malam hari (22:00 – 02:00 WIB). Namun pada luaran model WRF-Chem menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi terjadi pada siang hari (10:00 – 14:00 WIB) tanggal 22 dan 24 Agustus 2013 serta malam hari (22:00 - 02:00 WIB) tanggal 23 dan 24 Agustus 2013. Untuk siklus diurnal pada model WRF-Chem tidak terlihat dengan jelas pada awal simulasi, ada siklus 12 jam-an pada tanggal 23 – 24 Agustus 2013. Sedangkan nilai konsentrasi model WRF-Chem di wilayah Cikarang juga masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan. Pada Gambar 4d menunjukkan perbandingan distribusi konsentrasi PM10 di wilayah Kemayoran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi PM10 juga terjadi pada malam hari (22:00 – 02:00 WIB). Demikian juga pada luaran model WRF-Chem menunjukkan bahwa konsentrasi tinggi terjadi pada malam hari (22:00 - 02:00 WIB. Untuk siklus diurnal pada
model WRF-Chem terlihat dengan jelas ada siklus 24 jam-an, demikian halnya pada pengamatan juga menunjukkan siklus 24 jam-an. Sedangkan nilai konsentrasi model WRF-Chem di wilayah Kemayoran juga masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengamatan. Secara umum untuk wilayah Jabotabek hasil luaran model WRF-Chem mempunyai nilai konsentrasi PM10 yang berbeda di empat lokasi. Sedangkan jika dibandingkan dengan pengamatan masih menunjukkan underestimates. Kondisi terlihat dari adanya perbedaan pola yang sangat signifikan termasuk nilainya antara model dengan observasi. Hal ini terjadi karena penggunaan data inisial sebagai input data masih menggunakan data global sehingga kurang bisa menggambarkan model dengan resolusi 10 km. Namun demikian terlihat pada masing-masing lokasi menunjukkan kemiripan pola, terutama di Kemayoran. Gambar 5 menunjukkan perbandingan ratarata PM10 antara skema ensemble Grell-Freitas (s1) dan skema ensemble 3D Grell (s2). Terlihat bahwa variasi bias PM10 cenderung didominasi oleh skema ensemble 3D Grell. Dengan kata lain hampir semua wilayah mempunyai konsentrasi PM10 lebih tinggi pada skema ensemble 3D Grell dibanding dengan skema ensemble GrellFreitas. Jika diperhatikan untuk wilayah Bogor, Curug dan Cikarang didominasi oleh skema ensemble 3D Grell, kecuali Kemayoran didominasi skema ensemble Grell-Freitas. Artinya skema ensemble 3D Grell memberikan efek meningkatnya konsentrasi PM10 pada tiga wilayah tersebut (Bogor, Curug dan Cikarang) dan skema ensemble Grell-Freitas memberikan efek meningkatnya konsentrasi PM10 pada Kemayoran. Sedangkan output model dengan parameter polutan CO dapat dilihat pada Gambar 6, yaitu perbandingan rata-rata bias CO antara skema ensemble Grell-Freitas (s1) dan skema ensemble 3D Grell (s2). Pada Gambar 6 terlihat bahwa variasi bias CO cenderung didominasi oleh skema ensemble Grell-Freitas. Wilayah Bogor dibandingkan dengan daerah penelitian lainnya cenderung didominasi oleh skema ensemble Grell-Freitas, yaitu konsentrasi CO lebih tinggi dibanding dengan skema ensemble 3D Grell. Artinya skema ensemble Grell-Freitas memberikan efek meningkatnya konsentrasi CO pada wilayah Bogor dan tidak memberikan efek signifikan konsentrasi CO pada wilayah Curug, Kemayoran dan Cikarang.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 43
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4. Perbandingan Distribusi Konsentrasi PM10 (Ug/M2) Wilayah Jabotabek Hasil Pengamatan dengan Keluaran Model WRF-Chem Tanggal 22 – 25 Agustus 2013, yaitu (A) Bogor, (B) Curug, (C) Cikarang dan (D) Kemayoran.
Gambar 5. Perbandingan Output Model WRF-Chem Antara Skema Ensemble Grell-Freitas (s1) dan Skema Ensemble 3D Grell (s2) untuk Polutan PM10.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 44
Gambar 6. Perbandingan Output Model WRF-Chem Antara Skema Ensemble Grell-Freitas (s1) dan Skema Ensemble 3D Grell (s2) untuk Polutan CO.
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
KESIMPULAN Skema cumulus dengan ensemble 3D Grell memberikan efek meningkatnya konsentrasi PM10 pada wilayah Bogor, Curug dan Cikarang dibanding skema cumulus dengan ensemble Grell-Freitas. Sedangkan skema cumulus dengan ensemble Grell-Freitas memberikan efek meningkatnya konsentrasi CO pada wilayah Bogor dibanding skema cumulus dengan ensemble 3D Grell. Secara umum hasil PM10 tidak terlepas dari hasil pendukungnya yaitu parameter angin dan temperatur. Dikarenakan hasil skema cumulus belum dapat mengikuti pola observasi dengan baik maka masih perlu dilakukan uji coba untuk mengetahui kelemahan/ ketidak sesuaiannya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf Puslitbang BMKG khususnya bidang Klimatologi dan Kualitas Udara atas diskusi dan masukannya sehingga tulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1
Peckam, S. E., Grell, G. A., McKeen, S. A., et. al., 2013. WRF/Chem Version 3.5. User’s Guide. 2 Grell, G. A., S. E. Peckham, R. Schmitz, S. A. McKeen, G. Frost, W. C. Skamarock and B. Eder, 2005. Fully Coupled Online Chemistry Within the WRF model. Atmospheric Environment 39: 6957-6975. 3 Fast, J. D., Gustafson Jr., W. I., Easter, R. C., Zaveri, R. A., et. al., 2006. Evolution of Ozone, Particulates, and Aerosol Direct Radiative Forcing In The Vicinity of Houston Using a Fully Coupled MeteorologyChemistry Aerosol Model. Journal of Geophysical Research, 111, D21305, doi:10.1029/2005JD006721. 4 Zhang, Y., Dubey, M. K., Olsen, S. C., Zheng, J. and Zhang, R., 2009. Comparisons of WRF/Chem Simulations in Mexico City with Ground-Based RAMA Measurements During The 2006-MILAGRO. Atmos. Chem. and Phys. (9): 3777 – 3798. 5 De Foy, B., Zavala, M., Bei, N. & Molina, L. T. 2009. Evaluation of WRF mesoscale simulation and particle trajectory analysis for the MILARGO field campaign, Atmospheric Chemistry and Physics (9) : 4419 – 4438. 6 Kumar, R., Naja, M., Pfister, G. G., Barth, M. C., Wiedinmyer, C. And Brasseur, G. P., 2012. Simulations Over South Asia Using The
Weather Research And Forecasting Model With Chemistry (WRF-Chem): Chemistry Evaluation And Initial Results, Geoscientific Model Development, (5): 619–648. 7 Grell, Georg A., 1993. Prognostic Evaluation of Assumptions Used by Cumulus Parameterizations. Mon. Wea. Rev., 121, 764– 787. 8 Grell, G. A, D. Devenyi, 2002. A generalized approach to parameterizing convection combining ensemble and data assimilation techniques. Geophys. Res. Lett., 29(14), 1693, 10.1029/2002GL015311. 9 Grell, G. A. and Freitas, S. R., 2014. A scale and aerosol aware stochastic convective parameterization for weather and air quality modeling, Atmos. Chem. Phys., 14, 52335250, doi:10.5194/acp-14-5233-2014. 11 Stockwell, W. R., Middleton, P., Chang, J. S., and Tang, X., 1990. The second generation regional acid deposition model chemical mechanism for regional air quality modeling. J. Geophys. Res. (95): 16343-16367. 11 Chang, J. S., F.S. Binkowski, N.L. Seaman, J.N. McHenry, P.J. Samson, W.R. Stockwell, C.J. Walcek, S. Madronich, P.B. Middleton, J.E. Pleim and H.H. Lansford, 1989. The Regional Acid Deposition Model And Engineering Model. State-of-Science/ Technology, Report 4, National Acid Precipitation Assessment Program, Washington D.C. 12 Damian, V., A. Sandu, M. Damian, F. Potra, and G.R. Carmichael, 2002. The Kinetic PreProcessor KPP -- A Software Environment for Solving Chemical Kinetics, Computers and Chemical Engineering (26):1567-1579. 13 Sandu, A., D. Daescu, and G. R. Carmichael, 2003. Direct and Adjoint Sensitivity Analysis of Chemical Kinetic Systems with KPP: I – Theory and Software Tools (37): 5083–5096. 14 Sandu, A., and R. Sander., 2006. Technical note: Simulating chemical systems in Fortran90 and Matlab with the Kinetic PreProcessor KPP-2.1. (6): 187–195. 15 Guenther, A., Zimmerman, P., Wildermuth, M., 1994. Natural volatile organic compound emission rate estimates for US woodland landscapes. Atmos. Environ (28): 1197–1210. 16 Simpson, D., A. Guenther, C. N. Hewitt, R. Steinbrecher, 1995. Biogenic emissions in Europe. 1. Estimates and uncertainties. J. Geophys. Res. (100D): 22875–22890. 17 Berry, E. X., 1968. Modifcation of the warm rain process, Proc. First Natl. Conf. Weather modifcation, Ed. American Meteorological Prosiding SNSA 2015 – Halaman 45
Danang Eko N. Dan Tri Astuti N.
Society, State University of New York, Albany, pp. 81-88. 18 Nuryanto, D. E., Linarka, U. A., Heriyanto, E., Sari, D. L, dan Rizal, J., 2013. Analisis Hasil Pengamatan Kualitas Udara Wilayah JABOTABEK. Prosiding Seminar Ilmiah Bulanan MKG. Jakarta: Puslitbang BMKG.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 46
Dani Irwansyah
KAJIAN VARIABILITAS MUSIM DAN ANALISIS DAMPAK MADDENJULIAN OSCILLATION DI JAWA BAGIAN UTARA STUDY OF SEASONAL VARIABILITY AND IMPACT OF MADDEN-JULIAN OSCILLATION ANALYSIS IN NORTHERN OF JAVA Dani Irwansyah Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Jl.Perhubungan I no.5, Komplek Meteo DEPHUB, Pondok Betung, Bintaro Pos-el:
[email protected] ABSTRACT The northern region of the island of Java is one of Indonesia region which has many ports with important role in economic development, is geographically located around the equator and near the water, with the intensity of rainfall is quite high and the entry in the propagation area Madden-Julian Oscillation (MJO ) make this area as an area that needs to be studied association with the Madden-julian oscillation. By using real-time index Multivariate MJO (RMM) which is then processed with rainfall data from 6 meteorological stations and 1 record rainfall postal cooperation, using statistical methods to be associated at each phase of MJO with daily rainfall for 30 years. Broadly speaking, in each phase of the MJO enough to affect the variability of rainfall and the summer in the northern of Java. Keywords: rain, MJO, season, oscillation ABSTRAK Wilayah pulau Jawa bagian utara merupakan salah satu wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelabuhan dengan peran sangat strategis dalam pembangunan ekonomi, secara geografis berada disekitar garis ekuator dan dekat perairan. Dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi serta masuk dalam daerah propagasi Madden-Julian Oscillation (MJO) dapat menjadikan wilayah ini sebagai daerah yang perlu untuk dikaji keterkaitannya dengan MJO. Dengan menggunakan Indeks Real-time Multivariate MJO (RMM) yang kemudian diolah dengan data curah hujan dari 6 Stasiun Meteorologi dan 1 data pos hujan kerjasama, menggunakan metode statistik untuk dikaitkan pada tiap-tiap fase MJO dengan curah hujan dasarian selama 30 tahun. Secara garis besar, pada tiap-tiap fase MJO cukup berpengaruh terhadap variabilitas curah hujan dan musim di wilayah utara pulau Jawa. Kata kunci: hujan, MJO, musim, osilasi
PENDAHULUAN Sebagai negara maritim, peran pelabuhan sangat vital dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Karena itu, pelabuhan tidak saja digunakan untuk kegiatan perdagangan antarpulau dan antarnegara melainkan juga digunakan untuk mobilitas manusia dari satu daerah ke daerah lain.1 Pulau jawa bagian utara merupakan salah satu kawasan ekonomi pelabuhan di Indonesia, dimana fenomena cuaca mempunyai kendali dalam kegiatan ekonomi maupun kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut karena secara geografis berada di sekitar perairan. MJO ( Madden Julian Oscillation ) menjadi salah satu fenomena cuaca dengan variabilitas dominan di daerah tropis. MJO terbentuk dari sistem interaksi laut dan atmosfer, dengan periode osilasi ± 30 s/d 60 hari.2 MJO
mempengaruhi variasi dari angin, SST, awan, dan curah hujan.3 Sehingga, periode MJO yang lebih pendek daripada periode musim memiliki pengaruh terhadap variabilitas musim di Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji sejauh mana dampak MJO terhadap variasi curah hujan dan variabilitas musim khususnya di utara pulau jawa. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam mendukung aktifitas ekonomi pada kawasan pelabuhan di Jawa bagian utara. METODOLOGI Lokasi dan Data Lokasi penelitian dilakukan di wilayah pulau Jawa bagian utara, diwakili 6 titik antara lain Stasiun Meteorologi Serang Banten, Stasiun Meteorologi Tanjung Priok, Stasiun Meteorologi Prosiding SNSA 2015 – Halaman 47
Dani Irwansyah
Ahmad Yani Semarang, Stasiun Maritim Perak I Surabaya, Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean, Stasiun Meteorologi Kalianget Madura dan Pos hujan kerjasama Lemahabang Jawa Barat. Data curah hujan yang digunakan adalah data pengamatan yang terdiri dari data 6 Stasiun Meteorologi BMKG dan 1 data pos hujan kerjasama. Data Indeks RMM ( Realtime Multivariate MJO ) selama 30 tahun yaitu tahun 1981-2007 yang diperoleh dari BMRC (Bureau of Meteorologi Research Centre).4 Dalam penelitian ini digunakan data curah hujan dan Indeks RMM dengan series waktu normal 30 tahun, dimaksudkan agar dapat memberikan suatu pola hasil penelitian yang dapat mewakili karakteristik wilayah tersebut sesuai dengan parameter yang dianalisis, juga mempunyai akurasi hasil yang baik.5
Skema perpotongan MJO di ekuator, dimana terjadi dominasi angin baratan di lapisan bawah troposfer. Real Time Multivariate MJO seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) merupakan suatu indeks musiman untuk memonitor pergerakan MJO. Hal ini didasarkan pada sepasang fungsi ortogonal (EOFs) dari gabungan ratarata angin zonal 850hPa, 200-hPa, dan data observasi satelit Outgoing Longwave Radiation (OLR). RMM1 dan RMM2 dapat digunakan dalam berbagai kepentingan misalnya untuk menentukan onset monsun dan peluang terjadinya curah hujan ekstrim.8 Madden Julian Oscillation dapat diidentifikasi dengan berbagai cara,9 salah satunya dengan teknik pendekatan Real-time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2) dalam series harian. MJO dibagi menjadi 8 fase seperti ditunjukan pada Gambar 1. Pengolahan Data
Madden Julian Oscillation (MJO) Madden Julian Oscillation merupakan sebuah osilasi intra musiman yang terjadi di lapisan troposfer daerah ekuator, imbas dari sirkulasi sel skala luas di ekuatorial yang bergerak dari barat ke timur yaitu dari laut Hindia ke Pasifik Tengah dengan wilayah daerah propagasi 15°LU 15°LS.6 MJO mempengaruhi aktivitas konveksi pada lapisan troposfer dimana, aktifitas konveksi merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembentukan awan konvektif. Awan konvektif ialah awan yang terjadi karena kenaikkan udara di atas permukaan yang nisbi panas.7 Sehingga dari awan konvektif memiliki potensi terjadinya hujan. Hujan yang terjadi dimaksud adalah hujan konvektif, yaitu akibat adanya pemanasan radiasi matahari dan proses thermal sehingga udara permukaan mengalami pemuaian dan naik secara konvektif ke lapisan atas.
Dikutip dari Guide to Climatological Practices,WMO,2011, disebutkan bahwa : The general recommendation was to use 30-year periods of reference. The 30 year period of reference was set as a standard mainly because only 30 years of data were available for summarization when the recommendation was first made.10 Berdasarkan kriteria musim yang digunakan BMKG, data yang digunakan untuk analisis normal musim hujan maupun musim kemarau dihitung berdasar data curah hujan harian yang dikonversikan menjadi data curah hujan dasarian selama 30 tahun yaitu tahun 1981-2010 menggunakan metode aritmatik biasa yaitu : n
∑X
i
X =
i =1
(1)
n n
∑(X − X )
SD =
i =1
2
i
n −1
KV =
(2)
SD x100% X
(3) dengan : SD = X = = X n =
Gambar 1. Diagram Fase MJO (sumber : la.climatologie.free.fr/MJO/MJO1-english.htm) Prosiding SNSA 2015 – Halaman 48
Standar deviasi Data curah hujan Rata-rata Banyak data
Frekuensi anomali hujan negatif adalah banyaknya kejadian hujan periode fase yang lebih kecil dari rata-ratanya. Sedangkan, frekuensi anomali hujan positif adalah banyaknya
Dani Irwansyah
kejadian hujan periode fase yang lebih besar dari rata-ratanya.
P=
Fr N
(4)
dengan : P = Peluang pada fase ke –i Fr = Frekuensi relatif (banyaknya kejadian negatif/positif) pada fase ke –i N = Banyaknya kejadian (anomali positif ditambah negatif ) pada fase ke-i
Gambar 2. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Tanjung Priok
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Variabilitas Musim Berdasarkan Gambar 1 sampai dengan Gambar 7, dapat dilihat variasi rata-rata awal musim pada beberapa titik di Jawa bagian utara, didasarkan rata-rata hujan dasarian periode normal 30 tahunan, dengan batasan curah hujan 50 mm. Musim kemarau terpanjang terjadi di Tanjung priok sepanjang 24 dasarian dan terpendek di Bawean sepanjang 15 dasarian. Musim hujan mulai masuk rata-rata pada dasarian 9 hingga dasarian 15. Rata-rata awal musim kemarau selama 30 tahun terjadi pada April dasarian I dan akhir musim kemarau terjadi pada November I. Ratarata awal musim hujan terjadi pada November dasarian II dan Akhir musim hujan terjadi pada Maret dasarian III. Dengan demikian, rata-rata periode musim kemarau adalah April I – November I, dan rata-rata periode musim hujan adalah November I – Maret III. Rata-rata panjang musim kemarau adalah 22 dasarian (220 hari) dan rata-rata panjang musim hujan adalah 14 dasarian (140 hari).
Gambar 1. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Serang
Gambar 3. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Lemahabang
Gambar 4. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Semarang
Gambar 5. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Bawean
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 49
Dani Irwansyah
Gambar 6. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Surabaya
Gambar 10. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Lemahabang
Gambar 7. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Kalianget
Gambar 11. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Semarang
Gambar 8. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Serang
Gambar 9. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Tanjung Priok
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 50
Gambar 12. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Bawean
Gambar 13. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Surabaya
Dani Irwansyah
hingga mei dan musim kemarau Juni hingga Oktober. Tabel 2. Variasi 3 periode musim Semarang dan Bawean Periode
Gambar 14. Variasi musim pada 3 periode normal 10 tahun di Kalianget
Berdasarkan Gambar 8 sampai dengan Gambar 14, dapat dilihat variasi pola hujan bulanan, umumnya tertinggi pada Januari kemudian menurun hingga mencapai minimum pada Juli dan Agustus. Ada tiga periode pergeseran puncak maksimum dari Januari ke Febuari, yaitu pada periode-1 (1981-1990), periode-2 (1991-2000) dan periode-3 (20012010). Terjadi pergeseran (mundur 1 bulan) rata-rata awal musim kemarau periode-2 (1991-2010) terhadap 2 periode sebelumnya. Jumlah hujan musim kemarau periode-2 (1991-2010) lebih rendah dibandingkan 2 periode sebelumnya, sedangkan jumlah hujan musim hujan lebih tinggi (meningkat). Variabilitas musim tiap periode 10 tahun menunjukkan pergerakan hujan mundur dari rataratanya dimana awal musim hujan relatif mundur dan panjang musim kemarau cenderung panjang terlihat di sepanjang pulau Jawa bagian utara, seperti ditujukan Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Variasi 3 periode musim di Serang, Tanjung Priok dan Lemahabang Periode
Musim
waktu
19811990
Kemarau
19912000
Kemarau
20012010
Kemarau
AprNov DesMar Mei— Okt NovApr AprNov DesMar
Hujan
Hujan
Hujan
Ratarata CH 544
200
37
462-626
1089
201
18
684
190
28
9261252 581-785
1183
222
19
485
285
59
1163
211
18
SD
KV
Normal
10061360 412-558 9881337
Di beberapa wilayah seperti Lemahabang, Semarang dan Bawean, memiliki rata-rata curah hujan lebih besar jika dibandingkan dengan ratarata hujan di 4 titik lainnya dengan kisaran ratarata diatas 700 mm – 900 mm pada tiap dekade. Umumnya, musim hujan pada bulan November
Musim
waktu
19811990
Kemarau
19912000
Kemarau
20012010
Kemarau
JunOkt NovMei MeiOkt NovApr JunOkt NovMei
Hujan
Hujan
Hujan
Ratarata CH 912
SD
KV
174
19
1401
218
16
937
322
34
1565
169
11
705
311
44
1550
283
18
Normal CH (mm) 7751049 11911611 7961077 13301799 600-811 13181783
Tabel 3. Variasi 3 periode musim di Surabaya dan Kalianget Periode
Musim
19811990
Kemarau
19912000
Kemarau
20012010
Kemarau
Hujan
Hujan
Hujan
waktu AprNov Desmar MeiDes JanApr AprNov DesMar
Ratarata CH 382
221
58
1025
147
14
536
225
42
1076
140
13
301
185
61
1075
233
22
SD
KV
Normal CH (mm) 325-440 8711178 455-616 9151238 256-347 9141236
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai variabilitas curah hujan dan musim di DKI Jakarta,11 penentuan kedua periode musim tersebut didasarkan pada perhitungan rata-rata hujan bulanan periode standar normal 1961-1990, seperti diperlihatkan pada tabel 4. Tabel 4. Variasi hujan musiman di Jakarta periode 1961-1990
Terdapat kesesuaian dengan hasil pada penelitian ini, dimana variasi hujan musiman di Tanjung Priok meliputi dua musim, yaitu musim kemarau (April-November) dan musim hujan (DesemberMaret). Dampak MJO terhadap hujan di Tanjung Priok Berdasarkan Gambar 15, dapat dideskripsikan bahwa anomali dengan fase 3 dan fase 4 banyak terjadi pada saat anomali curah hujan negatif, hal Prosiding SNSA 2015 – Halaman 51
Dani Irwansyah
ini menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di wilayah Tanjung priok menurun. Anomali dengan fase 6 dan fase 7 banyak terjadi pada saat anomali curah hujan positif, hal ini menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di wilayah Tanjung priok meningkat.
cenderung lebih panjang dan panjang musim hujan cenderung lebih pendek. Dengan demikian, dampak Madden-Julian Oscillation (MJO) cukup berpengaruh pada wilayah pulau Jawa bagian utara dengan penambahan curah hujan (anomali hujan positif dan presentase peluang cukup besar) pada musim hujan dan sebaliknya. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing untuk bimbingan terhadap materi dan metode dalam penelitian ini, serta BMKG atas penyediaan data iklim. DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 15. Musim kemarau dan musim hujan tahun 1981-2010 di Tanjung Priok
Dari Gambar 16, grafik peluang kejadian anomali hujan lebih dari 1 mm saat fase MJO di tanjung priok, menunjukan pada bulan-bulan basah (DJF dan MAM) memiliki peluang kejadian diatas 2030 %. Hal Ini menunjukan besarnya kemungkinan kejadian hujan pada bulan-bulan tersebut pada semua fase MJO, kecuali fase 3 dan 5.
Gambar 16. Grafik peluang anomali hujan ≥ 1 mm saat fase MJO di Tanjung Priok
Peluang kejadian anomali hujan lebih dari 1 mm saat fase MJO di tanjung priok, menunjukan pada bulan-bulan kering (JJA dan SON) memiliki peluang kejadian cukup rendah pada kisaran 1015 %. Hal Ini menunjukan rendahnya kemungkinan kejadian hujan pada bulan-bulan tersebut pada semua fase MJO, kecuali pada bulan SON fase 6. KESIMPULAN Terjadi pergerakan mundur awal musim hujan ± 1 dasarian tiap 10 tahun, sedangkan awal musim kemarau relatif tetap. Panjang musim kemarau Prosiding SNSA 2015 – Halaman 52
Suriadi, La ode, SE, M.Si., 2015. Pentingnya Pelabuhan Bagi Ekonomi. (http://inspirasibangsa.com/pentingnyapelabu hanbagiekonomi/ , akses tanggal 1 Mei 2015). 2 Madden, R.A dan Julian, P.R. 1971. Detection of a 40±50 Day Oscillation in The Zonal Wind in The Tropical Pasific. J Atmos Sci 28 : 702708. 3 Madden, R.A dan Julian, P.R.. 1972. Description of Global-Scale Circulation Cells in The Tropics With a 40-50 Day Period. J Atmos Sci 29 : 1109-1123. 4 Realtime_RMM.(http://www.bom.gov.au/bmrc/ clfor/cfstaff/matw/maproom/RMM/RMM1R MM2.74toRealtime.txt, diakses tanggal 18 April 2015). 5 Nuryadi. 1998. Tinjauan Curah Hujan di Jakarta Selama 131 Tahun (1866-1996). Laporan Tugas FMIPA IPB. Bogor. 6 Madden R.A dan Julian, P.R. 1994. Observations of the 40-50 day tropical oscillation: A Review. Mon. Wea.Rev., 112814-837. 7 Tjasyono, B.H.K and Djakawinata, S. 1999. The Influence of Meteorological factors on tropospheric refractive index over indonesia. Jurnal Matematika dan sains, Vol. 4, No. 1. 8 Matthews A. J., 2000. Propagation mechanisms for the Madden-Julian Oscillation. Quart J Roy Meteor Soc, 126, 2637-2652. 9 Wheeler, M., Hendon, H dan Alves, O. 2004. Techniques and experiences in real-time prediction of the MJO: The BMRC perspective. 10 WMO. 2011. Guide to Climatological Practices No. 100, TP-44, Chapter 4-15. 11 Nuryadi. 2007. Variabilitas Curah Hujan Dan Musim DKI Jakarta. Bahan Lokakarya “Peningkatan Akurasi Prakiraan Musim” 7 – 8 November 2007, Jakarta
Dessy Gusnita
ANALISIS BEBAN EMISI POLUTAN DI KOTA BESAR DARI KONSUMSI BBM (STUDI KASUS KOTA JAKARTA & SURABAYA) ANALYSIS OF EMISSION POLLUTANT LOAD IN URBAN CITY FROM CONSUMPTION OF FOSSIL FUEL (CASE STUDY JAKARTA & SURABAYA) Dessy Gusnita Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangandan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACTS The increase in the industrial and transport activity became the special problem for the quality of air in Surabaya and Jakarta cities. The problem of air pollution in the area of the transport became more dominant, so as to have receive serious attention. Air pollution was to the area of transport affected by the characteristics of the source of activity emissions that is the transport activity of the city, so also the activity that originated from industry gave the influence that was big against pollution in urban areas. This paper aimed to estimation emission of gas carbonmonoxide, NOx, Total Solid Particulate (TSP) and SO 2 that was produced from consumption of fossil fuel in Jakarta city and Surabaya for the year 2012 and 2013. The estimation method of emission was based on the calculation simply was based on the premium and diesel fuel in Jakarta and Surabaya cities. Data from PERTAMINA showed that consumption of fossil fuel in Jakarta city higher than Surabaya. Consumption of the biggest premium fuel in the Municipality East Jakarta, so as the number of burdens of pollutant emissions CO, NOx, and TSP in this area was bigger compared with the other territory. Consumption of the biggest diesel fuel in the Municipality North Jakarta, so as this area was susceptible enough to emission from the pollutant SO 2 . CO that was produced from consumption of diesel fuel in highest was in the territory North Jakarta. This it was suspected came from the source of the industry that often was received in Jakarta territory. Whereas in the Surabaya territory highest pollutant emissions emitted by CO as big as 2x105 Ton/year. Keywords: Emission, premium, diesel fuel, Jakarta, Surabaya ABSTRAK Meningkatnya kegiatan industri dan transportasi telah menjadi permasalahan tersendiri bagi kualitas udara di kota Jakarta. Masalah pencemaran udara pada sektor transportasi menjadi lebih dominan, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Pencemaran udara pada sektor transportasi dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi yaitu transportasi kota, begitu pula kegiatan yang bersumber dari industry memberikan pengaruh besar terhadap polusi di perkotaan. Makalah ini bertujuan untuk mengestimasi emisi gas CO , NOx, TSP dan SO 2 yang dihasilkan dari konsumsi BBM di Kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 2012 dan 2013. Metode estimasi emisi didasarkan pada perhitungan sederhana berdasarkan konsumsi premium dan solar di Kota Jakarta dan Surabaya. Data Pertamina menunjukkan bahwa konsumsi BBM di Kota Jakarta menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibanding Kota Surabaya. Konsumsi bahan bakar premium terbesar di Jakarta Timur, sehingga jumlah beban emisi pencemar CO, NOx, dan TSP di daerah ini lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Konsumsi bahan bakar solar terbesar di Kodya Jakarta Utara, sehingga daerah tersebut cukup rentan terhadap emisi dari pencemar SO 2. CO yang dihasilkan dari konsumsi solar tertinggi berada di wilayah Jakarta Utara. Hal ini diduga berasal dari sumber industri yang banyak terdapat di wilayah Jakarta Utara. Di wilayah Surabaya emisi polutan tertinggi diemisikan oleh CO sebesar 2 x 105 ton/tahun. Kata Kunci: emisi, premium, solar, Jakarta, Surabaya
PENDAHULUAN Jumlah kendaraan dan kegiatan industri yang semakin meningkat sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan ekonomi di perkotaan berdampak pula terhadap konsumsi bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar dan premium yang semakin meningkat. Gas-gas pencemar udara seperti CO (karbon monoksida), sulfur dioksida
(SO 2 ) dan nitrous oksida (NOx) akibat pemakaian solar dan bensin oleh kendaraan bermotor akan semakin meningkat pula sehingga dapat menurunkan kualitas udara terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Menurut Mayer,1 udara perkotaan terdiri atas berbagai polutan dengan konsentrasi tinggi, sehingga berbahaya bagi kesehatan. Menurut Kumar2, nilai ambang batas tertinggi atau Prosiding SNSA 2015 – Halaman 53
Dessy Gusnita
terendah dari kandungan zat-zat pencemar dapat mempengaruhi mutu lingkungan. Pada penelitian ini akan dilakukan estimasi beban pencemar udara dari premium dan solar yang kemudian di analisis untuk melihat korelasi dan pengaruhnya terhadap konsentrasi polutan di kota Jakarta dan sebagai pembandingnya adalah kota Surabaya. Menurut Molina and Molina3, sangat diperlukan monitoring konsentrasi O 3 , NOx, CO dan Partikulat matter serta Volatile Organik Compound yang merupakan komponen komposisi kimia atmosfer. Informasi detil tentang komposisi senyawa tersebut sangat diperlukan khususnya bagi pengurangan polusi dan kehidupan lingkungan yang lebih baik di kota besar. Menurut Setyorini4, saat ini meningkatnya kegiatan industri dan transportasi telah menjadi permasalahan tersendiri bagi kualitas udara di Kota Surabaya dan sekitarnya. Masalah pencemaran udara pada sektor transportasi menjadi lebih dominan, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius. Pencemaran udara dari sektor transportasi dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi kegiatan transportasi kota tersebut. Menurut Dahlan,5 pembangunan kawasan bisnis atau perubahan peruntukkan menjadi tempat bisnis dan pembangunan serta pelebaran jalan yang diluar perencanaan tata kota, menjadi sumber dari meningkatnya titik-titik kemacetan yang disertai memburuknya kualitas udara. Pada saat ini, menurut Lee6 kerugian ekonomi yang disebabkan oleh kepadatan lalu lintas dapat mencapai $68 juta per tahun dan ini diperkirakan tidak termasuk dampak dari kepadatan lalu lintas dan polusi pada kesehatan manusia. Tujuan penelitian ini adalah melakukan estimasi beban pencemar dengan cara menghitung/mengestimasi beban pencemar polutan dari BBM bensin dan solar yang kemudian di analisis dengan cara melihat nilai emisi polutan di Kota Jakarta dan dibandingkan dengan kondisi di Surabaya pada tahun 2012 dan tahun 2013.
Kota Surabaya hanya terdiri dari data Kota Surabaya secara keseluruhan wilayah. Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: Pertama melakukan estimasi emisi polutan CO, SO 2 , NOx, dan Total Suspended Partikulat yang berasal dari konsumsi BBM (premium dan solar) di Kota Surabaya dan Jakarta tahun 2012 dan 2013. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi beban emisi polutan dan GRK dari jenis bahan bakar premium dan solar disajikan pada persamaan 1 berikut ini. n
Ei = Σ Vol l x FE i,l x 103 l=i ............. (1) Perumusan di atas bersumber dari Soedomo7 yaitu: EI = Jumlah emisi yang dihasilkan dari Premium/ solar berdasarkan konsumsi BBM Vol = Jumlah volume pemakaian BBM dari premium maupun solar. FE = Faktor Emisi polutan yang diemisikan dari BBM (premium dan solar) Tabel 1. Faktor Emisi polutan yang dikeluarkan dari bahan bakar minyak Bahan Bakar Premium (kg/ton) Solar (kg/ton)
CO
NOx
HC
TSP
SO 2
377
10,3
14,5
2
0,54
43,5
11
26
2,4
19
Sumber: Kementrian Lingkungan Hidup8
Tahap selanjutnya dilakukan pemetaan emisi polutan CO, SO 2 , NOx, dan TSP di Kota Jakarta menggunakan software arc view3.2, sedangkan hasil estimasi emisi di Kota Surabaya menggunakan excel. Tahap akhir dilakukan analisa hasil estimasi emisi polutan di Kota Jakarta dan Surabaya.
METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data konsumsi BBM premium dan solar yang diperoleh dari Marketing Operasional Regional V Jakarta dan Marketing Operation Regional III Surabaya pada tahun 2012-2013. Penggunaan data meliputi data konsumsi premium dan solar untuk wilayah Jakarta Timur, bersumber dari Pertamina Marketing Operation Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 54
HASIL PEMBAHASAN Hasil Pemetaan Konsumsi BBM dan Estimasi Emisi di Jakarta Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan data jumlah konsumsi premium dan solar di Kota Jakarta selama tahun 2012 hingga tahun 2013 yang digunakan untuk mengestimasi emisi beban polutan di Kota Jakarta.
Dessy Gusnita
Tabel 2. Data Konsumsi Premium di kota Jakarta Premium
Tahun 2012 Tahun 2013 Kilo liter Kilo liter Jakarta Pusat 234211 230327 Jakarta Utara 325590 320220 Jakarta Timur 589896 593128 Jakarta Barat 435998 439184 Jakarta Selatan 562333 553792 Sumber: Marketing Operation Regional III Jakarta9
pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 6,17%.
Tabel 3. Data Konsumsi Solar di kota Jakarta Solar
Tahun 2012 Tahun 2013 Kilo liter Kilo liter Jakarta Pusat 35760 36112 Jakarta Utara 217760 218712 Jakarta Timur 155890 166496 Jakarta Barat 128590 131888 Jakarta Selatan 74378 79144 Sumber: Marketing Operation Regional III Jakarta9
Pemetaan Jakarta
Konsumsi
Premium
di
Kota
Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi premium tahun 2013 mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 0,53%. Hal ini diduga karena pada tahun 2013 terjadi kenaikan harga premium di Indonesia, dan hal ini berimbas pada penggunaan premium di Kota Jakarta namun untuk memperkuat dugaan tersebut perlu penelitian lain. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa konsumsi premium terbesar di wilayah Jakarta Timur. Besarnya jumlah konsumsi premium di Jakarta Timur diduga berasal dari konsumsi transportasi/kendaraan bermotor yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Hal ini didukung data Dislantas DKI Jakarta yang menyatakan kenaikan jumlah kendaran bermotor di DKI Jakarta mencapai 11% /tahun. Pemetaan Konsumsi Solar di Kota Jakarta Gambar 2 menunjukkan konsumsi solar di Kota Jakarta untuk tahun 2012 dan tahun 2013. Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah konsumsi solar dibandingkan tahun 2012 di DKI Jakarta sebesar 3,26%. Berbeda dengan konsumsi premium yang sedikit menurun dibandingkan tahun 2012, konsumsi solar di Kota Jakarta dari tahun 2012 ke tahun 2013 semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas industri di Kota Jakarta semakin meningkat. Menurut Kemenperin pertumbuhan industri di Jakarta mencapai 6,5%, lebih tinggi daripada
Gambar 1.Peta Konsumsi Premium di Kota Jakarta
Estmasi Emisi dari Premium & Solar di Kota Jakarta Konsumsi bahan bakar premium terbesar di Kodya Jakarta Timur, sehingga jumlah beban emisi pencemar CO, NOx, HC dan TSP di daerah ini lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Konsumsi bahan bakar solar terbesar di Kodya Jakarta Utara, sehingga daerah tersebut cukup rentan terhadap emisi dari pencemar SO 2. CO yang dihasilkan dari konsumsi solar tertinggi berada di wilayah Jakarta Utara. Hal ini diduga berasal dari banyaknya pabrik yang terdapat di wilayah Jakarta Utara.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 55
Dessy Gusnita
Gambar 2.Peta Konsumsi Solar di Kota Jakarta
Pada Gambar 3(a) dan 3(b) ditunjukkan estimasi emisi CO (karbon monoksida) baik yang bersumber dari konsumsi premium maupun solar di wilayah Jakarta. Tahun 2012 menunjukkan jumlah estimasi CO terbesar 1,54 x108 ton/tahun di Jakarta Timur, terjadi sedikit pertambahan emisi CO dibanding tahun 2012 yaitu 1,53x108ton/tahun (Gambar 3a). Hal ini sesuai dengan konsumsi premium di wilayah Jakarta, dimana wilayah Jakarta Timur merupakan wilayah yang mengkonsumsi premium terbanyak yaitu sekitar 589896 kilo liter pada tahun 2012 dan meningkat konsumsinya pada tahun 2013 yaitu menjadi sebanyak 593128 kilo liter. Hal ini tentunya meningkatkan pula emisi CO di wilayah Jakarta Timur sebesar 15,4 Mton/tahun pada tahun2013. Estimasi emisi polutan CO dari konsumsi solar disajikan pada Gambar 3(b). Hasil estimasi menunjukkan emisi polutan terbesar dari solar adalah gas CO, dengan jumlah sebesar 7,61x 106 ton/tahun pada tahun 2013. Selanjutnya pada Gambar 4(a) disajikan estimasi emisi NOx pada tahun 2012 dan 2013. Hasil estimasi emisi di Jakarta Timur menunjukkan bahwa NOx mengalami peningkatan jumlah emisi dari 4,25 x 106 ton/tahun menjadi 4,27 x 106 ton/tahun sebanding Prosiding SNSA 2015 – Halaman 56
dengan peningkatan konsumsi premium untuk wilayah Jakarta Timur. Selanjutnya untuk estimasi emisi NO X yang diemisikan oleh solar disajikan pada Gambar 4(b), hasil menunjukkan bahwa emisi tertinggi NOx di Jakarta Utara, dan terjadi peningkatan emisidari 1,91x 106 ton/tahun menjadi 1,92 x 106 ton/tahun selama tahun 2012 hingga tahun 2013. Pada Gambar 5 disajikan hasil estimasi emisi polutan SO 2 dari premium dan solar. Gambar 5(a) menunjukkan emisi SO 2 dari konsumsi premium tertinggi di wilayah Jakarta Timur dengan nilai mencapai 2,24x105 ton/tahun. Pada Gambar 5(b) terlihat jelas bahwa di daerah Jakarta Utara emisi SO 2 yang dihasilkan dari solar menunjukkan angka tertinggi, karena konsumsi solar tertinggi di wilayah Jakarta Utara yaitu sebesar 3,32x106 ton/tahun. Diduga wilayah Jakarta Utara banyak mengkonsumsi bahan bakar solar, khususnya untuk industri dan kendaraan berat yang banyak beroperasi di wilayah pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya. Berdasarkan Gambar 6 disajikan hasil estimasi emisi TSP (Total Suspended Partikulat) di wilayah Jakarta. Berdasarkan konsumsi premium dapat diketahui bahwa TSP tertinggi diemisikan di Jakarta Timur yaitu sebesar 8,3x105 ton/tahun pada tahun 2013. Konsumsi solar diemisikan TSP tertinggi di wilayah Jakarta Utara yaitu sebesar 4,2x105 ton/tahun. Dengan kata lain jumlah TSP yang diemisikan oleh premium lebih besar dibandingkan dengan yang diemisikan oleh solar. Menurut Beckett et al10, adanya ruang terbuka hijau efektif menurunkan polutan di udara. Vegetasi juga secara tidak langsung mempengaruhi pengurangan polusi dengan adanya modifikasi iklim skala mikro. Dengan demikian, beban emisi polutan tersebut dapat di minimalisir dengan adanya ruang terbuka hijau di perkotaan. Konsumsi BBM (Premium dan solar) di Kota Surabaya Berikut ini data konsumsi premium dan solar di Kota Surabaya Tabel 4. Data Konsumsi Premium dan Solar di Kota Surabaya Tahun 2012 2013
Premium (Kilo Liter) 572529 577088
Solar (Kilo Liter) 223041 228336
Sumber: Marketing Operation Region V Surabaya
Dessy Gusnita
(a)
(b) Gambar 3. Peta Estimasi Emisi CO dari Konsumsi (a) Premium dan (b) Solar
(a)
(b) Gambar 4. Peta Estimasi Emisi NOx dari (a) Konsumsi Premium dan (b) Konsumsi Solar
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 57
Dessy Gusnita
(a)
(b) Gambar 5. Peta Estimasi Emisi SO 2 dari (a) Konsumsi Premium (b) Konsumsi Solar
(a)
(b) Gambar 6. Peta Estimasi Emisi TSP dari (a) Konsumsi Premium (b) Konsumsi Solar
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 58
Dessy Gusnita
Berdasarkan Tabel 4, terjadi peningkatan konsumsi premium maupun solar di Kota Surabaya selama tahun 2012 hingga tahun 2013. Hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan estimasi emisi polutan-polutan yang akan di analisa yaitu CO, NOx, TSP serta SO 2 untuk Kota Surabaya. Estimasi Emisi Beberapa Polutan di Kota Surabaya Berdasarkan Gambar 7 disajikan beban emisi lima (5) jenis polutan yang diestimasi dari sumber bahan bakar premium yaitu CO, CO 2 , NOx, TSP serta SO 2 di wilayah Kota Surabaya. Hasil menunjukkan bahwa dari tahun 2012 ke 2013 terjadi sedikit peningkatan emisi polutan di Kota Surabaya. Emisi polutan terbesar dihasilkan oleh polutan CO dengan jumlah emisi sebesar 1,5 x 104 ton/tahun pada tahun 2013, kemudian NOx yaitu 4,1x103 ton/tahun pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yaitu sebesar 4,0 x103 ton/tahun.
Gambar 7. Estimasi emisi polutan dari konsumsi premium di Surabaya
Gambar 9 menyajikan estimasi emisi polutan yang dihasilkan dari bahan bakar solar. Hasil menunjukkan bahwa emisi tertinggi bahan bakar solar adalah polutan CO yaitu sebesar 7,9 x 103 ton/tahun kemudian emisi SO 2 yaitu 3,47 x 103 ton/tahun pada tahun 2013 (Gambar 8).
Gambar 9. Estimasi emisi CO dari konsumsi premium dan solar di Kota Surabaya
Penelitian yang terkait dengan estimasi emisi yang berasal dari konsumsi bahan bakar minyak sampai saat ini cukup sulit diperoleh rujukannnya, mengingat keterbatasan data yang diperlukan. Sehingga penulis saat ini belum menemukan referensi pendukung yang dapat dijadikan sebagai pembanding, khususnya studi kasus di Kota Jakarta dan Surabaya. KESIMPULAN Konsumsi BBM di Kota Jakarta menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dibanding kota Surabaya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Secara global pemakaian BBM jenis premium di Kota Jakarta mengalami penurunan pada tahun 2013 dibanding tahun 2012 dan untuk solar mengalami peningkatan. Sedangkan di Kota Surabaya baik premium maupun solar mengalami peningkatankonsumsi dari tahun 2012 ke tahun 2013. Konsumsi bahan bakar premium terbesar di Kodya Jakarta Timur, sehingga jumlah beban emisi pencemar CO, NOx, dan TSP di daerah ini lebih besar dibandingkan wilayah lainnya. Konsumsi bahan bakar solar terbesar di Kodya Jakarta Utara, sehingga daerah tersebut cukup rentan terhadap emisi dari pencemar SO 2 dan CO. Semakin tinggi konsumsi BBM semakin tinggi emisi polutan yang dilepaskan ke atmosfer. Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat dibutuhkan luas ruang terbuka hijau yang lebih besar lagi untuk mampu menyerap polutan di kota Jakarta dan Surabaya. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PERTAMINA Marketing Operation Regional V Jakarta dan PERTAMINA Marketing Operation Regional II Surabaya yang telah memberikan dukungan data konsumsi bahan bakar minyak sehingga kami dapat menghasilkan tulisan ini.
Gambar 8. Estimasi emisi beberapa polutan dari konsumsi solar di Surabaya Prosiding SNSA 2015 – Halaman 59
Dessy Gusnita
DAFTAR PUSTAKA 1
Mayer, H., 1999., Air pollution in cities. Atmospheric Environment 33, p: 4029 – 4037 2 Kumar, A.,2012, Ambient Air Quality Surveillance and Indexing in and around Mining Clusters in Western Kachch Region, Gujarat, India Journal of Air Pollution, 1, p:22-30 3 Molina,M.Jand Luisa T. Molina, 2004, Megacities and Atmospheric Pollution, J.Air & Waste Manage, 54, p: 644-680. 4 Setyorini T., 2005, Sistem transportasi Surabaya dalam rangka pengendalian pencemaran udara, Jurnal rekayasa perencanaan, I, 2, p:10. 5 Dahlan E.N, 2004, Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup, Fakultas Kehutanan, IPB, Bogor. 6 Lee, C. 1999, A study on the Environmental Capacity Assesment of Seoul, Korea, Seoul Development Institute. 7 Soedomo, Moestikahadi, 2001, Pencemaran Udara. Bandung: Penerbit ITB 8 Kementerian Lingkungan Hidup, Faktor Emisi polutan yang dikeluarkan dari bahan bakar minyak. 9 Marketing Operation Regional III Jakarta, 2003. Data Konsumsi Solar di kota Jakarta. 10 Beckett, K.P., Freer-Smith, P., Taylor, G., 1998.Urban woodlands: their role in reducing the effects of particulate pollution, Environmental Pollution, 99, p:347–360.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 60
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
PERBANDINGAN KONSENTRASI NO 2 , SO 2 DAN PARTIKEL DEBU LUARAN WRF-CHEM DENGAN DATA PENGUKURAN : STUDI KASUS DKI JAKARTA 2009 COMPARISON OF CONCENTRATION NO 2 , SO 2 , AND DUST PARTICLE FROM WRFCHEM WITH DATA MEAUSREMENT : CASE STUDY DKI JAKARTA 2009 Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Angkasa I No 2 Kemayoran, Jakarta 10720 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Air quality research is necessary to determine the air quality and environmental quality of an area. We simulate concentration of Sulfur Dioxide (SO 2 ), Sodium Dioxide (NO 2 ), and total dust particles (TSP) over Jakarta January and July 2009 using WRF-Chem. As model input we use Jakarta emission inventory data and the Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) and simulate it separately. The model outputs from the two different emissions inputs then are compared with BMKG measurement at five locations in Jakarta, i.e. Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, and Monumen Nasional. The results show that WRF-CHEM underestimate the concentration of SO 2 , NO 2 , and TSP over Jakarta. The concentration of each parameter in January (representing rainy season) is lower than the concentration in July (representing the dry season). The output from simulation using local emission data has better correlation value and small error compared to the one using global data. Keywords: Air Quality, Emission, WRF-CHEM, EDGAR ABSTRAK Penelitian terkait kualitas udara penting dilakukan untuk mengetahui kualitas udara dan lingkungan suatu wilayah. Data konsentrasi sulfur dioksida (SO 2 ), natrium dioksida (NO 2 ), dan partikel debu total (TSP) dihasilkan oleh simulasi WRF-CHEM periode Januari dan Juli. Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data emisi lokal yang diperoleh dari inventarisasi emisi wilayah Jakarta dan data emisi global The Emissions Database for Global Atmospheric Research (EDGAR) tahun 2009. Luaran model dari dua masukan data emisi yang berbeda dibandingkan dengan data pengukuran BMKG pada lima lokasi di wilayah Jakarta, yaitu Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, dan Monas. Berdasarkan nilai data pengukuran dengan hasil model menggunakan emisi global dan emisi lokal menunjukkan bahwa hasil model under estimate terhadap pengukuran. Peningkatan konsentrasi terjadi pada bulan Januari (mewakili musim hujan) menuju bulan Juli (mewakili musim kering). Terdapat perbaikan nilai korelasi hasil pengukuran terhadap emisi lokal dibandingkan hasil pengukuran dengan emisi global. Secara umum korelasi emisi lokal terhadap data pengukuran lebih baik dan mempunyai error yang lebih kecil dari emisi global. Kata kunci : Kualitas Udara, Emisi, WRF-CHEM, EDGAR
PENDAHULUAN Polusi di suatu wilayah memengaruhi lingkungan dan mutu kualitas udara di wilayah tersebut. Kualitas udara di wilayah perkotaan yang merupakan kawasan industri dan kawasan padat lalu lintas memberikan andil dalam penurunan kualitas kesehatan masyarakat sekitar daerah tersebut. Oleh karena sangat diperlukan studi yang mengkaji tentang kualitas udara wilayah perkotaan. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.1 Pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia berupa gas buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil dan industri. Perkiraan persentase komponen pencemar udara utama di Indonesia khususnya transportasi dan industri yaitu: karbon monoksida (CO) 70,50%, oksida sulfur (SOx) 0,9%, nitrogen oksida (NOx) 8,9%, partikulat sebesar 1,33%, hidrokarbon (HC) 18,34%.2
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 61
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
Kendaraan bermotor dapat mengeluarkan emisi gas buang antara lain SOx, NOx, CO, HC, dan partikulat debu. Konsentrasi CO dan NO 2 merupakan parameter pencemaran udara yang sangat perlu diperhatikan karena merupakan dampak dari kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor. Jika konsentrasi udara di atas standar baku mutu maka gas tersebut cukup berbahaya bagi kesehatan manusia, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Kendaraan bermotor merupakan sumber utama CO dan NO 2 terutama pada kendaraan yang sudah tua, sehingga mesin kendaraan kurang berfungsi secara baik.3 Menurut Sugiarti,4 secara umum penyebab pencemar udara ada dua macam yaitu secara alamiah seperti: debu yang berterbangan akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berikut gas-gas vulkanik dan proses pembusukan sampah organik dan lainlain. Kedua adalah faktor eksternal (ulah manusia) seperti hasil pembakaran bahan bakar fosil, debu dari kegiatan industri dan pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara. WRF-CHEM adalah model WRF yang ditambah dengan modul chemistry (kimia). Model tersebut dapat mensimulasikan emisi, transportasi, pencampuran, dan transformasi kimia jejak gas dan aerosol bersamaan dengan proses meteorologi. Penelitian terkait WRF-CHEM dilakukan oleh Fast et.al dengan melakukan simulasi variasi skala urban hingga regional dibandingkan dengan data pengukuran kualitas udara Texas selama tahun 2000.7 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan konsentrasi data pengukuran dengan hasil model menggunakan emisi global dan emisi lokal. METODOLOGI Data Bahan penelitian berupa data untuk masukan model dan bahan analisis serta verifikasi. Periode waktu yang digunakan pada kajian ini bulan Januari dan bulan Juli tahun 2009. Jenis dan sumber data yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1. Dalam penelitian ini, data sulfur dioksida (SO 2 ), nitrogen dioksida (NO 2 ), dan Suspended Particulate Matter (SPM) diperoleh dari model. Model ini dikembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan bekerja sama dengan beberapa universitas.5 Masukan data model diperoleh dari inventarisasi emisi lokal wilayah Jakarta dan data emisi global The Emissions Database for Global Atmospheric Prosiding SNSA 2015 – Halaman 62
Research (EDGAR). Periode waktu yang digunakan adalah bulan Januari (mewakili musim hujan) dan bulan Juli (mewakili musim kemarau) tahun 2009. Tabel 1. Jenis dan Sumber Data yang Digunakan NO 1 2 3
Jenis Data Data pengukuran Global Forecast System Emisi Lokal EDGAR
Sumber Data
Keperluan
BMKG
Verifikasi simulasi model WRF-CHEM
NCEPNOAA
Database model WRF-CHEM
JRC - IES
4
Emisi Lokal
ITB
5
Landuse dan Topografi
USGS
Database model WRF-CHEM Database model WRF-CHEM Database model WRF-CHEM
Tiga parameter luaran akan dibandingkan dengan data pengukuran skala mingguan BMKG pada lima lokasi di Jakarta, yaitu; stasiun Ancol (106.836° BT dan -6.135° LS), stasiun Bandengan (106.786° BT dan -6.165° LS), stasiun Glodok (106.826° BT dan -6.155° LS), stasiun Kemayoran (106.866° BT dan -6.165° LS), dan stasiun Monas (106.826° BT dan 6.185° LS). Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif menggunakan korelasi dan bias. Software aplikasi atau tools yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah model kualitas udara WRF-CHEM yang digunakan untuk mensimulasi beberapa parameter kualitas udara dan GrADS (Grid Analysis and Display System) yang digunakan untuk analisis parameter kualitas udara luaran model. Pada WRF-CHEM terdapat penambahan modul kimiawi (chemistry) pada data input yang digunakan oleh WRFCHEM.6 Data input tambahan ini disediakan oleh WRF Preprocessing System (WPS, bagian dust erosion) atau dalam proses real.exe (yaitu pembakaran biomassa, emisi biogenik, emisi background GOCART dan lain-lain) atau dalam proses eksekusi wrf.exe (yaitu emisi anthropogenik, syarat batas, emisi vulkanik dan lain-lain).5 Metode Pengolahan data yang dilakukan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu; pengolahan data pengukuran kualitas udara dari BMKG, data emisi lokal wilayah Jakarta, running model dan analisis hasil serta verifikasi simulasi model (post processing).
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
dan domestik (rumah tangga). Sumber data inventarisasi data emisi wilayah Jakarta tahun 2009 diperoleh dari beberapa instansi pemerintah seperti, BPH Migas, BPLHD, Jasa Marga, dan BPS. Data emisi wilayah Jakarta yang telah terkumpul dilakukan perubahan format menjadi data grid. Hal ini dilakukan karena masukan data emisi model WRF-CHEM menggunakan data format grid. Proses re-gridding emisi lokal dilakukan pada resolusi 5 km. Gambar 3 menunjukkan data emisi lokal NO 2 dan SO 2 dan dalam bentuk grid yang digunakan sebagai masukan data model WRF-CHEM.
Gambar 1. Alur sistem WRF-CHEM
Pengolahan Data Pengukuran Kualitas Udara BMKG Wilayah Jakarta Tahapan pengolahan data kualitas udara wilayah Jakarta dilakukan dengan menginventarisasi data pengukuran skala mingguan BMKG. Data pengukuran yang digunakan adalah data sulfur dioksida (SO 2 ), nitrogen dioksida (NO 2 ), dan Suspended Particulate Matter (SPM). Data pengukuran tersebut digunakan sebagai data verifikasi luaran model. Data pengukuran skala mingguan milik BMKG terdapat pada 5 (lima lokasi), yaitu: Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, dan Monas. Lokasi stasiun pengukuran data kualitas udara milik BMKG ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 3. Data emisi lokal NO 2 (kiri) dan SO 2 (kanan) sebagai masukan data model WRF-CHEM
Penajaman resolusi model dilakukan hingga 5 km dengan interval waktu 1 jam. Parameterisasi skema fisik dan dinamik yang digunakan dalam running model WRF-CHEM adalah skema Cumulus (Grell 3D), skema Michrophysic (Lin et al scheme), skema Planetary Boundary Layer menggunakan skema Yonsei University (YSU) dan skema Surface Layer menggunakan Monin-Obukhov. Sedangkan parameterisasi skema kimiawi menggunakan mekanisme fase kimiawi RADM2 (Regional Acid Deposition Model, version 2). Chemistry Option menggunakan Simple Aerosol Treatment, Emiss Option menggunakan Gocart Simple Emissions. Pilihan kimiawi menggunakan profil kimiawi ideal, dan menggunakan pilihan emisi EDGAR dust emissions. Verifikasi Model
Gambar 2. Lokasi Pengukuran kualitas udara wilayah Jakarta
Pengolahan Jakarta
Data
Emisi
Lokal
Wilayah
Inventarisasi data emisi wilayah Jakarta didapatkan dari berbagai sumber emisi, di antaranya adalah; sektor industri, transportasi,
Pendekatan secara kuantitatif dilakukan dengan membandingkan besaran nilai luaran model dengan menggunakan masukan data emisi lokal, emisi global, dan data pengukuran. Metode yang digunakan adalah pendekatan korelasidan bias. Untuk mencari nilai korelasi antara hasil model dan data observasi menggunakan persamaan Kyun8, sedangkan mencari nilai bias menggunakan persamaan De Foy.9 Prosiding SNSA 2015 – Halaman 63
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
BIAS = F − O
∑ (F N
Corr =
n
n =1
∑ (F N
n =1
n
(1) − F )× (On − O )
− F ) ×∑ (On − O ) 2
N
2
(2)
n =1
Dimana F adalah hasil forecast (nilai prediksi model) dan O adalah hasil observation (nilai pengukuran). F n dan O n merupakan nilai ke i dari deret waktu data. Metode prakiraan dikatakan baik jika memiliki nilai korelasi yang tinggi. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbandingan Model Pengukuran BMKG
Dengan
Data
Data parameter kualitas udara yang dibandingkan adalah SO 2 , NO 2 , dan SPM. Interval waktu yang digunakan adalah skala mingguan pada lima lokasi diwilayah Jakarta. Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan beberapa profil parameter kualitas udara di lima lokasi wilayah Jakarta. Pola NO 2 , SO 2, dan SPM bulan Januari dan Juli hasil data pengukuran dengan model menggunakan data emisi lokal terlihat berfluktuasi, sedangkan data emisi global cenderung berpola datar. Berdasarkan akumulasi data rata-rata mingguan konsentrasi udara hasil pengukuran cenderung lebih tinggi dari hasil model pada beberapa lokasi (model underestimate terhadap pengukuran). Profil data mingguan luaran model dari data emisi lokal dan global mempunyai pola yang cukup mirip, data emisi lokal cenderung mempunyai nilai lebih tinggi dari emisi global. Nilai maks NO 2 , SO 2 dan SPM bulan Januari diperoleh dari data pengukuran di wilayah Glodok dengan nilai berturut-turut sebesar 0.047 ppm, 0.007 ppm, dan 253 µg/m3. Nilai rata-rata tertinggi NO 2 , SO 2 dan SPM periode Januari 2009 masih di bawah ambang batas baku mutu yang ditetapkan,dalam hal ini berdasarkan keputusan Gubernur DKI Jakarta.10 Nilai maks NO 2 dan SPM bulan Juli diperoleh dari data pengukuran di wilayah Glodok dengan nilai sebesar 0.087 ppm dan 397.45 µg/m3. Sedangkan nilai maks SO 2 terdapat di wilayah Bandengan dengan nilai 0.0097 ppm. Nilai ratarata tertinggi NO 2 , SO 2 dan SPM periode Juli
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 64
2009 masih di bawah ambang batas baku mutu yang ditetapkan Hasil data rata-rata bulanan perbandingan konsentrasi NO 2 , SO 2 , dan SPM antara data pengukuran (observasi), data emisi lokal, dan emisi global periode Januari dan Juli 2009 ditunjukkan pada Gambar 5. Sebagian besar nilai konsentrasi rata-rata bulanan semua parameter pada bulan Juli lebih tinggi dibandingkan bulan Januari baik dari hasil pengukuran, data emisi lokal, maupun global.Secara umum dapat disimpulkan bahwa nilai konsentrasi, NO 2 , SO 2 dan SPM pada bulan Juli mengalami peningkatan dari bulan Januari. Hasil perbandingan konsentrasi NO 2 , SO 2 dan SPM antara hasil pengukuran, data emisi lokal, dan emisi global ditunjukkan dengan perhitungan korelasi. Tabel 2 dan Tabel 3 adalah koefisien korelasi antara data pengukuran terhadap emisi lokal, dan emisi global bulan Januari dan Juli 2009. Secara umum pada beberapa lokasi korelasi data emisi lokal terhadap data pengukuran lebih tinggi dari data emisi global. Perhitungan menggunakan bias antara data hasil pengukuran terhadap hasil model dengan menggunakan masukan data emisi global dan lokal dilakukan dengan tujuan untuk melihat akurasi hasil model terhadap data pengukuran. Hasil perhitungan bias konsentrasi SO 2 , NO 2 , dan SPM bulan Januari dan Juli 2009 ditunjukkan pada Gambar 7. Nilai bias didapatkan dengan cara mengurangkan nilai pengukuran dengan data data emisi global dan lokal hasil model. Nilai bias yang semakin besar mengindikasikan bahwa akurasi hasil model semakin kecil/rendah. Berdasarkan nilai bias seperti yang ditunjukkan Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai bias data emisi global dominan lebih tinggi dibandingkan data emisi lokal. Hal ini membuktikan bahwa hasil model WRF-CHEM dengan menggunakan data emisi lokal mempunyai error yang lebih kecil (akurasi lebih baik) dibandingkan dengan data emisi global. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa nilai emisi model dominan lebih kecil (underestimate) terhadap nilai pengukuran. Hal ini diduga parameterisasi model yang digunakan belum sesuai dengan kondisi riil wilayah Jakarta. Perlu dilakukan set-up skema parameterisasi fisik yang sesuai sehingga mendapatkan akurasi nilai model yang lebih baik dan mendekati data pengukuran.
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
Gambar 4.Profil NO 2 , SO 2 dan SPM luaran model (lokal dan global) dan data pengukuran bulan Januari tahun 2009 pada 5 lokasi wilayah Jakarta
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 65
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
Gambar 5.Profil NO 2 , SO 2 dan SPM luaran model (lokal & global) dan data pengukuran bulan Juli tahun 2009 pada 5 lokasi wilayah Jakarta.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 66
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
Gambar 6. Perbandingan rata-rata bulanan data pengukuran, emisi global, dan emisi lokal bulan Januari dan Juli 2009
Tabel 2. Koefisien Korelasi Emisi Global dan Lokal Terhadap Pengukuran Bulan Januari 2009 SO 2 Emisi Global Emisi Lokal NO 2 Emisi Global Emisi Lokal SPM Emisi Global Emisi Lokal
Ancol 0.40 0.57
Bandengan 0.19 0.14
Glodok 0.78 0.84
Kemayoran 0.13 0.55
Monas -0.11 -0.01
-0.11 -0.26
0.49 0.82
-0.06 0.86
0.66 0.55
-0.22 0.03
0.62 0.72
0.43 0.55
0.42 0.67
0.46 0.52
-0.84 0.51
Tabel 3. Koefisien Korelasi Emisi Global dan Lokal Terhadap Pengukuran Bulan Juli 2009 SO 2
Ancol
Bandengan
Glodok
Kemayoran
Monas
Emisi Global Emisi Lokal
-0.41 0.23
-0.54 0.51
-0.43 0.72
-0.31 -0.42
-0.15 0.49
NO 2 Emisi Global Emisi Lokal
-0.60 -0.12
0.16 0.55
0.66 0.57
0.86 0.89
-0.24 0.77
SPM Emisi Global Emisi Lokal
-0.09 0.74
-0.35 0.35
-0.71 0.40
-0.79 0.04
0.15 -0.01
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 67
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
Gambar 7. Nilai bias antara data pengukuran terhadap data emisi global dan lokal bulan Januari dan Juli 2009 pada lima lokasi wilayah Jakarta
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 68
Eko Heriyanto dan Tri Astuti Nuraini
KESIMPULAN Terjadi peningkatan konsentrasi SO 2 , NO 2 , dan SPM pada bulan Juli bila dibandingkan dengan Januari. Hal ini diduga pada bulan Januari sebagian aktivitas polutan dan konsentrasi terdeposisi oleh hujan. Perbandingan konsentrasi antara data hasil model menggunakan emisi lokal terhadap data pengukuran mempunyai selisih nilai untuk NO 2 12%, SO 2 11%, dan SPM 62%, sedangkan selisih nilai emisi global terhadap pengukuran untuk NO2 46%, SO2 29% dan SPM 93%. Perbandingan konsentrasi tersebut menunjukkan hasil model under estimate terhadap hasil pengukuran. Nilai emisi lokal dominan lebih tinggi dari global sehingga nilai emisi lokal lebih mendekati hasil pengukuran. Hasil bias menunjukkan bahwa data emisi global dominan lebih tinggi dibandingkan data emisi lokal. Hal ini membuktikan bahwa hasil model WRF-CHEM dengan menggunakan data emisi lokal mempunyai error lebih kecil dibandingkan data emisi global.
Eder, 2005. Fully Coupled Online Chemistry Within The WRF Model. Atmospheric Environment (39): 6957-6975. 7 Fast, J. D., Gustafson Jr., W. I., Easter, R. C., Zaveri, R. A., et. al. 2006. Evolution of ozone, particulates, and aerosol direct radiative forcing in the vicinity of Houston using a fully coupled meteorology-chemistryaerosol model. Journal of Geophysical Research, 111, D21305, doi:10.1029/2005JD006721. 8 Kyun RD. 2002. Training Course On Weather Forecasting For Operational Meteorologist Post Processing. Meteorological Training Division, Korea Meteorological Administration 217-272. 9 De Foy, B. Zavala, M., Bei, N. & Molina, L. T., 2009. Evaluation of WRF mesoscale simulation and particle trajectory analysis for the MILARGO field campaign. Atmospheric Chemistry and Physics. (9):4419 – 4438 10 Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 2001. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Mutu Tingkat Kebisingan di Propinsi DKI Jakarta. Jakarta.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf bidang Klimatologi dan Kualitas Udara Pusat Penelitian dan Pengembangan – BMKG atas masukan dan saran selama penulisan KTI. DAFTAR PUSTAKA 1
Republik Indonesia, 1999.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara Presiden Republik Indonesia Lembaran Negara RI No 41, Jakarta: Sekretariat Negara 2 Wardhana, W.A., 1984. Teknik Analisis Radioaktifitas Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset 3 Basuki.T.K. Setiawan, Budi. A., 2008. Penurunan Konsentrasi CO dan NO2 Pada Emisi Gas Buang Dengan Menggunakan Arang Tempurung Kelapa Yang Disisipi TiO2. Makalah dalam Seminar Nasional IV SDM Bilogi Nuklir. Yogyakarta. 4 Sugiarti, 2009. Gas Pencemar Udara dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia. Jurnal Chemical periode Juni, Vol.10 No.1 5 Peckam, S. E., Grell, G. A., McKeen, S. A., et.al., 2013. WRF-Chem Version 3.5. User’s Guide 6 Grell, G. A., S. E. Peckham, R. Schmitz, S. A. McKeen, G. Frost, W. C. Skamarock and B. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 69
Fadila Muchsin
KOREKSI ATMOSFER CITRA LANDSAT-7 MENGGUNAKAN MODUL ENVI FLAASH ATMOSPHERIC CORRECTION FOR LANDSAT-7 IMAGERY USING ENVI FLAASH MODUL Fadila Muchsin Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. LAPAN No.70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur 13710 Pos-el :
[email protected] ABSTRACT Landsat-7 is widely used to obtain information of the earth's surface through a quantitative analysis of the digital value or reflectance of the image. Atmosphere influences such as scattering and absorption of water vapor and aerosol particles, especially in the visible band causes the value of reflectance does not correspond to the actual value. Various ways have been made to eliminate the influence of the atmosphere through the atmospheric correction. One of them using FLAASH module software installed on Envi. The method is applied to the module is based on MODTRAN41. MODTRAN4 can calculate water vapor and aerosols directly from the image using information from metadata file such as viewing and sensor angle and the average of height from Digital Elevation Model (DEM) and other sources. Atmospheric correction using FLAASH on Landsat-7 (Jakarta area) has done by setting parameters using the model of urban and maritime. Visibility values obtained were higher in urban model so that the image appears brighter on urban model. In general, the influence of the atmosphere, especially on visible bands can be eliminated so that the spectral profile of the object look similar according to spectral profile of Landsat data and has similarities with the results of atmospheric correction using LEDAPS system, mainly using urban model. Keywords: Landsat-7, atmospheric correction, ENVI FLAASH ABSTRAK Citra Landsat-7 banyak digunakan untuk memperoleh informasi permukaan bumi melalui analisis kuantitatif nilai digital atau nilai pantulan objek pada citra.Namun pengaruh atmosfer seperti hamburan dan serapan dari partikel uap air dan aerosol khususnya pada kanal visible menyebabkan nilai pantulan tidak sesuai dengan nilai sebenarnya. Berbagai cara telah dilakukan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer melalui koreksi atmosfer. Salah satunya dengan menggunakan modul FLAASH yang dipasang pada perangkat lunak Envi. Metode yang diterapkan pada modul FLAASH didasari pada model MODTRAN4.1 MODTRAN4 dapat menurunkan informasi uap air dan aerosol langsung dari citra menggunakan sudut pandang sensor dan sudut matahari serta rata-rata ketinggian permukaan yang dapat diperoleh dari file metadata citra dan rata-rata ketinggian dari data Digital Elevation Model (DEM) maupun sumber lainnya.2 Koreksi atmosfer menggunakan modul FLAASH pada citra Landsat-7 wilayah Jakarta dengan pengaturan parameter menggunakan model urban dan maritim diperoleh nilai visibility lebih tinggi pada model urban sehingga citra nampak lebih cerah pada model urban. Secara umum pengaruh atmosfer khususnya pada kanal-kanal visible dapat dihilangkan sehingga pola spektral objek sesuai dengan pola yang sebenarnya mengacu kepada pola spektral data Landsat dan memiliki kemiripan dengan hasil koreksi atmosfer menggunakan sistem LEDAPS terutama menggunakan model urban. Kata kunci: Landsat-7, koreksi atmosfer, ENVI FLAASH
PENDAHULUAN Citra Landsat-7 banyak digunakan untuk memperoleh informasi yang terdapat di permukaan bumi karena memiliki kemampuan spektral yang cukup baik untuk mengenali dan membedakan berbagai objek yang ada di permukaan bumi pada skala menengah. Informasi tersebut dapat berupa informasi penutup, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 70
penggunaan lahan, indeks vegetasi, albedo, dan sebagainya. Citra Landsat-7 memiliki delapan kanal spektral (panjang gelombang), yaitu tiga kanal visible (0,45 – 0.69 µm), satu kanal inframerah dekat (0.77 – 0.90 µm), dua kanal inframerah pendek (1.55 – 1.75 µm dan 1.55 – 1.75 µm), satu kanal termal (2.09 – 2.35) dan satu kanal pankromatik (0.52 – 0.90).3 Analisis kuantitatif untuk memperoleh informasi
Fadila Muchsin
permukaan bumi biasanya menggunakan keunggulan dari kanal spektal tersebut. Setiap objek memantulkan energi pada kanal spektral tertentu dan energi berupa nilai pantulan atau radian diterima oleh sensor satelit sebagai suatu informasi yang direpresentasikan pada citra.4 Namun nilai-nilai tersebut bukan merupakan nilai pantulan atau radian dari objek yang sebenarnya karena perjalanan energi menuju sensor akan melewati atmosfer sehingga nilai pantulan tersebut bercampur dengan unsurunsur atau molekul-molekul gas dan uap air yang ada di atmosfer. Unsur-unsur dan molekul yang sangat mempengaruhi nilai pantulan atau radian yang diterima sensor adalah aerosol dan uap air.1 Koreksi atmosfer dilakukan untuk menghilangkan pengaruh tersebut agar nilai radian atau pantulan sesuai atau mendekati nilai yang sebenarnya.5 Citra yang telah melewati proses koreksi atmosfer disebut dengan produk citra reflektan/pantulan permukaan (Surface Reflectance Product).6 Berbagai cara telah dilakukan untuk mendapatkan citra reflektansi permukaan dari data Landsat-7 diantaranya menggunakan Landsat Ecosystem Disturbance Adaptive Processing System (LEDAPS) yang dikembangkan oleh NASA–Goddard Space Flight Center dan Universitas Maryland dan model lainnya yaitu Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of Spectral Hypercubes (FLAASH) yang dipasang pada perangkat lunak Envi. Namun koreksi atmosfer menggunakan sistem LEDAPS bersifat terbatas karena hanya dapat dijalankan untuk data Landsat-7 dan data pendukungnya (ancilary data) berupa uap air, ozon dan data ketinggian menggunakan data-data dari sumber tertentu yang hanya dapat diperoleh atau di-download melalui website tertentu. Koreksi atmosfer dengan modul FLAASH dapat dijalankan pada semua data penginderaan jauh mulai dari data multispektral sampai dengan hyperspektral dan tidak menggunakan data pendukung lainnya.7 Semua informasi untuk menurukan parameter atmosfer hanya bersumber dari metadata dan dari data citra yang diolah. Penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi hasil koreksi atmosfer dengan modul FLAASH dan membandingkan hasilnya dengan hasil dari sistem LEDAPS berdasarkan pola spektral masing-masing objek diantaranya vegetasi, tanah dan air mengacu kepada pola spektral data Landsat-7.
METODOLOGI Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Landsat-7 wilayah Jakarta, Path/Row 122/064 tanggal 17 September 2001 dengan liputan awan < 10% pada wilayah darat. Koreksi atmosfer dilakukan menggunakan kanal-kanal visible (Band 1,2 dan 3), inframerah (Band 4) dan infamerah pendek (kanal 5 dan 7). Modul FLAASH Koreksi atmosfer menggunakan modul FLAASH memerlukan data input berupa nilai radian citra sehingga data asli dalam bentuk nilai digital perlu dikonversi menjadi nilai radian. Radian merupakan jumlah radiasi elektromagnetik yang datang dari suatu area (objek/target). Proses konversi memerlukan nilai gain dan offset yang diperoleh dari file metadata citra atau dari penyedia data. Envi menyediakan tool untuk melakukan proses konversi dari nilai digital ke radian menggunakan radiometric callibration tool. Setelah mendapatkan citra radian, koreksi atmosfer dapat dilakukan menggunakan modul FLAASH. Pada saat memilih jenis sensor berupa ETM untuk citra Landsat-7, lokasi koordinat tengah citra, ketinggian sensor dan ukuran piksel akan secara otomatis terisi. Waktu perekaman diisi dengan melihat pada file metadata citra dan ketinggian permukaan diketahui dari data DEM atau sumber lainnya. Pemilihan parameter atmosfer berupa uap air dan aerosol dilakukan dengan melihat kondisi citra yang akan diolah. Pemilihan model aerosol mengacu pada kondisi wilayah pada citra yang diolah. Kondisi wilayah terbagi kedalam wilayah pedesaan (rural), perkotaan (urban), laut (maritime) dan troposfer (tropospheric). Masing-masing wilayah memiliki karakteristik sebagai berikut8: - Rural: merupakan wilayah dengan distribusi aerosol tidak dipengaruhi oleh aerosol wilayah perkotaan atau industri. Ukuran partikel aerosol merupakan perpaduan dari partikel yang besar dan kecil. - Urban: merupakan wilayah dengan distribusi aerosol merupakan campuran dari 80% aerosol wilayah rural dengan 20% wilayah urban dan industri. - Maritime: merupakan wilayah diatas lautan atau benua dengan distribusi aerosol berasal dari dua wilayah yaitu laut dan dari benua. - Tropospheric: merupakan wilayah daratan dengan distribusi aerosol memiliki ukuran partikel kecil berasal dari wilayah urban, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 71
Fadila Muchsin
kondisi atmosfer tergolong clear dengan visibility lebih besar dari 40 km. Pemilihan kolom uap air mengacu pada kolom uap air standar yang disesuaikan dengan letak geografis seperti disajikan pada Tabel 1.
lebih baik dibandingkan menggunakan model urban. Kenampakan objek makin jelas pada model maritim dibandingkan pada model urban (Gambar 2).
Tabel 1. Jumlah Kolom Uap Air dan Suhu Permukaan Untuk Berbagai Model Atmosfer Model Atmosphere
Water Vapor (std atm-cm)
Sub-Arctic 518 Winter (SAW) Mid-Latitude Winter 1060 (MLW) U.S. Standard 1762 (US) Sub-Arctic Summer 2589 (SAS) Mid-Latitude Summer 3636 (MLS) Tropical (T) 5119 (Sumber: ENVI Modul)
Water Vapor 2 (g/cm )
Surface Air Temperature
0.42
-16 C (3 F)
0.85
-1 C (39 F)
1.42
15 C (59 F)
2.08
14 C (57 F)
2.92
21 C (70 F)
4.11
27 C (80 F)
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
Proses koreksi atmosfer citra Landsat-7 wilayah Jakarta menggunakan model atmosfer yaitu tropical model, dengan asumsi bahwa wilayah Indonesia merupakan wilayah tropis. Pemilihan model aerosol menggunakan dua model yaitu model urban dan maritim untuk mengetahui penerapan model tersebut pada aplikasi darat dan laut. HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi dilakukan pada citra Landsat-7 sebelum dan sesudah koreksi atmosfer. Pengaturan parameter aerosol menggunakan model urban dan maritim. Secara visual terjadi perubahan setelah koreksi atmosfer menggunakan FLAASH, baik untuk model urban maupun maritim. Citra nampak makin terang terutama menggunakan model urban karena nilai visibility rata-rata yang diperoleh lebih tinggi yaitu sebesar 22.3972 km dibandingkan model maritim yaitu sebesar 11.9539 km (Tabel 2). Pada model urban, nilai visibility pada beberapa potongan citra tidak dapat diturunkan sehingga nilai yang digunakan adalah nilai inisial yaitu 40 km untuk citra yang memiliki liputan awan < 10% (model FLAASH membagi citra menjadi 16 potongan atau tile untuk mendapatkan nilai aerosol lokal). Pada model maritim nilai visibility dapat diperoleh pada setiap potongan citra, sehingga hasilnya Prosiding SNSA 2015 – Halaman 72
Gambar 1. Citra Landsat-7 wilayah Jakarta sebelum koreksi atmosfer
(a) (b) Gambar 2. Citra Landsat-7 wilayah Jakarta sesudah koreksi atmosfer menggunakan model aerosol yaitu (a) model urban; dan (b) model maritim Tabel 2. Nilai Visibility Rata-rata Menggunakan Model Urban dan Maritim Tile 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Visibility Rata-rata (km) Urban Maritim 40.0000 9.28318 8.77560 10.6855 8.12380 12.9036 10.9596 300.000 40.0000 10.8751 8.24746 10.3749 12.1682 14.5247 23.0819 16.0964 40.0000 13.9591 40.0000 12.1081 12.3201 10.3667 17.3132 9.52258 40.0000 14.5653 40.0000 14.3016 8.28279 6.76880 9.08284 12.9730
Evaluasi juga dilakukan terhadap pola spektral objek yaitu vegetasi, tanah terbuka dan air. Pada objek vegetasi (Gambar 3a) terjadi perbaikan pola spektral khususnya pada kanal visble (kanal/band 1, 2 dan 3). Pada citra sebelum dilakukan koreksi (Gambar 3b), pola pantulan sangat tinggi terutama pada kanal biru (band 1)
Fadila Muchsin
dan kanal hijau (band 2) akibat dari hamburan atmosfer.9 Setelah dilakukan koreksi, gangguan atmosfer dapat dihilangkan dan terjadi puncak pantulan kecil pada kanal hijau (Gambar 3c) disebabkan oleh kandungan klorofil daun.10 Demikian juga untuk pola spektral tanah terbuka (Gambar 4a, 4b dan 4c) dan air (Gambar 5a, 5b dan 5c). Secara umum gangguan atmosfer pada citra dapat dihilangkan dan pola spektral objek sesuai dengan pola spektral objek yang sebenarnya mengacu kepada pola spektral citra Landsat.4 Untuk semua jenis vegetasi dan tanah terbuka, pola spektral cenderung stabil, namun pada wilayah perairan baik di darat maupun di laut cenderung tidak stabil. Hal ini disebabkan sebagian besar objek gelap yang digunakan untuk menurunkan parameter aerosol, diambil pada objek vegetasi di wilayah darat.11
Nilai pantulan vegetasi yang diambil pada areal sawah mencapai puncaknya pada kanal inframerah dekat (band 4) yaitu sekitar 3.000 (pada FLAASH nilai pantulan telah dikonversi ke nilai digital yaitu dikali 10.000) (Gambar 3c). Nilai pantulan tanah terbuka mencapai nilai tertinggi pada kanal inframerah pendek (band 5) yaitu sekitar 2.500 (Gambar 4c). Nilai pantulan air di wilayah darat dan laut cenderung berbeda. Pada wilayah laut nilai pantulan tertinggi terjadi pada kanal biru (band 1) yaitu sekitar 600 (Gambar 5c) dan nilai pantulan tertinggi air di wilayah darat berkisar antara 350 - 400. Nilainilai tersebut masih bersifat umum dan belum merupakan nilai pantulan objek yang sebenarnya sehingga validasi perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara nilai pantulan hasil FLAASH dengan nilai objek di lapangan.
(a) (a)
(b) FLAASH (Urban)
FLAASH (Maritim) LEDAPS
(c) Gambar 3. (a) Kenampakan vegetasi pada citra; (b) Pola spektral objek bervegetasi sebelum koreksi atmosfer; dan (c) Pola spektral objek bervegetasi sesudah koreksi atmosfer menggunakan model FLAASH (urban dan maritim) dan model LEDAPS. Indeks menunjukkan kanal-kanal spektral citra Landsat 7
(b) FLAASH (Urban) FLAASH (Maritim) LEDAPS
(c) Gambar 4. (a) Kenampakan tanah tebuka pada citra; (b) Pola spektral tanah terbuka sebelum koreksi atmosfer; dan (c) Pola spektral tanah terbuka sesudah koreksi atmosfer menggunakan model FLAASH (urban dan maritim) dan model LEDAPS. Indeks menunjukkan kanal-kanal spektral citra Landsat 7
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 73
Fadila Muchsin
Pola spektral objek hasil FLAASH dibandingkan juga dengan pola spektral hasil koreksi atmosfer menggunakan sistem LEDAPS. Secara umum tidak terjadi perbedaan yang signifikan baik menggunakan model urban maupun maritim. Pada model urban, baik pola spektral maupun nilai pantulannya memiliki kemiripan dengan sistem LEDAPS.
darat dan laut cenderung berbeda. Pada wilayah laut nilai pantulan tertinggi sekitar 600 pada kanal biru (band 1) dan air di wilayah darat berkisar antara 350 - 400. Nilai-nilai tersebut masih bersifat umum dan belum merupakan nilai pantulan objek yang sebenarnya sehingga validasi perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara nilai pantulan hasil FLAASH dengan nilai objek di lapangan. UCAPAN TERIMA KASIH
(a)
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Mahdi Kartasasminta MS, Ph.D., yang telah membimbing dan mengarahkan pada pemahaman teoritis dan matematis. Penelitian ini merupakan bagian awal dari kegiatan litbang koreksi atmosfer citra Landsat TA 2015 pada Pusat Teknologi dan Data Inderaja LAPAN untuk mencari metode koreksi atmosfer yang dapat digunakan pada kegiatan operasional. DAFTAR PUSTAKA 1
(b) FLAASH (Urban) FLAASH (Maritim)
LEDAPS
(c) Gambar 5. (a) Kenampakan air laut pada citra; (b) Pola spektral air laut sebelum koreksi atmosfer; dan (c) Pola spektral air laut sesudah koreksi atmosfer menggunakan model FLAASH (urban dan maritim) dan model LEDAPS. Indeks menunjukkan kanal – kanal spektral citra Landsat 7.
KESIMPULAN Evaluasi hasil koreksi atmosfer citra Landsat 7 wilayah Jakarta menunjukkan bahwa secara umum terjadi perbaikan pola spektral pada citra terutama pada objek vegetasi dan tanah terbuka. Namun pada objek air baik di wilayah darat maupun laut hanya pada wilayah tertentu. Nilai pantulan vegetasi yang diambil pada areal sawah mencapai puncaknya pada kanal inframerah dekat (band 4) yaitu sekitar 3.000 dan tanah terbuka sekitar 2.500 pada kanal inframerah pendek (band 5). Nilai pantulan air di wilayah Prosiding SNSA 2015 – Halaman 74
Kaufman, Y.J. et al., 1997. The MODIS 2.1- m Channel—Correlation with Visible Reflectance for Use in Remote Sensing of Aerosol. IEEE Transaction on Geoscience and Remote Sensing 35 (5): 1286-1298. 2 Golden, S.M.A. et al., 1999. Atmospheric Correction for Short-wave Spectral Imagery Based on MODTRAN4. SPIE Proceeding: Optical Spectroscopic Techniques and Instrumentation for Atmospheric and Space Research III. Denver, Colorado, USA. 3 National Aeronautics and Space Administration (NASA), 2010. Landsat 7 Science Data Users Handbook. (http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/ diakses 13 April 2015). 4 Lillesand, T.M. et al., 2008. Remote Sensing and Image Interpretation. USA: John Wiley and Sons. 756 hlm. 5 Liang, S. et al., 2002. Atmospheric Correction of Landsat ETM+ Land Surface Imagery: II. Validation and Applications. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing: 1 – 10. 6 Vermote, E. and Saleous, N., 2007. LEDAPS Surface Reflectance Product Description version 2.0. Technical Document, Departement of Geography, University of Maryland. USA. 7 Yuanliu, X. et al., 2008. Atmospheric Correction of Hyperspectral Data Using MODTRAN Model. SPIE Proceeding: Remote Sensing of
Fadila Muchsin
the Environment: 16th National Symposium on Remote Sensing of China. Beijing, China. 8 Envi, 2009. Atmospheric Correction Module: QUAC and FLAASH User’s Guide. ITT Visual Information Solutions. USA. 9 Mathew, M.W. et al., 2002. Atmospheric Correction of Spectral Imagery: Evaluation of the FLAASH Algorithm with AVIRIS Data. Proceeding: 31st Applied Imagery Pattern Recognation Workshop. Washington, DC, USA. .
10
Rudjord, O. and Trier, O., 2012. Evaluation of FLAASH Atmospheric Correction. Technical Note, Norsk Regnesentral Norwegian Computing Center. Norwegia. 11 Manakos, I. et al., 2011. Comparison Between FLAASH and ATCOR Atmospheric Correction Modules on The Basis of WorldView-2 Imagery and in Situ Spectroradiometric Measurements. Proceeding: 7th EARSel Imaging Spectroscopy Workshop. Edinburgh, England
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 75
Farid Lasmono, dkk.
VARIASI DIURNAL AWAN DI ATAS INDONESIA TAHUN 2014 CLOUD DIURNAL VARIATION ABOVE INDONESIA ON 2014 Farid Lasmono, Suaydhi, dan Aisya Nafiisyanti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected];
[email protected] ABSTRACT Cloud coverage is one of important element in the atmosphere influencing the weather and applicable practically, for example in precipitation estimation. Thus, it is imperative for information about the types of clouds and its coverage to distinguish between convective clouds, such as cumulonimbus (Cb), with other types of clouds, such as cirrus (Ci), which is low in temperature but doesn’t produce precipitation. This paper presents analysis results of diurnal characteristics and distribution of cloud types in Indonesia, as well as the frequency of occurrence of these cloud types in 2014. By using 2D-THR threshold on MTSAT observational data and processed into black body temperature (TBB) and classify the identified clouds into types, it is discovered that the obvious diurnal variation of cloud type over Indonesia in 2014 cumulonimbus, which is concentrated over the ocean in the morning and afternoon, while in the afternoon until evening concentrated above the mainland. Keywords: cloud types, threshold, diurnal, MTSAT ABSTRAK Liputan awan merupakan salah satu elemen penting di atmosfer yang turut mempengaruhi cuaca serta mampu diaplikasikan secara praktis, misalnya dalam melakukan estimasi curah hujan. Untuk itu dibutuhkan informasi mengenai jenis-jenis awan dan penyebarannya dengan tujuan agar dapat membedakan antara awan konvektif, seperti cumolonimbus (Cb), dengan tipe awan lainnya, seperti cirrus (Ci), yang bersuhu rendah tapi tidak menurunkan hujan. Makalah ini menyajikan hasil analisis tentang karakteristik diurnal dan distribusi tipe awan di Indonesia, serta frekuensi kemunculan tipe-tipe awan tersebut pada tahun 2014. Dengan menggunakan metode ambang batas 2DTHR pada data pengamatan MTSAT dan diolah menjadi data suhu benda hitam (TBB) serta pengklasifikasian awan tersebut kedalam tipe-tipe, didapatkan bahwa variasi diurnal tipe awan di atas Indonesia pada tahun 2014 yang terlihat jelas adalah awan cumolonimbus, dimana tipe awan ini terkonsentrasi di atas lautan pada pagi dan siang hari, dan pada sore hari hingga malam hari terkonsentrasi di atas daratan. Kata kunci: tipe awan, ambang batas, diurnal, MTSAT
PENDAHULUAN Siklus diurnal konveksi kuat (deep convection) di wilayah tropis dan presipitasi yang berkaitan dengan siklus tersebut merupakan hal esensial yang diteliti selama beberapa puluh tahun terakhir.1,2 Penelitian dengan data global mengindikasikan kontras siklus diurnal dari konveksi tropis yang sangat jelas (clear contrast). Pada daratan terjadi siklus diurnal yang kuat, dan konveksi maksimum terjadi menjelang sore hari hingga awal malam hari. Sementara hal sebaliknya terjadi di lautan, dengan siklus diurnal yang lemah dengan konveksi maksimum terjadi di pagi hari. Dikarakterisasikan dengan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, Benua Maritim Indonesia (BMI) berperan penting sebagai sumber panas atmosfer dalam sistem iklim bumi. Awan konvektif hasil pengamatan satelit diatas BMI Prosiding SNSA 2015 – Halaman 76
menunjukkan variasi siklus diurnal yang tegas.3 Variabilitas regional yang besar ini terjadi antara lain disebabkan karena inhomogenitas permukaan dari kepulauan Indonesia, serta mekanisme siklus diurnal yang berbeda antar wilayah.4 Penegasan variasi siklus diurnal tersebut dapat ditunjukkan dengan mendeteksi dan mengklasifikasikan tipe awan. Dengan melakukan estimasi curah hujan secara tidak langsung (suhu puncak awan rendah) seperti yang digambarkan pada Gambar infra merah (IR image), menunjukkan adanya curah hujan yang tinggi. Namun asumsi ini berlaku untuk awan konvektif, dan tidak berlaku pada awan nonkonvektif.5 Agar dapat membedakan antara awan konvektif, seperti cumolonimbus (Cb), dengan tipe awan lainnya, seperti cirrus (Ci), yang
Farid Lasmono, dkk.
bersuhu rendah tapi tidak menurunkan hujan; dibutuhkan informasi tipe awan. Selain itu, identifikasi tipe awan yang akurat sangat berguna pada berbagai aplikasi di bidang iklim, hidrologi dan sains atmosfer.6 Observasi satelit merupakan salah satu sumber informasi utama dalam skala besar, terutama observasi satelit geostasioner yang mampu memantau siklus diurnal parameterparameter variasi tinggi yang menjaga kesetimbangan radiasi (radiation budget), contohnya awan.7 Namun salah satu kesulitan utama deteksi awan terebut adalah karakteristik permukaan bumi (jenis permukaan, kondisi atmosfer, posisi matahari dan satelit) yang rumit menyebabkan kontras antara awan dan permukaan bumi sangat rendah pada kondisi tertentu.8 Dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan awan terdapat tiga metode untuk digunakan: metode pendekatan threshold (ambang batas), metode statistik tradisional (contoh: metode clustering), dan metode terbaru seperti Artificial Neural Network (ANN). Pendekatan ambang batas dua dimensi (2D-THR) yang dikembangkan oleh Suseno dan Yamada (2012) merupakan algortima sederhana yang dapat digunakan untuk wilayah dengan informasi cuaca yang minim. Suseno dan Yamada melakukan perbandingan distribusi tipe awan 2D-THR dengan tipe awan Japan Meteorological Agency (JMA) dan mendapatkan hasil yang baik sehingga algoritma klasifikasi awan 2D-THR dapat diterapkan di wilayah tropis dan subtropis pada baratan daya Samudera Pasifik. Tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan analisa karakteristik diurnal dan distribusi tipe awan di Indonesia serta frekuensi kejadian tipe awan. METODOLOGI Data yang digunakan adalah data pengamatan satelit MTSAT (kanal IR1 dan IR2) tahun 2014, dan diolah menjadi data suhu benda hitam (TBB). Sementara metode yang digunakan adalah representasi diagram ambang batas (threshold) dua dimensi (2D-THR) suhu kecerahan awan IR1 (TIR1) dengan selisih suhu kecerahan awan IR1-IR2 (∆TIR1-IR2).9 Setelah dilakukan representasi diagram, berikutnya mengklasifikasikan awan ke dalam tipe-tipe, yaitu: Cb, Cb dewasa (MCb), cirrus tebal (TkCi), cirrus tipis (TiCi), awan menengah (MC), dan awan rendah (LC).
Gambar 1. Klasifikasi tipe awan 2D-THR (Suseno, 2012: 740)
Berikutnya dilakukan penghitungan frekuensi kejadian tiap tipe awan tersebut pada tiap pikselnya per bulannya selama tahun 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 adalah distribusi awan di Indonesia pada bulan Desember 2014. Legenda dari kiri ke kanan adalah: cumolonimbus, cumolonimbus dewasa (mature cumolonimbus), awan menengah (middle cloud), awan rendah (lower cloud), cirrus tebal (thick cirrus), dan cirrus tipis (thin cirrus).
Gambar 2. Distribusi awan di atas Indonesia pada bulan Desember 2014
Gambar 3 dan Gambar 4 berturut-turut adalah frekuensi kejadian awan Cb pada bulan Januari dan Juli 2014. Gambar-Gambar ini menunjukkan awan cumolonimbus umumnya terlihat di atas lautan pada pagi hingga siang hari (07.00 – 13.00 WIB), dan mulai terkonsentrasi di daratan pada sore hingga dini hari (19.00 – 01.00 WIB). Pada pagi hingga siang hari, konsentrasi awan Cb pada Gambar 3 (bulan Januari) adalah di atas laut di selatan Sumatera, utara Jawa, dan sekitar selatan dan utara Papua. Sementara pada sore hingga dini hari, konsentrasi awan menutupi daratan pulau Jawa, Kalimantan Selatan dan Papua. Konsentrasi awan Cb pada Gambar 4 (bulan Juli) di pagi hingga siang hari
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 77
Farid Lasmono, dkk.
Gambar 3. Frekuensi kejadian awan cumolonimbus (Cb) pada bulan Januari 2014
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 78
Gambar 4. Frekuensi kejadian awan cumolonimbus (Cb) pada bulan Juli 2014
Farid Lasmono, dkk.
Gambar 5. Frekuensi kejadian awan cirrus tipis (TiCi) pada bulan Januari 2014
Gambar 6. Frekuensi kejadian awan cirrus tipis (TiCi) pada bulan Juli 2014
Gambar 5 dan Gambar 6 berturut-turut adalah frekuensi kejadian awan cirrus tipis pada bulan Januari dan Juli 2014. Gambar-Gambar tersebut menunjukkan variasi diurnal minimal baik pada bulan Januari maupun bulan Juli 2014, dimana perbedaan frekuensi kejadian awan cirrus tipis pada dini hingga siang hari relatif serupa dengan kejadian awan cirrus tipis pada siang hingga tengah malam. Pada Gambar 5, dengan frekuensi 20-30 kejadian (pukul 12.00 UTC), posisi awan cirrus tipis serupa dengan posisi awan Cb pada Gambar 3 sebelumnya.
Gambar 7 merupakan time-series persentase kejadian awan Cb dan cirrus tipis di Pulau Jawa, Laut Jawa dan Kalimantan pada bulan Januari 2014 yang lebih menunjukkan variasi diurnal dibanding bulan Juli 2014 dengan ditunjukkan oleh magnitudo yang lebih besar. Selain itu amplitudo variasi diurnal terlihat lebih besar di Pulau Jawa dan Kalimantan dibandingkan dengan di Laut Jawa dikarenakan kapasitas panas yang lebih kecil pada pulau/daratan dibandingkan dengan di atas lautan/samudra yang lebih besar kapasitas panasnya. 10
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 79
Farid Lasmono, dkk.
Atmosfer MTSAT.
Indonesia
(BISMA)
untuk
data
DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 7. Siklus diurnal (pada bulan Januari 2014) rata-rata awan Cb dan cirrus tipis pada area rektangular (a) 7.7◦-6.7◦S, 107◦-112◦E diatas pulau Jawa, (b) 5.5◦-4.5◦S, 107◦-112◦E diatas Laut Jawa, dan (c) 2◦S- 1◦N, 111◦-116◦E diatas Kalimantan.
KESIMPULAN Data MTSAT menunjukkan bahwa variasi diurnal yang terlihat jelas di atas wilayah Indonesia pada tahun 2014 adalah awan Cb, sementara variasi untuk jenis awan lainnya tidak dapat teramati dengan jelas. Awan Cb terkonsentrasi di atas lautan pada pagi hingga siang hari, dan terkonsentrasi di daratan pada sore hingga malam hari. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Qian, yang menyatakan bahwa observasi resolusi tinggi dan simulasi model iklim regional menunjukkan bahwa presipitasi di atas Benua Maritim sebagian besar terkonsentrasi di atas lautan, yang disebabkan konvergensi angin laut di atas daratan, dan diperkuat dengan angin pegunungan.11 UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Suaydhi yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan selama penulisan KTI, dan kepada Bapak Didi Satiadi yang telah memberikan dukungannya. Demikian pula kepada Kochi University dan Basis Data
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 80
Gray, W. M. dan R. W. Jacobson, 1977. Diurnal variation of deep cumulus convection. Mon. Weather Rev., 105, 1171-1188. 2 Yang, G.Y., dan Slingo, 2001. The diurnal cycle in the Tropics. Mon. Weather Rev., 129, 784801. 3 Nitta, T. dan S. Sekine, 1994. Diurnal variation of convective activity over the tropical western Pasific. J. Meteor. Soc. Japan, 72, 672-641. 4 Ichikawa, H., dan T. Yasunari, 2004. Timespace characteristics of diurnal rainfall activity over Indonesian Maritime Continent. Diakses online di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/museum/even t/2ndTISC/HP/Extended%20Abstract/4.4_IC HIKAWA_Hiroki.pdf (diakses 18 April 2015). 5 Kuligowski, J., 2003. Remote Sensing in Hydrology. Diakses online di http://www.nws.noaa.gov/iao/International HydrologyCourseCD1/1029/wmo_bk.ppt (diakses 17 April 2015). 6 Liu, Y., Xia, J., Shi, C.X. dan Hong, Y., 2009. An improved cloud classification algorithm for China’s FY-2C multi-channel images using artificial neural network. Sensor, 9, pp. 5558-5579. 7 Wonsick, M. M., R. T. Pinker dan Y. Govaerts, 2009. Cloud Variability over the Indian Monsoon Region as Observed from Satellites. J. Appl. Meteor. Climatol., 48, 1803-1821. 8 Shi, C., Zhang W., Guo W., dan Zhang L., 2005. Study on cloud classifications by using AVHRR, GMS-5, and TERRA-MODIS satellite data. J.Meteor. Res., 16, 338-347. 9 Suseno, D.P.Y. dan T.J. Yamada, 2012. Twodimensional, threshold-based cloud type classification using MTSAT data. Remote Sensing Letters, 8, 737-746. 10 Webster, P.J, C.A Clayson dan J.A Curry, 1996. Clouds, radiation,and the diurnal cycle of the sea surface temperature in the tropical western Pasific. J. Climate, 9, 1712-1730. 11 Qian, J., 2008. Why precipitation is mostly concentrated over islands in the maritime continent. Journal of the Atmospheric Science, 65, 1428-1441.
Firsta Zukhrufiana
ANALISIS PERGERAKAN HUJAN LEBAT TERKAIT DETEKSI WILAYAH RAWAN LONGSOR DI WILAYAH PULAU JAWA TAHUN 1999-2013 ANALYSIS OF HEAVY RAINFALL MOVEMENT RELATED TO SLIDING VULNERABLE DETECTION IN JAVA ISLAND DURING 1999-2013 Firsta Zukhrufiana Setiawati Stasiun Meteorologi Rahadi Osman Ketapang, Jl. Pattimura No. 11 Ketapang Kalimantan Barat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pos-el :
[email protected] ABSTRACT Climate change causes the changes of rainfall intensity and frequency in Indonesia, for example Java island. This research is going to do analysis of heavy rainfall movement related to slideing vulnerable detection in Java island based on TRMM daily 3B42(V7) 1999-2013 which is being corrected by observation data and data of height (ASTER DEM) which is going to be mapped in area slope. Rainfall data of TRMM which is bening corrected or yet, will be compared to find the changes of frequency by mapping it in ARcView GIS 3.3. Data of height is being mapped to be area slope map. Both of them will be significant factor of sliding occurrence, the slope > 45 % and rainfall > 100 mm/ days being assumed to be sliding vulnerable area. Based on analysis of rainfall frequency (> 100 mm/ days) found a movement of rainfall occurrence (> 100 mm/ days) and reccurred in certain period . Based on the frequency of > 100 mm/ days rainfall and area slope map are being concluded that the most vulnerable area of sliding in Java island are Central Java and West Java. Keywords : Climate change, frequency, slope ABSTRAK Perubahan iklim mengakibatkan perubahan intensitas dan frekuensi kejadian hujan di wilayah Indonesia, salah satunya pulau Jawa. Dalam penelitian dilakukan analisis pergerakan hujan lebat terkait deteksi wilayah rawan longsor berdasarkan data curah hujan harian TRMM 3B42(V7) 1999-2013 yang dikoreksi oleh data observasi dan data ketinggian wilayah ASTER DEM yang dijadikan peta kemiringan lahan wilayah pulau Jawa. Data curah hujan TRMM baik yang telah dikoreksi dan belum dikoreksi, dibandingkan untuk dianalisis secara spasial (dipetakan dengan ArcView GIS 3.3) yang menghasilkan adanya perubahan frekuensi kejadian curah hujan > 100 mm/ hari dan wilayah kejadiannya. Data ketinggian wilayah diolah menjadi sebaran spasial kemiringan lahan. Keduanya menjadi faktor utama dalam deteksi wilayah rawan longsor pulau Jawa, wilayah yang mempunyai kemiringan > 45 % dan curah hujan > 100 mm/ hari diasumsikan menjadi wilayah yang rawan longsor. Berdasarkan analisis, frekuensi curah hujan > 100 mm/hari ditemukan bahwa wilayah kejadian hujan > 100 mm/ hari mengalami pergerakan yang menyebar dan terjadi pengulangan pada beberpa periode. Berdasarkan frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari dan kemiringan lahan yang didapat dari data ketinggian wilayah DEM disimpulkan bahwa wilayah pulau Jawa yang paling rawan longsor adalah wilayah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kata kunci : Perubahan iklim, frekuensi, kemiringan lahan
PENDAHULUAN Dewasa ini dikenal istilah perubahan iklim (climate change) dan variabilitas iklim (climate variability). Perubahan iklim meriupakan perubahan pada unsur-unsur iklim, (seperti : curah hujan, radiasi matahari, suhu udara, tekanan udara, dan lain sebagainya) dalam jangka panjang yang dpengaruhi oleh aktivitas manusia yang mengemisikan gas rumah kaca.1 Perubahan iklim dapat diketahui apabila ada nilai kecenderungan (tren), dan juga ada perubahan intensitas serta frekuensi. Sedangkan variabilitas
iklim tidak mengenal nilai kecenderungan, variabilitas iklim bersifat fluktuatif dan tidak berlangsung lama. Pulau Jawa memiliki pola hujan monsunal dengan puncak hujan di bulan Desember, Januari dan Februari. Klasifikasi intensitas hujan lebat pun telah direlease, salah satunya pada tahun 2010.2 Dalam penelitian ini, mengkaitkan hubungan antara kejadian hujan lebat dengan deteksi wilayah rawan longsor di pulau Jawa dengan menggunakan data curah hujan harian TRMM 3B42(V7) (batasan wilayah 5,0oLSProsiding SNSA 2015 – Halaman 81
Firsta Zukhrufiana
9,0oLS dan 105,0oBT-115oBT dengan resolusi 0,25o×0,25o periode tahun 1999-2013) dan data ketinggian tempat/ DEM (Digital Elevation Model) dari satelit ASTER (Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) yang diunduh menggunakan perangkat lunak Global Mapper 16, keduanya akan diolah dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 untuk menghasilkan sebaran spasial wilayah rawan longsor di pulau Jawa. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang umumnya terjadi di wilayah pegunungan (mountainous area), terutama di musim hujan, yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah. Tanah longsor merupakan pergerakan massa tanah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : curah hujan dan kemiringan lereng. Curah hujan lebat dapat memicu terjadinya longsor, ada beberapa tipe hujan lebat yaitu tipe hujan lebat yang dapat mencapai 70 mm/ jam atau lebih dari 100 mm/ hari. Tipe hujan deras sangat efektif memicu longsoran pada lerenglereng yang tanahnya mudah menyerap air, misalnya pada tanah lempung pasiran dan tanah pasir. Sedangkan tipe hujan normal, yang memiliki intensitas curah hujan kurang dari 20 mm/hari. Tipe ini dapat menyebabkan longsor pada lereng yang tersusun tanah kedap air apabila hujan berlangsung selama beberapa minggu hingga lebih satu bulan. Penulis melakukan analisis pergerakan hujan lebat dengan menganalisis perubahan frekuensi hujan lebat berdasarkan kriteria hujan lebat pemicu longsor yaitu > 100 mm/ hari yang dapat digunakan untuk deteksi dini wilayah rawan longsor di pulau Jawa. Hujan endapan (presipitasi) bentuk air dan padat (es) yang jatuh ke permukaan bumi.3 Prawirowardoyo (1996) mengemukakan bahwa jumlah curah hujan 1 (satu) milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter dengan anggapan bahwa air tersebut tidak ada yang menguap, meresap ataupun mengalir.4 Longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relative pendek dalam volume (jumlah) yang sangat besar. Beberapa faktor yang berpengaruh
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 82
terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air.5 Metode Inversed Distance Weighting (IDW) merupakan metode deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya. Rumus metode interpolasi IDW adalah sebagai berikut :
(1)
Dimana : = nilai yang diestimasi; = nilai yang diketahui; dp i ..., dp n = jarak dari titik-titik n data ke p titik yang diestimasi 6 Distribusi frekuensi adalah data yang disusun dalam bentuk kelompok baris berdasarkan kelaskelas interval dan menurut kategori tertentu. Kegunaan data yang masuk dalam sistribusi frekuensi adalah untuk memudahkan data dalam penyajian dan supaya lebih sederhana. Dalam distribusi frekuensi menurut aturan Sturgess, perlu melakukan pengurutan data, penghitungan rentangan (R), penghitungan jumlah kelas (K) dengan rumus : 1 + 3.3 log n; dimana n adalah banyaknya data, kemudian penghitungan panjang interval, dan batas bawah serta batas atas kelas. Ukuran pemusatan adalah sembarang ukuran yang menunjukkan pusat segugus data, yang telah diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya dari yang terbesar sampai yang terkecil. Supardi (2014) menyebutkan untuk data berkelompok, nilai median dapat dicari dengan interpolasi yang rumusnya adalah sebagai berikut :
(2) Dimana : L1 = batas bawah kelas median; C = ukuran interval kelas median; N = total frekuensi; (Ʃ f) i = jumlah frekuensi pada kelas sebelum median; f med = frekuensi kelas median Apabila data sudah dikelompokkan dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, maka menentukan modus dengan rumus :
(3) Dimana : L 1 = batas bawah kelas modus ; c = ukuran interval kelas modus; ∆ 1 = selisih frekuensi kelas modus dan frekuensi kelas di bawahnya; ∆ 2 = selisih frekuensi kelas modus dan frekuensi kelas di atasnya.7
Firsta Zukhrufiana
METODOLOGI Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : a. Data curah hujan harian TRMM 3B42(V7) Resolusi spasial 0.25o×0.25o, dengan batas wilayah 5oLS-9oLS dan 105oBT-115oBT, periode 1999-2013. Data ini diunduh dari website TRMM dan diolah dengan menggunakan perangkat lunak ms. Excell 2007. b. Data curah hujan observasi harian Data curah hujan observasi yang digunakan adalah data curah hujan observasi stasiun klimatologi Pondok Betung, dengan periode 1999-2013. Data ini digunakan untuk menentukan nilai koreksi untuk data curah hujan harian TRMM 3B42(V7). c. Data ASTER DEM (Digital Elevation Model) Data DEM adalah data ketinggian wilayah yang diunduh dari satelit ASTER. Data ini digunakan untuk membuat peta kemiringan lahan menggunakan perangkat lunak Global Mapper 16 dan ArcView GIS 3.3. Metode Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yang dapat dijelaskan oleh alur kerja berikut ini :
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan perangkat lunak ms. Excell 2007, Global Mapper 16, dan ArcView GIS 3.3, dengan langkah-langkah sebagai berikut: • Data curah hujan harian TRMM 3B42(V7) diolah untuk mengitung jumlah frekuensi pada periode 1999-2013 dan per satu tahun. • Data curah hujan observasi digunakan untuk mengoreksi data curah hujan dari TRMM, namun nilai koreksi hanya berlaku pada nilai curah hujan TRMM > 100 mm/ hari. Penentuan nilai koreksi (OBS-TRMM) dilakukan dengan distribusi frekuensi dan ukuran pemusatan data (modus dan median). • Proses koreksi dengan operasi TRMM + nilai koreksi. Kemudian, dilakukan lagi penghitungan jumlah frekuensi pada periode 1999-2013 dan per satu tahun. • Jumlah frekuensi curah hujan harian TRMM periode 1999-2013 yang belum dikoreksi dan jumlah frekuensi curah hujan TRMM periode yang sama tetapi sudah mengalami proses koreksi, dipetakan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3. Jumlah frekuensi curah hujan TRMM terkoreksi per satu tahun juga dipetakan. • Frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari yang paling banyak adalah wilayah yang paling rawan longsor. • Tetapi dengan sebaran spasial curah hujan saja belum cukup, maka dari itu dalam penelitian menggunakan data ketinggian wilayah (ASTER DEM) untuk membuat peta kemiringan lahan. Kemiringan lahan yang lebih dari 45% diikuti dengan curah hujan > 100 mm/ hari diprediksi merupakan wilayah yang rawan longor. HASIL dan PEMBAHASAN Uji korelasi data observasi dan TRMM
Gambar 1. Alur kerja penelitian
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan antar variabel, variabel dalam penelitian ini adalah data curah hujan observasi dan data curah hujan TRMM. Analisis korelasi dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak adanya hubungan antara data curah hujan observasi dan data curah hujan TRMM. Korelasi yang terjadi antara dua variabel (bivariat) dapat berupa korelasi positif, negatif, tidak ada korelasi, dan korelasi sempurna. Korelasi yang paling sederhana adalah korelasi bivariat, yang hanya mencari hubungan antar variabel. Hasil uji korelasi sederhana (bivariat) antara data curah hujan observasi dan curah hujan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 83
Firsta Zukhrufiana
TRMM mempunyai nilai korelasi (r) sebesar 0,43. Nilai korelasi ini tergolong sedang, kontribusi data curah hujan TRMM terhadap data curah hujan observasi hanya sebesar 43 %, sedangkan 57 % lainnya dikuatkan oleh faktorfaktor lain. Penentuan nilai koreksi Penentuan nilai koreksi dengan membuat tabel distribusi frekuensi. Kemudian, dari distribusi frekuensi tersebut ditentukan kelas modus yang nantinya akan menjadi nilai koreksi pada nilai tengah kelas modus tersebut, sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi frekuensi nilai koreksi (obsTRMM) dan nilai curah hujan > 100 mm/hari
Dari tabel distribusi frekuensi (Tabel 1), terlihat bahwa kelas koreksi 24.47-97.11 mempunyai frekuensi terbanyak, yang bertepatan pada nilai curah hujan observasi < 108 mm/ hari. Sehingga, nilai koreksi pasti kurang dari 108 mm/ hari. Kemudian, nilai median kelas 24.47-97.11 adalah 60.79 mm/ hari. Sehingga, nilai koreksi data curah hujan TRMM akan mendekati nilai curah hujan observasi jika ditambah 60.79 mm/ hari.
Gambar 2. Peta frekuensi curah hujan TRMM > 100 mm/ hari tanpa koreksi
Pada sebaran spasial data curah hujan TRMM di atas (Gambar 2) merupakan sebaran spasial rata-rata frekuensi curah hujan > 100 mm/hari periode 1999-2013, frekuensi <3 menunjukkan wilayah tersebut terjadi hujan > 100 mm/hari rata-rata sebanyak 3 kali dalam 15 tahun, 3-6 menunjukkan wilayah tersebut terjadi hujan > 100 mm/hari rata-rata sebanyak 3-6 kali dalam 15 tahun, dan selanjutnya. Pada Gambar 2, Banten dan Jawa Barat bagian utara, Jawa Tengah bagian utara dan selatan berfrekuensi curah hujan > 100 mm/ hari terbanyak. Berdasarkan data curah hujan TRMM tanpa koreksi, wilayah-wilayah tersebut rawan longsor dibanding wilayah lain. Sebaran spasial curah hujan > 100 mm/ hari dari TRMM terkoreksi Perbandingan frekuensi sebelum dan setelah koreksi didapatkan perubahan frekuensi dan wilayah kejadian, yaitu sebagai berikut :
Uji korelasi setelah koreksi Dengan metode yang sama seperti uji korelasi sebelumnya, didapat nilai korelasi (r) sebesar 0,54. Maka dapat dikatakan bahwa nilai koreksi telah meningkatkan hubungan antara variabel data observasi dan TRMM sebesar 0,11 atau 11%. Sebaran spasial curah hujan > 100 mm/ hari dari TRMM sebelum koreksi Berikut ini peta curah hujan TRMM > 100 mm/ hari, hasil interpolasi IDW :
Gambar 3. Peta frekuensi curah hujan TRMM > 100 mm/ hari terkoreksi
Pada sebaran spasial di atas (Gambar 3) menunjukkan bahwa terlihat perubahan wilayah Prosiding SNSA 2015 – Halaman 84
Firsta Zukhrufiana
kejadian curah hujan > 100 mm/ hari, terlihat mencolok di Jawa Tengah serta Banten bagian selatan. Analisis TRMM terkoreksi per tahun(1999-2013) adalah sebagai berikut : Beberapa warna dalam peta menunjukkan jumlah frekuensi yang semakin tinggi atau rendah, warna merah : < 6 hari dalam satu tahun, warna merah muda : 6-12 hari dalam satu tahun, warna biru : > 12 hari dalam satu tahun. Dalam proses analisa, dengan mencermati warna, pergerakan warna dan perubahan frekuensinya, seperti berikut : • Tahun 1999 : Jawa Tengah bagian tengah dari utara hingga selatan dan Jawa Barat bagian tengah serta Banten mempunyai frekuensi
curah hujan > 100 mm/ hari. Sehingga, wilayah yang mempunyai frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari diasumsikan mempunyai kerawanan longsor lebih tinggi dibanding wilayah pulau Jawa yang lainnya; • Tahun 2000 : Frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari berkurang dan terjadi di wilayah yang relatif sama, tetapi mulai memasuki pulau Jawa bagian timur. Sehingga wilayah rawan longsor pun juga merambat ke wilayah pulau Jawa bagian timur; Tahun 2001 : Frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari terjadi di wilayah Jawa Tengah bagian utara dan selatan, serta sedikit wilayah Jawa Timur;
Gambar 4. Peta frekuensi curah hujan > 100 mm/hari per periode satu tahun
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 85
Firsta Zukhrufiana
Tahun 2002 : Terjadi peningkatan jumlah frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari hampir di semua wilayah Jawa Timur dan sebagian besar wilayah Jawa Barat. Sehingga dapat diasumsikan bahwa frekuensi dan wilayah kejadian curah hujan > 100 mm/ hari bergerak ke barat atau timur; • Tahun 2003 : Terlihat relatif sama dengan tahun 2002, namun terjadi pengurangan frekuensi kejadian; Tahun 2004 : Terlihat pengurangan frekuensi kejadi curah hujan > 100 mm/ hari yang mencolok terjadi di wilayah yang relatif sama seperti yang terjadi pada tahun 1999; Tahun 2005 : Dari tahun 2004 terlihat adanya peningkatan frekuensi di wilayah Jawa Tengah bagian selatan; • Tahun 2006 : Pada tahun 2006 terjadi peningkatan frekuensi dan juga perubahan wilayah kejadian curah hujan > 100 mm/ hari yang terkesan bergerak (berpropagasi) ke arah barat dan timur; Tahun 2007 : Terjadi lagi pengurangan frekuensi kejadian curah hujan > 100 mm/ hari. Dan terjadi di wilayah selatan; • Tahun 2008 : Frekuensi kejadian meningkat di wilayah Jawa Tengah dan wilayah kejadinnya mengumpul di Jawa Tengah bagian tengah dari utara hingga selatan; • Tahun 2009 : Frekuensi kejadi menurun dan wilayahnya terlihat menyebar ke barat dan timur dari wilayah semula yang terjadi pada tahun sebelumnya; • Tahun 2010 : Pada tahun 2010 terdapat peningkatan frekuensi kejadian di wilayah penyebaran yang terjadi pada tahun sebelumnya; • Tahun 2011 : Penurunan frekuensi kejadian dan relatif terlihat sama seperti kejadian tahun 1999 dan 2004; • Tahun 2012 : Terlihat wilayah kejadian berpropagasi ke arah timur, dan frekuensi meningkat di wilayah Jawa Tengan bagian selatan; • Tahun 2013 : Terlihat wilayah kejadian curah hujan > 100 mm/ hari bergerak-ke-arah-timur. Penampang spasial (ASTER DEM)
ketinggian
Terlihat sebagian besar wilayah Jawa Barat, terutama Jawa Barat bagian selatan, wilayah Jawa Tengah bagian tengah hingga selatan dan sedikit bagian utara, serta Jawa Timur bagian tengah hingga selatan mempunyai ketinggian wilayah hingga 2000 meter. Di wilayah-wilayah tersebut diasumsikan mempunyai kerawanan longsor lebih signifikan dibanding yang lainnya. Kemiringan wilayah
lahan
dari
data
ketinggian
Dari data ketinggian wilayah dapat diturunkan menjadi kemiringan lahan sebagai berikut :
Gambar 6. Sebaran spasial kemiringan lahan dari data DEM
wilayah
Berikut adalah sebaran spasial ketinggian wilayah pulau Jawa dari data satelit ASTER DEM:
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 86
Gambar 5. Sebaran spasial data ketinggian wilayah Pulau Jawa
Pada sebaran spasial kemiringan lahan dari dta DEM terlihat bahwa hamper semua wilayah di pulau Jawa mempunyai kemiringan lahan lebih dari 45 %, artinya termasuk kategori wilayah rawan longsor.
Firsta Zukhrufiana
Wilayah rawan longsor di pulau Jawa Berdasarkan dua faktor penyebab longsor yaitu kemiringan lahan dan curah hujan, maka didapat sebaran spasial kerawanan longsor yaitu sebagai berikut :
wilayah pulau Jawa yang paling rawan longsor adalah wilayah wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih pada pihak yang membantu terselesaikannya penelitian ini. Nuryadi, S. Si, M. Si, sebagai peneliti senior yang telah memberikan saran membangun; website satelit TRMM dan ASTER yang menyediakan data dengan kualitas yang telah teruji, serta pihak-pihak lain yang membantu penyelesaian dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 7. Sebaran spasial wilayah rawan longsor Pulau Jawa
Peta di atas (Gambar 7) menunjukkan bahwa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat mempunyai tingkat kerawanan longsor lebih tinggi, sedangkan di wilayah Jawa Timur hanya sedikit sasja yang terkategori mempunyai tingkat kerawanan lebih tinggi yaitu bagian tengah. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab longsor yang cukup signifikan adalah curah hujan dan kemiringan lahan yang dimiliki oleh suatu wilayah. Wilayah yang memiliki kemiringan lahan > 45 % dapat dikategorikan sebagai wilayah rawan longsor jika didukung oleh kejadian curah hujan > 100 mm/ hari di wilayah tersebut, serta faktor-faktor lainnya juga berpengaruh, seperti : kandungan muka air tanah dan jenis-jenis tanah suatu wilayah. Berdasarkan frekuensi curah hujan > 100 mm/ hari dan kemiringan lahan yang didapat dari data ketinggian wilayah DEM disimpulkan bahwa
Aldrian, Edvin. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta : BMKG 2 Press Release BMKG 2010 “Kondisi Cuaca Ekstrem Dan Iklim Tahun 2010-2011” 3 Tjasyono HK, Bayong. 1999. Klimatologi umum. Bandung : Penerbit ITB 4 Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB 5 Tarbuck. 2010. The Atmosphere : An Introduction to Meteorology. New Jersey : Prentice Hall PTR 6 Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. 7 Pramono, Gatot, H. 2008. Akurasi Metode IDW dan Kriging untuk Interpolasi Sebaran Sedimen Tersuspensi di Maros Sulawesi Selatan. Forum Geografi Basokurtanal, Vol. 22, No. 1 8 Supardi. 2014. Aplikasi Statistika Dalam Penelitian (Konsep Statistika yang lebih Komprehensif). Jakarta : Change Publication 9 Wilks, Daniel S. 1995. Statistical Methods in the Atmospheric S
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 87
Gigih Bangun W. Dan Rahmat Hidayat
CURAH HUJAN EKSTRIM DI KATULAMPA DAN KAITANNYA DENGAN SIRKULASI ATMOSFER EXTREME RAINFALL IN KATULAMPA AND ASSOCIATED WITH ATMOSPHERE CIRCULATION Gigih Bangun Wicaksono* dan Rahmat Hidayat Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor*. Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Katulampa is water weir in the Ciliwung upstream that regulate the flow of the river to be normal remained. The existence of extreme rainfall will increase river flow. Extreme rainfall can be triggered by regional and global atmospheric circulation. This study aims to explain how the atmospheric circulation can increase the intensity of rainfall in Katulampa. The 95% percentile method used to determines the upper threshold rainfall in Katulampa is 67 mm in DJF. Rainfall value exceeds the threshold categorized as extreme rainfall which obtained 86 events during 1981-2013. Extreme rainfall events are used as a reference for the manufacture of atmospheric state composite maps. The results showed that the extreme rainfall events in Katulampa influenced regional atmospheric circulation. They are characterized by the pressure differences which resulting in the strengthening of the meridional wind speed and accompanied by the low of outgoing longwave radiation. The results can describe the area with high clouds on the Java Island. Keywords: atmospheric circulation, extreme rainfall, percentile ABSTRAK Katulampa adalah bendung air di hulu Sungai Ciliwung yang mengatur aliran sungai tetap normal. Adanya curah hujan ekstrim akan meningkatkan debit aliran sungai. Curah hujan ektrim dapat dipicu oleh sirkulasi atmosfer regional maupun global. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sirkulasi atmosfer dapat meningkatkan intensitas curah hujan di Katulampa. Metode Persentil 95% digunakan untuk mementukan ambang batas atas curah hujan di Katulampa yaitu 67 mm di bulan DJF. Nilai curah hujan yang melebihi ambang batas dikategorikan sebagai curah hujan ekstrim yang diperoleh 86 kejadian selama tahun 1981-2013. Kejadian curah hujan ekstrim ini digunakan sebagai acuan untuk pembuatan peta komposit keadaan atmosfer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian curah hujan ekstrim di Katulampa dipengaruhi sirkulasi atmosfer regional. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan tekanan yang mengakibatkan menguatnya kecepatan angin meridional dan diiringi dengan rendahnya outgoing longwave radiation. Hasil tersebut dapat menjelaskan wilayah dengan keawanan yang tinggi diatas pulau Jawa. Kata kunci: curah hujan ekstrim, percentile, sirkulasi atmosfer
PENDAHULUAN Katulampa adalah stasiun bendung sungai Ciliwung Hulu yang menjaga aliran sungai agar tetap pada kondisi normal. Laju aliran sungai yang bertambah dapat menyebabkan perubahan debit air. Debit air yang tinggi mengindikasikan besarnya volume air yang mengalir. Faktor utama yang mempengaruhi besarnya volume air sungai adalah curah hujan. Katulampa terletak pada koordinat 60 38’ 00” LS dan 1060 50’ 07” BT dengan elevasi 347 m. Bendung Katulamapa terletak pada DAS Ciliwung Hulu di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Luas DAS Prosiding SNSA 2015 – Halaman 88
di bendung Katulampa adalah 150.30 km2 dan. Bendung Katulampa pertama kali berfungsi sebagai pengambilan air untuk irigasi.1 Variasi iklim secara temporal seperti intraseasonal oscillation, interannual variabilities dan interdecadal changes dapat menyebabkan terjadinya kejadian cuaca dan iklim ekstrim salah satunya curah hujan ekstrim. Rakhecha & Soman2 meneliti 1-3 hari kejadian hujan maksimum di India mengindikasikan secara jelas adanya trend peningkatan dan penurunan curah hujan di berbagai wilayah negara tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Groisman et al.3 menunjukkan bahwa
Gigih Bangun W. Dan Rahmat Hidayat
peningkatan total curah hujan dipengaruhi oleh peningkatan kejadian curah hujan ekstrim. Kejadian curah hujan ekstrim harian berkorelasi positif dengan anomali sirkulasi Monsun. Sirkulasi di troposfer bawah yang dapat memicu terjadinya curah hujan ekstrim disebabkan oleh anomali siklon dan antisiklon di Laut China Selatan dan wilayah tropis barat laut Samudera Pasifik. Anomali siklon yang kuat dapat menyebabkan aktivitas konvektif yang kuat dalam skala yang luas. Nitta4 menyatakan antisiklon di Laut China Selatan dan wilayah tropis barat laut Samudera Pasifik adalah kunci dari sistem yang membangkitkan siklon di utara China dan memicu perkembangan gelombang Rossby. Anomali antisiklon yang kuat di 200 hPa membangkitkan gaya angkat udara di atas negara China. Anomali ini juga menyebabkan divergensi massa udara dari wilayah utara menuju timur laut China dan ke Selatan menuju sirkulasi siklon di Laut China Selatan dan wilayah tropis barat laut Samudera Pasifik. Divergensi di ketinggian 200 hPa membangkitkan siklon di level bawah dan menyebabkan konvergensi yang intensif sehingga memicu terjadinya presipitasi. Jones5 menguji hubungan antara curah hujan ekstrim di California dan Madden-Julian Oscillation (MJO) dengan data curah hujan selama tahun 1958-1996, radiasi gelombang panjang, dan komponen angin zonal. Curah hujan ekstrim terjadi saat MJO kuat terjadi dan anomali angin zonal yang terukur di lapisan troposfer bawah di samudera Hindia. Hasil penelitian di atas belum dapat menjawab kejadian curah hujan ekstrim yang terjadi di Katulampa. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut secara temporal dan spasial regional untuk menjelaskan bagaimana sirkulasi atmosfer dapat meningkatkan intensitas curah hujan yang terjadi di Katulampa METODOLOGI Data Data Curah Hujan harian Katulampa (06º 38‘ 00“ LS, 106º 50' 07“ BT, 347 m dpl) dari Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air (BPSDA) Ciliwung-Cisadene tahun 1981-2013 dan beberapa data parameter atmosfer seperti pada Tabel 1. Pengolahan data Penentuan ambang batas curah hujan ekstrim menggunakan Metode Percentile. Guan et al.8 dalam penelitiannya menentukan ambang batas
curah hujan ekstrim menggunakan Metode Percentile 95 %. Hal yang sama juga dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk menentukan ambang batas curah hujan ekstrim.9 Ambang batas ditentukan menggunakan persamaan berikut seperti yang dikemukakan oleh Walpole.10
dimana: i = persentil ke (1, 2, ..., 99) n = jumlah data Nilai curah hujan yang melebihi ambang batas dikategorikan sebagai curah hujan eksrtim. Membuat peta komposit parameter atmosfer saat kejadian curah hujan ekstrim dengan software Grid Analysis and Display System (GrADS). Tabel 1. Data parameter atmosfer yang digunakan untuk pemetaan Jenis Data Angin Zonal Angin Meridional Tekanan Permukaan Outgoing Longwave Radiation (OLR)
Resolusi
Sumber
Temporal
Spasial
harian
2,50x2,50 0
0
harian
2,5 x2,5
harian
2,50x2,50
harian
2,50x2,50
iridl.ldeo.columbia.edu/ SOURCES/.NOAA/ .NCEP-NCAR/.CDAS-1 Kalnay et al.6 iridl.ldeo.columbia.edu/ SOURCES/.NOAA/ .NCEP/.CPC/.GLOBAL Liebmann and Smith7
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah hujan ekstrim Definisi curah hujan ekstrim apabila ambang batas curah hujan Katulampa melebihi Percentile 95 percentile ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel 2. Ambang batas dan jumlah kejadian CH ekstrim di Katulampa tahun 1981-2013 Bulan MAM JJA SON DJF
Ambang batas CH (mm) 68 75 75 67
Jumlah hari ekstrim 73 39 66 86
Sebaran curah hujan DJF 1981-2013 dan curah hujan ekstrim ditunjukkan Gambar 1. Kejadian curah hujan ekstrim bulan DJF dijadikan sebagai acuan untuk membuat peta komposit tekanan permukaan, angin dan outgoing longwave radiation karena memiliki Prosiding SNSA 2015 – Halaman 89
Gigih Bangun W. Dan Rahmat Hidayat
jumlah hari ekstrim terbanyak. Kejadian curah hujan ekstrim dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah kejadian curah hujan ekstrim berdasarkan Gambar 1 di Katulampa 1981-2013
Sirkulasi atmosfer pada kejadian curah hujan ekstrim di katulampa Hujan adalah unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi secara temporal maupun spasial. Karakterik hujan adalah hal-hal yang berkaitan dengan curah hujan berdasarkan waktu dan tempat terjadinya. Menurut BMKG11 yang termasuk karakteristik hujan antara lain adalah intensitas, frekuensi, durasi, jeluk dan distribusi hujan. Curah hujan ekstrim adalah kejadian hujan yang melebihi ambang batas atas yang telah ditetapkan. Intensitas hujan yang tinggi dengan durasi yang lama dan terdistribusi secara merata dapat menyebabkan kejadian hujan melebihi ambang batas atasnya.
karena adanya sirkulasi atmosfer yang menyebabkan pengangkatan massa udara yang besar dan terpusat pada suatu wilayah. Sirkulasi atmosfer identik dengan pergerakan massa udara/angin (zonal dan meridional). Massa udara bergerak akibat perbedaan tekanan di suatu wilayah. Udara/angin bergerak dari tempat bertekanan tinggi menuju tempat dengan tekanan rendah. Gambar 2 menunjukkan sebaran wilayah dengan tekanan tinggi dan rendah saat bulan DJF dan saat kejadian curah hujan ekstrim di Katulampa. Tekanan permukaan di Samudera Hindia bagian tengah dan dekat Sumatera Utara lebih rendah dibandingkan saat kondisi rata-rata di bulan DJF. Tekanan rendah bergeser dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia. Tekanan tinggi berada di lintang Utara karena pada bulan DJF matahari berada di Selatan. Tekanan di Australia lebih rendah dari Samudera Hindia bagian Selatan, hal ini disebabkan pemanasan di daratan lebih cepat dibandingkan di lautan.
Gambar 2. Peta komposit tekanan permukaan pada kejadian rata-rata DJF (atas) dan kejadian hari ekstrim (bawah) di Katulampa tahun 1981-2013
Gambar 1. Grafik curah hujan rata-rata bulan DJF (14 mm) dan kejadian hari ekstrim (lebih dari 67 mm) di Katulampa tahun 1981-2013
Intensitas hujan dapat dilihat dari jenis awan yang terbentuk. Awan konvektif akan menyebabkan hujan yang lebat karena kandungan airnya sangat besar. Awan konvektif terbentuk Prosiding SNSA 2015 – Halaman 90
Kerapatan tekanan menggambarkan besarnya gradien tekanan, semakin rapat perubahan tekanannya semakin besar gradien tekanannya. Semakin besar gradien tekanannya maka semakin besar kecepatan angin. Pergerakan angin digambarkan oleh angin meridional, terlihat bahwa terjadi desakan angin dari arah Utara menuju Selatan di wilayah Laut Cina Selatan hingga Selat Karimata dan dari arah Selatan menuju Utara di wilayah Samudera Hindia. Desakan angin dari Utara menuju Selatan yang lebih besar terjadi saat kejadian ekstrim (Gambar 3). Pergerakan angin ini membawa massa udara yang mengandung uap air yang besar dari
Gigih Bangun W. Dan Rahmat Hidayat
Samudera Pasifik Utara dan Laut Cina Selatan serta dari Samudera Hindia Tengah berkumpul di wilayah Selat Sunda hingga Laut Jawa, sehingga memiliki potensi yang besar untuk membentuk awan konvektif. Keawanan dapat dideteksi dari besarnya Outgoing Longwave Radiation (OLR) yang diemisikan oleh permukaan bumi menuju atmosfer. Nilai OLR yang semakin kecil menunjukkan keawanan yang terbentuk semakin tebal dan luas. Gambar 4 menunjukkan OLR pada kondisi rata-rata DJF (atas) dan kejadian ekstrim (bawah). Kedua Gambar menunjukkan OLR di sekitar Selat Sunda hingga Laut Jawa sebesar 180 W/m2.
kejadian hari ekstrim (bawah) di Katulampa tahun 1981-2013
Nilai ini menunjukkan adanya awan konvektif yang tebal di wilayah tersebut sehingga mempengaruhi peningkatan intensitas curah hujan di bendungan Katulampa. Namun pada kejadian ekstrim awan konvektif yang terbentuk lebih luas dan terpusat dari Samudera Hindia Tengah, Kepulauan Indonesia hingga Samudera Pasifik Tengah. KESIMPULAN Penelitian ini menggunakan percentile 95 untuk menentukan ambang batas CH ekstrim di Katulampa. Terdapat 86 hari dengan CH ekstrim di bulan DJF pada periode tahun 1981-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian curah hujan ekstrim di Katulampa dipengaruhi sirkulasi atmosfer regional yang ditandai dengan menguatnya kecepatan angin meridional diiringi dengan rendahnya outgoing longwave radiation yang menjelaskan wilayah dengan keawanan yang tinggi diatas pulau Jawa. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Dr. Rahmat Hidayat selaku Dosen Pembimbing dan Badan Pendayagunaan Sumberdaya Air (BPSDA Bogor yang membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
Gambar 3. Peta komposit angin pada kejadian ratarata DJF (atas) dan kejadian hari ekstrim (bawah) di Katulampa tahun 1981-2013
Gambar 4. Peta komposit outgoing longwave radiation pada kejadian rata-rata DJF (atas) dan
DAFTAR pustaka 1
PSDA. 2004. Laporan Kalibrasi Bendung Ciliwung-Katulampa: Kegiatan Manajemen DPS dan Hidrologi Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai CiliwungCisadane. Pemerintah Provinsi Jawa Barat: Bogor. 2 Rakhecha PR, Soman MK. 1994. Trends in the annual extreme rainfall events of 1−3 day duration over India. Theor Appl Climatol 48: 227−237. 3 Groisman PY, Karl TR, Easterling DR, Knight RW. 1999. Changes in the probability of heavy precipitation: important indicators of climate change. Clim Change 42: 243−283. 4 Nitta T. 1987. Convective activities in the tropical Western Pacific and their impact on the Northern Hemisphere summer circulation. J Meteorol Soc Jpn 65: 373−390. 5 Jones C. 2000. Occurrence of extreme precipitation events in California and its relationship with the Madden−Julian Oscillation. J Clim 13: 3576−3587. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 91
Gigih Bangun W. Dan Rahmat Hidayat 6
Kalnay E, Kanamitsu M, Kistler R, Collins W, Deaven D, Gandin L, Iredell M, Saha S, White G, Woollen J, Zhu Y, Leetmaa A, Reynolds B, Chelliah M, Ebisuzaki W, Higgins W, Janowiak J, Mo KC, Ropelewski C, Wang J, Jenne R, dan Joseph D. 1996. The NCEP/NCAR 40-Year Reanalysis Project. Bulletin of the American Meteorological Society. 7 Liebmann B dan Smith CA. 1996. Description of a complete (interpolated) outgoing longwave radiation dataset. Bulletin of the American Meteorological Society, 77: 1275 – 1277. 8 Guan Z, Han J dan Li M. 2011. Circulation patterns of regional mean daily /precipitation extremes over the middle and lower reaches of the Yangtze River during the boreal summer. Climate Research, 50(2-3), pp.171– 185. 9 IPCC. 2007. IPCC Fourth Assessment Report: Climate Change 2007 (https://www.ipcc.ch/publications_and_data/a r4/wg1/en/ch3s3-8-5.html., diakses pada 15 April 2015). 10 Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika, Edisi ke-3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 11 BMKG. 2010. Press Release Kondisi Cuaca Ekstrim dan Iklim Tahun 2010-2011. (http://www.bmkg.go.id. , diakses pada 15 April 2015).
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 92
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
IDENTIFIKASI PERGERAKAN AREA REFLEKTIVITAS HUJAN MENGGUNAKAN METODE OPTICAL FLOW BERDASARKAN DATA PENGAMATAN RDH REFLECTIVITY AREA MOVEMENT IDENTIFICATION USING OPTICAL FLOW METHOD BASED ON RAIN SCANNER OBSERVATION DATA Ginaldi Ari Nugroho dan Edy Maryadi* Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN, Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173* Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Rain scanner technology based on marine radar are the development result from LAPAN that could gave rain reflectifity movement information every 3 minutes in the form of image sequence. Optical flow (OF) method were used to analyze the rain movement vector dari this image sequence. OF method based on 2 approach which are local differential developed by Lucas-Kanede (LK) and also the global variational developed by Horn-Schunk (HS) on obserbation data at February, 3 2014 from 17.25 – 19.25 pm local time. OF using LK approach result with more vector area movement compared with the wide area of reflectifity , with vector movement more sensitif in the edge pixel area. Meanwhile HS have movement vector almost similar with the shape and wide aarea of reflectifity, with the vector movement are spread evenly in every detection area and also able to separate each rain reflectifiy area. Comparison between LH and HS showed that HS method are better in describing the movement and shape/density of rain reflectifity. The shortage of this HS method was the more time consumption for the process compared with LK. Based on the image sequence generally the rain reflectifity move from north direction into south and then turn to south west, meanwhile from the HS method the rain reflectifity vector move towards the south Keywords: Optical flow, Rain Scanner, Movement Vector , Reflectifity, Horn-Schunk. ABSTRAK Teknologi RDH berbasis radar kapal merupakan hasil pengembangan LAPAN yang dapat memberikan informasi pergerakan reflektifitas hujan per 3 menit dalam bentuk rangkaian Gambar. Metode Optical flow (OF) digunakan untuk menganalisa vektor pergerakan hujan dari rangkaian Gambar tersebut. Metode OF berdasarkan 2 pendekatan yakni local differential yang dikembangkan oleh Lucas-Kanede (LK) serta global variational yang dikembangkan oleh Horn-Schunk (HS) akan digunakan pada data pengamatan tanggal 3 Februari 2014 dari pukul 17.25 hingga 19.25 WIB. Hasil OF dengan pendekatan LK lebih banyak menghasilkan area vektor pergerakan reflektifitas hujan dengan luasan lebih besar dibandingkan area reflektifitas serta vektor pergerakan lebih sensitif di lokasi piksel di daerah pinggir. Sementara HS menghasilkan area vektor pergerakan hampir sesuai dengan luasan serta bentuk dari area reflektifitas, dengan vektor pergerakan merata di setiap area deteksi serta mampu membedakan antar area reflektifitas hujan. Perbandingan antara LK dan HS menunjukkan bahwa metode HS lebih baik dalam memperlihatkan pergerakan serta bentuk/densitas reflektifitas hujan. Kekurangan dari metode ini adalah memerlukan waktu proses yang lebih lama dibandingkan dengan LK. Berdasarkan rangkaian Gambar terlihat bahwa secara umum reflektifitas hujan bergerak dari arah utara posisi radar menuju arah selatan dan barat daya, sedangkan dari hasil metode HS reflektifitas hujan bergerak ke arah selatan Kata kunci : Optical flow, RDH, Vektor Pergerakan, Reflektifitas, Horn-Schunck.
PENDAHULUAN Informasi arah serta pergerakan suatu hujan menuju suatu lokasi akan sangat bermanfaat baik dalam segi informasi meteorologi kepada masyarakat maupun sebagai bagian dari pertimbangan keputusan mitigasi bencana. Kecepatan dari pergerakan hujan juga dapat menjadi input bagi model prediksi numerik.
RDH (Radar Deteksi Hujan) berbasis radar kapal yang digunakan untuk memantau distribusi hujan sedang dikembangkan oleh LAPAN dengan tujuan untuk mendapatkan data near real time lokasi hujan sebagai bagian dari data observasi atmosfer. Rangkaian Gambar dari hasil RDH mampu memperlihatkan pergerakan hujan secara visual, namun belum dapat melihat pola
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 93
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
pergerakannya serta memperhitungkan kecepatannya. Teknologi low cost hasil pengembangan radar kapal ini mampu mendeteksi presipitasi dengan pola harian mendekati pola harian curah hujan permukaan hasil pengamatan Automatic Weather Station (AWS).1 Metode ini berbeda dengan pengukuran pada radar meteorologi lainnya, dimana hubungan reflektifitas radar dengan intensitas hujan berdasarkan hubungan nonlinier.2,3 RDH mampu mengekstraksi objek hujan dari sinyal yang diterima oleh radar kapal menggunakan metode peta clutter. Penerapan metode peta clutter (referensi) digunakan sebagai metode sederhana dalam mengekstrak sinyal hujan terhadap sinyal-sinyal lainnya yang tidak diperlukan. Ilustrasi ekstraksi sinyal hujan dari sinyal awal adalah seperti pada Gambar 1. Hasil ekstraksi hujan ini kemudian diolah menjadi data spasial hujan lengkap dengan koordinat lokasi objek hujan serta intensitasnya (baik dalam satuan dBZ maupun mm/jam).4 Hasil ekstraksi hujan ini dapat ditampilkan dalam bentuk rangkaian Gambar untuk melihat pola pergerakan hujan secara visual.
Gambar 1. Ilustrasi ekstraksi sinyal hujan
QPF (quantitative Precipitation Forecast) adalah metode prediksi presipitasi secara near real time dengan memanfaatkan radar cuaca. Dari rangkaian Gambar hasil observasi radar dapat menghasilkan vektor yang mengindikasikan arah dan kecepatan dari pergerakan sel hujan beserta intensitas presipitasi.5 Dalam menghasilkan arah dan kecepatan tersebut dalam tulisan ini akan memanfaatkan metode optical flow Optical flow adalah pola kecepatan dari pergerakan suatu objek visual dalam bentuk vektor saat diproyeksikan dalam bidang 2 dimensi.6 Aplikasi optical flow dapat dimanfaatkan dalam berbagai macam aplikasi bidang computer vision, seperti deteksi gerak, segmentasi objek dan sebagainya.7 Terdapat beberapa pendekatan dalam penerapan optical flow yang dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori yakni local differential, global variational, dan phase-based.8 Dalam tulisan ini hanya akan menggunakan 2 pendekatan yakni Prosiding SNSA 2015 – Halaman 94
local differential dengan Lucas-Kanede serta global variational berdasarakna Horn-Schunk. Lucas Kanede merupakan metode optical flow dengan pendekatan secara lokal (local differential) dimana akan menghitung aliran suatu titik dengan cara mengidentifikasi perpotongan dari semua batasan jalur aliran terhadap piksel Gambar didalam suatu batasan/jendela (window). Metode Lucas-Kanede optical flow menggunakan asumsi bahwa tingkat terang Gambar (brigthness) adalah tetap/konstan, dimana pergerakan (u,v) pada suatu titik Gambar diserta tanpa adanya perubahan tingkat terang.9 Metode Horn-Schunck menggunakan kategori global variational dalam membangun algoritma optical flow. Algoritma ini dapat mengkalkulasi optical flow dari beberapa urutan Gambar kuatisasi suatu objek serta tidak terlalu sensitif terhadap tingkat terang Gambar serta pertambahan noise. 10 METODOLOGI Data Data yang digunakan adalah data hasil pengamtan RDH (Radar Deteksi Hujan) pada tanggal 3 Februari 2014 dari pukul 17.25 hingga 19.25 WIB. Terdapat beberapa rangkaian Gambar yang tidak diikutsertakan dalam pengolahan data dikarenakan adanya nilai error disekitar area RDH akibat faktor attenuasi. Rangkaian Gambar spasial reflektifitas hujan hasil pengolahan data kemudian diolah menggunakan metode optical flow dengan 2 pendekatan yakni Lucas-Kanede (LK) dan HornSchunck (HS) berbasis software MATLAB.. Lucas-Kanede (LK) Pada metode LK akan dihitung berdasarkan 2 buah rangkaian Gambar RGB (Red Green Blue) yang kemudian di ubah menjadi mode greyscale. Batasan window yang digunakan bernilai 45 x 45 dengan menurunkan ukuran jumlah piksel Gambar untuk memaksimalkan hasil vektor. Rumus persamaan dari metode LK adalah seperti pada persamaan 1: (1) dimana : Kρ = fungsi Gaussian fx = komponen flow piksel sumbu x fy = komponen flow piksel sumbu y u,v = perpindahan bidang piksel pada sumbu dan waktu tertentu
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
Horn-Schunk (HS) Tahap awal metode HS hampir sama dengan LK (2 buah rangkaian Gambar RGB (Red Green Blue yang diubah menjadi greyscale), estimasi differensial dalam spasiotemporal , kemudian kalkulasi sesuai dengan jumlah iterasinilai rerata lokal dari aliran vektor serta batasan optical flow. Parameter α yakni yang mencerminkan pengaruh kehalusan Gambar di set pada nilai 100.Rumus persamaan dari metode HS adalah seperti pada persamaan 3-2 dan 3-3:
(a)
(b)
(2) (c) (3) dimana : n = jumlah iterasi un , vn = prediksi perpindahan awal u-n , v-n = rerata dari komponen tetangga un dan vn. Pengolahan Data Hasil dari kedua metode kemudian ditampilkan dalam bentuk vektor dengan menggunakan program MATLAB. Karena arah vektor optical flow belum seragam yang disebabkan oleh perhitungan perbandingan piksel dan piksel tetangga, maka kecepatan vektor untuk komponen horizontal (u) dan vertikal (v) akan dirata-ratakan sesuai dengan area objek. Nilai komponen u dan v (dalam satuan pixel per frame) akan dianalisa untuk menunjukkan arah dan kecepatan target hujan. Nilai u positif menunjukkan gerak horizontal ke kanan (dalam hal ini ke timur) sementara negatif menunjukkan gerak ke arah kiri ( arah barat), sementara karena adanya perubahan arah berkebalikan (reverse) pada pengolahan komponen v maka nilai v positif menunjukkan gerak vertikal ke bawah (arah selatan), sementara negatif menunjukkan arah ke atas (arah utara).
Gambar 2. Pengujian pertama optical flow, (a) posisi objek awal, (b) posisi objek terakhir, (c) vektor optical flow
Gambar 2.a terdiri dari 1 objek berbentuk bujursangkar berwarna hitam dengan latar belakang warna putih. Objek ini kemudian di edit sehingga berpindah dari posisi semula seperti pada Gambar 2.b. Hasil pergerakan vektor objek tersebut diperlihatkan pada Gambar 2.c dimana arah vektor menunjukkan arah perpindahan dari objek. Pada pengujian kedua digunakan 2 buah objek dengan bentuk yang berbeda (bujur sangkar dan persegi panjang), warna yang sama namun dengan pergerakan yang berbeda (Gambar 3.a dan 3.b). Hasil optical flow mampu membedakan pergerakan dari kedua objek tersebut (Gambar 3.c).
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. Pengujian kedua optical flow, (a) posisi objek awal, (b) posisi objek terakhir, (c) vektor optical flow
HASIL DAN PEMBAHASAN Optical flow
Data Pengamatan Radar Deteksi Hujan (RDH)
Dalam menguji teknik optical flow pada hasil observasi RDH, 2 pengujian awal dilakukan dengan menggunakan 2 pasang rangkaian Gambar dengan jumlah objek yang berbeda,yang terdiri dari Gambar posisi objek awal serta posisi objek terakhir. Rangkaian Gambar tersebut kemudian di uji dengan metode optical flow (dalam hal ini dengan pendekatan HS) untuk melihat hasil dari vektor pergerakan optical flow.
Data pengamatan RDH yang digunakan adalah data pada tanggal 3 februari 2014 dari pukul 17.25 WIB hingga 19.25 WIB. Data ini berupa hasil rangkaian Gambar distribusi spasial reflektifitas target hujan dalam koordinat kartesian (x,y) (Gambar 5). Dari hasil scannner hujan terlihat secara visual bahwa terdapat 2 sumber hujan yakni yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 95
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
muncul dari arah timur laut (azimuth 340) pada pukul 17.25 WIB serta yang muncul dari arah barat laut (azimuth 3140) pada pukul 17.32 WIB. Area ini akan bergabung pada pukul 17.42 menjadi 1 bagian area presipitasi. Area tersebut akan terus membesar dan bergerak ke arah selatan serta mencapai lokasi RDH pada pukul 18.10 WIB, hal ini didukung oleh data AWS yang berada di ITB 11 pada pukul 18.45 yang terletak pada jarak + 1 km di sebelah timur posisi RDH. Area reflektifitas hujan akan terus bergerak ke arah selatan hingga pukul 18.37, sementara pada pukul 18.51 terlihat berbelok menuju barat daya menuju daerah Soreang. Nilai reflektifitas terdeteksi maksimum pada pukul 18.54 (27 dBz) hingga kemudian berangsur berkurang dan menghilang pada pukul 19.25 WIB. Rangkaian Gambar kemudian diaplikasikan pada metode LK dan HS untuk melihat vektor pergerakan serta menghitung kecepatan pergerakan hujan berdasarkan metode optical flow. Gambar 4 mermperlihatkan hasil perbandingan vektor pergerakan dari kedua metode.
(a)
(b)
ini disebabkan adanya proses iterasi pada metode HS dimana nilai minimum untuk mendapatkan hasil optical flow yang baik adalah 100 kali iterasi. Arah pergerakan reflektifitas hujan yang diwakili oleh vektor hasil HS mampu memperlihatkan pola densitas area reflektifitas hujan namun masih terdapat beberapa kekurangan dalam menterjemahkan pergerakan objek (Gambar 6). Analisa berdasarkan pergerakan vektor serta nilai rerata komponen kecepatan horizontal dan vertikal ditunjukkan pada Tabel 4-1, dimana pada saat objek secara visual terlihat bergerak menuju selatan dan berbelok ke barat daya, ternyata diikuti oleh nilai rerata komponen vertikal (v) yang bernilai positif (dominan menuju selatan) serta komponen rerata horizontal (u) yang dominan bernilai negatif (menuju ke arah barat). Hasil ini menunjukkan bahwa sejak awal pergerakan dominan distribusi hujan adalah menuju arah barat daya. Distribusi presipitasi pada pukul 18.17 – 18.20 terlihat dalam posisi statis (tidak bergerak), hal ini dibuktikan dari hasil deteksi RDH serta nilai u dan v yang relatif kecil. Nilai reflektifitas disekitar area RDH pada waktu tersebut terlihat menghilang akibat pengaruh faktor attenuasi. Adanya pengaruh penggabungan sumber hujan terlihat dari hasil analisa komponen u dimana pada pukul 17.42 – 17.46 nilai u berubah menjadi positif hingga 18.10 – 18.13. ini menunjukkan adanya pengaruh penggabungan sumber hujan yang berasal dari arah barat laut yang mempengaruhi hasil vektor HS.
Gambar 4. Hasil optical flow, (a) Metode LK, (b) Metode HS.
Kedua metode (LK dan HS) mampu membedakan antar area objek, dalam hal ini area reflektifitas sesuai dengan pengujian optical flow yang dilakukan sebelumnya. Dari hasil perbandingan terlihat bahwa penerapan metode LK pada data RDH lebih banyak menghasilkan area vektor pergerakan reflektifitas hujan dengan luasan yang lebih besar dibandingkan area dari reflektifitas dimana vektor pergerakan lebih sensitif di lokasi bagian pinggir piksel sementara di bagian tengah bersifat konstan. Sementara hasil HS menghasilkan area vektor pergerakan hampir sesuai dengan luasan serta bentuk dari area reflektifitas hujan. Vektor pergerakan merata di setiap area deteksi serta mampu membedakan antar area reflektifitas hujan. Kelebihan dari metode LK adalah waktu proses yang dibutuhkan lebih cepat (11 detik) dibandingkan dengan metode HS (36 detik). Hal Prosiding SNSA 2015 – Halaman 96
Tabel 1. Hasil Kecepatan Rerata Komponen u dan v Horn-Schunk Data Pukul 17.25 – 17.29 17.29 – 17.32 17.32 – 17.36 17.36 – 17.39 17.39 – 17.42 17.42 – 17.46 17.46 – 17.53 17.53 – 17.56 17.56 – 18.00 18.00 – 18.03 18.03 – 18.10 18.10 – 18.13
u -0,125 -0,28 -0,098 -0,173 -0,066 0,037 0,676 0,81 0,424 0,375 0,531 0,084
v 0,717 0,795 0,727 0,564 0,639 0,546 0,676 0,584 0,605 0,526 0,359 0,737
Data Pukul 18.13 – 18.17 18.17 – 18.20 18.20 – 18.27 18.27 – 18.37 18.37 – 18.51 18.51 – 18.54 18.54 – 18.58 18.58 – 19.01 19.01 – 19.08 19.08 – 19.15 19.15 – 19.25 -
u -0,193 -0,0477 0,138 -0,454 -0,363 -0,0828 -0,316 -0,0047 -0,337 -0,0692 -0,0326 -
v 0,515 0,0113 0,137 0,425 0,483 0,525 0,684 0,95 0,812 0,989 0,629 -
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
Gambar 5. Rangkaian Gambar reflektifitas hujan pada tanggal 3 Februari 2015 (pukul 17.25 - 19.25 WIB).
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 97
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
Gambar 6. Vektor pergerakan dengan metode HS.
KESIMPULAN RDH mampu memperlihatkan pergerakan hujan yang bersumber 2 arah yakni arah timur laut dan barat laut dari posisi RDH. Perbandingan antara LK dan HS menunjukkan bahwa metode HS Prosiding SNSA 2015 – Halaman 98
lebih baik dalam memperlihatkan pergerakan serta bentuk/densitas reflektifitas hujan. Kekurangan dari metode ini adalah memerlukan waktu proses yang lebih lama dibandingkan dengan LK. Arah pergerakan distribusi
Ginaldi Ari dan Edy Maryadi
reflektifitas hujan yang diwakili oleh vektor hasil HS mampu memperlihatkan arah pergerakan reflektifitas hujan. Penggabungan 2 sumber hujan berpengaruh terhadap hasil vektor HS. Kecepatan area hujan dapat dianalisa berdasarkan komponen u dan v hasil metode HS optical flow
11
http://weather.meteo.itb.ac.id, diakses tanggal 20 Maret 2014
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimkasih kepada Bpk Noersomadi atas saran dan masukannya. Daftar Pustaka 1
Nugroho G.A, 2014. Hasil pengamatan RDH dan AWS pada kejadian hujan tanggal 2-3 Maret 2014 di daerah Bandung dan sekitarnya, Buku Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia, ISBN 978-979-1458-81-8 2 Marshall J.S, dan Palmer W.M, 1948. The Distribution of Raindrops with Size, Journal of Atmospheric Sciences, 5 , 165-166. 3 Probert‐Jones, J., (1962). The radar equation in meteorology, Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, 88, 485-495 4 Nugroho G.A, Awaludin A, 2013. Mapping method development using digital image processing to calibrate rainfall radar image, Proceeding International Seminar of Aerospace Science and Technology 17th SIPTEKGAN-2013, No 26, 195-199. 5 Schultz G,A, dan Engman. E.T, 2000. Remote sensing in hydrology and water management, Springer Verlag Berlin. 6 Aubert G, Deriche. R, dan Kornprobst P, 1999. Computing optical flow via variational techniques. SIAM Journal on Applied Mathematics,60(1):156–182. 7 Beauchemin S.S. dan Barron J.L, 1995. The computation of optical flow. ACM Computing Surveys, vol. 27, issue 3, p 433-467. 8 Cheung P, dan Yeung H.Y, 2012. Application of optical-flow technique to significant convection nowcast for terminal areas in Hongkong, The 3rd WMO International Symposium on Nowcasting and Very ShortRange Forecasting (WSN12), Rio de Janeiro Brazil, pp 1-10. 9 Lucas B. and Kanade T. 1981. An iterative image registration tech-nique with an application to stereo vision. InProc. Seventh Inter-national Joint Conference on Artificial Intelligence,Vancouver,Canada, pp. 674–679. 10 Horn, B. and Schunck, B. 1981. Determining optical flow. Artificial Intelligence,17:185– 203.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 99
Harry Pradiko, dkk.
PENENTUAN RENTANG DATA UNTUK ANALISIS FREKUENSI CURAH HUJAN MAKSIMUM DI DAS CIKAPUNDUNG DETERMINATION OF RANGE DATA FOR MAXIMUM RAINFALL FREQUENCY ANALYSIS IN CIKAPUNDUNG WATERSHED Hary Pradiko*, Arwin, Prayatni Soewondo, dan Yadi Suryadi Mahasiswa Program Doktor Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl Ganesha No 10 Bandung 40132* Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10 Bandung 40132 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Data retrieval can greatly affect the outcome of the rainfall analysis. Large data use did not directly related with the existing environmental conditions. Climate change and land conversion also influenced the variation of rainfall data. This study was conducted to prove that the variation of data affect the rainfall analysis results. The data used was the annual maximum precipitation, which was applied for flood analysis data during period 1978-2012 (35 years) in four rainfall stations (Lembang, Dago Pakar, Bandung and Margahayu) in Cikapundung watershed. Temporal variation ranges of the data used were data in 2003-2012 (10 data), 1993-2012 (20 data), and 1978-2012 (35 data). Rainfall frequency analysis methods employed were Normal, Log Normal, Gumbel and Log Pearson III. Rainfall frequency analysis methods selected were Chi Square test and Kolmogorov-Smirnov. The results showed that the application of 10-year rainfall data could generate a more extreme rain frequency than other larger number of data (20 and 35 data). Finally, it could be concluded that 10 year was the most appropriate temporal range rainfall data applied to study extreme rainfall data in field of drainage and water supply plannings. Keywords: range data, rainfall frequency analysis ABSTRAK Pengambilan data yang digunakan untuk suatu analisis data curah hujan sangat mempengaruhi hasil analisisnya. Penggunaan data yang banyak belum tentu menghasilkan analisis yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Perubahan iklim dan konversi lahan juga mempengaruhi variasi data curah hujan. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa variasi penggunaan data mempengaruhi hasil analisis curah hujan. Data yang digunakan adalah data curah hujan maksimum dalam satu tahun, yang digunakan untuk analisis banjir dengan rentang data tahun 1978-2012 (35 tahun) pada 4 stasiun hujan (Lembang, Dago Pakar, Bandung dan Margahayu) di DAS Cikapundung. Variasi rentang data yang digunakan adalah data tahun 2003-2012 (10 data), 1993-2012 (20 data), dan 1978-2012 (35 data). Metode analisis frekuensi hujan yang digunakan adalah metode Normal, Log Normal, Gumbel, dan Log Pearson III. Pemilihan metode analisis frekuensi hujan adalah uji Chi Kuadrat dan Kolmogorov-Smirnov. Hasil pengujian terhadap variasi rentang penggunaan data menunjukkan bahwa penggunaan 10 tahun data hujan menghasilkan frekuensi hujan yang lebih ekstrim daripada jumlah data yang lain (20 dan 35 tahun data) sehingga penggunaan 10 tahun data cocok digunakan dalam kajian yang membutuhkan data hujan ekstrim seperti perencanaan drainase. Kata kunci : rentang data, analisis frekuensi curah hujan
PENDAHULUAN Hujan memiliki karakteristis sesuai dengan ruang dan waktunya. Data hujan bersifat acak dan stokastik, dimana data tersebut bersusun sesuai urutan kejadiannya.1 Karakteristik tersebut menyebabkan pengamatan untuk setiap daerah pengaliran sungai akan memiliki sifat-sifat yang khas dan berlaku untuk daerah itu sendiri. Karakteristik hujan dalam pengembangan sumber daya air adalah kedalaman, intensitas, lama hujan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 100
(duration), daerah tangkapan dan arah gerak hujan.2 Curah hujan di suatu tempat diperkirakan akan semakin meningkat, sejalan dengan perubahan iklim dan kenaikan suhu global atmoster. Hal ini dapat disebabkan oleh kenaikan aktivitas konveksi air di daerah tersebut.3 Peningkatan curah hujan ini sangat mempengaruhi hasil prediksi curah hujan untuk masa yang akan datang. Hal ini dapat terjadi karena prediksi curah hujan tersebut didasarkan
Harry Pradiko, dkk.
pada catatan-catatan curah hujan di stasiun hujan pada tahun sebelumnya.4 Untuk analisis hidrologi diperlukan data hujan yang terus menerus dan tidak terputus agar hasil analisis sesuai dengan hasil yang diharapkan.5 Analisis hidrologi terkait distribusi hujan diperlukan dalam pembuatan rancangan dan rencana pengendalian banjir. Nilai-nilai yang diperoleh dapat digunakan untuk menentukan rencana-rencana dikemudian hari.6 Pengambilan data yang digunakan untuk suatu analisis data curah hujan sangat mempengaruhi hasil analisisnya. Penggunaan data yang banyak belum tentu menghasilkan analisis yang sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Perubahan iklim juga mempengaruhi variasi data curah hujan. Faktor lain yang berpengaruh pada proses fisis dan dinamis atmosfer adalah bentuk permukaan atau dengan kata lain topografinya. Pada umumnya curah hujan mempunyai intensitas yang tinggi di tempat dengan elevasi tinggi.7 Oleh karena itu penentuan rentang data sangat diperlukan agar hasil analisis sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan. Sebagai lokasi penelitian adalah DAS Cikapundung dengan beberapa stasiun hujan yang ada di dalamnya seperti Stasiun Lembang, Stasiun Dago Pakar, Stasiun Bandung, dan Stasiun Margahayu. Dalam penelitian ini digunakan data time series tahunan data curah hujan maksimum dari tahun 1978 sampai 2012 yang tercatat pada stasiun-stasiun hujan tersebut. Data time series tahunan ini digunakan untuk menghitung distribusi frekuensi curah hujan maksimum untuk keperluan analisis limpasan hujan. Metode analisis distribusi frekuensi curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah Metode Normal, Metode Log Normal, Metode Gumbel dan Metode Log Pearson III. Metodemetode tersebut biasa digunakan untuk analisis frekuensi curah hujan. Sedangkan untuk memilih metode yang paling mendekati perkembangan kondisi lingkungan dilakukan pengujian dengan Metode Chi Kuadrat dan Metode Kolmogorov – Smirnov. Seperti telah diuraikan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan panjang rentang data yang diperlukan untuk suatu analisis distribusi frekuensi curah hujan maksimum pada beberapa stasiun hujan yang berbeda, dalam hal ini stasiun-stasiun hujan yang ada di DAS Cikapundung. Sedangkan sasaran dari penelitian ini adalah agar hasil analisis distribusi frekuensi curah hujan yang diperoleh sesuai dengan perkembangan lingkungan saat ini, terutama untuk kajian-kajian yang menggunakan
data hujan ekstrim, seperti perencanaan drainase maupun perencanaan penyediaan air bersih. METODOLOGI Lokasi dan Data Pada penelitian ini, digunakan data curah hujan maksimum pada 35 tahun data berurut (tahun 1978 – 2012) pada 4 stasiun hujan berdekatan, yaitu Lembang, Dago Pakar, Bandung dan Margahayu. Sebelum digunakan dalam penelitian ini, data curah hujan telah diolah terlebih dahulu melalui tahap pengisian data kosong, pengujian konsistensi dan pengujian homogenitas. Metode yang digunakan untuk analisis frekuensi data hujan maksimum adalah metode Normal, metode Log Normal, metode Gumbel dan metode Log Pearson III. Data curah hujan untuk analisis ini diperoleh dari BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), Puslitbang SDA (Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air), Dinas SDA (Sumber Daya Air) Provinsi Jawa Barat, dan BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) Citarum. Stasiun-stasiun hujan yang diambil untuk diolah adalah Stasiun Lembang, Stasiun Dago Pakar, Stasiun Bandung (Cemara), dan Stasiun Margahayu. Sedangkan data yang diperlukan dari masing-masing stasiun hujan adalah data hujan harian maksimum setiap tahun. Adapun lokasi masing-masing stasiun hujan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Sedangkan data curah hujan selama 35 tahun yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Gambar 1. Letak Cikapundung 3
Stasiun
Hujan
di
DAS
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 101
Harry Pradiko, dkk.
Analisis Frekuensi Curah Hujan Salah satu kegunaan analisa frekuensi curah hujan adalah untuk peramalan hidrologis berupa probabilitas berulangnya peristiwa hujan di masa yang akan datang. Tujuan dari peramalan hidrologis adalah untuk memperkirakan waktu terjadinya suatu peristiwa hidrologis yang besar (banjir, hujan, dan sebagainya) dalam waktu dekat. Analisis frekuensi curah hujan dilakukan untuk mengetahui kapan suatu sifat curah hujan akan berulang kembali (periode ulang hujan – PUH). Periode ulang hujan dapat terjadi setiap 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 25 tahun, bahkan 50 tahun maupun 100 tahun. Dalam penelitian ini akan dicari nilai frekuensi curah hujan untuk periode ulang hujan 10 tahun saja pada setiap stasiun hujan tinjauan, yang diasumsikan dapat mewakili periode ulang hujan lainnya. Metode yang digunakan untuk analisis frekuensi curah hujan antara lain adalah metode Normal, Log Normal, Gumbel dan Log Pearson III.8 Variasi Data Curah Hujan Analisis distribusi frekuensi curah hujan dilakukan dengan melakukan variasi jumlah data yang akan digunakan untuk perhitungan. Variasi jumlah data tersebut adalah menggunakan curah hujan 10 tahun data (2003-2012), 20 tahun data (1993-2012) dan 35 tahun data (1978-2012). Rentang data yang diambil tetap mempertahankan data terakhir (2012) dengan asumsi bahwa data terakhir tersebut dapat mewakili kondisi terakhir dari suatu pola hujan yang tercatat pada suatu stasiun hujan. Dengan penggunaan data terakhir diharapkan analisis frekuensi hujan yang dihasilkan dapat mendekati kondisi terakhir dan dapat digunakan untuk perencanaan di masa mendatang. Sehingga perbedaan setiap variasi terletak pada jumlah data yang digunakan. Pemilihan Metode Analisis Frekuensi Curah Hujan Pemilihan metode perhitungan curah hujan dimaksudkan untuk memilih metode yang paling sesuai dalam memperkirakan besarnya curah hujan harian maksimum yang terjadi dalam PUH tertentu. Pemilihan metode curah hujan harian maksimum dilakukan berdasarkan nilai curah harian maksimum yang terbesar di antara keempat metode analisis frekuensi curah hujan yang digunakan. Pemilihan metode analisis frekuensi hujan yang paling sesuai dengan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 102
kondisi lingkungan dilakukan menggunakan Uji Chi Kuadrat dan Uji Kolmogorov-Smirnov.9
Tabel 1. Data Curah Hujan yang Digunakan TAHUN 2012 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001 2000 1999 1998 1997 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 1988 1987 1986 1985 1984 1983 1982 1981 1980 1979 1978
Curah Hujan Harian Maksimum (mm/hari) Lembang 75 140 70 78 72 79 54 88 82 81 86 90 94 86 86 64 79 50 40 36 45 37 36 38 36 72 78 76 72 77 61 84 61 69 76
Dago Pakar 70 45 104 73 80 113 66 50 80 105 84 62 51 70 70 90 72 89 55 95 98 60 88 75 81 93 78 74 65 82 51 82 77 52 60
Bandung 86 92 77 89 90 81 63 73 98 77 82 54 95 71 87 68 81 67 60 78 86 113 80 71 49 73 68 85 57 81 110 80 64 80 91
Margahayu 104 132 77 145 186 55 70 56 95 50 90 13 159 69 106 52 101 60 75 101 117 244 114 93 18 61 54 113 33 92 225 84 53 121 145
Pada uji Chi Kuadrat, setiap metode dihitung nilai chi kuadratnya (χ2 hitung). Hasil perhitungan (χ2 hitung) yang lebih kecil dari angka teoritis (χ2 teoritis) dari tabel tingkat kepercayaan adalah metode yang diterima. Sedangkan pada uji Kolmogorov – Smirnov, setiap metode dihitung nilai selisih probabilitas terbesarnya. Hasil hitungan yang nilainya kurang dari probabilitas teoritis adalah metode yang diterima. HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu hal yang mempengaruhi perubahan gerak dan distribusi air di permukaan bumi adalah perubahan iklim. Akibat perubahan iklim, curah hujan menjadi lebih ekstrim dari sebelumnya. Saat musim kemarau semakin lama,
Harry Pradiko, dkk.
sedangkan saat musim hujan, curah hujan semakin tinggi. Sehingga pada curah hujan ekstrim basah menimbulkan bencana banjir.10 Untuk dapat memperkirakan besar curah hujan ekstrim, diperlukan suatu analisis probabilitas kejadian dan distribusi hujan. Analisis ini menggunakan data historis sebagai dasar perhitungan, sedangkan analisisnya menggunakan beberapa metode perhitungan. Metode tersebut antara lain adalah metode Normal, metode Log Normal, metode Gumbel, dan metode Log Pearson Type III. Dalam perhitungan menggunakan metode analisis frekuensi tersebut, tidak diperkenankan terdapat data yang kosong atau bernilai nol (0). Hal ini dikarenakan metode Log Normal dan Log Pearson Type III menggunakan perhitungan logaritmik yang tidak dapat mengolah data dengan nilai nol (0). Hasil perhitungan analisis frekuensi curah hujan harian maksimum kemudian dibandingkan satu dengan yang lain untuk dipilih metode dan jumlah data yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya. Gambar 2 sampai Gambar 5 berikut memperlihatkan perbandingan hasil perhitungan antara beberapa metode frekuensi dan jumlah data pada periode ulang hujan 10 tahun.
Gambar 4. Perbandingan Analisis Frekuensi Hujan PUH 10 Stasiun Bandung
Gambar 5. Perbandingan Analisis Frekuensi Hujan PUH 10 Stasiun Margahayu
Gambar 2. Perbandingan Metode Analisis Frekuensi Hujan PUH 10 Stasiun Lembang
Gambar 3. Perbandingan Metode Analisis Frekuensi Hujan PUH 10 Stasiun Dago Pakar
Dari Gambar 2 dan Gambar 3 terlihat bahwa pada Stasiun Lembang dan Dago Pakar distribusi hujan ekstrim terjadi pada 10 tahun data terakhir. Sedangkan dari Gambar 3 dan Gambar 4 terlihat bahwa pada Stasiun Bandung dan Margahayu – distribusi hujan ekstrim terjadi sepanjang 35 tahun data (1978-2012). Hal ini menunjukkan bahwa setiap stasiun hujan memiliki keunikan tersendiri. Perbedaan yang terjadi ini disebabkan oleh adanya perbedaan posisi geografis, kondisi lingkungan sekitar dan iklim lokal. Untuk pemilihan metode distribusi probabilitas frekuensi kejadian hujan, dilakukan pengujian untuk mengetahui apakah persamaan distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Hasil Uji Chi Kuadrat adalah: • Secara umum, penggunaan 10 tahun data untuk perhitungan hujan rencana lebih rendah Prosiding SNSA 2015 – Halaman 103
Harry Pradiko, dkk.
nilai Chi Kuadratnya daripada penggunaan 20 maupun 35 tahun data. • Pada penggunaan 10 tahun data, semua metode distribusi hujan dapat diterima. Sedangkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov (KS) adalah: • Secara umum, seluruh metode dapat diterima. • Penggunaan 10 tahun data untuk perhitungan hujan rencana menghasilkan distribusi yang lebih ekstrim daripada yang lain dimana nilai K-S mengarah pada metode distribusi ekstrim seperti Gumbel dan Log Pearson Type III Berdasarkan hasil uji Chi Kuadrat dan Kolmogorov-Smirnov, maka metode distribusi frekuensi hujan yang sesuai untuk setiap stasiun hujan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Metode Analisis Frekuensi Hujan Setiap Stasiun Hujan JMLH DATA 10 tahun
STASIUN LEMBANG LOGPEARSON III
20 tahun
GUMBEL
35 tahun
NORMAL
STASIUN STASIUN STASIUN DAGO PAKAR BANDUNG MARGA-HAYU LOGLOGPEARSON PEARSON GUMBEL III III LOGLOGPEARSON PEARSON GUMBEL III III LOGPEARSON GUMBEL NORMAL III
Secara umum, metode terpilih dengan menggunakan 10 tahun data menghasilkan distribusi hujan yang lebih ekstrim dari pada jumlah data yang lain (20 dan 35 tahun data), terlihat dari terpilihnya metode distribusi yang biasanya menunjukkan nilai-nilai ekstrim seperti Gumbel dan Log Pearson Type III. Pergeseran metode distribusi frekuensi dari Normal ke Log Pearson III terjadi pada Stasiun Lembang dan Dago Pakar. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan data hujan menjadi lebih ekstrim pada 10 tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya hujan ekstrim dan konversi lahan dari hutan menjadi area terbangun yang terjadi di sekitar stasiun hujan tersebut. Pengaruh climate change dan konversi lahan menyebabkan terjadi hujan ekstrim (perubahan watak aliran) sehingga meningkatnya ancaman banjir & kekeringan berdampak pada degradasi fungsi Infrastruktur SDA.11
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 104
Sedangkan pada Stasiun Bandung dan Margahayu tidak terjadi perubahan metode distribusi hujan berapa pun jumlah data yang digunakan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena ekstrimitas hujan dan konversi lahan sekitar stasiun hujan tidak banyak terjadi, dimana penggunaan lahan telah mencapai kondisi yang stabil. KESIMPULAN Penelitian tentang penentuan rentang data hujan ini digunakan untuk analisis data ekstrim hujan, khususnya data ekstrim maksimum. Metode analisis frekuensi yang digunakan, khususnya metode Log Normal dan Log Pearson Type III tidak dapat mengolah data yang bernilai nol (0), sehingga data yang kosong perlu dilengkapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan 10 tahun data hujan menghasilkan distribusi frekuensi hujan yang lebih ekstrim daripada jumlah data yang lain (20 dan 35 tahun data). Hal ditunjukkan dengan terpilihnya metode analisis Gumbel dan Log Pearson Type III yang biasanya digunakan untuk mengolah data ekstrim. Dengan demikian penggunaan 10 tahun data hujan cocok digunakan dalam kajian yang membutuhkan data hujan ekstrim seperti perencanaan drainase. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan maupun publikasi penelitian ini, antara lain panitia SNSA 2015, LAPAN Bandung, Universitas Pasundan, dan Institut Teknologi Bandung. DAFTAR PUSTAKA 1
Arwin, & Setiawan, D., 2009. Pengembangan Model Indeks Konservasi Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penerapan Drainase Lingkungan, Bandung: Institut Teknologi Bandung. 2 Sukadi, 2005. Perkiraan Karateristik Curah Hujan dengan Analisis Bangkitan Data. Jurnal Kokoh 2 (1): 46-56 3 Fakhrudin, M., & Handoko, U., 2010. Curah Hujan Untuk Antisipasi Perubahan Iklim Global: Studi Kasus DAS di Jabodetabek. Seminar Nasional Limnologi V tahun 2010. Bandung: LIPI. 4 Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi. 5 Soemarto, C., 1987. Hidrologi Teknik, Surabaya: Usaha Nasional.
Harry Pradiko, dkk. 6
Handajani, N., 2005. Analisis Distribusi Curah Hujan dengan Kala Ulang Tertentu. Jurnal Rekayasa Perencanaan 1 (3): 24-30 7 Juaeni, I., Tjasjono, B., dan Ratag, M., 2006. Periode Curah Hujan Dominan dan Hubungannya dengan Topografi. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, UPT Hujan Buatan BPPT 7 (2): 16-25 8 Arwin, dan Setiawan, D., 2009. Pengembangan Model Indeks Konservasi Sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penerapan Drainase Lingkungan. Thesis. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. 9 Kamiana, I. M., 2011. Teknik Perhitungan Debit Rencana Bangunan Air. Yogyakarta: Graha Ilmu, 158 hlm. 10 Tjasyono, B., & Gernowo, R. (2008). Curah Hujan Ekstrim di Area Monsun Basin Bandung . Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 9 No.2 : 65 - 77. 11 Arwin, S., 2009. Tren Global Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air yang Berkelanjutan. Makalah dalam Diskusi Pakar Perumusan Kebijakan Eco-Efficient Water Infrastructure Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 105
I Wayan Andi Yuda
ANALISIS INDIKASI PERUBAHAN IKLIM DAN PROYEKSI IKLIM HINGGA TAHUN 2050 DENGAN SKENARIO RCP4.5 DAN RCP8.5 DI STASIUN METEOROLOGI NGURAH RAI ANALYSIS OF CLIMATE CHANGE INDICATION AND PROJECTIONS TO THE YEAR 2050 WITH CLIMATE SCENARIO RCP4.5 AND RCP8.5 AT NGURAH RAI METEOROLOGICAL STATION I Wayan Andi Yuda Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Perhubungan 1 No. 5, Pondok Betung, Bintaro Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Research to determine the indications of climate change on a local scale has conducted by calculating trends and temporal pattern of monthly data of rainfall, average temperature, maximum temperature and minimum temperature at Ngurah Rai Meteorological station during climatological periods (1981-2010). Trend calculation is done by a simple linear regression while the temporal pattern comparison is done by creating a monthly average 10-year period, namely 1981-1990, 1991-2000, 2001-2010 which is then compared with the climatological pattern. In addition, statistical modeling was also performed downscaling purpose with stepwise regression method of data HadGEM2 period 1981-2005 to the monthly data at Ngurah Rai Meteorological station followed by the projection of RCP4.5 and RCP8.5 scenarios until 2050. Indications of climate change at Ngurah Rai Meteorological Station Bali has not been seen in a real and climate projections based on scenarios RCP4.5 and RCP8.5 until 2050 showed increasing trend of precipitation and warming of the air temperature in the next year with a peak increase began to occur in the range of 2045-2050. Keywords: climate change, projections, trends, stepwise regression, RCP. ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui indikasi perubahan iklim pada skala lokal telah dilakukan dengan menghitung tren dan melihat pola data bulanan curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, dan suhu minimum di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai selama periode klimatologi (1981 – 2010). Perhitungan tren dilakukan dengan regresi linear sederhana sedangkan perbandingan pola dilakukan dengan membuat rata – rata bulanan periode 10 tahunan yaitu 1981-1990, 1991-2000, 2001-2010 yang kemudian dibandingkan dengan pola normalnya. Selain itu, dilakukan juga pemodelan statistik downscaling dengan metode regresi stepwise data HadGEM2 periode 1981 – 2005 terhadap data bulanan di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dilanjutkan dengan proyeksi dengan skenario RCP4.5 dan RCP8.5 hingga tahun 2050. Indikasi perubahan iklim di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali belum terlihat secara nyata dan proyeksi iklim berdasarkan skenario RCP4.5 dan RCP8.5 hingga 2050 mendatang menunjukan kecenderungan meningkatnya curah hujan dan memanasnya suhu udara pada beberapa tahun ke depan dengan puncak peningkatan mulai terjadi pada kisaran tahun 2045-2050. Kata kunci: perubahan iklim, proyeksi, tren, regresi stepwise, RCP.
PENDAHULUAN Undang-undang No. 31 Tahun 2009, yang mengacu pada UNFCCC, mengartikan perubahan iklim sebagai kondisi berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.1 Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 106
kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan. Perubahan iklim merupakan dampak dari peristiwa pemanasan global.2 Berdasarkan laporan IPPC melalui AR5 tahun 2013 disebutkan bahwa Pemanasan dari sistem iklim tegas. Data rata-rata global suhu permukaan gabungan daratan dan laut yang dihitung dengan tren linear, menunjukkan bahwa kenaikan rata – rata suhu global sebesar 0.85 (0.65-1.06)°C selama periode 1880-2012.3 Kenaikan suhu udara dari rata-ratanya dan adanya perubahan pola curah hujan maupun seringnya terjadi hujan
I Wayan Andi Yuda
ekstrim di suatu wilayah dapat menjadi indikator bahwa telah terjadi perubahan iklim di wilayah tersebut.4 Fakta bahwa telah terjadi kenaikan suhu global mendorong penulis untuk mencoba menganalisis apakah dampak pemanasan global tersebut telah menimbulkan perubahan iklim pada skala lokal dengan melihat perubahan tren dan pola curah hujan dan suhu udara bulanan di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai sepanjang periode klimatologi (1981 – 2010). Stasiun Meteorologi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena letaknya yang strategis di pintu masuk utama pulau Bali (Bandara Ngurah Rai) serta dikelilingi oleh banyak tempat wisata yang didominasi oleh kawasan pantai. Jika suhu di tempat ini terus meningkat dari tahun ke tahun maka suhu udara yang sudah cukup panas di tempat ini akan menjadi semakin panas apalagi jika ditambah dengan intensitas curah hujan yang terus meningkat maka akan menimbulkan ganguan pada sektor wisata. Selain itu, Stasiun Meteorologi Ngurah Rai juga memiliki data iklim yang lengkap serta berkesinambungan lebih dari 30 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui indikasi perubahan ikim yang dilihat dari tren dan perubahan pola curah hujan dan suhu udara bulanan dalam periode 30 tahun untuk skala lokal. Serta untuk mengetahui proyeksi kondisi iklim khususnya curah hujan dan suhu udara bulanan menggunakan skenario emisi yang disebut dengan Representative Concentration Pathway (RCP) yang didasarkan pada radiative forcing. Menurut IPCC (2013), radiative forcing adalah ukuran perubahan bersih dalam keseimbangan energi dari sistem Bumi dalam menanggapi beberapa gangguan eksternal dengan satuan watt per meter persegi (Wm-2).3 RCP dibagi menjadi 4 skenario yaitu RCP2.6, RCP4.5, RCP6.0 dan RCP8.5. Dari keempat skenario tersebut RCP4.5 dan RCP8.5 merupakan skenario yang banyak diteliti. Skenario RCP4.5 mengasumsikan bahwa semua negara di dunia turut ambil bagian dalam upaya mitigasi (penurunan gas rumah kaca) secara simultan dan efektif.5 Sedangkan RCP8.5 yang disebut juga sebagai skenario dasar (baseline scenario) tidak menyertakan upaya mitigasi apapun.6 Dengan demikian diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan Gambaran kondisi iklim di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali hingga tahun 2050 dengan skenario RCP4.5 dan RCP8.5.
METODOLOGI Lokasi dan Data Pada penelitian ini digunakan data bulanan observasi curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum, suhu minimum dari Stasiun Meteorologi Ngurah Rai (8.78°LS dan 115.16°BT ) periode tahun 1981 – 2010 dan data bulanan histori curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum dan suhu minimum HadGEM2 (HadGEM2 Model Development Team, 2011)7 dari CORDEX tahun 1981 – 2005. Data tersebut digunakan untuk membangun model. Selanjutnya untuk skenario proyeksi digunakan data RCP4.5 dan RCP 8.5 untuk curah hujan, suhu rata – rata, suhu maksimum dan suhu minimum dari CORDEX tahun 2006 – 2050. Perhitungan Tren suhu udara dan curah hujan observasi Pembuatan persamaan dan grafik tren dilakukan terhadap ke empat jenis data observasi dalam periode 1981 – 2010. Tren dianalisis dengan menggunakan teknik regresi linier sederhana sebagai berikut :8
y= a+bx(1) Dimana y adalah peubah bebas, x adalah peubah tak bebas (dalam hal ini digantikan oleh waktu), a adalah konstanta, dan b adalah kemiringan (slope). Analisis naik turunnya tren dilihat dari nilai kemiringan dalam persamaan. Pembuatan pola suhu udara dan curah hujan observasi Pola curah hujan, suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum dibuat berdasarkan rata-rata tiap bulan pada periode normal 1981-2010, dan periode 10 tahunan yaitu 1981-1990, 1991-2000, 2001-2010. Tujuannya adalah untuk mengetahui perubahan dan perbandingan pola yang mungkin terjadi pada tiga periode 10 tahunan tersebut. Pembuatan Model Proyeksi Data proyeksi curah hujan, suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum dari RCP4.5 dan RCP8.5 dalam format NC diekstrak ke dalam format .csv menggunakan software BEAM VISAT 5.0 dengan domain 7.41 LS - 9.61 LS dan 113.13 BT - 116.46 BT. Dari luasan domain tersebut terdapat 48 titik grid (Gambar 1). Pembentukan model proyeksi menggunakan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 107
I Wayan Andi Yuda
metode statistical downscaling berupa regresi berganda dengan memanfaatkan prosedur regresi maju bertahap (forward stepwise regression). Adapun persamaan umum dari metode regresi berganda adalah sebagai berikut :9
a
Y= B0 + B1 X1+ B2 X2 +. …+ Bi Xi (2)
Dengan Y adalah variabel yang diduga, B0 adalah konstanta, Bi adalah koefisien variabel dari Xi, dan Xi adalah variabel penduga. Pada metode analisis regresi stepwise pemilihan variabel yang pertama kali dimasukkan ke dalam model didasarkan pada variabel prediktor yang memiliki korelasi terbesar dengan variabel respons. Tahap selanjutnya adalah memasukkan variabel prediktor yang memiliki korelasi terbesar kedua dengan variabel respons. Tahap ini diulang terus hingga semua variabel masuk ke dalam model. Pada regresi stepwise, apabila terdapat 2 variabel prediktor saling berkorelasi, maka hanya salah satu variabel yang dimasukkan berdasarkan variabel prediktor yang memiliki korelasi lebih besar dengan variabel respons.10 Setelah persamaan model proyeksi terbentuk untuk setiap variabel curah hujan, suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum maka selanjutnya dibuat proyeksi untuk periode 2011 – 2050. Analisis terhadap hasil proyeksi dilakukan dengan melihat tren hasil proyeksi dan melihat pola rata – rata hasil proyeksi per 10 tahunan yaitu untuk periode 2011-2020, 2021-2030, 2031-2040, 2041-2050.
b
c
d
Gambar 2. Grafik time series (biru) dan tren linear (merah) curah hujan (a), suhu rata – rata (b), suhu maksimum (c), dan suhu minimum (d) bulanan Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Bali periode 1981 – 2010.
Gambar 1. Domain data histori bulanan HadGEM2 yang digunakan untuk membentuk model.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tren Curah Hujan dan Suhu Udara di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali Hasil perhitungan tren data bulananan curah hujan rata-rata, suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum periode 1981-2010 adalah seperti pada Gambar 2. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 108
Hasil analisis tren selama periode 1981-2010 pada Gambar 2 menunjukkan tren menurun untuk parameter curah hujan (slope -0.0029 mm per bulan, p value 0.973), suhu rata – rata (slope 0.0006°C per bulan, p value 0.198), dan suhu maksimum (slope -0.0007°C per bulan, p value 0.162). Sedangkan tren meningkat terjadi untuk parameter suhu minimum (slope 0.0026°C per bulan, p value 0.00). Nilai p value lebih besar dari 0.05 menunjukan tren menurun pada parameter curah hujan, suhu rata – rata, dan suhu maksimum tidak signifikan. Sementara itu tren peningkatan pada parameter suhu minimum termasuk signifikan dengan nilai slope perbulan
I Wayan Andi Yuda
cukup besar dan nilai p value lebih kecil dari 0.05. Nilai slope suhu minimum yang semakin meningkat menunjukan kondisi suhu malam hari hingga dini hari di Stasiun Ngurah Rai Bali telah mengalami penghangatan dalam kurun waktu 30 tahun. Pola Curah Hujan dan Suhu Udara di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali Pola bulananan curah hujan rata-rata, suhu ratarata, suhu maksimum, dan suhu minimum periode 1981-2010 di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai adalah seperti Gambar 3. a
Berdasarkan Gambar 3a terlihat bahwa ratarata curah hujan bulanan pada periode 10 tahunan tidak mengalami perubahan pola yang siginifikan jika dibandingkan dengan periode tahun 19812010. Pola umum curah hujan bulanan tetap berbentuk “U” dengan puncak curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Kemudian dari Gambar 3b, 3c, dan 3d terlihat bahwa suhu udara rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum bulanan pada periode 10 tahunan tidak mengalami perubahan pola yang siginifikan jika dibandingkan dengan periode tahun 1981-2010. Perubahan yang terlihat pada unsur suhu udara adalah berupa perbedaan nilai rata – rata pada tiap periode 10 tahunan yang mengindikasikan terdapat variasi pendinginan atau penghangatan pada periode – periode tersebut. Penghangatan yang konsisten terjadi untuk varibel suhu udara minimum. Proyeksi Curah Hujan berdasarkan Skenario RCP4.5 dan RCP8.5
b
c
d
Gambar 3. Grafik rata-rata bulanan (a) curah hujan, (b) suhu rata-rata, (c) suhu maksimum, dan (d) suhu minimum periode normal 1981-2010 (hitam) dan periode 10 tahunan (biru, merah, kuning) di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Bali
Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa curah hujan bulanan hasil proyeksi RCP4.5 dan RCP8.5 untuk periode 10 tahunan 2011-2020, 2021-2030, 2031-2040 tidak berbeda jauh dengan normal observasi, baik dari segi pola maupun nilai curah hujan. Namun pada periode 2041-2050 terlihat terjadi perubahan pola yang cukup signifikan dengan puncak hujan bergeser dari bulan Januari menjadi bulan Februari. Pada periode tahun tersebut juga diproyeksikan terjadi peningkatan rata – rata curah hujan bulan Mei-Juni-JuliAgustus-September yang signifikan dari normalnya untuk RCP4.5 dan bahkan peningkatan curah hujan yang signifikan tersebut terjadi hingga bulan Oktober dalam skenario RCP8.5. Proyeksi Suhu Udara berdasarkan Skenario RCP4.5 dan RCP8.5 Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa pola umum hasil proyeksi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum RCP4.5 dan RCP8.5 untuk periode 10 tahunan 2011-2020, 2021-2030, 2031-2040, 2041- 2050 tidak berbeda jauh dengan normal observasi, Namun sedikit ada pergeseran untuk bulan terjadinya suhu maksimum dan suhu minimum terendah. Nilai suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum terlihat mengalami peningkatan seiring dengan perjalanan waktu dan mencapai puncaknya pada periode 2041- 2050.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 109
I Wayan Andi Yuda
Gambar 4. Pola curah hujan bulanan rata – rata per 10 tahunan (garis warna biru, ungu, kuning, merah) periode 2011-2050 proyeksi RCP4.5 (atas) dan RCP8.5 (bawah) dan pola normal curah hujan observasi periode 1981-2010.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Gambar 5. Pola suhu udara rata – rata (a dan b) ,suhu maksimum (c dan d), dan suhu minimum (e dan f) per 10 tahunan (garis warna biru, ungu, kuning, merah) periode 2011-2050 proyeksi RCP4.5 (kiri) dan RCP8.5 (kanan) dan pola normal curah hujan observasi periode 1981-2010.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 110
I Wayan Andi Yuda
a.
b.
c.
d.
Gambar 6. Pola dan Tren tahunan curah hujan (a), suhu udara rata – rata (b), suhu maksimum (c), dan suhu minimum (d) observasi (garis hitam) 1981-2005 serta proyeksi RCP 4.5 (garis biru) dan RCP8.5 (garis merah) 2006-2050.
Analisis Tren Proyeksi RCP 4.5 dan RCP 8.5 Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa proyeksi curah hujan, suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum tahunan dari RCP8.5 memiliki tren peningkatan yang lebih tinggi daripada RCP4.5. Hasil proyeksi curah hujan (Gambar 6a) dari kedua skenario RCP4.5 dan RCP8.5 memiliki tren yang berkebalikan dengan tren data observasi yang dipicu oleh kondisi tahun 2045-2050. Dari Gambar 6b dan Gambar 6c dapat dilihat bahwa proyeksi suhu udara rata-rata dan suhu udara maksimum dari kedua skenario berkebalikan dengan tren data observasi yang menunjukan ketidak sesuaian arah kecenderungan dari observasi dengan data proyeksi. Kesesuaian arah kecenderungan (meningkat) hanya terjadi pada parameter suhu udara minimum (Gambar 6d) dengan peningkatan nilai suhu minimum tertinggi diproyeksikan terjadi pada periode 2045-2050. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis tren dan pola data parameter iklim yang digunakan dalam penelitian ini terlihat bahwa hanya parameter suhu udara minimum yang mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan telah terjadi
pemanasan pada suhu udara malam hari hingga dini hari di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai dalam kurun waktu 30 tahun. Kondisi malam hingga dini hari yang semakin panas diduga karena semakin banyaknya polutan dan GRK yang dilepaskan ke atmosfer pada pagi hingga sore hari di sekitar wilayah penelitian dari aktivitas manusia dan kendaraan bermotor. Selain itu, bertambahnya permukaan jalan dan bangunan disekitar wilayah penelitian juga diduga sebagai penyebab semakin memanasnya suhu udara pada malam hingga dini hari. Menurut Lakitan11 pada malam hari permukaan bumi tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi tetap memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang, sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu udara permukaan akan turun. Namun dengan semakin banyaknya konsentrasi polutan dan GRK di atmosfer maka semakin banyak juga radiasi bumi yang terperangkap dan menyebabkan malam yang lebih hangat. Selain itu menurut Miller (1986) dalam Irwan12, bangunan beton dan jalan aspal menyerap panas sepanjang hari dan melepaskannya dengan lambat pada malam hari. Semakin bertambahnya bangunan beton dan aspal diduga berbanding
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 111
I Wayan Andi Yuda
lurus dengan semakin meningkatnya suhu malam hari di wilayah penelitian. Hasil proyeksi curah hujan, suhu udara ratarata, suhu udara maksimum, dan suhu udara minimum dengan skenario RCP8.5 memiliki tren peningkatan yang lebih tajam dibandingkan dengan hasil proyeksi menggunakan RCP4.5. Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya mitigasi maka peningkatan tren curah hujan, suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum, dan suhu udara minimum di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai untuk beberapa tahun kedepan kemungkinan lebih bisa diminimalisir daripada jika tidak dilakukan upaya mitigasi. KESIMPULAN Indikasi perubahan iklim di Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Bali belum terlihat secara nyata. Peningkatan tren dalam periode 30 tahun hanya terjadi pada parameter suhu minimum. Sementara itu, proyeksi iklim hingga 2050 mendatang menunjukkan kecenderungan meningkatnya curah hujan dan memanasnya suhu udara dengan puncak peningkatan mulai terjadi pada kisaran tahun 2045-2050. Adanya upaya mitigasi memungkinkan tren peningkatan unsur-unsur iklim tersebut dapat ditekan lebih kecil daripada jika tidak dilakukan upaya mitigasi sama sekali. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim observasi dan analisa Stasiun Klimatologi Negara dan Stasiun Ngurah Rai Bali atas data yang telah disediakan dan kepada Bapak Dodo Gunawan dan Bapak Dede Tarmana atas motivasi dan bimbingan yang telah diberikan. Penulis juga berterima kasih kepada CORDEX-East Asia Databank, yang bertanggung jawab untuk data CORDEX, serta kepada National Institute of Meteorological Research (NIMR), tiga perguruan tinggi di Republik Korea (Seoul National Univ., Yonsei Univ., Kongju National Univ .) dan lembaga penelitian kerjasama lain di kawasan Asia Timur yang telah memproduksi dan menyediakan keluaran model masing - masing. DAFTAR PUSTAKA 1
Republik Indonesia, 2009. Undang - Undang No.31 tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Lembaran Negara RI No 139, Jakarta: Menkumham. 2 Aldrian, E., Karmini, M., Budiman, 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta: BMKG. 41 hlm. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 112
3
IPCC (Intergovenrmental Panel on Climate Change), 2013. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. New York: Cambridge University Press. 4 Nuraini, E.S., 2014. Analsis dan Proyeksi Trend Temperatur dan Curah Hujan untuk Mendeteksi Perubahan Iklim (Studi Kasus Propinsi Kalimantan Barat). Skripsi, Jurusan Klimatologi. Tangerang Selatan: STMKG. 5 Thomson M., A., Katherine V. Calvin, Steven J. Smith, G. Page Kyle, April Volke, Pralit Patel, Sabrina Delgado-Arias, Ben BondLamberty, Marshall A. Wise, Leon E. Clarke dan James A. Edmonds, 2011. RCP4.5: A Pathway for stabilization of radiative forcing by 2100. Climatic change, doi: 10.1007/s10584-011-0151-4 6 Riahi, K., Rao, S., Krey, V., Cho,C., Chirkov,V., Fischer,G., Kindermann, G., Nakicenovic, N., Rafaj,P., 2011. RCP 8.5: A scenario of comparatively high greenhouse gas emissions. Climatic change, doi: 10.1007/s10584-0110149-y 7 HadGEM2 Model Development Team, 2011. The HadGEM2 family of Met Office Unified Model Climate configurations. Geosci. Model Dev. Discuss., 4, 765-841, 2011 (http://www.geosci-model-devdiscuss.net/4/765/2011/gmdd-4-765-2011.pdf) 8 Wilks, D.S., 2006. Statistical Methods in the Atmospheric Sciences Second Edition. San Diego: Academic Press. 9 Usman, H. dan Akbar, R.P.S., 2000. Pengantar Statistik. Jakarta: Bumi Aksara. 10 Puspitasari, N., 2014. Perbandingan Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan dengan Regresi Komponen Utama dan Stepwise di Wilayah Papua dan Papua Barat. Skripsi, Jurusan Klimatologi. Tangerang Selatan: STMKG. 11 Lakitan, B., 2002. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 12 Irwan, Z.D., 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
VARIABILITAS CURAH HUJAN DAN SUHU PUNCAK AWAN DIURNAL HASIL ANALISIS LUARAN CCAM-NWP DAN SATELIT MTSAT DI WILAYAH JAWA BARAT RAINFALL VARIABILITY AND CLOUD TOP TEMPERATURE DIURNAL ANALYSIS RESULTS OF CCAM-NWP OUTPUTS AND MTSAT SATELLITE ON WEST JAWA Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN Jl. Dr. Junjunan 133, Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT In studying the characteristics of rainfall diurnal, needed a model that can predict the behavior of the weather in the future by following the data history in the past. As a validation stage, outcomes such dynamic model of spatial and temporal very necessary compared with observational data such as MTSAT satellite. The purpose of this study is analyzing the rainfall diurnal of dynamic model outputs Conformal Cubic Atmospheric Model - Numerical Weather Prediction (NWP-CCAM) and the cloud top temperature of Satellite Meteorology Satellite (MTSAT). The data used is the hourly output CCAM-NWP models and MTSAT satellite data in February and June 2014, with the method on analyzing the output from the input models Global Forecast System (GFS-NOAA) with a resolution of the model 0.25⁰x 0.25⁰. Based on the results shown a strong correlation between model output with satellite observations, in which the spatial distribution of rainfall for the model output and the cloud top temperature of MTSAT showed the opposite pattern, or when rainfall is high, relatively low cloud top temperature. Meanwhile for the temporal distribution showed a similar pattern. Keywords : rainfall, cloud top temperature, CCAM-NWP, MTSAT. ABSTRAK Dalam mempelajari karakteristik curah hujan diurnal, dibutuhkan sebuah model yang dapat memprediksikan perilaku cuaca dimasa akan datang dengan mengikuti histori data di masa lalu. Sebagai tahapan validasi, hasil luaran model dinamik berupa spasial dan temporal sangat perlu dibandingkan dengan data observasi satelit seperti MTSAT. Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisa terhadap curah hujan diurnal luaran model dinamik Cubic Conformal Atmospheric Model - Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP) dan suhu puncak awan dari Meteorology Satellite (MTSAT). Data yang digunakan adalah data jam-an luaran model CCAM-NWP dan data satelit MTSAT bulan Februari dan Juni tahun 2014, dengan metode menganalisis luaran model dari input Global Forecast System (GFS-NOAA) dengan resolusi model 0.25⁰ x 0.25⁰. Berdasarkan hasil terlihat adanya korelasi yang kuat antara luaran model dengan observasi satelit, dimana untuk distribusi spasial curah hujan luaran model dan suhu puncak awan dari MTSAT menunjukkan pola yang berlawanan, atau pada saat curah hujan tinggi, suhu puncak awan relatif rendah. Sedangkan untuk distribusi temporalnya menunjukkan pola kejadian yang hampir sama. Kata kunci: curah hujan, suhu puncak awan, CCAM-NWP, MTSAT.
PENDAHULUAN Dalam mempelajari karakteristik curah hujan diurnal, dibutuhkan sebuah model yang dapat memprediksikan perilaku cuaca di masa akan datang dengan mengikuti histori data di masa lalu. Siklus diurnal merupakan sinyal paling dominan di antara berbagai variasi skala dan waktu dalam sistem iklim. Energi dan pertukaran air antara atmosfer dan lapisan permukaan dibawahnya diatur terutama oleh siklus diurnal.1,2,3 Oleh karena itu fase dan waktu yang tepat dalam siklus diurnal ini merupakan suatu
keharusan untuk pemodelan, tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk simulasi iklim jangka panjang.4,5 Luaran model Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM) resolusi 60 km untuk simulasi atmosfer global telah dilakukan sebelumnya dalam mempelajari skenario iklim masa depan untuk negara-negara di sekitar Pasifik.6 Berbeda dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini akan dianalisis curah hujan dan angin luaran model dinamik Cubic Conformal Atmospheric Model-Numerical Weather Prosiding SNSA 2015 – Halaman 113
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
Prediction (CCAM-NWP). Perbedaan tersebut terletak pada input model yang digunakan, dimana untuk CCAM menggunakan input Sea Surface Tempetarure (SST), sedangkan untuk CCAM-NWP digunakan input meteorologi dan topografi dari Global Forecast System (GFS). Dengan mengembangkan model yang tervalidasi, dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi yang lebih akurat dalam pengembangan luaran model untuk simulasi dan prediksi iklim. Sebagai tahapan validasi, hasil luaran model dinamik berupa spasial dan temporal sangat perlu dibandingkan dengan data lain, dan dalam penelitian ini digunakan data dari satelit MTSAT. Penelitian dengan menggunakan CCAM resolusi 60 km untuk simulasi dan prediksi atmosfer global telah dilakukan sebelumnya oleh Nguyen et al.6,7 yang mempelajari skenario iklim masa depan untuk negara-negara di sekitar Pasifik. Dengan menggunakan CCAM, penelitian tersebut berfokus dalam merepresentasikan iklim saat ini di daerah tropis, daerah di mana masalah cold tongue atau wilayah dengan nilai Sea Surface Temperature (SST) yang dingin di sekitar khatulistiwa, merupakan keadaan sebenarnya. SST sebagai koreksi bias dengan resolusi tinggi digunakan dalam simulasi CCAM yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dibandingkan dengan model sebelumnya. Luaran model tersebut sangat baik pada penentuan pola curah hujan untuk musim transisi Maret-AprilMei dan September-Oktober-November, dan perbaikan cukup baik untuk Desember-JanuariFebruari dan Juni-Juli-Agustus. CCAM juga mensimulasikan perbaikan pola curah hujan di atas South Pacific Convergence Zone (SPCZ) dan evaluasi kinerja fenomena tropis lainnya, seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) dan sirkulasi Walker. CCAM juga digunakan oleh Juaeni,8 yang menganalisa curah hujan bulanan dan harian untuk wilayah Indonesia dengan model dinamik CCAM. Komparasi secara visual dilakukan juga oleh Kurniawan,9 dengan membandingkan hasil luaran model prakiraan cuaca antara CCAM dengan Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle (ARPEGE) dan Tropical Limited Area Prediction System (TLAPS) dimana dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa luaran ketiga model yang disebutkan diatas memiliki pola yang hampir sama, meskipun ARPEGE dan TLAPS menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik dari CCAM. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa hasil yang berbeda diduga
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 114
dikarenakan penggunaan data analisis ARPEGE dan TLAPS sebagai representasi data observasi. Karakteristik curah hujan diurnal Indonesia telah diteliti sebelumnya oleh Nesbitt et al.,10 dengan menggunakan data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM). Ketiga penelitian tersebut menyatakan bahwa ciri yang dominan dari siklus diurnal laut adalah curah hujan maksimum terjadi pada akhir-malam sampai dini hari, sementara di atas daratan curah hujan maksimum dominan terjadi pada pertengahan sampai sore hari. Salah satu dari penelitian tersebut menyatakan bahwa adanya perbedaan curah hujan diurnal di Indonesia bergantung pada tipe curah hujan. Pada curah hujan tipe A, terjadi hujan di daratan pada jam (15.00-18.00 LT), dan di lautan pada jam (09.00-12.00 LT). Pada tipe B di daratan pada jam (18.00-21.00 LT) dan lautan pada jam (06.00-12.00 LT). Untuk tipe C di daratan pada jam (12.00-18.00 LT) dan lautan pada jam (03.00-12.00 LT). Sedangkan di garis pantai curah hujan terjadi pada tengah malam untuk ketiga tipe curah hujan. METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data luaran model dinamik CCAM-NWP dan suhu puncak awan dari Satelit MTSAT dengan batasan wilayah penelitian pada koordinat (68)ºLS, (105-110)ºBT. Data luaran CCAM-NWP didapat dengan menjalankan model untuk tanggal 12 sampai 15 Februari dan Juni 2014. Sebagai data input digunakan data meteorologi dari Global Forecast System (GFS)-NOAA. Analisis data dilakukan terhadap curah hujan jam-an luaran CCAM-NWP dengan resolusi spasial (0,25×0,25)o dan suhu puncak awan dari satelit MTSAT. Sebagai tahapan validasi, hasil luaran model dinamik berupa spasial dan temporal dibandingkan dengan data satelit MTSAT. Data citra satelit MTSAT memiliki format Portable Gray Map (PGM). Langkah awal pengolahan data MTSAT adalah dengan melakukan kalibrasi nilai pixelgray menjadi nilai temperatur benda hitan dalam satuan Kelvin menggunakan tabel kalibrasi data IR1. Data kemudian diubah menjadi bentuk data binari agar dapat diolah menggunakan software GrADS. Selanjutnya data tersebut diolah secara matematis untuk memperoleh rata-rata pada setiap jam yang sama untuk semua data selama periode penelitian, kemudian dilakukan pengolahan secara statistik untuk menganalisa korelasi antara luaran model dengan MTSAT.
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses siklus konveksi diurnal dan curah hujan merupakan fenomena cuaca yang menonjol di Benua Maritim Indonesia.1 Siklus diurnal merupakan sinyal paling dominan di antara berbagai variasi skala dan waktu dalam sistem iklim. Energi dan pertukaran air antara atmosfer dan lapisan permukaan dibawahnya diatur terutama oleh siklus diurnal. Oleh karena itu fase dan waktu yang tepat dalam siklus diurnal ini merupakan suatu keharusan untuk pemodelan, tidak hanya untuk integrasi waktu singkat tetapi juga untuk simulasi iklim jangka panjang.5 Berdasarkan hasil dari penelitian ini terlihat adanya korelasi yang kuat antara luaran model dengan observasi satelit, dimana untuk distribusi spasial curah hujan luaran model dan suhu puncak awan dari MTSAT menunjukkan pola yang berlawanan, atau pada saat curah hujan tinggi, suhu puncak awan relatif rendah seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1 (atas) untuk pengamatan bulan Februari. Dari hasil luaran model, wilayah Jawa Barat bagian Timur dan Barat Daya mengalami curah dengan intensitas tinggi pada tanggal 12-15 Februari, seperti yang terlihat pada Gambar 1 (atas). Keadaan ini bersesuaian dengan kecilnya nilai suhu puncak awan yang dihasilkan dari data MTSAT dengan nilai kurang dari 220 K seperti yang terlihat pada Gambar 1. Adanya curah hujan dengan intensitas tinggi yang mencapai lebih dari 30 mm/ jam terjadi di wilayah Jawa Barat bagian barat daya dan timur laut pada jam 23.00 UTC atau 06.00 WIB, dan wilayah daratan dominan lebih kering dibandingkan dengan lautan. Keadaan tersebut bersamaan dengan adanya suhu puncak awan pada kisaran 240 K di wilayah Jawa Barat bagian barat daya dan selatan, kemudian pada kisaran 270 K terjadi di bagian timur laut. Pada jam 06.00 UTC atau 12.00 WIB wilayah lautan masih hujan dengan intensitas tinggi yang mencapai lebih dari 24 mm/jam terjadi di sebelah utara, barat dan timur laut wilayah Jawa Barat. Tetapi suhu puncak awan di bagian utara Jawa Barat terlihat tinggi yang mencapai kisaran 270 K, sedangkan di bagian barat dan timur laut suhu puncak awan bernilai cukup rendah dibawah 240 K seperti yang terlihat pada Gambar 2.
a.
b.
c.
d.
Gambar 1. Distribusi spasial curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (a dan b) dan suhu puncak awan MTSAT (c dan d) rata-rata jam 09.00 dan 11.00 UTC (16.00 dan 17.00 WIB) tanggal 12-15 Februari 2014 di wilayah Jawa Barat.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 115
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
a.
hampir merata dengan kisaran 40 mm/jam, keadaan inipun bersamaan dengan adanya suhu puncak awan yang kurang dari 230 K pada daerah yang sama, dan terjadi pada jam 11.00 UTC atau pada jam 18.00 WIB. Dengan demikian berdasarkan hasil luaran CCAM-NWP dan MTSAT kejadian curah hujan dengan intensitas tinggi ada yang bersamaan dengan suhu puncak awan yang rendah pada waktu tertentu, tetapi ada juga yang tidak bersesuaian.
b.
Gambar 3. Distribusi temporal curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (kiri) dan suhu puncak awan MTSAT (kanan) pada tanggal 12-15 Februari 2014 di wilayah Jawa Barat.
c.
d.
Gambar 2. Distribusi spasial curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (a dan b), dan suhu puncak awan MTSAT (c dan d) rata-rata pada jam 23.00, dan 05.00 UTC (06.00 dan 12.00 LT) tanggal 12-15 Februari 2014 di wilayah Jawa Barat.
Sebagian besar wilayah Jawa Barat terutama bagian timur mengalami curah hujan yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 116
Analisa selanjutnya untuk distribusi temporal curah hujan pada tanggal 12-15 Februari 2014. Gambar 3 menunjukkan distribusi temporal curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (kiri) dan suhu puncak awan MTSAT (kanan) pada tanggal 12-15 Februari 2014 di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan hasil terlihat bahwa dari hasil luaran CCAM-NWP puncak curah hujan rata-rata terjadi pada jam 06.00 UTC atau jam 13.00 WIB seperti yang terlihat pada Gambar 3. Sedangkan suhu puncak awan pada saat terjadi puncak curah hujan pada jam 06.00 UTC adalah 268,25 K. Dengan kata lain curah hujan maksimum terjadi tidak selalu pada saat suhu puncak awan minimum. Hal tersebut bersesuaian dengan penelitian sebelumnya,11,12,13,14 yang menyatakan bahwa tidak selalu curah hujan maksimum terjadi pada saat suhu puncak awan minimum, perlu adanya penundaan waktu antara proses peluruhan dari awan untuk menghasilkan hujan. Untuk keadaan musim sebaliknya dianalisa luaran model CCAM-NWP dan MTSAT pada bulan Juni seperti yang terlihat pada Gambar 4. Berdasarkan hasil terlihat adanya pola yang berlawanan antara distribusi spasial luaran model CCAM-NWP dengan suhu puncak awan dari MTSAT, dimana pada saat curah hujan rendah, suhu puncak awan relatif tinggi seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4 (a dan b) untuk luaran model dan hasil dari MTSAT pada Gambar 4 (c dan d).
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia a.
b.
Dari hasil luaran model, hampir seluruh wilayah Jawa Barat mengalami curah hujan dengan intensitas rendah pada tanggal 12-15 Juni seperti yang terlihat pada Gambar 4 (a dan b), kecuali sedikit bagian Utara wilayah Jawa Barat. Keadaan ini bersesuaian dengan besarnya nilai suhu puncak awan yang dihasilkan dari data MTSAT seperti yang terlihat pada Gambar 4 (c dan d). Untuk melengkapi analisa, pengolahan data analisa selanjutnya dilakukan pengolahan data luaran model dan MTSAT sebagai validasi, untuk distribusi temporal curah hujan pada bulan Juni seperti yang terlihat pada Gambar 5. Terlihat bahwa curah hujan maksimum walaupun dengan intensitas rendah sekitar 14 mm/ jam terjadi pada jam 11.00 UTC atau jam 18.00 WIB dan pada jam 20.00 UTC atau pada jam 03.00 WIB, pada saat yang bersamaan suhu puncak awan terendah terjadi pada waktu yang sama. Dengan demikian untuk kejadian tanggal 12-15 Juni 2014, curah hujan maksimum terjadi tepat pada saat suhu puncak awan minimum.
c.
Gambar 5. Distribusi temporal curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (bawah) dan suhu puncak awan MTSAT (kanan) pada tanggal 12-15 Juni 2014 di wilayah Jawa Barat.
KESIMPULAN
d.
Berdasarkan hasil terlihat adanya korelasi yang kuat antara luaran model dengan observasi satelit, dimana untuk distribusi spasial curah hujan luaran model dinamik Cubic Conformal Atmospheric Model - Numerical Weather Prediction (CCAM-NWP) dan suhu puncak awan dari MTSAT menunjukkan pola yang berlawanan, atau pada saat curah hujan tinggi, suhu puncak awan relatif rendah. Sedangkan untuk distribusi temporalnya menunjukkan pola kejadian yang hampir sama untuk bulan Juni dan berbeda untuk bulan Febuari. UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 4. Distribusi spasial curah hujan diurnal luaran model CCAM-NWP (a dan b), serta suhu puncak awan MTSAT (c dan d) pada tanggal 12-15 Juni 2014 di wilayah Jawa Barat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Nurzaman Adikusumah, M.Si dan Bapak Drs. Bambang Siswanto, M.Si untuk sarannya dalam masalah running CCAM. Juga kepada Sdr. Noviana Dewani M.Si, alumni Fakultas Ilmu dan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 117
Iis Sofiati dan Lely Qodrita Avia
Teknologi Kebumian, Jurusan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB) atas bantuannya dalam pengGambaran output CCMNWP. DAFTAR PUSTAKA 1
Arakawa O, and Kitoh A., 2005. Rainfall diurnal variation over the Indonesian Maritime Continent simulated by 20 km-mesh GCM, SOLA 1 109-112.. 2 Bell TL, and Reid N., 1993. Detecting the diurnal cycle of rainfall using satellite observations, J. of Applied Meteorology 32/2. 311-322. 3 Kitoh A., and Arakawa O., 2005. Reduction in tropical rainfall diurnal variation by global warming simulated by a 20-km mesh climate model, Geophysical Research Letters, Vol. 32. 4 Pribadi A., Wongwises P., Humphries U., Limsakul A., and Wangwongchai A., 2012. Diurnal Rainfall Variation over Three Rainfall Regions within Indonesia Based on Ten Years of TRMM Data, Journal of Sustainable Energy & Environment, vol. 3 81-86. 5 Yang S., and Smith E A., 2006. Mechanisms for Diurnal Variability of Global Tropical Rainfall Observed from TRMM, J. Climate, Vol.19, 5190– 5225. 6 Nguyen, K. C., Katzfey, Jack J., Mc Gregor, John L. 2011. Global 60 km simulations with CCAM: evaluation over the tropics, Climate Dynamics, 39, Issue 3-4, pp. 637-654. 7 Nguyen, K C.,Katzfey J., Mc Gregor J. L., 2014: Downscalling over Vietnam using the stretched-grid CCAM: verification of mean and interannual variability of rainfall, Climate Dynamic Vol. 43: 861-879. DOI 10.1007/s00382-013-1976-5. 8 Juaeni, I., Bambang S., Nurzaman A., Sofiati I. 2013. Downscalling dan Uji Kinerja Model Atmosfer Indonesia Resolusi Tinggi, Prosiding Laporan Penelitian Inhouse Triwulan ke-2, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-LAPAN, Bandung. 9 Kurniawan R., Sukma D.P., Anggraeni R., Kurnia E, K., 2010. Perbandingan Hasil Luaran Model Prakiraan Cuaca Cubic Conformal Atmospheric Model (CCAM) Terhadap ARPEGE dan TLAP. http://www.bmkg.go.id/Puslitbang/filePDF/D okumen_545_Volume_11_Nomor_1_Juli_20 10_Perbandingan_Hasil_Luaran_Model_Praki raan_Cuaca_Conformal_Cubic_Atmospheric_ Prosiding SNSA 2015 – Halaman 118
Model_%28CCAM%29_Terhadap_ARPEGE _dan_TLAPS.pdf. (diakses tanggal 2 September 2013). 10 Nesbitt S W., and Zipser J E., 2006. The Diurnal Cycle of Rainfall and Convective Intensity according to Three Years of TRMM Measurements, Journal of Climate, Vol 16, 1456-1475. 11 Kassianov Evgueni, Charles N. Long, and Mikhail Ovtchinnikov, 2004. Cloud Sky Cover versus Cloud Fraction: Whole-Sky Simulations and Observations, Journal of Applied Meteorology, Vol. 44, 86-98. 12 Malcolm E. Brooks, Robin J. Hogan, and Anthony J. Illingworth, 2004. Parameterizing the Difference in Cloud Fraction Defined by Area and by Volume as Observed with Radar and Lidar, Journal of the Atmospheric Sciences, Vol. 62, 2248-2260. 13 Hanna Jay W., David M. Schultz, Anonio R. Irving, 2007. Cloud Top Temperatures for Precipitating Winter Clouds, Journal of Applied Meteorology and Climatology, 47, 351-359. 14 Liu Y W., Wu W., Jensen M. P, and Toto T, 2011., Relationship Between Cloud Radiative Forcing, Cloud Fraction and Cloud Albedo, and New Surface-Based Apporach for Determining Cloud Albedo, Journal Atmospheric Chemistry Physics, 11, 71557170.
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
ANALISIS AKURASI INFORMASI DAERAH BERPOTENSI BANJIR DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGGI CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA PENGINDERAAN JAUH THE ACCURATION ANALYZIS FORTHE FLOOD POTENTIAL AREA INFORMATION AND ITS RELATIONSHIPTO RAINFALL BASED ON REMOTE SENSING DATA Indah Prasasti dan Any Zubaidah *Pusat Pemanfaatn Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Kalisari No.8, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta 13710 Pos-el:
[email protected],
[email protected] ABSTRACT There are two types of information provided by LAPAN associated with flood, namely: 1 /. Information of flood potential areas are derived from the Multi-functional Transport Satellites (MTSAT) data, and 2 /. High rainfall information from the Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM) data. Both information were published on daily period and can be downloaded through the Natural Disaster Mitigation Information System (SIMBA) website LAPAN. However, the information accuracy associated with flood event in several regions in Indonesia still needs to be tested. This study aimed to analyze the information accuracy of flood potential area and its relationship to high rainfall during flood events. For this purpose, flood potential area from MTSAT data, daily rainfall from TRMM data, and flood event data from National Board for Disaster Management (BNPB) were used on this study. The result showed that from 392 flood event in all parts of Indonesia, only around 32% (125 flood event) were detected on flood potential area appropriately which was obtained from MTSAT, while 68% are not appropriate. Around 43.8% of flood occurred in high rainfall 0-50 m and only 0.8% flood occured on high rainfall more than 100 mm. Thus, the utilization of flood potential area information from MTSAT need to be re-examined in order to obtain more accurate information. On the other hand, the use of highrainfall information at the time of the flood of TRMM still need to be adjusted for the estimated model coefficients and validation of the rainfall observations. Keywords: MTSAT, TRMM, Potential floodArea, SIMBA-LAPAN
ABSTRAK Ada dua jenis informasi yang disediakan oleh LAPAN terkait dengan banjir, yakni: 1/. Informasi potensi daerah tergenang banjir yang diturunkan dari data Multi-functional Transport Satellites (MTSAT), dan 2/. Informasi tinggi hujan dari data Tropical Rainfall Measurement Mission (TRMM). Kedua informasi dipublikasikan secara periodik harian dan dapat diunduh melalui website Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam (SIMBA)-LAPAN. Namun, akurasi dari kedua informasi tersebut terkait dengan kejadian banjir di beberapa wilayah di Indonesia masih perlu diuji. Penelitian ini bertujuan menganalisis akurasi informasi daerah berpotensi banjir dan hubungannya dengan tinggi hujan pada saat kejadian banjir. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan data daerah berpotensi banjir dari data MTSAT, data curah hujan harian dari TRMM, dan data kejadian banjir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 392 kejadian banjir di seluruh wilayah Indonesia hanya sekitar 32% (125 kejadian banjir) tepat berada pada daerah yang terdeteksi dari MTSAT berpotensi banjir, sedangkan 68% tidak tepat. Sebanyak 43.8% kejadian banjir terjadi pada tinggi hujan 0 – 50 m dan hanya 0.8% yang terjadi pada tinggi hujan lebih dari 100 mm. Dengan demkian, pemanfaatan informasi daerah berpotensi banjir dari MTSAT perlu dikaji ulang agar diperoleh informasi yang lebih akurat. Di sisi lain, pemanfaatan informasi tinggi hujan pada saat banjir dari TRMM masih perlu dilakukan penyesuaian koefisien model estimasi dan validasinya terhadap curah hujan observasi. Kata Kunci: MTSAT, TRMM, Potensi Tergenang Banjir, SIMBA-LAPAN
PENDAHULUAN Walaupun ada beberapa sumber ketidakpastian yang dapat mempengaruhi akurasi prediksi banjir, namun data curah hujan merupakan data utama yang dapat digunakan untuk
pengembangan pemodelan prediksi banjir.1,2 Akan tetapi, ketersediaan data curah hujan sering menjadi kendala dalam pengembangan pemodelan prediksi banjir. Oleh karena itu, pemanfaatan data curah hujan yang diturunkan dari data satelit menjadi pilihan solusi yang patut Prosiding SNSA 2015 – Halaman 119
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
dipertimbangkan.3 Selain itu, cara yang efektif dalam menurunkan potensi kerusakan akibat banjir adalah pengembangan sistem peringatan dini banjir melalui pemantauan curah hujan. Penggunaan data penginderaan jauh (inderaja) untuk estimasi curah hujan telah dikembangkan sejak tahun 60-an yang bertujuan untuk mendapatkan Gambaran global mengenai distribusi hujan di seluruh permukaan bumi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengestimasi curah hujan berdasarkan data inderaja tersebut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, seperti yang telah dilakukan di negara-negara subtropis.4,5 Hal ini dikarenakan data curah hujan estimasi dari data satelit dapat mengatasi dan meningkatkan ketersediaan data curah hujan yang dikumpulkan dari data observasi.6 Ketersediaan data yang baik dapat meningkatkan akurasi model-model turunan; seperti model prediksi banjir atau kekeringan, yang dihasilkan. Pemanfaatan data inderaja untuk estimasi curah hujan didasarkan pada adanya interaksi antara obyek butiran hujan dengan gelombang elektromagnetik. Selain spektrum tampak (visible) dengan panjang gelombang antara 0.4 – 0.75µm dan inframerah dekat (near infrared) dengan panjang gelombang antara 0.75 – 1.1µm sangat penting dalam hidrometeorologi. Kedua band panjang gelombang ini sangat baik dalam mendeteksi pantulan awan, uap air, aerosol dan udara. Karakteristik awan seperti tektur, kecerahan, formasi dan pola pada umumnya diinterpretasi secara visual berdasarkan persentase pantulan (albedo) dari kedua panjang gelombang ini, sehingga dapat terdeteksi oleh sounder atau profiler wahana satelit inderaja.7,1 Dikarenakan awan bersifat tidak dapat tertembus oleh spektrum tampak atau inframerah, maka suhu kecerahan yang terdeteksi adalah suhu kecerahan puncak awan (cloud top temperature).8,9 Untuk awan dengan suhu kecerahan yang lebih dingin pada umumnya berasosisasi dengan semakin lebatnya hujan (konvektif) yang terjadi.Untuk gelombang inframerah thermal (10.5 – 12.5 µm), suhu kecerahan dari butiran hujan diukur berdasarkan pancarannya.7 Salah satu data inderaja yang dapat digunakan untuk mengestimasi curah hujan berdasarkan suhu puncak awan adalah MTSAT(Multi-functional Transport Satellite)1R.6 Selain MTSAT-1R, data lain yang sering digunakan untuk estimasi curah hujan adalah data TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission). Prosiding SNSA 2015 – Halaman 120
MTSAT merupakan generasi penerus dari GMS/Himawari yang luas liputannya mencakup setengah belahan bumi (hemisphere), meliputi Asia timur, Pasifik barat dan Australia.Satelit ini mempunyai 5 kanal, yakni: kanal tampak (0.55 – 0.9 µm), kanal IR1 (10.3 – 11.3 µm), IR2 (11.5 – 12.5 µm), kanal IR3 (6.5 – 7.0 µm), Kanal IR4 (3.5 – 4.0 µm). Resolusi spasial untuk kanal tampak adalah 1 Km, sedangkan untuk kanal inframerah adalah 4 Km. Resolusi temporalnya 1 jam-an dan 30 menit untuk belahan bumi utara.10 Kelemahannya adalah resulusi spasialnya yang rendah, sebagai konsekuensi dari tingginya orbit satelit. Sementara itu, TRMM merupakan Satelit TRMM yang dikembangkan melalui kerjasama antara NASA (badan antariksa nasional AS) dan JAXA (badan antariksa Jepang) yang dirancang untuk memantau dan mengkaji hujan di wilayah tropis. Satelit TRMM ini membawa 5 macam sensor yaitu: Precipitation radar (PR), TRMM Microwave Imager (TMI), Visible and Infrared Scanner (VISR), Clouds and the Earth’s Radiant Energy System (CERES) dan Lightning Imaging Sensor (LIS).11 Sensor TMI merupakan sensor gelombang mikro yang digunakan untuk mendeteksi hujan. Chen et al.12 mengkaji potensi pemanfaatan data TRMM untuk estimasi curah hujan di wilayah tangkapan air Sungai Dongjiang, China Selatan dan menguji performa data curah hujan TRMM dalam pemodelan hidrologi. Hasilnya menunjukkan bahwa data TRMM mempunyai presisi yang tinggi dan berkorelasi baik dengan curah hujan observasi pada skala wilayah tangkapan air atau Daerah Aliran Sungai (DAS), sedangkan pada skala titik pengamatan presisinya lebih rendah. Kombinasi kedua data satelit ini (MTSAT dan TRMM) juga telah digunakan untuk mengestimasi curah hujan di pulau Jawa dengan terlebih dahulu menghubungkan antara suhu puncak awan dengan data curah hujan TRMM.13 Penelitian lain menganalisis hubungan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT-1R dengan curah hujan dari data QMorph menggunakan analisis regresi-korelasi dan analisis marjinal. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang cukup signifikan antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT-1R dengan curah hujan dari QMorph. Semakin rendah suhu awan, maka semakin tinggi curah hujan.14 Menurut catatan Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB), banjir merupakan bencana dengan frekuensi kejadian paling tinggi dibandingkan dengan bencana lainnya. Berbagai upaya dilakukan untuk
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
mengurangi dampak yang terjadi akibat banjir. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui penyediaan informasi yang akurat guna antisipasi dini kejadian banjir. Pilihan solusi adalah dengan melibatkan penggunaan data satelit penginderaan jauh. Ada dua tipe informasi yang dipublikasi oleh LAPAN yang digunakan untuk mendukung antisipasi dini banjir di seluruh wilayah Indonesia, yakni: informasi prediksi daerah berpotensi banjir dari data MTSAT dan informasi sebaran tinggi hujan yang diturunkan dari data TRMM. Namun sejauh ini, penelitian akurasi dari kedua informasi tersebut; khususnya akurasiinformasi prediksi daerah berpotensi banjir yang dihasilkan dari MTSAT dalam mendeteksi lokasi kejadian banjir, masih perlu dikaji kembali. Walaupun hasil penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa nilai ambang (threshold) suhu puncak awan -25oC mempunyai akurasi lebih dari 80% dalam mendeteksi kejadian hujan lebat.15 Selain itu, akumulasi hasil informasi prediksi daerah berpotensi banjir di seluruh wilayah Indonesia terkait erat dengan pola musim hujan yang berlangsung pada masing-masing wilayah di Indonesia.16 Namun demikian, penelitian ini masih perlu dilakukan untuk menganalisis hubungan antara informasi daerah berpotensi banjir yang diturunkan dari data MTSAT dengan tinggi hujan dari data TRMM guna menilai tingkat akurasi kedua informasi tersebut serta memvalidasi hubungan keduanya terhadap posisi lokasi kejadian banjir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akurasi informasi prediksi daerah berpotensi banjir dan hubungannya dengan tinggi hujan pada daerah kejadian banjir. METODOLOGI Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data TRMM harian dan citra/informasi daerah berpotensi banjir dari data MTSAT-1R. Sebagai pembanding, digunakan pula data kejadian banjir (koordinat lokasi dan tanggal kejadian banjir) yang diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) periode Januari 2012 hingga September 2012, dan peta batas administrasi kecamatan. Metode Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap pengolahan data, sebagai berikut: 1/. Ekstraksi informasi tinggi hujan harian dari data TRMM
yang selanjutnya diklasifikasi menjadi 5 kelas, yakni: a/. kelas 0 – 5 mm, b/. 5 – 20 mm, c/. 20 – 50 mm, d/. 50 – 100 mm, dan e/. 100 – 300 mm., 2/. Ekstraksi informasi (citra) harian daerah berpotensi banjir dari data MTSAT-1R harian yang dihasilkan dari integrasi antara klasifikasi potensi hujan lebat dengan peta daerah rawan genangan., 3/. Dari kedua informasi pada poin 1 dan 2 dilakukan overlay (tumpang tindih). Selanjutnya berdasarkan informasi kejadian banjir (tanggal dan koordinat lokasi kejadian banjir) dilakukan inventarisasi tinggi hujan dan ada atau tidaknya informasi potensi banjir pada daerah kejadian banjir., 4/. Menghitung persentase ketepatan informasi daerah berpotensi banjir dan besaran tinggi hujan pada daerah kejadian banjir. Persentase informasi daerah berpotensi banjir yang benar (tepat) dalam mendeteksi kejadian banjir pada suatu daerah dihitung berdasarkan rasio antara jumlah yang tepat terhadap jumlah keseluruhan kejadian banjir., 5/. Menentukan besaran tinggi hujan pada setiap titik lokasi kejadian banjir baik yang tepat ataupun tidak tepat berada pada daerah berpotensi banjir. Keseluruhan tahapan penelitian ini secara rinci disajikan dalam Gambar bagan alir Gambar 1. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengolahan data MTSAT-1R dihasilkan informasi potensi hujan lebat yang selanjutnya ditumpang-susunkan dengan peta daerah rawan genangan akan menghasilkan informasi daerah berpotensi banjir.Gambar 2 memperlihatkan contoh informasi (citra) daerah berpotensi banjir (warna merah) di Pulau Jawa pada tanggal 13 Januari 2012. Sementara itu, Gambar 3 memperlihatkan contoh hasil tumpang-susun antara informasi daerah berpotensi banjir dari data MTSAT, informasi klasifikasi tinggi hujan dari data TRMM, dan koordinat lokasi kejadian banjir di Pulau Jawa pada tanggal 13 Januari 2012. Selanjutnya berdasarkan titik koordinat lokasi dan tanggal kejadian banjir dilakukan inventarisasi tinggi hujan dan ada atau tidaknya informasi daerah berpotensi banjir pada daerah kejadian banjir di seluruh wilayah, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hasil pengumpulan data kejadian banjir dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) selama periode Januari 2012 – September 2012 di wilayah P. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi terkumpul berturutturut sebanyak 304, 44, 8, dan 36 kejadian banjir (Gambar 5). Prosiding SNSA 2015 – Halaman 121
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
Citra MTSAT1R Harian
TRMM harian 27 Km
Peta Daerah Genangan
Rawan
Koreksi Geometrik Rezize 5 Km Konversi nilai radians menjadi suhu kecerahan (Tb) Klasifikasi Tinggi Hujan
Metode Price et.al. (1994) yang telah dimodifikasi
Klasifikasi Potensi Hujan Lebat (Tb = -25oC) Threshold -25º C
Informasi Daerah Potensi Banjir Harian
Overlay (tumpang-susun)
Data Kejadian banjir dari BNPB Inventarisasi tinggi hujan dan informasi potensi daerah genangan banjir di lokasi kejadian banjir
Menghitung persentase ketepatan informasi daerah berpotensi banjir & tinggi hujan pada daerah kejadian banjir
Gambar 1. Bagan Alir Proses Analisis Daerah Berpotensi Banjir Harian dan Hubungannya dengan Tinggi Hujan Pada Daerah Kejadian Banjir
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 122
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
Gambar 2. Contoh Informasi Daerah Berpotensi Banjir di pulau Jawa pada Tanggal 13 Januari 2012
Gambar 3. Contoh hasil tumpang-susun antara citra daerah berpotensi banjir dengan citra klasifikasi tinggi hujan dari TRMM dan titik-titik koordinat lokasi banjir pada tanggal 13 Januari 2012 di pulau Jawa
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 123
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
Titik lokasi kejadian banjir dari BNPB
Gambar 4. Contoh teknik inventarisasitinggi hujan dan daerah berpotensi banjir di beberapa lokasi kejadian banjir di Jakarta pada Tanggal 14 April 2012
Total kejadian banjir yang terkumpul adalah 392 kejadian banjir di seluruh wilayah P. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Informasi kejadian banjir yang diperoleh dari BNPB berupa titik koordinat posisi lokasi dan tanggal kejadian banjir. Selanjutnya, informasi kejadian banjir tersebut diplotkan pada citra daerahberpotensi banjir dari MTSAT dan klasifikasi tinggi hujan dari TRMM untuk mendapatkan Gambaran besaran tinggi hujan sebagai penyebab banjir dan seberapa tepat estimasi pada informasi daerah berpotensi banjir pada lokasi kejadian banjir tersebut. Hasil inventarisasi tinggi hujan dari TRMM dan daerah berpotensi banjir dari MTSAT pada titik koordinat lokasi kejadian banjir di seluruh wilayah P. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi selama periode Januari 2012 – September 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 172 kejadian banjir terjadi pada tinggi hujan antara 0 – 5 mm, 118 kejadian banjir pada tinggi hujan 5 – 20 mm, 66 kejadian banjir pada tinggi hujan 20 – 50 mm, dan hanya 36 kejadian banjir yang terjadi pada tinggi hujan lebih dari 50 mm. Sementara itu, dari 392 kejadian banjir hanya sebesar 32% (125 kejadian banjir) yang terdeteksi berada pada daerah berpotensi banjir, sedangkan selebihnya 68% (267 kejadian banjir) tidak berada di daerah yang terdeteksi sebagai daerah berpotensi banjir. Kondisi ini terjadi hampir di Prosiding SNSA 2015 – Halaman 124
semua selang kelas tinggi hujan, kecuali pada kelas tinggi hujan 50 – 100 mm (Gambar 6). Berdasarkan Gambar 7 tampak bahwa sebagian besar kejadian banjir di wilayah P. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi pada semua kelas tinggi hujan tidak berada pada daerah yang terdeteksi sebagai daerah berpotensi banjir, seperti di P. Jawa pada kelas tinggi hujan 0 – 5 mm hanya 47 kejadian banjir yang berada di lokasi yang terdeteksi berpotensi banjir sedangkan 85 kejadian banjir tidak berada di lokasi yang terdeteksi berpotensi banjir. Demikian pula halnya yang terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Selain itu, kejadian banjir di hampir semua wilayah terjadi paling banyak pada kelas tinggi hujan 0 – 5 mm dan 5 – 20 mm. Adanya ketidaksamaan waktu lintas satelit MTSAT dengan TRMM dan perbedaan resolusi temporal antara kedua data merupakan beberapa penyebab ketidaksesuaian antara potensi banjir dengan tinggi hujan penyebab banjir. Hal ini dikarenakan cuaca sangat cepat berubah dan berpindah. Makin jauh perbedaan waktu lintas satelit, maka semakin berpengaruh terhadap ketepatan estimasi curah hujan. Semakin kecil perbedaan waktu lintas kedua satelit, maka distribusi awan hujan antara kedua citra secara spasial relatif sama sehingga mampu menangkap kondisi cuaca dalam waktu yang relatif juga sama.13
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
KESIMPULAN Informasi daerah berpotensi banjir yang diektraksi dari data MTSAT 1-R memiliki akurasi hanya sekitar 32% (125 kejadian banjirdari 392 kejadian banjir) selebihnya 68% terjadi pada daerah yang terdeteksi tidak berpotensi banjir. Sebanyak 43.9% kejadian banjir terjadi pada tinggi hujan antara 0 – 5 mm dan hanya sekitar 9.2% pada tinggi hujan lebih dari 50 m. Dengan demikian, pemanfaatan kedua informasi terkait prediksi banjir tersebut masih perlu kajian lebih lanjut. Gambar 5. Jumlah kejadian banjir periode Januari 2012 – September 2012 di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bidang Proinfo, Pusfatja, LAPAN atas bantuan pengolahan datanya dan Tim Mitra Bestari atas koreksinya serta LAPAN yang telah mendanai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Gambar 6. Distribusi kejadian banjir pada masingmasing kelas tinggi hujan dan keberadaannya pada daerah berpotensi banjir
Gambar 7. Distibusi kejadian banjir pada masingmasing kelas tinggi hujan dan keberadaannya pada daerah potensi banjir di P. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi
Kavetski, D.; Kuczera, G.; Franks, S.W., 2006.“Bayesian analysis of input uncertainty in hydrological modeling: 2 Application”. Water Resources Research, 42, (W03408) (doi:10.1029/2005WR004376). [Diakses pada Tanggal 20 Juni 2015] 2 Krzyzstofowicz, R. 2001. “The case for probabilistic forecasting in hydrology”. Journal of Hydrology, 249, p: 2–9.[Diakses pada Tanggal 20 Juni 2015] 3 Negri, A; Burkardt, N.; Golden, J.H.; Halverson, J.B.; Huffman, G.J.; Larsen, M.C.; Mcginley, J.A.; Updike, R.G.; Verdin, J.P; Wieczorek, J.F. 2004. “The Hurricane-Flood-Landslide Continuum”, Bulletin of American Meteorological Society (doi:10.1175/BAMS86-9-1241). [Diakses pada Tanggal 20 Juni 2015] 4 Hong, Yang, R.F. Adler, A. Negri, and G.J. Huffman, 2007. “Flood and Landslide Applications of Near Real-time Satellite Rainfall Estimation”, Journal of Natural Hazards, DOI: 10.1007/s11069-006-9106-x. [Diakses pada Tanggal 20 April 2015] 5 Hong, Y., Adler, R., and Huffman, G., 2006. “Evaluation of The Potential of NASA MultiSatellite Precipitation Analysis in Global Landslide Hazard Assessment”,Geophysical Research Letters, 33, L22402, doi:10.1029/2006GL028010.[Diakses pada Tanggal 20 April 2015] 6 Begkhuntod, P., 2007. “Application of Sattelite Information for Flood Risk Reduction in Mekong River Basin”, Regional Workshop on Prosiding SNSA 2015 – Halaman 125
Indah Prasasti dan Any Zubaidah
Innovative Approaches to Flood Risk Reduction in The Mekong Basin, Khon Kaen, Thailand: 17 – 19 October 2007. [Diakses pada Tanggal 20 April 2015]. 7 Strangeways, I., 2007. “Precipitation Theory, Measurement and Distribution”, Cambridge, Cambridge Univerisity Press. 8 Carleton, A. M., 1991. “Satellite Remote Sensing in Climatology”, London, Belhaven Press. 9 Kidd, C. and Levizanni, V., 2010. “Status of Satellite Precipitation Retrivals”, Proceeding “Earth Observation and Water Cycle Science”, Frascati, Italy, 18 – 20 November 2009. 10 JMA, 2003. “JMA HRIT Mission Specific Implementation”, Retrieved 20 May, 2008, from http://www.jma.go.jp/jma/jmaeng/satellite/mtsat1r/4.2HRIT_1.pdf. 11 JAXA, 2002. “TRMM data users handbook”, Retrieved 12 November 2007, from http://www.eorc.nasda.go.jp/TRMM/documen t/text/handbook_e.pdf. 12 Chen, C., Z. Yu, L. Li, C. Yang., 2011. “Adaptability Evaluation of TRMM Satellite Rainfall and Its Application in Dongjiang River Basin”, Procedia Environmental Sciences 10, 2011 3rd International Conference on Environmental Science and Information Application Technology (ESIAT 2011). Doi:10.1016/j.proenv.2011. 09.065. p: 396 – 402. [Diakses Tanggal 30 Juli 2015]. 13 Suseno, D. P. Y, 2009. “Geostationary Satellite Based Rainfall Estimation for Hazard Studies and Validation: A Case study of Java Island, Indonesia”, [Thesis], Double Degree M.Sc Programme Gadjah Mada University – International Institute for Geo-Information Science and Earth Observasion, Yogyakarta, [Diakses tanggal 10 Februari 2012]. 14 Parwati, Suwarsono, Ayu, K., Kartasasmita, M., 2009. “Penentuan Hubungan antara Suhu Kecerahan Data MTSAT dengan Curah Hujan Data QMorph”, Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 6, p: 32 – 42. 15 Haryani, N.S., Fajar, Y., Manoppo, K.A., 2011. “Laporan Akhir Kegiatan Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana”, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, LAPAN, Jakarta. 16 Zubaidah, A. dan Prasasti, I,2012. ”Analisis Daerah Potensi Banjir di Indonesia Berbasis Penginderaan Jauh”, Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer, PSTA, Pusat Sains Atmosfer, LAPAN, Bandung, Juni 2013. ISBN: 978-979-1458-64-1.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 126
Indah Susanti, dkk.
KARAKTERISTIK AEROSOL DAN RADIATIVE FORCING SELAMA PRAMONSUN DAN PASCA MONSUN ASIA DI INDONESIA AEROSOL AND RADIATIVE FORCING CHARACTERISTIC DURING ASIA PRE-MONSOON AND POST-MONSOON OVER INDONESIA Indah Susanti, Rosida, Waluyo Eko Cahyono, dan Nani Cholianawati PSTA – LAPAN Bandung Jl. Djundjunan 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT This paper describes radiative characteristics of aerosol using MODIS data and CERES for pre-monsoon period (March, April and May) and post-monsoon (September, October and November) on Indonesia. The period of data used from March 2000 to December 2011. In the analysis performed two different scope, the scope Indonesia (20˚LS-20˚LU, 80˚-150˚BT) dam scope of Kalimantan (3˚LS-2˚LU , 110˚-115˚BT). Data Aerosol optical depth (AOD) from MODIS shows the difference in value between the pre and post monsoon to both the scope of the study. The average value of AOD to the scope Indonesia is in the pre monsoon 0.152 and 0.175 in the pre-monsoon. As for the scope of Kalimantan, the average value of AOD is 0.134 in the pre monsoon and post-monsoon 0.366 in the period. AOD values were higher during the post-monsoon generally produced from the pollutant load of fire. By using the slope method can be obtained information that the cooling effect occurred greater in the post-monsoon period, the ARF value of -20.11 for the case of the scope of Kalimantan, and -5.38 for the scope of the case of Indonesia. In the pre-monsoon period, ARF-value of 3.57 for scope Indonesia and -5.38 for the scope of Kalimantan. In addition, the post-monsoon period indicates that aerosols have a higher effectiveness in influencing the net radiation at the surface. Keywords: ARF, AOD, heating, cooling, monsoon. ABSTRAK Makalah ini menjelaskan karakteristik radiatif aerosol dengan menggunakan data MODIS dan CERES untuk periode pra-monsun (Maret, April dan Mei) dan pasca monsun (September, Oktober dan November) di atas Indonesia. Periode data yang digunakan dari dari Maret 2000- Desember 2011. Dalam analisisnya dilakukan 2 lingkup yang berbeda, yaitu lingkup Indonesia (20˚LS-20˚LU, 80˚-150˚BT) dam lingkup Kalimantan (3˚LS-2˚LU, 110˚-115˚BT). Data Aerosol optical depth (AOD) dari MODIS menunjukkan perbedaan nilai antara pra dan pasca monsun untuk kedua lingkup kajian. Rata-rata nilai AOD untuk lingkup Indonesia adalah 0,152 pada pra monsun dan 0,175 pada pra monsun. Sedangkan untuk lingkup Kalimantan, nilai rata-rata AOD adalah 0,134 pada periode pra monsun dan 0,366 pada periode pasca monsun. Nilai AOD yang lebih tinggi selama pasca monsun pada umumnya dihasilkan dari beban polutan kebakaran. Dengan menggunakan slope method dapat diperoleh informasi bahwa efek pendinginan yang terjadi lebih besar terjadi pada periode pasca monsun, dengan nilai ARF sebesar 20,11 untuk kasus lingkup Kalimantan, dan -5,38 untuk kasus lingkup Indonesia. Pada periode pra monsun, ARF bernilai 3,57 untuk lingkup Indonesia dan -5,38 untuk lingkup Kalimantan. Selain itu, pada periode pasca monsun menunjukkan bahwa aerosol memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam mempengaruhi radiasi netto di permukaan. Kata kunci : ARF, AOD, pemanasan, pendinginan, monsun.
PENDAHULUAN Aerosol merupakan salah satu komponen penting dalam komposisi atmosfer. Banyak ahli telah melakukan penelitian terkait dengan aerosol dan interaksinya dengan iklim, diantaranya adalah Menon1, Lou2, Hansen3 dan Ramanathan.4 Mereka menyatakan bahwa aerosol menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap keseimbangan energi di atmosfer dan di
permukaan bumi, sehingga memodulasi siklus hidrologi. Interaksi aerosol dan siklus hidrologi, baik global maupun regional, merupakan hal yang kompleks. Hal ini karena adanya pengaruh dari berbagai variabel yang mengontrol sumber dan transportasi aerosol, perbedaan karakteristik fisis dan kimiawi aerosol serta umpan balik yang mungkin terjadi terhadap sirkulasi umum atmosfer. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 127
Indah Susanti, dkk.
Aerosol memencarkan dan/atau menyerap radiasi sinar matahari, sehingga memberi efek pendingingan terhadap permukaan, yang dikenal sebagai efek langsung dari aerosol terhadap iklim. Reduksi radiasi sinar matahari pada permukaan sering disebut sebagai efek “solar dimming”. Solar dimming tersebut dapat meluas secara global yang disebabkan adanya perbedaan distribusi sumber-sumber aerosol alami dan antropogenik berdasarkan ruang dan waktu, serta transpor jarak jauh partikel aerosol berukuran kecil.5 Pendinginan permukaan dari adanya solar dimming, dapat menstabilkan troposfer bawah dan membatasi konveksi, karena permukaan bumi mendingin dalam kuantitas yang lebih besar daripada pendinginan atmosfer di atasnya. 6 Cara lain aerosol dapat mempengaruhi siklus air adalah melalui interaksinya dengan prosesproses mikrofisika awan, dimana peningkatan aerosol yang bertindak sebagai cloud condesation nuclei (CCN), menyebabkan pembentukan droplet air yang lebih kecil dengan jumlah yang lebih banyak dan meningkatkan pemencaran, meningkatkan albedo awan, dan memantulkan radiasi sinar matahari lebih banyak, semua ini disebut sebagai efek tidak langsung yang pertama.7 Droplet kecil membatasi kolisi dan koalisensi, memperpanjang waktu tinggal awan dan menghambat tetes awan menjadi tetes hujan. Hal ini merupakan efek tidak langsung yang kedua.8 Hal ini mengakibatkan awan yang terbentuk menjadi lebih banyak dan meningkatkan pantulan radiasi sinar matahari, serta pendinginan yang lebih banyak terhadap permukaan bumi. Terdapat kemungkinan lain mengenai hal tersebut, yaitu bahwa dalam lingkungan atmosfer terjadi peningkatan kelembaban dan gaya apung (buoyansi), peningkatan aerosol higroskopik yang dapat mengaktivasi CCN lebih banyak dan mempercepat pertumbuhan melalui proses difusi dan kolisi, yang pada akhirnya meningkatkan curah hujan.9 Presipitasi global merupakan komponen utama bagi siklus air dan energi global yang mempengaruhi sistem iklim bumi secara global. Aerosol diketahui memberikan dampak pada pembentukan dan siklus awan. Sejumlah pengukuran menunjukkan bahwa aerosol antropogenik seringkali mengubah awan dan karakteristik optiknya.10 Aerosol dapat dihasilkan oleh alam dan oleh aktivitas manusia. Percampuran aerosol dari berbagai sumber dapat menghasilkan komposit zat kimia yang berbeda, yang menentukan indeks refraktif aerosol.11 Pada akhir-akhir ini, di antara negara-negara monsun Prosiding SNSA 2015 – Halaman 128
Asia seperti India dan Cina, persoalan aerosol menjadi persoalan yang akut karena peningkatan beban polutan atmosfer berhubungan dengan cepatnya industrialisasi dan modernisasi, terutama di kota-kota besar. Di sisi lain, pembangunan berkelanjutan di negara-negara yang mengalami monsun Asia tergantung pada keberaturan monsun, yang mensuplay kebutuhan air untuk hampir seluruh wilayah. Penemuan penelitian kontemporer telah mendorong kepedulian yang lebih banyak mengenai efek potensial aerosol radiative forcing pada besarnya fluktuasi hujan monsun India dan sirkulasi beberapa tahun terakhir. Sampai saat ini, kebanyakan studi mengenai aerosol lebih berfokus pada aspek radiatif, mikrofisis, dan kimiawi dari aerosol dan interaksinya dengan awan dan presipitasi pada spasial yang terlokalisir dan dengan skala temporal di bawah kondisi dimana kontrol dinamika atmosfer relatif lemah atau tidak berubah. Berdasarkan perspektif global, kombinasi efek aerosol dari sumber lokal dan dari proses-proses transport yang terjadi dalam bagian-bagian berbeda dari bola bumi, dan dalam musim-musim yang berbeda, sangat mungkin untuk mengubah pola pemanasan skala besar dan gradien tekanan serta menginduksi perubahanperubahan sirkulasi global atmosfer, mempengaruhi proses-proses pembentukan awan dan hujan. Anomali pemanasan adiabatik dari curah hujan dan awan, selanjutnya dapat mengendalikan sirkulasi global atau regional, yang kembali dapat mengubah karakter dan distribusi aerosol, yang memberikan umpan balik pada pengaruh-pengaruh lokal.9 Lau12 telah melakukan eksperiman dengan menggunakan data General Circulation Model (GCM) dan menemukan bahwa anomali pemanasan atmosfer oleh absorbing aerosols (aerosol penyerap) dapat menyebabkan advance monsun dan intensifikasi lanjutan dari monsun India dengan anomali curah hujan yang meningkat di atas India bagian utara dan Teluk Benggala. Percepatan/kemajuan (the advance monsun) monsun tersebut karena percepatan pemanasan di troposfer atas di atas Dataran Tibet pada bulan April-Mei yang diinduksi oleh aerosol penyerap, terutama black carbon dan debu di atas lereng Dataran Tibet sebelah selatan dan utara. Karena udara yang hangat naik, anomali pemanasan troposfer atas bertindak sebagai elevated heat pump (EHP) yang menarik udara lembab yang hangat dari bawah, menyebabkan peningkatan curah hujan musim panas di India bagian utara. Efek ini konsisten dengan studi-
Indah Susanti, dkk.
studi sebelumnya yang mengindikasikan pentingnya fluks radiatif dan fluks panas sensibel di Dataran Tibet dalam mempengaruhi evolusi menerus dari monsum musim panas Asia (Wu dan Zhang, 1998). Intensifikasi monsun India adalah bagian dari anomali sirkulasi skala besar yang terkait dengan pola anomali dipole sea level pressure. Anomali dipole pressure meningkatkan monsun India dengan memperkuat aliran baratan di level bawah di atas India tengah dan utara, namun memperlemah monsun barat daya di Cina Selatan, sehingga menggeser rain belt Mei-yu ke arah barat laut, dan menekan curah hujan di atas Asia Timur dan wilayah lautan yang berdekatan. Indonesia merupakan negara di ekuator yang siklus airnya sangat dipengaruhi oleh monsun. Di sini lain, pertumbuhan ekonomi dan proses pembangunan, telah menyebabkan peningkatan aktivitas ekonomi, yang berdampak pada peningkatan konsentrasi polutan di atmosfer, termasuk aerosol. Berdasarkan hal ini, sangat dimungkinkan bahwa aerosol akan memberikan pengaruh pada siklus air atmosfer dan sistem sirkulasi regional yang ada di Indonesia. Kajian ini bertujuan mempelajari dengan interaksi antara aerosol dan sistem monsun di Indonesia, namun lebih menekankan pada pengaruh monsun terhadap konsentrasi aerosol dan dampaknya pada neraca radiasi di permukaan. Dengan demikian, karakteristik aerosol dan efek radiatifnya dianalisis berdasarkan musiman, terutama kondisi sebelum dan setelah monsun Asia. Beberapa kejadian yang bersifat lokal akan memberikan karakteristik khusus pada variasi aerosol dan dampaknya. Pada tulisan ini dibandingkan kasus yang terjadi di Kalimantan terhadap rata-rata total seluruh Indonesia. Perbandingan dilakukan terhadap variable AOD, radiasi netto di permukaan, aerosol radiative forcing (ARF) dan efektivitas pengaruh aerosol terhadap radiasi netto di permukaan. METODOLOGI Data yang digunakan untuk kajian ini adalah data Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES) yang mencakup parameter gelombang panjang dan gelombang pendek di permukaan, serta data Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang mencakup parameter aerosol optical depth (AOD). Baik data CERES maupun data MODIS, keduanya memiliki resolusi spasial 1 derajat dan resolusi temporal bulanan, dengan periode Maret 2000 sampai Desember 2011. Pengambilan periode data ini didasarkan pada kesesuaian periode
ketersediaan data MODIS dan CERES. Dalam analisisnya dilakukan 2 lingkup yang berbeda, yaitu lingkup Indonesia (20˚LS-20˚LU, 80˚150˚BT) dam lingkup Kalimantan (3˚LS-2˚LU, 110˚-115˚BT). Berdasarkan perbandingan ini diharapkan akan dapat memunculkan karakteristik lokal yang lebih spesifik dibandingkan dengan kasus umum yang terjadi di Indonesia. Perbandingan dilakukan terhadap beberapa parameter yang dapat menggambarkan perbedaan kondisi aerosol, kondisi radiasi, efek radiatif aerosol, dan efektivitas aerosol dalam mempengaruhi radiasi di permukaan Parameter yang digunakan sebagai indikator pengaruh aerosol terhadap energi radiatif adalah aerosol radiative forcing (ARF), yang difokuskan pada level permukaan. Aerosol radiative forcing di permukaan ditentukan sebagai perbedaan antara fluks netto di permukaan pada kondisi ‘bersih’ dan fluks netto pada kondisi terpolusi (persamaan 1). Apabila disusun berdasarkan komponennya, ARF total merupakan penjumlahan ARF untuk gelombang pendek dan ARF untuk gelombang panjang (persamaan 2), yang masing-masing merupakan selisih antara fluks radiasi dalam kondisi terpolusi aerosol dan fluks radiasi dalam kondisi bersih (persamaan 3 dan 4), seperti persamaan berikut :
dengan : • SWF adalah komponen gelombang pendek dari radiative forcing • LWF adalah komponen gelombang panjang dari radiative forcing •
adalah fluks total netto di permukaan dalam kondisi terpolusi aerosol
•
adalah fluks total netto di permukaan dalam kondisi tanpa aerosol
diperoleh dari nilai fluks total dengan kesesuaian grid dan waktu yang sama dengan kondisi aerosol yang direpresentasikan dengan nilai aerosol optical depth (AOD). Untuk menentukan kuantitas atau nilai radiasi dalam kondisi tanpa aerosol, digunakan slope-method. Metode ini sering digunakan oleh beberapa peneliti, diantaranya Rajeev.13 Slope method digunakan Rajeev untuk memperoleh nilai Prosiding SNSA 2015 – Halaman 129
Indah Susanti, dkk.
intercept sebagai pendekatan untuk memperoleh nilai albedo TOA pada kondisi cerah saat tidak ada aerosol sedangkan nilai slope digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui efektivitas aerosol dalam mempengaruhi radiasi (aerosol forcing effectivity, AFE), dalam hal ini radiasi di permukaan. Berdasarkan ARF hasil estimasi, ditentukan rata-rata musiman, Maret-April-Mei (MAM) yang mewakili periode pra-monsun, dan September-Oktober-November (SON) yang mewakili pasca-monsun. Untuk menunjang analisis, dilakukan analisis komposit antara parameter AOD dan radiasi netto di permukaan.
a
HASIL DAN PEMBAHASAN Aerosol optical depth (AOD) Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa aerosol di Indonesia memiliki variasi spasial dan temporal yang tinggi. Secara spasial, Indonesia bagian barat seperti Kalimantan, Sumatera bagian timur, dan sebagian dari pulau Jawa, menunjukkan kondisi aerosol dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia bagian timur. Secara temporal, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara rata-rata AOD untuk periode Maret-April-Mei (MAM) dan periode September-Oktober-November (SON). AOD pada periode SON menunjukkan konsentrasi aerosol yang lebih tinggi dibandingkan periode MAM, dimana pada periode SON, konsentrasi tertinggi terjadi di Kalimantan dengan nilai AOD lebih dari 0,55, sedangkan untuk periode MAM, konsentrasi tertinggi terjadi di Sumatera bagian barat dengan nilai AOD tidak lebih dari 0,45. Gambar 1 merupakan peta AOD Indonesia untuk periode MAM dan SON. Perbedaan nilai AOD juga ditunjukkan dalam batas lingkup yang berbeda, dimana rata-rata nilai AOD untuk lingkup Indonesia adalah 0,152 pada pra monsun dan 0,175 pada pasca monsun. Sedangkan untuk lingkup Kalimantan, nilai rata-rata AOD adalah 0,134 pada periode pra monsun dan 0,366 pada periode pasca monsun.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 130
b
Gambar 1. Variasi spasial rata-rata Aerosol optical depth (AOD) tahun 2000-2011 untuk periode MAM (a) dan SON (b)
Tingginya nilai AOD di Kalimantan untuk ratarata periode SON disebabkan karena adanya kontribusi yang cukup besar dari kejadian kebakaran hutan yang sering terjadi di daerah tersebut. Monsun musim panas Asia yang menyebabkan penurunan curah hujan dan terjadi musim kemarau, memberikan pengaruh pada peningkatan kekeringan di wilayah Indonesia, sehingga mempermudah terjadinya kebakaran. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh KLHK, kebakaran di Indonesia memang cenderung terjadi pada periode Agustus-November (pasca monsun) saat kondisi hutan benar-benar kering. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan, memberikan kontribusi yang cukup besar pada variasi temporal AOD dan menyebabkan terjadinya nilai yang cukup ekstrim. Dengan membandingkan nilai rata-rata Kalimantan dan rata-rata seluruh Indonesia dalam deret waktu, dapat diketahui bahwa pada tahun 2002 dan 2006 di Kalimantan terbentuk nilai AOD yang sangat tinggi dan menjadi ektrim bila dibandingkan dengan rata-rata AOD untuk seluruh Indonesia. Pada tahun 2002, saat nilai AOD rata-rata Indonesia 0,219, di Kalimantan mencapai 1,74, dan pada tahun 2006 saat nilai AOD rata-rata Indonesia berkisar 0,313, AOD rata-rata di Kalimantan mencapai 1,9. Baik untuk tahun 2002
Indah Susanti, dkk.
maupun tahun 2006, keduanya terjadi pada pasca monsun (September 2002 dan Oktober 2006). Secara detail, perbedaan nilai AOD rata-rata Kalimantan dan rata-rata Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. Kebakaran hutan yang terjadi Kalimantan, tidak hanya memberikan efek lokal pada peningkatan AOD, tapi juga pada wilayah yang lebih luas. Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia bagian barat mengalami peningkatan nilai AOD yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Kalimantan. Rata-rata nilai AOD Indonesia yang berkisar 0,152, menjadi 0,219 pada tahun 2002 dan menjadi 0,313 pada tahun 2006. Hal ini terlihat pula dari kenaikan nilai minimalnya. Nilai nilai minimal yang tercantum dalam Gambar 4 adalah nilai minimal perbandingan dari seluruh grid pada masing-masing periode. Jika aerosol hasil kebakaran hutan di Kalimantan tidak memberikan efek pada tebal optis aerosol daerah lain, maka seharusnya grid-grid di daerah lain tidak berubah dan nilai AOD terkecil tidak akan menunjukkan perubahan yang signifikan. Surface Netto radiation in Clear sky (SNC) Secara spasial, terjadi variasi yang cukup besar antara SNC periode pra monsun (MAM) dan pasca monsun (SON). Variasi pertama dapat dilihat untuk daerah lautan, dimana untuk periode pra monsun nilai tertinggi (lebih dari 240 W/m2) ada di utara ekuator, tepatnya di barat Pasifik atau sebelah utara Papua, sedangkan untuk periode pasca monsun, nilai tertinggi (lebih dari 240 W/m2) ada di selatan ekuator atau bagian timur dari Lautan Hindia.
a
b
Gambar 3. Variasi spasial rata-rata Aerosol optical depth (AOD) periode SON tahun 2002 (a) dan 2006 (b).
Gambar 4. Variasi temporal nilai minimal AOD untuk wilayah Indonesia
Gambar 2. Variasi temporal bulanan rata-rata AOD untuk wilayah Indonesia dan untuk wilayah Kalimantan
Selain itu terjadi pula di selatan Papua dalam lingkup wilayah yang lebih kecil. Hal ini dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 5. Variasi radiasi netto di permukaan laut ini, lebih dipengaruhi posisi relatif terhadap matahari. Variasi kedua, untuk daratan, selain pengaruh posisi relatif terhadap matahari, kondisi permukaan juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap variasi SNC. Wilayah yang paling menunjukkan perbedaan SNC antara periode pra dan pasca monsun adalah Kalimantan, dimana pada periode pasca monsun memiliki nilai SNC yang lebih rendah dibandingkan pra monsun (dibawah 190 W/m2). Untuk sebagian besar wilayah Kalimantan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 131
Indah Susanti, dkk.
menunjukkan nilai SNC yang relatif tinggi periode pra-monsun berkisar antara 205 sampai 225 W/m2. Daerah lainnya tidak menunjukkan variasi yang terlalu besar seperti yang terjadi di Kalimantan. Dalam deret waktu, SNC di Kalimantan memang menunjukkan variasi yang cukup besar. Dikatakan cukup besar karena fluktuasi yang terbentuk, lebih besar dibandingkan dengan fluktuasi untuk rata-rata seluruh Indonesia. Selain dari variasinya yang besar, pada periode tertentu di Kalimantan menunjukkan perbedaan pola dengan rata-rata Indonesia. Pada November 2006 saat SNC rata-rata Indonesia mengalami peningkatan, untuk Kalimantan justru mengalami penurunan yang sangat tajam, sampai menjadi sekitar 120 W/m2. Nilai tersebut merupakan nilai terendah dalam periode yang dikaji. Untuk lebih detail, perubahan SNC di Kalimantan dalam deret waktu dan perbandingannya dengan rata-rata Indonesia, dapat dilihat pada Gambar 6. Jika variasi SNC semata-mata hanya dari pengaruh perubahan posisi relatif matahari terhadap bumi, maka variasinya akan cenderung menjadinya sebuah sinusoidal murni. Namun dengan adanya perubahan komposisi atmosfer, memungkinkan terjadi anomali positif (penguatan SNC) atau anomali negatif (pelemahan SNS) atau dimming seperti yang diungkapkan oleh banyak peneliti seperti Ackerman6 dan Twomey7. Apabila dilihat kembali Gambar 4, dan dibandingkan dengan Gambar 6, maka secara sekilas dapat dilihat bahwa SNC menunjukkan pola berbanding terbalik dengan AOD. Hal ini bersesuaian dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Menon1, Lou2, Hansen3, Ramanathan4, maupun 6 10 Ackerman dan Kaufman , yang menunjukkan bahwa aerosol memberikan pengaruh signifikan pada iklim, terutama pada keseimbangan neraca radiasi, yang pada umumya memberikan efek pendinginan atau dimming. Meskipun banyak penelitian menganalisa tren radiasi matahari di seluruh dunia, sangat sedikit telah dilakukan di Indonesia. Kambezidis14 mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Padma Kumari pada tahun 2007, yang menganalisis variasi radiasi matahari rata-rata bulanan di 12 stasiun di perkotaan di India untuk periode 1984-2004. Mereka melaporkan rata-rata penurunan radiasi matahari kurang lebih 0.86 W/m2 per tahun, sementara selama periode musim dingin, pra-monsun dan monsun pengurangan tersebut terjadi sekitar 0.94, 1.04 dan 0,74 W/m2. Hal ini menunjukkan perbedaan kondisi radiasi yang cukup signifikan antara satu Prosiding SNSA 2015 – Halaman 132
musim dengan musim lainnya, seperti juga yang terjadi di Indonesia. Apa yang dilakukan Kumari dengan hasil estimasi dalam penelitian ini, keduanya menunjukkan kemiripan pola dan karakter yang terlokalisir, meskipun tetap akan menunjukkan banyak perbedaan yang disebabkan faktor geografis dan komposisi atmosfernya. a
b
Gambar 5. Variasi spasial Surface Netto radiation in Clear sky (SNC) rata-rata untuk periode MAM (a) dan SON (b) tahun 2000-2011 dalam Watt/m2.
Gambar 6. Deret waktu variasi temporal Surface Netto radiation in Clear sky (SNC) rata-rata bulanan untuk Kalimantan dan seluruh wilayah Indonesia dari Maret 2000 sampai Desember 2011.
Aerosol Radiative Forcing (ARF) Radiasi yang sampai di permukaan bumi, merupakan ‘sisa’ dari proses penyerapan, pemencaran serta pemantulan oleh gas dan partikel-partikel di atmosfer, yang terjadi pada gelombang pendek dari matahari dan gelombang panjang dari bumi yang dipantulkan kembali ke permukaan, sehingga fluktuasi radiasi netto di
Indah Susanti, dkk.
permukaan sangat ditentukan oleh komposisi atmosfer yang dilewatinya. Salah satu komponen yang mempengaruhi neraca radiasi di permukaan adalah komponen aerosol dalam atmosfer. Perbedaan kondisi atmosfer Kalimantan dengan rata-rata seluruh Indonesia, salah satunya disebabkan adanya konsentrasi aerosol yang lebih tinggi. Apabila dibuat rata-rata untuk seluruh grid dan untuk seluruh periode kajian, maka dapat dibandingkan nilai rata-rata tersebut untuk seluruh Indonesia dan khusus untuk Kalimantan. Nilai rata-rata AOD adalah adalah 0,159 untuk Indonesia dan 0,241 untuk Kalimantan. Nilai SNC rata-ratanya adalah 204,74 W/m2 untuk Indonesia dan 195,87 W/m2 untuk Kalimantan. Ini memberika indikasi bahwa antara konsentrasi aerosol dan radiasi netto di permukaan memiliki korelasi terbalik, atau dapat pula dikatakan bahwa aerosol menyebabkan penurunan radiasi yang sampai di permukaan bumi. Hal ini sejalan juga dengan komposit time series antara AOD dan SNC di Kalimantan seperti pada Gambar 7(a). Penurunan SNC yang drastis di Kalimantan, terjadi pada saat nilai AOD mengalami lonjakan, seperti yang terjadi pada tahun 2002 dan 2006. Pola ini mendukung mendukung pernyataan dan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Stanhill5, Ackerman6, dan Ramanathan15, bahwa aerosol memberikan dimming effect terhadap permukaan bumi. Dimming effect seperti yang terlihat dalam pola radiasi dan AOD di Kalimantan, tidak dapat terlihat dalam rata-rata wilayah yang lebih luas. Komposit deret waktu rata-rata AOD dan SNC untuk seluruh grid wilayah Indonesia pada Gambar 7(b), tidak menunjukkan pola yang sama seperti kasus spesifik di Kalimantan. Dengan demikian, dimming effect atau efek pendinginan permukaan yang disebabkan aerosol lebih bersifat lokal dimana aerosol tersebut berada. Meskipun demikian, sering dikatakan bahwa aerosol memberikan efek global pada pendinginan permukaan. Hal ini lebih disebabkan faktor tranportasi aerosol yang bersifat global, yang dipengaruhi oleh berbagai sirkulasi atmosfer. Ketika aerosol dapat mencapai ketinggian dimana sirkulasi global terjadi, maka aerosol dapat menyebar secara luas dan memberikan efek dimana aerosol tersebut tersebar. Efek aerosol terhadap radiasi sering dinyatakan sebagai aerosol radiative forcing.
a
b Gambar 7. Komposit deret waktu antara AOD dan SNC untuk Kalimantan (a) dan seluruh wilayah Indonesia (b) dari Maret 2000 sampai Desember 2011.
Seperti dikemukakan dalam bagian data dan metodologi, ARF ditentukan dari perbedaan antara net radiasi pada kondisi berpolusi (aerosol) dan net radiasi pada kondisi bersih. Kondisi bersih diestimasi berdasarkan nilai intercept dari slope method. Hasil Slope method antara AOD dan SNC untuk rata-rata Indonesia dan kasus Kalimantan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposit deret waktu antara AOD dan SNC untuk Kalimantan dan seluruh wilayah Indonesia dari Maret 2000 sampai Desember 2011
Indonesia Pra monsun Pasca monsun Kalimantan Pra monsun Pasca monsun
Persamaan regresi
SNC aer
ARF 2 (W/m )
Y = 17,869x+204 Y = -41,698x+217,7
207,57 210,39
3,57 -7,31
Y = -36,926x+210,52 Y = -54,796x+215,88
205,54 195,77
-5,38 -20,11
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dalam lingkup yang lebih kecil (lingkup Kalimantan dibandingkan dengan lingkup Indonesia), ARF lebih mudah dideteksi dan mendukung penyataan bahwa aerosol memberikan efek pendinginan bagi permukaan.15 Apabila dibuat perbandingan antara pra monsun dan pasca monsun, maka efek pendinginan yang terjadi lebih besar terjadi pada periode pasca monsun, dengan nilai ARF sebesar -20,11 untuk kasus lingkup Kalimantan, dan -5,38 untuk kasus lingkup Indonesia. Adanya beban aerosol dalam Prosiding SNSA 2015 – Halaman 133
Indah Susanti, dkk.
atmosfer yang lebih tinggi pada periode pasca monsun disebabkan tingkat emisi yang lebih tinggi dibandingkan proses deposisinya. Di satu sisi, rendahnya tingkat curah hujan selama monsun musim panas Asia sampai pasca monsun, menyebabkan kekeringan, hutan mudah terbakar dan mengemisikan gas polutan dan aerosol ke atmosfer. Di sisi lain, proses pencucian oleh curah hujan menjadi rendah dan proses deposisi kering polutan dan aerosol yang terjadi lebih dominan, yang tergantung pada gaya gravitas, arah dan kecepatan angin, serta jenis permukaan. Kecepatan angin yang tinggi serta jenis permukaan yang tidak kondusif untuk mempercepat terjadinya deposisi, menyebabkan aerosol berada di atmosfer dalam rentang waktu yang lebih lama. Sebaliknya, pada periode pra monsun pasca musim hujan di Indonesia, pada umumnya kelembaban permukaan lebih tinggi, sehingga mempermudah terjadinya deposisi kering. Selain itu, emisi aerosol, khususnya dari kebakaran hutan, cenderung lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan ARF pada periode pasca monsun lebih tinggi dibandingkan periode pra monsun. Hal lain yang dapat ditunjukkan dari Tabel 1 adalah bahwa pada periode pasca monsun, aerosol lebih menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dalam mempengaruhi radiasi. Hal ini dapat dilihat dari nilai AFE yang diwakili oleh nilai slope persamaan di atas. Semakin negatif nilai slope dalam persamaan regresi di atas, maka semakin tinggi efektivitas aerosol dalam mempengaruhi radiasi netto di permukaan. Tidak seperti yang dikutip oleh Kambezidis14 terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Ohmura tahun 2009 yang menemukan rata-rata tren penurunan radiasi matahari sekitar 0,5 W/m2 per tahun, tren SNC di Indonesia belum menunjukkan adanya penurunan yang signifikan, namun masih tetap menunjukkan adanya peningkatan. Hasil kajian di Indonesia memang menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara jumlah radiasi yang sampai di permukaan dengan konsentrasi aerosol, namun tidak berarti terjadi penurunan nilai SNC dalam tren waktu yang dianalisis. Hasil kajian ini mendukung apa yang diungkapkan oleh Ramanathan15 yang menunjukkan bahwa penurunan radiasi matahari di permukaan seringkali berhubungan dengan peningkatan muatan aerosol atmosfer karena berkembang industrialisasi, polusi kendaraan, pembakaran biomassa dan kegiatan yang menghasilkan debu. Perbedaan antara tren radiasi yang terjadi di Indonesia dengan tren dikaji oleh Ohmura yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 134
dikuti oleh Kambezidis14, kemungkinan disebabkan adanya perbedaan periode kajian, dan bagian dari radiasi mana yang dianalisis. Dalam penelitian Ohmura, bagian yang dikaji lebih spesifik pada radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi, sedangkan dalam kajian ini adalah total radiasi netto (gabungan antara radiasi matahari dan radiasi gelombang panjang) yang sampai di permukaan bumi. Karena gelombang panjang bersumber dari bumi, maka terdapat kemungkinan bahwa terjebaknya gelombang panjang di atmosfer, mengakibatkan peningkatan jumlah radiasi total di permukaan bumi. Hal ini tentunya memerlukan kajian yang lebih dalam, apakah aerosol memberikan efek yang sama terhadap gelombang pendek dan gelombang panjang di permukaan. KESIMPULAN Interaksi antara aerosol dan sistem monsun di Indonesia menunjukkan adanya beban aerosol dalam atmosfer yang lebih tinggi pada periode pasca monsun disebabkan tingkat emisi yang lebih tinggi dibandingkan proses deposisinya. Selain itu, pada periode pasca monsun, aerosol lebih menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dalam mempengaruhi radiasi. Nilai negatif dari ARF menunjukkan bahwa aerosol memberikan efek pendinginan bagi permukaan. Apabila dibuat perbandingan antara pra monsun dan pasca monsun, maka efek pendinginan yang terjadi lebih besar terjadi pada periode pasca monsun. Hal ini menunjukkan adanya kesesuaian dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa aerosol cenderung memberikan efek pendinginan sebagai pengaruh langsung terhadap permukaan, yang disebabkan oleh karakternya yang dapat memencarkan dan memantulkan radiasi matahari, sehingga terjadi reduksi radiasi matahari yang sampai ke permukaan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala PSTA dan Kepala Bidang Komposisi Atmosfer, LAPAN Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh rekan di Bidang Komposisi Atmosfer yang telah memberikan saran dan masukannya. DAFTAR PUSTAKA 1
Menon S, Hansen J, Nazarenko L, Luo Y, Climate effects of black carbon aerosols in
Indah Susanti, dkk.
China and India. Science 297:2250–2253, 2002. 2 Lau, K. M., M. K. Kim, K. M. Kim, 2006. Asian summer monsoon anomalies induced by aerosol direct forcing: the role of the Tibetan Plateau, Climate Dynamics, 26: 855–864, DOI 10.1007/s00382-006-0114-z. 3 Hansen, J., M. Sato, L. Nazarenko, R. Ruedy, A. Lacis, D. Koch, I. Tegen, T. Hall, D. Shindell, B. Santer, P. Stone, T. Novakov, L. Thomason, R. Wang, Y. Wang, D. Jacob, S. Hollandsworth, L. Bishop, J. Logan, A. Thompson, R. Stolarski, J. Lean, R. Willson, S. Levitus, J. Antonov, N. Rayner, D. Parker, and J. Christy, 2002. Climate forcings in Goddard Institute for Space Studies SI2000 simulations. J. Geophys. Res., 107, no. D18, 4347, doi:10.1029/2001JD001143. 4 Ramanathan V, Chung C, Kim D, Bettge T, Buja L, Kiehl JT, Washington WM, Fu Q, Sikka DR, Wild M, 2005. Atmospheric brown clouds: impact on South Asian climate and hydrologic cycle. Proc Natl Acad Sci 102:5326–5333, DOI 10.1073/ pnas.0500656102. 5 Stanhill, G., and S. Cohen, 2001. Global dimming: a review of the evidence for a widespread and significant reduction in global radiation with discussion of its probable causes and possible agricultural consequences, Agric. For. Meteorol., 107, 255–278. 6 Ackerman, A. S., 2000. Reduction of tropical cloudiness by soot, Science,288(5468), 470 1042–1047, doi:10.1126/science.288.5468. 1042 7 Twomey, 1977. Atmospheric aerosols, Volume 7 of Developments in atmospheric science, Elsevier Scientific Pub. Co. 8 Rosenfeld, D., 2006. "Aerosol-Cloud Interactions Control of Earth Radiation and Latent Heat Release Budgets". Space Sci Rev 125 (1-4): 149–157. Bibcode: 2006SSRv. 125..149R. doi:10.1007/s11214-006-9053-6. 9 Li, Z., and T. Yuan, 2006. Exploring aerosolcloud-climate interaction mechanisms using the new generation of earth observation system data, Current problems in atmospheric radiation, Eds. H. Fischer and B.-J. Song, Deepak Pub, 1-4. 10 Kaufman, Y. J., L.A. Remer, D. Tanré, R. Li, R. Kleidman, S. Mattoo, R. C. Levy, T. F. Eck, B.N. Holben, C. Ichoku, J.V. Martins, and I.Koren, 2005. A Critical Examination of the Residual Cloud Contamination and Diurnal Sampling Effects on MODIS
Estimates of Aerosol Over Ocean. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 43, No. 12, 2889-2897. 11 Ranjan, R.R., H.P. Joshi, K.N. Iyer, 2007. Spectral Variation of Total Column Aerosol Optical Depth over Rajkot: A Tropical Semiarid Indian Station. Aerosol and Air Quality Research, Vol. 7, No. 1, pp. 33-45. 12 Lau, K.M., M. K. Kim, K. M. Kim, 2006. Asian summer monsoon anomalies induced by aerosol direct forcing: the role of the Tibetan Plateau. Climate Dynamics, 26: 855–864. DOI 10.1007/s00382-006-0114-z. 13 Rajeev, K., V. Ramanathan, Direct observations of clear-sky aerosol radiative forcing from space during the Indian Ocean Experiment, Journal of Geophysical Research, Vol. 106, No. D15, pages 17,221–17,235, August16, 2001. 14 Kambezidis, H.D.,D.G. Kaskaoutis, S.K. Kharol, K.K. Moorthy, S.K. Satheesh, M.C.R. Kalapureddy, K.V.S. Badarinath, A.R. Sharma, M. Wild, 2012. Multi-decadal variation of the net downward shortwave radiation over south Asia: The solar dimming effect. Atmospheric Environment 50, 360-372. 15 Ramanathan V, Chung C, Kim D, Bettge T, Buja L, Kiehl JT, Washington WM, Fu Q, Sikka DR, Wild M, Atmospheric brown clouds: impact on South Asian climate and hydrologic cycle. Proc Natl Acad Sci 102:5326–5333, DOI 10.1073/pnas.0500656102, 2005
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 135
Krismianto
KOREKSI BIAS DATA SATELIT TRMM 3B43V7 UNTUK WILAYAH PULAU JAWA BIAS CORRECTION OF SATELLITE TRMM 3B43V7 DATA OVER THE JAVA REGION Krismianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Rainfall data based on surface observations have a very limited scope observation. Those problems can be overcome by using rainfall data based on satellite observations. One of the rainfall data based on satellite observations is TRMM rainfall data. Products from TRMM rainfall data are various kinds where one of them is the monthly rainfall data TRMM 3B43V7. Data from satellite observations have a very wide scope of observation but biased against surface observations of rainfall data is quite high. The aim of this study is bias correction of monthly rainfall data TRMM 3B43V7 using surface observations of rainfall data for improved accuracy. Bias correction methods used in this study is the transformation of distribution method. The method is a method of error correction based data distribution statistics. Surface observations of rainfall data that will be used for refractive correction of monthly rainfall data TRMM 3B43V7 is the surface observation of rainfall data in Jakarta, Bandung, Semarang and Surabaya. Rainfall data TRMM 3B43V7 that has been corrected has correlation value increases, the distribution is more evenly spread (not too underestimate or overestimate), and the value of error decreased against surface observations of rainfall data. Keywords: correction, bias, TRMM 3B43V7, transformation of distribution. ABSTRAK Data curah hujan berbasis observasi permukaan memiliki kelemahan dalam hal cakupan wilayah observasinya yang sangat terbatas. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan mengganti data curah hujan hasil observasi permukaan menggunakan data curah hujan hasil observasi satelit. Salah satu data curah hujan hasil observasi satelit adalah data curah hujan TRMM. Produk dari data curah hujan TRMM ada berbagai macam dimana salah satunya adalah data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7. Data hasil observasi satelit memiliki cakupan observasi yang sangat luas namun bias datanya terhadap data curah hujan observasi permukaan cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 menggunakan data curah hujan observasi permukaan untuk peningkatan akurasinya. Metode koreksi bias yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode transformasi distribusi. Metode tersebut merupakan sebuah metode koreksi kesalahan data berbasis distribusi statistik. Data curah hujan observasi permukaan yang akan digunakan untuk koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 adalah data curah hujan hasil observasi permukaan wilayah Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Data curah hujan TRMM 3B43V7 yang telah terkoreksi memiliki nilai korelasi yang meningkat, sebaran distribusinya yang lebih merata (tidak terlalu underestimate maupun overestimate), dan nilai kesalahannya menurun terhadap data curah huan hasil observasi permukaan. Kata kunci: koreksi, bias, TRMM 3B43V7, transformasi distribusi.
PENDAHULUAN Pulau Jawa merupakan kawasan terpenting di Indonesia terkait dengan ketahanan pangan nasional.1 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pulau Jawa memproduksi sekitar 52,6% tanaman padi dan 54,6% tanaman jagung di Indonesia.2 Keberhasilan pulau Jawa menjadi benteng ketahanan pangan nasional sangat bergantung kepada ketersediaan air dan perilaku Prosiding SNSA 2015 – Halaman 136
petani setempat.3 Sumber utama air di pulau Jawa adalah curah hujan,4 sehingga informasi curah hujan sangat dibutuhkan di wilayah tersebut. Informasi mengenai nilai curah hujan di suatu wilayah dapat diperoleh dari data curah hujan hasil observasi permukaaan di wilayah tersebut. Data curah hujan berbasis observasi permukaan memiliki cakupan wilayah observasi yang sangat terbatas karena datanya diperoleh dengan cara pemantauan jumlah curah hujan yang jatuh di
Krismianto
permukaan bumi secara langsung di titik-titik tertentu.5 Dengan semakin berkembangnya teknologi satelit saat ini, kelemahan data curah hujan observasi permukaan terkait dengan cakupan wilayah observasinya yang sangat terbatas dapat diatasi dengan mengganti data curah hujan tersebut menggunakan data curah hujan hasil observasi satelit. Salah satu satelit yang mampu mengobservasi curah hujan adalah satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Satelit TRMM merupakan satelit hasil kerja sama antara pemerintah Amerika Serikat melalui NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan pemerintah Jepang melalui NASDA (National Space Development of Japan), sekarang bernama JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) yang didedikasikan untuk mengobservasi curah hujan di wilayah tropis dan subtropis.6 Produk data curah hujan hasil observasi satelit TRMM ada berbagai macam dimana salah satunya adalah data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7. Data curah hujan hasil observasi satelit memiliki cakupan wilayah yang sangat luas namun datanya memiliki nilai bias yang cukup tinggi terhadap data hasil observasi permukaan sehingga masih kurang representatif digunakan sebagai alternatif pengganti data curah hujan observasi permukaan.7,8 Bias data tersebut disebabkan karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik curah hujan masingmasing dan satelit TRMM belum mampu melihat karakteristik lokal tersebut.9 Data curah hujan hasil observasi satelit harus dikoreksi nilai biasnya agar lebih representatif. Metode koreksi nilai bias data curah hujan hasil observasi satelit telah banyak dikembangkan dimana salah satunya adalah metode transformasi distribusi. Nilai bias dari data curah hujan hasil observasi satelit untuk wilayah sungai Mekong, China telah berhasil diminimalisasi dengan menggunakan metode transformasi distribusi tersebut.10 Metode transformasi distribusi merupakan metode mengkoreksi distribusi statistik nilai rata-rata dan standar deviasi dari data observasi satelit menggunakan nilai rata-rata dan standar deviasi dari data observasi permukaan dalam waktu dan lokasi yang sama. Pendekatan dalam metode transformasi distribusi tersebut awalnya digunakan untuk melakukan downscaling data model iklim secara statistik.11 Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 agar datanya lebih representatif sebagai alternatif pengganti dari data curah hujan
observasi permukaan. Dalam penelitian ini, bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 dikeroksi menggunakan data curah hujan observasi permukaan dengan memanfaatkan metode transformasi distribusi. METODOLOGI Data curah hujan hasil observasi satelit yang dikoreksi nilai biasnya dalam kegiatan penelitian ini adalah data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7. Data tersebut merupakan produk versi ke-7 dari data curah hujan TRMM level 3 yang memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0,25° x 0,25° dalam cakupan global 50° LS sampai 50° LU. Sebagai pengkoreksi nilai bias dari data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7, dalam kegiatan penelitian ini digunakan data curah hujan bulanan hasil observasi permukaan dari beberapa stasiun cuaca BMKG yang ada di pulau Jawa seperti yang terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Beberapa lokasi stasiun cuaca BMKG yang ada di pulau Jawa. ID Stasiun 96745 96783 96835 96933
Koordinat Stasiun Cuaca 0 0 6 11’ LS ; 106 49’ BT 0 0 6 52’ LS ; 107 36’ BT 0 0 6 59’ LS ; 110 22’ BT 0 0 7 10’ LS ; 112 45’ BT
Nama Lokasi Jakarta Bandung Semarang Surabaya
Set data yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini adalah data dari tahun 1998 hingga tahun 2009. Cakupan wilayah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pulau Jawa yang memiliki lokasi geografis 105o BT sampai 115oBT dan 9o LS sampai 5.5o LU seperti yang terlihat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Wilayah kajian (pulau Jawa).
Metode yang digunakan untuk melakukan koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 adalah metode transformasi distribusi yaitu metode mengkoreksi distribusi statistik nilai rata-rata dan standar deviasi dari data observasi satelit dengan nilai rata-rata dan standar deviasi dari data observasi permukaan dalam waktu dan lokasi yang sama. Metode Prosiding SNSA 2015 – Halaman 137
Krismianto
tersebut diterapkan untuk 4 wilayah kajian sehingga diperoleh data transformasi distribusi untuk 4 wilayah kajian. Penerapan metode transformasi distribusi adalah sebagai berikut, pertama ditentukan faktor koreksi dari rata-rata yang didefinisikan dalam Persamaan 1.
(1) adalah faktor koreksi dari rata-rata, Dengan adalah rata-rata observasi permukaan, dan adalah rata-rata TRMM. Langkah kedua ditentukan faktor koreksi dari standar deviasinya yang didefinisikan dalam Persamaan 2.
(2) Dengan adalah faktor koreksi dari rata-rata, adalah rata-rata observasi permukaan, dan adalah rata-rata TRMM. Langkah ketiga menghitung nilai curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terkoreksi menggunakan Persamaan 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bias data TRMM 3B43V7 sangat dipengaruhi oleh lokasi wilayah kajian dimana pulau Jawa bagian Timur memiliki nilai rata-rata bias dari tahun 1998 hingga 2009 yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Barat seperti yang terlihat dalam Gambar 2. Nilai rata-rata bias di Jakarta (JKT) relatif sama sepanjang tahun dengan nilai masih dibawah 100 mm. Nilai ratarata bias tertinggi di wilayah kajian tersebut terjadi pada bulan peralihan (Maret, April, Mei dan September, Oktober, Nopember). Nilai ratarata bias di Bandung (BDG) dan Semarang (SMG) hampir sama dengan nilai bias tertingginya pada bulan basah (Desember, Januari, Februari). Rata-rata nilai bias pada bulan basah untuk kedua wilayah kajian tersebut bisa mencapai hingga lebih dari 100 mm. Surabaya (SBY) yang merupakan wilayah kajian paling Timur memiliki kecenderungan data yang underestimate, berbeda dari wilayah kajian lainnya yang cenderung overestimate. Nilai ratarata bias di wilayah kajian Surabaya terlihat tidak berpola.
(3) Dengan adalah curah hujan TRMM terkoreksi dan adalah curah hujan TRMM yang belum terkoreksi. Selanjutnya metode transformasi distribusi diterapkan untuk seluruh wilayah pulau Jawa. Seberapa besar masing-masing lokasi kajian tersebut berkontribusi terhadap koreksi bias data di masing-masing wilayah di seluruh pulau Jawa ditentukan berdasarkan nilai pembobotan. Metode pembobotan yang digunakan berbasis tehnik regresi multilinier yaitu nilai pembobotan ditentukan dengan melihat koefisien regresi dari hasil regresi multilinier yang dilakukan. Analisis regresi multilinier sendiri merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu variabel.12 Bentuk umum dari regresi multilinier adalah seperti yang terlihat dalam Persamaan 4.
.
(4)
adalah variable terikat, adalah Dengan konstanta regresi, adalah koefisien regresi, adalah variable bebas, dan adalah error. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 138
Gambar 2. Nilai rata-rata bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terhadap data observasi permukaan di 4 lokasi pengamatan.
Pemanfaatan metode transformasi distribusi untuk koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 menunjukkan hasil yang cukup baik. Dalam Gambar 3 terlihat bahwa data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 yang telah terkoreksi nilai biasnya untuk 4 lokasi pengamatan, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya menunjukkan nilai korelasi (r) yang semakin meningkat, sebaran distribusinya yang lebih merata (tidak terlalu underestimate maupun overestimate), dan nilai RMSE (Root Mean Square Error)-nya yang semakin kecil jika dibandingkan dengan data curah hujan hasil observasi permukaan.
SBY SMG BDG JKT
Krismianto
Gambar 3. Data sebelum dikoreksi (kiri) dan setelah dikoreksi (kanan) di 4 lokasi pengamatan.
Untuk melakukan koreksi bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 seluruh wilayah pulau Jawa berbasis data transformasi distribusi di 4 lokasi pengamatan, maka dilakukan pembobotan terlebih dahulu. Pembobotan dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keterkaitan nilai curah hujan di masing-masing lokasi sampling pengamatan terhadap curah hujan di masing-masing wilayah di pulau Jawa. Besarnya pembobotan ditentukan berdasarkan nilai koefisien regresi dari hasil regresi multilinier. Pembentukan model regresi multiliner dilakukan dengan menempatkan data curah hujan masing-masing wilayah di Pulau Jawa sebagai variable terikat dan curah hujan di 4 lokasi sampling pengamatan sebagai variabel bebas. Dalam Gambar 4 terlihat nilai r-squared dari model regresi multilinier yang dibentuk dimana hampir semua wilayah memiliki nilai rsquare diatas 0.8 yang berarti hasil regresi multilinier cukup baik. Setelah bobot pengaruh dari 4 lokasi sampling pengamatan terhadap masing-masing wilayah di pulau Jawa diketahui maka selanjutnya diterapkan metode transformasi distribusi dengan pembobotan untuk seluruh wilayah pulau Jawa. Pengaruh dari koreksi bias data TRMM 3B43V7 sangat terlihat jelas terutama untuk bulan-bulan basah seperti yang terlihat dalam Gambar 5. Gambar tersebut merupakan data rata-rata tahun 1998 hingga tahun 2009 curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 sebelum terkoreksi dan sesudah terkoreksi.
Gambar 4. Nilai r-squared dari model regresi multilinier yang dibentuk.
Secara keseluruhan, wilayah pulau Jawa bagian Barat dan Tengah terkoreksi negatif yang artinya nilai curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terkoreksi memiliki nilai curah hujan yang lebih rendah daripada sebelum terkoreksi sedangkan wilayah Pulau Jawa bagian timur terkoreksi positif yang artinya nilai curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terkoreksi memiliki nilai curah hujan yang lebih tinggi daripada sebelum terkoreksi. Wilayah pulau Jawa bagian Barat terkoreksi hingga mencapai lebih dari 40%, wilayah pulau Jawa bagian Tengah terkoreksi sekitar 10%, dan wilayah pulau Jawa bagian Timur terkoreksi hingga mencapai lebih dari 40% dari nilai rata-rata curah hujannya seperti yang terlihat dalam Gambar 6. KESIMPULAN Bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terhadap data curah hujan observasi permukaan untuk wilayah pulau Jawa dapat dikurangi menggunakan metode transformasi distribusi. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang juga berhasil mengurangi bias data satelit presipitasi untuk wilayah sungai Mekong, China. Bias data curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 terhadap data curah hujan observasi permukaan sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari curah hujan di masing-masing wilayah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tingginya bias data satelit TRMM disebabkan karena ketidak mampuan satelit TRMM dalam melihat pengaruh lokal.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 139
Krismianto
Sebelum Koreksi
Setelah Koreksi JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 140
Krismianto
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 141
Krismianto
OKTOBER
NOPEMBER
DESEMBER
Gambar 5. Rata-rata curah hujan bulanan TRMM 3B43V7 sebelum dikoreksi (kiri) dan setelah dikoreksi (kanan) nilai biasnya.
Gambar 6. Prosentase nilai terkoreksi untuk masing-masing wilayah di pulau Jawa.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 142
Krismianto
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimkasih kepada Dr. Tri Wahyu Hadi, Dr. Nurjanna Djoko Trilaksono, dan Dr. Rusmawan terkait dengan saran-sarannya tentang perlunya melakukan koreksai bias data satelit TRMM. DAFTAR PUSTAKA 1
Krismianto, 2015. Identifikasi Awal Musim Berbasis Suhu Puncak Awan Untuk Pengembangan Sistem Informasi Awal Musim Wilayah Pulau Jawa. Tesis. Institut Teknologi Bandung, Bandung. 2 BPS, 2013. Tabel luas panen-produktivitasproduksi tanaman padi seluruh provinsi tahun 2013. http://www.bps.go.id/ tnmn_pgn.php. Diakses 20 Des 2014. 3 Pramudia, A., 2012. Mensikapi prakiraan iklim dan awal musim kemarau, serta implikasinya terhadap kalender tanam tanaman pangan pada MT-2 (MK-1) di sentra pertanian. http://balitklimat. litbang. deptan. go.id/. Diakses 22 Des 2013. 4 Thapliyal, V., dan Rajeevan, M., 2003. Monsoon Prediction. Encyclopedia of Atmospheric Science. Elsevier Science Ltd. 5 Subarna, D., 2006. Telekoneksi Antara Hujan Monsun di India dan curah Hujan di Indonesia Dari Data TRMM. Prosiding Seminar Nasional Perubahan Iklim dan Lingkungan di Indonesia. PusfatsatklimLAPAN, Bandung. pp.:83-93. 6 NASDA, 2001. TRMM Data Users Handbook. Earth Observation Center. National Space Development Agency of Japan. 7 Wagner, S., Kunstmann, H., Bardossy, A., Conrad, C., Colditz, R.R., 2008. Water Balance Estimation of a Poorly Gauged Catchment in West Africa using Dynamically Downscaled Meteorological Fields and Remote Sensing Information. Phys. Chem. Earth 34(4-5):225-235. 8 Jianxin, W., dan David, B.W., 2009. Evaluation of TRMM Ground-Validation Radar-Rain Errors using Rain Gauge Measurements. J. Appl. Meteorol.Climatol.49(2):310-324. 9 Zhang, M., Chen, S., Qi, Y.C., Yang, Y., 2013. Evaluation of TRMM Summer Precipitation over Huai-River Basin in China. Advanced Materials Research. pp.: 726-731. 10 Immerzel, W.,W., 2010. Bias Correction for Satellite Precipitation Estimation used by the MRC Mekong Flood Forecasting System. Mission Report. Mekong River Commision.
11
Bouwer, L.M., Aerts, J.C.J.H., Van de Coterlet, G.M., Van de Giessen, N., Gieske, A., dan Manaerts, C., 2004. Evaluating downscaling methods for preparing Global Circulation Model (GCM) data for hydrological impact modeling. Chapter 2, in Aerts, J.C.J.H. & Droogers, P.(Eds.), Climate Change in Contrasting River Basins: Adaptation Strategies for Water, Food and Environment. Cabi Press, Wallingford, UK. pp.: 25-47. 12 Kutner, M.H., C.J. Nachtsheim., dan J. Neter., 2004. Applied Linear Regression Models. 4th ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 143
Lilik Slamet S. Dan Novita Ambarsari
PENGARUH ASPEK FISIKA CURAH HUJAN PADA KONSENTRASI CH 4 (METANA) EFFECT FROM PHYSIC RAINFALL ASPECTS IN METHANE CONCENTRATION Lilik Slamet Supriatin dan Novita Ambarsari Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. dr. Djundjunan 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Background this research is not yet many researches about influences of the rainfall in the concentration CH 4 . This research only focussed in the physics rainfall aspect that is high rain and the intensity of rain. The location of the research in the Cirata environment and surrounding area (107014’15” - 107022’03” LS and 06041’30” 06048’07” BT). The research method that was used the statistical approach and the descriftive analysis. Was based on the analysis showed rain could reduce the concentration CH 4 . This showed by the signifying correlation coefficient the good negative between high rain and the concentration CH 4 (r = -0.7) and with the intensity of rain CH 4 (r = -0.7). In rainfall with high rain and the high intensity, then CH 4 that was formed was to descend. The reduction in the concentration CH 4 in the atmosphere was caused by the radical OH that was produced by steam in the rainy season. The reduction in the concentration CH 4 in the rainy season also was caused by emissions CH 4 during the low rainy season. Emissions CH 4 during the rainy season low as a result of by first, the rain water had the concentration of most protracted higher oxygen so as to change the condition from the body of anaerobe water (the formation medium CH 4 ) became the aerobe (the medium for oxidation CH 4 ). To two, the rain water that fell for the surface of the water body would difused gas O 2 (oxygen) from the atmosphere to the water body so as the condition for the water body became the aerob that hindered the formation CH 4 . Keywords: aspect, physic, rainfall, concentration, methane, descend ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh belum banyak penelitian pengaruh curah hujan pada konsentrasi CH 4 . Penelitian ini hanya memfokuskan pada aspek fisika curah hujan yaitu tinggi hujan dan intensitas hujan. Lokasi penelitian di lingkungan Cirata dan sekitarnya (107°14’15” - 107°22’03” LS dan 06°41’30” - 06°48’07” BT). Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan statistik dan analisis deskriftif. Berdasarkan analisis menunjukkan hujan dapat menurunkan konsentrasi CH 4 . Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang bertanda negatif baik antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 (r = -0,7) maupun dengan intensitas hujan CH 4 (r = -0,7). Pada hujan dengan tinggi hujan dan intensitas tinggi, maka CH 4 yang terbentuk menurun. Pengurangan konsentrasi CH 4 di atmosfer disebabkan radikal OH yang dihasilkan oleh uap air pada musim penghujan. Pengurangan konsentrasi CH 4 pada musim penghujan juga disebabkan oleh emisi CH 4 saat musim penghujan yang rendah. Emisi CH 4 saat musim penghujan rendah disebabkan oleh pertama, air hujan memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang lebih tinggi sehingga mengubah kondisi dari badan air anaerob (media pembentukan CH 4 ) menjadi aerob (media untuk oksidasi CH 4 ). Ke dua, air hujan yang jatuh pada permukaan badan air akan mendifusikan gas O 2 (oksigen) dari atmosfer ke badan air sehingga kondisi badan air menjadi aerob yang menghambat pembentukan CH 4 . Kata kunci: aspek, fisika, hujan, konsentrasi, metana, turun
PENDAHULUAN Sampai saat ini curah hujan atau hujan baru diketahui perannya dari aspek kimia dan biologi. Berdasarkan aspek kimia, hujan berfungsi sebagai pelarut dan pembawa polutan udara serta gas rumah kaca jenis karbon dioksida (CO 2 ) dari lingkungan atmosfer ke permukaan bumi. Hujan dapat mencuci polutan udara (wash out) yang berupa SO 2 (sulfur dioksida) dan NO 2 (nitrogen dioksida) serta CO 2 (karbon dioksida) yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 144
terdapat dalam atmosfer.1 Ditambahkan oleh Budiwati et al1 bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi (hujan lebat) akan lebih sedikit membersihkan, mencuci, dan melarutkan polutan udara, sedangkan hujan dengan intensitas rendah (gerimis) akan lebih banyak membersihkan, mencuci, dan melarutkan polutan udara. Aspek biologi dari curah hujan berhubungan dengan peran hujan sebagai pembawa mikroorganisme yang terdapat dalam atmosfer. Mikroorganisme ini berasal dari komunitas
Lilik Slamet S. Dan Novita Ambarsari
bakteri yang dapat hidup di dalam awan. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan hidup pada ketinggian awan sampai dengan 10 km di atas permukaan laut.2 Selain kedua aspek tersebut (kimia dan biologi), curah hujan juga memiliki aspek fisika. Aspek fisika dari curah hujan mencakup tinggi hujan (jeluk hujan), lama hujan, suhu air hujan, intensitas hujan, ukuran butir hujan, dan energi kinetik air hujan. Tinggi hujan adalah istilah untuk seberapa besar air hujan yang ditangkap oleh alat penakar hujan atau biasa disebut dengan curah hujan saja. Lalu bagaimana dengan peran aspek fisika curah hujan tersebut untuk gas rumah kaca jenis CH 4 ? Aspek fisika yang mana yang dapat menurunkan konsentrasi CH 4 . Apakah hujan dapat juga berperan sama sebagai pelarut dan pencuci CH 4 seperti pada CO 2 ? Ke tiga pertanyaan di atas adalah yang melatarbelakangi penelitian ini dan akan dijawab melalui makalah ini. Jika CH 4 dapat dicuci seperti halnya CO 2 atau sulfur, maka konsentrasi CH 4 tentunya dapat dikurangi. Hal ini mengingat konsentrasi CH 4 yang selalu meningkat setiap tahun dengan laju peningkatan di atmosfer adalah 1%/tahun.3 Selain itu CH 4 secara kuantitas adalah penyumbang emisi kedua terbesar setelah CO 2 .4 Secara kualitas CH 4 bersifat lebih radiatif daripada CO 2 . Hal ini disebabkan CH 4 menyerap radiasi infra merah 30 kali lebih efektif daripada CO 2 dan berkontribusi sampai 20% pada pemanasan global.5,6 Penelitian ini didasarkan pada teori pendukung sebelumnya. Pembentukan metana berbanding lurus dengan suhu.7 Semakin tinggi suhu, maka semakin besar CH 4 yang terbentuk. Menurut Setyanto dan Suharsih8 bahwa suhu yang tinggi pada saat pembentukan CH 4 dapat diturunkan dengan penutupan oleh tanaman, aliran air, dan dengan adanya hujan sehingga konsentrasi metana dapat berkurang. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya tersebut tidak secara detail dan terperinci menentukan karakteristik curah hujan yang dapat mengakibatkan penurunan CH 4 . Oleh karena itumasalahdari penelitian inidapat dirumuskan yaitu “belum diketahuinya pengaruh beberapa aspek fisika dari curah hujan pada konsentrasi CH 4 (metana)”. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh aspek fisika curah hujan yang mencakup tinggi hujan dan intensitas hujan pada konsentrasi CH 4 . Sasaran dari penelitian ini adalah memperoleh pengetahuan sains atmosfer
tentang pengaruh aspek fisika curah hujan pada konsentrasi metana. METODOLOGI Lokasi penelitian di lingkungan waduk Cirata dan sekitarnya. Koordinat geografi lokasi penelitian berada pada 107°14’15” - 107°22’03” LS dan 06°41’30” - 06°48’07” BT. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah tinggi hujan (jeluk hujan), intensitas hujan, dan konsentrasi CH 4 .Periode data yang digunakan adalah data bulanan dari Januari tahun 2003 sampai dengan Desember tahun 2011. Data tinggi hujan dan intensitas hujan berasal dari satelit TRMM 3B42. Data konsentrasi kolom total CH 4 adalah hasil observasi dari satelit AIRS (Atmospheric Infra Red Sounder) pada ketinggian 8 km atau 260 hPa. Aspek fisika dari curah hujan yang akan dianalisis pengaruhnya pada konsentrasi CH 4 adalah tinggi hujan dan intensitas hujan. Kerangka konsep penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 1. Tinggi hujan Konsentrasi Metana Intensitas hujan
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian pada Gambar 1. dapat disusun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jika jeluk hujan (tinggi hujan) semakin tinggi, maka konsentrasi metana (CH 4 ) semakin rendah/turun. 2. Jika intensitas hujan semakin besar, maka konsentrasi CH 4 semakin kecil/turun. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data tinggi hujan dan konsentrasi CH 4 seperti disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2. menunjukkan ketika tinggi hujan pada puncak-puncak (titik maksimum), konsentrasi CH 4 justru berada pada lembah-lembah (titik-titik minimum). Sebagai contoh pada Gambar 2, yaitu ketika tinggi hujan minimum (288 mm), maka konsentrasi CH 4 besar dengan nilai 1,7705 ppmv dan ketika tinggi hujan menunjukkan 468 mm, maka konsentrasi CH 4 hanya sebesar 1,721 ppmv.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 145
Lilik Slamet S. Dan Novita Ambarsari
Gambar 2. Hubungan Konsentrasi CH 4
Tinggi
Hujan
Dengan
Jika dikorelasikan antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar -0,71. Tanda negatif dari koefisien korelasi berarti hubungan antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 adalah berbanding terbalik dengan kata lain semakin tinggi jeluk hujan (tinggi hujan), maka semakin rendah konsentrasi CH 4 . Penelitian dengan hasil yang serupa pernah dilakukan oleh Dingyuan, et al.9 dan Trismidianto10. Berdasarkan penelitian Dingyuan, et al.9 menyatakan bahwa konsentrasi CH 4 di Cina tertinggi pada musim panas (Mei-Juli) dan terendah terjadi pada musim semi (FebruariApril). Hasil penelitian Dingyuan, et al. 9 jika dianalogikan dengan hasil penelitian ini maka musim panas dapat diidentikkan dengan musim kemarau di Indonesia dengan hujan yang jarang turun, yang menjadikan konsentrasi CH 4 tinggi. Musim semi dapat diidentikkan dengan musim penghujan di Indonesia, yang membuat konsentrasi CH 4 di Indonesia juga rendah. SementaraTrismidianto10 menyatakan bahwa siklus musiman CH 4 menunjukkan terendah di musim dingin dan tertinggi di musim panas untuk ke dua belahan bumi baik belahan bumi Utara (BBU) maupun belahan bumi Selatan (BBS). Hasil penelitian dari Trismidianto10 ini juga sama dengan hasil yang diperoleh oleh peneliti pada penelitian ini.
Gambar 3. Hubungan Intensitas Hujan dengan Konsentrasi CH 4 Prosiding SNSA 2015 – Halaman 146
Berdasarkan Gambar 3. dapat diketahui bahwa relasi antara intensitas hujan dengan konsentrasi metana adalah berbanding terbalik, artinya semakin tinggi intensitas hujan, maka semakin sedikit CH 4 yang terbentuk. Relasi ini sama dengan relasi antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 . Analisis koefisien korelasi antara ke dua peubah tersebut menghasilkan ryang besarnya adalah -0,71. Nilai koefisien korelasi yang lebih besar dari 0,5 dapat dikatakan hubungan ke dua peubah tersebut (intensitas hujan dan konsentrasi metana) adalah kuat dan signifikan sehingga dapat untuk menjelaskan kausatif antara ke dua peubah tersebut (hubungan sebab-akibat).11 Relasi antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 memiliki nilai koefisien korelasi yang sama dengan relasi antara intensitas hujan dengan konsentrasi CH 4 disebabkan intensitas hujan terbentuk dari persamaan rasio tinggi hujan terhadap waktu (lamanya hujan/durasi hujan). Relasi antara tinggi hujan dengan konsentrasi CH 4 dan intensitas hujan dengan konsentrasi CH 4 adalah berbanding terbalik (semakin besar tinggi hujan dan intensitas hujan, maka semakin berkurang konsentrasi CH 4 ). Kondisi ini disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah emisi CH 4 di permukaan sebagai sumber konsentrasi CH 4 di atmosfer pada musim penghujan juga lebih rendah daripada musim kemarau. Suharsih et al.12 dan Suharsih et al.13 dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa emisi CH 4 pada musim penghujan lebih rendah (67,90 kg/ha) daripada musim kemarau (103,06 kg/ha). Emisi CH 4 berbanding lurus dengan konsentrasi CH 4 .Jika emisi CH 4 di permukaan tinggi, maka konsentrasi CH 4 di atmosfer juga tinggi dan berlaku sebaliknya. Emisi CH 4 di permukaan ini akan bergerak ke atmosfer berkontribusi pada konsentrasi CH 4 . Emisi CH 4 saat musim penghujan rendah/berkurang disebabkan oleh dua hal.Pertama, air hujan memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang lebih tinggi daripada air yang tersimpan dalam badan air di permukaan (sawah, danau, waduk, sungai, dan rawa). Air hujan yang kaya oksigen dan jatuh pada permukaan badan air akan mengubah kondisi dari badan air yang anaerob (media pembentukan CH 4 ) menjadi aerob (media untuk oksidasi CH 4 ). Kedua, air hujan yang jatuh pada permukaan badan air akan membuat pori kecil yang akan mendifusikan gas O 2 (oksigen) dari atmosfer ke badan air. Melalui pori kecil ini gas O 2 masuk ke badan air sehingga kondisi badan air berubah
Lilik Slamet S. Dan Novita Ambarsari
menjadi aerob yang akan menghambat pembentukan CH 4 . Metana (CH 4 ) adalah gas yang terbentuk pada kondisi badan air tergenang yang anaerob (tanpa/sedikit adanya oksigen) dan adanya bahan organik. Perombakan bahan organik pada kondisi anaerob akan menghasilkan CH 4 . Konsentrasi CH 4 menurun pada tinggi hujan dan intensitas hujan yang besar selain disebabkan oleh emisi CH 4 di permukaan yang rendah juga disebabkan oleh radikal OH- di atmosfer. Radikal OH-adalah senyawa pengoksidasi terbesar di troposfer. Senyawa OH- tidak bereaksi dengan senyawa utama penyusun komposisi atmosfer (N 2 (gas nitrogen), O 2 (gas oksigen), CO 2 (karbon dioksida), dan Ar (Argon)). Senyawa OH-hanya bereaksi dengan senyawa penyusun komposisi atmosfer yang berkonsentrasi kecil (senyawa mikro/minor) seperti Neon (Ne), Helium (He), metana (CH 4 ), Krypton (Kr), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrogen (H 2 ), Xenon (Xe), Ozon (O 3 ), sulfur dioksida (SO 2 ), nitrogen dioksida (N 2 O), dan karbon monoksida (CO). Radikal OH- dihasilkan oleh serangkaian reaksi (reaksi 1) yang melibatkan fotolisis (penguraian suatu molekul dengan energi yang berasal dari cahaya dengan cara radiasi) ozon dengan bantuan energi yang berasal dari sinar ultraviolet matahari (uv) dan reaktanu ap air (H 2 O). O 3 + uv→ O. + O 2 (1) O. + H 2 O →2OH-(2) O. adalah atom oksigen yang tereksitasi karena adanya energi yang dibawa, sebagian besar atom ini akan kembali ke kondisi dasarnya sebagai atom O yang tidak tereksitasi (kehilangan energinya), dan sebagian kecil tetap dalam bentuk ini. Atom O yang tetap dalam kondisi tereksitasi ini kemudian akan bereaksi dengan uap air (H 2 O) yang berada di troposfer sehingga membentuk 2 radikal OH- (reaksi 2). OH-yang terbentuk dari reaksi kimia (reaksi 2) di atas akan bereaksi dengan CH 4 . Radikal OHdan senyawa CH 4 bereaksi menghasilkan suatu radikal metil (CH 3 .) yang selanjutnya akan direduksi menjadi CO 2 .14 Reaksi kimianya seperti tersaji pada reaksi 3. CH 4 + OH-→ CH 3 . + H 2 O (3) Radikal OH- yang bereaksi dengan CH 4 akan membentuk radikal CH 3 . (metil) sehingga konsentrasi CH 4 berkurang/menurun. Dengan reaksi seperti di atas (reaksi 3), maka konsentrasi CH 4 akan berkurang terus dan selanjutnya H 2 O
yang terbentuk pada reaksi 3 akan menjadi sumber penghasil OH- (seperti tersaji pada reaksi 2) sehingga saat musim penghujan konsentrasi CH 4 semakin berkurang. Sebaliknya dengan berkurangnya curah hujan, maka hal ini mengakibatkan berkurangnya reaksi antara uap air dan CH 4 sehingga jumlah CH 4 di atmosfer semakin meningkat.15 Wilayah Indonesia yang sebagian besar (2/3) merupakan perairan berpotensi untuk menyumbangkan uap air yang berasal dari penguapan (evaporasi) air laut yang mengarah pada pembentukan radikal OH-. Pada lokasi penelitian ini sumber OH- berasal dari uap air yang dievaporasikan (diuapkan) dari badan air waduk Cirata dan evapotranspirasi dari daerah sekitar waduk Cirata yang merupakan perbukitan yang banyak ditumbuhi vegetasi berkayu. Selain potensi laut sebagai kontributor uap air (H 2 O), pada musim penghujan atau ketika dan setelah hujan berlangsung akan terjadi juga peningkatan intensitas radiasi ultra violet di troposfer. Hal ini terjadi disebabkan pada musim penghujan kondisi atmosfer dalam keadaan clear sky (atmosfer bersih dari polutan udara, debu, dan aerosol). Pada musim penghujan polutan udara, debu, dan aerosol tercuci (wash out) oleh hujan sebelumnya sehingga tidak terjadi atenuasi (penyerapan radiasi oleh polutan udara, debu, dan aerosol) dan intensitas radiasi ultra violet menjadi lebih tinggi sehingga memicu fotolisis O 3 menjadi O. dan O 2 . Pada intensitas radiasi ultra violet yang tinggi, banyak atom O tereksitasi dari molekul O 3 . Konsentrasi O. dan uap air (H 2 O) yang berlimpah pada musim penghujan akan membentuk radikal OH- yang berlimpah pula. Konsentrasi radikal OH- yang berlimpah di atmosfer akan banyak bereaksi mengoksidasi CH 4 sehingga konsentrasi CH 4 menjadi menurun/berkurang. KESIMPULAN Aspek fisika curah hujan yang dikaji pengaruhnya pada konsentrasi CH 4 di makalah ini terbatas pada tinggi hujan (jeluk hujan) dan intensitas hujan. Masih terdapat lagi aspek fisika curah hujan yang mungkin berpengaruh pada konsentrasi CH 4 yaitu suhu air hujan dan ukuran butir air hujan sehingga diperlukan penelitian lanjutan. Tinggi hujan dan intensitas hujan memiliki pengaruh yang berbanding terbalik dengan konsentrasi CH 4 . Pada saat tinggi hujan dan intensitas hujan besar, maka konsentrasi CH 4 adalah menurun. Peran curah hujan terutama Prosiding SNSA 2015 – Halaman 147
Lilik Slamet S. Dan Novita Ambarsari
aspek fisika (tinggi hujan dan intensitas hujan) adalah menurunkan konsentrasi CH 4 dengan cara menurunkan emisi CH 4 di permukaan dan reaksi kimia oksidasi dengan OH- di atmosfer. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini merupakan Program Penelitian In House Tahun 2014 di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA), LAPAN. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada PSTA – LAPAN atas pendanaan dan arahan yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA 1
Budiwati, T., A. Budiyono, W. Setyawati, A. Indrawati, 2010.Analisis Korelasi Pearson Untuk Unsur-Unsur Kimia Air Hujan Di Bandung. Jurnal Sains Dirgantara 7 (2): 100112. 2 Madigan, M. T., Martinko J., Dunlap P. V.,andClark D. P., 2009.Brock Biology of Microorganism, Twelfth Edition. 3 Cicerone, R. J. and Oremland, R. S., 1988. Biogeochemical Aspect of Atmospheric Methane.Global Biogeochem Cycles 2: 299327. 4 Rahmansyah, M.,andI. M. Sudiana., 2010. Soil Microbial Enzymatic Activity Relate To Role Of Methanotrophic Bacteria In The Tropical Forest Soil Of Gunung Salak National Park. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science 5 (2): 51-57. 5 Bouwman, A. F., 1990. Introduction dalam Bouwman, A. F. (Ed.). Soils and the Greenhouse Effect: 25-32.Chechester: Wiley. 6 IPPC, 2007. Climate Change 2007: the physical science basis. In: Solomon, S., Qin D., Manning, M., Chen, Z., Marquis, M., Averyt, K. B., Tignor, M., Miller, H. L. (Eds.), Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovermental Panel On Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK and New York, NY, USA. 7 Treenberth, K., 1994. Climate System Modelling. New York: Academy Press. 8 Setyanto, P dan Suharsih, 2005.Mitigasi Gas Metan Dari Lahan Sawah. Laporan Tahunan Loka Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Pati: Kementerian Pertanian. 9 Dingyuan,Z., Liao Hong, Wang Yuesi., 2014. Simulated Spatial Distribution and Seasonal Variation of Atmospheric Methane over China: Contributions from Key Sources. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 148
Advances In Atmospheric Sciences 31: 283292. 10 Trismidianto, 2008. Analisis Laju Kenaikan Konsentrasi CO 2 , CH 4 , Dan N 2 O Di Kototabang Dan Beberapa Wilayah Di Dunia. Prosiding Workshop Aplikasi Sains Atmosfer. LAPAN, Jakarta. 11 Tantular, B, 2013. Modul Pelatihan Pengolahan dan Analisis Data Atmosfer, Jurusan Statistika, FMIPA. Bandung: Universitas Padjadjaran. 12 Suharsih, P. Setyanto dan A.K. Makarim. 1999. Emisi Gas Metan Dari Lahan Sawah Akibat Pengaturan Air Tanaman Padi. Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca Dan Peningkatan Produktivitas Padi Di Lahan Sawah. Puslitbang Tanaman Pangan. Balitbang Pertanian, Bogor. 13 Suharsih, P. Setyanto, A.K. Makarim, 2000. Pengaruh Pengelolaan Air Terhadap Emisi Gas CH 4 Pada Lahan Sawah di Jakenan, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Budi Daya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan, Balitbang Pertanian, Bogor. 14 Albert, C., 2005. Analisis Konsentrasi Metana Atmosferik di Stasiun Pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang. Laporan Tahunan Pengamatan Atmosfer Tahun 2005. Kototabang: LAPAN. 15 Gusnita, D. dan I. Sofiati, 2013. Fluktuasi Metan (CH 4 ) Selama Kejadian El Niño/La Niña Di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Masalah Lingkungan Di Indonesia. IATPI, Medan.
Martono
PENGARUH ANGIN MUSIM TERHADAP TRANSPORT ARUS LINTAS INDONESIA EFFECT OF SEASON WIND ON THE INDONESIA THROUGHFLOW TRANSPORT Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Indonesian Throughflow is movement of water mass from the western Pacific Ocean into the eastern Indian Ocean through severals Indonesian waters. This research was conducted to understand the effect of season wind to transport of Indonesian Throughflow at Lombok Strait, Ombai Strait and the Timor Passage. The data used consists of transport of Indonesian Throughflow and surface wind from 2004-2006. The method used is descriptive analysis. The results showed that throughout the year transport of Indonesian Throughflow moved from the western Pacific Ocean into the eastern Indian Ocean. Monthly variations of transport of Indonesian Throughflow at Lombok Strait, Ombai Strait and Timor Passage was affected by season wind. Transport of Indonesian Throughflow at Lombok Strait strong occurred during east season, at Ombai Strait during east season and west season, and at Timor Passege during first transition season and east season. There are pattern similarities transport of Indonesian Throughflow at 0-300 meters depth with 0-1200 meters at Ombai Strait and at 0-1890 meters at Timor Passage. Keywords: effect, season wind, transport, Indonesian Throughflow ABSTRAK Arus Lintas Indonesia adalah pergerakan massa air dari Samudera Pasifik barat menuju Samudera Hindia timur melalui beberapa wilayah perairan Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh angin musim terhadap transpor Arus Lintas Indonesia di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor. Data yang digunakan terdiri dari transpor Arus Lintas Indonesia dan angin permukaan dari tahun 2004-2006. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sepanjang tahun transpor Arlindo bergerak dari Samudera Pasifik barat menuju Samudera Hindia timur. Variasi bulanan transpor Arus Lintas Indonesia di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor dipengaruhi oleh angin musim. Di Selat Lombok transpor Arus Lintas Indonesia kuat terjadi pada musim timur, di Selat Ombai pada musim timur dan musim barat, dan di Celah Timor terjadi pada musim peralihan pertama dan musim timur. Terdapat persamaan pola transpor Arlindo di kedalaman 0300 meter dengan 0-1200 meter di Selat Ombai dan 0-1890 meter di Celah Timor. Kata kunci : pengaruh, angin musim, transpor, arus lintas indonesia
PENDAHULUAN Perairan Samudera Pasifik tropis barat yang dikenal sebagai kolam panas (Warm pool) diketahui mempunyai peranan penting dalam sistem iklim global.1 Pengaruh angin pasat di samudera Pasifik tropis menyebabkan terjadi perbedaan tinggi muka laut antara samudera Pasifik barat dengan samudera Hindia timur. Sekitar 16 cm rata-rata perbedaan tinggi muka antara samudera Pasifik barat yang diukur di Davao Filipina dengan samudera Hindia timur yang diukur di Darwin Australia.2 Akibat tinggi muka Samudera Pasifik barat lebih tinggi daripada samudera Hindia timur maka terjadi aliran massa air dari Samudera Pasifik barat ke Samudera Hindia timur melalui beberapa wilayah
perairan Indonesia dan dikenal dengan nama Arus Lintas Indonesia disingkat Arlindo.3 Arlindo memasuki wilayah perairan Indonesia melalui dua jalur utama yaitu jalur barat dan jalur timur. Pintu masuk jalur barat adalah Laut Sulawesi dan jalur timur adalah Laut Maluku dan Laut Halmahera. Setelah melewati Laut Sulawesi, Laut Maluku dan Laut Halmahera, Arlindo bergerak menuju Samudera Hindia timur melalui Selat Makasar, Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor. Sumber utama massa air Arlindo berasal dari Samudera Pasifik utara dan Samudera Pasifik selatan. Massa air dari Samudera Pasifik utara masuk melalui Laut Sulawesi, sedangkan massa
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 149
Martono
air dari Samudera Pasifik selatan masuk melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera. Arlindo mendapat perhatian yang besar dari para peneliti oseanografi maupun peneliti meteorologi karena mempunyai dampak terhadap aspek laut maupun aspek atmosfer. Dalam aspek laut, Arlindo merupakan bagian penting dalam sirkulasi samudera dunia dalam penghantaran panas4 dan menjadi elemen penting dalam menjaga kesetimbangan sirkulasi, panas dan air salinitas rendah (freshwater).5-6 Arlindo mempengaruhi variabilitas musiman kedalaman termoklin dan suhu permukaan laut perairan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta melemahkan sistem Arus Ekuator Selatan Samudera Hindia dan sistem Arus Agulhas, tetapi memperkuat Arus Australia Timur.7 Arlindo juga merupakan bagian penting dalam sistem arus termohalin global.8 Sementara itu, dalam aspek atmosfer transpor Arlindo mempengaruhi iklim global terutama iklim tropis melalui telekoneksi dan kopling laut dan atmosfer.9-10 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh angin musim terhadap variasi bulanan transpor Arlindo di perairan selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor. METODOLOGI Lokasi dan Data Lokasi penelitian adalah selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Data yang digunakan terdiri dari transpor Arlindo di perairan selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor dan angin permukaan bulanan di utara Papua, Laut Jawa-Banda dan perairan selatan Jawa-Laut Timor dari tahun 2004-2006. Kedalaman transport Arlindo di selat Lombok dari 0-300 meter, di selat Ombai dari 0-300 meter dan 0-1200 meter, dan di celah Timor dari 0-300 meter dan 0-1890 meter. Data transport Arlindo bulan diperoleh dari.11 Data angin permukaan terdiri dari komponen zonal dan meridional yang diperoleh dari Physical Oceanography Distributed Active Center - National Aeronautics and Space Administration (PODAAC-NASA) dengan alamat website http://podaac.jpl.nasa.gov.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor
Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan metode statistik. Vektor angin rata-rata bulanan diolah dengan menggunakan software Transform. Analisis transpor Arlindo dilakukan dari 0-300 meter di selat Lombok, dari 0-300 meter dan 0-1200 meter di selat Ombai dan dari 0-300 meter dan 0-1890 meter di celah Timor. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi rata-rata bulanan transpor Arlindo dari kedalaman 0-300 meter di perairan selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor diperlihatkan pada Gambar 2. Transpor Arlindo di selat Lombok berkisar antara -1,39 s/d -4,29 Sv (1 Sv = 1 Sverdrup = 106 m3/s), di selat Ombai antara -2,23 s/d -4,22 Sv dan di celah Timor antar -4,03 s/d 5,86 Sv. Tanda negatif (-) menyatakan aliran transpor Arlindo menuju Samudera Hindia. Nilai tinggi di selat Lombok terjadi antara bulan Juni-September, di selat Ombai terjadi antara bulan Januari-Maret dan Juli-September serta di celah Timor terjadi antara bulan MaretSeptember. Nilai maksimum musiman transpor Arlindo di selat Lombok, selat Ombai dan celah Timor terjadi pada musim timur (Juni-Agustus), sedangkan nilai minimum di selat Lombok dan celah Timor terjadi pada saat musim barat (Desember-Februari) dan di selat Ombai terjadi pada musim peralihan pertama (Maret-Mei).
Gambar 2. Variasi rata-rata bulanan transpor Arlindo pada kedalaman 0-300 meter Prosiding SNSA 2015 – Halaman 150
Martono
Variasi rata-rata bulanan transpor Arlindo dari kedalaman 0-1200 meter di perairan selat Ombai dan 0-1890 meter di celah Timor diperlihatkan pada Gambar 3. Kisaran nilai transpor arlindo di selat Ombai antara -2,46 s/d -7,99 Sv dan di celah Timor antara -6,13 s/d -9,07 Sv. Di selat Ombai nilai transpor Arlindo tinggi terjadi antara bulan Desember-Januari dan Juni-Juli serta di celah Timor antara bulan Maret-Mei. Nilai rendah di selat Ombai terjadi antara bulan Maret-Mei dan September-Oktober. Rata-rata musiman nilai maksimum di selat Ombai terjadi pada musim barat dan di celah Timor pada musim peralihan pertama.
Gambar 3. Variasi rata-rata bulanan transpor Arlindo pada kedalaman 0-1200 meter dan 0-1890 meter
Berdasarkan hasil pengolahan data diketahui bahwa sepanjang tahun dari 2004-2006 transpor Arlindo di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor bergerak dari Samudera Pasifik barat menuju Samudera Hindia timur belahan bumi selatan yang ditunjukkan dengan nilai negatif (-). Hal ini menunjukkan bahwa sepanjang tahun tinggi muka laut Samudera Pasifik barat lebih tinggi daripada Samudera Hindia timur belahan bumi selatan. Oleh karena itu, diketahui bahwa faktor utama pembangkit transpor Arlindo adalah angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara di Samudera Pasifik tropis bagian tengah hingga timur dan angin pasat tenggara di Samudera Hindia belahan bumi selatan. Kedua angin pasat ini sepanjang tahun bergerak ke barat laut dan barat daya.12 Akibat stres angin pasat timur laut dan pasat tenggara massa air permukaan terdorong bergerak ke barat menuju Samudera Pasifik barat. Dalam kondisi normal yaitu tidak terjadi peristiwa El Niño dan La Niña proses ini berlansung secara terus menerus, sehingga terjadi penumpukan massa air di Samudera Pasifik barat. Sementara itu, stres angin pasat tenggara di Samudera Hindia timur belahan bumi selatan membangkitkan arus ekuator selatan yang sepanjang tahun bergerak ke barat dan barat laut.
Kondisi ini menyebabkan tinggi muka laut di Samudera Hindia timur belahan bumi selatan menjadi rendah. Mekanisme ini berlangsung secara terus menerus, sehingga tinggi muka laut di Samudera Hindia Timur belahan bumi selatan lebih rendah daripada bagian barat Samudera Pasifik. Meskipun sepanjang tahun transpor Arlindo di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor bergerak dari Samudera Pasifik barat menuju Samudera Hindia timur belahan bumi selatan, namun memiliki variasi bulanan yang tinggi. Variasi bulanan ini disebabkan akibat pengaruh stres dari sistem angin musim yang berkembang di atas wilayah perairan Indonesia baik musim barat (monsun Asia) dan musim timur (monsun Australia) seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Gambar 3 menunjukkan variasi bulanan angin permukaan di atas perairan utara Papua (0O-15O LU dan 125O-150O BT), Laut Jawa-Laut Banda (2,5O-7,5O LS dan 110O-130O BT) dan perairan selatan Jawa-Laut Timor (8O-15O LS dan 110O130O BT). Di utara perairan Papua tanda negatif menunjukkan angin bergerak ke barat dan selatan, tanda positif menunjukkan angin bergerak utara dan timur. Tanda positif di Laut Jawa-Laut Banda dan perairan selatan Jawa-Laut Timor menunjukkan angin bergerak timur, dan negatif ke barat.
Gambar 4. Variasi rata-rata bulanan angin permukaan di atas perairan utara Papua, laut Jawa-laut Banda dan perairan selatan Jawa-laut Timor
Di Selat Lombok transpor Arlindo tinggi terjadi pada saat musim timur dan rendah pada saat musim barat. Pada saat musim barat angin permukaan di atas utara Papua bergerak ke barat dan selatan, di atas Laut Jawa-Laut Banda dan selatan Jawa-Laut Timor bergerak ke timur seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Stres dari angin permukaan di utara Papua menyebabkan massa air yang masuk ke wilayah perairan Indonesia semakin besar.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 151
Martono
Namun pada saat yang bersamaan, di atas perairan selatan Pulau Jawa berkembang angin musim barat yang bergerak ke timur dan mengakibatkan terbentuknya Arus Pantai Selatan Jawa (South Java Current) seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Arus Pantai selatan Jawa ini bergerak ke timur di sepanjang pantai selatan Jawa hingga mencapai selatan Pulau Lombok.13 Transpor Arlindo yang mengalir melalui Selat Lombok mendapat tekanan yang kuat dari Arus Pantai Selatan Jawa.
angin pasat tenggara terhadap permukaan laut menyebabkan terjadinya proses upwelling di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa hingga Pulau Sumba.
Gambar 7. Sirkulasi arus permukaan pada saat musim timur (Juni-Agustus)
Gambar 5. Sirkulasi arus permukaan pada saat musim barat (Desember-Februari)
Gambar 6. Sirkulasi arus permukaan perairan selatan Pulau Jawa (sumber:nature.com).
Sebaliknya, pada saat musim timur di perairan selatan Pulau Jawa hingga Pulau Sumba bertiup dengan kuat angin pasat tenggara seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Pada saat musim timur Arus Pantai Selatan Jawa tidak terbentuk, sehingga transpor Arlindo tidak mendapat tekanan dari arus ini. Transfer momentum stres Prosiding SNSA 2015 – Halaman 152
Proses upwelling menyebabkan tinggi muka laut menurun, sehingga beda tinggi muka laut antara Samudera Pasifik barat dengan Samudera Hindia timur belahan bumi selatan semakin besar. Mekanisme ini yang menyebabkan transpor Arlindo di Selat Lombok mencapai maksimum terjadi pada saat musim timur (JuniAgustus) dan minimum terjadi pada saat musim barat (Desember-Februari). Di Celah Timor transpor Arlindo tinggi terjadi pada saat musim peralihan pertama dan musim timur, serta rendah terjadi pada saat musim barat dan musim peralihan kedua. Pada saat musim peralihan pertama dan musim timur di atas perairan selatan Jawa hingga Laut Timor berkembang angin pasat tenggara dan angin musim timur yang bergerak ke barat. Stres angin ini menyebabkan arus ekuator selatan di Samudera Hindia yang bergerak ke barat juga semakin kuat. Kondisi ini menyebabkan perbedaan tinggi muka laut di Samudera Hindia timur belahan bumi selatan dengan Samudera Pasifik barat semakin besar. Sebaliknya, pada saat musim barat, angin permukaan di atas perairan tersebut bergerak ke timur dan terbentuk Arus Pantai Selatan Jawa sehingga memberi tekanan yang kuat terhadap transpor Arlindo. Kondisi berbeda terjadi di Selat Ombai dimana transpor Arlindo tinggi terjadi pada saat musim barat dan musim timur, serta rendah terjadi pada saat musim peralihan pertama dan musim peralihan kedua. Mekanisme pada saat musim timur sama dengan yang terjadi di Selat Lombok dan Celah Timor yaitu pengaruh kuat dari angin musim timur dan angin pasat tenggara di Samudera Hindia belahan bumi selatan.
Martono
Namun, mekanisme yang menyebabkan transpor Arlindo tinggi pada saat musim barat belum diketahui. Untuk dapat mengetahui meknisme ini perlu dilakukan pengkajian lebih komprehensif. Transpor Arlindo dari permukaan sampai kedalaman 1200 dan 1890 di Selat Ombai dan Celah Timor menunjukkan pola yang sama dengan kedalaman 0-300 meter. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan beberapa peneliti yang lain. Transpor Arlindo menguat pada saat musim dingin di belahan bumi selatan dan melemah pada saat musim panas di belahan bumi selatan.14 Pada saat musim panas di belahan bumi utara transpor Arlindo mencapai -13,9±1.3 Sv dan minimum mencapai sekitar -7,5±1.1 Sv terjadi pada saat musim dingin di belahan bumi utara.15 Transpor Arlindo di Celah Timor mencapai -0,34 Sv selama musim timur dan -0,27 selama musim barat.16 KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa angin musim mempengaruhi variasi bulanan transpor Arlindo di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor. Angin musim timur memperkuat transpor Arlindo di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor, tetapi angin musim barat melemahkan transpor Arlindo di Selat Lombok, Selat Ombai dan Celah Timor. Transpor Arlindo dari 0-300 meter di Selat Lombok tinggi pada saat musim timur dan rendah pada saat musim barat, di Celah Timor tinggi pada saat musim peralihan pertama dan musim timur dan rendah pada saat barat dan peralihan kedua, di Selat Ombai tinggi pada saat musim barat dan musim timur dan rendah pada saat musim peralihan pertama dan kedua. Transpor Arlindo di kedalaman 0-1200 meter di Selat Ombai dan 0-1890 meter di Celah Timor menunjukkan pola yang sama dengan kedalaman 0-300 meter. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Nurzaman Adikusumah, M.Si telah memberikan masukan dan bimbingan selama penulisan KTI. Sprintall dkk dan PODAAC NASA untuk penyediaan data transpor Arlindo dan angin. Daftar Pustaka 1
Potemra, J. T., 2005. Indonesian Throughflow Transport Variability Estimated from Satellite Altimetry. Oceanography, Vol. 18, No. 4.
2
Wyrtki, K., 1987. Indonesian through flow and the associated pressure gradient. J. Geophys. Res. Oceans, 92(C12), p:12941-12946. 3 Hasanudin, M., 1998. Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Oseana, Volume XXIII, Nomor 2, p:1-8. 4 Illahude, A.G., Nontji A., 1999. Oseanografi Indonseia dan Perubahan iklim Global ( El Niño dan La Niña). Lokakarya Kita dan Perubahan Iklim Global : Kasus El Niño – La Niña, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 18-19 Mei 1999. 5 Hautala, S. L., Sprintall, J., Potemra, J. T., Chong, J. C., Pandoe, W., Bray, Nan., Ilahude, A. G., 2001. Velocity structure and transport of the Indonesian Throughflow in the major straits restricting flow into the Indian Ocean. Journal Of Geophysical Research, Vol. 106, No. C9, p:19,527–19,546. 6 Gordon, A. L., Susanto, R. D., Ffield, A., Huber, B. A., Pranowo, W., Wirasantosa, S., 2008. Makasar Strait Throughflow 2004 to 2006. Geophysical Research Letters, Vol. 35, L24605. 7 Lee, T., Fukumori, I., Menemenlis, D., Xing, Z., Fu, L-L., 2002. Effects of the Indonesian Throughflow on the Pacific and Indian Oceans. Journal Of Physical Oceanography, Volume 32, p:1404-1429. 8 Shinoda, T., Han, W., Metzger, E. J., and Hurlbur, H. E., 2012. Seasonal Variation of the Indonesian Throughflow in Makasar Strait. Journal of Physical Oceanography, Volume 42, p:1099-1123.7Lebedev, K. V., Yaremchuk, M. I., 2000. A Diagnostic Study of the Indonesia Throughflow. Journal of Geophysical Research, Vol. 105, No. C5, p:11243-11258. 9 Schneider, N., 1998. The Indonesian Throughflow and the Global Climate System. J. Climate, 11, p:676-689. 10 Vranesa, K., Gordon, A. L., Ffield, A., 2002. The heat transport of the Indonesian Throughflow and implications for the Indian Ocean heat budget. Deep-Sea Research II 49, p:1391–1410. 11 Sprintall, J., Wijffels, S. E., Molcard, R., Jaya, I., 2009. Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004–2006. Journal Of Geophysical Research, Vol. 114, C07001, p:1-19. 12 Barry, R. G., Chorley, R. J., 2003. Atmosphere, Weather and Climate. Routledge, London. 13 Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 153
Martono 14
Liu, Y., Feng, M., Church, J., Wang, D., 2005. Effect of Salinity on Estimating Geostrophic Transport of the Indonesian Throughflow along IX1 XBT Section. Journal of Oceanography, Vol. 61, p.795-801. 15 Lebedev, K. V., Yaremchuk, M. I., 2000. A Diagnostic Study of the Indonesia Throughflow. Journal of Geophysical Research, Vol. 105, No. C5, p:11243-11258. 16 Safitri, M., Cahyarini, S.Y., Putri, M.R.., 2012. Variasi Arus Arlindo dan Parameter Oseanografi di Laut Timor Sebagai Indikasi Kejadian Enso. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 4, No. 2, Hlm. 369-377.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 154
Nanda Alfuadi
ANALISIS BANJIR DI PULAU BAWEAN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA SATELIT, STREAMLINE, PIBAL, DAN KELUARAN WRF EMS ANALYSIS OF FLOOD IN BAWEAN ISLAND BASED ON SATELLITE IMAGERY INTERPRETATION, STREAMLINE, PIBAL, AND WRF EMS OUTPUT Nanda Alfuadi Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pos-el :
[email protected] ABSTRACT Floods hit Bawean Island, Gresik (Thursday, 12/11/2014) due to heavy rain (> 50 mm) on 9th and 11th December, 2014 which occurs with a long duration in a day. As a result, the floods hit parts of Bawean Island. Flooding that occurred on the island of Bawean is not the first time this has happened, but until now no studies that discuss relevant primary and secondary causes in the event of flooding. Analysis method used is the analysis of satellite imagery MTSAT-2 IR1 from JMA, streamline model released RMSC Darwin Bureau of Meteorology, the upper air data (pilot ballon), and WRF EMS modeling. From this analysis it was found that there is a band of clouds Cumulunimbus (CB) is formed on the island of Bawean. This is the impact of wind convergence zone formed around Bawean Island. At WRF EMS model output shows that Convective Available Potential Energy (CAPE) surface has a value above 1000 J / kg. This value is high enough to be an indicator of the potential formation of air convection system. Keywords: Flood, Bawean, satellite imagery,streamline, pibal, WRF ABSTRAK Banjir melanda Pulau Bawean, Gresik (kamis, 11/12/2014) dikarenakan curah hujan tinggi (>50 mm) pada tanggal 9 dan 11 Desember 2014 yang terjadi dengan durasi cukup panjang dalam sehari. Akibatnya, banjir melanda sebagian wilayah Pulau Bawean. Banjir yang terjadi di Pulau Bawean ini bukan pertama kali terjadi, namun hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas terkait penyebab primer dan sekunder pada kejadian banjir ini. Metode analisa yang digunakan adalah analisa citra satelit MTSAT-2 IR1 dari JMA, streamline dari model yang dirilis Darwin RMSC Bureau of Meteorology, data upper air (pilot ballon), dan permodelan WRF EMS. Dari analisa tersebut didapatkan bahwa terdapat deretan awan Cumulunimbus (CB) yang terbentuk di atas pulau Bawean. Hal ini merupakan dampak dari zona konvergensi angin yang terbentuk di sekitar Pulau Bawean. Pada keluaran model WRF EMS didapatkan bahwa Convective Available Potential Energy (CAPE) permukaan memiliki nilai di atas 1000 J/kg. Nilai ini cukup tinggi untuk menjadi indikator potensi terbentuknya sistem konveksi udara. Kata kunci: Banjir, Bawean, citra satelit, streamline, pibal, WRF
PENDAHULUAN Pada hari Kamis, 11 Desember 2012 banjir melanda Pulau Bawean – Gresik, akibat curah hujan yang sangat tinggi (>50 mm) pada tanggal 9 dan 11 Desember 2014 yang terjadi dengan durasi yang cukup panjang dalam sehari. Dampaknya banyak rumah warga, khususnya di daerah dataran yang rendah dibanjiri luapan air karena luapan yang tak terkendali. Spontan warga sibuk menyelamatkan barang-barang di dalam rumahnya. Banjir di kawasan Sangkapura terjadi di Barat Sungai, Sawah Daya, Sawah Luar, Sawah Daya, Daya Bata, Laut Sungai, Kebun Laut, Sawah laut, Pateken, Sungaitopo, Bangkalan dan lain-lain. Banjir yang terjadi di Pulau Bawean ini bukan pertama kali terjadi.
Tercatat dalam 10 tahun terakhir tercatat sudah beberapa kali Pulau Bawean dilanda banjir. Meski dari setiap kejadian banjir yang terjadi menyebabkan kerugian yang besar, namun hingga saat ini belum ada penelitian yang membahas terkait penyebab primer dan sekunder pada kejadian banjir ini sebagai langkah antisipasi. Selain itu kondisi geografis Pulau Bawean yang merupakan pulau kecil di Laut Jawa dan terdapat stasiun pengamat cuaca BMKG, yakni Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean, membuat bencana alam seperti banjir seperti ini menarik untuk diteliti. Tujuan dari penetian ini adalah untuk mengetahui kondisi atmosfer di wilayah Pulau Bawean pada saat terjadi banjir 11 Desember Prosiding SNSA 2015 – Halaman 155
Nanda Alfuadi
2014 lalu. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pemikiran pihak-pihak terkait dalam upaya mitigasi bencana banjir di Pulau Bawean seperti itu dan mungkin dapat digunakan sebagai bahan kajian upaya mitigasi bencana banjir di pulau – pulau kecil lain yang memiliki kemiripan kondisi iklim, cuaca, dan topografi dengan Pulau Bawean. Stasiun Meteorologi Sangkapuran Bawean memiliki koordinat 05o 51’ 3,862” LS ; 112o 39’ 28,662” BT dengan elevasi 3 m. Stasiun ini berada pada pesisir selatan Pulau Bawean. Pulau yang berjarak sekitar 81 mil ke utara dari Jawa Timur memiliki luas sekitar sekitar 194,11 km2. Terdapat bukit di tengah pulau ini dengan ketinggian tidak lebih dari 500 m.
Lokasi Stamet Sangkapura
Gambar 1. Peta lokasi Pulau Bawean
Secara teori kejadian banjir ini erat kaitannya dengan hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat, dimana menurut BMKG, kriteria intensitas curah hujan lebat di Indonesia adalah 10-20 mm/jam atau 50-100 mm/hari. Sedangkan untuk intensitas curah hujan sangat lebat adalah lebih dari 20 mm/jam atau 100 mm/hari. Hujan ekstrim (lebat/sangat lebat) yang terjadi di Indonesia biasanya berasal dari awan-awan konvektif.1 Fenomena-fenomena yang dapat menjadi faktor pembentukan awan konvektif adalah konvergensi (daerah pertemuan angin dan mengumpulnya massa udara), eddy (pusaran angin tertutup dengan durasi harian), wind shear (perubahan rata-rata arah dan kecepatan angin terhadap jarak), shearline (garis atau zona lintasan yang terdapat perubahan mendadak pada komponen sejajar angin horizontal), konveksi
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 156
(pemanasan), adveksi (perpindahan horizontal suatu sifat massa udara).2 Multi-Functional Transport Satellite (MTSAT) Multi-Functional Transport Satellite (MTSAT) merupakan satelit geostasioner multi fungsional untuk misi meteorologi dan aeronautika. Untuk misi meteorologi telah terjadi beberapa peningkatan fitur dibandingkan dengan penyajian seri GMS (Geostationary Meteorological Satellite).3 Misi satelit geostationer MT-SAT, dalam meteorologi yang utama adalah: a. Menyediakan citra awan paling tidak setiap 30 menit untuk keperluan nowcasting b. Untuk menghasilkan Wind Vectors dengan cara men-track awan atau uap air untuk keperluan input model NWP (Numerical Weather Prediction). MTSAT berorbit tetap pada satu titik tetap yaitu pada posisi 140 BT tepat berada di atas kota Biak, Papua dengan ketinggian kurang lebih 36.000 km dari permukaan bumi dan memantau tempat yang sama yaitu 1/3 dari luas bumi. Data satelit ini diterima secara rutin setiap satu jam sekali oleh BMKG.4 Berdasarkan Modul Interpretasi Citra satelit tahun 2009, MTSAT memiliki 1 (satu) kanal VIS dan 4 (empat) kanal Inframerah yang bekerja pada panjang gelombang 0.55–0.90 micron (VIS), 10.3–11.3 micron (IR1), 11.5-12.5 micron (IR2), 6.5–7.0 micron (IR3/Water Vapor), dan 3.5–4.0 micron (IR4/Short-wave IR). Pada penelitian ini channel yang digunakan adalah channel 10.3 (IR-1). Citra IR dihasilkan dari radiasi terestrial oleh bumi, puncak awan dan atmosfer pada kisaran panjang gelombang 10μ12μ. Citra IR dapat diperoleh baik siang maupun malam hari. Nilai yang terukur adalah suhu yang dipancarkan oleh permukaan objek yang termodifikasi akibat penyerapan dan re-emisi pada saat melalui atmosfer. Standar display warna citra IR adalah hitam-putih, dimana warna putih digunakan menggambarkan suhu yang lebih rendah dan hitam untuk suhu yang lebih hangat. Streamline Angin dianalisa pada peta sinoptik yang disebut analisis streamline, yaitu garis singgung vektor angin pada suatu tempat. Analisis streamline digunakan mengetahui dari mana asal massa udara dan untuk mengetahui daerah tekanan rendah dan gangguan-gangguan yang terjadi di sekitar wilayah tropis.5
Nanda Alfuadi
Pilot Ballon (Pibal) Dalam melakukan pengamatan unsur cuaca udara atas dapat dilakukan dengan menggunakan Pilot Ballon (Pibal). Untuk menentukan arah dan kecepatan di lapisan atas, dapat digunakan beberapa metode, yaitu menggunakan metode Perhitungan Matematika, Plotting Board, ataupun Software Pibal. Angin yang dicari adalah angin di tiap lapisan, yaitu lapisan 1000ft, 2000ft, 3000ft, dst. Jadi untuk mencari lapisan 1000ft, kita menggunakan data pembacaan ke 2 dan ke 3, untuk mencari angin 2000ft kita gunakan pembacaan ke 4 dan ke 5, begitu pula seterusnya.6 Weather Research and Forecasting (WRF) The Weather Research and Forecasting (WRF ) adalah salah satu model numerik yang digunakan untuk prediksi cuaca (NWP) dalam skala meso, baik untuk kepentingan operasional maupun penelitian. WRF-Environmental Modeling System (WRF-EMS) adalah model berbasis WRF yang dikembangkan oleh NOAA/NWS Science and Training Resource Center (STRC). WRFEMS merupakan model NWP yang lengkap, fullphysics dan mendukung core WRF yang dikembangkan NCAR (Advance Research WRF a.k.a ARW) maupun NCEP (Non-hydrostatic Mesoscale Model a.k.a NMM).7 METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini adalah : - Data citra satelit MTSAT-2 kanal IR 1 dari JMA tanggal 9 – 11 Desember 2014 jam 00, 03, 06, 09, 12, 15, 18, dan 21 UTC yang diunduh dari http://weather.is.kochiu.ac.jp/sat/ALL - Streamline dari model yang dirilis Darwin RMSC Bureau of Meteorology yang diunduh dari www.bom.gov.au - Data upper air (pilot ballon) dari data pengamatan pilot ballon yang dilakukan pada jam 00, 06 dan 12 UTC - Permodelan yang merupakan keluaran dari permodelan WRF EMS berupa peta model spektral suhu udara, RH, tutupan awan rendah, jumlah curah hujan, arah angin pada lapisan permukaan, 850 mb, dan 700 mb serta model spektral CAPE permukaan dengan input data Final Analysis (FNL) dari NCEP NOAA yang diunduh dari http://rda.ucar.edu/dataset. - Data observasi Stasiun Meteorologi sangkapura Bawean pada tanggal 9 – 11 Desember 2014.
Keempat data tersebut dianalisa secara kuantitatif dan kualitatif. Hal ini ditujukan agar hasil analisis lebih tepat sehingga dapat lebih menggambarkan kondisi cuaca pada tanggal 9 – 11 Desember 2014 yang dianggap menjadi penyebab terjadinya banjir di Pulau Bawean pada tanggal 11 Desember 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk memahami kondisi atmosfer sebelum dan ketika banjir terjadi di Pulau Bawean, analisis meteorologi telah dilakukan berdasarkan data citra satelit MTSAT-2 IR1 dari JMA, streamline dari model yang dirilis Darwin RMSC Bureau of Meteorology, data upper air (pilot ballon), dan permodelan yang merupakan keluaran dari permodelan WRF EMS dengan input dataset FNL. Citra Satelit MTSAT-2 IR1
Hasil pantauan citra satelit MTSAT-2 IR1 menunjukkan bahwa selama tanggal 9 – 11 Desember 2014 adalah seperti Gambar 2 sampai Gambar 5. Berdasarkan Gambar 2 di atas Pulau Bawean tutupan awannya masih tidak terlalu rapat. Tutupan awan yang cukup rapat (konvektif kuat) adalah wilayah sekitar Sulawesi dan Banda. Terpantau di wilayah sekitar Filipina juga terdapat sekumpulan awan dengan konsentrasi yang cukup tinggi dan terlihat akan membuat sebuah sirkulasi. Hal ini terlihat dari bentangan awan yang seolah tertarik dari Laut Cina menuju ke kumpulan awan tersebut. Berdasarkan Gambar 3, pada pukul 12.00 UTC 9 Desember 2014 awan konevektif kuat yang mulanya berada di wilayah Sulawesi mulai mengalami pergeseran ke arah barat dan kumpulan awan yang berada di atas Filipina mulai jelas membentuk sebuah sirkulasi. Terlihat pula pada peta citra satelit di atas bahwa pada jam 18.00 UTC awan konvektif kuat yang awalnya berada di atas sekitar Selat Makasar mulai mencapai wilayah Pulau Bawean. Jika melihat dari waktunya, awan yang terbentuk di Pulau Bawean pada 18.00 UTC ini bukanlah awan hasil pemanasan permukaan (konveksi), melainkan dari adveksi udara dingin. Hal ini karena ketika malam hari konveksi sulit terjadi.8 Namun adveksi ini tidak berasal dari pergerakan monsun namun dari pergerakan eddy, shearline, atau pola konvergensi karena arahnya yang berlawanan dengan arah pergerakan monsun.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 157
Nanda Alfuadi
Gambar 2. Citra satelit tanggal 09 Desember 2014 jam 00 dan 06 UTC
Gambar 4. Citra satelit tanggal 11 Desember 2014
Gambar 3. Citra satelit tanggal 09 Desember 2014 jam 12 dan 18 UTC Prosiding SNSA 2015 – Halaman 158
Gambar 5. Citra satelit tanggal 11 Desember 2014
Nanda Alfuadi
Pada 00.00 UTC 10 Desember 2014 awan yang membentuk pola sirkulasi di dekat Filipina telah semakin matang terlihat dari pola tertutupnya. Sementara itu awan di atas Pulau Bawean terlihat masih cukup rapat. Selain itu pola belokan angin mulai terlihat di wilayah selatan Sumatera yang jika kondisi di atmosfer mendukung, dapat terbentuk eddy. Pada 06.00 UTC terlihat pola sirkulasi di dekat Filipina mulai melemah (decay). Pada 12.00 UTC 10 Desember 2014 awan konvektif tebal masih menutupi Pulau Bawean bahkan mengalami penguatan pada pukul 18.00 UTC. Hal ini menandakan proses adveksi kembali terjadi dalam mekanisme pertumbuhan awan ini. Pola sirkulasi juga masih terlihat di sekitar selatan Sumatera. Tanggal 11 Desember 2014 (Gambar 4 dan Gambar 5), ketika banjir melanda Pulau Bawean, awan konvektif kuat menutupi pulau ini dan sekitarnya. Kondisi ini bertahan dari jam 00.00 UTC hingga 00.00 UTC hari berikutnya. Ini mengindikan berbagai kondisi di atmosfer, antara lain adalah sistem awan ini adalah sistem konvektif skala meso (MCS) dimana tidak hanya awan Cumuliform yang menjadi penyusun kelompok awan sepanjang tanggal 11 Desember 2014 namun juga awan Stratiform, hal ini terlihat dari eksistensi awan yang cukup lama. Selain itu kondisi ini menunjukkan labilitas atmosfer yang cukup besar, baik disebabkan pola konvergensi angin, eddy/vortex, atau shearline, sehingga menyebabkan awan dapat terus bertahan di wilayah tersebut.9 Isobar Gambar 6 menggambarkan bahwa kondisi gradien tekanan antara daerah sekitar Cina (Laut Cina) dan equator (Indonesia) cukup besar. Kondisi ini memungkinkan untuk terjadinya adveksi udara dingin dan basah menuju Indonesia.
Gambar 6. Peta isobar tanggal 9 – 11 Desember 2014
Streamline Berdasarkan Gambar 7, terlihat terdapat banyak disturbance yang menyebabkan terbentuknya shearline ataupun zona konvergensi. Kondisi seperti ini memang biasa terjadi ketika musim hujan/basah terjadi di wilayah tropis.10 Terlihat pada peta tersebut pada jam 00.00 dan 12.00 UTC terlihat bahwa daerah utara Jawa Timur (sekitar selatan Pulau Bawean) merupakan daerah konvergensi massa udara dan menguat pada malam hari (12 UTC). Kondisi ini sangat mempengaruhi labilitas massa udara pada daerah tersebut. Sehingga potensi untuk terbentuknya awan konvektif cukup besar. Terlihat pula bahwa massa udara yang memasuki wilayah Indonesia bukan murni dari wilayah Asia Timur (Cina dan Laut Cina) namu terdapat tambahan massa udara dari wilayah Samudera Pasifik yang sifatnya cukup lembab juga karena berasal dari lautan yang luas. Pada 10 Desember 2014, pola konvergensi ini mengalami pergeseran semakin ke utara. Sementara itu pada 12.00 UTC di hari yang sama, pola sirkulasi siklonik mulai terbentuk di selatan Pulau Bali yang menyebabkan adanya daerah belokan angin (shearline) di sekitar timur Pulau Bawean yang semakin menguatkan potensi untuk terbentuknya awan di daerah tersebut. Hal ini karena umumnya di daerah belokan angin ini, kecepatan anginnya relatif lebih lambat.11
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 159
Nanda Alfuadi
UTC. Hal berdampak pada pembentukan daerah belokan angin (shearline) yang semakin jelas pula di wilayah Pulau Bawean. Penguatan pola sirkulasi siklonik ini juga mengakibatkan massa udara (yang sebagian besar udara basah) yang seharusnya bergerak ke timur atau selatan tertahan di area shearline ini. Jika penguatan ini terus terjadi secara signifikan, maka pembentukan awan akan semakin intensif pada dini hari hingga pagi hari. Upper Air (Pilot Ballon) Pengamatan pibal yang dilakukan di Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean pada 9 – 11 Desember 2014 masih memiliki data kosong karena bebrapa faktor, yaitu: a. Terdapat banyak awan rendah yang membuat pilot ballon tidak dapat teramati ketika sudah memasuki awan. b. Hujan (seperti yang terjadi sepanjang tanggal 11 Desember 2014). Gambar 7. Peta streamline tanggal 9 Desember 2014
Analisa labilitas atmosfer berdasar data pengamatan pibal dapat dilakukkan dengan plotting hodograf. Berikut ini ada data hasil plotting pada hodograf dari data pengamatan pibal yang dilakukan pada tanggal 9 dan 10 Desember 2014. Tabel 1.a Kondisi vertical shear tanggal 9 Des 2014 Time (UTC)
T. wind dir. 1
T. wind dir. 2
00
Anticyclone Anticyclone
06
Anticyclone
Linear
12
Cyclone
Cyclone
T. wind dir. 3
T. wind dir. 4
T. wind dir. 5
-
-
-
Anticyclone
-
-
Anticyclone Anticyclone Anticyclone
Tabel 1.b. Panjang garis normal tanggal 9 Des 2014
Gambar 8. Peta streamline tanggal 11 Desember 2014
Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa pola konvergensi masih ada bahkan cenderung semakin intensif. Pada peta analisis di atas pola sirkulasi siklonik tertutup juga semakin jelas terutama pada peta analisis streamline jam 12.00 Prosiding SNSA 2015 – Halaman 160
Time (UTC)
Normal 1
Normal 2
Normal 3
Normal 4
Normal 5
00
2.3
3.3
-
-
-
06
5.3
30
17.1
-
-
12
3.8
22.3
37
21
19
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pada pengamatan jam 00.00 UTC, arah angin termal pada lapisan permukaan hingga 3000 ft adalah antisiklonal dan nilai normalnya untuk angin termal pertama adalah 2,3 dan angin termal kedua adalah 3,3 (terdapat kenaikan nilai normal). Ini menandakan bahwa pada jam 00.00 UTC tersebut terdapat mekanisme adveksi udara panas pada kondisi udara yang cenderung stabil untuk ketinggian udara kurang dari 3000 ft.
Nanda Alfuadi
Kondisi ini kurang mendukung untuk proses konveksi. Pada pengamatan pibal jam 06.00 UTC, kondisi atmosfer untuk ketinggian kurang dari 3000 ft lebih stabil jika dibandingkan dengan kondisi atmosfer pada jam 00.00 UTC. Hal ini terlihat dari kenaikan nilai normal terhadap ketinggian. Sedangkan kondisi atmosfer antara 3000 hingga 4000 ft arah angin termal masih antisiklonal namun nilai normalnya mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan indikasi kecenderungan udara yang labil dan terdapat mekanisme adveksi panas. Pada pengamatan jam 12.00 UTC, kondisi angin termal dari lapisan permukaan hingga ketinggian 2000 ft adalah siklonal dengan nilai normal yang terus mengalami peningkatan. Sedangkan untuk udara di atas 2000 ft hingga 5000 ft, arah angin termalnya cenderung siklonal dan terjadi penurunan nilai normal. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kondisi udara yang labil dan terdapat mekanisme adveksi udara dingin di lapisan bawah dan adveksi udara panas di lapisan dia atas 2000 ft. Tabel 2. Panjang garis normal tanggal 10 Desember 2014 Time (UTC)
T. wind dir. 1
T. wind dir. 2
00 06
Antisiklonal
Antisiklonal
Siklonal
Antisiklonal
Tabel 3. Panjang garis normal tanggal 10 Desember 2014 Time (UTC)
Normal 1
Normal 2
00
2.3
38.3
06
10
21.8
Pada pengamatan tanggal 10 Desember 2014 jam 00.00 UTC (Tabel 2 dan Tabel 3) kondisi angin termal di bawah 3000 feet adalah antisiklonal dengan nilai normal yang cenderung meningkat. Pada jam 06.00 UTC kondisi tersebut masih sama hanya saja mengalami pelemahan. Ini menunjukkan bahwa baik pada jam 00 maupun jam 06 UTC, ada indikasi bahwa kondisi udara yang cukup stabil dan ada mekanisme adveksi udara panas.
Tabel 4. Data pengamatan lapisan permukaan Tanggal 11 Des 2014
Temperatur
Wind (km/h) Dir.
Speed
Prec (mm)
23.1 23.7 97.3
NNW
2.9
207.2
Max
Min
26.5
RH Avg Avg
10 Des 2014
30.2
24.6 27.1 84.6
WNW
14.1
27.0
09 Des 2014
32.0
26.5 29.2 79.3
W
16.2
107.0
Sedangkan untuk distribusi data curah hujan tiap 6 jam terGambar pada Gambar 9.
Gambar 9. Profil curah hujan
Jika dilihat pada Gambar 9, jumlah curah hujan tertinggi yang terukur di Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean terjadi antara jam 18.00 hingga 00.00 UTC pada tanggal 9 Desember 2014 dan siang hingga malam hari pada tanggal 11 Desember. Hujan yang terjadi pada dini hari ini biasa terjadi pada musim hujan seperti pada bulan Desember. Kejadian hujan ini dapat terjadi karena adanya mekanisme adveksi udara. Hujan di sore dan malam hari biasanya terjadi karena kondisi atmosfer yang cukup basah akibat pemanasan di pagi hingga siang hari dan akibat presipitasi pada hari sebelumnya (10 Desember 2014). Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa pada 9 Desember 2014 jam 21.00 UTC dan pada hari berikutnya pada jam 12 UTC terdapat penurunan suhu yang cukup signifikan. Sementara pada tanggal 11 kondisi udara sangat lembab terbukti dari rapatnya grafik suhu udara dan titik embun.
Data Synop Berdasarkan data hasil pengamatan udara lapisan permukaan, curah hujan dengan intensitas tertinggi bulan Desember 2014 terjadi pada tanggal 9 dan 11 seperti pada Tabel 4. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 161
Nanda Alfuadi
Gambar 10. Profil suhu udara dan titik embun
Keluaran WRF EMS Pada penelitian ini keluaran WRF EMS yang digunakan untuk menganalisa kejadian banjir tanggal 11 Desember 2014 di Pulau Bawean adalah angin, curah hujan, awan rendah (konvektif), RH, dan suhu pada lapisan permukaan, 850 dan 700 mb. Selain itu model spektral CAPE lapisan permukaan juga menjadi bahan analisa. Berikut adalah hasil keluaran WRF EMS.
J/kg.12 Ini artinya ketika nilai CAPE pada suatu daerah berada pada kisaran angka tersebut, potensi untuk terbentuk badai konvektif cukup besar. Secara teori, energi potensial konvektif ini secara simultan akan dikonversi langsung menjadi kinetik oleh sirkulasi termal. Berdasar pemahaman ini maka dapat dikatan pada tanggal 9 Desember 2014 potensi untuk terbentuknya awan konvektif kuat cukup besar. Jika diperhatikan pada peta permodelan CAPE permukaan di atas, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara nilai CAPE permukaan di daratan dan lautan. Hal ini karena sumber konveksi terbesar berada di daerah laut dan semakin tinggi elevasi suatu tempat, umumnya CAPE permukaan di daerah itu pada waktu yang sama akan lebih rendah dibandingkan dengan daerah yang memiliki elevasi lebih rendah. Inilah yang juga menjadi sebab Pulau Bawean memiliki nilai CAPE permukaan yang lebih rendah dari sekitarnya, meskipun nilainya masih tetap diatas angka 1000 J/kg.
CAPE Permukaan Sepanjang tanggal 9 Desember 2014 (Gambar 11), hasil running WRF EMS untuk peta CAPE (Convective Avalaible Potential Energy) permukaan cukup tinggi yakni jam 00.00 UTC nilai CAPE permukaan pada kisaran 1200 – 2400 J/kg, jam 06.00 UTC berkisar 2100 – 2400 J/kg, jam 12.00 UTC berkisar antara 1500 – 2400 J/kg, dan jam 18.00 UTC berkisar 1800 – 2400 J/kg. Gambar 12. CAPE permukaan
Gambar 11. CAPE permukaan
Pada peta model CAPE permukaan tanggal 10 Desember 2014 (Gambar 12), nilai yang didapat masih cukup tinggi yakni 1800 – 2400 J/kg untuk jam 00.00 UTC, 2100 – 2400 J/kg untuk jam 06.00 UTC, 1500 – 2400 J/kg untuk jam 12.00 UTC, dan 1500 – 2700 J/kg untuk jam 18 UTC. Jika diperhatikan terdapat kesamaan pola dengan nilai CAPE permukaan pada hari sebelumnya. Yakni terjadi kecenderungan peningkatan antara jam 00 hingga 06 UTC, kemudian menurun pada jam 12 UTC setelah itu meningkat kembali pada jam 18 UTC.
Nilai CAPE erat kaitannya dengan suhu, kelembapan, dan pembentukan awan konvektif kuat. CAPE lingkungan untuk badai konvektif biasanya berada pada kisaran nilai 1000 – 2000
Pada tanggal 11 (Gambar 13) terlihat bahwa nilai CAPE permukaan masih cukup tinggi, lebih tinggi dari pada tanggal 10 namun tidak lebih tinggi dari tanggal 9, yakni 1800 – 2700 J/kg untuk jam 00 UTC, 1200 –
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 162
Nanda Alfuadi
2400 J/kg untuk jam 06 UTC, 1200 – 2400 J/kg untuk jam 12 UTC, 1200 – 2100 J/kg untuk jam 18 UTC, dan 1800 – 2400 J/kg untuk jam 00 tanggal 12 Desember 2014.
Pada Gambar 14 diketahui bahwa untuk tanggal 9 Desember 2014 kondisi tutupan awan rendah di atas Pulau Bawean dari jam 00 hingga 18 UTC memiliki prosentase tidak lebih dari 10 %. Angka ini juga sama untuk prosentase tutupan awan menengah. Hanya saja untuk awan menengah, pada jam 21 UTC prosentasenya mengalami kenaikan menjadi sekitar 30 %.
Gambar 13. CAPE permukaan
Ada yang berbeda dengan pola nilai CAPE permukaan pada tanggal 11 ini. Nilai maksimum terjadi pada jam 00 UTC kemudian menurun pada jam 06 UTC dan masih tetap hingga 12 UTC. Setelah itu kembali mengalami kenaikan nilai kembali pada jam 18 UTC. Tingginya nilai CAPE permukaan ini mendukung untuk pembentukan/pertumbuhan awan konvektif pada tanggal 11 Desember 2014 ini. Tutupan Awan Rendah dan Menengah
Gambar 14. Tutupan awan Gambar 15. Tutupan awan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 163
Nanda Alfuadi
Pada tanggal 11 Desember 2014 (Gambar 15) prosentase tutupan awan rendah dan menengah cukup variatif terhadap waktu. Jika dilihat untuk tutupan awan rendah, prosentase tertinggi terpusat di sekitar Pulau Bawean terutama di timur laut Pulau Bawean. Pada jam 00 hingga 09 UTC prosentase tutupan awan di Pulau Bawean berfluktuasi antara 10 – 80 % dengan kecenderungan semakin menurun. Pada kisaran jam 12 – 21 UTC, prosentase tutupan awan lebih rendah dibandingkan pagi hingga sore hari. Pada rentang waktu pagi hingga sore hari tutupan awan terbentuk di wilayah Pulau Jawa (Jawa Timur) bergerak menuju ke arah utara dan mulai menurun prosentase dan luasannya pada pagi hari menjelang fajar (21 UTC). Pola ini juga terjadi pada awan menengah namun dengan prosentase tutupan yang lebih rendah (10 – 50 %).
Kecepatan angin zonal ini di sebagian besar wilayah bernilai positif, yang menunjukkan bahwa monsun Asia atau angin baratan mendominasi pada saat itu.
Angin Berdasarkan peta model angin zonal (Gambar 16) terlihat pola yang hampir mirip pada angin zonal tanggal 9 dan 11 Desember 2014 baik secara spasial maupun temporal. Kecepatan angin zonal meningkat ke arah utara dan sebaliknya, semakin menuju ke arah Jawa Timur, kecepatan angin zonal semakin menurun. Selain itu kecepatan angin zonal ini mengalami peningkatan pada siang dan malam hari.
Gambar 17. Angin meridional
Berdasarkan Gambar 17, dapat diidentifikasi bahwa angin meridional ini keceptannya sangat lemah sehingga pergerakan udara komponen v (utara-selatan) kurang signifikan. Kelembaban (RH)
Gambar 16. Angin zonal
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 164
Berdasarkan profil RH vertical (Gambar 18), dapat dilihat bahwa pada lapisan 850 mb > 80%, lapisan 700 mb > 60% dan lapisan 500 mb lebih dari 40%. Hal ini berarti bahwa mendukung adanya proses pertumbuhan awan, yang sesuai dengan teori bahwa pola kelembaban mendukung proses pertumbuhan awan jika nilainya: Lapisan 850 mb: >80%, Lapisan 700 mb: > 60 %, Lapisan 500 mb : > 40%(2). Disamping itu tingginya nilai RH ini tidak hanya pada lapisan permukaan yang memang dekat dengan sumber evaporasi yakni Laut Jawa, namun hingga hampir mencapai lapisan 100 mb. Ini menunjukkan bahwa pada tanggal 11 Desember 2014 di atas Pulau Bawean terdapat massa udara yang sangat basah dan ketebalannya sangat tinggi, inilah yang disebut awan Cumulonimbus (CB). Pada beberapa kejadian hujan ekstrem di Indonesia, umumnya tinggi
Nanda Alfuadi
puncak awan CB ini pada kisaran lapisan 150 mb. Dengan tinggi puncak awan seperti itu, jumlah curah hujan yang dihasilkan bisa mencapai 300 mm dalam sehari.
Gambar 19. Skew T-log P
KESIMPULAN Gambar 18. Vertical crossection RH
Pada profil RH vertikal tersebut juga tampak variasi RH per lapisan terhadap waktu. Terlihat bahwa kondisi udara yang sangat basah ini bertahan sangat lama hingga hampir 24 jam. Ini menunjukkan bahwa awan CB yang berada di atas Pulau Bawean pada tanggal 11 Desember bukanlah awan CB single cell dan bukan awan CB murni dari tempat itu. Hal ini dikarenakan pada siklus hidup awan CB single cell tidak akan lebih dari 2 jam.13 Dan jika awan CB ini adalah awan CB murni dari mekanisme konveksi dari Bawean dan sekitarnya, tidak akan dapat bertahan hingga selama itu. Suhu Udara Berdasarkan Gambar 19, terlihat bahwa grafik suhu udara dan titik embun sangan rapat. Ini menunjukkan bahwa atmosfer dalam kondisi cukup jenuh dan labil. Dari skew-T tersebut juga dapat diketahui bahwa updraft yang terjadi sangat kuat. Ini terlihat dari jauhnya jarak LFC (perpotongan bawah garis biru dan grafik suhu) dan EL (perpotongan atas garis biru dan grafik suhu). Ini yang menyebabkan suplai uap air dapat terjadi dengan lebih intensif dan terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Secara meteorologis, hujan dengan jumlah curah hujan selama hampir 3 hari terakhir (9 – 11 Desember 2014) yang sangat tinggi yakni 341,2 mm menjadi sebab utama terjadinya banjir ini. Hujan yang terjadi selama hampir 3 hari ini disebabkan oleh mekanisme gabungan antara konveksi dan adveksi. Kondisi ini sebenarnya bukan anomali/kejadian luar biasa karena kondisi atmosfer dimana palung equator berada di sekitar Laut Jawa ketika Monsun Asia aktif adalah hal yang wajar. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Supriyadi dan Ibu Marfuah yang selalu memberikan masukan dalam penelitian ini, Cindy Selly Sukma Devi yang telah membantu dalam mencari informasi kejadian banjir Bawean, Bapak Najib Habibie dan Bapak Wido Hanggoro yang membimbing dalam penulisan analisa. DAFTAR PUSTAKA 1
Takaki, Ryoji, Hideyuki Honda, Mitsue Mizutani, dan Toshinori Hirose.2009. Development of Automatic Monitoring and Diagnostic System for Space Science Satellite.makalh dalam 47th AIAA Aerospace Sciences Meeting Including The New Horizons Forum and Aerospace Exposition.Orlando: American Institute of Aeronautics and Astronautics 2 Tjasyono, Bayong. 2007. Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 3 Fadholi, Akhmad. 2013. Pengolahan Data Citra Satelit MTSAT Menggunakan Aplikasi Prosiding SNSA 2015 – Halaman 165
Nanda Alfuadi
DATAID. Jurnal Informatika & Komputasi STMIK – Indonesia, Vol. 7 (1), April 2013 ISSN 1412-0232 4 BMKG, Peraturan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nomor: KEP.009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan desiminasi Informasi Cuaca Ekstrim, BMKG, Jakarta, 2010. 5 Winarso, Paulus Agus. 2011. Analisa Cuaca 1. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 6 Winarso, Paulus Agus. 2009. Analisa Cuaca II. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 7 Fadholi, Akhmad, Fitria P.S., Purwo A., dan Ristiana D.. 2014. Pemanfaatan Model Weather Research and Forecasting (WRF) dalam Analisis Cuaca terkait Hujan Lebat Batam 30-31 Januari 2011.Jurnal Fisika dan Aplikasinya Vol. 10 8 Petterssen, Sverre. 1956. Weather Analysis and Forecasting 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. 9 Mason, B.J.. 1971. The Physics of Cloud.London: Oxford University Press. 10 Ratag, Mezak A., Yusuf S.U. 2008. Dasar – Dasar Fisika Monsun. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 11 Cloud Formation (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/pr int_2.htm, diakses 8 Maret 2015). 12 Unstable Atmosphere (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/pr int_4.htm, diakses 8 Maret 2015). 13 Pruppacher, Hans R., James D. Klett. 1980. Microphysic of Clouds and Precipitation. London: D. Riedel Publishing Company.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 166
Nihayatuz, dkk.
KARAKTERISTIK KARBON MONOKSIDA (CO) DAN NITROGEN OKSIDA (NO X) DI KOTA BANDUNG CHARACTERISTICS OF CARBON MONOXIDE (CO) AND NITROGEN OXIDE(NOX) IN BANDUNG Nihayatuz Zulfa*, Novita Ambarsari, Waluyo Eko Cahyono Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB* Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el :
[email protected] ABSTRACT Air is one of the major factors in the life of living beings. Along with the physical development of the city as well as an increase in industrial centers, air quality began to change due to the entry of contaminants into the air. Pollutants to be observed are carbon monoxide (CO) and nitrogen oxides (NOx). The concentration of carbon monoxide (CO) and nitrogen oxides (NOx) in the air is always changing. Therefore, the study aims to find patterns or characteristics of CO and NOx in Bandung along 2009.Variation in gas concentrations of CO and NOx showed a pattern with peaks in the morning and evening, while the minimum at noon. The correlation between CO and NOx gases showed a high value so that it can be seen that increasing the concentration of CO will be followed by an increase in the concentration of NOx. The highest concentration measured in October with a value of 59,5 ppm respectively at 05.30 pm and 0,25 ppm at 08:00 pm. Measurable concentration has exceeded the quality standard but it does not last long so it is not harmful to health. Keywords: carbon monoxide (CO), nitrogen oxides (NOx), characteristics ABSTRAK Udara merupakan salah satu faktor utama dalam kehidupan makhluk hidup. Seiring dengan peningkatan pembangunan fisik kota maupun pusat-pusat industri, kualitas udara mulai mengalami perubahan karena masuknya zat pencemar ke udara. Pencemar yang akan diamati adalah karbon monoksida (CO) dan nitrogen oksida (NOx). Konsentrasi karbon monoksida (CO) dan nitrogen oksida (NOx) di udara selalu berubah-ubah. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui pola atau karakteristik gas CO dan NOx di kota Bandung selama tahun 2009.Variasi harian konsentrasi gas CO dan NOx menunjukkan pola dengan puncak konsentrasi pada pagi hari dan malam hari, sedangkan minimum pada siang hari. Korelasi antara gas CO dan NOx menunjukkan nilai yang tinggi sehingga dapat diketahui bahwa peningkatan konsentrasi CO akan diikuti oleh peningkatan konsentrasi NOx. Konsentrasi CO dan NOx tertinggi terukur pada bulan Oktober dengan nilai masing-masing 59,5 ppm pada pukul 17.30 WIB dan 0,25 ppm pada pukul 20.00 WIB. Konsentrasi yang terukur telah melebihi baku mutu tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan. Kata kunci : karbon monoksida (CO),nitrogen oksida (NOx), karakteristik
PENDAHULUAN Udara merupakan salah satu faktor utama dalam kehidupan makhluk hidup. Seiring dengan peningkatan pembangunan fisik kota maupun pusat-pusat industri, kualitas udara mulai mengalami perubahan. Perubahan tersebut terjadi akibat adanya pencemaran udara. Pencemaran udara merupakan masuknya zat pencemar ke dalam udara sehingga mutu udara turun hingga tingkat tertentu.1 Pencemar tersebut dapat berupa gas dan partikel-partikel kecil atau aerosol. Daerah perkotaan merupakan salah satu sumber
polusi dengan banyaknya aktivitas baik berupa transportasi maupun industri.2 Parameter pencemar udara dalam baku mutu udara ambien adalah karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida (NO₂), ozon permukaan (O₃), hidro karbon (HC), PM₁₀, PM₂.₅, dustfall (debu jatuh), timah hitan (Pb), dan TSP (debu).3 Empat parameter yang lain adalah total fluorides (sebagai F), flour indeks, klorin dan klorin dioksida, serta sulphat indeks yang hanya diukur pada daerah dengan industri kimia besar. Pada penelitian ini, parameter yang akan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 167
Nihayatuz, dkk.
diamati karakteristiknya adalah karbon monoksida (CO) dan nitrogen oksida (NOx). Karbon monoksida (CO) secara fisik merupakan gas yang tidak berbau, tidak berasa, dan pada suhu normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Gas CO dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna yang berasal dari bahan bakar fosil seperti minyak tanah, bensin, solar, dan batu bara. Secara teoritis, pembakaran tidak sempurna memang sangat mungkin terjadi. Hal tersebut terjadi karena kekurangan gas oksigen (udara) untuk proses pembakarannya.4 Gas CO juga berasal dari pembakaran hutan dan semak, oksidasi dari hidrokarbon non-methan, produksi langsung dari tanaman, oksidasi metan dan emisi dari lautan .5Senyawa CO memiliki potensi racun yang berbahaya karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah (hemoglobin).6 Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa CO akibat dari pembakaran yang tidak sempurna. Paparan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk kadar karboksihemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk dengan sangat perlahan karena membutuhkan waktu 4 hingga 12 jam untuk tercapainya keseimbangan antara kadar CO di udara dan HbCO dalam darah, oleh karena itu kadar CO dalam lingkungan cenderung dinyatakan sebagai kadar rata-rata 8 jam yang berbeda dalam sehari. Dampak CO bervariasi tergantung dari status kesehatan seseorang pada saat terpapar. Pada beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentolelir paparan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40% dalam waktu singkat. Seseorang yang menderita penyakit jantung atau paru-paru akan menjadi lebih parah akibat kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5-10%. 7 Nitrogen oksida (NOx) merupakan kelompok gas nitrogen yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO₂). Walaupun ada bentuk oksida nitrogen lainnya di atmosfer, tetapi kedua gas tersebut paling banyak diketahui sebagai bahan pencemar udara. Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebaliknya nitrogen dioksida berwarna coklat kemerahan dan berbau tajam .8Jumlah gas NO di udara lebih besar dari pada jumlah gas NO₂. Pembentukan gas NO dan NO₂ merupakan reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, yang bereaksi lebih lanjut dengan lebih banyak oksigen sehingga membentuk NO₂.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 168
Kadar NOx di perkotaan biasanya 10-100 kali lebih tinggi daripada pedesaaan karena aktivitas dan kepadatan penduduk di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan. Kadar NOx di udara dalam suatu wilayah bervariasi sepanjang tahun tergantung dari intensitas radiasi matahari dan aktivitas kendaraan bermotor. Di daerah perkotaan, karbon monoksida bersamaan dengan aldehida bereaksi secara fotokimia menghasilkan radikal peroksi. Radikal peroksi bereaksi dengan nitrogen oksida dan meningkatkan rasio NO₂ terhadap NO, sehingga mengurangi jumlah NO yang digunakan sebagai pembentuk ozon. Sebagai ibu kota Jawa Barat, Bandung mempunyai nilai strategis terhadap daerah di sekitarnya karena berada pada lokasi yang sangat strategis bagi perekonomian. Kota Bandung yang termasuk kota besar dengan banyak aktivitas baik industri maupun transportasi sehingga kota Bandung memiliki tingkat polusi udara yang cukup tinggi. Pada kota-kota besar, konsentrasi CO dapat mencapai 1-10 ppm.2 Transportasi kota-kota besar seperti Bandung cenderung akan padat saat awal dan akhir jam kerja dan akan berkurang pada tengah hari dan malam hari. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola atau karakteristik temporal gas CO dan NOx di kota Bandung pada tahun 2009. METODOLOGI Pengukuran Pengukuran karbon monoksida dan nitrogen oksida udara ambien di Bandung dilakukan dengan menggunakan alat Horiba Ambient Carbon Monoxide Monitor tipe APMA-370. Prinsip pengukuran konsentrasi CO dan NOx dengan instrument Horiba adalah dengan melakukan sampling udara secara kontinu dengan pompa kemudian dialirkan menuju sel sample lalu disinari dengan lampu fotokimia. Panjang gelombang disesuaikan sehingga sesuai dengan daya absorbansi CO dan NOx.
Gambar 1. Alat Horiba Ambient Carbon Monoxide Monitor tipe APMA-370
Nihayatuz, dkk.
Spesifikasi alat Horiba Ambient Carbon Monoxide Monitor tipe APMA-370 meliputi daerah pengukuran 1-100 ppm, standar deviasi pengukuran sebesar ±1%, ketidak linearan ±1%, dan laju alir gas diatur 1,5 liter/menit .9 Lokasi dan Data Data CO dan NOx hasil pengukuran Horiba Ambient Carbon Monoxide Monitor tipe APMA370 merupakan data tiap 30 menit setiap hari yang diukur di stasiun pengukuran polusi udara LAPAN Bandung (6.9˚LS dan 107.58˚BT). Data tersebut merupakan data harian CO dan NOx selama 10 bulan yaitu bulan Maret hingga Desember pada tahun 2009. Data diolah menjadi menjadi data dengan rata-rata tiap jam untuk CO dan NOx lalu dibuat grafik siklus hariannya selama 24 jam untuk setiap bulannya sehingga dapat terlihat nilai maksimum dan minimumnya. Data juga diolah menjadi grafik scatterplot untuk melihat hubungan antara karbon monoksida (CO) dengan nitrogen Oksida (NOx) menggunakan software SPSS 17.0. Uji korelasi juga dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0 untuk mengetahui nilai korelasi antara CO dan NOx. Konversi baku mutu udara ambien khususnya CO dan NOx dari μg/m³ menjadi ppm dapat dilakukan dengan menggunakan rumus : ppm =
tertinggi mencapai 0,71 ppm yang terukur pada pukul 07.00 WIB. Pada bulan Desember, konsentrasi CO terbesar justru pada pukul 19.30 WIB dengan konsentrasi sebesar 0,69 ppm. Seperti yang terlihat pada grafik, konsentrasi CO baik pada bulan Juli maupun Desember meningkat pada jam kerja, dan kemudian menurun saat siang hari, namun kemudian meningkat lagi pada malam hari. a.
b.
(1)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kota Bandung sebagai kota yang cukup besar dengan aktivitas penduduk yang padat dapat berpengaruh terhadap kualitas udaranya. Pola variasi harian CO dan NOx di kota Bandung ditampilkan dengan grafik sebagai berikut. Gambar 2 merupakan grafik pola sebaran harian CO dan NOx selama 10 bulan yang diwakili oleh bulan Juli dan Desember karena kedua bulan tersebut berada dalam musim yang berbeda yaitu bulan Juli untuk musim kemarau dan bulan Desember untuk musim penghujan. Gambar 2 menunjukkan konsentrasi CO dan NOx mulai meningkat antara pukul 06.00 hingga 08.00 WIB. Pada waktu tersebut, aktivitas manusia mulai berlangsung terutama aktivitas transportasi sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi gas CO dan NOx di udara. Pada pukul 07.00 WIB intensitas sinar matahari mulai meningkat sehingga gas CO mulai naik ke lapisan batas atmosfer dan terukur oleh alat. Konsentrasi CO pada bulan Juli yang
Gambar 2. Konsentrasi rata-rata CO dan NOx untuk bulan (a) Juli dan (b) Desember tiap jam
Konsentrasi NOx tertinggi pada bulan Juli terukur sebesar 0,0135 ppm pada pukul 09.00 WIB dan pada bulan Desember sebesar 0,0775 ppm pada pukul 00.00 WIB. Pola konsentrasi NOx jika dilihat akan sama dengan pola grafik CO. Konsentrasi meningkat pada pagi hari yaitu pada jam kerja, kemudian menurun pada siang hari dan meningkat lagi pada malam hari. Pola yang sama pada grafik CO dan NOx disebabkan karena sumber dari kedua pencemar ini sama yaitu hasil pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil. Konsentrasi polutan yang tinggi pada malam hari menunjukkan adanya akumulasi polutan di lapisan inversi.10 Untuk mengetahui hubungan antara CO dan NOx, maka dibuat grafik seperti pada Gambar 3. Grafik scatter untuk CO dan NOx diwakili oleh bulan Maret karena pada bulan tersebut korelasi yang dihasilkan paling bagus diantara bulan lainnya. Grafik tersebut menunjukkan peningkatan konsentrasi NOx akan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 169
Nihayatuz, dkk.
diikuti oleh peningkatan konsentrasi CO. Korelasi antar CO dan NOx menunjukkan nilai yang cukup tinggi. Nilai korelasi antara CO dan NOx adalah sebesar 0,83 atau 83%. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NOx akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi CO. Hal tersebut dapat terjadi karena sumber penghasil CO dan NOx adalah sama.
seperti yang tertera pada tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi CO dan NOx memiliki nilai korelasi sebesar 0,911 artinya antara CO dan NOx memiliki korelasi yang tinggi. Selain itu, pvalue untuk korelasi antara CO dan NOx sebesar 0,000. Karena p-value< 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variable. 11 Hubungan ini menunjukkan bahwa konsentrasi CO naik bersamaan dengan naiknya konsentrasi NOx, tetapi buka berarti bahwa kenaikan konsentrasi CO mempengaruhi kenaikan konsentrasi NOx. Tabel 3. Hasil perhitungan nilai korelasi Kendall dan Spearman CO dan NOx bulan Maret CO (ppm)
NOx (ppm)
Correlation Coefficient
1.000
0.739**
Sig. (2-tailed)
.
0.000
N
1480
1356
Correlation Coefficient
0.739**
1.000
Sig. (2-tailed)
0.000
.
N
1356
1363
Correlation Coefficient
1.000
0.900**
Parameter Kendall's tau_b
Gambar 3. Scatterplot konsentrasi CO dan NOx bulan Maret
CO (ppm)
NOx (ppm)
Tabel 1. Hasil perhitungan secara statistik nilai CO dan NOx bulan Maret Spearman's CO (ppm) rho
Parameter
Mean
Std. Deviation
N
CO (ppm)
0.810095
0.4943100
1480
Sig. (2-tailed)
.
0.000
NOx (ppm)
0.039543
0.0284490
1363
N
1480
1356
Correlation Coefficient
0.900**
1.000
Sig. (2-tailed)
0.000
.
N
1356
1363
NOx (ppm)
Analisis secara statistik dilakukan untuk data CO dan NOx bulan Maret yang ditunjukkan oleh tabel 1. Konsentrasi CO rata-rata bulan Maret adalah 0,810 ppm dan konsentrasi NOx rata-rata bulan Maret adalah 0,039 ppm. Nilai standar deviasi dari kedua pengukuran menunjukkan nilai sebaran data yang tidak berbeda jauh dari ratarata keduanya. Tabel 2. Hasil perhitungan korelasi Pearson CO dan NOx bulan Maret Parameter CO (ppm)
Pearson Correlation
CO (ppm)
NOx (ppm)
1
0.911**
Sig. (2-tailed) N NOx (ppm)
0.000 1480
1356 **
Pearson Correlation
0.911
Sig. (2-tailed)
0.000
N
1356
1 1363
Selain itu, uji korelasi juga dilakukan untuk melihat hubungan antara CO dan NOx. Analisis korelasi yang digunakan adalah korelasi Pearson, Spearman, dan Kendall. Hasil analisis Pearson Prosiding SNSA 2015 – Halaman 170
Uji korelasi juga dilakukan dengan uji korelasi Spearman dan Kendall seperti yang tertera pada tabel 3. Nilai korelasi Kendall antara CO dan NOx menunjukkan nilai 0,739 dan pvalue sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kedua variabel. Nilai korelasi antara CO dan NOx dengan uji korelasi Spearman menunjukkan nilai 0,900 dengan p-value sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kedua variabel.12 Hubungan ini menunjukkan bahwa konsentrasi CO naik bersamaan dengan naiknya konsentrasi NOx, tetapi buka berarti bahwa kenaikan konsentrasi CO mempengaruhi kenaikan konsentrasi NOx.
Nihayatuz, dkk.
Gambar 4. Variasi tahunan CO dan NOx
Gambar 4 menunjukkan konsentrasi rata-rata bulanan untuk CO dan NOx yang membentuk suatu variasi tahunan. Gambar menunjukkan pola yang hampir sama antara CO dan NOx seperti halnya variasi harian. Kenaikan konsentrasi CO akan diikuti oleh kenaikan konsentrasi NOx, begitu pula sebaliknya. Konsentrasi tertinggi terukur pada bulan Oktober untuk CO dan NOx dengan nilai masing-masing sebesar 1,629 ppm dan 0,076 ppm. Konsentrasi CO terendah terukur pada bulan Desember dan konsentrasi NOx terendah terukur pada bulan Juli dengan nilai masing-masing 0,225 ppm dan 0,008 ppm.
a.
b.
Gambar 5 menunjukkan kecenderungan variasi harian CO dan NOx setiap bulan selama tahun 2009. Gambar tersebut menunjukkan pola yang sama dengan Gambar 2 yaitu dengan puncak konsentrasi pada pagi hari dan malam hari, sedangkan minimum pada siang hari. Konsentrasi CO dan NOx tertinggi terukur pada bulan Oktober dengan nilai masing-masing 59,5 ppm pada pukul 17.30 WIB dan 0,25 ppm pada pukul 20.00 WIB. Baku mutu untuk CO dan NOx dengan waktu pengukuran 24 jam adalah 8,732 ppm dan 0,122 ppm. Konsentrasi yang terukur telah melebihi baku mutu tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan. Konsentrasi CO dan NOx terendah terukur pada bulan September dengan nilai masing-masing 0,128 ppm pada pukul 03.30 WIB dan 0,003 ppm pada pukul 12.00 WIB. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variasi harian maupun bulanan dari CO dan NOx menunjukkan pola yang hampir sama. Variasi harian menunjukkan bahwa puncak konsentrasi CO dan NOx terjadi pada pagi hari dan malam hari, sedangkan konsentrasi minimum terjadi pada siang hari. CO dan NOx tertinggi terukur pada bulan Oktober dengan nilai masingmasing 59,5 ppm dan 0,25 ppm, dengan baku mutu untuk CO dan NOx dengan waktu pengukuran 24 jam adalah 8,732 ppm dan 0,122 8 ppm. Nilai konsentrasi yang terukur telah melebihi baku mutu, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama sehingga tidak berbahaya bagi kesehatan. Konsentrasi CO dan NOx terendah terukur pada bulan September dengan nilai masing-masing 0,128 ppm pada pukul 03.30 WIB dan 0,003 ppm pada pukul 12.00 WIB.Korelasi antara gas CO dan NOx menunjukkan nilai yang tinggi yaitu 8sebesar 0,911 sehingga dapat diketahui bahwa peningkatan konsentrasi CO akan diikuti oleh peningkatan konsentrasi NOx. UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 5. Kecenderungan variasi harian (a) CO dan (b) NOx setiap bulan selama tahun 2009
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Drs. Waluyo Eko Cahyono, M.I.L selaku kepala Bidang Komposisi Atmosfer LAPAN Bandung atas dukungan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis, Ibu Novita Ambarsari selaku pembimbing karya tulis ilmiah, dan tidak lupa kepada seluruh staf bidang Komposisi Atmosfer LAPAN Bandung atas dukungan yang diberikan kepada penulis.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 171
Nihayatuz, dkk.
DAFTAR PUSTAKA 1
Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta. Sekretariat Negara. 2 Coll I, F. Lasry, S. Fayet, M. Samaali, J. L. Ponche, and R. Vautard, 2006. The determining role of CO in local ozone production. Geophysical Research Abstracts (8):10025. 3 Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta. Sekretariat Negara. 4 Pasha, Aprilia, 2011. Simulasi dispersi gas karbon monoksida (CO) dalam gardu tol menggunakan computational fluid dynamics (CFD), studi kasus : gerbang tol Bogor. Skripsi. Bogor .Institut Pertanian Bogor. 5 Mèszáros, Ernö, 1981. Atmospheric Chemistry. Amsterdam .Elseiver Scientific Publishing Company. 6 Raditya, Jevon, 2011. Pengaruh volume kendaraan terhadap konsentrasi pencemar NOx pada udara ambient di pintu tol (studi kasus : pintu tol Cililitan 2). Skripsi. Jakarta. Universitas Indonesia. 7 Departemen Kesehatan, 2011. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. (https://www.depkes.go.id/downloads/udara.p df, diakses pada 15 April 2015) 8 Pasha, Aprilia, 2011. Simulasi dispersi gas karbon monoksida (CO) dalam gardu tol menggunakan computational fluid dynamics (CFD), studi kasus : gerbang tol Bogor. Skripsi. Bogor .Institut Pertanian Bogor. 9 HORIBA, 2006. APMA-370 Ambient Carbon Monoxide Monitor.(http:// www.horiba.com/processenvironmental/products/ambient/details/apma370-ambient-carbon-monoxide-monitor-270/, diakses pada 15 April 2015) 10 Wang, Y., M. B. McElroy, J. W. Munger, J. Hao, H. Ma, C. P. Nielsen, and Y. Chen. Variations of O3 and CO in summertime at a rural site near Beijing. Atmospheric Chemistry and Physics (8):6355-6363. 11 SPSS Inc, 2007. SPSS Statistic Base 17.0 User’s Guide. Chicago. SPSS Inc. 12 BESRAL,2010.Pengolahan dan Analisis Data Menggunakan SPSS. Depok. Universitas Indonesia.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 172
Ninong Komala
KARAKTERISTIK KOMPOSISI ATMOSFER INDONESIA TAHUN 20032014 BERBASIS DATA SATELIT CHARACTERISTICS OF ATMOSPHERIC COMPOSITION OF INDONESIA IN 2003-2014 BASED ON SATELLITE DATA Ninong Komala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional pos-el: Niñ
[email protected]; Niñ
[email protected] ABSTRACT Research on analysis of the composition of the atmosphere in Indonesian based on satellite data has been conducted. The aim of the research is to understand the characteristics of atmospheric parameters in Indonesia especially ozone, CO and CH 4 . Sources of natural and anthropogenic activity can affect the amount and character of the chemical composition of the atmosphere, including ozone, CO and CH 4 . The characteristics of the chemical composition of the atmosphere studied by performing data inventory of ozone, CO and CH 4 data based on AQUAAIRS for the period of 2003-2014. The method of this research is the analysis of the annual and seasonal pattern also perform statistical analysis of the relationship between ozone variation with CO and CH 4 . Analysis of temporal variations provide results that ozone in Indonesia vary between 215 up to 271 DU. CO between 1.5 to 2.9 1018 molecules/cm2 while CH 4 varies between 3.66 to 3.77 1019 molecules/cm2. Analysis of seasonal variations shown by the variation of ozone and CO, while CH 4 besides showing seasonal variations also showed an increasing trend from year to year. Analysis of seasonal variation of ozone reaches a maximum at JJA (246.9 DU) and minimum at DJF (231.8 DU). Maximum of CO shown in SON (1.83 1018 molecules/cm2) and minimum on MAM (1.74 1018 molecules/cm2) while the seasonal pattern of CH 4 reaches a maximum at the JJA (3.71 1019 molecules/cm2) and minimum on SON (3.69 1019 molecules/cm2). Keywords: AQUA-AIRS, CH 4 , CO, ozone ABSTRAK Penelitian analisis komposisi atmosfer Indonesia berbasis data satelit telah dilakukan dengan tujuan untuk memahami karakteristik parameter atmosfer di Indonesia khususnya ozon, CO dan CH 4 . Sumber alamiah dan aktivitas antropogenik dapat mempengaruhi jumlah maupun karakter komposisi kimia di atmosfer termasuk ozon, CO dan CH 4 . Karakteristik komposisi kimia di atmosfer diteliti dengan melakukan inventori data ozon, CO dan CH 4 berbasis data AQUA-AIRS periode 2003-2014. Metoda penelitian yang dilakukan adalah analisis pola tahunan, musiman serta melakukan analisis statistik keterkaitan perubahan ozon dengan CO dan CH 4 . Analisis variasi temporal memberikan hasil bahwa ozon di Indonesia bervariasi antara 215 DU sd 271 DU. CO antara 1,5 sd 2,9 1018 molekul/cm2 sedangkan CH 4 bervariasi antara 3,66 sd 3,77 1019 molekul/cm2. Analisis variasi musiman ditunjukkan oleh variasi ozon dan CO, sedangkan CH 4 selain menunjukkan variasi musiman juga menunjukkan trend peningkatan dari tahun ke tahun. Analisis variasi musiman ozon mencapai maksimum pada JJA (246,9 DU) dan minimum pada DJF (231,8 DU). CO maksimum pada SON (1,83 1018 molekul/cm2) dan minimum pada MAM (1,74 1018 molekul/cm2) sedangkan pola musiman CH 4 mencapai maksimum pada JJA (3,71 1019 molekul/cm2) dan minimum pada SON (3,69 1019 molekul/cm2). Kata kunci :AQUA-AIRS, CH 4 , CO, ozon
PENDAHULUAN Penelitian komposisi atmosfer secara kontinyu di wilayah Indonesia dilatar belakangi oleh masih sangat terbatas dan masih sangat sulit untuk melakukan penelitian terutama untuk cakupan wilayah yang luas. Oleh karena itu data komposisi atmosfer dari satelit yang mengamati komposisi atmosfer sangat diperlukan karena data parameter atmosfer dari data satelit dapat
digunakan untuk mengamati dan menganalisis karakteristik parameter atmosfer dalam cakupan yang luas dan periode waktu yang cukup panjang. Penelitian komposisi atmosfer di wilayah Indonesia berbasis data satelit dilakukan dengan tujuan untuk memahami karakteristik dari masing-masing parameter berupa variasi masingmasing konsentrasi parameter atmosfer serta keterkaitannya dengan parameter atmosfer yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 173
Ninong Komala
lain. Penelitian komposisi atmosfer Indonesia dilakukan dengan menggunakan data ozon, CO dan CH 4 dari AQUA-AIRS dengan periode pengamatan dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014. Sebagian besar ozon (sekitar 97%) ditemukan di atmosfer terkonsentrasi di stratosfer pada ketinggian15 sampai 55 kilometer di atas permukaan bumi. Ozon stratosfer ini berperan sangat penting untuk kehidupan di bumi karena menyerap radiasi ultraviolet yang berbahaya. Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat ozon stratosfer telah menurun karena aktivitas antropogenik berupa pelepasan kloro fluoro karbon (CFC) ke atmosfer sejak akhir 1970-an. Pengukuran satelit telah menunjukkan bahwa zona dari 65° Lintang Utara sampai 65° Lintang Selatan telah mengalami penurunan ozon stratosfer sekitar 3% sejak tahun 1978. Untuk wilayah lintang menengah, karakteristik ozon secara vertikal, latitudinal, maupun musiman telah menunjukkan adanya perubahan yang menunjukkan bahwa halogen menjadi penyebab utama dari fenomena ini. Proses penguraian ozon di stratosfer bawah dikatalisis oleh reaksi dengan BrO, ClO, HO 2 , dan N 2 O. 1,2 Pembentukan ozon paling tinggi terjadi di wilayah katulistiwa karena sinar matahari bersinar terus menerus sepanjang tahun. Akan tetapi, konsentrasi ozon paling besar terdapat di wilayah kutub (lintang tinggi dan lintang menengah) disebabkan adanya transport ozon dan dinamika atmosfer dari khatulistiwa. Konsentrasi ozon total di wilayah tropis meningkat pada saat musim kemarau dan menurun saat musim hujan.3,4 Karbon monoksida (CO) dapat bereaksi dengan hidroksil (OH) radikal di atmosfer. Karena OH radikal dapat mengurangi life time gas rumah kaca seperti CH 4 , CO secara tidak langsung dapat meningkatkan potensi pemanasan global dari gas rumah kaca. Karbon monoksida di atmosfer juga dapat menyebabkan pembentukan ozon di troposfer yang bersifat gas rumah kaca. Konsentrasi CO di atmosfer global bervariasi sepanjang tahun, mulai dari 30 ppb hingga sekitar 200 ppb. Disamping berasal dari sumber buatan manusia, CO juga dapat berasal dari oksidasi CH 4 dan hidro karbon lainnya di atmosfer. Sedangkan sink (rosot) dari CO adalah karena bereaksi dengan OH di atmosfer, juga karena deposisi di permukaan (ground). Saat ini lebih dari setengah dari emisi CO ke atmosfer adalah buatan manusia. Konsentrasi tertinggi CO cenderung terjadi dekat wilayah dengan populasi yang tinggi. Pada skala global, belahan bumi Prosiding SNSA 2015 – Halaman 174
utara lebih padat penduduknya sehingga memiliki konsentrasi CO yang lebih tinggi dibandingkan di belahan bumi selatan. Pembakaran biomassa dan penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi karbon monoksida buatan manusia.5 Sumber utama CO berasal dari proses pembakaran tidak sempurna pada bahan bakar minyak, pembakaran biomasa, dan proses oksidasi fotokimia pada metana dan hidrokarbon lainnya di atmosfer. Sumber utama CO berasal dari wilayah daratan yang memiliki faktor terpenting sumber CO yaitu emisi antropogenik dan pembakaran biomasa di musim kering/ kemarau di wilayah tropis dan pada periode hangat di wilayah lintang tinggi. Oksidasi fotokimia metana dan hidrokarbon menjadi sumber penting CO di daerah tropis begitu juga untuk daerah lintang tinggi di musim panas. Penyebab utama terurainya CO adalah akibat reaksi dengan radikal OH yang memicu pembentukan CO 2 dan perusakan ozon. Pada kondisi daerah yang terpolusi, nitrogen oksida dapat menjadi penyebab terurainya CO yang memicu pembentukan CO 2 dan ozon.6 Metana (CH 4 ) adalah gas rumah kaca terpenting kedua. CH 4 lebih kuat dari CO 2 karena forcingradiasi yang dihasilkannya per molekul lebih besar. Keberadaan CH 4 di atmosfer konsentrasinya jauh lebih rendah dari CO 2 di atmosfer. Konsentrasi CH 4 yang terukur biasanya dalam bagian per miliar (ppb) sedangkan CO 2 dalam bagian per sejuta (ppm). CH 4 juga memiliki waktu tinggal di atmosfer jauh lebih pendek daripada CO 2 . Waktu tinggal untuk CH 4 kira-kira 10 tahun, dibandingkan dengan CO 2 yang mempunyai waktu tinggal di atmosfer selamaratusan tahun. Sumber alami CH 4 diantaranya adalah lahan basah di daerah tropis dan di belahan bumi utara. Sink (rosot) untuk CH 4 adalah atmosfer itu sendiri, karena CH 4 mudah bereaksi dengan radikal hidroksil (OH) di troposfer juga di stratosfer. Di troposfer dan stratosfer CH 4 akan membentuk CO 2 dan uap air (H 2 O). Rosot alami CH 4 lainnya adalah tanah, yang mengakibatkan CH 4 teroksidasi oleh bakteri.5 Konsentrasi CH 4 mengalami peningkatan karena aktivitas antropogenik termasuk pertanian, pembakaran biomassa, tambang batubara. Aktivitas antropogenik ini sangat signifikan mempengaruhi budget CH 4 secara global.7 Perubahan konsentrasi CH 4 juga akan berpengaruh terhadap produksi ozon di troposfer.8 Oksidasi CH 4 oleh OH juga merupakan sumber utama CO dan formaldehid di troposfer.9
Ninong Komala
METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data total kolom ozon (DU), CO (1018 molekul/cm2) dan CH 4 (1019 molekul/cm2) di wilayah Indonesia (10o LU – 10 o LS dan 94 o BT141 o BT) hasil observasi Atmospheric Infra Red Sounder (AIRS) dari satelit Aqua. Data yang diperoleh merupakan data global rata-rata bulanan dengan grid 1o lintang x 1o bujur. Periode data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014.10,11 Metodologi penelitian yang diakukan adalah melakukan ekstraksi data ozon, CO dan CH 4 untuk wilayah Indonesia dari data AQUA-AIRS global dalam format HDF untuk periode 2003 sampai dengan 2014. Selanjutnya dilakukan konversi data dari HDF format untuk data ozon, CO dan CH 4 menggunakan HDF view dan EXCELL. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan analisis time series untuk memperoleh variasi musiman dan tahunannya. Selanjutnya dibuat diagram Hovmoller untuk menunjukkan variasi ozon, CO dan CH 4 pada posisi lintang dan bujur Indonesia yang mengalami perubahan konsentrasi dengan berubahnya waktu. Dilakukan pula analisis keterkaitan ozon dengan CO dan CH 4 di Indonesia yang akan menjelaskan pengaruh CH 4 dan CO terhadap ozon.
Variasi temporal CO di Indonesia ditampilkan pada Gambar 1(b). Dari tahun 2003 s.d. 2014 di Indonesia konsentrasi CO bervariasi antara 1,5 s.d. 2,9x1019 molekul/cm2. Nilai maksimum terjadi pada bulan Oktober tahun 2004 dan 2006 karena didominasi oleh pengaruh peristiwa kekeringan dan kebakaran hutan. Variasi temporal CO menunjukkan kondisi ekstrim pada Oktober 2006 karena terjadi kebakaran hutan yang besar di wilayah Indonesia khususnya di Sumatera. Gambar 1(c) memperlihatkan variasi temporal CH 4 di Indonesia dengan konsentrasi yang bervariasi antara 3,66 s.d. 3,77x1018 2 molekul/cm . Variasi temporal CH 4 di Indonesia memperlihatkan terjadinya peningkatan konsentrasi dari tahun ke tahun khususnya dari tahun 2008 sampai 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi temporal ozon, CO dan CH 4 Variasi temporal ozon, CO dan CH 4 Indonesia dari data AQUA-AIRS dapat memberikan Gambaran karakter ketiga parameter tersebut berupa pola tahunan, musiman, dan variasinya dari tahun ke tahun. Pada Gambar 1.a dapat dilihat variasi temporal ozon di Indonesia yang bervariasi antara 215 DU sampai dengan 271 DU. Konsentrasi ozon yang rendah terjadi pada tahun 2005, 2007 dan 2010 hal ini terkait dengan kondisi La Niña yang identik dengan kandungan uap air yang tinggi. Sebagai konsekuensinya kondisi ozon akan menjadi lebih rendah karena uap air dapat merusak ozon sehingga ozon di tahun-tahun terjadinya La Niña menjadi lebih rendah. Sedangkan pada tahun 2004, 2006 dan 2009 terjadi kondisi sebaliknya yaitu konsentrasi uap air sangat minim karena musim kemarau yang panjang sehingga konsentrasi uap air yang minim tidak dapat merusak proses pembentukan ozon sehingga konsentrasi ozon menjadi lebih tinggi.
Gambar 1. Variasi temporal ozon (a), variasi temporal CO (b) dan variasi temporal CH 4 (c) di Indonesia dari tahun 2003 - 2014.
Variasi musiman ozon, CO dan CH 4 di Indonesia Untuk memperoleh pola musiman komposisi atmosfer, dibuat pola rata-rata musiman 2003 sampai dengan 2013 untuk bulan-bulan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 175
Ninong Komala
Desember Januari Februari (DJF), Maret April Mei (MAM), Juni Juli Agustus (JJA) dan September Oktober November (SON). Pada Gambar 2 disajikan variasi rata-rata musiman ozon, CO dan CH 4 di Indonesia dari tahun 20032014. Analisis rata-rata variasi musiman ozon di Indonesia periode 2003 sampai dengan 2014 pada Gambar 2(a) menunjukkan bahwa ozon mencapai maksimum pada JJA (246,9 DU) dan minimum pada DJF (231,8 DU). Ozon menunjukkan maksimum pada bulan-bulan JJA terkait dengan konsentrasi uap air yang minimum pada bulan-bulan JJA (musim kering) sehingga pembentukan ozon akan maksimum. Minimumnya ozon pada bulan-bulan DJF terkait dengan melimpahnya konsentrasi uap air di atmosfer Indonesia yang mengakibatkan terjadinya perusakan ozon. Variasi musiman ozon di Indonesia sesuai dengan hasil Kaye, et al.4 yang menyatakan bahwa konsentrasi ozon total di wilayah tropis meningkat pada saat musim kemarau dan menurun saat musim hujan. Pada Gambar 2(b) dapat dilihat variasi musiman CO maksimum pada SON (1,83x1018 2 molekul/cm ) dan minimum pada MAM (1,74x1018 molekul/cm2).
Gambar 2. Variasi rata-rata musiman ozon (a), CO (b) dan CH 4 (c) di Indonesia dari tahun 2003sd 2014
Pola CO yang selalu maksimum di musim tersebut terkait dengan peristiwa kekeringan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 176
Untuk pola musiman, pola konsentrasi CO pada bulan SON lebih tinggi daripada pola CO pada musim lainnya khususnya pada tahun 2002, 2004 dan 2006. Variabilitas CO dengan nilai maksimum terjadi pada bulan Oktober 2006 akibat peristiwa kebakaran hutan hal ini menunjukkan bahwa variabilitas CO sangat dipengaruhi oleh pembakaran biomassa (kebakaran hutan). Variasi musiman CH 4 di Indonesia pada 2003 sampai 2014 ditampilkan pada Gambar 3(c). CH 4 di Indonesia mencapai maksimum pada JJA (3,71x1019 molekul/cm2) dan minimum pada SON (3,69x1019 molekul/cm2). Variasi musiman CH 4 di Indonesia antara variasi musiman maksimum dan minimum perbedaan nya tidak terlalu signifikan. Dengan membuat diagram Hovmoller untuk ozon, CO dan CH 4 , dapat diperoleh variasi ozon, CO dan CH 4 pada posisi lintang dan bujur Indonesia yang mengalami perubahan dengan berubahnya waktu. Pada Gambar 3 dapat dilihat diagram Hovmoller untuk variasi ozon di Indonesia. Distribusi konsentrasi ozon yang tinggi pada SON tahun 2006 dominan pada lintang dan bujur timur hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada 2010 ozon yang rendah terdeteksi di hampir seluruh lintang dan bujur wilayah Indonesia.
Gambar 3. Diagram Hovmoller ozon (DU) di Indonesia berdasarkan variasi Lintang (a) dan berdasarkan variasi Bujur Timur (b) dari tahun 2003 sd 2014 berbasis data AQUA AIRS.
Ninong Komala
Gambar 4. Diagram Hovmoller CO (1018 molekul/cm2) di Indonesia berdasarkan variasi Lintang (a) dan berdasarkan variasi Bujur Timur (b) dari tahun 2003 s.d. 2014 berbasis data AQUA AIRS.
Pada Gambar 4 dapat dilihat diagram Hovmoller untuk distribusi CO di Indonesia. Pada Gambar 4(a) konsentrasi CO paling dominan terjadi pada SON 2006 dan terdeteksi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2004 pada 3o Lintang Selatan hingga 0o dan 0o hingga 5o Lintang Selatan, serta 95o-120o Bujur Timur pada wilayah ini konsentrasi CO menunjukkan nilai yang tinggi. Posisi lintang dan bujur tersebut merupakan posisi Indonesia bagian barat khususnya Pulau Sumatera dan Kalimantan. Hal ini juga menunjukkan adanya kontribusi sangat besar dari kejadian kebakaran hutan dan kekeringan pada 2004 dan 2006 terhadap konsentrasi CO di hampir seluruh wilayah Indonesia. Pada Gambar 5 dapat dilihat diagram Hovmoller distribusi CH 4 di Indonesia. Pada Gambar 5(a), berdasarkan variasi lintang CH 4 yang dominan tinggi sepanjang tahun adalah pada lintang 5 hingga 9o Lintang Utara dan 4 hingga 9.5o Lintang Selatan pada tahun 2007 hingga 2014. Sedangkan pada 1 hingga 4o Lintang Selatan relatif rendah sepanjang tahun. Pada Gambar 5(b) berdasarkan variasi bujur timur pada 94-95o bujur timur, 105-108 o bujur timur dan 126-133 o bujur timur menunjukkan konsentrasi CH 4 yang tinggi. Konsentrasi CH 4 yang relatif rendah terdeteksi pada 102 BT o, 114-116 o BT dan 138-140 o BT. Posisi lintang dan bujur dengan CH 4 tinggi tersebut merupakan posisi Indonesia bagian barat khususnya posisi Pulau Sumatera dan Kalimantan dan CH 4 rendah adalah di wilayah Papua.
Gambar 5 a. Diagram Hovmoller CH 4 (1019 molekul/cm2) di Indonesia berdasarkan variasi Lintang dan b. berdasarkan variasi Bujur Timur dari tahun 2003 sd 2014 berbasis data AQUA AIRS.
Analisis Statistik Analisis statistik keterkaitan ozon dengan CO dan CH 4 di Indonesia berdasarkan data AQUAAIRS periode 2003-2014 dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Hasil analisis regresi yang diperoleh: Ozon = - 77 + 89.1 CH 4 - 7.79 CO Tabel 1. Hasil analisis statistik Predictor Constant CH 4 CO
Coef -76.9 89.09 -7.788
SE Coef 158.5 43.08 5.156
T -0.49 2.07 -1.51
P 0.628 0.040 0.133
VIF 1.024 1.024
Hasil analisis korelasi antara ozon dengan CO dan CH 4 menunjukkan bahwa CH 4 mempunyai P value lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,040 yang mengartikan bahwa CH 4 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan ozon. Sedangkan CO mempunyai P value 0,133 atau lebih besar dari 0,05 menunjukkan bahwa CO kurang signifikan pengaruhnya terhadap pembentukan ozon. Data parameter atmosfer Indonesia dari data AQUA-AIRS tahun 2003-2014 yang di analisis adalah ozon, CO dan CH 4 . Hasil analisis menunjukkan secara temporal komposisi kimia atmosfer di Indonesia mempunyai pola musiman dan tendensi peningkatan walaupun periode maksimum dan minimumnya mempunyai perbedaan waktu. Variasi musiman ozon mencapai maksimum pada JJA (246,9 DU) dan minimum pada DJF (231,8 DU). CO maksimum pada SON Prosiding SNSA 2015 – Halaman 177
Ninong Komala
(1,83x1018 molekul/cm2) dan minimum pada MAM (1,74x1018 molekul/cm2) sedangkan pola musiman CH 4 mencapai maksimum pada JJA (3,71x1019 molekul/cm2) dan minimum pada SON (3,69x1019 molekul/cm2). KESIMPULAN Hasil analisis variasi temporal komposisi atmosfer dari data AQUA-AIRS 2003 – 2014 memberikan hasil bahwa ozon di Indonesia bervariasi antara 215 DU sd 271 DU. CO antara 1,5 sd 2,9x1018 molekul/cm2 sedangkan CH 4 bervariasi antara 3,66 sd 3,77x1019 molekul/cm2. Analisis variasi musiman ditunjukkan oleh variasi ozon dan CO, sedangkan CH 4 selain menunjukkan variasi musiman juga menunjukkan trend peningkatan konsentrasi dari tahun ke tahun. Analisis variasi musiman ozon mencapai maksimum pada bulan-bulan JJA (246,9 DU) dan minimum pada DJF (231,8 DU). CO maksimum pada SON (1,83x1018 molekul/cm2) dan minimum pada MAM (1,74x1018 molekul/cm2) sedangkan pola musiman CH 4 mencapai maksimum pada JJA (3,71x1019 molekul/cm2) dan minimum pada SON (3,69x1019 2 molekul/cm ). UCAPAN TERIMA KASIH Mengucapkan terima kasih kepada para ilmuwan NASA dan para PI yang telah menyiapkan data dalam Giovanni. Daftar Pustaka 1
Vogel B., Muller R., A. Engel , J.-U. Grooß, D. Toohey, T. Woyke, and F. Stroh, (2005), Midlatitude ClO During the Maximum Atmospheric Chlorine Burden: In Situ Balloon Measurements and Model Simulations, Atmos. Chem. Phys., 5, 1623– 1638.. 2 WMO (World Meteorological Organization), Scientific assessment of ozone depletion (2011), Rep. 52, Global Ozone Res. and Monit. Proj., 516 pp., Geneva, Switzerland. 3 Stolarski R. S., Douglass, A.R., Steenrod, S., Pawso, S., 2005. Trend in stratospheric ozone. Journal of the Atmospheri Science, vol 83, pp 1028-1040. 4 Kaye, et al., 1993. Stratospheric Ozone Change. Global Atmospheric Chemical Change, Chapman and Hill, New York, pp 125-126, 138. 5 Pidwirny, M., 2006. Atmospheric Composition. Fundamentals of Physical Geography, 2nd Edition. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 178
6
Makarova, M. V., A. V., Poborovskii an Yu M Timoteev., 2004. Temporal Variation of Total Atmospheric CO over St Petersburg, Izvestiya. Atmospheric and Oceanic Physics vol 40, No. 3, pp. 313-322.. 7 Ruddiman, W.F., 2003. The anthropogenic greenhouse era began thousands of years ago, Climatic Change 61, 261-293. 8 Brasseur, G., Orlando, J., Tyndall, G. (Editors), 1999. Atmospheric Chemistry and Global Change. Topics in Environmental Chemistry. Oxford University Press, New York, 654 pp. 9 Hobbs, P., 2000. Introduction to Atmospheric Chemistry. Cambridge University Press, Cambridge,U.K., 262 pp.. 10 Atmospheric Infra Red Sounder Brosures, http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/AIRS/documentat ion/AIRS_brochure.pdf, 11 J.G. Ackerand, S.G. Leptoukh, 2007. Online Analysis Enhances Use of NASA Earth Science Data. Eos. Trans. AGU. Vol. 88, No.2, pages 14 and 17.
Noersomadi dan Tiin Sinatra
POTENSI HUJAN ES BERDASARKAN HASIL PENGAMATAN X-BAND RADAR MENGGUNAKAN METODE SEVERE HAIL INDEX HAIL STONE POSSIBILITY FROM X-BAND RADAR OBSERVATION USING SEVERE HAIL INDEX METHOD Noersomadi dan Tiin Sinatra* Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung 40173* Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Routine weather observations using Doppler X-band radar had been done during March 14 to 18, 2013 coincide with 6 hourly radiosonde balloons launching. The purpose of this research is to identify wether there are extrem conditions or hail stone during observation period. Hail stones were investigated using Severe Hail Index (SHI) method. SHI was calculated through integrating the energy flux (dE/dt) to the height different between 0oC (T0) and –20oC (Tm20) temperature. The height of T0 and Tm20 were obtained from the nearest radiosonde launching, that showed the probability of hail stone occurence. The SHI values was compared with the Vertically Integrated Liquid (VIL). The results showed the existence of cumulus cloud raised 9 km on March 18, 2013 at 16 LT, and have a high probaility of hail stone, in which SHI and VIL have more values than the treshold of about 100 and 43 kg/m2, respectively. These were also identified by satellite observation. Keywords: hail stone, radar, severe hail index. ABSTRAK Pengamatan rutin cuaca menggunakan radar X-band Doppler telah dilakukan selama periode 14 – 18 Maret 2013 bersamaan dengan peluncuran radiosonde tiap 6 jam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi apakah selama periode pengamatan terdapat kejadian cuaca yang dapat dikategorikan sebagai cuaca ekstrem berupa hujan es. Investigasi hujan es dilakukan menggunakan metode Severe Hail Index (SHI). SHI dihitung dengan mengintegrasikan fluks energi kinetik per satuan waktu (dE/dt) terhadap beda ketinggian antara temperatur 0oC (T0) dan –20oC (Tm20). Ketinggian T0 dan Tm20 diperoleh dari peluncuran radiosonde pada waktu yang terdekat dengan hasil pengamatan radar, yang menunjukkan adanya potensi hujan es. Nilai SHI yang dihasilkan dibandingkan dengan penghitungan nilai Vertically Integral Liquid (VIL). Hasil investigasi menunjukkan bahwa pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 16 waktu lokal terdapat awan cumulus yang mencapai ketinggian 9 km dan berpotensi terjadi hujan es dengan nilai SHI dan VIL berturut-turut melebihi nilai ambang batas 100 dan 43 kg/m2. Awan tebal yang terindikasi berpotensi hujan es tersebut juga tampak dari hasil pengamatan satelit. Kata kunci: hujan es, radar, severe hail index.
PENDAHULUAN Salah satu fenomena yang termasuk dalam kategori cuaca ekstrem adalah kejadian hujan es (hail stone). Hujan es merupakan bencana alam hidrometeorologis yang terkait dengan badai atau petir, batuan es yang turun dapat mengakibatkan kerusakan properti.1,2 Oleh karena hujan es kerap menimbulkan kerugian, studi tentang hujan es menjadi perhatian tersendiri. Analisis terkait penentuan hujan es dari hasil observasi radar telah dilakukan pertama kali oleh Cook3 Seiring dengan perkembangan teknologi radar untuk pemantauan cuaca berdasarkan perbedaan panjang gelombang sinyal yang dipancarkan, telah ditemukan beberapa algoritma untuk
menentukan batuan es dari data reflektivitas radar. Observasi rutin menggunakan radar X-band Doppler (untuk selanjutnya disebut radar) dengan frekuensi 9,4 GHz telah dilakukan selama kurun waktu 14 – 18 Maret 2013 oleh Noersomadi dkk.4 di wilayah cekungan Bandung (107,69oBT, –6,97oLS). Pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan peluncuran radiosonde setiap 6 jam di lokasi dengan jarak horizontal 16 km dari titik radar arah Barat Laut. Pengaturan teknik observasi radar adalah menggunakan metode Plan Position Indicator (PPI) atau azimuthal equidistant dan Range Height Indicator (RHI) atau elevational equidistant. Penjelasan rinci Prosiding SNSA 2015 – Halaman 179
Noersomadi dan Tiin Sinatra
mengenai skedul pengamatan PPI dan RHI akan diuraikan dalam Bab 3. Makalah ini akan membahas penerapan algoritma Severe Hail Index (SHI) untuk menginvestigasi potensi hujan es serta penjelasan analisis fisis mengenai hasil yang diperlihatkan oleh radar dan radiosonde. Motivasi penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah selama periode pengamatan menggunakan radar terjadi fenomena hujan es. Penerapan metode SHI diawali dengan identifikasi nilai reflektivitas radar di atas 54 dBz.5,6 Secara umum radar cuaca dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan panjang gelombang yang digunakan, yaitu S-band, C-band, dan X-band berturut-turut dari panjang gelombang yang terpanjang. Semakin kecil atau pendek panjang gelombang (X-band) tingkat kepekaan terhadap kandungan uap air di atmosfer semakin tinggi. Akan tetapi, radar X-band memiliki kelemahan berupa atenuasi besar, yang berarti bahwa jangkauan horizontal cakupan pengamatan radar lebih pendek dibanding radar C-band dan Sband.7 Pembentukan batuan es telah diidentifikasi oleh Kennedy8 melalui hasil pengamatan radar polarimetrik. Batuan es yang berpotensi menjadi penyebab turunnya hujan es dapat dianalisis melalui lapisan peleburan pada ketinggian dimana temperatur atmosfer 0°C. Pada pengamatan radar, lapisan tersebut diindikasikan oleh nilai reflektivitas radar tinggi, dan apabila melebihi 54 dBz maka dapat nilai estimasi hujan per satuan waktu dapat mencapai 100 mm/jam.9 Butiran batuan es dapat berukuran puluhan milimeter atau bahkan hingga mencapai 4 – 5 cm sebagaimana yang ditemukan oleh Knight10 pada 24 Juni 2006 di Boulder, Colorado, USA. Adapun investigasi hujan es melalui kajian berbasis model, telah menunjukkan hingga mencapai 2 cm.11 Batuan es yang turun diakibatkan oleh aktivitas konvektif yang sangat kuat. Fenomena konvektif yang sangat kuat menyebabkan suplai uap air dari atmosfer bawah semakin bertambah. Dalam keadaan tersebut tetes hujan masih dalam keadaan fasa cair meski temperaturnya dibawah 0°C. Oleh karenanya, butiran es yang turun memiliki diameter besar dan turun dalam bentuk bebatuan akibat gesekan udara tidak mampu mengikis menjadi tetes hujan. Berdasarkan literatur yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeteksi fenomena yang terindikasi sebagai hujan es. Pendeteksian menggunakan indeks hujan lebat sangat bermanfaat untuk mitigasi bencana hidrometeorologi. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 180
METODOLOGI Investigasi potensi hujan es dalam penelitian ini menggunakan data dari dua instrumen, yakni radar dan radiosonde. Data radar berupa hasil pemindaian (scanning) metode PPI dan RHI. Skedul PPI adalah satu putaran 360° dari elevasi 0° sampai dengan 50° dengan interval 1°. Kecepatan putaran sebesar 18° per detik, yang berarti diperlukan waktu 20 detik untuk satu putaran. Dengan demikian satu volume scan PPI membutuhkan waktu sekitar 18 menit. Adapun untuk skedul RHI, radar memindai wilayah pada tiap azimut 30° pada interval elevasi 0° – 80° dengan kecepatan 1° per detik. Artinya, satu skedul sapuan RHI pada azimut 0°, 20°, 60°, ..., 330° memerlukan waktu kurang lebih 16 menit. Perpindahan skedul PPI dan RHI dilakukan secara otomatis. Data radiosonde diperoleh dari situs (http://database.rish.kyoto-u.ac.jp). Peluncuran radiosonde tiap 6 jam tersebut merupakan hasil kerjasama LAPAN dengan RISH Kyoto Universiity. Data radiosonde digunakan untuk menentukan ketinggian dimana temperatur atmosfer mencapai 0°C (T0) dan –20°C (Tm20). Data MTSAT (http://bisma.sains-.lapan.go.id) juga digunakan dalam penelitian ini sebagai pendukung analisis. Pendeteksian kejadian hujan es diawali dengan melihat data reflektivitas radar pada Constant Altitude Plan Position Indicator (CAPPI) pada ketinggian rendah. Dalam hal ini dipilih 3 km karena diasumsikan sudah tidak ada halangan atau pengaruh topografi pegunungan wilayah Bandung yang mencapai 2,5 km. Langkah selanjutnya adalah menentukan ketinggian reflektivitas maksi-mum hasil PPI volume scan (maxPPI). Nilai SHI (persamaan 1) dari hasil integrasi perkalian fluks energi kinetik dengan fungsi pembobotan terhadap beda ketinggian T0 dan Tm2012. Fungsi pembobotan yang dimaksud adalah fungsi yang bergantung pada temperatur radiosonde (persamaan 3) dan reflektivitas radar (persamaan 4). T0 dan Tm20 pada persamaan 3 sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Adapun Z L dan Z U berturut-turut adalah lower (40 dBz) dan upper (50 dBz) revlectivity.
(1) (2)
Noersomadi dan Tiin Sinatra
(3)
(4)
Analisis hujan es dilanjutkan dengan konfirmasi hasil SHI dengan nilai Vertically Integrated Liquid (VIL). Persamaan 5 menunjukkan formula untuk menghitung VIL yang hanya berdasarkan data radar, yaitu integrasi reflektivitas terhadap beda ketinggian puncak awan yang terdeteksi oleh radar. Satuan SHI dan VIL berturut-turut adalah J/ms dan kg/m2.
sebagai parameter H TOP dalam penghitungan integrasi SHI. Pada Gambar 2 tersebut terlihat nilai reflektivitas tinggi diantara ketinggian 1 – 7 km pada jarak horizontal 5 – 10 km dari titik radar. Berdasarkan data reflektivitas irisan awan tersebut dihitung fluks energi kinetik dan fungsi pembobotan (persamaan 2 dan 4). Data tinggi H T0 dan H Tm20 untuk menghitung fungsi pembobotan berdasarkan temperatur (persamaan 3) diperoleh dari pengamatan radiosonde tanggal 18 Maret 2013 pukul 13 WIB. Diketahui bahwa H T0 dan H Tm20 berturut-turut adalah 4174 dan 7677 meter diatas permukaan tanah.
(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi hasil observasi radar yang berpotensi hujan es menunjukkan bahwa pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 16.00 waktu lokal atau Waktu Indonesia Barat (WIB). Pembahasan selanjutnya mengambil studi kasus waktu pengamatan pada sore hari tersebut. Tampak jelas di sebelah timur titik pengamatan radar terdapat nilai CAPPI pada ketinggian 3 km yang melebihi ambang batas 54 dBz (Gambar 1). Terlihat bahwa awan tebal yang diindikasikan oleh reflektivitas lebih dari 50 dBz membentang dari azimut 60° sampai 150°. Meski terdapat awan konvektif skala kecil di bagian barat, akan tetapi tidak termasuk indikator adanya potensi hujan es karena nilai reflektivitas yang rendah (sekitar 20 dBz). Hasil scan PPI pada waktu yang sama mengindikasikan adanya awan cumulus hingga mencapai 9 km (maxPPI), sebagaimana5,13 melakukan pengujian terhadap nilai maxPPI pada elevasi tinggi. Dalam makalah ini hanya akan ditampilkan hasil PPI pada elevasi 10° untuk menegaskan awan konvektif yang menjadi penyebab hujan es. Data RHI untuk azimut 60° pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 15:19 WIB ditunjukkan pada Gambar 2. Tampak bahwa puncak awan mencapai 9 km. Ketinggian ini yang dijadikan
Gambar 1. Tampilan CAPPI data reflektivitas (Z) dalam satuan dBz di ketinggian 3 km.
Awan cumulus yang diperlihatkan pada Gambar 2 memiliki diameter hanya 5 km dengan tinggi sekitar 10 km. Hal ini mengindikasikan adanya proses konvektif yang sangat kuat dan berpotensi terjadi hujan es. Grafik temperatur dalam diagram SkewT-logP sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3, mengikuti garis adiabatik jenuh yang berarti bahwa atmosfer pada saat itu sangat lembap. Hal tersebut terlihat pula pada kurva kelembapan relatif yang menunjukkan kejenuhan atmosfer, terutama di lapisan 600 mb hingga 500 mb, dimana temperatur lingkungan mencapai 0°C dan –10°C. Kondisi atmosfer yang sangat lembap ditunjukkan oleh data pengamatan radiosonde memicu percepatan proses pembentukan awan konvektif. Analisis ini diperkuat oleh Gambaran awan yang memilki diameter hanya sekitar 5 km, yang mengindikasikan bahwa pergerakan naik ke atas uap air (updraft) sangat kuat dan sedikit Prosiding SNSA 2015 – Halaman 181
Noersomadi dan Tiin Sinatra
dipengaruhi oleh kecepatan angin horizontal. Updraft yang sangat kuat berpengaruh pada desakan uap air ke atas dan membentuk supercold water atau air (cair) yang sangat dingin dengan temperatur dibawah 0°C. Secara penghitungan matematis, air yang sangat dingin ini memiliki kelembapan relatif di atas 100%. Air (cair) yang sangat dingin ini dapat berubah ke fasa padat dengan sangat cepat. Hal ini yang kemudian menyebabkan hujan es.10
nilai VIL yang melebihi 43 kg/m2, sudah dapat dipastikan terdapat batuan es. Berdasarkan nilai ambang tesebut, terlihat pada jarak diantara 7 – 7,5 km dari titik radar terdapat batuan es.
Gambar 4. Grafik SHI sebagai hasil integrasi fluks energi kinetik terhadap beda ketinggian T0 dan Tm20 (atas). Grafik VIL dari integrasi reflektivitas radar terhadap beda ketinggian. Sumbu-x adalah jarak horizontal pada azimut 60° dari titik radar.
Gambar 2. Kontur reflektivitas radar hasil scan RHI pada azimut 60°. Ketinggian di atas antena radar.
Gambar 3. Diagram SkewT-logP atau diagram termodinamika hasil pengamatan radiosonde pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 13 WIB.
Gambar 5. Hasil pengamatan PPI pada elevasi 10o. Resolusi horizontal adalah 250 m.
Grafik SHI dan VIL ditunjukkan pada Gambar 4. Nilai SHI pada rentang 6 – 8 km terlihat melebihi ambang batas 100 J/ms sebagai indikasi peluang hujan es.12,13 Demikian pula nilai VIL yang mencapai diatas 38 kg/m2 sebagaimana diungkapkan oleh14 yang menyatakan sebagai bahwa nilai tersebut merupakan indikasi adanya batuan es. Adapun
Berkaitan dengan sifat radar dengan panjang gelombang pendek, terlihat bahwa hasil RHI pada azimut 60° hanya mendeteksi awan tebal pada jarak horizontal 5 – 10 km dari radar. Sedangkan objek di belakang awan, hampir tidak tampak. Hal inilah yang menjadi indikasi bahwa radar dengan tipe ini memiliki atenuasi besar7. Artinya, apabila terdapat objek besar selain
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 182
Noersomadi dan Tiin Sinatra
ground-clutter, maka gelombang yang dipancarkan oleh radar teredam oleh objek tersebut, sehingga energi yang dipantulkan oleh objek lain dibelakangnya akan sangat lemah.
Tampilan awan dari scan RHI pada azimut 60° menunjukkan adanya batuan hujan es, dimana nilai SHI mencapai lebih dari 100 J/ms dan VIL diatas 43 kg/m2. Data reflektivitas radar pada elevasi 10° semakin memperkuat analisis adanya potensi hujan es disebabkan oleh proses konvektif yang sangat kuat. Hal tersebut terlihat pula dari hasil pengamatan satelit MTSAT yang memperlihatkan adanya gumpalan awan dengan temperatur puncaknya mencapai –60°C dengan tinggi awan mencapai lebih dari 10 km.
UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 6. Black body Temperature (Tbb) atau temperatur puncak awan hasil pengamatan MTSAT.
Gambar 5 mendeskripsikan data reflektivitas hasil pengamatan PPI pada elevasi 10°. Terdapat objek awan yang diindikasi oleh nilai reflektivitas tinggi di bagian timur radar. Kurang lebih satu jam setelah awan yang terindikasi berpeluang terjadi hujan es, terdapat kumpulan awan yang semakin melebar.11 Hal ini seakan memperlihatkan bahwa awan konvektif kian menjulang tinggi. Analisis ini diperkuat dengan hasil pengamatan satelit MTSAT pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 16 WIB (Gambar 6). Pada arah Timur Laut dari titik pusat radar, terdapat gumpalan awan dengan temperatur puncaknya mencapai –60°C. Apabila diestimasi dengan menggunakan konstanta adiabatik jenuh, yakni temperatur udara lingkungan turun 6,5°C tiap kenaikan satu kilometer, maka dari data H T0 4,2 km, tinggi puncak awan tersebut mencapai lebih dari 10 km. KESIMPULAN Analisis data hasil pengamatan radar telah menunjukkan adanya potensi hujan es yang terjadi pada tanggal 18 Maret 2013 pukul 16 WIB. Investigasi hujan es melalui penghitungan nilai SHI dengan menggunakan data reflektivitas radar dan data peluncuran radiosonde. Data reflektivitas radar untuk menghitung fluks energi kinetik dan fungsi pembobotan. Adapun data temperatur radiosonde adalah untuk menentukan ketinggian pada temperatur 0°C dan –20°C.
Penulis sangat berterima kasih kepada tim yang telah bertugas dalam melaksanakan observasi selama kurun waktu 14 – 18 Maret 2013 di wilayah Bandung Timur dengan didanai oleh DIPA Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN. Penulis juga berterima kasih kepada RISH Kyoto University yang menyediakan data radiosonde.
DAFTAR PUSTAKA 1
Hohl, R., Schisser, H.H., and Aller, D., 2002. Hail event: the relationship between radarderived hail kinetic energy and hail damage to buildings. Atmos. Res. 63, 177-207. 2 Palencia, C., D. Giaiotti, F. Stel, A. Castro, and R. Fraile, 2010. Maximum hailstone size: Relationship with meteorological variables. Atmos. Res. 96, 256-265. 3 Cook, B.J., 1958. Hail determination by radar analysis. Mon. Wea. Rev. 435-438. 4 Noersomadi, Sipayung, S.B., Krismianto, Rahayu, S.A., , Nugroho, G.A., Sunarya, R., Safrudin, Maryadi, E., dan Halimurrahman, 2013. Pengamatan Awan dan Variasi Curah Hujan Harian Menggunakan Transportable X-band Radar. Prosiding SSA. 217-225. 5 Holleman, I., Herman, R.A.W., Jeanette, R.A.O. And Silvia J.M.B., 2001. Development of Radar-Based Product, KNMI NL-3730 AE De Bilt. 6 Auer A.H., Jr, 1994. Hail recognition through the combined use of radar reflectivity and cloud-top temperatures. Mon. Wea. Rev., 122, 2218–2221. 7 Borowska, L., A. Ryzhkov, D. Zrnic, C. Simmer, and R. Palmer, 2011. Attenuation and Differential Attenuation of 5-cmwavelength radiation in melting layer. J. Appl. Met. & Clim., 50, 59-76. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 183
Noersomadi dan Tiin Sinatra 8
Kennedy, P.C., S.A. Rutledge, W.A. Petersen, and V.N. Bringi, 2001. Polarimetric radar observation of hail formation, J. Appl. Met., 40, 1347-1366. 9 Morin, E., W.F. Krajewski, D.C. Goodrich, X. Gao, and S. Sorooshian, 2003. Estimating rainfall intensities from weather radar data: the scale-dependency problem. J. Hydromet., 4, 782-797. 10 Knight, C.A., P.T. Schlatter, and T.W. Schlatter, 2008. An unusual hailstorm on 24 June 2006 in Boulder, Colorado. Part II: lowdensity growth of hail, Mon. Wea. Rev., 136, 2833-2848. 11 Brimelow, J.C., G.W. Reuter, R. Goodson, and T.W. Krauss, 2005. Spatial forecast of maximum hail size using prognostic model soundings and hailcast, Weather and Forecasting, 21, 206-219. 12 Witt, A., M.D. Eilts, G.J. Stumpf, J.T. Johnson, E. DeWayne M., and K. W. Thomas, 1998. An enhanced Hail Detection Algorithm for the WSR-88D. Weather and Forecasting, 13, 286303. 13 Waldvogel, A., B. Federer, and P. Grimm, 1979, Criteria for the detection of hail cells. J. Appl. Meteor., 18, 1521.1525. 14 Edwards, R. and R. L. Thompson, 1998. Nationwide comparisons of hail size with wsr88d vertically integrated liquid water and derived thermodynamic sounding data. Wea. and. Forecasting, 13, 277-285.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 184
Novita Ambarsari, dkk.
PROFIL VERTIKAL KARBON MONOKSIDA (CO) DAN BROMIN MONOKSIDA (BRO) DI LAPISAN STRATOSFER DI INDONESIA HASIL OBSERVASI SENSOR MLS/AURA VERTICAL PROFILE OF STRATOSPHERIC CARBON MONOXIDE (CO) AND BROMINE MONOXIDE (BRO) OVER INDONESIA BASED ON MLS/AURA OBSERVATION Novita Ambarsari*, Niñong Komala, Asri Indrawati Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173* Pos-el:
[email protected],
[email protected] ABSTRACT Research on the composition of the atmosphere of Indonesia (CO and BrO) in the stratosphere using data from the Microwave Limb Sounder (MLS)instrument measurements on AURA satellite has been done. Study area in this study include the territory of Indonesia (6 °N - 11 °S and 95 °E - 145 °E). The data used include daily data CO and BrO vertical profile from 2005 to 2013. The daily data of vertical profiles of CO and BrO averaged across Indonesia in the form of area average daily yield of CO and BrO profile. Monthly variation of the height to CO and BrO, monthly and seasonal variations in the vertical profiles of CO and BrO, the trend of concentration on some pressure, in the stratosphere has been done. The results showed the characteristics of CO in the stratosphere is characterized by a decrease in concentration of up to a minimum at a pressure of about 31 to 21 hPa or at an altitude of 23-25 km. BrO characteristics showed high concentrations in the middle stratosphere (14 hPa) and decreased to a pressure of 2 hPa. Trend CO concentration in the stratosphere showed an increase in 2006 then declined and remained constant until 2013. Trend BrO concentrations in some altitude in the stratosphere indicate a pattern similar to a drastic decline occurred in April 2006 and July 2007. Keywords: CO, BrO, stratosphere, MLS, AURA ABSTRAK Penelitian mengenai komposisi atmosfer Indonesia (CO dan BrO) di lapisan stratosfer menggunakan data hasil pengukuran instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) satelit AURA telah dilakukan. Wilayah kajian dalam penelitian ini meliputi wilayah Indonesia (6°LU – 11° LS dan 95°BT – 145°BT). Data yang digunakan meliputi data harian profil vertikal CO dan BrO dari tahun 2005 hingga 2013. Data harian profil vertikal CO dan BrO seluruh Indonesia dirata-ratakan dalam bentuk area average menghasilkan satu profil harian CO dan BrO. Variasi bulanan terhadap ketinggian untuk CO dan BrO, variasi bulanan dan musiman profil vertikal CO dan BrO, trend konsentrasi pada beberapa tekanan, pada lapisan stratosfer telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik CO pada lapisan stratosfer ditandai dengan adanya penurunan konsentrasi hingga mencapai minimum pada tekanan sekitar 31 hingga 21 hPa atau pada ketinggian 23-25 km. Karakteristik BrO menunjukkan konsentrasi tinggi di stratosfer tengah (14 hPa) dan menurun hingga tekanan 2 hPa. Trend konsentrasi CO di stratosfer menunjukkan adanya peningkatan di tahun 2006 kemudian menurun dan cenderung konstan hingga tahun 2013. Trend konsentrasi BrO di beberapa ketinggian di stratosfer menunjukkan adanya pola yang mirip dengan penurunan drastis terjadi pada April 2006 dan Juli 2007. Kata kunci: CO, BrO, stratosfer, MLS, AURA
PENDAHULUAN Distribusi karbon monoksida (CO) di stratosfer telah banyak dilakukan untuk mengetahui proses dinamika dan transport gas-gas telusur (trace gases) di atmosfer. Hal ini dikarenakan waktu hidup secara fotokimia untuk CO diprediksi paling tidak sama dengan skala waktu dari sebagian besar proses dinamika di atmosfer. Pengukuran CO menjadi sangat penting untuk
membantu memahami sirkulasi mesosfer global serta pergerakan vertikal di stratosfer dan mesosfer.1 Seperti halnya CO, Bromin Monoksida (BrO) juga memiliki peran penting di stratosfer, karena berkontribusi dalam proses penguraian ozon melalui siklus katalitik halogen dengan potensi menguraikan ozon lebih besar dibandingkan dengan senyawa lainnya yang mengandung klorin.2 Di stratosfer atas, BrO Prosiding SNSA 2015 – Halaman 185
Novita Ambarsari, dkk.
merupakan senyawa dominan yang berkontribusi terhadap jumlah bromin inorganik yang ada di stratosfer. Peranan penting CO dan BrO di stratosfer sehingga sangat penting juga untuk mengetahui karakteristik kedua senyawa tersebut di stratosfer adalah menjadi latar belakang dari penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik CO dan BrO di stratosfer di Indonesia berdasarkan variabel waktu (bulanan, musiman, trend), dan variabel ketinggian (vertikal). Bromin Monoksida (BrO) merupakan salah satu senyawa yang tergolong pada bromine inorganik (Br y = Br + BrO + BrONO 2 + HOBr + HBr + BrCl + 2Br 2 ) yang berperan penting di stratosfer karena menyebabkan penguraian molekul ozon. BrO secara signifikan dapat mempengaruhi komposisi kimia di stratosfer dan berkontribusi terhadap penguraian ozon melalui reaksi dengan NO 2 , ClO, HO 2 , dan O. Walaupun jumlah bromin inorganik di stratosfer hanya sedikit dibandingkan dengan jumlah klorin, tetapi kemampuan senyawa ini dalam menguraikan ozon atau disebut Ozone Depletion Potential (ODP) lebih besar dibandingkan dengan senyawa yang mengandung klorin, sehingga efek penguraian ozon oleh bromin inorganik lebih dominan yaitu sekitar 25 % untuk wilayah kutub, dan 50 % untuk wilayah lintang menengah melalui siklus BrO/ClO.3 Sumber bromin di stratosfer berasal dari alam maupun antropogenik. Akibat peningkatan emisi antropogenik senyawa sumber yang mengandung bromine, telah terjadi peningkatan jumlah Bromin di atmosfer dari 10 ppt (part per trilliun) pada tahun 1970 menjadi 20 ppt pada tahun 2000.4 Sumber utama bromine di stratosfer adalah berasal dari metil bromide (CH 3 Br), halon, terutama halon-1211 (CBrClF 2 ), halon1301 (CBrF 3 ), dan halon-2402 (CBrF 2 CBrF 2 ), juga bromoklorometan (CH 2 BrCl), dan dibromometan (CH 2 Br 2 ). Metil bromide menjadi senyawa yang paling dominan menghasilkan bromine di stratosfer yaitu sebesar 50 % dibandingkan dengan senyawa-senyawa sumber yang lain.4 Hasil penelitian Stachnik, dkk.2 yang melakukan pengukuran rasio campuran BrO menggunakan wahana balon dengan sensor submilimeterwave radiometer di daerah New Mexico menunjukkan konsentrasi BrO di stratosfer pada ketinggian sekitar 34 km adalah 16 pptv. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Sioris, dkk.5 menggunakan data satelit Sciamachy yang menganalisis konsentrasi BrO secara latitudinal dan vertikal menunjukkan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 186
konsentrasi BrO di daerah ekuator (lintang 0 derajat) adalah antara 20-22 pptv pada ketinggian sekitar 28 km.5 Karbon monoksida (CO) berperan penting pada siklus kimia di atmosfer dan merupakan salah satu senyawa kunci yang perlu diukur secara global pada ketinggian yang berbeda. Sumber emisi CO yang utama adalah dari proses pembakaran meliputi transportasi, pemanasan, aktivitas industri, dan pembakaran biomassa, juga dari sumber biogenic dan laut. CO juga diproduksi dari oksidasi metana dan non-metana hidrokarbon. Di permukaan, rasio volume campuran CO berkisar antara 50 ppbv untuk konsentrasi background hingga mencapai 700 ppbv di tempat dengan emisi yang tinggi. Penguraian CO yang utama di atmosfer akibat reaksi oksidasi oleh OH. Di lapisan atmosfer permukaan, dimana CO memiliki waktu hidup beberapa minggu hingga beberapa bulan sehingga pengukuran CO di permukaan memungkinkan untuk menyelidiki sumber emisi serta proses transport di atmosfer. Di troposfer atas, CO dapat ditransport melalui lapisan tropical tropopause kemudian sampai di stratosfer. Selain itu, sumber utama CO di stratosfer adalah dari hasil oksidasi metana menjadi CO 2 melalui reaksi dengan radikal OH.6 Profil vertikal CO hasil pengukuran ACE-FTS dan TES di wilayah Cina ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Plot skematik profil standar CO di atmosfer dengan beberapa sumber yang berbeda sebagai fungsi dari ketinggian hasil pengukuran instrument ACE-FTS (The Atmospheric Chemistry Experiment) di Cina yang dikompilasi dengan data TES (Tropospheric Emission Spectrometer) di wilayah sama untuk ketinggian di bawah 6 km.6
Novita Ambarsari, dkk.
METODOLOGI Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data harian profil vertikal CO dan BrO hasil observasi instrumen Microwave Limb Sounder (MLS) pada satelit AURA yang dapat diperoleh dari website MIRADOR (www.mirador.gsfc.nasa.gov) dalam format HDF (Hierarchical Data Format) yang memuat data konsentrasi, lintang, bujur, dan ketinggian (pressure) dari tahun 2005 hingga 2013.7 Data dalam format HDF harus diekstrak, diolah, kemudian dianalisis. Wilayah kajian pada penelitian ini meliputi wilayah Indonesia (6 °LU – 11 °LS dan 95 °BT – 145 °BT). Data profil vertikal CO dan BrO di Indonesia dirata-ratakan menjadi satu profil vertikal CO dan BrO untuk seluruh wilayah Indonesia (area average). Analisis yang dilakukan meliputi analisis profil vertikal, variasi bulanan, musiman, variasi bulanan terhadap ketinggian, dan trend konsentrasi CO pada tekanan 100 hingga 1 hPa dan BrO pada 14 hPa hingga 2 hPa yang mewakili lapisan stratosfer.
meningkatnya ketinggian. Data konsentrasi BrO yang dapat digunakan untuk penelitian dibatasi hanya pada ketinggian 10 hPa (sekitar 30 km) hingga 3,2 hPa (sekitar 40 km), sedangkan data pada ketinggian yang lain tidak dianjurkan untuk digunakan.10 Variasi musiman profil CO dan BrO di stratosfer Indonesia ditunjukkan pada Gambar 3. Variasi musiman profil vertikal CO di stratosfer (Gambar 3 atas) menunjukkan konsentrasi CO pada ketinggian 18 km di bulan JJA saat musim kemarau, lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya, yaitu sebesar 0,602 ppmv. Konsentrasi CO di ketinggian 18 km pada bulan MAM mencapai maksimum dengan konsentrasi 0.711 ppmv.
HASIL DAN PEMBAHASAN Variasi rata-rata bulan konsentrasi CO dan BrO terhadap ketinggian (Gambar 2) tampak distribusi CO secara vertikal (Gambar 2 atas) menunjukkan konsentrasi CO tinggi di stratosfer bawah kemudian menurun dan mencapai minimum pada ketinggian 25 km dengan konsentrasi hanya sekitar 0,01 ppmv kemudian meningkat kembali hingga mencapai maksimum di stratosfer atas yaitu ketinggian sekitar 48 km dengan konsentrasi mencapai 0,06 ppmv atau 60 ppbv. Hal ini diprediksi disebabkan oleh reaksi penguraian CO oleh molekul OH paling efektif terjadi pada ketinggian 25 km selain itu juga diakibatkan oleh lemahnya difusivitas vertikal.8 Bulan Juli-September menunjukkan adanya penurunan konsentrasi CO baik di stratosfer bawah (ketinggian ~20 km) diperkirakan bulanbulan tersebut adalah bulan saat musim kemarau sehingga proses konvektif yang menjadi salah satu jalur transport emisi CO dari permukaan ke stratosfer berkurang, akibatnya konsentrasi CO di stratosfer bawah menjadi lebih rendah dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.9 Berbeda dengan variasi bulanan BrO terhadap ketinggian (Gambar 2 bawah) yang menunjukkan konsentrasi BrO sangat tinggi pada ketinggian 28 km hingga sekitar 32 km dengan konsentrasi mencapai 35 pptv (part per trilliun volume) atau 35000 ppbv (part perbillion volume). Konsentrasi BrO kemudian turun seiring dengan
Gambar 2. Variasi Rata-rata Bulanan terhadap Ketinggian untuk CO (ppmv) (atas) tahun 2005-2013 dan BrO (pptv) (bawah) tahun 2005-2010 di Stratosfer.
Variasi musiman profil vertikal CO juga menunjukkan adanya penurunan konsentrasi hingga mencapai terendah pada ketinggian sekitar 25 km dengan konsentrasi rata-rata hanya sekitar 0,005 ppmv atau 5 ppbv. Variasi musiman profil vertikal BrO menunjukkan konsentrasi BrO maksimum pada ketinggian 28 km pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dengan konsentrasi 0,04 ppbv dan terendah pada bulan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 187
Novita Ambarsari, dkk.
Maret-April Mei (MAM) dengan konsentrasi 0,035 ppbv. Trend konsentrasi BrO di beberapa ketinggian di lapisan stratosfer ditunjukkan pada Gambar 4. Pada ketinggian 28 km atau sekitar stratosfer tengah, konsentrasi BrO cenderung konstan dengan sedikit sekali peningkatan ditunjukkan dengan persamaan garis y=0,005x + 37,08. Sedangkan pada ketinggian-ketinggian lain di atasnya, yaitu dari ketinggian 30 km hingga 42 km, konsentrasi BrO menunjukkan penurunan yang dapat dilihat dari nilai persamaan garis yang menunjukkan koefisien x bernilai negatif.
menghasilkan BrO, terjadi penurunan konsentrasi BrO di stratosfer yang lebih tinggi.
Gambar 4. Trend Konsentrasi BrO di Stratosfer Indonesia Tahun 2005-2010.
Penggunaan senyawa halon dan metil bromide (CH 3 Br) sebagai sumber dari BrO di stratosfer di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 5. Pada Gambar 5 tampak penurunan penggunaan Halon dan metil bromida di Indonesia terutama sejak tahun 1998 akibat pelarangan yang disepakati pada Protokol Montreal pada tahun 1987.11 Jadwal penghapusan Halon dan Metil Bromida ditampilkan pada Tabel 1.
Gambar 3. Profil Vertikal Rata-rata Musiman untuk CO tahun 2005-2013 (atas) dan BrO tahun 2005-2010 (bawah) di Stratosfer Indonesia
Hal ini diperkirakan disebabkan pada ketinggian yang lebih rendah, konsentrasi BrO masih dipengaruhi oleh kontribusi dari sumber yang ada di troposfer saat ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sioris, dkk (2006) bahwa lebih dari 50 % bromine di stratosfer berasal dari sumber yang berada di troposfer.5 Berbeda dengan BrO yang terdapat di stratosfer atas yang merupakan sisa BrO yang masuk ke stratosfer di waktu-waktu sebelumnya. Seiring dengan pembatasan penggunaan senyawa sumber yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 188
Gambar 5. Trend Penggunaan Halon sebagai Sumber Senyawa Bromin di Stratosfer Indonesia.12
Novita Ambarsari, dkk.
Tabel 1. Jadwal Penghapusan Beberapa Jenis Bahan Perusak Ozon di Indonesia termasuk Halon dan Metil Bromida (CH 3 Br).12 Bahan perusak ozon CFC Halon CTC TCA Metil Bromida Hidrokloroflorokarbon
Jadwal penghapusan 2007 1998 2007 2007 2015 2040
Trend konsentrasi CO di stratosfer bawah, tengah, dan atas ditunjukkan pada Gambar 6. Konsentrasi CO pada ketinggian 19 km yaitu di stratosfer bawah menunjukkan nilai yang lebih tinggi yaitu mencapai 0,05 ppmv dibandingkan dengan konsentrasi CO pada ketinggian 21 km yang hanya sekitar 0,01 hingga 0,02 ppmv. Pengaruh dari troposfer masih dominan berkontribusi pada jumlah CO pada ketinggian 19 km, sedangkan pada ketinggian 21 km sumber CO dari troposfer mulai berkurang dan berganti menjadi CO yang dihasilkan dari oksidasi metana. Akibatnya konsentrasi CO lebih rendah.6 Trend yang menunjukkan adanya penurunan kemungkinan berkaitan dengan menurunnya emisi CO di permukaan, walaupun hal ini masih perlu penyelidikan lebih lanjut. Konsentrasi CO di stratosfer tengah yaitu pada ketinggian 30 km dan 33 km menunjukkan nilai konsentrasi yang tidak terlalu berbeda hanya sekitar 0,01 hingga 0,035 ppmv. Hal ini diperkirakan karena sumber CO yang sama-sama berasal dari oksidasi metana. Seperti tampak pada Gambar 1, profil vertikal CO pada lapisan stratosfer tengah cenderung konstan dengan konsentrasi sekitar 20 ppbv atau 0,02 ppmv dan mulai meningkat di puncak stratosfer mendekati mesosfer. Tampak adanya kesesuaian dengan hasil penelitian ini. Berbeda dengan trend di stratosfer bawah, trend konsentrasi CO di stratosfer tengah cenderung konstan, begitu juga di stratosfer atas. Konsentrasi CO di stratosfer atas terutama pada ketinggian 47 km menunjukkan peningkatan hingga mencapai nilai 0,12 ppmv. Hal ini juga sesuai dengan Gambar 2, kemungkinan disebabkan CO yang dihasilkan di lapisan mesosfer yang berasal dari disosiasi CO 2 sebagian kecil mengalami transport ke stratosfer atas sehingga konsentrasi CO lebih tinggi.6
Gambar 6. Trend Konsentrasi CO di Tiga Wilayah Stratosfer Indonesia Tahun 2005-2013
KESIMPULAN Karakteristik profil vertikal CO dan BrO di stratosfer Indonesia telah dikaji menggunakan data hasil observasi instrument MLS/ AURA. Konsentrasi CO tinggi di stratosfer bawah kemudian menurun dan mencapai minimum pada ketinggian 25 km dengan konsentrasi hanya sekitar 0,01 ppmv kemudian meningkat kembali hingga mencapai maksimum di stratosfer atas yaitu ketinggian sekitar 48 km mencapai 0,06 ppmv. Konsentrasi BrO sangat tinggi pada ketinggian 28 km hingga sekitar 32 km dengan konsentrasi mencapai 35 pptv. Konsentrasi BrO kemudian turun seiring dengan meningkatnya ketinggian. Variasi musiman profil vertikal CO di stratosfer menunjukkan konsentrasi CO pada ketinggian 18 km di bulan JJA saat musim kemarau, lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya, yaitu sebesar 0,602 ppmv. Variasi musiman profil vertikal BrO menunjukkan konsentrasi BrO maksimum pada ketinggian 28 km pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF) dengan konsentrasi 0,04 ppbv. Trend konsentrasi BrO di stratosfer tengah cenderung meningkat, sedangkan di stratosfer atas cenderung turun. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 189
Novita Ambarsari, dkk.
Trend konsentrasi CO di stratosfer bawah cenderung turun, sedangkan di stratosfer tengah dan atas cenderung konstan. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN yang telah memberikan kesempatan serta fasilitas bagi penulis untuk dapat melakukan kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Minschwaner K., Manney G.L., Livesey N.J., 2010. The Photochemistry of Carbon Monoxide in the Stratosphere and Mesosphere Evaluated from Observation by The Microwave Limb Sounder on Aura Satellite, JGR. Vol. 15. P.1-9. 2 Stachnik R.A., Millan L., Jarnot R., Monroe R., 2013. Stratospheric BrO Abundance Measured by a Ballon Borne Submilimeterwave Radiometer, Atmos. Chem. Phys. 3. 3307-3319. 3 Theys N., Van Roozendael M., Dils B., 2009. First Satellite Detection of Volcanic Bromine Monoxide Emission After the Kasatochi Eruption, Geophys.Res.Letter. 36. P.1-5. 4 Sinnhuber B.M., Arlander D.W., Bovensman H., 2002. Comparison of Measurement and Model Calculation of Stratospheric Bromine Monoxide, Journal of Geophysical Research Letter, Vol. 107, P.1-18. 5 Sioris C.E., Kovalenko L.J., McLinden C.A., 2006. Latitudinal and Vertical Distribution of Bromine Monoxide in The Lower Stratosphere from Scanning Imaging Absorption Spectrometer for Atmospheric Chartography Lims Scattering Measurement, Journal of Geophysical Research Letter, Vol. 111, P.125. 6 Clerbaux C., George M., Turquety S., 2008. CO Measurement from the ACE-FTS Satellite Instrument : Data Analysis and Validation Using Ground Based, Airborne, and Spaceborn Observation, Atmos. Chem. Pyhs. 8. P. 2569-2594. 7 MIRADOR NASA. www.mirador.gsfc.nasa.gov. 8 Dupuy E., Urban J., Ricaud P., 2004. Stratomesospheric measurements of carbon monoxide with the Odin Sub-Millimetre Radiometer: Retrieval and first results, Geophys. Res. Letter. Vol. 31. P. 1-5. 9 F. Fierli., E. Orlandi., K. S. Law., C. Cagnazzo., F. Cairo., C. Schiller., S. Borrmann., G. Di Prosiding SNSA 2015 – Halaman 190
Donfrancesco., F. Ravegnani., and C. M. Volk., 2011. Impact of deep convection in the tropical tropopause layer in West Africa: insitu observations and mesoscale modeling, Atmos. Chem. Phys., 11, 201–214. 10 JPL., 2007. Earth Observing System (EOS) Microwave Limb Sounder (MLS) Version 2.2 Level 2 Data Quality and Description Document, https://mls.jpl.nasa.gov/data/v2_data_quality_ document.pdf. 11 Kementrian Lingkungan Hidup, 2004. Brosur Program Perlindungan Lapisan Ozon dan Bahan-Bahan Perusak Ozon. 12 UNEP, 2010. ODS and Related Chemicals, Ozone Report UNEP, UNEP Ozone Secretariat, http://ozone.unep.org/Data_Reporting/Data_A ccess/index.shtml
Parwati Sofan, dkk.
EVALUASI HASIL ESTIMASI SUHU UDARA DARI DATA SATELIT NOAA-18 AVHRR DI PULAU SUMATERA, KALIMANTAN DAN JAWA EVALUATION OF ESTIMATING AIR TEMPERATURE WITH NOAA-18 AVHRR DATA IN SUMATERA, KALIMANTAN AND JAVA ISLANDS Parwati Sofan*, Suwarsono, Fajar Yulianto, Kusumaning Ayu DS, dan Indah Prasasti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl. Kalisari no. 8 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Pos-el:
[email protected] ABSTRACT The air temperature is one of the key parameters in environmental studies and has been used in many applications such as epidemic studies, hydrology, vegetation, and climate change. Air temperature data is one of weather parameters that obtained from meteorological observation station which has rare distribution and limited. It is difficult to have spatial information of air temperature especially in the location where there is no meteorological station existed. The satellite remote sensing data have ability in providing the spatial information with their spatial resolution, and also able to give air temperature estimation near surface using their spectral characteristics. Many researches have analyzed the relationship between land surface temperature and air temperature that has not directly influenced each others. In this study, we derive the land surface temperature using split window algorithm from NOAA-18 AVHRR in Java, Sumatera, and Kalimantan Islands. The estimated temperature from NOAA data is assumed as the maximum temperature due to its aquisition around 1.00 pm. The in situ air temperature observed from meteorological station in daily term and was analyzed in order to know the relationship between estimated air temperature based on NOAA-AVHRR and the observed air temperature. The result showed that they have low relationship directly, but by adding vegetation index-NDVI and elevation data, DEMS-RTM as the correction factors have been significantly increased the correlation. Keywords: air temperature, land surface temperature, NDVI, DEM SRTM, NOAA-18/AVHRR ABSTRAK Suhu udara merupakan salah satu parameter penting dalam pemodelan studi lingkungan dan telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi penelitian seperti kajian epidemis, hidrologi, vegetasi, dan perubahan iklim. Data suhu udara sebagai salah satu unsur cuaca umumnya diperoleh melalui stasiun pengamat meteorologi yang distribusi lokasinya sangat jarang dan tidak merata sehingga menyebabkan sulitnya mendapatkan informasi cuaca secara spasial terutama di wilayah yang tidak terdapat stasiun pengamat cuaca. Data satelit penginderaan jauh mempunyai kelebihan dalam memberikan informasi secara spasial, dan dengan kemampuan karakteristik spektralnya dapat dimanfaatkan dalam estimasi suhu udara yang berada dekat dengan permukaan lahan. Banyak Penelitian telah menghubungkan antara suhu permukaan lahan dengan suhu udara di atasnya meskipun secara nyata keduanya tidak dapat langsung saling mempengaruhi. Pada penelitian ini suhu permukaan lahan diolah dari data NOAA18/AVHRR menggunakan persamaan split window algorithm yang diaplikasikan di wilayah Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Suhu udara yang diestimasi dari data NOAA diasumsikan sebagai data suhu maksimum harian karena merekam data sekitar jam 13.00 WIB. Data suhu udara diperoleh dari stasiun meteorologi secara harian dan dianalisis secara statistik untuk mengetahui hubungan diantara keduanya. Hasil studi menunjukkan bahwa secara langsung hubungan antara suhu udara dan suhu permukaan lahan relatif rendah, dibandingkan dengan menambahkan faktor indeks vegetasi NDVI dan data ketinggian dari DEM SRTM yang menghasilkan korelasi yang lebih baik. Kata kunci: suhu udara, suhu permukaan lahan, NDVI, DEM SRTM, NOAA-18/AVHRR
PENDAHULUAN Suhu udara merupakan salah satu faktor penting dalam pemodelan lingkungan dan telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi yang terkait dengan proses biologi dan fisika di hidrosfer, atmosfer, dan biosfer.1 Standard pengukuran data
suhu udara umumnya diperoleh dari stasiun pengamatan cuaca yang diukur dengan termometer dalam sangkar cuaca yang berada di atas 2 m dari permukaan lahan.2 Data suhu udara tersebut ditampilkan sebagai data titik (point samples) dimana tidak dapat merepresentasikan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 191
Parwati Sofan, dkk.
variasi secara spasial pada suatu wilayah karena distribusi stasiun meteorologi yang sangat jarang dan terbatas. Data satelit penginderaan jauh mempunyai kelebihan dalam memberikan informasi secara spasial, dan dengan kemampuan karakteristik spektralnya dapat dimanfaatkan dalam estimasi suhu udara di dekat permukaan lahan.3 Perkembangan data dan teknologi satelit penginderaan jauh untuk menjawab tantangan menyediakan informasi alternatif selain data hasil pengamatan di lapangan telah berkembang pesat. Kemampuan data satelit untuk mengestimasi parameter permukaan lahan pada resolusi temporal tinggi (harian) dan resolusi spasial 1 km telah berkembang setelah meluncurnya Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang dibawa oleh satelit National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) pada tahun 1980-an, dan juga Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) dari satelit Terra/Aqua sejak tahun 2000-an. Karakteristik spektral yang dimiliki oleh data AVHRR dan MODIS mampu mencirikan respons reflektansi setiap spektrum radiasi terhadap obyek di permukaan bumi, sehingga dapat memberikan informasi permukaan lahan, diantaranya suhu permukaan lahan dan tingkat kehijauan vegetasi.3 Estimasi suhu udara di atas permukaan lahan (Ta) berdasarkan data satelit penginderaan jauh dilakukan secara secara tidak langsung melalui suhu permukaan lahan (Ts) yang diturunkan dari spektrum thermal.4 Sensor AVHRR pada satelit NOAA ditujukan untuk pengamatan awan dan permukaan laut serta daratan pada skala resolusi spasial 1 km dengan spektrum visible dan infrared. Data NOAA-AVHRR mempunyai spektrum Thermal Infrared (TIR) pada kanal 4 dan 5 yang dapat dimanfaatkan untuk kajian aplikasi suhu permukaan laut/darat (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik Kanal Spektrum pada NOAAAVHRR (Sumber: NOAA) Spektrum
Kanal Wavelength (µm) Aplikasi
Visible
1
0.58-0.68
awan, salju, dan pemantauan es
Near IR
2
0.725-1.10
air, vegetasi, dan survey pertanian
Short Wave IR
3A
1.58-1.64
salju, es, dan pemisahan awan
Medium Wave IR
3B
3.55-3.93
suhu permukaan laut, gunungapi, kebakaran hutan
Thermal IR
4
10.3-11.3
suhu permukaan laut/darat, kadar air tanah
Thermal IR
5
11.3-12.5
suhu permukaan laut/darat, kadar air tanah
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 192
Prinsip mekanisme penurunan informasi suhu permukaan lahan dari data satelit adalah bahwa setiap objek di permukaan bumi yang memiliki suhu lebih dari 0 K atau - 273 ° C memancarkan radiasi. Hukum Planck menyatakan bahwa besarnya emisi radiasi yang dipancarkan oleh suatu obyek tergantung pada suhu dan emisivitasnya. Obyek bersuhu rendah dengan emisivitas tinggi dapat memancarkan energi radiasi yang sama dengan obyek yang bersuhu tinggi dengan emisivitas rendah. Obyek hitam sempurna (black body) diasumsikan sebagai radiator ideal yang sempurna menyerap dan mengemisikan semua energi, sehingga emisivitasnya 1. Umumnya obyek di alam ini disebut sebagai gray bodies, yang mengemisikan sebagian dari energi maksimum black body yang dimilikinya pada suhu tertentu. Suhu yang diukur tersebut biasanya disebut dengan suhu radian, suhu kecerahan (brightness temperature), atau suhu radian di atas atmosfer (top of the atmosphere temperature/TOA).5 Suhu kecerahan dikalkulasi dengan cara membalikkan (invers) formula Planck, sebagai berikut:
(1) dengan T = temperature of emitting surface (°K), = central wavenumber (cm), c1 = 1.191044 x 10-8 (W/m2/ster/cm-4), c2 = 1.438769 (cm deg K), = radian pada panjang gelombang tertentu. Suhu radian yang dikalkulasi dari energi radian yang diemisikan, pada umumnya bernilai lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan yang sebenarnya (kinetic temperature), yang bisa diukur dengan menggunakan termometer tanah. Emisivitas obyek permukaan lahan perlu diketahui untuk menghitung kinetic temperature dari nilai suhu radian.5 Metode Split window merupakan metode yang banyak digunakan dalam estimasi suhu permukaan lahan, karena di dalamnya terdapat koreksi terhadap gangguan atmosferik sehingga didapatkan estimasi suhu permukaan yang lebih baik dari data satelit penginderaan jauh. Algoritma khusus telah dikembangkan untuk AVHRR5,6,7 dengan akurasi sebesar 1 Kelvin untuk aplikasi di darat.8 Ada 3 cara mengestimasi Ta berdasarkan Ts, yaitu:9 (1) Pendekatan statistik dengan teknik
Parwati Sofan, dkk.
regresi sederhana antara Ta dan Ts baik dari data AVHRR maupun MODIS yang menghasilkan korelasi tinggi,10,11,12 atau regresi linear berganda dengan beberapa parameter seperti ketinggian permukaan, sudut zenith matahari, dan tanggal data,13,14 (2) Pendekatan suhu dengan indeks vegetasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),15 (3) Pendekatan keseimbangan energy.16 Pendugaan suhu udara dari data NOAAAVHRR di Sumatera dan Kalimantan berdasarkan metode pendekatan regresi linear berganda antara Ta dari data stasiun meteorologi Ts NOAA-AVHRR dan, NDVI, Julian date, dan elevasi permukaan dari data DEM SRTM telah dilakukan17. Korelasi hasil estimasi suhu udara dari data NOAA pada penelitian tersebut mencapai 0.6. Model estimasi suhu udara tersebut telah diaplikasikan sebagai input dari sistem peringkat bahaya kebakaran hutan/lahan berdasarkan data penginderaan jauh di wilayah P. Sumatera dan Kalimantan sejak tahun 2005 hingga sekarang di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Sulitnya mendapatkan data NOAA pada malam hari untuk mengkalkulasi suhu udara ratarata harian menjadi dasar penelitian ini untuk melakukan analisis hubungan antara suhu maksimum yang diperoleh dari data NOAA pada siang hari dengan data suhu udara rata-rata harian dari data stasiun meteorologi di lapangan. Dengan diperolehnya faktor konversi tersebut diharapkan dapat memudahkan operasional kegiatan monitoring suhu harian dari data satelit penginderaan jauh.
16 harian dibandingkan 1 harian. Resolusi spasial data MODIS adalah 1 km x 1 km. Data MODIS dan Digital Elevation Model (DEM) dari Satelit Shutle Radar Thematic Mapper (SRTM) digunakan sebagai pendukung analisis informasi estimasi suhu udara dari data AVHRR. Resolusi spasial data DEM SRTM adalah 90 m, namun pada kajian ini dijadikan 1 km melalui teknik interpolasi spasial agar analisisnya sama dengan AVHRR dan MODIS yaitu berbasis resolusi spasial 1 km. Data hasil pengamatan suhu udara rata-rata diperoleh dari stasiun meteorologi di Sumatera, Kalimatan, dan Jawa sejumlah 38 stasiun yang diekstraksi harian pada periode JanuariDesember 2014.
METODOLOGI Lokasi dan Data Pada studi ini digunakan data satelit NOAA-18 sensor AVHRR dengan format data level L1-B yang diakuisisi oleh Stasiun bumi Lapan sekitar pukul 13.40 setiap harinya selama tahun 2014. Asumsinya bahwa suhu tersebut merupakan suhu maksimum harian yang dapat diestimasi oleh data NOAA-AVHRR. Resolusi spasial data AVHRR adalah 1.1 km x 1.1 km. Cakupan area studi meliputi wilayah P. Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Selain data NOAA-18 AVHRR, juga digunakan data dari satelit Terra dengan sensor MODIS level 2 yaitu berupa indeks vegetasi NDVI dengan periode 16 harian. Data indeks vegetasi 16 harian digunakan dengan alasan bahwa fluktuasi perubahan indeks vegetasi dapat direpresentasikan dalam periode
Gambar 1. Lokasi stasiun meteorologi (titik merah) di Sumatera, Jawa dan Kalimantan (atas), dan contoh hasil estimasi suhu udara dari data NOAA-AVHRR (bawah).
Metode Pada studi ini secara umum pengolahan dan analisis data dibagi menjadi dua tahap, yaitu estimasi suhu udara dari AVHRR dan analisis evaluasi hasil estimasi suhu udara. Pada studi ini, acuan model estimasi suhu udara yang digunakan adalah berdasarkan model yang dikembangkan oleh Khomarudin,17 sehingga dalam tahap Prosiding SNSA 2015 – Halaman 193
Parwati Sofan, dkk.
pertama dilakukan pengolahan data AVHRR dari pengolahan awal hingga menghasilkan estimasi suhu udara. Pada tahap kedua, hasil estimasi suhu udara yang diperoleh pada tahap pertama akan dianalisis akurasinya terhadap data suhu udara hasil pengamatan stasiun meteorologi. Perlu dicermati bahwa terdapat hasil estimasi suhu udara dari NOAA diakuisisi pada sekitar 13.40 WIB atau pada saat suhu udara maksimum, sedangkan data suhu udara dari stasiun meteorologi yang digunakan adalah data suhu udara rata-rata harian. Pada tahap pertama, data AVHRR level 1B diolah dengan menggunakan software pengolahan data satelit untuk koreksi radiometrik dan geometrik. Setelah itu dilakukan transformasi Nilai Digital kanal 1 (visible) dan 2 (NIR) menjadi reflektansi, sedangkan kanal TIR yaitu 4 dan 5 menjadi suhu kecerahan pada top of atmosphere (TOA). Kanal 1 dan 2 digunakan untuk menghasilkan indeks vegetasi NDVI yang merupakan indeks umum digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi dari satelit dengan formula sebagai berikut :18
(2) Selanjutnya dilakukan pengolahan permukaan lahan dari data NOAA-AVHRR berdasarkan algoritma Ulivieri6 dengan asumsi kondisi uap air pada kolom atmosfer kurang dari 3.0 g/cm2 yaitu: 7 (3) dimana , , dan adalah suhu kecerahan dari AVHRR kanal 4 dan dan adalah rata-rata koefisien emisi 5, spektral dan selisih dari koefisien emisi kanal 4 dan 5, adalah koefisien emisi permukaan yang diestimasi dari NDVI yang terkoreksi atmosferik dengan kanal 4 dan 5 berdasarkan persamaan dari Valor dan Casselles19 sebagai berikut: (4) (5) Setelah suhu permukaan lahan didapatkan dari AVHRR, maka langkah selanjutnya adalah mengestimasi suhu udara berdasarkan input suhu permukaan lahan dari data AVHRR dengan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 194
model estimasi liner berganda yang dikembangkan oleh Khomarudin.17 Pada tahap kedua, hasil estimasi suhu udara dari AVHRR kemudian diektrak berdasarkan 38 lokasi koordinat stasiun meteorologi dengan buffer 1 km dari setiap titik stasiun. Nilai stastistik yang digunakan untuk mengekstraksi suhu udara pada buffer 1 km adalah nilai ratarata. Selanjutnya dilakukan analisis korelasi dan regresi antara suhu udara observasi dengan suhu udara hasil estimasi AVHRR selama periode 1 tahun (2014). Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut: .
(6)
dengan: -1 ≤ ≤ 1, , x
= data estimasi suhu udara dari AVHRR, y = suhu udara observasi lapangan, ρ = koefisien korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i = data ke-i, µx µy = nilai rata-rata (mean) dari x dan y. Selain itu pada analisis akurasi juga dilakukan penambahan parameter pengujian yaitu NDVI MODIS 16 harian dan DEM SRTM sebagai peubah bebas X2 dan X3. Nilai NDVI MODIS diekstraksi dengan buffer 1 km untuk dianalisis nilai maksimumnya, sedangkan DEM SRTM digunakan nilai rata-ratanya. Diagram alir pengolahan data dan analisis pada studi evaluasi suhu udara dari NOAA ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil scatter plot antara suhu udara rata-rata hasil observasi lapangan (Ta_obs) dengan suhu maksimum yang diestimasi dari data NOAA (Ta_NOAA) periode tahun 2014 di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Jawa dapat dilihat pada Gambar 4. Secara umum dapat dilihat dari scatter plot dan tren analisis liniear pada Gambar 4 bahwa Ta_NOAA lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan Ta_obs. Oleh karenanya untuk mengestimasi suhu harian dari data suhu maskimum diperlukan faktor koreksi yang dapat diperoleh dengan analisis regresi dan korelasi.
Parwati Sofan, dkk.
Gambar 4. Hasil scatter plot antara suhu udara observasi (Ta_obs) dengan suhu maksimum estimasi NOAA periode tahun 2014.
Gambar 2. Diagram alir estimasi suhu udara
Gambar 3. Diagram alir pengolahan data dan analisis pada studi evaluasi suhu udara dari NOAA.
Hasil analisis regresi dan korelasi dengan tingkat kepercayaan 95 % menunjukkan 7.4 % dari data Ta_NOAA dapat merepresentasikan Ta_obs, sedangkan korelasi diantara keduanya juga rendah hanya 0.27. Persamaannya adalah sebagai berikut: Ta_obs_2014 = 20.7 + 0.256 Ta_noaa; R-sqr = 7.4 %; r = 0.27.
Berdasarkan hasil tersebut, maka dilakukan analisis lebih lanjut dengan menambahkan parameter NDVI dan DEM. Parameter NDVI ditambahkan merefer pada hasil penelitian Wenbin15 dimana suhu kanopi vegetasi dapat mempengaruhi suhu udara di atasnya. Pada vegetasi yang mempunyai kanopi rapat, suhu udara relative lebih rendah dibandingkan pada vegetasi yang mempunyai kanopi jarang. Kondisi rapat atau jarangnya kanopi vegetasi dapat direpresentasikan dengan indeks vegetasi NDVI. Pada kanopi vegetasi rapat, indeks vegetasinya lebih tinggi dibandingkan dengan kanopi vegetasi yang jarang. Sementara itu, parameter DEM sebagai representasi data ketinggian/elevasi permukaan juga berpengaruh terhadap suhu udara. Menurut Sitaniapessy,20 suhu udara akan menurun sekitar 0.62 derajat Celcius setiap naik elevasi permukaan 100 m. Hasil plot secara 3 dimensi antara Ta_NOAA, Ta_obs, dan DEM dapat dilihat pada Gambar 5 (atas) bahwa Ta_NOAA pada nilai kurang dari 30 derajat Celsius terdapat pada DEM lebih dari 400 m dpl, sedangkan Ta_NOAA di atas 32 derajat Celcius berada pada DEM di bawah 400 m dpl. Pada Gambar 5 (bawah) dapat dilihat hubungan NDVI terhadap suhu udara dan DEM, dimana nilai NDVI yang tinggi sekitar di atas 0.6 mempunyai suhu udara yang rendah sekitar kurang dari 30 derajat Celcius dan ketinggiannya di atas 400 m dpl. NDVI rendah sekitar di bawah 0.3 umumnya berada pada suhu di atas 30 derajat Celcius dengan ketinggian kurang dari 400 m dpl.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 195
Parwati Sofan, dkk.
berbeda dengan curah hujan yang dinamis setiap harinya. Suhu udara dapat dilihat fluktuasinya berdasarkan analisis bulanan seperti yang terlihat pada hasil analisis rata-rata bulanan Ta_obs selama tahun 2014 (Gambar 6). Tabel 2. Hasil analisis regresi dan korelasi Ta_NOAA, NDVI, DEM terhadap Ta_obs. Ta_NOAA (X1)
NDVI max (X2)
DEM (X3)
20.7 + 0.256 X1; R2 = 7.4% Ta_obs (Y)
21.3 + 0.252 X1 - 0.655 X2; R2= 7.5% 26.4 + 0.0906 X1 + 0.314 X2 - 0.00346 X3; R2 = 17.5%
Gambar 5. Plot 3-Dimensi antara Ta_NOAA, Ta_obs dan DEM (atas) dan NDVI, Ta_obs dan DEM (bawah). Suhu udara dalam satuan derajat Celcius, dan DEM dalam meter di atas permukaan laut (mdpl). Gambar 6. Rata-rata bulanan suhu udata observasi di wilayah kajian periode 2014.
Uraian pengaruh NDVI dan DEM terhadap suhu udara di atas menjadi dasar analisis regresi dan korelasi selanjutnya yaitu dengan menambahkan parameter NDVI dan DEM sebagai peubah bebas X. Pada uji pertama dicoba menambahkan parameter NDVI saja sebagai X2, kemudian menggunakan NDVI sebagai X2 dan DEM sebagai X3 terhadap T_obs. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Pada penambahan X2 dalam analisis regresi dan korelasi peningkatan koefisien determinasinya (R2) tidak begitu berbeda dengan hanya menggunakan X1 saja, namun jika menambahkan parameter NDVI dan DEM sebagai X2 dan X3 maka dihasilkan peningkatan koefisien determinasi hingga menjadi 17.5%. Peningkatan koefisien determinasi pada hasil analisis di atas masih relatif rendah, hal tersebut mungkin disebabkan karena tidak dilakukan pemisahan data suhu yang dianalisis berdasarkan periode musiman. Menurut Handoko (1994) suhu udara di negara tropis merupakan unsur cuaca yang umumnya bersifat stastis secara harian, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 196
Analisis selanjutnya dilakukan dengan memisahkan data secara bulanan dari Januari hingga Desember. Diagram scatter plot pada Gambar 7 antara Ta_NOAA dengan Ta_obs setiap bulannya pada tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat kelompok data yang memiliki hubungan non linear dimana pada satu nilai Ta_NOAA tertentu mempunyai variasi nilai Ta_obs yang besar, mulai dari nilai terendah hingga tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa data Ta_NOAA mempunyai tingkat kesalahan yang salah satu penyebabnya adalah pengaruh tingkat keawanan yang tinggi pada citra AVHRR harian. Pada kasus liputan awan tinggi, untuk memenuhi informasi harian suhu udara spasial dari AVHRR digunakan data satu hari sebelumnya. Sementara jika liputan awannya tidak terlalu tinggi maka dilakukan pengisian nilai suhu udara berdasarkan informasi ketinggian berdasarkan rumus pendugaan suhu udara.20
Parwati Sofan, dkk.
Gambar 7. Scatter plot Ta_obs dengan Ta_NOAA per –bulan periode 2014.
Berdasarkan data yang telah dilakukan pemisahan secara bulanan, maka dilakukan analisis regresi dan korelasi dengan perlakuaan 3 parameter, yaitu Ta_NOAA (X1), NDVI (X2), dan DEM (X3) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Secara umum ditunjukkan bahwa peningkatan koefisien determinasi diperoleh dengan menggunakan 3 parameter yaitu suhu NOAA, NDVI, dan DEM. Korelasi yang paling tinggi diperoleh pada bulan Juli (r = 0.64; R2 = 41 %), yang menunjukkan bahwa 41 % dari data Ta_NOAA, NDVI, dan DEM merepresentasikan nilai suhu observasi di lapangan. Korelasi yang rendah salah satunya disebabkan oleh adanya gangguan awan sehingga menyebabkan estimasi suhu dari data satelit kurang akurat
dengan menggunakan model suhu permukaan lahan yang dikembangkan oleh Khomarudin 2005 harus memperhatikan variasi seasonal bulanan, tingkat kehijauan vegetasi (NDVI), dan elevasi permukaan (DEM). Korelasi yang tertinggi antara suhu udara observasi dengan suhu udara maksimum yang diestimasi NOAA dengan menambahkan faktor koreksi dari data NDVI dan DEM adalah sebesar 0.64 pada bulan Juli 2014. Analisis selanjutnya perlu dilakukan dengan memperhatikan sebaran data untuk mengeliminasi data-data yang mengandung kesalahan. Selain itu untuk menguji persamaan baru untuk estimasi suhu udara dari data NOAA yang dihasilkan pada studi ini, maka perlu dilakukan tes validasi dengan data terbaru (tahun 2015).
KESIMPULAN Estimasi suhu udara dari data NOAA-AVHRR di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Jawa Prosiding SNSA 2015 – Halaman 197
Parwati Sofan, dkk.
Tabel 3. Koefisien determinasi (R2) dan persamaan regresi bulanan antara Ta_obs (Y) dengan Ta_NOAA (X1), NDVI (X2), dan DEM (X3) X1
X1, X2
X1,X2,X 3
PERSAMAAN
JAN
10.2 %
10. 3%
26.6 %
Y = 26.4 - 0.0074 X1 + 0.669 X2 - 0.00459 X3
FEB
4.9 %
5.5 %
20.2 %
Y = 26.3 - 0.0151 X1+ 2.19 X2 - 0.00440 X3
MAR
3.5 %
4.0 %
16.1 %
Y = 26.8 - 0.0109 X1+ 2.17 X2- 0.00398 X3
APR
4.0 %
4.4 %
16.2 %
Y = 31.4 - 0.0804 X1- 1.20 X2- 0.00417 X3
MEI
13.9 %
14. 0%
34.8 %
Y = 28.4 + 0.0713 X1 + 0.844 X2- 0.00361 X3
JUN
17.6 %
17. 8%
39.1 %
Y = 25.7 + 0.132 X1 + 1.19 X2- 0.00355 X3
JUL
15.9 %
16. 2%
41.8 %
Y = 27.5 + 0.0735 X1 + 1.05 X2- 0.00408 X3
AGS
10.1 %
10. 1%
28.5 %
Y = 26.4 + 0.0977 X1 + 0.884 X2 - 0.00329 X3
SEP
9.1 %
17. 1%
34.2 %
Y = 30.6 + 0.0776 X1 3.10 X2- 0.00308 X3
OKT
6.4 %
27. 1%
27.3 %
Y = 32.6 + 0.0304 X1 3.58 X2 - 0.00300 X3
NOV
6.2 %
9.4 %
34.1 %
Y = 33.5 - 0.0392 X1 - 2.51 X2 - 0.00405 X3
DES
6.5 %
8.5 %
26.6 %
Y = 34.1 - 0.106 X1 - 1.30 X2 - 0.00392 X3
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim produksi informasi harian SPBK yang telah mendukung data suhu dari NOAA-18 yang diakuisisi dari stasiun bumi LAPAN Pare-pare. DAFTAR PUSTAKA 1
Nieto, H., Sandholt, I., Aguada, I., Chuvieco, E., & Stisen, S. 2011. Air temperature estimation with MSG-SEVIRI data: Calibration and validation of the TVX algorithm for the Iberian Peninsula. Remote Sensing of Environment. 115, 107–116. 2 Guslim. 2008. Klimatologi. Medan 3 Tempfli, K., Norman, K., Gerrit, C.H, and Lucas, L.F.J. 2009. Principles of Remote Sensing. ITC Educational Textbook Series; 2. Fourth edition. by ITC, Enschede, The Netherlands. 4 Vancutsem, C., Ceccato, P., Dinku,T., & Connor, S.J. 2010. Evaluation of MODIS land surface temperature data to estimate air Prosiding SNSA 2015 – Halaman 198
temperature in different ecosystems over Africa. Remote Sensing of Environment. 114(2), 449-465 5 Price J.C. 1984. Land surface temperature measurements from split window channels of the NOAA 7 advance very high resolution radiometer. J. Geophys. Res, 89, 7231-7237. 6 Ulivieri, C., Castronuovo, M.M., Francioni, R., Cardillo. 1994. A split window algorithm for estimating land surface temperature from satellites. Adv. Space Res. 14, 59–65. 7 Pinheiro, A. C. T., Privette, J. L., and Guillevic, P. 2006. Modeling the observed angular anisotropy of land surface temperature in a savanna. IEEE Transactions on Geosciences Remote Sensing. 44(4), 1036–1047. 8 Sobrino, J. A., Caselles, V., and Coll, C.1993. Theoretical split window algorithms for determining the actual surface temperature,Il Nuovo Cimento, 16, 3, 219–236 9 Zaksek, K., and Schroedter-Homscheidt, M. 2009. Parameterization of air temperature in high temporal and spatial resolution from a combination of the SEVIRI and MODIS instruments. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing. 64(4), 414-421. 10 Mostovoy, G. V., King, R.L., Reddy, K.R., Kakani, V. G., and Filippova, M.G. 2006. Statistical estimation of daily maximum and minimum air temperature from MODIS LST data over the state of Mississippi. GIScience and Remote Sensing, 43(1), 78-110. 11 Stathopoulou, M., Cartalis, C., Chrysoulakis, N. 2006. Using midday surface temperature to estimate cooling degree-days from NOAAAVHRR thermal infrared data: an application for Athens, Greece. Sol. Energy 80 (4), 414-422 12 Yan, H., Zhang, J.H., Hou, Y.Y., He, Y.B. 2009. Estimation of air temperature from MODIS data in east China. Int. J. Remote Sens. 30 (23), 6261-6275 13 Han, K.S., Alain A. V., and François, A. 2003. High-Resolution Forest Fire Weather Index Computations Using Satellite Remote Sensing. Can. J. For. Res. 33: 1134–1143 14 Khomarudin, M. R., 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Thesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor 15 Wenbin Zhu., Lu Aifeng., Jia Shaofeng. 2013. Estimation of Daily Maximum and Minimum Air Temperature Using MODIS Land Surface
Parwati Sofan, dkk.
Temperature Products. Remote Sensing of Environment 130(2013): 62-73. 16 Meteotest. 2010. Meteonorm handbook, Part III: Teory part 2. http://www.meteonorm.com/media/pdf/mn6_ sofware.pdf, diakses pada 10 Maret 2015. 17 Khomarudin, M.R. 2005. Estimasi UnsurUnsur Cuaca Untuk Mendukung Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran Hutan/Lahan Dengan Data MODIS, PIT MAPIN XIV. 18 Tucker, C. J. 1979. Red and photographic infrared linear combination for monitoring vegetation. Remote Sensing Environ.8:127– 150. 19 Valor, E., and Casselles, V., 1995, Mapping of land surface emissivity from NDVI: Application to European, African, and South American areas. Remote Sensing of Environment, 57, 167-184. 20 Sitaniapessy, P.M., 1984. Klasifikasi dan Iklim di Indonesia. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.Bogor
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 199
Rista Hernandi, dkk.
KAJIAN PREDIKTOR POTENSIAL PUNCAK MUSIM HUJAN DI UTARA JAKARTA POTENTIAL PREDICTOR OF THE PEAK OF RAINY SEASON ANALYSIS IN NORTHERN JAKARTA Rista Hernandi Virgianto1), Amir Mustofa Irawan2) dan Selvy Yolanda3) 1)2)
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 3) Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Pos-el:
[email protected] ABSTRACT
Study about the peak of the rainy season has not been developed intensively in Indonesia. This study aims to find potential predictors that can be used for further research to predict the peak of the rainy season in northern Jakarta. 20 years period of daily rainfall data from Cengkareng and Tanjung Priok have been used in this study. The analysis of composite mean has been conducted on NCEP reanalysis data of Outgoing Longwave Radiation (OLR), zonal and meridional winds at 850 millibars layer using openGrADs. Analysis of seven days moving average are applied to each parameters from seven days before and during the peak of the rainy season. Composite mean analysis of OLR in Teluk Jakarta showed a decrease before the peak of the rainy season. Meanwhile, Composite of 850 mb zonal wind speed increases eastward, while the 850 mb meridional wind speed increases southward. Relationship between the pattern of changes of the those parameters and the strengthening of convective cloud patterns also West Monsoon Wind, indicating that those parameters have potential as predictors of the peak of the rainy season in northern Jakarta. Keywords: peak of the rainy season, outgoing longwave radiation, zonal wind, meridional wind ABSTRAK Penelitian tentang puncak musim hujan belum banyak dikembangkan secara intensif di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan prediktor yang dapat digunakan dalam penelitian lebih lanjut untuk prediksi puncak musim hujan di utara Jakarta. Data hujan harian periode 20 tahun dari Cengkareng dan Tanjung Priok telah digunakan dalam penelitian ini. Analisis rata-rata komposit dilakukan terhadap data re-analisis model NCEP berupa Outgoing Longwave Radiation (OLR), angin zonal dan meridional di lapisan 850 milibar menggunakan software openGrADs. Analisis rataan bergerak tujuh harian diterapkan terhadap setiap parameter selama tujuh hari sebelum dan selama puncak musim hujan. Analisis rata-rata komposit OLR di Teluk Jakarta menunjukkan nilai yang semakin berkurang saat sebelum terjadinya puncak musim hujan, Sementara itu, nilai rata-rata komposit kecepatan komponen angin zonal meningkat ke arah timur, sedangkan kecepatan angin meridional meningkat ke arah selatan. Keterkaitan pola perubahan nilai ketiga parameter tersebut dengan penguatan pola awan konvektif serta Angin Monsun Barat, menunjukkan bahwa parameter tersebut memiliki potensi sebagai prediktor puncak musim hujan di utara Jakarta. Kata kunci: puncak musim hujan, outgoing longwave radiation, angin zonal, angin meridional
PENDAHULUAN Hujan merupakan salah bentuk hydrometeor yang umum terjadi di wilayah lintang tropis seperti Indonesia. Hujan berasal dari uap air di atmosfer, sehingga bentuk dan jumlahnya dipengaruhi oleh faktor klimatologi seperti angin, temperature dan tekanan atmosfer. Uap air tersebut akan naik ke atmosfer sehingga mendingin dan terjadi kondensasi menjadi butir-butir air dan kristalkristal es yang akhirnya jatuh sebagai hujan.1 Pada daerah lintang-lintang rendah kebanyakan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 200
curah hujan lebih lebat daripada di lintanglintang tinggi. Hujan-hujan deras (lebat) di lintang tinggi dapat menghabiskan uap air yang ada dengan cepat dan berlangsung sebentar, sedangkan di daerah tropis karena udara lebih panas maka mempunyai persediaan air yang lebih banyak sekali, sehingga intensitas hujan yang besar dapat berlangsung dalam waktu yang lama.2 Lebih lanjut, intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan selama waktu hujan.3 Hujan juga memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas manusia terutama di kota besar seperti
Rista Hernandi, dkk.
Jakarta. Informasi prediksi puncak musim hujan di Jakarta tentunya sangat diperlukan dalam membantu berbagai sektor kehidupan masyarakat seperti pertanian, transportasi, kehutanan maupun penanganan banjir di Ibukota. Musim hujan di Pulau Jawa termasuk Jakarta, berkaitan erat dengan aktivitas Angin Monsun Barat yang bertiup dari Benua Asia antara bulan Desember, Januari, dan Februari.4 Selama bulan Desember, Januari dan Februari inilah biasanya terjadi curah hujan harian yang tinggi selama beberapa hari yang biasa disebut dengan periode puncak musim hujan. Penelitian mengenai puncak musim hujan belum banyak dikembangkan di Indonesia. Akan tetapi, informasi prediksi kemungkinan terjadinya periode puncak musim hujan di Jakarta sudah dilakukan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi cuaca. Informasi tentang kemungkinan terjadinya periode puncak musim hujan biasanya dibuat berdasarkan rangkuman prediksi curah hujan tujuh hari ke depan yang di update setiap harinya. Penelitian yang dilakukan oleh Ding dan Wang5 menggunakan jumlah hujan maksimum dalam lima harian untuk menentukan fase ekstrim aktivitas monsun yang merupakan puncak musim hujan di utara India. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dalam kegiatan operasionalnya menggunakan periode satu mingguan atau tujuh harian untuk mendeskripsikan puncak musim hujan, sehingga dalam penelitian ini puncak musim hujan didefinisikan sebagai hari dengan periode tujuh hari berikutnya yang memiliki jumlah curah hujan tertinggi dalam satu musim hujan. Periode puncak musim hujan di Jakarta yang memiliki tipe hujan monsunal terjadi antara bulan Desember, Januari, dan Februari.6 Lebih lanjut, Nuryanto6 menjelaskan bahwa Madden-Julian Oscillation (MJO) dengan aktivitas monsun turut berperan dalam membentuk pola hujan di Jakarta. Keadaan pertumbuhan awan konvektif yang dominan di sekitar Laut Jawa menyebabkan potensi hujan lebat di sekitar Pulau Jawa meningkat pada bulan-bulan tersebut.4 Ding dan Wang5 dalam penelitiannya tentang prediksi puncak musim hujan di utara India menggunakan parameter Outgoing Longwave Radiation (OLR), komponen angin zonal lapisan 850 mb dan komponen angin meridional lapisan 850 milibar (mb). Penggunaan OLR untuk mengidentifikasi tutupan awan konvektif juga dilakukan oleh Pai dan Rajeevan7 dalam penelitiannya tentang musim hujan di Kerala,
India atau yang lebih dikenal dengan Monsoon of Kerala (MOK). Padmakumari dan Goswami8 dalam penelitiannya tentang peran tutupan awan di wilayah India, menggunakan batas nilai OLR kurang dari 220 W/m2 sebagai identifikasi adanya tutupan awan yang tebal dan OLR antara 240 sampai 260 W/m2 untuk mengidentifikasi tutupan awan yang tipis. Gernowo9 dalam penelitiannya tentang analisis banjir di DKI Jakarta terkait hujan ekstrim di tahun 2002 dan 2007, menggunakan OLR sebagai salah satu parameter dalam analisis kondisi fisis atmosfer di sekitar Jakarta. Gernowo9 menyimpulkan terjadinya hujan ekstrim di DKI Jakarta lebih kuat dipengaruhi oleh faktor sirkulasi konveksi lokal yang terjadi di sekitar wilayah Jakarta. Keberadaan daerah tekanan rendah di Samudra India yang bergerak hingga Sumatera bagian selatan juga memperkuat tiupan angin dari arah utara di sekitar Jakarta yang juga memicu terjadinya hujan ekstrim di Jakarta dan sekitarnya. Wang et al.10 meneliti hubungan komponen angin zonal dan meridional lapisan 850 mb di Laut Cina Selatan terhadap kejadian hujan saat awal East Asia Summer Monson, dalam penelitian lain Junmei et al.11 menghubungkan kecepatan rata-rata angin zonal lapisan 850 mb dengan curah hujan saat fase aktif dari Asian Summer Monsun di wilayah Cina dan Semenanjung Indocina. Zhao et al.12 menggunakan komponen angin zonal dan meridional lapisan 850 mb untuk mendeteksi angin barat daya di timur Cina yang menjadi pemicu meningkatnya curah hujan di tenggara Cina. Beberapa penelitian yang telah disebutkan menunjukkan adanya keterkaitan antara komponen angin zonal dan meridional pada waktu tertentu di suatu wilayah dengan meningkatnya curah hujan saat musim hujan di wilayah lain yang berhubungan. Penelitian ini menganalisis keadaan rata-rata OLR, kecepatan angin zonal dan meridonal di lapisan 850 mb selama dua puluh tahun (1994 sampai 2013) sebelum hingga saat terjadinya puncak musim hujan. Perlu ditekankan bahwa sistem prediksi puncak musim hujan tidak akan dibahas dalam penelitian ini. Lokasi penelitian ditentukan di wilayah utara Jakarta karena puncak musim hujan sangat berpengaruh terhadap aktivitas yang berhubungan dengan objek vital seperti Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak di Jakarta bagian utara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik OLR, kecepatan angin zonal dan meridonal di lapisan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 201
Rista Hernandi, dkk.
850 mb yang berpotensi untuk digunakan sebagai prediktor model prediksi puncak musim hujan di utara Jakarta dalam penelitian selanjutnya. METODOLOGI Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan harian Stasiun Meteorologi Cengkareng dan Tanjung Priok selama 20 tahun dari 1994 sampai 2013. Data hujan harian digunakan agar hasil analisis yang diperoleh lebih representatif dan akurat. Lokasi penelitian ditentukan di wilayah utara Jakarta. Periode puncak musim hujan setiap tahun selama periode 1994 sampai 2013 ditentukan oleh tanggal terjadinya jumlah curah hujan terbesar (maksimum) selama tujuh hari berikutnya untuk setiap tahunnya. Data hujan harian dari dua lokasi stasiun pengamatan hujan milik Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tersebut dipilih karena mewakili wilayah Jakarta bagian utara sebagaimana terlihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Lokasi stasiun pengamatan hujan milik BMKG.
Data curah hujan tujuh harian di Utara Jakarta diperoleh dengan rumus sebagai berikut : (1) dengan : = curah hujan tujuh harian Utara Jakarta tanggal t = data pos hujan Cengkareng tanggal t = data pos hujan Tanjung Priok tanggal t. Analisis rata-rata komposit dilakukan terhadap data re-analisis model National Center of Environmental Prediction (NCEP) berupa Prosiding SNSA 2015 – Halaman 202
OLR, angin zonal dan meridional lapisan 850 mb menggunakan bantuan software openGrADs. Analisis rataan bergerak selama tujuh harian diterapkan terhadap data model selama tujuh hari sebelum dan selama puncak musim hujan. Hal ini dilakukan untuk memperkecil variasi harian dari setiap parameter, sehingga hasil analisis perubahan rata-rata nilai setiap parameter di wilayah tertentu diharapkan mampu menggambarkan kondisi cuaca saat sebelum terjadinya periode puncak musim hujan di utara Jakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis puncak musim hujan di utara Jakarta selama 1994 sampai 2013 pada Gambar 2, menunjukkan rata-rata jumlah curah hujan tujuh harian selama periode puncak musim hujan di utara Jakarta sebesar 242 milimeter (mm). Puncak musim hujan pada tahun 2013 menunjukkan jumlah curah hujan terbesar yaitu 430 mm, sedangkan tahun 2012 menunjukkan nilai terendah yakni 103 mm selama periode 1994 hingga 2013.
Gambar 2. Grafik jumlah curah hujan dalam periode puncak musim hujan di utara Jakarta setiap tahunnya (1994 sampai dengan 2013)
Puncak musim hujan paling awal terjadi pada periode musim hujan tahun 1995-1996 yaitu tanggal 30 Desember 1995, sedangkan paling akhir terjadi pada periode musim hujan tahun 2011-2012 yakni tanggal 28 Februari 2012. Periode puncak musim hujan di utara Jakarta paling sering terjadi pada bulan Januari dan hanya satu kali terjadi pada bulan Desember.
Rista Hernandi, dkk.
a
b
meridional lapisan 850 mb, terlihat perubahan kecepatan dan arah pada sebagian wilayah di sekitar Teluk Jakarta sejak dua hari sebelum hingga saat puncak awal musim hujan sebagaimana Gambar 5 berikut.
a
c
b
c Gambar 3. Peta rata-rata komposit OLR: a) Dua hari sebelum puncak musim hujan, b) Sehari sebelum puncak hujan, c) saat puncak musim hujan (dalam watt/m2)
Pola penjalaran terlihat nampak pada perubahan nilai OLR sejak dua hari sebelum dan saat puncak musim hujan pada Gambar 3. Begitu juga analisis rata-rata komposit dari parameter lainnya (kecepatan komponen angin zonal dan kecepatan komponen angin meridional lapisan 850 mb), menunjukkan perubahan nilai yang menunjukkan kesamaan pola perubahan untuk setiap parameter tersebut di wilayah sekitar Teluk Jakarta. Wilayah tersebut terletak antara 60-20 LS dan 1060-1100 BT yang ditandai dengan kotak berwarna putih pada Gambar 3 sampai 5. Sementara itu, nilai rata-rata komponen angin zonal lapisan 850 mb hanya terlihat perubahan nilai yang tidak terlalu besar sejak dua hari sebelum hingga saat puncak awal musim hujan sebagaimana Gambar 4 berikut.
a
Gambar 5. Peta rata-rata komposit angin meridional lapisan 850 mb: a) Dua hari sebelum puncak musim hujan, b) Sehari sebelum puncak hujan, c) saat puncak musim hujan (dalam m/s)
Gambar 6 berikut menunjukkan perubahan nilai rata-rata komposit nilai OLR di 60-20 LS dan 1060-1100 BT selama tujuh hari sebelum dan selama puncak musim hujan menunjukkan bahwa terjadi penurunan rata-rata nilai tujuh harian nilai OLR sejak tujuh hari sampai hari kedua puncak musim hujan dengan nilai kisaran di bawah 180 watt/m2 yang menggambarkan peningkatan daerah tutupan awan konvektif di sekitar utara Jakarta.
b
c
Gambar 6. Grafik rata-rata komposit OLR di grid 6020LS ; 1060-1100BT sebelum dan saat terjadi puncak musim hujan di utara Jakarta Gambar 4. Peta rata-rata komposit angin zonal lapisan 850 mb: a) Dua hari sebelum puncak musim hujan, b) Sehari sebelum puncak hujan, c) saat Puncak musim hujan (dalam m/s)
Lebih lanjut, nilai rata-rata komponen angin
Perubahan nilai OLR di sekitar Teluk Jakarta (60-20LS ; 1060-1100BT) yang menurun di bawah nilai 220 watt/m2, menandakan semakin tebalnya tutupan awan konvektif yang tebal di Teluk Prosiding SNSA 2015 – Halaman 203
Rista Hernandi, dkk.
Jakarta menjelang terjadinya puncak musim hujan. Selama puncak musim hujan berlangsung (hingga lag time ke +6), nilai OLR cenderung turun kemudian stabil pada nilai terendahnya. Setelah periode puncak hujan terlewati (lag time ke +7). Dilihat dari pergerakkan pola OLR pada Gambar 3, “kumpulan” awan konvektif yang tebal bergerak dari Selatan Sumatra menuju Teluk Jakarta. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Gernowo2, bahwa terdapat daerah tekanan rendah yang ditandai dengan “kumpulan” awan konvektif yang tebal yang bergerak dari arah Samudra Hindia dekat Sumatra bagian selatan ke arah Jakarta. Akan tetapi hal ini tidak serta merta memperkuat kecepatan angin dari arah utara di dekat Jakarta. Fenomena pergerakkan “kumpulan” awan konvektif menuju Jakarta menjelang periode puncak musim hujan di utara Jakarta memperkuat dugaan bahwa fenomena tersebut adalah bagian dari fenomena Madden-Julian Oscillation yang melewati utara Jakarta. Hal ini diperkuat dengan meningkatnya kecepatan angin zonal lapisan 850 mb ke arah timur di sekitar Teluk Jakarta. Adanya peningkatan kecepatan angin zonal lapisan 850 mb ke arah timur (positif) dan pergerakan nilai OLR yang rendah (dibawah 220 watt/m2), merupakan suatu tanda yang jelas bahwa periode puncak musim hujan terjadi saat MJO aktif di sekitar Teluk Jakarta.
Gambar 7 a dan b menunjukkan perubahan nilai rata-rata komposit kecepatan komponen angin zonal lapisan 850 mb di utara Jakarta menunjukkan peningkatan kecepatan ke arah timur hingga 50% dari kecepatan awal yang sebesar 4,2 knots pada waktu 7 hari sebelum puncak musim hujan. Sementara angin meridional lapisan 850 mb pada wilayah yang sama, menunjukkan peningkatan kecepatan ke arah selatan hingga lebih dari 100% sejak tujuh hari sebelum puncak musim hujan sampai saat puncak musim hujan. Peningkatan rata-rata komposit kecepatan angin meridional lapisan 850 ke arah selatan yang diikuti peningkatan rata-rata komposit kecepatan angin zonal lapisan 850 mb ke arah timur di Teluk Jakarta menjelang terjadinya puncak musim hujan di utara Jakarta, menandakan meningkatnya aktivitas Angin Monsun Barat dari Benua Asia sebagaimana penelitian Zhao et al12. Angin Monsun Barat yang bertiup dari Benua Asia menuju Selatan Indonesia (Australia), membawa banyak kandungan uap air dari Samudra Pasifik dan Laut Cina Selatan. Akibatnya, kelembaban udara di atmosfer Indonesia bagian barat daya (termasuk Jakarta) meningkat, sehingga peluang hujan juga ikut meningkat. Peningkatan aktivitas Monsun Barat Asia juga berimbas pada naiknya curah hujan terutama di utara Jakarta karena di wilayah ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga periode puncak musim hujan pun biasa terjadi pada waktu-waktu tersebut. KESIMPULAN
a
b
Gambar 7 Grafik rata-rata komposit kecepatan komponen angin zonal dan meridional lapisan 850 mb di grid 60-20LS ; 1060-1100BT sebelum dan saat terjadi puncak musim hujan di utara Jakarta
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 204
Perubahan kecepatan angin zonal yang semakin kuat ke arah timur serta angin meridional yang semakin kuat ke arah selatan di sekitar Teluk Jakarta menjelang periode puncak hujan, menunjukkan meningkatnya aktifitas Monsun Barat Asia yang memperbesar peluang meningkatnya curah hujan khususnya di utara Jakarta. Penurunan nilai OLR di sekitar Teluk Jakarta yang didahului pergerakkan pola OLR dengan nilai rendah dari arah barat menuju Teluk Jakarta menjelang periode puncak musim hujan, menunjukkan bahwa kemungkinan puncak hujan di utara Jakarta terjadi bersamaan dengan aktifnya MJO di sekitar Jakarta. Berdasarkan keterkaitan pola perubahan nilai parameter Outgoing Longwave Radiation, kecepatan komponen angin zonal dan meridional lapisan 850 mb di sekitar Teluk Jakarta sebelum terjadinya puncak musim hujan di utara Jakarta, maka parameter tersebut memiliki potensi untuk
Rista Hernandi, dkk.
dapat digunakan sebagai prediktor dalam memprediksi periode puncak musim hujan di utara Jakarta dengan penelitian yang lebih lanjut. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika melalui Stasiun Klimatologi Pondok Betung yang telah memberikan akses data curah hujan harian Jakarta dan data re-analisis model dari NCEP. Terima kasih kepada Dr. Suko Prayitno Adi, M.Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang telah memberikan fasilitas untuk menunjang penelitian ini.
Monsoon. Chinese Science Bulletin 51(1):8088. 12 Zhao, P. Zhang, R. Liu, J. Zhou, X. dan He, J., 2007. Onset of South westerly Wind over Eastern China and Associated Atmospheric Circulation and Rainfall. Climate Dynamics 28:797-811.
DAFTAR PUSTAKA 1
Triatmodjo, Bambang., 2008. Hidrologi Terapan. Jakarta: Beta Offset. 2 Tjasyono, B., 1992. Klimatologi Terapan. Bandung: Pionir Jaya. 3 Wirjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y.S., 2007. Praktek Meteorologi Pertanian. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. 4 Tjasyono, H.K.B. Gernowo, R. Harijono, S.W.B. dan Juaeni, I., 2008. International Symposium on Equatorial Monsoon System The Character of Rainfall in the Indonesian Monsoon. Yogyakarta. 5 Ding, Q. dan Wang, B., 2008. Predicting Extreme Phase of Indian Summer Monsoon. Journal of Climate 22:346-363. 6 Nuryanto, D.E., 2013. Karakteristik Curah Hujan Abad 20 di Jakarta Berdasarkan Kerjadian Iklim Global. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 14(3):139-147. 7 Pai, D.S. dan Rajeevan, M.N., 2009. Summer Monsoon Onset over Kerala: New Definition and Prediction. Journal of Earth System and Science 118:123-135 8 Padmakumari, B. dan Goswami, B.N., 2010. Seminal Role of Clouds on Solar Dimming over The Indian Monsoon Region. Geophysics Research Letter 37:1-5. 9 Gernowo, R., 2009., Monsoon Effect at Flood Phenomena on 2002 and 2007 in DKI Jakarta. Berkala Fisika 12(1):7-13. 10 Wang, B. Ho, L. Zhang, Y. dan Lu, M.M., 2004. Definition of South China Sea Monsoon Onset and Commencement of the East Asia Summer Monsoon. American Meteorological Society. Journal of Climate Academic 17: 699-710. 11 Junmei, L. Zhang, Q. Tao, S. dan Ju, J., 2006. The Onset and Advance of the Asian Summer Prosiding SNSA 2015 – Halaman 205
Risyanto, dkk.
PERBANDINGAN METODE ESTIMASI SUHU VERTIKAL ATMOSFER BERBASIS DATA MODIS METHOD COMPARISON OF ATMOPHERIC VERTICAL TEMPERATURE BASED ON MODIS DATA Risyanto, Sinta Berliana Sipayung, Edy Maryadi Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT MODIS sensor has a wavelength that ranges from visible to infrared consisting of 36 spectral channels. Some of these channels are working on the same channel with the NOAA TIROS Operational Vertical sensors Sounders (TOVS), allowing MODIS to detect vertical atmospheric parameters such as temperature and humidity. Algorithm vertical temperature decrease from MODIS data has been developed and set out in MOD07/MYD07. Estimates of the temperature profile of MOD07/MYD07 basically have enough valid results when compared with radiosonde measurements. This study aimed to evaluate the atmospheric vertical temperature parameters derived from algorithms MOD07/MYD07, and make comparisons between other estimation methods, namely artificial neural network (ANN) and multiple linear regressions (MLR). The results showed that ANN and MLR methods have compatibility with radiosonde data better than the MOD07/MYD07 algorithms. Value errors (MBE, MAE and RMSE) produced by both methods are smaller than that resulting from the MOD07/MYD07 algorithm. Keywords: MODIS, Temperature Vertical Atmospheric, MOD07/MYD07, ANN, Multi Linear Regression ABSTRAK Sensor MODIS memiliki kisaran panjang gelombang visible sampai dengan infra merah yang terdiri dari 36 kanal spektral. Beberapa kanal tersebut bekerja pada kanal yang sama dengan sensor NOAA TIROS Operational Vertical Sounders (TOVS), sehingga memungkinkan MODIS untuk mendeteksi parameter atmosfer vertikal seperti suhu dan kelembapan udara. Algoritma penurunan suhu vertikal dari data MODIS telah dikembangkan dan tertuang dalam MOD07/MYD07. Estimasi profil suhu dari MOD07/MYD07 ini pada dasarnya telah memberikan hasil yang cukup valid bila dibandingkan dengan pengukuran radiosonde. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi parameter suhu vertikal atmosfer yang diturunkan dari algoritma MOD07/MYD07, serta melakukan perbandingan antar metode estimasi lainnya, yaitu artificial neural network (ANN) dan multi linier regression (MLR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ANN dan MLR memiliki kesesuaian dengan data radiosonde yang lebih baik dibandingkan algortima MOD07/MYD07. Nilai error (MBE, MAE dan RMSE) yang dihasilkan kedua metode tersebut lebih kecil daripada yang dihasilkan dari algoritma MOD07/MYD07. Kata kunci : MODIS, Suhu Vertikal Atmosfer, MOD07/MYD07, ANN, Regresi Multi Linier
PENDAHULUAN Penginderaan jauh atmosfer dari citra satelit pada masa sekarang ini telah dilengkapi dengan instrumen yang memiliki sensor mutakhir dengan kemampuan menjangkau kisaran panjang gelombang yang baru dan lebih lebar, serta mampu mengukur dengan resolusi frekuensi yang lebih baik dan lebih sedikit noise.1 Salah satunya adalah sensor MODIS yang memiliki kisaran panjang gelombang visible sampai dengan infra merah yang terdiri dari 36 kanal spektral. Beberapa kanal tersebut bekerja pada kanal yang sama dengan sensor NOAA TIROS Operational Vertical Sounders (TOVS) sehingga Prosiding SNSA 2015 – Halaman 206
memungkinkan MODIS untuk mendeteksi parameter atmosfer vertikal seperti suhu dan kelembapan udara.2 Algoritma penurunan suhu vertikal dari data MODIS telah dikembangkan dan tertuang dalam ATBD (Algorithm Teoritical Basis Document) MOD07/MYD07. Berdasarkan ATBD ini, algoritma MODIS diadaptasi dari algoritma High Resolution Infrared Radiation Sounder (HIRS) dan Geostationery Operational Environmental Satellite (GOES), dengan penyesuaian untuk mengakomodir tidak adanya kanal spektral untuk sounding lapisan stratosfer, dan untuk meningkatkan resolusi spasial (1 km MODIS dari
Risyanto, dkk.
17 km HIRS). Sehingga, dengan pendekatan tertentu, dari pengukuran radians infra merah MODIS dapat pula dimanfaatkan untuk menghasilkan data profil suhu dan kelembapan, total kolom precipitable water vapor, ozon dan stabilitas atmosfer. 3 Validasi data MOD07/MYD07 untuk wilayah Indonesia telah dilakukan, salah satunya oleh Risyanto et al,4 yang mendapatkan bahwa data suhu vertikal yang diberikan MODIS memiliki kesesuaian nilai dan pola yang cukup baik dengan data radiosonde. Akan tetapi, masih terdapat perbedaan terutama pada lapisan dekat permukaan dan ketinggian di sekitar tropopause. Sipayung et al5 juga telah melakukan estimasi suhu vertikal atmosfer menggunakan data MODIS dengan metode statistik artificial neural network (ANN). Penurunan suhu vertikal menggunakan metode ANN juga menghasilkan nilai dan pola yang sesuai dengan hasil pengamatan radiosonde. Untuk mendapatkan Gambaran seberapa baik hasil estimasi dari metode-metode tersebut, perlu dilakukan perbandingan antar metode dengan data pengamatan radiosonde. Metode yang terbaik dalam hal ini adalah yang estimasi datanya, baik nilai maupun pola, paling mendekati atau sesuai dengan data pengamatan. Penelitian ini akan melakukan perbandingan tiga metode estimasi profil suhu vertikal atmosfer data MODIS, yaitu algoritma MOD07/MYD07, metode ANN, serta metode multi linier regression (MLR). Metode MLR dilakukan dengan cara mencari persamaan regresi linier antara data suhu radiosonde dengan nilai spektral radians pada kanal-kanal tertentu yang berkaitan dengan suhu atmosfer. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi parameter suhu vertikal atmosfer yang diturunkan dari algoritma MOD07/MYD07, serta melakukan perbandingan antar metode estimasi lainnya, yaitu artificial neural network (ANN) dan multi linier regression (MLR).
620, 700, 780, 850, 920, 950, 1000 mb dengan resolusi spasial 5 km dan resolusi temporal 2 – 4 kali sehari.6 Untuk penurunan suhu dengan metode ANN dan MLR, data yang digunakan adalah data level 1B (spektral radians kanal 33, 34, 35 dan 36) keluaran program RTSTPS dan IMAPP, dengan resolusi 1 km. Data radiosonde diperoleh dari situs University of Wyoming (http://weather.uwyo.edu/ upperair/sounding.html). Lokasi yang dijadikan fokus penelitian adalah kota Jakarta, Surabaya, Manado, Makasar, dan Padang dengan periode data bulan Maret 2013 – Mei 2014. Untuk melihat tingkat perbedaan data MODIS dari ketiga metode dengan data observasi radiosonde, digunakan parameter MBE (mean bias error), MAE (mean absolute error) dan RMSE (root mean-square error). MAE dan RMSE telah digunakan sebagai ukuran statistika standar dalam menguji performa model dalam studi meteorologi, kualitas udara dan penelitian klimatologi.7 Pada dasarnya, MAE dan RMSE sama-sama menunjukkan nilai perbedaan sampel data yang diprediksi dengan data observasi. Semakin besar nilai MAE dan RMSE maka perbedaan nilai antara data yang dihasilkan MODIS dengan data radosonde juga semakin besar. Sedangkan MBE, berguna untuk memperoleh informasi apakah hasil prediksi ratarata lebih besar atau lebih kecil (over- atau under-estimated) dari data observasi. MBE, MAE dan RMSE dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :8
METODOLOGI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini akan membandingkan 3 metode estimasi suhu vertikal atmosfer: (1) algoritma MOD07/MYD07, (2) metode artificial neural network (ANN), serta (3) metode multi linier regression (MLR). Data dari algortima MOD07/MYD07 merupakan data level dua hasil olahan software International MODIS/AIRS Processing Package (IMAPP). Data profil ini dihasilkan pada 20 level ketinggian, yaitu 5, 10, 20, 30, 50, 70, 100, 150, 200, 250, 300, 400, 500,
Persamaan MLR dibangun atas dasar adanya hubungan antara nilai spektral radians pada kanal-kanal tertentu dengan nilai suhu profil atmosfer. Dalam penelitian ini, nilai suhu atmosfer diturunkan berdasarkan persamaan regresi antara suhu radiosonde dengan nilai spektral radians pada kanal 33, 34, 35 dan 36. Pemilihan kanal tersebut didasarkan atas keterkaitan panjang gelombang pada kanal 33–36 dengan parameter suhu atmosfer yang akan diturunkan.9 Untuk mendapatkan data profil,
(1) (2) (3) dengan dan merupakan data prediksi dan data observasi ke –t, dengan n adalah jumlah data.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 207
Risyanto, dkk.
persamaan MLR disusun untuk masing-masing ketinggian (level). Level yang digunakan untuk metode MLR dibuat sama dengan produk IMAPP, yaitu sebanyak 20 level. Tabel 1 berikut menyajikan hasil persamaan MLR untuk mengestimasi nilai suhu atmosfer berdasarkan data spektral radians kanal 33 (x1), kanal 34 (x2), kanal 35 (x3) dan kanal 36 (x4). Konstanta persamaan pada masing-masing level ketinggian diturunkan dari seluruh sampel data di lima lokasi kajian (Jakarta, Manado, Makasar, Padang dan Surabaya) selama periode bulan Maret 2013 – Mei 2014. Untuk mendapatkan jumlah data sampel yang banyak, dalam perhitungan tidak dilakukan pemisahan untuk masing-masing kota. Sehingga persamaan ini hanya sesuai untuk lima kota yang dijadikan fokus penelitian. Contoh hasil perbandingan metode estimasi suhu profil suhu atmosfer berdasarkan MOD07/MYD07, ANN dan MLR dengan data radiosonde di lima kota ditampilkan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa nilai profil suhu yang diturunkan dengan metode ANN dan MLR memiliki kesesuaian yang lebih baik dengan data radiosonde dibandingkan suhu dari algoritma MOD07/MYD07 khususnya di daerah Padang dan Makasar. Di daerah Jakarta dan Manado, ketiga metode mampu menghasilkan nilai dan pola yang cukup sesuai dengan pengamatan radiosonde. Hal yang berkebalikan terjadi di daerah Surabaya, dimana hanya metode MOD07/MYD07 yang nilainya sesuai dengan data radiosonde. Secara umum, pola suhu vertikal yang ditunjukan data MODIS baik menggunakan metode MOD07/MYD07, ANN maupun MLR, sesuai dengan pola yang berlaku standar. Pada lapisan atmosfer standar, suhu akan mengalami penurunan seiring dengan makin bertambahnya ketinggian sampai dengan lapisan tropopause. Lapisan tropopause yang merupakan pembatas antara troposfer dengan stratosfer, rata-rata terletak pada ketinggian tekanan 100 mb (sekitar 16 km) untuk wilayah tropis.10 Pada Gambar 1, ketebalan lapisan tropopause tidak dapat teridentifikasi karena data MODIS hanya mampu menurunkankan 20 level ketinggian, sehingga data vertikal temperatur yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan profil atmosfer secara lebih detail.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 208
Tabel 1. Persamaan Estimasi Suhu Vertikal Atmosfer dari data spektral radians kanal 33 (x1), kanal 34 (x2), kanal 35 (x3) dan kanal 36 (x4) dengan Metode Regresi Multi Linier Level 1000 mb 950 mb 920 mb 850 mb 780 mb 700 mb 620 mb 500 mb 400 mb 300 mb 250 mb 200 mb 150 mb 100 mb 70 mb 50 mb 30 mb 20 mb 10 mb 5 mb
Persamaan Estimasi Suhu 24.87 - 0.736 x1 + 0.83 x4 - 1.89 x2 + 2.70 x3 19.07 - 0.446 x1 + 0.89 x4 + 1.14 x2 + 0.20 x3 18.59 - 0.329 x1 + 1.41 x4 + 0.186 x2 + 0.37 x3 15.99 - 0.633 x1 - 0.49 x4 - 0.39 x2 + 2.49 x3 13.55 - 0.737 x1 - 1.38 x4 - 1.056 x2 + 3.83 x3 9.70 - 0.490 x1 - 0.87 x4 - 0.23 x2 + 1.73 x3 0.48 - 0.689 x1 - 0.70 x4 - 0.962 x2 + 3.75 x3 -11.31 - 1.012 x1 + 0.02 x4 + 0.26 x2 + 2.90 x3 -24.07 - 1.62 x1 + 2.20 x4 + 0.17 x2 + 2.79 x3 -34.57 - 0.988 x1 + 1.04 x4 - 1.254 x2 + 3.26 x3 -44.01 - 1.181 x1 + 0.02 x4 - 0.70 x2 + 3.41 x3 -56.09 - 1.063 x1 - 0.56 x4 - 0.470 x2 + 3.31 x3 -68.86 - 0.646 x1 - 1.34 x4 - 0.14 x2 + 2.32 x3 -64.63 + 3.38 x1 - 9.15 x4 + 2.27 x2 - 5.29 x3 -56.97 + 1.51 x1 + 3.20 x4 + 8.22 x2 - 19.45 x3 -59.77 + 2.86 x1 + 1.70 x4 + 6.06 x2 - 14.13 x3 -57.77 - 1.69 x1 - 1.02 x4 + 3.00 x2 - 0.09 x3 -57.18 - 2.432 x1 - 4.32 x4 + 1.10 x2 + 7.21 x3 -53.38 - 1.74 x1 - 1.48 x4 - 1.72 x2 + 8.17 x3 -49.4 - 2.92 x1 - 0.40 x4 - 5.43 x2 + 12.72 x3
Lapisan troposfer terbawah (1-2 km dari permukaan) merupakan lapisan yang memiliki karakteristik berbeda dengan lapisan troposfer lainnya, disebut sebagai atmospheric boundary layer, dimana suhu pada lapisan ini sangat dipengaruhi oleh permukaan.11 Karakteristik lapisan ini juga tidak terlihat pada Gambar 1, disebabkan oleh keterbatasan level ketinggian yang dimiliki MODIS, sehingga nilai perubahan suhu udara vertikal di lapisan bawah troposfer terlihat smooth. Pola yang dihasilkan dari ketiga metode cenderung hampir sama mulai dari permukaan sampai lapisan sekitar 100 mb, sedangkan di atas lapisan tersebut, nilai yang dihasilkan ketiga metode mulai bervariasi. Perlu diingat bahwa grafik tersebut hanya salah satu contoh kasus perbandingan antar ketiga metode. Kesimpulan yang valid bisa ditentukan jika data yang diolah lebih banyak dan mampu mewakili variasi suhu di lokasi tersebut. Oleh karena itu, berikut ditampilkan hasil perhitungan MBE, MAE dan RMSE yang merupakan rata-rata dari beberapa sampel data yang digunakan (Gambar 2 sampai Gambar 4).
Risyanto, dkk.
Gambar 1. Perbandingan profil temperatur vertikal antara estimasi MOD07/MYD07, metode ANN dan metode MLR dengan data radiosonde di lima daerah di Indonesia
Berdasarkan hasil perhitungan nilai MBE antar ketiga metode, didapatkan bahwa rata-rata data temperatur dari MOD07/MYD07 lebih kecil
dibandingkan data radiosonde, dengan besaran nilai MBE = -1,74. Sedangkan data temperatur yang dihasilkan metode ANN dan MLR rata-rata lebih besar dari nilai observasi radiosonde dengan besaran +0,91 dan +0,65. Metode MLR menghasilkan nilai MBE yang terkecil yang mengindikasikan bahwa metode ini tampak lebih baik dibandingkan kedua metode lainnya. Parameter MAE dan RMSE secara reguler telah banyak digunakan dalam kajian evaluasi model. Meskipun demikian, Willmott dan Matsuura8 lebih merekomendasikan penggunaan MAE dibandingkan RMSE, karena RMSE dianggap sering tidak merepresentasikan nilai rata-rata kesalahan (error) yang sebenarnya. Lain halnya dengan Chai dan Drexler7 yang menemukan bahwa RMSE justru lebih baik digunakan daripada MAE, terutama pada data yang memiliki nilai error dengan distribusi normal (Gaussian). Selain itu Chai dan Drexler7 juga mengungkapkan bahwa kombinasi dari berbagai parameter, tidak terbatas pada RMSE dan MAE saja, seringkali diperlukan untuk menilai dan menguji performa model. Berdasarkan perbandingan scatter plot dan nilai MAE-RMSE dari ketiga metode, diperoleh bahwa metode MLR memiliki nilai error terkecil dimana nilai MAE diperoleh sebesar 2,46 dan RMSE sebesar 4,18. Nilai MAE menunjukkan bahwa rata-rata kesalahan (error) dari data temperatur yang diturunkan metode MLR dibandingkan dengan data radiosonde adalah sebesar 2,46oC. Sedangkan nilai RMSE menunjukkan bahwa standar deviasi dari kesalahan (error) dari data temperatur yang diturunkan metode MLR adalah sebesar 4,18oC. Hasil ini mengindikasikan bahwa metode penurunan suhu vertikal atmosfer menggunakan MLR dianggap menghasilkan nilai yang lebih baik dibandingkan algoritma MOD07/MYD07 dan metode ANN. Hal ini bisa dipahami mengingat persamaan MLR dibangun berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada data radiosonde yang juga digunakan dalam perbandingan. Demikian halnya dengan metode ANN, keluaran dari metode ini juga bergantung pada persamaan yang ditentukan dari nilai data pengamatan radiosonde. Metode ANN ini merupakan salah satu metode cepat untuk mengestimasi suhu vertikal dari data satelit dengan nilai akurasi yang cukup baik.1 Persamaan MLR dan ANN dalam penelitian ini menggunakan sampel data yang berasal dari lima kota kajian. Kota-kota lain di Indonesia yang memiliki karakteristik iklim yang berbeda dengan lima kota tersebut perlu melakukan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 209
Risyanto, dkk.
penyesuaian atau modifikasi pada konstanta persamaan, sehingga nilai suhu yang diturunkan dari data MODIS akan lebih akurat. Meskipun demikian, untuk mendapatkan nilai prakiraan, persamaan tersebut bisa saja digunakan. Perlu diingat pula bahwa persamaan di atas juga tidak spesifik terhadap musim. Namun, sehubungan dengan keterbatasan data yang hanya tersedia pada kondisi bebas awan, sebagian besar sampel yang digunakan merupakan data pada musim kering. Oleh karena itu, persamaan MLR dan ANN pada penelitian ini mungkin menghasilkan nilai yang kurang sesuai jika digunakan untuk menghasilkan data di musim hujan. Liljegren et al.12 menemukan bahwa estimasi nilai suhu dan kelembapan vertikal dapat ditingkatkan dengan melakukan penyesuaian nilai suhu kecerahan pada saat tidak tepat dengan arah datang matahari (off-zenith angle). Oleh karena itu, keterbatasan lain yang mungkin juga menyebabkan ketidaksesuaian nilai suhu vertikal metode MLR adalah ketika suhu kecerahan (brighness temperature) dari kanal spektral yang dipilih tidak mempertimbangkan sudut datang matahari. Hal ini terjadi karena nilai suhu yang diestimasi sangat bergantung dengan nilai suhu kecerahan kanal spektral yang dipilih. Nilai kesalahan yang dihasilkan algoritma MOD07/MYD07 rata-rata lebih besar dibandingkan metode ANN dan MLR, namun algoritma ini merupakan metode standar yang telah ditetapkan secara internasional, sehingga penggunaan data keluaran algoritma ini untuk analisis lebih lanjut masih dapat diterima. Algortitma MOD07/MYD07 pada dasarnya menurunkan profil atmosfer dengan metode regresi statistik, namun ada juga versi dengan penambahan opsi untuk parameter fisik nonlinier. Penurunan dilakukan hanya pada kondisi cerah (tidak tertutup awan) dengan resolusi 5 km baik di atas daratan maupun lautan pada siang dan malam hari.13 Penurunan data profil atmosfer dengan algoritma yang hanya menggunakan regresi statistik telah dilakukan secara operasional melalui sistem pengolahan Goddard Distributed Active Archive Center (GDAAC). Pemanfaatan data satelit untuk menurunkan parameter profil atmosfer pada dasarnya memiliki banyak kelebihan. Salah satunya dalam hal spasial, suhu vertikal MODIS dapat mencakup wilayah-wilayah yang tidak melakukan peluncuran radiosonde secara operasional. Meskipun demikian algoritma dan metode yang digunakan untuk menurunkan suhu vertikal MODIS mensyaratkan kondisi yang bebas awan, baik MOD07, metode ANN maupun Prosiding SNSA 2015 – Halaman 210
MLR. Ini menjadi kendala tersendiri mengingat perawanan di wilayah Indonesia yang cukup tinggi sehingga ketersediaan data yang dihasilkan menjadi lebih terbatas.
Gambar 2. Scatter Plot dan nilai error antara suhu vertikal yang dihasilkan MOD07/MYD07 dan data radiosonde
Gambar 3. Scatter Plot dan nilai error antara suhu vertikal yang dihasilkan metode ANN dan data radiosonde
Gambar 4. Scatter Plot dan nilai error suhu vertikal yang dihasilkan metode MLR dan data radiosonde
KESIMPULAN Secara umum, data suhu vertikal yang diberikan MODIS memiliki kesesuaian nilai dan pola yang cukup baik dengan data radiosonde. Perbedaan terbesar terdapat pada lapisan dekat permukaan
Risyanto, dkk.
dan ketinggian di sekitar tropopause. Persamaan multi linier regression pada penelitian ini dihasilkan untuk dua puluh level ketinggian yang sama dengan data MOD07/MYD07. Pada dasarnya, persamaan MLR bisa saja diturunkan untuk berbagai level ketinggian bergantung pada level ketinggian data radiosonde. Namun untuk dapat dibandingkan, level pada metode MLR, ANN dibuat sama dengan MOD07/MYD07. Nilai MAE berdasarkan perbandingan di lima lokasi kajian, yang dihasilkan metode MOD07/MYD07, metode ANN dan MLR adalah berturut-turut 5,98; 2,76; dan 2,46, sedangkan nilai RMSE diperoleh sebesar 7,80; 4,55; dan 4,18. Nilai ini mengindikasikan bahwa metode penurunan suhu vertikal atmosfer menggunakan MLR dianggap menghasilkan nilai yang lebih baik dibandingkan algoritma MOD07/MYD07 dan metode ANN. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Laras Tursilowati, M.Si. selaku Kepala Bidang Teknologi Atmosfer, dan Ir. Halimurrahman, M.T. selaku Kepala Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN, atas masukan dan dukungannya terhadap penelitian ini. Juga kepada University of Wyoming dan Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh – LAPAN atas bantuan ketersediaan data suhu vertikal radiosonde dan MODIS. Daftar Pustaka 1
Akbari, V., J. Amini, M. R. Saradjian, M. Motagh, 2008. Estimation Of Atmospheric Temperature And Humidity Profiles From Modis And Radiosond Data Using Artificial Neural Network. The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII. Part B7. Beijing. 2 Seeman, S. W., J. Li, W. P. Menzel, and L. E. Gumley, 2003. Operational Retrieval of Atmospheric Temperature, Moisture, and Ozone From MODIS Infrared Radiances. Journal of applied meteorology,42: 10721091. 3 Suzanne W. Seemann, Eva E. Borbas, Jun Li, W. Paul Menze, Liam E. Gumley, 2006. MODIS Atmospheric Profile Retrieval Algorithm Theoretical Basis Document. Cooperative Institute for Meteorological Satellite Studies. University of WisconsinMadison.1225 W. Dayton St. Madison, WI 53706. Version 6.
4
Risyanto, S. B. Sipayung, dan E. Maryadi, 2014. Analisis Profil Suhu Vertikal Atmosfer dari Data MODIS Terra/Aqua di Wilayah Indonesia. Prosiding Seminar Sains Atmosfer 2014, LAPAN Bandung. 5 Sipayung, S. B., Risyanto, dan E. Maryadi, 2014. Aplikasi Artificial Neural Network (ANN) untuk Estimasi Profil Vertikal Temperatur dan Kelembapan dari Data MODIS. Simposium Fisika Nasional (SFN XXVII), Bali. 6 NASA, 2013. Moderate-resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). (http://modis.gsfc.nasa.gov/about/, diakses pada tanggal 3 September 2013) 7 Chai, T., and Draxler, R.R., 2014. Root mean square error (RMSE) or mean absolute error (MAE)? – Arguments against avoiding RMSE in the literature. Geosci. Model Dev., 7, 1247–1250 8 Willmott, C. and Matsuura, 2005. Advantages of the Mean Absolute Error (MAE) over the Root Mean Square Error (RMSE) in assessing average model performance, Clim. Res., 30, 79–82. 9 Lambrigsen, B. H., Calheiros, R. V., 2003. The Humidity Sounder for Brazil – An International Partnership. IEEE Trans. Geosc. Remote Sensing, n. 41, p. 352-361. 10 Hoinka, K. P, 1999. Temperature, Humidity, and Wind at the Global Tropopause. Monthly Weather Review (American Meteorological Society) 127: 2248 – 2265. 11 Stephens, Graema L., 1994. Remote Sensing of the Lower Atmosphere. New York: Oxford University Press, Inc. 12 Liljegren, J. C., Maria, P. C., Andrew, P., 2006. Retrieval of Atmospheric Temperature and Water Vapor Profiles in the Arctic. 9th Specialist Meeting on Microwave Radiometry and Remote Sensing Applications, San Juan, puerto Rico. 13 Huang, H. L. et al., 2004. International MODIS and AIRS Processing Package (IMAPP): A direct broadcast software package for the NASA Earth Observing System. Bull. Of the American Met. Soc., 85, No.2, 159-161.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 211
Rosida, dkk.
ANALISIS RADIATIVE FORCING KARBON DIOKSIDA DAN METANA BERDASARKAN DATA SATELIT DI INDONESIA RADIATIVE FORCING OF CARBON DIOXIDE AND METHANE ANALYSIS BASED ON SATELLITE DATA OVER INDONESIA Rosida, Indah Susanti dan Waluyo Eko Cahyono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional ( LAPAN ), Jl. Dr Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ;
[email protected] [email protected] ABSTRACT Radiative Forcing is a measure of the ability of a climate factor to change the energy balance of incoming and outgoing radiation in a system of the Earth's atmosphere. The factor can be used as a potential index in a climate change mechanism. The main contributors were led to anincrease inradiative forcingis the increasing amount of greenhouse gases (GHG) emissions. Carbon dioxide (CO 2 ) and methane (CH 4 ) is recognized as the potential greenhouse gas in climate change. Concentration data of CO2 and CH4 from satellite Aqua-AIRS were analyzed its radiative forcing. It aims to determine the spatial and temporal characteristics in relation to climate change in Indonesia. Based on the calculations, the average value of CO 2 and CH 4 radiative forcing for Indonesian region is 1.72 watt/m2 and 0.50 watt/m2 respectively. Increasing number of CO 2 concentration in every year was already cause increase forcing between 0.017-0.029 watt/m2. Likewise,an increase in the concentration of CH 4 that occuring each year, has increased forcing between-0.0002 to 0.0003 watt/m2. The value of CO 2 forcing for Indonesia region are greater 0.01 watts/m2 than the value which is recorded at NOAA and 0.06 watts/m2 greater from the value of the CO 2 forcing that is recorded in IPCC report. Compared to the value of radiative forcing that was published by NOAA and IPCC, the radiative forcing increasing value of CH 4 for Indonesian region is larger 0.02 watt/m2. Keywords: carbon dioxide, methane, radiative forcing, Indonesia ABSTRAK Radiative Forcing adalah ukuran kemampuan suatu faktor iklim untuk mengubah keseimbangan energi radiasi yang datang dan yang keluar dalam suatu sistem atmosfer bumi. Faktor tersebut dapat dijadikan sebagai suatu indeks potensial dalam mekanisme perubahan iklim. Kontributor utama yang menimbulkan terjadinya peningkatan radiative forcing adalah bertambahnya jumlah gas rumah kaca (GRK) yang diemisikan. Karbon dioksida (CO 2 ) dan metana (CH 4 ) dikenal sebagai gas rumah kaca yang sangat potensial dalam perubahan iklim. Data konsentrasi CO 2 dan CH 4 yang bersumber dari satelit Aqua-AIRS dianalisis radiative forcingnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik secara spasial dan temporal dalam kaitannya terhadap perubahan iklim di wilayah Indonesia. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai rata-rata radiative forcing CO 2 dan CH 4 untuk wilayah Indonesia berturut-turut adalah 1.72 watt/m2 dan 0.50 watt/m2. Meningkatnya jumlah konsentrasi CO 2 disetiap tahun sudah menyebabkan peningkatan forcing antara 0,017-0,029 watt/m2. Demikian juga peningkatan konsentrasi CH 4 yang terjadi di setiap tahunnya, telah meningkatkan forcing antara -0,0002 sampai 0,0003watt/m2. Nilai forcing CO 2 untuk wilayah Indonesia lebih besar 0,01 watt/m2 dari nilai yang dicatat di NOAA dan 0,06 watt/m2 lebih besar dari nilai forcing CO 2 yang dicatat IPCC. Dibandingkan dengan nilai radiative forcing yang telah dipublikasikan oleh NOAA dan IPCC, maka pertambahan nilai radiative forcing CH 4 untuk wilayah Indonesia lebih besar 0,02 watt/m2. Kata Kunci : Karbon dioksida, metana, radiative forcing, Indonesia
PENDAHULUAN Salah satu faktor yang mengubah keseimbangan sistem iklim adalah radiative forcing (radiative forcing agent). Pada laporan yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) didefinisikan bahwa radiative forcing adalah ukuran kemampuan suatu faktor untuk Prosiding SNSA 2015 – Halaman 212
mengubah keseimbangan energi radiasi yang datang dan energi radiasi yang keluar dalam suatu sistem atmosfer bumi, yang dapat dijadikan sebagai suatu indeks yang potensial dalam mekanisme perubahan iklim. Istilah “positive forcing” digunakan untuk menyatakan rata-rata kecenderungan yang menghangatkan permukaan
Rosida, dkk.
bumi, sedangkan “negative forcing” digunakan untuk menyatakan kecenderungan yang mendinginkan permukaan bumi.1 Kontributor utama terhadap peningkatan radiative forcing adalah peningkatan gas rumah kaca (GRK), yang diketahui sejak jaman pra-industri telah terjadi peningkatan sebesar 61% oleh karbon dioksida (CO 2 ). Peningkatan radiative forcing oleh kontributor penting lainnya yaitu metana (CH 4 ) sebesar 17%, nitrous oksida (N 2 O) sebesar 4% dan 12% oleh kloroflorokarbon (CFCs).2 Sejak revolusi industri, aktivitas antropogenik telah mengubah konsentrasi komponenkomponen di atmosfer secara signifikan dan beberapa diantaranya telah memberikan dampak pada keseimbangan radiasi sistim bumi. Forster3 menjelaskan bahwa gas rumah kaca yang berumur panjang, terutama karbon dioksida (CO 2 ), juga metana (CH 4 ), nitrous oksida (N 2 O) dan halocarbons adalah agent forcing iklim dari antropogenik yang paling penting. Selain itu menurut Skeie,4 komponen-komponen yang waktu tinggalnya pendek seperti ozon troposfer dan aerosol karbon hitam (BC) juga menyebabkan pemanasan yang signifikan pada sistim iklim. Konsentrasi karbon dioksida (CO 2 ) terus meningkat dari sekitar 278 ppm pada era sebelum industri sampai tahun 2007 diperkirakan konsentrasinya telah mencapai 380 ppm. Peningkatan konsentrasi CO 2 tersebut umumnya disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang berkaitan dengan berkembangnya aktivitas industri.5,6 Berdasarkan catatan World Meteorological Organization (WMO),7 rata-rata global mixing ratio CO 2 troposfer pada tahun 2009 telah mencapai 386,8 ppm, dan dari monitoring CO 2 di stasiun pengamat Mauna Loa tercatat konsentrasi CO 2 rata-rata bulanan sebesar 401,30 ppm pada April 2014 dengan tren musiman terkoreksi sebesar 398,69 ppm.8 Metana (CH 4 ) merupakan gas rumah kaca ke dua yang sangat signifikan setelah CO 2 , variasi konsentrasinya di atmosfer juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam kimia atmosfer dan perubahan iklim.9 Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Rigby10 pada tahun 2008 dan juga yang dilakukan oleh Dlugokencky11 pada tahun 2009, menjelaskan bahwa konsentrasi CH 4 di atmosfer telah bertambah dua kali lipat sejak zaman pra-industri yang mayoritas berasal dari aktivitas antropogenik,dan rata-rata global mixing ratio CH 4 di troposfer yang tercatat oleh WMO7 pada tahun 2009 adalah 1803 ppb. Menurut Emma,12 sumber terpenting CH 4 adalah tanah basah, ladang sawah, produksi
energi, pembakaran biomasa, dan kontribusinya dalam perkiraan total emisi yang mencapai 600 Tg setiap tahunnya. Hasil penelitian Sinisalo dan Savolainen menunjukkan bahwa emisi antropogenik dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran bahan bakar tanah gemuk (peat) secara langsung di Finlandia telah menyebabkan peningkatan yang sangat cepat dari radiative forcing.13 Hasil pengamatan yang dilakukan Dlugokencky14 dan Bousquet15 menjelaskan bahwa konsentrasi CH 4 sempat mengalami kondisi yang stabil diantara tahun 1999 sampai kira-kira tahun 2006 untuk alasan yang belum dapat dipahami. Hal serupa juga di uraikan oleh Nahas16 bahwa berdasarkan hasil pemantauan konsentrasi CH 4 di Bukit Kototabang memperlihatkan adanya tren konsentrasi CH 4 yang cenderung stabil dalam perioda yang sama tersebut. Tren konsentrasi CH 4 ini kemudian kembali ke kondisi positif dan terus meningkat pada tahun 2007. Indonesia merupakan negara maritim yang menghasilkan uap air (H 2 O) secara berlimpah. Selain itu persentase jumlah hutan di Indonesia juga terbilang cukup luas. Terlepas dari masalah kebakaran yang secara rutin terjadi terutama di wilayah Indonesia bagian barat dan perkembangan taraf hidup masyarakat yang semakin meningkat, namun dari kelimpahan kedua hal tersebut yang dimiliki Indonesia, diharapkan Indonesia masih aman dari masalah perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi iklim di wilayah Indonesia selama kurun waktu kurang lebih 10 tahun, berdasarkan radiative forcing CO 2 dan CH 4 secara spasial dan temporal. METODE PENELITIAN Dengan menggunakan data satelit, pada penelitian ini dianalisis kondisi iklim di Indonesia berdasarkan radiative forcing CO 2 dan CH 4 untuk mengetahui karakteristik secara spasial dan temporalnya. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan radiative forcing CO 2 dan CH 4 rata-rata global berdasarkan IPCC 20072 dan terhadap hasil monitoring Earth System Research Laboratory, NOAA di Mauna Loa.8 Dalam penelitian ini perhitungan radiative forcing untuk CO 2 dan CH 4 menggunakan rumusan yang mengacu pada rumusan yang digunakan IPCC 2001dan NOAA.1,17 Persamaan untuk menghitung radiative forcing CO 2 adalah :
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 213
Rosida, dkk.
ΔF = α ln (C/C 0 )
(1)
Persamaan untuk menghitung radiative forcing CH 4 adalah: ΔF = β (√M - √M 0 ) – (f(M, N 0 )-f(M 0 ,N 0 ))
atmosfer yang sangat lama, sehingga pertambahan emisinya akan mengakibatkan terjadinya akumulasi CO 2 di atmosfer.
(2)
dengan : f(M,N) α β
= 0,47 ln [1+2.01x10-5 (MN)0.75 +5.31 x 10-15 M(MN)1.52] = 5,35 = 0.036
(3)
C adalah konsentrasi CO 2 dalam ppm M adalah konsentrasi CH 4 dalam ppb N adalah konsentrasi N 2 O dalam ppb Subskrip 0 dalam rumusan menunjukkan nilai konsentrasi referensi pra revolusi industri tahun 1750, masing-masing untuk CO 2 = 278 ppm, dan untuk CH 4 = 700 ppb, dan untuk N 2 O = 270 ppb.1 Data gas rumah kaca (GRK) CO 2 dan CH 4 yang digunakan adalah data level 2 yang di peroleh dari satelit Aqua-AIRS, dengan temporal rata-rata bulan dan resolusi spasial data 1o x 1o. Perioda data yang dimanfaatkan dalam penelitian adalah data yang telah tersedia pada sensor satelit yaitu dari 2003 sampai 2011 untuk CO 2 , untuk CH 4 dari 2003-2013. Semua pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GrADS, dan analisis data difokuskan untuk wilayah Indonesia (6o LU–11oLS dan 95oBT–141oBT).Data diunduh dari website National Aeronautics and Space Administration (NASA) http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daacbin/G3/gui.cgi?instance_id=AIRS_Level3Month. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas karbon dioksida dan metana Distribusi konsentrasi CO 2 rata-rata secara temporal memperlihatkan kecenderungan yang terus menerus meningkat dari tahun ke tahun. Rata-rata pertambahan kenaikannya cukup bervariasi antara 1,9 dan 2,5 ppm setiap tahunnya. Variasi maksimum konsentrasi CO 2 menunjukkan peningkatan yang rata-rata terjadi pada perioda musim peralihan MAM (Maret, April, Maret). Konsentrasinya mulai menurun pada musim JJA (Juni, Juli, Agustus) dan mengalami nilai minimum dengan nilai minimum terendah pada musim SON (September, Oktober, November). Kecenderungan peningkatan CO 2 tersebut disebabkan karena waktu tinggal CO 2 di Prosiding SNSA 2015 – Halaman 214
Gambar 1. Variasi bulanan konsentrasi CO 2 (ppm) (tahun 2003-2012) di wilayah Indonesia.
Gambar2. Variasi bulanankonsentrasi CH 4 (ppbv) (tahun 2003–2013) di wilayah Indonesia.
CH 4 juga merupakan gas rumah kaca yang sangat penting, variasi data rata-rata bulanannya memperlihatkan fluktuasi yang sangat variatif, dengan pola yang sangat tidak beraturan, berbeda dengan CO 2 (Gambar 1 dan Gambar 2). Dengan pola seperti itu, sulit menentukan tren musimannya. Namun dari analisis, dapat diperkirakan bahwa tren maksimum konsentrasi CH 4 hampir terjadi rata-rata pada musim DJF (Desember, Januari, Februari). Variasi bulanan CH 4 juga menunjukkan tren meningkat yang sangat bervariasi antara 1-5 ppb, oleh karena itu, akumulasinya di atmosfer menjadi sangat perlu dipertimbangkan. Variasi spasial klimatologi konsentrasi CO 2 menggambarkan adanya peningkatan di bagian Selatan wilayah Indonesia yang diindikasikan oleh munculnya warna coklat kuning (384-387 ppm) yang mulai terjadi pada bulan Februari. Luasannya semakin melebar pada bulan Maret yang diikuti dengan munculnya warna merah
Rosida, dkk.
(>388 ppm) dan mulai bergerak dengan luasan yang semakin melebar dari sebelah Barat Daya Indonesia ke arah Tenggara Indonesia. Pergerakan yang diikuti dengan peningkatan konsentrasi CO 2 ini mencapai maksimum pada bulan April, Selanjutnya menurun lagi pada bulan Juni dan mencapai minimum pada bulan September. Nilai minimum konsentrasi dipresentasikan pada Gambar oleh adanya akumulasi warna biru muda dan biru tua, yang konsentrasinya diperkirakan antara 380-381 ppm (Gambar 3). Peningkatan konsentrasi CO 2 yang terjadi di Indonesia, selain diakibatkan oleh aktivitas antropogenik, juga diperkirakan akibat adanya imbasan dari arah Selatan wilayah Indonesia, seperti yang telah dijelaskan di atas. Nilai maksimum terjadipada musim MAM yang puncaknya terjadi pada bulan April dengan maksimum konsentrasi CO 2 sebesar 389.789 ppm. Minimum konsentrasi terjadi rata-rata pada musim DJF dengan nilai terendah sebesar 378.895 ppm terjadi pada bulan Januari. Berbeda dengan CO 2 , pola spasial sebaran CH 4 mengindikasikan adanya pergerakan dan peningkatan konsentrasi CH 4 terjadi di bagian Utara Indonesia kira-kira di bagian sebelah BaratLaut wilayah Indonesia. Maksimum konsentrasi ditandai dengan pergerakan luas area berwarna coklat muda sampai merah (Gambar 4) dengan perkiraan besarnya konsentrasi CH 4 adalah 1820–1840 ppb. Berdasarkan data ratarata klimatologi, konsentrasi maksimum di wilayah Indonesia sebesar 1851,93 ppb terjadi pada bulan Januari, dan konsentrasi minimumnya terjadi pada bulan April dengan nilai minimum terkecil adalah 1723,88 ppb. Untuk membuktikan telah terjadi peningkatan konsentrasi baik CO 2 maupun CH 4 , maka dilakukan pendekatan dengan menentukan perbedaan atau selisih konsentrasi saat ini yang dibandingkan dengan besar konsentrasi sebelumnya. Dari data tercatat konsentrasi CO 2 pada Januari 2003 adalah 373,62 ppm, pada Januari 2011 konsentrasi CO 2 sebesar 390,45, maka diperoleh selisih nilai konsentrasi sebesar 16,83 ppm. Nilai selisih tersebut merupakan nilai kenaikan yang terjadi selama kurun waktu 8 tahun yang terhitung dari bulan Januari 2003 sampai Januari 2011. Pola time series CO 2 (Gambar 1.) menunjukkan adanya tren kenaikan konsentrasi yang terjadi secara terus menerus dan dari data dapat ditentukan perkiraan kenaikan setiap tahunnya. Untuk wilayah Indonesia, ratarata kenaikan konsentrasi CO 2 setiap tahunnya diantara 1,9 – 2,3 ppm. Demikian pula untuk
konsentrasi CH 4 yang dalam kurun waktu 8 tahun yaitu dari 2003 sampai 2011 juga telah terjadi kenaikan konsentrasinya sebesar 1,13 ppbv. Untuk kenaikan konsentrasi CH 4 rata-rata tahunnya kira-kira antara 0,4 sampai 3 ppb. Meningkatnya taraf kehidupan yang terjadi di Indonesia telah menjadi kontributor terhadap peningkatan konsentrasi CO 2 dan CH 4 di lingkungan atmosfer Indonesia. Saat ini dengan bertambahnya jumlah dan jenis transportasi baik darat, udara maupun laut menjadi penyebab utama dari meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara). Selain itu, aktivitas pembakaran hutan dalam membuka lahan baru pertanian, khususnya yang setiap tahun terjadi terutama di Sumatera dan Kalimantan, perubahan fungsi lahan dan berkurangnya area tutupan lahan dari akibat penggundulan hutan menjadi pemicu dari peningkatan konsentrasi CO 2 dan CH 4 di wilayah Indonesia. Radiative forcing gas rumah kaca (GRK) Untuk melihat kemungkinan adanya perbedaan yang signifikan dari nilai radiative forcing terhadap waktu mengingat tren kenaikan CO 2 yang terjadi secara terus menerus, maka penentuan radiative forcing dilakukan dalam 2 perioda yang berbeda. Perioda pertama antara Januari 2003 sampai dengan Desember 2007 dan perioda kedua antara Januari 2003 sampai dengan Desember 2011. Berdasarkan perhitungan radiative forcing yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan 2 perioda yang berbeda tersebut, diperoleh nilai forcing CO 2 sebesar 1,72 watt/m2 yang nilainya 0.06 watt/m2 lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari perhitungan forcing untuk perioda data 20032007. Pada Gambar 5 diperlihatkan peningkatan forcing CO 2 yang cukup tinggi umumnya terjadi di bagian Selatan wilayah Indonesia.Awal peningkatannya terjadi pada bulan Februari yang merupakan perioda akhir dari musim penghujan DJF.Puncak tertinggi terjadi pada musim MAM terutama pada bulan April dan Mei yang secara spasial ditunjukkan oleh adanya kemunculan warna merah dalam luasan areayang lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi pada bulanbulan lainnya. Perkiraan nilai radiative forcing CO 2 (RFCO 2 ) yang dicapai di area tersebut adalah ±1,8 watt/m2. Peningkatanforcing CO 2 ini berlanjut sampai awal musimkemarau JJA, dan peningkatan forcing tersebut berakhir pada bulan Juni. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 215
Rosida, dkk.
Gambar 3.Pola spasial tren klimatologi konsentrasi CO 2 dari 2003 sampai 2011. Konsentrasi maksimum pada MAM (atas), konsentrasi minimum pada SON (bawah).
Gambar 4.Pola spasial tren klimatologi konsentrasi CH 4 dari 2003 sampai 2013. Konsentrasi maksimum pada DJF (atas), konsentrasi minimum pada MAM (bawah).
Gambar 5. Pola spasial radiative forcing CO 2 rata-rata klimatologi di wilayah Indonesia (2003-2012).Forcing maksimum pada MAM (atas) dan forcingminimum pada SON (bawah).
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 216
Rosida, dkk.
Gambar 6.Pola spasial radiative forcing CH 4 rata-rata klimatologi di wilayah Indonesia (2003 – 2012).Forcing maksimum pada DJF (atas) dan forcing minimum pada MAM (bawah).
Beberapa area di Indonesia yang menunjukkan adanya peningkatan nilai RFCO 2 adalah di hampir seluruh wilayah Indonesia bagian Timur, pulau Jawa, Bali, Lombok dan sebagian kecil di wilayah Kalimantan Selatan. Berdasarkan pola spasial radiative forcing CH 4 (RFCH 4 ) untuk wilayah Indonesia nampak tidak terlalu menunjukkan perubahan yang signifikan, dari nilai rata-rata klimatologi yang ditunjukkan hanya berfluktuasi dari 0,495–0,504 watt/m2. Peningkatan RFCH 4 dengan nilai tinggi teridentifikasi terjadi di Sumatera pada bulan Januari, Februari, Maret dan nilai tertinggi dicapai pada bulan Agustus dengan nilai antara 0,51 sampai 0,513 watt/m2, yang secara spasial ditandai dengan munculnya warna kuning dengan area yang lebih luas. Nilai RFCH 4 untuk wilayah Indonesia umumnya meningkat disepanjang musim kemarau JJA, dan disepanjang musim DJF sampai awal musim peralihan MAM, pola spasial menunjukkan nilai forcing CH 4 di sebelah Utara Indonesia tinggi dengan nilai rata-rata > 0,51 watt/m2. Sebaliknya di bagian Selatan Indonesia nilai forcing CH 4 sangat kecil, secara spasial ditunjukkan dengan warna biru tua yang mendominasi kawasan ini hampir di sepanjang tahun dengan rata-rata forcing CH 4 <0,498 watt/m2. Sejak tahun 1979 sampai saat ini, NOAA telah secara rutin melakukan monitoring gas rumah kaca CO 2 di Mauna Loa Observatory. Butler dan Montzka18 telah mempublikasikan hasil monitoring tersebut termasuk hasil perhitungan radiative forcing gas-gas rumah kaca dan Anuual Greenhouse Gas Index (AGGI). Untuk mengetahui kondisi iklim di wilayah Indonesia, maka hasil perhitungan baik RFCO 2 maupun RFCH 4 kemudian dibandingkan dengan
forcing hasil perhitungan NOAA. Pengambilan perioda data disesuaikan dengan data yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1). Tabel 1. Nilai radiative forcing rata-rata tahunan hasil perhitungan di wilayah Indonesia dibandingkan dengan data radiative forcing untuk rata-rata global tahunan hasil pengukuran NOAA (2014).17 RFCO 2 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
RFCH 4
NOAA
Indonesia
NOAA
Indonesia
1,601 1,627 1,655 1,685 1,710 1,739 1,760 1,791 1,818 1,846 1,884
1,6088 1,6259 1,6619 1,6911 1,7218 1,7491 1,7811 1,8121 1,8395 -
0,483 0,483 0,482 0,482 0,484 0,487 0,489 0,491 0,492 0,494 0,496
0,5005 0,5017 0,5018 0,5020 0,5018 0,5020 0,5028 0,5027 0,5030 0,5038 0,5035
Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa pada tahun2003 RFCO 2 tercatat di NOAA sebesar 1,601 watt/m2, sedangkan dari hasil perhitungan pada penelitian ini forcing CO 2 pada tahun 2003 untuk wilayah Indonesia adalah 1,6088 watt/m2. Pada tahun 2011, nilai forcing CO 2 hasil perhitungan untuk wilayah Indonesia telah mencapai nilai 1,8395 watt/m2, nilai yang lebih tinggi 0,0215 dari nilai forcing yang tercatat pada tahun yang sama di NOAA. Bila dibandingkan dengan data forcing CO 2 yang tercatat di NOAA, maka forcing CO 2 untuk wilayah Indonesia yang tercatat sejak tahun 2003 sampai tahun 2011, selalu lebih tinggi, walaupun perbedaan nilai forcing CO 2 tersebut relatif kecil yaitu kira-kira 0,0117 watt/m2 terhadap nilai forcing hasil penelitian NOAA. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 217
Rosida, dkk.
Nilai RFCH 4 untuk Indonesia rata-rata lebih tinggi 0,0148 selisihnya terhadap nilai forcing CH 4 di Mauna Loa yang tercatat di NOAA. Perbedaan nilai forcing ini disebabkan karena perbedaan kondisi daerah kajian. Seperti yang di jelaskan di atas bahwa NOAA melakukan pencatatan data gas rumah kaca di Mauna Loa yang dianggap sebagai lokasi yang masih baik untuk dijadikan lokasi monitoring gas rumah kaca, sebagai lokasi acuan. Jika nilai rata-rata kenaikan konsentrasi, baik konsentrasi CO 2 maupun CH 4 setiap tahunnya dikaitkan dengan kenaikan nilai radiative forcingnya, maka untuk CO 2 pertambahan konsentrasi antara 1,9–2,3 ppm di setiap tahunnya telah menyebabkan terjadinya kenaikan pertambahan nilai forcing sebesar 0,017–0,029 watt/m2. Untuk pertambahan konsentrasi CH 4 di atmosfer antara 0,4 sampai 3 ppb telah menyebabkan pertambahan kenaikan nilai forcing antara -0,0002–0,0003 watt/m2. Hasil perhitungan forcing dalam penelitian ini juga dibandingkan dengan rata-rata global data yang dirilis IPCC dan NOAA. Data yang digunakan untuk membandingkan masingmasing forcing tersebut adalah rata-rata dari total data, yaitu rata-rata total data dari 2003 sampai dengan 2007 baik untuk forcing CO 2 maupun untuk forcing CH 4 ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Radiative forcing CO 2 dan CH 4 rata-rata total data wilayah Indonesia dibandingkan dengan data radiative forcing untuk rata-rata global hasil pengukuran NOAA dan IPCC dengan periode data Januari 2003 – Desember 2007 RF
IPCC
NOAA
Indonesia
CO 2 CH 4
1,66 0,48
1,71 0,48
1,72 0,50
menunjukkan tren yang meningkat, sehingga nilai forcingnya yang lebih tinggi. KESIMPULAN Secara umum distribusi temporal konsentrasi CO 2 menunjukkan tren peningkatan secara terusmenerus dengan pertambahan kenaikan yang bervariasi antara 1,9 dan 2,5 ppm per tahunnya. Rata-rata konsentrasi CO 2 mencapai maksimum pada musim MAM dan konsentrasi minimum CO 2 pada SON. Tren maksimum konsentrasi CH 4 rata-rata pada musim DJF. Variasi bulanan konsentrasi CH 4 menunjukkan tren peningkatan yang sangat bervariasi antara 1-5 ppb. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh radiative forcing CO 2 untuk wilayah Indonesia sebesar 1,72 watt/m2 dan untuk radiative forcing CH 4 adalah 0,50 watt/m2. Pertambahan konsentrasi CO 2 antara 1,9–2,3 ppm yang terjadi setiap tahun telah menyebabkan pertambahan nilai forcing sebesar 0,017–0,029 watt/m2. Untuk pertambahan konsentrasi CH 4 di atmosfer sebesar 0,4 sampai 3 ppb, mengakibatkan naiknya nilai forcing rata-rata antara -0,0002 – 0,0003 watt/m2 setiap tahunnya. Dibandingkan dengan yang tercatat di NOAA maupun dalam laporan yang dirilis IPCC, maka nilai forcing baik forcing CO 2 maupun forcing CH 4 untuk wilayah Indonesia nilainya lebih besar. Perbedaannya adalah sebesar 0,01 watt/m2 lebih besar terhadap nilai forcing CO 2 di NOAA dan sebesar 0,06 watt/m2 lebih besar terhadap nilai forcing CO 2 di IPCC. Untuk forcing CH 4 wilayah Indonesia nilainya 0,02 watt/m2 lebih besar dibandingkan dengan nilai forcing CH 4 baik dalam catatan NOAA maupun yang tercatat dalam laporan IPCC. UCAPAN TERIMA KASIH
Perhitungan forcing baik untuk CO 2 maupun CH 4 dari rata-rata total data, diperoleh nilai forcing CO 2 untuk Indonesia sebesar 1,72 watt/m2, yang berbeda 0,01 watt/m2 dengan forcing dari perhitungan NOAA, dan 0,06 watt/m2 bedanya dengan IPCC. Untuk forcing CH 4 , menunjukkan forcing yang sedikit lebih besar 0,02 watt/m2 dibandingkan dengan yang tercatat di NOAA pada tahun 2014 dan IPCC pada tahun 2007. Perbedaan yang terjadi diperkirakan oleh kondisi masing-masing daerah yang di analisis. Seperti Mauna Loa kondisinya masih baik untuk dijadikan lokasi acuan pengamatan, kurangnya aktivitas antropogenik menyebabkan tingkat polusinya rendah. Sementara Indonesia, aktivitas antropogeniknya Prosiding SNSA 2015 – Halaman 218
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer dan Kepala Bidang Komposisi Atmosfer, Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional - LAPAN Bandung yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1
IPCC, Climate Change, 2001.The Scientific Basis. Contribution ofWorking Group I to the Third Assessment Report of the IntergovernmentalPanel on Climate Change[Houghton, J.T., et al. (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge,
Rosida, dkk.
United Kingdom and New York, NY, USA, 881 pp. 2 IPCC, Climate Change, 2007.The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B.M.Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. 3 Forster, P., et al., 2007. Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K. B. Averyt, M. Tignor and H. L. Miller (eds.)] Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, 129-234. 4 Skeie, R.B., Berntsen, T.K., Myhre, G., Tanaka, K., Kvalevag, M.M., and Hoyle, C.R., 2011. Anthropogenic radiative forcing time series from pre-industrial times until 2010. Atmospheric Chemistry and Physics, 11, 11827-11857,doi: 10.5194/acp-11-118272011. 5 Ru, F., Lei, L., Bu, R., Guan, X., Qi, J., 2014. Regional scale variations of atmospheric CO 2 and CH 4 from satellite observation. 35th International Symposium on Remote Sensing of Environment (ISRSE35), IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 17 (2014) 012022, IOP Publishing, doi:10.1088/17551315/17/1/012022. 6 Solomon, S., et al., 2007. The physical science basis, contribution of working group 1 to the fourth assessment report of the Intergovernmental Panel. Climate Change. 7 Word Meteorological Organization (WMO), 2010. WMO Greenhouse Gas Bulletin : The State of Greenhouse Gases in the Atmosphere Based on Global Observation through 2009.http://www.wmo.int/pages/prog/arep/ga w/ghg/documents/GHG_bull_6en.pdf. 8 NOAA, 2014. Atmospheric CO 2 , Monthly Mean Concentrations at the Mauna Loa Observatory, NOAA, Earth System Research Laboratory (ESRL), Hawaii: Latitude 19.5°N Longitude 155.6°W Elevation 3397m, www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/. 9 Gunter, W.D., Wong, S., Cheel, D.B., 1992. Slowing down of the global accumulation of
atmospheric methane during 1980s. Nature, 358, 313-316. 10 Rigby, M., Prinn, R.G. Fraser, P.B., Simmonds, P.G., Langenfels, R.L., Huang, J., Cunnold, D.M., Steele, L.P., Krummel, P.B., Weiss, R.F., 2008. Renewed growth of atmospheric methane, Geophysical Research Letters., 35, L22805. 11 Dlugokencky, E.J., Bruhwiler, L., White, J.W.C., Emmons, L.K., Novelli, P.C., Montzka, S.A., Masarie, K.A., Lang, P.M., Crotwell, A.M., Miller, J.B., Gatti, L.V., 2009.Observational constraints on recent increases in atmospheric CH4 burden. Geophysical Research Letters., 36, L18803., doi: 10.1029/2009GL039780. 12 Emma, L Y., Kathleen., S., Max Lowenstein., Edwin, J.S., Laura , T.I., Jovan,M.T., and Akihiko K., 2011. Carbon Dioxide and Methane at a Desert Site – A Case Study at Railroad Valley Playa, Nevada, USA., Atmosphere 2011, 2, 702-714; ISSN 20734433, doi: 10.3390/atmos2040702. 13 Sinisalo, J. And Savolainen, I., 1996. Radiative Climate Forcing by Anthropogenic Greenhouse Gas Emissions in Finland, Geophysica, 32 (1-2), 97-108. 14
Dlugokencky, E.J., Houweling, S., Bruhwiler, L., Masarie, K.A., Lang, P.M., Miller, J.B., Tans, P.P., 2003. Atmospheric methane levels off. Temporary pause or a new steady-state. Geophys. Res. Lett., 19, 3-6., doi : 1029/2003GL018126. 15 Bousquet, P., Ciais, P., Miller, J.B., Dlugokencky, E.J., Hauglustaine, D.A., Prigent, C., van der Werf, G.R., Peylin, P., Brunke, E.G., Carouge, C., 2006. Contribution of anthropogenic and natural sources to atmospheric mthane variability, Nature 2006, 443, 439-443. 16 Nahas, A.C., dan Setiawan, B., 2009. Penentuan radiative forcing dan annual greenhouse gas index (AGGI) dari karbon dioksida, metana dan nitrous oksida hasil pengukuran di Bukit Kototabang, Stasiun pemantau Atmosfer Global Bukit Kototabang, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 17 Butler, J.H., Montzka, S.A., 2014. The NOAA Annual Greenhouse Gas Index (AGGI), NOAA Earth System Research Laboratory, Global Monitoring Division.http://www.esrl.noaa.gov/gmd/aggi/aggi. html. 18 National Aeronautics and Space Administration (NASA), 2015. http://gdata1 .sci.gsfc.nasa.gov/daac-in/G3/gui. cgi?instance_id=AIRS_Level3Month.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 219
Rosmalinda, dkk.
VARIABILITAS CURAH HUJAN DAN KETERSEDIAAN DEBIT (STUDI KASUS: DAS KOMERING HULU, DANAU RANAU-BENDUNG PERJAYA) RAINFALL VARIABILITU AND DISCHARGE AVAILABILITY – CASE STUDI: UPSTREAM KOMERING HULU WATERSHED, RANAU LAKE-PERJAYA HEADWORK Rosmalinda Permatasaria, Arwin Sabarb, Dantje Kardana Natakusumahc a
Mahasiswa Program Doktor Teknik Lingkungan ITB dan Tenaga Pengajar TeknikSipil, Fakultas Teknik, Universitas Tridinanti Palembang,
[email protected] b Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB,
[email protected] c Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, ITB,
[email protected] ABSTRACT
Research of rainfall variability was conducted to determine the existence of discharge in the watershed in term of spatial and temporal scales where rainfall played as a major component of hydrology. The influence of global warming such as temperature changes and regional factors such as forest clearing and land conversion affected the hydrological components such as rainfall (P) and water discharge (Q). The effects were recorded by the hydrological cycle observational station and discharge observational station. Based on hydrological data input, hydrological regime degradation phenomena was able to be analyzed using statistical and deterministic hydrological models approach. Flow rate was influenced by regional rainfall studied, including equatorial rainfall pattern with annual rainfall bigger than 2,000 mm. The result of rainfall in the Upstream Komering watershed area in 1971-2010 showed an increasing trend with the regression equation Y = 1.420X + 2636. This equation enabled the projection of discharge availability at upstream Komering watershed. Key words: rainfall, discharge, upstream Komering watershed, hydrology ABSTRAK Penelitian masalah variabilitas curah hujan dilakukan untuk mengetahui ketersediaan debit di Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam skala ruang dan waktu, dimana hujan sebagai komponen utama hidrologi. Pengaruh pemanasan global, regional dan lokal seperti perubahan temperatur, perambahan hutan, konversi lahan terbangun berpengaruh terhadap komponen-komponen hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q). Pengaruh-pengaruh tersebut tercatat melalui pos-pos pengamatan komponen siklus hidrologi dan pos observasi debit. Dari arsip data hidrologi sebagai input, dapat dianalisa fenomena degradasi rezim hidrologi dengan pendekatan model hidrologi statistik dan deterministik. Debit aliran dipengaruhi dengan curah hujan wilayah, tipe hujan wilayah studi termasuk tipe hujan pola ekuatorial dengan curah hujan tahunan > 2.000 mm. Hasil analisa curah hujan wilayah di DAS Komering hulu pada tahun 1971-2010 menunjukkan kecenderungan meningkat dengan persamaan regresi y = 1,420X + 2636, analisa tersebut sebagai debit perkiraan di DAS Komering hulu. Kata kunci: curah hujan, debit, daerah aliran sungai (DAS) Komering Hulu, hidrologi
PENDAHULUAN Perubahan iklim menjadi faktor perubahan pola curah hujan yang berpengaruh pada siklus hidrologi sebagai proses yang sangat menentukan besaran debit air, baik debit air tanah (ground water) maupun debit aliran permukaaan (surface water). Penelitian masalah variabilitas hujan dilakukan untuk mengetahui keberadaan debit di DAS dalam skala ruang dan waktu, dimana hujan sebagai komponen utama hidrologi. Pengaruh pemanasan global dan faktor regional seperti perubahan temperatur dan faktor lokal seperti perambahan hutan, konversi lahan terbangun berpengaruh terhadap komponen-komponen Prosiding SNSA 2015 – Halaman 220
hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q). Komponen hidrologi tercatat melalui pos-pos pengamatan hujan dan pos observasi debit. Letak geografis dan bentuk topografi Indonesia memberikan dampak jenis iklim, pola curah hujan wilayah termasuk lokasi penelitian DAS Komering Hulu. Lokasi penelitian dilakukan di DAS Komering Hulu, termasuk wilayah Sumatera Selatan yang memiliki wilayah sungai (WS) Musi. WS Musi terdiri sepuluh sub wilayah sungai dimana salah satu sub wilayah sungai tersebut adalah wilayah Sungai Komering atau sering disebut daerah aliran sungai (DAS)
Rosmalinda, dkk. 2
Komering. Luas DAS Komering 9.153,80 Km dan bagian hulu sebagai wilayah tangkapan air utama seluas 5.169,74 Km2. Sumber air Sungai Komering selain berasal dari Danau Ranau, juga berasal dari daerah tangkapan DAS Komering. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) secara umum wilayah Indonesia terbagi tiga karakter pola curah hujan, sedang lokasi penelitian yaitu DAS Komering Hulu termasuk wilayah pola hujan ekuatorial, dimana wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Iklim pada daerah pengaliran DAS Komering Hulu pada umumnya beriklim tropikal, dengan temperatur rata-rata bulanan 28,40 – 32,20 C, kelembaban udara relatif tahunan 80% dan lama penyinaran matahari bulanan 29%.1 Curah hujan tahunan > 2.000 mm merupakan potensi debit DAS dimana hujan merupakan input utama hidrologi dalam suatu wilayah tangkapan air. Berdasar latar belakang penelitian mengenai curah hujan dan debit, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui karakter pola hujan dan kaitannya dengan ketersediaan debit di DAS Komering Hulu dengan data hujan dan debit 1971-2010, sedang analisa curah hujan dan debit menggunakan pendekatan statistik. METODOLOGI Penelitian menggunaan pendekatan kuantitatif dan kualitatif untuk menganalisa rezim hidrologi DAS Komering Hulu, dengan bantuan software yg ada seperti: Microsoft Exel, SPSS Statictic 20, ArcGis 10 dan program relevan yang mendukung penelitian. Lokasi penelitian disimulasikan pada Gambar 1. Sumber data hidrologi dan debit berasal dari data sekunder yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) VIII, di lokasi peneltian DAS Komering Hulu. Data curah hujan yang digunakan adalah data hujan tercatat dari tiga stasiun pos hujan selama 40 tahun dari tahun 1971 sampai 2010, yaitu pos hujan Banding Agung (P1), Muara Dua (P2) dan Martapura (P3), sedang data debit merupakan data debit Bendung Perjaya (Q1). Metode yang telah umum digunakan untuk melengkapi data hujan yang hilang adalah metoda aljabar, metoda rasio normal, dan metode regresi. Pada penelitian ini pengisian data kosong menggunakan metode korelasi spatial dengan bantuan software SPSS 20. Teknik pengisian data yang hilang adalah dimulai dengan metode korelasi biner sampai quartener, untuk mempermudah analisa
perhitungan analisa SPSS 20.
menggunakan software
Gambar 1. Lokasi penelitian (sumber: modifikasi pengolahan data)
Pengisian data kosong debit menggunakan metode kontinu dengan menggunakan faktor hujan dalam pengisian debit. Analisis curah hujan dan debit dilakukan dengan: 1) Tabulasi data curah hujan dan debit bulanan, 2) Karakterisasi curah hujan dan debit (rata-rata bulanan, penyebaran, kecenderungan), 3) Grafik yang menyatakan karakterisasi hujan dan debit akan membentuk pola curah hujan dan fluktuasi debit, 4) Perhitungan distribusi frekuensi curah hujan dan debit menggunakan perangkat lunak Microsoft Exel. Tabel 1. Penyusunan koefesien korelasi antar pos hujan Nilai P1 P1 1 P2 ρ 21 P3 ρ 31 P4 ρ 41 … … Pm ρ m1 Sumber: (2)
P2
P3
P4
1 ρ 32 ρ 42 … ρ m2
1 ρ 43 … ρ m3
1 … ρ m4
Pn ρ 1n ρ 2n ρ 3n ρ 4n … ρ mn
HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan sumber air sangat tergantung pada siklus hidrologi, dimana pergerakan air melalui siklus tersebut tidak menentu baik mengenai waktu dan daerahnya,3 sedang keberadaan air dalam siklus hidrologi secara alamiah merupakan perjalanan air dari permukaan air ke laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali ke laut, dimana air tesebut akan tertahan sementara di sungai, danau atau waduk dan dalam tanah.4,5 Sumber air dapat diperbaharui melalui siklus hidrologi namun keberadaannya diatur dalam hukum kekekalan massa dan kekekalan momentum.2 Variabilitas curah hujan, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 221
Rosmalinda, dkk.
merupakan penyebab utama dalam keseimbangan air di setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam skala ruang dan waktu, sehingga variabilitas curah hujan memiliki peranan penting terhadap debit aliran permukaan. 6 Pengaruh pemanasan global dan faktor regional seperti perubahan temperatur di Samudera Pasifik dan faktor lokal seperti perambahan hutan/ konversi lahan terbangun berpengaruh terhadap komponen-komponen hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q) dan tinggi muka laut . Iklim suatu daerah adalah pola curah hujan rata-rata yang dialami, yang diukur selama periode waktu yang lama,7 sedang faktor iklim membentuk ciri-ciri hidrologi suatu daerah antara lain hujan, temperatur dan kelembaban.3 Sistim klasifikasi iklim pada umumnya didasarkan atas tujuan penggunaannya.8 Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG ) mengklasifikasikan distribusi data rata-rata curah hujan bulanan, dimana umumnya wilayah Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) pola hujan, yaitu : 1) Pola hujan monsun, yang wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau), 2) Pola hujan equatorial, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks, 3) Pola hujan lokal, yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Hujan merupakan unsur iklim sebagai komponen utama penentu keberadaan debit. Curah hujan merupakan sumber utama sumber daya air pada setiap suatu lokasi, akan tetapi jumlah yang termanfaatkan tergantung pada intensitas, ukuran dan kecepatan hujan. Terdapat 3 stasiun hujan di DAS Komering Hulu, seperti tersaji pada Tabel 2, sedang Tabel 3 menyajikan pos pengukuran debit. Pengisian data kosong curah hujan dan debit pada penelitian ini menggunakan metode korelasi spatial dari 3 stasiun curah hujan hulu DAS Komering, yaitu Banding Agung (P1), Muara Dua (P2) dan Martapura (P3) serta debit Banding Prosiding SNSA 2015 – Halaman 222
Agung (Q1) dan Bendung Perjaya (Q2). Metode korelasi menggunakan koefisien korelasi yang paling besar (r>>). Uji konsistensi data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Curve Mass. Perhitungan hujan wilayah dilakukan dengan Metode Thiessen, dengan luasan wilayah 5.169,74 Km2. Data hujan yang digunakan adalah data hujan bulanan setelah koreksi penanggalan. Perhitungan data hujan maksimum harian ratarata DAS dilakukan untuk analisis frekuensi data hujan. Keterbatasan sumber data menjadi kendala dalam pengolahan curah hujan maksimum. Dalam penelitian ini data hujan harian maksimum hanya tersedia pada stasiun curah hujan Banding Agung dengan series data 10 tahun (2001-2010). Hasil curah hujan rata-rata tahunan DAS Komering Hulu digambarkan pada Gambar 2. Tabel 2. Stasiun curah hujan (1971-2010) Stasiun hujan Banding Agung (P1)
Ketinggian dpl (ft) 1883
Muara Dua (P2)
442
Martapura (P3)
338
Koordinat 04046’17.23”103053’28.81” 04032”3.95”104003’38.53” 04019’29.57”104020’42.04”
Sumber: Pengolahan data
Tabel 3. Pos pengukuran debit (1971-2010) Nama pos debit Danau Ranau (Q1)
Ketinggian dpl (ft) 1783
Martapura (Q2)
338
Koordinat 04051’45.15”103055’50” 04019’29.57”104020’42.04”
Sumber: Pengolahan data
Gambar 2. Curah hujan rata-rata (40 tahun)
Berdasarkan hasil analisa DAS Komering Hulu memiliki curah hujan >2000 mm termasuk
Rosmalinda, dkk.
wilayah iklim tropis atau pola hujan equatorial.8 Pada Gambar 3 menyajikan trend hujan wilayah DAS Komering Hulu. Hasil menunjukkan trend naik pada hujan wilayah DAS Komering Hulu sehingga dapat menjadi debit perkiraan DAS. Perhitungan debit rata-rata bulanan selama 40 tahun tersaji pada Gambar 4.
Selanjutnya hubungan antara variabilitas hujan dan debit tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Hubungan variabilitas hujan dan debit DAS Komering Hulu (1971-2010)
Gambar 3. Trend hujan wilayah DAS Komering Hulu (1971-2010)
Hasil grafik menunjukkan ada kesamaan pola grafik antara hujan dan debit. Curah hujan dan debit maksimum terjadi pada bulan April dan minimum pada bulan Agustus. Analisa data menunjukkan ketersediaan debit di DAS Komering Hulu tergantung pada kejadian hujan. Perubahan trend iklim dan watak hidrologi pada DAS Hulu sungai juga mempengaruhi ketersediaan debit pada sungai dan air tanah. 9,10 KESIMPULAN Rata-rata curah hujan wilayah tahunan di hulu DAS Komering menunjukkan kecenderungan naik, seiring dengan peningkatan debit rata-rata tahunan di DAS Komering Hulu. Berdasarkan hasil analisa curah hujan wilayah di lokasi penelitian menunjukkan pola hujan ekuatorial, dengan hujan rata-rata bulan diatas 100 mm dan curah hujan tahunan > 2000 mm. Terdapat kesamaan pola curah hujan dan debit perkiraan, curah hujan dan debit maksimum terjadi pada bulan April dan minimum pada bulan Agustus.
Gambar 4. Debit rata-rata bulanan DAS Komering Hulu (1971-2010)
Berdasarkan Gambar 4 debit maksimum Danau Ranau terjadi pada bulan Mei yaitu sebesar 23,47 m3/det dan nilai minimum pada Agustus sebesar 11,82 m3/det. Debit rata-rata bulanan 18,61 m3/det dan pada bulan Juni hingga November terjadi debit di bawah rata-rata. Pada hasil perhitungan debit Bendung Perjaya debit makisimum terjadi pada bulan Maret sebesar 251,82 m3/det dan debit minimum pada bulan Agustus sebesar 118,14 m3/det. Debit rata-rata bulanan 194 m3/det dan pada bulan Juni hingga November terjadi debit di bawah rata-rata.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Arwin Sabar dan Dr. Ir. Dantje K. Natakusuma sebagai pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan, dimana penelitian ini merupakan bagian dari disertasi pada Program Doktor Teknik Lingkungan ITB. DAFTAR PUSTAKA 1 Rusman, A., 2004. Simulasi Alokasi Air pada Daerah Aliran Sungai Komering Bagian Hulu dalam Pemenuhan Kebutuhan Air Tahun Prosiding SNSA 2015 – Halaman 223
Rosmalinda, dkk.
2020. Thesis Magister, Program Studi Teknik Sipil – FTSL ITB. 2 Arwin, 2009. Trend Global Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air yang berkelanjutan. Diskusi Pakar Perumusan Kebijakan Eco-Efficient Water Resources Infrastructure Indonesia. 3 Linsley, Ray K., Franzini, Joseph B.,Sasongko, Joko, 1994. Teknik Sumber Daya Air-Jilid I, Penerbit Erlangga, Jakarta. 4 Asdak, Chay, 2002. Hidrologi dan Pengolahan Daerah Aliran DAS, Gadjah Mada University Press, Jogjakarta. 5 Triatmodjo, B., 2009. Hidrologi Terapan, Beta Offset, Jogjakarta. 6 Sipayung, S.B., Cholianawati, N., 2011. Proyeksi Debit Aliran Permukaan DAS Citarum Berbasis Luaran Model Atmosfer, Journal of Aerospace Sciences, ISSN: 1412808X. 7 Kodoatie, Robert J. dan Sjarief, Roestam, 2010. Tata Ruang Air, Penerbit Andi, Yogyakarta 8 Tjasyono, Bayong, 2004. Klimatologi, Penerbit ITB. 9 Taufik, M., 2010. Analisis Trend Iklim dan Ketersediaan Air Tanah di Palembang, Sumatera Selatan. Journal IPB, ISSN: 02163633. 10 Sutopo, P.N., 2009. Perubahan Watak Hidrologi Sungai-sungai Bagian Hulu Jawa, JAI Vol.5 No.2, 2009.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 224
Selvy Yolanda dan Ardin
PROYEKSI IKLIM OLDEMAN 2011-2050 BERDASARKAN SKENARIO REPRESENTATIVE CONCENTRATION PATHWAY 4.5 DAN 8.5 DI WILAYAH BANTEN OLDEMAN CLIMATE PROJECTION 2011-2050 BASED ON REPRESENTATIVE CONCENTRATION PATHWAY 4.5 AND 8.5 SCENARIOS IN BANTEN REGION Selvy Yolanda dan Ardin Stasiun Klimatologi Pondok Betung, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jl. Raya Kodam Bintaro No 82 Tangerang Selatan 15221 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Jl. Perhubungan I No 5 Komplek Meteo Dephub Pondok Betung Tangerang 15221 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT People have being confronted to serious issue, it is the pattern changes of climate. One of section which is vulnerable to the effect of climate change is agriculture. In Banten, agriculture is being influenced by climate change. Therefore, knowledge of climate for future are being quite necessary to do some mitigation actions. One of method to gain the description of climate in future can be done by doing climate projection based on certain scenarios. The result of these projection can be used later to know the potency of agriculture activities in Banten, by using Oldeman climate classification. The data which are used in this research are monthly rainfall data at 29 rainfall observation spots, also data of historical and projection model from the scenarios of RCP 4.5 and RCP 8.5 in Banten. The data of model are downscalled to observation data with using statisthical method (Stepwise regression) for projecting the rainfall data until 2050, then classifies the Oldeman climate classification. The result of Oldeman climate projection based on scenarios of RCP 4.5 required the description of Oldeman climate in many regions which have wet type being wetter. Otherwise, in the region which have dry type seems to be wider. The scenarios of RCP 8.5 give a description of Oldeman climate, almost all of climate in Banten change to be wetter. Keywords : Oldeman classification, Climate change, Scenario, Projection ABSTRAK Masyarakat dunia saat ini dihadapkan pada isu yang serius yaitu adanya perubahan pada pola iklim. Sektor yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah sektor pertanian. Pertanian di Banten juga tidak luput dari ancaman isu perubahan iklim. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang Gambaran iklim di masa yang akan datang menjadi penting sehingga dapat dilakukan usaha-usaha rencana mitigasi. Salah satu cara untuk memperoleh Gambaran iklim masa depan dapat dilakukan dengan cara melakukan proyeksi iklim berdasarkan skenario tertentu. Hasil proyeksi iklim tersebut dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk mengetahui potensi kegiatan pertanian di wilayah Banten dengan menggunakan klasifikasi iklim Oldeman. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data curah hujan bulanan pada 29 titik pengamatan hujan serta data model Historical dan Projection dari skenario RCP 4.5 dan 8.5 di wilayah Banten. Data model di downscale terhadap data observasi menggunakan metode statistik (regresi stepwise) untuk memproyeksi curah hujan hingga tahun 2050 yang kemudian dilakukan klasifikasi iklim Oldeman. Hasil proyeksi iklim Oldeman berdasarkan skenario RCP 4.5 memberikan Gambaran iklim Oldeman di wilayah bertipe iklim basah terlihat semakin basah, sedangkan wilayah bertipe iklim kering semakin meluas. Skenario RCP 8.5 memberikan Gambaran iklim Oldeman hampir di seluruh wilayah Banten berubah ke tipe iklim yang semakin basah. Kata kunci : Klasifikasi Oldeman, Perubahan Iklim, Skenario, Proyeksi
PENDAHULUAN Masyarakat dunia saat ini dihadapkan pada isu yang serius yaitu berubahnya pola iklim. Salah satu sektor yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah sektor pertanian. Perubahan iklim menyebabkan terjadinya musim
hujan dan kemarau yang sering tidak menentu sehingga dapat mengganggu pola tanam petani dan mengancam hasil panen.1 Dalam Susandi et al.2 menyebutkan tentang dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim diantaranya perubahan pola hujan, kekeringan hingga penurunan produktivitas pertanian. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 225
Selvy Yolanda dan Ardin
Wilayah Banten yang beriklim tropis dengan curah hujan tinggi menjadikannya sangat berpotensi bagi pengembangan usaha pertanian. Menurut data BPS Banten 2014,3 Propinsi Banten merupakan produsen padi terbesar kesebelas di Indonesia, dengan komoditas tanaman padi dan palawija. Seiring dengan berjalannya waktu sektor pertanian wilayah Banten pun ikut terancam sebagai dampak dari perubahan iklim. Untuk itu pengetahuan tentang Gambaran iklim di masa yang akan datang menjadi penting. Skenario iklim4 merupakan salah satu cara untuk mendapatkan Gambaran kondisi iklim di masa mendatang. Menurut IPCC,5 skenario iklim bukanlah metode untuk memprediksi masa depan tapi untuk memahami lebih baik ketidakpastian dan Gambaran alternatif tentang iklim masa depan. IPCC telah menyusun beberapa skenario iklim untuk mengetahui proyeksi iklim global dan regional hingga tahun 2100 melalui skenario Representative Concentration Pathway (RCP) yang didasarkan pada radiative forcing yang ditimbulkan oleh konsentrasi gas rumah kaca. Wayne menguraikan bahwa6, terdapat empat macam skenario RCP dengan karakteristik utama yaitu RCP 8.5, RCP 6.0, RCP 4.5, dan RCP 2.6. Dalam penelitian ini untuk memproyeksi iklim menggunakan skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. RCP didasarkan pada radiative forcing yang merupakan rentang nilai antara energi yang diterima oleh bumi dengan yang dipantulkan keluar. Skenario RCP 4.5 merupakan skenario yang diharapkan dimana teknologi dan strategi digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.7 Skenario RCP 8.5 merupakan skenario terburuk dimana emisi gas rumah kaca terus meningkat dari waktu ke waktu.8 Hasil proyeksi dari masing-masing skenario ini digunakan untuk melihat Gambaran proyeksi iklim Oldeman di wilayah Banten hingga tahun 2050. Nilai-nilai hasil proyeksi iklim tersebut kemudian dilakukan klasifikasi iklim dengan metode klasifikasi oldeman. Dengan menggunakan klasifikasi iklim Oldeman. Menurut Tjasyono9, klasifikasi Oldeman hanya memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Klasifikasi iklim untuk wilayah Indonesia seluruhnya dikembangkan dengan menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama.10 Klasifikasi iklim Oldeman ini dikelompokkan berdasarkan ketersediaan air atau kebutuhan air untuk tanaman Padi dan Palawija.11 Thornthwaite dalam Tjasyono,12 menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pembagian ringkas jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 226
Klasifikasi iklim Oldeman didasarkan atas jumlah bulan basah yang berlangsung secara berturut-turut dengan kriteria perbedaan curah hujan bulanan yaitu : a. Bulan Basah dengan curah hujan > 200 mm b. Bulan Kering dengan curah hujan < 100 mm Berdasarkan jumlah bulan basah berturut-turut Oldeman membuat zona agroklimat utama. Hubungannya dengan pertanian khususnya tanaman pangan, Oldeman mengemukakan penjabaran dari setiap tipe iklimnya sebagai berikut : Tabel 1. Pola Tanam Menurut Zona Agroklimat
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat Gambaran tipe iklim dimasa depan terkait dampak perubahan iklim agar dapat dimanfaatkan lebih lanjut dalam melakukan usaha-usaha rencana mitigasi serta melihat potensi kegiatan pertanian di wilayah Banten hingga tahun 2050. METODOLOGI Lokasi dan Data Lokasi penelitian merupakan wilayah provinsi Banten. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan periode 1981 hingga 2010. Data tersebut merupakan data hasil pengamatan Stasiun BMKG dan pos hujan kerjasama yang tersebar di wilayah Banten sebanyak 29 titik pos pengamatan curah hujan. Proyeksi curah hujan dilakukan dengan menggunakan data Model iklim yaitu HadGEM2AO dari Coordinate Regional Climate Downscaling Experiment (CORDEX). Data model terdiri dari data Historical dan Projection skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Data tersebut berbentuk NC file yang kemudian diekstrak ke dalam bentuk .csv menggunakan software BEAM VISAT 5.0 pada wilayah Banten dengan domain
Selvy Yolanda dan Ardin
5.750 LS – 7.250 LS dan 105.00 BT – 107.50 BT, sehingga terdapat 16 titik data model HadGEM2 dalam domain tersebut. Sebaran titik pengamatan hujan dan titik data model HadGEM2 tersebar seperti Gambar 1.
Tabel 2. Klasifikasi Tipe Iklim Oldeman
Sumber : Tjasyono (1992)
4. Melakukan pemetaan klasifikasi Oldeman menggunakan software ArcGIS 9.3. 5.Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif proyeksi iklim Oldeman setiap periode terhadap klasifikasi iklim normalnya, kemudian menganalisis perubahan oldeman yang terjadi setiap 10 tahun berdasarkan masing-masing skenario. Gambar 1. Wilayah Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan Data Langkah pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Melakukan downscaling data model terhadap data pengamatan pos hujan dengan metode statistik (regresi stepwise). Data observasi tahun 1981-2005 diregresikan dengan data Historical model untuk mendapatkan persamaan model pada setiap titik pos hujan, menggunakan bantuan software Minitab 14. Persamaan tersebut digunakan untuk memproyeksi curah hujan dari data Projection masing-masing skenario RCP 4.5 dan 8.5 tahun 2006-2050 dengan menginput ke dalam persamaan yang sudah didapat sehingga diperoleh hasil proyeksi curah hujan bulanan di 29 titik penelitian tahun 2006-2050. 2. Data observasi curah hujan bulanan tahun 1981-2010 dirata-ratakan sebagai penentuan iklim oldeman normal. Sedangkan data proyeksi curah hujan bulanan tahun 2011-2050 dirata-ratakan setiap periode 10 tahun, sebagai penentuan proyeksi iklim oldeman 10 tahunan. 3. Penentuan klasifikasi iklim oldeman tiap periode, baik periode normal 30 tahun maupun proyeksi periode 10 tahunan. Metode Oldeman merupakan metode pengklasifikasian iklim berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan Basah (BB) merupakan bulan dengan rata-rata curah hujan >200 mm, sedangkan Bulan Kering (BK) merupakan bulan dengan rata-rata curah hujan <100 mm. Selanjutnya menentukan tipe iklim berdasarkan klasifikasi Oldeman berdasarkan tabel berikut.
Klasifikasi Iklim Oldeman Normal di Wilayah Banten Berdasarkan pengolahan yang dilakukan pada 29 titik pos hujan yang ada di wilayah Banten, didapat keadaan iklim Oldeman normal seperti Gambar 2.
Gambar 2. Klasifikasi Iklim Oldeman Normal (Periode 1981-2010) di Wilayah Banten
Gambar di atas merupakan iklim oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan selama tahun 1981-2010. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa di wilayah Utara Banten yang terdiri dari Kab Tangerang, Kota Tangerang, Kota TangSel dan Kab Serang umumnya didominasi oleh tipe iklim E. Menurut Oldeman, wilayah dengan tipe iklim E merupakan wilayah terlalu kering sehingga kegiatan pertanian yang mungkin dilakukan hanya satu kali palawija. Akan tetapi ada juga Prosiding SNSA 2015 – Halaman 227
Selvy Yolanda dan Ardin
sebagian kecil wilayah di bagian selatan Kab Serang dan Kab Tangerang yang memiliki tipe iklim B2 hingga C3. Wilayah Selatan Banten yang terdiri dari Kab Lebak dan Kab Pandeglang didominasi oleh tipe iklim B1. Menurut zona agroklimat Oldeman, untuk daerah dengan tipe iklim B1 memiliki sistem pola tanam 3PS atau 2PS + 1 PL. Yaitu dalam setahun daerah dengan tipe iklim B1 dapat ditanami 3 (tiga) kali padi sawah berumur pendek atau dalam setahun dapat ditanami 2 (dua) kali padi sawah berumur pendek dimana diantara kedua masa tanam padi sawah itu dapat ditanami 1 (satu) kali palawija. Wilayah dengan tipe iklim B1 ini sesuai untuk padi terus menerus dengan perencanaan yang baik dan produksi tinggi bila panen musim kemarau. Pada bagian selatan Banten ini terdapat juga wilayah yang terlalu basah dan juga wilayah yang cukup kering. Wilayah yang terlalu basah terlihat di bagian tenggara Kab Lebak yang memiliki tipe iklim A1 dan A2, yang mana wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki curah hujan sangat tinggi setiap bulannya dan fluks radiasi matahari rendah sehingga padi dapat ditanam terus-menerus akan tetapi produksi kurang. Sedangkan wilayah yang cukup kering terlihat di bagian selatan wilayah perbatasan antara Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, yang memiliki tipe iklim C3 hingga D3. Wilayah yang basah tersebut merupakan wilayah sekitar pegunungan yang biasanya memiliki curah hujan yang tinggi. Karena klasifikasi iklim Oldeman menggunakan curah hujan sebagai kriteria utama, maka wilayah dengan curah hujan yang tinggi ini akan bertipe A1 hingga B1 yang mana wilayah ini cocok untuk dilakukan kegiatan pertanian. Proyeksi Iklim Oldeman Tahun 2011-2020 di Wilayah Banten Gambar 3 dan 4 merupakan peta iklim oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Berdasarkan Gambar tersebut terlihat proyeksi iklim oldeman tahun 2011-2020 mempunyai pola distribusi yang mirip dengan iklim oldeman normal, yaitu wilayah utara Banten merupakan daerah yang kering dan wilayah selatan Banten merupakan daerah yang basah. Proyeksi iklim skenario RCP 4.5 terlihat di wilayah utara Banten memiliki proyeksi iklim dengan tipe iklim kering (D1 hingga E) yang lebih luas dibandingkan dengan proyeksi iklim RCP 8.5. Sedangkan untuk wilayah dengan tipe Prosiding SNSA 2015 – Halaman 228
iklim basah (A1 dan A2) terlihat semakin meluas dibandingkan iklim oldeman normalnya. Pada proyeksi iklim skenario RCP 4.5 terlihat wilayah yang memiliki tipe iklim basah lebih luas dibandingkan dengan proyeksi iklim RCP 8.5. Secara keseluruhan terlihat hasil proyeksi curah hujan skenario RCP 8.5 tahun 2011-2020 memiliki jumlah bulan basah lebih banyak dan jumlah bulan kering lebih sedikit, yang berarti proyeksi iklim oldeman cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin basah.
Gambar 3. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 4.5 Tahun 2011-2020 di Wilayah Banten
Gambar 4. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 8.5 Tahun 2011-2020 di Wilayah Banten
Proyeksi Iklim Oldeman Tahun 2021-2030 di Wilayah Banten Gambar 5 dan 6 merupakan peta iklim oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2021-2030 hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Berdasarkan kedua Gambar tersebut terlihat proyeksi iklim oldeman tahun 2021-2030 mempunyai pola distribusi yang mirip dengan iklim oldeman normal, yaitu wilayah utara Banten merupakan daerah yang kering dan wilayah selatan Banten merupakan daerah yang
Selvy Yolanda dan Ardin
basah. Proyeksi iklim oldeman pada periode ini terlihat tidak terlalu jauh berbeda dengan proyeksi iklim periode sebelumnya. Yaitu proyeksi iklim skenario RCP 4.5 memiliki wilayah dengan tipe klim basah dan tipe iklim kering yang lebih luas dibandingkan proyeksi iklim skenario RCP 8.5. Sedangkan proyeksi iklim oldeman berdasarkan scenario RCP 8.5, secara keseluruhan cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin basah.
kering maupun wilayah yang yang biasanya bertipe iklim basah. Terlihat kondisi yang sedikit berbeda di wilayah perbatasan antara Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang, yang mana di wilayah tersebut cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin kering hampir di setiap periodenya.
Gambar 7. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 4.5 Tahun 2031-2040 di Wilayah Banten Gambar 5. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 4.5 Tahun 2021-2030 di Wilayah Banten
Gambar 8. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 8.5 Tahun 2031-2040 di Wilayah Banten Gambar 6. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 8.5 Tahun 2021-2030 di Wilayah Banten
Proyeksi Iklim Oldeman Tahun 2031-2040 di Wilayah Banten Gambar 7 dan 8 merupakan peta iklim oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2031-2040 hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan RCP 8.5. Berdasarkan kedua Gambar tersebut pada periode ini proyeksi iklim oldeman dari kedua skenario terlihat sangat mirip. Jika dibandingkan dengan keadaan iklim oldeman normalnya, kedua skenario sama-sama cenderung mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin basah, baik di wilayah yang biasanya bertipe iklim
Proyeksi Iklim Oldeman Tahun 2041-2050 di Wilayah Banten Gambar 9 dan 10 merupakan iklim oldeman yang diklasifikasikan berdasarkan rata-rata curah hujan bulanan tahun 2041-2050 hasil dari proyeksi iklim skenario RCP 4.5 dan 8.5. Proyeksi iklim oldeman pada periode ini terlihat tidak terlalu jauh berbeda dengan proyeksi iklim periode sebelumnya. Berdasarkan proyeksi iklim oldeman terlihat wilayah selatan Banten dengan tipe iklim basah memiliki distribusi luasan yang sama pada kedua skenario. Akan tetapi untuk wilayah utara Banten dengan tipe iklim kering terlihat berbeda, dimana proyeksi iklim skenario RCP 4.5 memiliki luasan wilayah kering yang lebih luas dibandingkan proyeksi iklim skenario Prosiding SNSA 2015 – Halaman 229
Selvy Yolanda dan Ardin
RCP 8.5. Jika dibandingkan terhadap klasifikasi oldeman normalnya, secara keseluruhan proyeksi iklim oldeman skenario RCP 8.5 mengalami perubahan ke tipe iklim yang semakin basah. Sedangkan proyeksi iklim skenario RCP 4.5 yang mengalami perubahan ke tipe iklim basah hanya di bagian selatan Banten saja dan di wilayah Utara tipe iklim kering semakin meluas.
Cilaki, Malingping Utara dan Panyaungan, yang mana wilayah tersebut umumnya merupakan wilayah selatan Banten (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak). Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim kering terlihat di wilayah Banjarsari Cilemer, Cinangka, Pamarayan, Mancak, Pondok Betung, Ciruas dan Curug, yang mana wilayah tersebut umumnya merupakan wilayah Utara Kabupaten Pandeglang serta bagian Selatan Kabupaten Serang dan Tangerang. Sedangkan proyeksi iklim oldeman untuk wilayah lainnya cenderung tetap atau tidak terlalu banyak berubah. Tabel 3. Tipe Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 4.5 Periode 10 Tahunan No
Gambar 9. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 4.5 Tahun 2041-2050 di Wilayah Banten
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
LOKASI POS HUJAN
KABUPATEN
Cibaliung Pandeglang Labuhan Pandeglang Menes Pandeglang Banjarsari Cilemer Pandeglang Ciomas Serang Padarincang Serang Cinangka Serang Pamarayan Serang Pandeglang Pandeglang Bojong Leles Lebak Mancak Serang Petir Serang Pondok Betung Tangerang Selatan Ciruas Serang Stamet Serang Serang Kramatwatu Serang UPTD Kresek Tangerang Stageof Tangerang Kota Tangerang Jatiwaringin Mauk Tangerang Tirtayasa Jeunjing Serang UPTD Serpong Tangerang Selatan UPTD Balaraja Tangerang Stamet Curug Tangerang Cilaki/Ciminyak Lebak Lebak Lebak Parahiang/Leuwidamar Ciliman Lebak Malingping Utara Lebak Panyaungan Panggarangan Lebak Bayah Lebak
Normal B2 C2 B2 C3 C2 B1 C3 C3 B1 D1 C3 D2 B2 E3 E3 E3 E4 E3 E4 E3 E2 E3 B2 B1
Tipe Iklim Oldeman Proyeksi RCP 45 2011-2020 2021-2030 2031-2040 2041-2050 B1 C1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 B1 E3 D3 D3 D3 C1 C1 C2 C1 B1 B1 B1 C1 C2 D2 C2 D2 D1 D1 D1 D1 A1 A1 A1 A1 D1 D1 D1 D1 D3 D3 C3 D3 D1 D2 D1 D2 C1 C1 C1 C1 E3 E4 E4 E3 D3 E3 D3 E3 D3 E3 E3 D4 D4 E4 E4 E4 D3 D3 D3 D3 D4 D3 D4 D4 D3 D3 D3 D4 D1 D1 E1 D1 D3 D3 D3 D3 D1 C1 C1 C1 A1 A1 B1 B1
B1
B1
B1
B1
B1
D3 B1 B2 A1
D3 A1 B1 A1
D2 A1 B1 A1
E3 A1 B1 A1
D2 A1 B1 A1
Sumber : Pengolahan data 2015
Gambar 10. Proyeksi Iklim Oldeman dengan Skenario RCP 8.5 Tahun 2041-2050 di Wilayah Banten
Perubahan Iklim Oldeman Setiap Periode Tabel 3 merupakan tipe iklim Oldeman berdasarkan skenario RCP 4.5 periode 10 tahunan. Berdasarkan tabel tersebut, jika dibandingkan terhadap tipe iklim normalnya terlihat ada beberapa wilayah yang memiliki kecendrungan perubahan ke tipe iklim yang semakin basah dan ada juga yang cenderung berubah ke tipe iklim yang semakin kering hampir di setiap periodenya. Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim basah terlihat di wilayah Cibaliung, Labuhan, Menes, Ciomas, Pandeglang, Stasiun Geofisika Tangerang, Jatiwaringin Mauk, Tirtayasa, Serpong, Balaraja, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 230
Tabel 4 merupakan tipe iklim Oldeman berdasarkan skenario RCP 8.5 periode 10 tahunan. Berdasarkan tabel tersebut, jika dibandingkan terhadap tipe iklim normalnya umumnya hampir di setiap wilayah memiliki kecendrungan perubahan ke tipe iklim yang semakin basah, hanya sebagian kecil yang berubah ke tipe iklim yang semakin kering. Wilayah yang cenderung berubah ke tipe iklim kering terlihat hanya di wilayah Banjarsari Cilemer, Pamarayan, Pondok Betung dan Curug, sedangkan wilayah lainnya cenderung berubah ke tipe iklim yang semakin basah atau tetap. Skenario RCP 8.5 adalah skenario terburuk dimana emisi gas rumah kaca meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan bumi sangat hangat. Hal ini berarti pemanasan yang terjadi sangat tinggi dan penguapan meningkat sehingga mengakibatkan curah hujan yang terjadi juga
Selvy Yolanda dan Ardin
bertambah. Oleh karena itu, hasil proyeksi iklim menggunakan scenario RCP 8.5 ini menunjukkan hampir seluruh wilayah di Banten berubah ke tipe iklim yang semakin basah. Tabel 4. Tipe Iklim Oldeman Berdasarkan Skenario RCP 8.5 Periode 10 Tahunan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
LOKASI POS HUJAN
KABUPATEN
Cibaliung Pandeglang Labuhan Pandeglang Menes Pandeglang Banjarsari Cilemer Pandeglang Ciomas Serang Padarincang Serang Cinangka Serang Pamarayan Serang Pandeglang Pandeglang Bojong Leles Lebak Mancak Serang Petir Serang Pondok Betung Tangerang Selatan Ciruas Serang Stamet Serang Serang Kramatwatu Serang UPTD Kresek Tangerang Stageof Tangerang Kota Tangerang Cengkareng Jakarta Barat Jatiwaringin Mauk Tangerang Tirtayasa Jeunjing Serang Kemayoran Jakarta Pusat Tanjung Priok Jakarta Utara UPTD Serpong Tangerang Selatan UPTD Balaraja Tangerang Stamet Curug Tangerang Cilaki/Ciminyak Lebak Lebak Lebak Parahiang/Leuwidamar Ciliman Lebak Malingping Utara Lebak Panyaungan Panggarangan Lebak Bayah Lebak
Normal B2 C2 B2 C3 C2 B1 C3 C3 B1 D1 C3 D2 B2 E3 E3 E3 E4 E3 E3 E4 E3 E3 D4 E2 E3 B2 B1
Tipe Iklim Oldeman Proyeksi RCP 85 2011-2020 2021-2030 2031-2040 2041-2050 B1 B1 B1 B1 B1 B1 B2 B1 B1 B1 B1 B1 D3 D3 D2 D3 C1 C2 C1 C1 B1 B1 C1 B1 C1 C2 C1 C2 C1 D1 D1 D1 A1 A1 A1 A1 C1 D1 D1 C1 C3 C3 C3 C3 C2 D1 D2 C2 C1 C1 C1 C1 D3 D3 E4 D3 D3 D3 D3 D3 E4 E3 E4 D3 E4 E4 E4 D4 D3 D3 D3 D3 D3 D3 D3 D3 D4 D3 D4 D3 D3 D3 D4 D3 D3 D3 D3 D3 D4 D3 D3 D3 D1 D1 D1 D1 D3 D3 E3 D3 C1 C1 C1 C1 B1 B1 B1 B1
B1
B1
B1
B1
B1
D3 B1 B2 A1
D2 A1 B1 A1
D2 A1 B1 A1
D1 A1 B1 A1
D2 A1 B1 A1
Sumber : Pengoalahan data 2015
KESIMPULAN Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman normal (periode 1981-2010) di wilayah Banten terlihat dua tipe iklim yang sangat jauh berbeda, yaitu wilayah utara Banten bertipe iklim kering dan wilayah selatan Banten bertipe iklim basah. Model iklim dapat digunakan untuk memperoleh Gambaran iklim masa depan dengan melakukan proyeksi iklim melalui skenario RCP 4.5 dan 8.5. Hasil proyeksi iklim Oldeman tidak menunjukkan pola distribusi yang berbeda dengan keadaan normalnya. Skenario RCP 4.5 memberikan Gambaran iklim Oldeman di wilayah Selatan Banten yang merupakan wilayah bertipe iklim basah terlihat semakin basah, sedangkan wilayah utara Banten yang merupakan wilayah bertipe iklim kering terlihat wilayah kering semakin meluas. Skenario RCP 8.5 memberikan gambaran iklim Oldeman hampir di seluruh wilayah Banten berubah ke tipe iklim yang semakin basah.
penyediaan data penelitian. Rasa terima kasih juga kepada sumber utama dalam melakukan observasi sehingga tersedianya data penelitian yakni Stasiun Meteorologi Serang, Stasiun Meteorologi Curug, Stasiun Geofisika Tangerang serta pengamat curah hujan stasiun pos kerjasama di seluruh Propinsi Banten. Terakhir tidak lupa kepada Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika tempat dimana penulis menimba ilmu pengetahuan. DAFTAR PUSTAKA 1
Aldrian, Edvin dkk., 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim. Jakarta : Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG. 2 Susandi, Armi dkk, 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2/2008. 3 Hidayat, Saeful, 2014. Potensi Pertanian Provinsi Banten. Banten : Badan Pusat Statistik. 4 Kasihairani, Dara, 2014. Proyeksi Produksi Padi dengan Aquacrop 4.0 Berdasarkan Skenario RCP 4.5 di Pulau Jawa. Skripsi. Jakarta : STMKG. 5 IPCC, 2013. Technical Summary. IPCC WGI Fifth Assessment Report. 6 Wayne, G. P., 2013. The Beginner’s Guide to Representative Concentration Pathways. (http://gpwayne.wordpress.com, diakses pada 29 Maret 2015). 7 Thomson, A., and Coauthors, 2011. RCP4.5: A pathway for stabilization of radiative forcing by 2100. Climatic Change. 109. 77-94. doi: 10.1007/s10584-011-0151-4. 8 Riahi K., dkk, 2011. RCP 8.5: A scenario of comparatively high greenhouse gas emissions. Climatic Change. 109. 33-57. doi:10.1007/s10584-011-0149-y. 9 Tjasyono, Bayong, 1992. Klimatologi Terapan. Bandung : Pionir Jaya. 10 Lakitan, 2002. Klasifikasi iklim Indonesia. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya. 11 Oldeman L.R., M. Frere, 1982. A Study of the Agroclimatology of the Humid Tropics of South-east Asia. WMO Interagency Project on Agroclimatology. 12 Tjasyono, Bayong, 2004. Klimatologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan teknis operasional Stasiun Klimatologi Pondok Betung atas dukungan dan bantuan dalam Prosiding SNSA 2015 – Halaman 231
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
ANALISIS DATA CURAH HUJAN CRU UNTUK PENENTUAN KAWASAN BERPOTENSI IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA ANALYSIS RAINFALL DATA OF CRU FOR THE DETERMINATION OF POTENTIALLY EXTREME CLIMATIC REGIONS IN INDONESIA Shailla Rustiana* dan Eddy Hermawan * Dep. Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-Institut pertanian Bogor, Jl. Meranti Wing 19 Level 4, Bogor, 16680* Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN, Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Indonesian rainfall is highly vulnerable to climate disruption, which is caused by the El Niño Southern oscillation (ENSO). ENSO phenomenon have an impact on various sectors of development in Indonesia. Therefore it is necessary to analyze the impact of ENSO on the variability of Indonesian rainfall for 62 years (1951-2012). ENSO is supported by an analysis of the ENSO index (Niño 3.4, Southern Oscillation Index (SOI), Ocean Niño Index (ONI), ENSO Precipitation Index (ESPI), and Multivariate Enso Index (MEI)). While the analysis of rainfall Indonesia is supported by the output data of Climate Research Unit (CRU). Results of composite climatology of Indonesian rainfall and horizontal wind speed at an altitude of 850 hPa during the year of observation, showed the wet season normally occurs in the months of DJF, and the dry season occurs in the months JJA. Similarly, results of composite anomalies of Indonesian rainfall when normal conditions showed the wet season is almost in all parts of Indonesia occur when the dry season when the DJF and JJA. Analysis of composite rainfall anomalies year of El Niño / La Niña condition showed a decrease / increase in Indonesian rainfall from normal conditions, the highest in the months SON (September-October- November) in the southern part of the island of Sumatra, Java and Nusa Tenggara, South-West part of Borneo, Sulawesi and Papua, with a value of (R) > -0.7. Keywords: CRU, El Niño, ENSO Index, La Niña, Rainfall. ABSTRAK Curah hujan Indonesia sangat rentan dengan gangguan iklim, yang salah satunya disebabkan oleh El Niño Southern Oscilation (ENSO). Fenomena ENSO berdampak pada berbagai sektor pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis dampak ENSO terhadap keragaman curah hujan Indonesia selama 62 tahun (1951-2012). Analisis terhadap ENSO didukung dengan indeks ENSO (Niño 3.4, Southern Oscilation Index (SOI), Ocean Niño Index (ONI), ENSO Precipitation Index (ESPI), dan Multivariate Enso index (MEI)). Sementara analisis terhadap curah hujan Indonesia didukung dengan data keluaran Climate Research Unit (CRU). Hasil komposit klimatologi curah hujan Indonesia dan kecepatan angin horizontal di ketinggian 850 hPa selama tahun pengamatan menunjukkan secara normal musim basah terjadi pada bulan-bulan DJF, dan musim kering terjadi pada bulan-bulan JJA. Begitu pula dengan ditunjukkannya hasil komposit anomali curah hujan Indonesia saat kondisi normal, musim basah hampir di seluruh wilayah Indonesia terjadi saat DJF dan musim kering saat JJA. Analisis komposit anomali curah hujan saat ahun-tahun terjadinya kondisi El Niño/La Niña menunjukkan terjadinya penurunan/peningkatan curah hujan Indonesia dari kondisi normalnya, paling tinggi pada bulan-bulan SON (September-Oktober-November) di wilayah Pulau Sumatera bagian Selatan, Jawa-Nusa Tenggara, Kalimantan bagian Barat-Selatan, Sulawesi, dan Papua dengan nilai (R) > -0.7. Kata kunci : CRU, Curah Hujan, El Niño, Indeks ENSO, La Niña.
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap gangguan iklim. Beberapa gangguan iklim yang sering terjadi di Indonesia berupa kekeringan dan banjir sangat erat kaitannya dengan fenomena ENSO (El Nino Southern Oscilation) yang merupakan fenomena gabungan interaksi lautan atmosfer yang menyebabkan variasi iklim tahunan di dunia.1 Prosiding SNSA 2015 – Halaman 232
Komponen lautan dari ENSO adalah El Nino (musim kering lebih panjang dari kondisi normal di Indonesia) dan La Nina (musim basah lebih panjang dari kondisi normal di Indonesia), sedangkan komponen atmosfernya adalah Southern Oscillation.2 Istilah El Nino awalnya digunakan untuk menggambarkan keadaan tahunan arus hangat lemah yang menyusuri pantai Selatan Peru dan Ekuador yang
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
menyebabkan turunnya tangkapan ikan.2,3 Turunnya tangkapan ikan tersebut disebabkan oleh nutrisi yang biasanya dimunculkan ke permukaan oleh umbulan (upwelling) melemah.3 Perkembangan selanjutnya El Nino merupakan keadaan peningkatan suhu permukaan lautan (SPL) dari suhu normalnya di Pasifik Ekuator Timur. La Nina adalah kejadian berkebalikan dengan El Nino yakni penurunan suhu permukaan laut di kawasan ekuator Samudera Pasifik dari suhu normalnya.4 Ketika terjadi El Nino maupun La Nina, keduanya berasosiasi dengan Southern Oscillation, sehingga fenomena ini lebih dikenal sebagai ENSO.1,2,4 Curah Hujan Indonesia sangat beragam. Aldrian dan Susanto5 mengelompokkan curah hujan di Indonesia menjadi 3 kelompok pola, yaitu monsunal (terletak di wilayah tengah hingga Selatan Indonesia), ekuatorial (terletak di wilayah barat laut Indonesia), dan lokal (meliputi Maluku dan beberapa wilayah di Sulawesi (mendekati wilayah Pasifik Barat). Pengelompokkan pola curah hujan tersebut didasarkan perbedaan curah hujan setiap bulannya selama setahun. Perbedaan pola tersebut juga menentukan berbedanya pengaruh yang ditimbulkan oleh iklim ekstrim terhadap wilayah–wilayah di Indonesia Kajian terkait pengaruh ENSO terhadap curah hujan Indonesia sudah banyak dikaji, mengingat dampak yang ditimbulkan El Nino maupun La Nina sangat besar bagi sektor pembangunan Indonesia seperti pertanian dan ketahanan pangan, kehutanan, perikanan, dan lain-lain. Kajian yang biasa dilakukan meliputi analisis temporal untuk mengetahui tahun-tahun kejadian ENSO dan analisis spasial untuk mengetahui wilayah-wilayah yang terkena pengaruh ENSO. Beberapa analisis spasial yang telah dilakukan sangat beragam, seperti pengolahan dengan data citra (GIS) maupun pengolahan data satelit. Pengolahan data satelit curah hujan yang biasa dilakukan yaitu menggunakan data satelit MTSAT ataupun TRMM, namun juga mencakup wilayah bagian lautan. Untuk menganalisis spasial curah hujan hanya di wilayah daratan saja, digunakan data satelit curah hujan hasil keluaran Climate Research Unit (CRU). Curah hujan CRU beresolusi 0.5ox0.5o dan dapat mewakili wilayah Indonesia secara spasial.6 Waktu pengamatan yang disajikan juga lebih panjang dibandingkan dengan satelit lain, sehingga dapat menganalisis kondisi iklim Indonesia dalam jangka panjang. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rustiana, dkk.7 terkait perbandingan curah hujan CRU (yang telah diekstrak) dengan curah hujan observasi wilayah pengamatan Kabupaten Indramayu, menghasilkan pola yang berhimpit pada nilai curah hujan setiap bulannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka curah hujan CRU ini dapat digunakan untuk mewakili sebaran curah hujan Indonesia secara spasial pada tahun pengamatan 1951-2012. Kejadian ENSO selain dapat dilihat dengan nilai anomali suhu permukaan laut (SPL) di wilayah Samudera Pasifik tengah-timur (diwakili dengan indeks Nino 3.4), juga dapat diketahui dengan indeks lain seperti Southern Oscillation Index (SOI), yang menjelaskan fenomena ENSO berdasarkan perbandingan anomali tekanan permukaan laut (TPL) wilayah Tahiti dan Darwin, kemudian Ocean Nino Index (ONI) yang dilakukan oleh NOAA dengan merata-ratakan 3 bulan (running mean) anomali SPL wilayah Nino 3.4 selama periode 30 tahun. Baik SOI ataupun ONI dapat mendeskripsikan fenomena ENSO secara jelas berdasarkan batas treshold yang telah ditentukan. Selain SOI dan ONI yang telah cukup banyak dikaji, ditemukan indeks ENSO lain yang cukup jarang dikaji seperti ENSO Precipitation Index (ESPI) dan Multivariate ENSO index (MEI). ESPI merupakan gabungan dari data El Nino dan La Nina yang dikenal dengan EI dan LI masing-masing untuk ENSO Index dan La Nina Index seperti yang telah dijelaskan oleh Hermawan.8 Pada penelitian tersebut, ESPI digabungkan dengan Dipole Mode Index (DMI) untuk menetukan kawasan kekeringan ataupun kebanjiran di Indonesia. ESPI tersebut memiliki kesamaan pola dengan SPL Nino 3.4 sehingga memiliki pengaruh yang sama terhadap curah hjan Indonesia. Wolter dan Michael9 juga melakukan kajian terkait korelasi antara MEI dengan SPL yang cukup baik, sehingga MEI baik digunakan untuk menganalisis fenomena ENSO. Wolter mengatakan bahwa MEI adalah indeks ENSO terbaik dibandingkan indeks ENSO yang lainnya untuk mengetahui fenomena ENSO, termasuk korelasinya dengan suhu permukaan dan curah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ENSO terhadap curah hujan Indonesia menggunakan data curah hujan CRU dan untuk mengetahui korelasi antara curah hujan Indonesia dengan indeks ENSO. Manfaat dari penelitian ini adalah diketahuinya wilayah mana saja dan musim apa saja yang paling terpengaruh iklim ekstrim ketika terjadinya ENSO. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 233
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
METODOLOGI
Rxy =
Data yang digunakan merupakan data curah hujan satelit CRU tahun pengamatan 1951-2012 dalam format GrADS (nc) dan yang telah diekstrak, data angin horizontal (u;v) 850 hPa format GrADS, serta data indeks ENSO (Niño 3.4, SOI, ONI, ESPI dan MEI) tahun pengamatan 1951-2012. Perangkat lunak yang digunakan terdiri dari GrADS 2.0, Minitab 14, dan Microsoft Office 2007. Analisis yang dilakukan pada penelitian ini mencakup analisis komposit klimatologi curah hujan Indonesia selama tahun pengamatan; analisis komposit anomali curah hujan Indonesia pada tahun-tahun normal, El Niño (Lemah, Sedang, Kuat), dan La Niña (Lemah, Sedang, Kuat); serta analisis korelasi curah hujan Indonesia dari data CRU yang telah diekstrak dengan data indeks ENSO. Analisis komposit klimatologi dilakukan bersamaan dengan angin horizontal (u;v) pada ketinggian 850 hPa untuk mengetahui sebaran rataan curah hujan Indonesia selama 62 tahun pangamatan (1951-2012). Sementara analisis komposit anomali curah hujan dilakukan berdasarkan tahun-tahun hasil identifikasi di setiap fenomena (normal, El Niño, La Niña). Selain data dikompositkan setiap bulan, data dikelompokkan pada empat musim yaitu JuliAgustus (JJA), September-November (SON), Desember-Februari (DJF), Maret-Mei (MAM). Penentuan anomali curah hujan menggunakan persamaan:
∆Χ = Χi − Χij
(1)
dengan: ∆X = Anomali curah hujan Xi = Curah hujan bulan ke-i = Curah hujan rata-rata bulan ke-i ij selama j tahun Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua atau lebih variabel data yang bersifat kuantitatif.10 Pada penelitian ini, analisis korelasi digunakan untuk menghitung koefisien korelasi (R) antara curah hujan Indonesia bulanan yang kemudian dikelompokkan menjadi 4 musim dengan indeks ENSO (Niño 3.4, SOI, ONI, ESPI, dan MEI). Persamaan yang digunakan adalah:
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 234
(2)
n∑ xiyi − (∑ xi)(∑ yi)
{n∑ xi − (∑ xi) } {n∑ yi − (∑ yi) }
dengan R xy = x = y = n =
2
2
2
2
korelasi, variabel 1, variabel 2, dan jumlah data
HASIL DAN PEMBAHASAN Curah hujan di Indonesia sangat beragam. Data curah hujan Indonesia dari CRU selama 62 tahun untuk periode Januari 1951-Desember 2012 terlihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan pada setiap musim dan wilayah di Indonesia mengalami kondisi yang berbedabeda. Perbedaan sebaran curah hujan tersebut disebabkan karena adanya gerak semu matahari, sirkulasi angin global dan topografi wilayah yang diamati. Sebaran curah hujan pada Gambar 1 menunjukkan wilayah Indonesia secara keseluruhan mengalami musim hujan sejak musim SON hingga MAM dengan curah hujan sekitar 150-550 mm/bulan yang digambarkan dengan sebaran warna hijau muda untuk sebagian besar wilayah Indonesia. Musim JJA merupakan musim kemarau di Indonesia dengan curah hujan paling rendah dibandingkan musim lainnya yaitu berkisar 0-100 mm/bulan terutama pada pulau Sumatera dan Jawa yang terlihat dengan sebaran warna kuning - jingga tua di wilayah tersebut. Anomali curah hujan Indonesia saat kondisi normal (Gambar 2) menunjukkan sebaran curah hujan seperti Gambar 1, di mana anomali positif (warna biru) terjadi pada musim transisi kemarau-hujan (SON) hingga musim hujan (DJF) dengan nilai anomali sebesar 50-200 mm/bln. Anomali curah hujan negatif (warna merah) terjadi sejak musim transisi hujan-kemarau (MAM) hingga musim kemarau (JJA) dengan nilai anomali sebesar (-150) – 0 mm/bulan. Peta sebaran spasial tersebut masih menunjukkan kondisi yang normal terhadap sebaran musim di Indonesia, yaitu anomali curah hujan positif yang berarti curah hujan tinggi terjadi di Indonesia saat musim SON dan DJF, sementara anomali curah hujan negatif yang berarti curah hujan rendah terjadi di Indonesia saat musim MAM dan JJA.
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Gambar 1. Klimatologi curah hujan Indonesia (mm/bulan) dan kecepatan angin 850 hPa (m/s) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) tahun 1951- 2012.
Gambar 2. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi normal.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 235
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Gambar 3. Time series Ocean Niño Index (ONI) serta pengelompokkan tahun-tahun fenomena El Niño dan La Niña berdasarkan kekuatannya (merah= El Niño kuat, biru=La Niña kuat, hitam= El Niño dan La Niña sedang; cpc.ncep.noaa.gov).
Gambar 4. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi El Niño Lemah.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 236
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Tabel 1. Tahun – tahun terjadinya El Niño dan La Niña (lemah, sedang, dan kuat) berdasarkan nilai ONI (1951-2012) Fenomena Lemah
El Niño 52/53, 53/54, 58/59, 69,70, 76/77, 77/78, 04/05, 06/07
La Niña 54/55, 56/57, 64/65, 71/72, 74/75, 83/84, 84/85, 95/96, 00/01, 05/06, 08/09, 11/12
Sedang
51/52, 63/64, 68/69, 86/87, 91/92, 94/95, 02/03, 09/10
55/56, 70/71, 98/99, 07,08
Kuat
57/58, 65/66, 72/73, 82/83, 87/88, 97/98
73/74, 75/76, 88/89, 99/00, 10/11
Penentuan fenomena ENSO dapat diketahui dengan berbagai macam indeks seperti diantaranya: anomali SPL Niño3.4, perbandingan anomali tekanan permukaan laut (Tahiti-Darwin) SOI, ONI, ESPI, dan MEI. NOAA mengklasifikasikan 3 fenomena ENSO ( El Niño/La Niña) berdasarkan indeks anomali SPL ONI, yaitu lemah ((+/-) 0.5-1.0oC), sedang ((+/-) 1.1–1.5oC), dan kuat (ONI> (+/-) 1.5oC) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3. ONI ini dihitung berdasarkan prinsip perhitungan untuk monitoring, assessment dan prediksi siklus ENSO. ONI melihat juga perubahan nilai SPL dari rata-rata daerah Niño 3.4, kemudian dirata-ratakan pertiga bulan dengan dijalankan dan dilihat nilai perubahan SPL dengan analisis SPL historis. Pada penelitian ini digunakan indeks ONI untuk mengetahui tahun-tahun terjadinyafenomena El Niño/La Niña lemah, sedang, dan kuat. Pengelompokkan tahun-tahunnya dapat dilihat pada Tabel 1. Komposit anomali curah hujan tahun-tahun kondisi El Niño lemah (Gambar 4) menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan pada musim SON dibandingkan saat kondisi normal (Gambar 2). Penurunan curah hujan hujan tersebut terlihat dengan anomali negatif (warna merah) hingga mencapai -100 mm/bulan di Pulau Jawa bagian Barat-Tengah. Namun penurunan curah hujan tersebut tidak terlalu berbeda jauh dengan kondisi normalnya karena wilayah lain selain Pulau Jawa tidak mengalami penurunan curah hujan yang tinggi. Saat El Niño sedang (Gambar 5), penurunan curah hujan pada musim SON semakin tinggi dan mulai menyebar ke semua wilayah Indonesia. Anomali curah hujan negatif berawal dari musim JJA dan meninggi di musim SON hingga mencapai -150 mm/bulan, tidak hanya di Pulau Jawa bagian barat-tengah tetapi juga di
Pulau Sumatera bagian selatan, Kalimantan Utara dan Barat Daya, hampir semua bagian Nusa Tenggara, hingga semua bagian Papua, sementara untuk Pulau lainnya bernilai (-50) – (100) mm/bln. Penurunan curah hujan tertinggi terjadi saat kondisi El Niño kuat dan masih di musim JJA dan tertinggi saat musim SON, terlihat pada Gambar 6. Pada musim SON, wilayah yang mengalami penurunan curah hujan pada Gambar 5 tadi menyebar hampir ke semua bagian pulau, seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa. Penurunan curah hujan hingga -250 mm/bulan di Pulau Jawa bagian tengah dan Papua bagian selatan. Komposit anomali CH tahun-tahun kondisi La Niña lemah (Gambar 7) menunjukkan terjadinya peningkatan curah hujan dibandingkan saat kondisi normal (Gambar 2) pada musim SON. Peningkatan curah hujan tersebut terlihat dengan anomali positif (warna biru) hingga mencapai -100 mm/bln di Pulau Jawa bagian barat-tengah, Nusa Tenggara, Kalimantan Tengah-Selatan, Sulawesi Tengah dan sebagian Papua. Peningkatan curah hujan Indonesia saat La Niña sedang (Gambar 8) lebih sedikit dibandingkan ketika kondisi La Niña lemah (Gambar 7) saat musim SON. Hanya pulau Papua saja yang mengalami peningkatan curah hujan teringgi. Sementara musim JJA mengalami peningkatan curah hujan lebih tinggi dari musim SON. Saat kondisi La Niña kuat (Gambar 9) terjadi sejak musim JJA hingga tertinggi saat musim SON. Pada musim SON, wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan menyebar hampir ke semua bagian pulau, seperti Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa. Peningkatan curah hujan tertinggi hingga mencapai +250 mm/bulan di wilayah Pulau Jawa bagian tengah, Nusa Tenggara, dan timur serta papua bagian tengah. Nilai koefisien korelasi (R) antara curah hujan dan indeks ENSO (SPL Niño 3.4, SOI, ONI, ESPI, MEI) yang ditunjukkan pada Tabel 2 hampir semuanya berbanding terbalik (negatif) pada setiap musimnya. Adanya nilai korelasi berbanding terbalik artinya adanya pengaruh yang ditimbulkan oleh indeks ENSO terhadap curah hujan Indonesia. Nilai R negatif tertinggi, terjadi pada musim SON dari setiap indeks ENSO.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 237
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Gambar 5. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi El Niño Sedang.
Gambar 6. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi El Niño Kuat.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 238
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Gambar 7. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi La Niña Lemah.
.
Gambar 8. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi La Niña Sedang.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 239
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan
Gambar 9. Anomali curah hujan Indonesia (mm/bulan) musim DJF, MAM, JJA dan SON (kiri atas-kanan bawah) saat kondisi La Niña Kuat.
Tabel 2. Koefisien korelasi (R) antara indeks ENSO dengan curah hujan Indonesia periode 1951-2012 Indeks
Koefisien Korelasi (R) DJF
MAM
JJA
SON
-0.42
0.22
-0.76
-0.78
SOI
0.54
-0.09
0.80
0.85
ONI ESPI MEI
-0.40 -0.71 -0.40
0.24 -0.66 -0.25
-0.76 -0.88 -0.67
-0.80 -0.90 -0.76
SPL Niño 3.4
Hasil tersebut serupa dengan analisis spasial yang telah dilakukan sebelumnya (Gambar 2 - Gambar 9), yang juga menunjukkan adanya pengaruh penurunan/peningkatan curah hujan dari kondisi normalnya saat kondisi El Nino/La Nina ketika musim SON. Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan untuk tahun pengamatan 1951-2012, nilai R lebih dari (0.70) dengan R tertinggi (-0.90) hasil korelasi antara curah hujan Indonesia dengan ESPI. KESIMPULAN Dengan dilakukannya analisis spasial dengan data curah hujan CRU, dapat diketahui bahwa saat kondisi El Niño (kering) / La Niña (basah), baik saat kondisi lemah, sedang, atau kuat mempengaruhi curah hujan (menurunkan / meningkatkan) curah hujan dari kondisi normalnya pada musim SON. Kawasan di Prosiding SNSA 2015 – Halaman 240
Indonesia yang berpotensi mengalami kondisi iklim ekstrim, yaitu saat terjadinya El Niño/La Niña kuat adalah Pulau Sumatera bagian Selatan, Jawa bagian tengah-timur, Nusa Tenggara, Kalimantan bagian Barat-Selatan, Sulawesi, dan Papua, dengan nilai koefisien korelasi (R) > -0.7 hasil korelasi antara curah hujan Indonesia (CRU) dengan indeks ENSO (Niño 3.4, SOI, ONI, ESPI, dan MEI). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada website http://badc.nerc.ac.uk/ yang telah memberikan data CRU secara gratis dalam format GrADS. Terima kasih pula kepada website resmi NOAA, BOM, serta situs pendukung lainnya yang telah memberikan data dan pemahaman terkait indeks ENSO. Serta terima kasih kepada para peneliti PSTA LAPAN Bandung yang telah memberikan pelatihan cara mengekstrak data .nc ke data .txt dan membuat peta sebaran spasial dengan menggunakan perangkat lunak GrADS. DAFTAR RUJUKAN 1
Aldrian, E, 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Jakarta : Badan Meteorologi dan Geofisika. 2 Trenberth, KE, 1997. The definition of El Niño. Bull Amer Meteor Soc 78:2771–2777
Shailla Rustiana dan Eddy Hermawan 3
BOM (Bureau of Meteorology), 2014. El Niño, La Niña dan Australia’s Climate. (Diakses dari www.bom.gov.au pada tanggal 9 November 2014). 4 Prabowo, M., dan Nicholls, N, 2002. Kapan Hujan Turun ? Dampak Osilasi Selatan di Indonesia. Brisbane : Publishing Services 5 Aldrian, E., dan Susanto, RD, 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Int J Clim 23: 1435–1452. 6 Mitchell, TD., and Jones PD, 2005. An improve method of constructing a database of monthly climate observations and associated highresolution grids. Int. J. Climatol 25: 693-712. 7 Rustiana, S., Rahmat, H., dan Eddy, H, 2014. “Aktivitas El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan pulau Jawa, Indonesia (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu)”. Prosiding Seminar Sains Atmosfer 2014, hal: 432-444. 8 Hermawan, E, 2010. Isu Kiamat 2012: “Adakah siklus lima belas tahunan akan berperan aktif kembali disana?” Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY, hal: 1-12 9 Wolter, K., and Michael S, Timlin. 2011. El Niño/Southern Oscillation behaviour since 1871 as diagnosed in an extended multivariate ENSO index (MEI.ext). Intl. J. Climatology. 31, 14pp., in press. 10 Walpole, 1982. Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 241
Siti Maryam dan Ahmad Zulfiana Utama
PENGEMBANGAN BANK DATA HASIL PENGAMATAN BPD PONTIANAK UNTUK MENDUKUNG BASIS DATA ATMOSFER INDONESIA DEVELOPMENT PONTIANAK OBSERVATION DATA BANK TO SUPPORT DATABASE OF THE ATHMOSPHERE INDONESIA Siti Maryam, dan Ahmad Zulfiana Utama Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el :
[email protected],
[email protected] ABSTRACT Space Science Center have built a system of data repository known by the name https://rdsa.bdg.lapan.go.id. The system store the atmosphere observation from pontianak station there is Disdrometer, Ozon, CO2, AWS, and MAWS. The system need to develop into database system with the purpose system can be integrated with an atmosphere data center at Center Of Atmospheric Science And Technology. This paper discuss about the development pontianak bank data using relational database RDBMS (Relational Database Management System). SQL Server and Mysql Workbench tools for designing apllications database. Expectation from this research to improve the structure file of data observation. Moreover the final result with this method to design the database was stored on the server and can be intergrated with the database indonesia atmosphere. Keywords : bank data, RDBMS, integration ABSTRAK Pusat Sains Antariksa telah membangun sistem repository data sains antariksa https://rdsa.bdg.lapan.go.id. Sistem ini menampung data hasil pengamatan parameter atmosfer Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak yaitu Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS. Sistem ini perlu dikembangkan ke arah basis data agar dapat diintegrasikan dengan sistem bank data atmosfer indonesia yang dibangun Pusat Teknologi Atmosfer. Makalah ini membahas pengembangan Bank Data Hasil Pengamatan BPD Pontianak menggunakan metode basis data relasional RDBMS (Relational Database Management System). SQL Server dan MySQL Workbench merupakan aplikasi untuk merancang basis data. Perancangan basis data parameter atmosfer Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS BPD Pontianak diharapkan akan memperbaiki penataan struktur file data pengamatan. Dengan metode ini diharapkan akan diperoleh rancangan basis data yang dapat disimpan pada server data pengamatan dan dapat diintegrasikan dengan basis data atmosfer Indonesia. Kata Kunci : bank data, RDBMS, integrasi
PENDAHULUAN Aset adalah hasil kekayaan intelektual dari suatu perusahaan atau instansi, serta informasi rahasia tentang stake holder yang merupakan mitra kerjasama bagi perusahaan ataupun instansi. Aset instansi sebagian besar disimpan dalam format data digital.1 Aset merupakan sumber data pada sistem basis data relasional. Sistem manajemen basis data adalah kunci penting dalam pengelolaan serta penataan data untuk proses pengambilan keputusan.2 Pusat Sains Teknologi Atmosfer telah membangun sistem basis data atmosfer Indonesia. Sistem ini menampung data hasil pengamatan atmosfer yang dihasilkan dari alat penelitian yang terpasang di Balai Pengamatan Dirgantara, Loka serta stasiun kerjasama Lapan. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 242
Pusat Sains Antariksa telah membangun sistem bank data https://rdsa.bdg.lapan.go.id/.3 Sistem ini ini menampung data hasil pengamatan atmosfer. Pada sistem bank data https://rdsa.bdg.lapan.go.id. Masih terdapat data ganda (redundansi data).4 Diperlukan penataan file agar dapat dikembangkan ke basis data. Pusat Sains Antariksa memanfaatkan teknologi RDBMS SQL Server dan MySQL Workbench untuk menata file dan mengembangkan basis data untuk parameter atmosfer Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS yang diperoleh dari stasiun Pontianak. MySQL workbench merupakan alat untuk mempermudah dalam perancangan basis data. Perancangan basis data yang baik diharapkan akan memperbaiki penataan file dan
Siti Maryam dan Ahmad Zulfiana Utama
menghilangkan redundansi data-data pengamatan. Dengan metode ini diharapkan akan mengurangi resiko redundansi data sehingga proses integrasi dengan sistem basis data atmosfer Indonesia akan menjadi lebih mudah. Tujuan dari pembahasan ini untuk mengembangkan struktur file pada bank data hasil pengamatan atmosfer BPD Pontianak pada sistem server Repositori Data Sains Antariksa sehingga diperoleh rancangan basis data yang mudah diintegrasikan dengan sistem basis data atmosfer Indonesia http://bisma.sains.lapan. go.id.5 METODOLOGI MySQL Server MySQL merupakan software yang dapat diunduh melalui www.mysql.com.6 MySQL dan PHP merupakan satu kesatuan, karena pembuatan database dapat dibuat dengan kedua sintak. Untuk proses masukan dapat dilakukan melalui aplikasi web dengan menggunakan script server-side seperti PHP dan dapat langsung dimasukkan ke database MySQL yang ada pada server. MySQL Workbench Adalah perangkat aplikasi visual yang digunakan untuk mengelola basis data. MySQL Workbench biasa digunakan oleh seorang arsitek basis data, pengembang basis data, serta administator basis data. MySQL Workbench menyediakan model data, pengembangan SQL, dan peralatan administrasi yang komperhensif untuk konfigurasi server basis data, administrasi pengguna, dan masih banyak lagi.7 Shell Scripting Shell Scripting merupakan sekumpulan perintah yang disimpan pada sebuah file pada Sistem Operasi Linux. Ekstensi file dari Shell Script adalah .sh tetapi tanpa menyertakan ekstensi file tersebut tetap dapat dikenali sebagai Shell Script Pada Sistem Operasi Linux terdapat banyak pilihan Shell Script yang dapat digunakan. Sedangkan yang populer digunakan adalah Bourne Again Shell (bash).8 Shell script menyediakan fitur percabangan, perulangan dan variabel seperti layaknya bahasa pemrograman. Shell Script dapat ditulis melalui teks Editor Teks seperti nano, vi, gedit. Sebuah Shell Script dieksekusi melalui baris instruksi Sistem Operasi.
Database Engine Sebuah mesin basis data atau mesin penyimpanan adalah komponen perangkat lunak DBMS yang dapat digunakan untuk membuat, membaca, memperbarui dan menghapus ( Create, Read, Update, Delete) data dari basis data.9 Istilah mesin basis data sering digunakan bergantian dengan server basis data atau sistem manajemen basis data. Metode pengembangan bank data hasil pengamatan BPD Pontianak untuk mendukung basis data atmosfer Indonesia dibagi kedalam tahapan berikut, yaitu identifikasi dan penataan file data hasil pengamatan parameter atmosfer BPD Pontianak serta Perancangan tabel basis data relasional parameter atmosfer hasil pengamatan atmosfer BPD Potianak Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS. Tahap identifikasi file data hasil pengamatan atmosfer BPD Pontianak adalah proses memilih dan menyeleksi file data parameter Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS. Tahapan pemetaan informasi file dari server data ke dalam DBMS menggunakan bahasa pemrograman shell dan PHP. Tahapan pengujian pemgrograman shell (scripting) digunakan untuk menjalankan bahasa pemgrograman PHP berdasarkan interval waktu tertentu/penjadwalan, selanjutnya pemrograman PHP yang berfungsi untuk memasukan informasi data/file ke dalam basis data.
Gambar 1. Ilustrasi proses memasukan informasi file ke dalam database engine.
Sistem bank data RDSA memiliki struktur file yang bercampur antara data hasil pengamatan untuk mendukung riset cuaca antariksa dan atmosfer. Pada tahap ini dilakukan pemilihan folder khusus data hasil pengamatan parameter atmosfer BPD Pontianak. Tahap menghilangkan redundansi data dengan memperbaiki struktur file (nama, ukuran, tipe dan letak file) data hasil pengamatan parameter atmosfer. Proses ini mirip dengan proses normasilasi pada basis data, namun penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas penyimpanan data/file berdasarkan struktur file/data pada server tidak hanya terbatas dalam database engine. Proses ini tidak akan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 243
Siti Maryam dan Ahmad Zulfiana Utama
berpengaruh terhadap penamaan dan informasi file data pengamatan. Tahap perancangan basis data merupakan tahap pembuatan relasi antar tabel data hasil pengamatan Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS dari BPD Pontianak. Tabel basis data dikelompokan kedalam empat tabel utama. Tahap finalisasi dan uji coba adalah tahap deploy database yaitu konfigurasi basis data pada server. Pada tahap ini aplikasi SQL Server dan MySQL Workbench akan memproses model rancangan tabel basis data kedalam bentuk bahasa SQL dan disimpan pada server data pengamatan.12 HASIL DAN PEMBAHASAN Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak ada aplikasi yang bersifat online yang benar-benar aman, jaringan internet bersifat umum dan global yang memungkinkan terjadi permasalahan keamanan. Bahasa pemrograman (PHP) memiliki kemampuan untuk mengatasi isu keamanan sesuai dengan tingkatan tertentu, mengamankan aplikasi dari penyerang.10 Teknologi basisdata memiliki dampak yang berpengaruh dalam kehidupan keseharian kita. Sebagian besar keputusan yang diambil oleh perusahaan berdasarkan informasi yang tersimpan di dalam basisdata.11 Gambar 2(a) dan (b) adalah hasil identifikasi folder bank data hasil pengamatan parameter atmosfer MAWS, CO 2 , Disdrometer, dan Ozon. Pada sistem RDSA, folder data hasil pengamatan parameter atmosfer bersatu dengan folder data hasil pengamatan parameter untuk riset cuaca antariksa. Gambar 3(a) dan (b) Teknologi Shell Scripting menata file data hasil pengamatan MAWS, AWS, Disdrometer, Ozon dan CO 2 dari BPD Pontianak. Direktori struktur file data hasil pengamatan disususun berdasarkan tahun bulan dan hari. Pada rancangan basis data parameter atmosfer Disdrometer, Ozon, CO 2 , AWS, MAWS BPD Pontianak, terdapat tabel basis data alat_pengamatan, stasiun_alat, stasiun_pengamatan, data_pengamatan dan flag. Fungsi dari tabel alat_pengamatan, stasiun_alat, dan stasiun_pengamatan adalah untuk menyimpan informasi terkait stasiun pengamatan, alat pengamatan, dan lokasi dari alat pengamatan Disdrometer, Ozon, AWS, MAWS yang dioperasikan di BPD Pontianak. Tabel alat_pengamatan memiliki tiga atribut yaitu ap_id sebagai atribut kunci, ap_name dan ap_desc. Setiap alat pengamatan akan diberikan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 244
nomor identitas berbeda. Atribut ap_name difungsikan untuk pemberian nama alat pengamatan parameter atmosfer, sedangkan atribut ap_desc difungsikan untuk deskripsi dari alat pengamatan. Tabel stasiun_alat memiliki tiga atribut yaitu sa_id sebagai atribut kunci primer ,ap_id dan st_id. Tabel stasiun_pengamatan memiliki dua atribut yaitu st_id sebagai atribut kunci dan st_name. Tabel data_pengamatan memiliki sembilan atribut yaitu data_id sebagai atribut kunci primer, sa_id sebagai atribut kandidat kunci, file_name, file_size, file_date, file_modified_date, file_upload_date, file_path, file_url. Atribut kunci primer bertujuan menghindari data ganda atau dengan kata lain primary key menjadikan setiap baris data memiliki identitas yang berbeda. Setiap data pada tabel data_pengamatan memiliki rincian informasi file yaitu tanggal upload data, tanggal data terakhir dimodifikasi, tanggal masuknya informasi data ke dalam sistem ukuran data, tipe data, dan lokasi penyimpanan data dalam sistem (path dan url). Rancangan basis data parameter atmosfer BPD Pontianak memungkinkan menyimpan jenis alat pengamatan yang sama dapat dimiliki oleh beberapa stasiun, dalam istilah basis data disebut one-to-many. Terakhir tabel flag berfungsi sebagai parameter pada saat pengecekan data. Basis data relasional BPD Pontianak Gambar 5 adalah hasil finalisasi dan uji coba/deploy database. Proses konfigurasi basis data hasil pengamatan parameter atmosfer pada server. Proses ini dilakukan dengan melibatkan TCP/IP, port, dan username root. Proses konfigurasi merupakan tahap akhir pemasangan rancangan basis data hasil pengamatan parameter atmosfer BPD Pontianak. Rancangan basis data relasional BPD Pontianak telah terpasang pada mesin server data pengamatan. KESIMPULAN Telah dikembangkan sistem bank data RDSA untuk data hasil pengamatan MAWS, AWS, Disdrometer, Ozon dan CO 2 dari BPD Pontianak menjadi basis data yang disimpan di server data pengamatan. Integrasi teknologi shell scripting, RDBMS SQL Server dan MySQL Workbench digunakan untuk menata struktur file data ke dalam direktori khusus.
Siti Maryam dan Ahmad Zulfiana Utama
Gambar 2. Struktur Folder Data Hasil Pengamatan Parameter, Ozon, CO 2 , MAWS Disdrometer Pada RDSA
Gambar 3. Teknologi Shell Scripting (a), Struktur Penataan Folder Data Hasil Pengamatan (b)
Gambar 4. Diagram Entity Relationship (E-R) basis data BPD Pontianak Prosiding SNSA 2015 – Halaman 245
Siti Maryam dan Ahmad Zulfiana Utama
Gambar 5. Deploy Database Pada Mesin Server Data Pengamatan
Melalui tahap uji scripting dan deploy database maka data hasil pengamatan MAWS, AWS, Disdrometer, Ozon dan CO 2 dari BPD Pontianak diharapkan akan memudahkan pengintegrasian dengan basis data atmosfer Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Team RDSA Bidang Teknologi Pengamatan Pusat Sains Antariksa LAPAN dan Bapak Jiyo,MSi. Peneliti Pusat Sains Antariksa Lapan, yang telah memberikan pembimbingan dalam penulisan. Team RDSA Bidang Teknologi Pengamatan Pusat Sains Antariksa DAFTAR PUSTAKA 1
Qu, T, 2001. Database Security In Assets of Companies, Seminar On Network Security 2001, ISBN 951-22-5807-2 2 Bertino, E, ShanduR, Fellow,2005.IEEE, Database Security—Concepts, Approaches, and Challenges, IEEE Transactions on Dependable and Secure Computing. Vol.2, No.1, Januari-March 2005. 3 https://rdsa.bdg.lapan.go.id//, diakses tanggal 11 Februari 2015 4 Elyyani, Siti M, Ahmad Z, 2014. Laporan Program Inhouse Pengembangan Sistem Basis Data Antariksa. Pusat Sains Antariksa, LAPAN. 5 http://bisma.sains.lapan.go.id//,diakses tanggal 17 Februari 2015. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 246
6
http://mysqlworkbench.org/, diakses 15 Maret 2015 7 http://www.mysql.com/, diakses tanggal 5 Maret 2015 8 Suehring, S,2002,MySQL™ Bible, Wiley Publishing, New York, ISBN: 0-7645-4932-4, 2002 9 Rahardja, U, Muhammad Y, Eko P, 2010. Penerapan Arsitektur Three-Tier Terhadap Optimalisasi Keamanan Distributed Database. SNATI,Yogyakarta, ISSN: 19075022 10 Chris, S, Thomas M, Michael S, 2011. Pro PHP Security, Form Application Security Principless To The Implementation of XSS Defenses, Appress, ISBN-13 (pbk): 978-14302-3318-3 ISBN-13 (electronic): 978-14302-3319-0 11 Ying, B, 2011. Practical Database Programming with Visual Basic. IEEE PRESS, IEEE PRESS, A John Wiley & Sons, Inc. Publication, ISBN 978-1-118-16205-7 (pbk.) 12 Sudianto, H, Yudi H, Kasim W. The Essential Bussiness Intelligence In Microsoft SQL Server 2008, Indonesia. NET Developer Community, User Group Indonesia
Sumaryati dan Ginaldi Ari N.
KONSENTRASI CO 2 PERMUKAAN SEBAGAI FUNGSI RADIASI MATAHARI DI BANDUNG SURFACE CO 2 CONCENTRATION AS FUNCTION OF SOLAR RADIATION IN BANDUNG Sumaryati dan Ginaldi Ari Nugroho Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173 Pos-el:
[email protected] [email protected] ABSTRACT Photosynthesis is a chemical reaction that absorb CO 2 from the atmosphere emitted by respiration and combustion of the fuel. The photosynthesis reaction uses solar radiation energy. Therefore, there is a correlation between solar radiation and CO 2 absorption in the atmosphere, that can be detected in CO 2 concentrations change in the atmosphere. This paper studies how the correlation between CO 2 concentration and solar radiation in Bandung. The data used in this paper is CO 2 surface concentration that the instrument is developed LAPAN CO 2 and global radiation data using automatic weather station (AWS). The results show that differences between maximum concentration that occurred closed the early morning and minimum concentration that occurred in mid day is about 17% of the daily average concentrations. Effective process of photosynthesis reaction occurs in the morning until noon that showed dc/dt < 0. During the observation period, the CO 2 daily concentration has not seen a yearly specific pattern, because of daily radiation energy. Keywords: CO 2 , photosynthesis, respiration, solar radiation ABSTRAK Fotosintesa merupakan reaksi kimia yang mampu menyerap CO 2 dari atmosfer yang dihasilkan oleh respirasi dan pembakaran bahan bakar.Reaksi fotosintesa dalam prosesnya menggunakan energi radiasi matahari. Oleh karena itu ada keterkaitan antara radiasi matahari dengan hasil penyerapan CO 2 di atmosfer, yang dapat dilihat pada perubahan konsentrasi CO 2 di udara ambien. Makalah ini mengkaji bagaimana keterkaitan konsentrasi CO 2 dengan intensitas radiasi matahari di Bandung. Data yang digunakan adalah data pengamatan CO 2 permukaan yang dikembangkan LAPAN dan data radiasi global dengan Automatic Weather Station (AWS). Hasilnya menunjukkan perbedaan konsentrasi maksimum yang terjadi menjelang pagi hari dan konsentrasi minimum pada siang hari sekitar 17 % dari konsentrasi rata-rata harian. Proses fotosintesa sangat efektif terjadi pada pagi hari sampai siang hari dengan ditandai dc/dt < 0. Selama periode pengamatan, konsentrasi CO 2 harian belum terlihat membentuk pola tahunan tertentu, karena energi radiasi harian dalam setahun juga demikian. Kata kunci: CO 2 , fotosintesa, respirasi, radiasi matahari
PENDAHULUAN Gas CO 2 merupakan gas rumah kaca yang tidak termasuk dalam polutan karena efek toksiknya rendah.1 Meskipun efek rumah kaca paling kecil di antara gas rumah kaca lain, tetapi kontribusi dalam pemanasan global di atmosfer paling besar karena kelimpahannya yang sangat besar di atmosfer. Pembahasan gas rumah kaca difokuskan pada gas CO 2 yang karena cenderung naik. Gas CO 2 dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar dan pernafasan, serta oksidasi gas CO dan hidrokarbon di troposfer. Sumber CO 2 dari pernafasan berasal dari semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, dan tumbuhan yang
dilakukan sepanjang waktu. Penyerapan gas CO 2 dapat terjadi di atmosfer melalui reaksi fotosintesa tumbuhan berkhlorofil, melalui difusi dalam air laut, pencucian oleh air hujan, dan reaksi kimia dengan CaSiO 3 di permukaan tanah.2 Dari berbagai proses tersebut yang paling dominan dalam siklus CO 2 adalah proses reaksi fotosintesa dan pembakaran bahan bakar serta pernafasan. Laju proses fotosintesa tumbuhan-tumbuhan hijau ditentukan oleh faktor internal tumbuhan dan eksternal. Faktor internal tumbuhan meliputi jenis dan kondisi fisiologis tumbuhan. Berdasarkan tipe fotosintesa, tanaman dibagi menjadi tiga, yaitu C3, C4, dan CAM.3 Kondisi tumbuhan (sehat atau berpenyakit) dan umur Prosiding SNSA 2015 – Halaman 247
Sumaryati dan Ginaldi Ari N.
tumbuhan (tunas atau tua) juga memiliki kemampuan berfotosintesa yang berbeda. Banyak faktor yang mempengaruhi laju proses fotosintesa, seperti ketersediaan bahan nutrisi fotosintesa terutama air, serangan hama penyakit, dan radiasi matahari sebagai energi untuk berlangsungnya proses fotosintesa. Reaksi fotosintesa yang menyerap CO 2 di atmosfer dapat terjadi jika ada radiasi matahari. Tidak semua spektrum radiasi dibutuhkan dalam proses fotosintesa. Spektrum radiasi yang sesuai untuk kebutuhan fotosintesa disebut photosynthetically active radiation (PAR) berada pada rentang panjang gelombang antara 400 – 700 nm, yang mana rentang panjang gelombang itu masuk dalam spektrum cahaya tampak. Reaksi fotosintesa dituliskan sebagai berikut :4 6 CO 2 + 6 H 2 O + hυC 6 H 12 O 6 + 6 O 2 hυ adalah energi radiasi matahari. Selain fotosintesa, tumbuhan dan juga makhluk hidup lainnya melakukan proses pernafasan, yang mana dalam proses pernafasan ini ada bagian yang membakar karbohidrat. Pembakaran karbohidrat ini bertujuan untuk mendapatkan energi, yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesa, reaksinya sebagai berikut. C 6 H 12 O 6 + 6 O 2 6 CO 2 + 6 H 2 O + energi Selisih antara CO 2 yang diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesa dengan CO 2 yang diemisikan melalui proses respirasi yang tersimpan pada pertumbuhan tanaman itu sendiri, bisa berupa akar, batang, dedaunan maupun hasil panenan dari tanaman seperti buah dan bijibijian. Oleh karena itu hasil panenan juga dipengaruhi oleh radiasi matahari yang merupakan energi fotosintesa.5 Simpanan CO 2 dalam tanaman ini merupakan CO 2 yang diemisikan oleh pembakaran bahan bakar, terutama bahan bakar fosil dan gas. CO 2 juga dihasilkan dari oksidasi CO di atmosfer, melalui rangkaian reaksi yang panjang. Pada proses oksidasi ini juga melibatkan energi radiasi matahari. Jika kondisi troposfer kotor oksidasi CO menjadi CO 2 menyerap oksigen dan menghasilkan ozon, dan sebaliknya jika kondisi troposfer bersih oksidasi mengurangi ozon dan menghasilkan oksigen.6 Kontribusi ini sangat kecil karena orde CO hanya sekitar 1 ppm, sedangkan CO 2 sekitar 400 ppm. Radiasi matahari sebagai energi proses fotosintesa dan oksidasi CO di atmosfer, intensitasnya tergantung waktu dan lokasi. Secara temporal, intensitas radiasi matahari memiliki siklus harian dan tahunan. Oleh karena itu Prosiding SNSA 2015 – Halaman 248
kecepatan reaksi fotosintesa tidak konstan, tetapi memiliki siklus baik harian maupun tahunan. Menurut beberapa penelitian CO 2 di lintang tinggi memiliki siklus harian dan tahunan, dengan konsentrasi maksimum harian terjadi pada pagi hari dan tahunan pada musim dingin menuju musim semi, sedangkan minimum harian terjadi pada siang hari dan minimum tahunan terjadi pada musim panas.7,8,9 Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh intensitas radiasi matahari sebagai energi fotosintesa terhadap konsentrasi CO 2 di Bandung sebagai daerah lintang rendah yang tidak memiliki empat musim.
METODOLOGI Konsentrasi CO 2 di atmosfer dipengaruhi oleh radiasi matahari sebagai energi untuk reaksi fotosintesa yang menyerap CO 2 dari atmosfer. Oleh karena itu konsentrasi CO 2 sangat dipengaruhi oleh intensitas radiasi matahari, yang mana ketika intensitas radiasi tinggi CO 2 menurun karena terjadi proses fotosintesa. Pengamatan CO 2 di Mauna Loa menunjukkan konsentrasi rendah terjadi setelah musim panas9 sedangkan secara harian konsentrasi rendah terjadi pada siang hari.8 Pengaruh radiasi matahari terhadap konsentrasi CO 2 di Bandung digunakan data yang digunakan adalah data konsentrasi CO 2 permukaan per menit dan per lima menit di Bandung (6°54` LS; 107°35`BT) tahun 2009 – 2014. Pola harian CO 2 dirata-ratakan konsentrasi CO 2 pada jam yang sama. Pola tahunan dibuat rata-rata harian pada hari yang sama. Rata-rata harian merupakan rata-rata dalam pengamatan selama satu hari yang datanya dengan kekosongan data kurang dari 20 %. Pola CO 2 dikaji berdasarkan pola radiasi matahari harian dan tahunan yang diukur di Bandung dengan menggunakan Automatic Weather Station (AWS). Panjang siang sebagai waktu proses fotosintesa diperhitungkan berdasarkan posisi lintang di Bandung sepanjang tahun dengan persamaan berikut:
cos (θ ) = sin(δ ) sin(φ ) + cos(δ ) cos(φ ) cos(ω ) (1) dengan θ adalah sudut zenith matahari yaitu sudut antara garis vertikal dan arah datangnya sinar matahari, δ adalah sudut deklinasi matahari yaitu pergeseran posisi gerak semu matahari mengelilingi bumi dari katulistiwa, φ adalah derajat lintang posisi Bandung (6°54` LS = -6,9
Sumaryati dan Ginaldi Ari N.
°) dan ω adalah sudut jam matahari yang mana 15° setara dengan satu jam dan dengan acuan pada jam 12.00 waktu matahari sama dengan 0°. Sudut deklinasi (δ) dirumuskan berikut:
284 + N 365
δ = 23,45 sin
(2)
Jika cos sudut θ sama dengan nol maka sudut θ bernilai 90° atau -90° berarti posisi matahari terbit atau terbenam. Untuk cos sudut θ= 0, maka persamaan (1) bisa dituliskan berikut
sin(δ ) sin(φ ) cos(δ ) cos(φ ) = − tg (δ ) tg (φ )
(a)
cos(ωcos(θ )=0 ) = −
(3)
Lama siang hari suatu lokasi berarti dua kali persamaan (3) di atas dengan mengkonversi sudut jam matahari, dengan persamaan berikut ini: lama siang (derajat ) = 2 cos(ω cos(θ )=0 ) (4) lama siang (menit ) = 15 menit x 2 cos(ω cos(θ )=0 )
(5)
Pada kajian ini diasumsikan bahwa emisi CO 2 dari pembakaran bahan bakar fosil konstan serta oksidasi CO ke CO 2 sangat kecil sehingga tidak berpengaruh dalam dinamika perubahan konsentrasi CO 2 di atmosfer. HASIL DAN PEMBAHASAN Radiasi matahari sebagai energi proses fotosintesa memiliki siklus harian dan tahunan. Siklus radiasi matahari global harian memiliki pola seperti setengah sinusoida, tetapi kondisi ini sangat jarang dijumpai di Bandung. Hampir setiap hari sinar matahari terhalang awan, sehingga intensitas radiasi global polanya menjadi tidak beraturan (Gambar 1a). Rata-rata harian radiasi global matahari dalam tanggal yang sama dalam satu tahun tidak memiliki pola yang mengikuti jarak matahari bumi maupun sudut deklinasi matahari karena pada saat potensi intensitas radiasi global tinggi Bandung sedang musim hujan yang relatif banyak awan.10 Ratarata harian radiasi global di Bandung disajikan dalam Gambar 1b.
(b) Gambar 1 Radiasi matahari di Bandung dalam pola harian (a) dan tahunan (b)
Berlangsungnya proses fotosintesa harus ada radiasi matahari, yang berarti proses berlangsungnya fotosintesa dipengaruhi oleh panjang siang hari. Perhitungan potensi lama siang hari di Bandung disajikan pada Gambar 4.2. Lama siang hari di daerah lintang rendah seperti Bandung dengan posisi lintang 6°54` LS sekitar 12 jam, paling lama hanya 12 jam 24 menit dan paling pendek 11 jam 36 menit. Hal itu berbeda dengan dilintang tinggi yang siangnya dapat sepanjang hari ataupun malam sepanjang hari. Tidak semua radiasi matahari tersebut digunakan dalam fotosintesa, hanya yang termasuk dalam spektrum cahaya tampak yang disebut photosynthetically active radiation (PAR) sebagaimana dijelaskan di atas yang digunakan dalam fotosintesa. Perbandingan nilai PAR terhadap radiasi global ini besarnya tidak tetap, tetapi tergantung posisi lintang yang mana semakin dekat ekuator nilai perbandingan nilai PAR terhadap radiasi global semakin besar.11
Gambar 2 Potensi lama siang hari di Bandung
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 249
Sumaryati dan Ginaldi Ari N.
Proses fotosintesa menggunakan energi matahari, maka hanya terjadi pada siang hari saja. Sedangkan respirasi terjadi baik siang maupun malam. Berdasarkan asumsi bahwa emisi CO 2 dari pembakaran bahan bakar konstan sepanjang hari dan oksidasi CO menjadi CO 2 di troposfer berkontribusi sangat kecil, maka pola harian CO 2 di troposfer ini ditentukan oleh laju fotosintesa. Pola harian konsentrasi CO 2 di Bandung ditunjukkan pada Gambar 4.3. Konsentrasi CO 2 yang tinggi pada pagi hari merupakan akumulasi emisi pada malam hari. Ketika matahari terbit, terjadi fotosintesa yang menyerap CO 2 tersebut. Penyerapan CO 2 karena proses fotosintesa lebih besar dari pada emisi CO 2 baik oleh respirasi dan pembakaran bahan bakar jika dc/dt < 0, dengan dc/dt adalah penurunan konsentrasi terhadap waktu. Nilai dc/dt < 0 terjadi pada pagi hari sampai siang hari, yang berarti laju proses fotosintesa pada saat ini terjadi sangat tinggi sehingga mampu menyerap CO 2 di atmosfer yang diemisikan dari pembakaran bahan bakar. Meskipun sore intensitas radiasi masih tinggi, tetapi dc/dt > 0, yang berarti fotosintesa tidak lagi mampu mengimbangi emisi CO 2 dari pembakaran bahan bakar. Antara CO 2 di atmosfer dengan laju fotosintesa terjadi keseimbangan. Konsentrasi CO 2 yang tinggi di atmosfer menunjukkan laju fotosintesa yang cepat, yang dampaknya telah diamati Gray, et al. (2014) dengan kenaikan produktifitas hasil pertanian.14 Ketika konsentrasi CO 2 di atmosfer tinggi laju fotosintesa berlangsung cepat, sehingga CO 2 di atmosfer cepat menurun sebagaimana terjadi pada pagi hari.12 Ketika CO 2 rendah laju fotosintesa pun melambat sehingga sehingga penyerapan CO 2 dari fotosintesa tidak mampu mengimbangi dari emisinya yang terjadi pada sore hari.
sekitar 17 % dari rata-rata konsentrasi harian. Perbedaan antara konsentrasi maksimum dan minimum karena pada malam hari tidak ada proses fotosintesa dan kejadian inversi yang kuat di Bandung. Kuatnya inversi di Bandung pada malam hari menyebabkan CO 2 yang diemisikan pada malam cenderung mengendap di permukaan.13 Perbedaan nilai maksimum dan minimum konsentrasi CO 2 di Bandung ini masih rendah dibanding di daerah rural yang mencapai 20 %.14 Perbedaan yang kecil ini karena daerah rural lahan hijaunya masih luas dengan banyak pepohonan, sedangkan di Bandung merupakan daerah perkotaan yang mana lahan hijaunya sudah sangat sedikit. Oleh karena itu proses fotosintesa yang menyerap CO 2 dari atmosfer sekitar lokasi pengamatan di Bandung relatif kecil.
Gambar 4 Rata-rata konsentrasi CO 2 harian di Bandung
Rata-rata harian CO 2 untuk tanggal yang sama ditunjukkan pada Gambar 4.4. Variasi CO 2 tahunan di Bandung tidak nampak membentuk pola tahunan yang mengikuti posisi matahari yang terukur dari jarak posisi matahari bumi dan sudut deklinasi matahari, sebagaimana terlihat pada pola CO 2 di daerah lintang tinggi.7,8 Salah satu penyebabnya adalah pola radiasi matahari tahunan di Bandung juga tidak membentuk pola yang mengindikasikan posisi matahari. Kondisi ini dikarenakan posisi Bandung pada lintang 6°54` yang menyebabkan durasi siang hari sepanjang tahun hampir sama dan potensi awan lebih besar yang selalu menghalangi sinar matahari ketika potensi radiasi matahari tinggi. KESIMPULAN
Gambar 3 Pola harian konsentrasi CO 2 di Bandung
Berdasarkan Gambar 3 dapat diperhitungkan perbedaan nilai maksimum dan minimum konsentrasi CO 2 di Bandung yaitu nilainya Prosiding SNSA 2015 – Halaman 250
Pola harian CO 2 maksimum pada pagi hari menjelang matahari terbit dan minimum pada siang hari setelah matahari melewati titik kulminasi. Perbedaan antara konsentrasi maksimum dan minimum di Bandung sebagai daerah urban sekitar 17% lebih rendah dari pada daerah rural yang mencapai 20 %. Laju fotosintesa sangat cepat terjadi dari matahari
Sumaryati dan Ginaldi Ari N.
terbit sampai matahari melewati titik kulminasi. Lama siang yang hampir sama sepanjang tahun, adanya penutupan awan diduga faktor yang menyebabkan CO 2 harian sepanjang tahun tidak membentuk pola yang spesifik, sebagaimana terjadi di lintang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimkasih kepada Bapak Chunaeni L dan Bapak Asif yang telah mengembangkan sistem pemantau CO 2 di PSTA – LAPAN. DAFTAR PUSTAKA 1
Langford dan J. Nigel , 2005. Toxicological Reviews, 24 (4), 2005 , pp. 229-235). 2 Nio Son, 2012. Evolusi Fotosintesis pada Tumbuhan. Jurnal Ilmiah Sains, Vol 12, No 1 3 Weise S.E., K. J. van Wijk dan T. D. Sharkey, 2011. The role of transitory starch in C3, CAM, and C4 metabolism and opportunities for engineering leaf starch accumulation Journal of Experimental Botany, Vol. 62, No. 9, , doi:10.1093/jxb/err035 pp. 3109–3118 4 Mõttus M., M. Sulev, F. Baret, R. LopezLozano, A. Reinart, 2012. Photosynthetically Active Radiation: Measurement and Modeling Encyclopedia of Sustainability Science and Technology. Dalam R. Mayers (Ed). Encyclopedia of Sustainability Science and Technology:7902-7932 Springer 5 Klaring H.P., dan A. Krumbein, 2012. The Effect of Constraining the Intensity of Solar Radiation on the Photosynthesis, Growth, Yield and Product Quality of Tomato. Jurnal Agronomy and Crop Science Vol. 199 (5) doi:10.1111/jac.12018, pp 351–359 6 Crutzen P.J., M. G. Lawrence, dan U. Pöschl, 1999. On the background photochemistry of tropospheric ozone. Tellus Volume 51, DOI: 10.1034/j.1600-0889 pp 123–146 7 Miyaoka Y., H. Y. Inoue, Y. Sawa, H Matsueda, S. Taguchi. 2007. Diurnal and seasonal variations in atmospheric CO2 in Sapporo, Japan. Jurnal Anthropogenic sources and biogenic sinks Geochemical, Vol. 41, pp. 429436 8 Griffin Climatology, (http://www.geos.ed.ac.uk/abs/research/micro met/Current/griffin/climate/, diakses 5 Maret 2015) 9 Trends in Atmospheric Carbon Dioxide, (http://www.esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/, diakses 5 Maret 2015)
10
Sumaryati dan Saipul Hamdi, 2010. Potensi Radiasi Matahari di bandung sebagai alternative reduksi emisi CO 2 , Prosiding Seminar Nasional Sains Atmosfer I LAPAN, Bandung 11 Sudhakar K., T. Srivastava, G. Satpathy dan M. Premalatha, 2013. Modelling and estimation of photosynthetically active incident radiation based on global irradiance in Indian latitudes, International Journal of Energi and Environmental Engineering 4:21, doi:10.1186/2251-6832-4-21 12 Gray J.M., Steve Frolking, Eric A. Kort, Deepak K. Ray, Christopher J. Kucharik, Navin Ramankutty, Mark A. Friedl, 2014. Direct human influence on atmospheric CO 2 seasonality from increased cropland productivity. Nature, DOI: 10.1038/nature13957 2014; 515 (7527): 398 13 Sumaryati, 2011. Polusi Udara di Kawasan Cekungan Bandung, Berita Dirgantara 12 (3): 83 - 89 14 Pérez I.A., I.A., M. L. Sánchez, M. Á. García, N. Pardo, 2012. Analysis of CO 2 daily cycle in the low atmosphere at a rural site. Science of Environment Volume 431, pp: 286–29
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 251
Suwarsono, dkk.
KARAKTERISTIK REFLEKTANSI DAERAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (BURNED AREA) DARI DATA LANDSAT-8 OPERATIONAL LAND IMAGER REFLECTANCE CHARACTERISTICS OF THE BURNED AREA FROM LANDSAT-8 OPERATIONAL LAND IMAGER Suwarsono, Yenni Vetrita, Parwati, M. Priyatna, M.Rokhis Khomarudin Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Land and forest fires will leave the burned area. This area is characterized by the presence of traces of burning of biomass such as charcoal, ash, and soil are exposed to the surface. Assessment of the burned area is necessary, because this data is needed, especially for the purposes of post-disaster rehabilitation and reconstruction. This study tries to identify the burned area by spectral characteristics of optical data Landsat-8 OLI (Operational Land Imager). The methodology developed through several stages, namely the selection of images, reflectance calculation, generating the color composite image Red Green Blue, making the training sample, as well as statistical analysis of the reflectance values of pixels burned area, which includes analysis of the pixel values of the pre-fire, post-fire and changes (the difference in value before and after the fire), as well as analysis of separability. This study concluded that the fires will cause a decrease in reflectance in the visible spectrum value for channel 1 (blue), 2 (blue), and 3 (green). The greatest decline occurred on near infrared (NIR). The fires will also increase the value of SWIR reflectance, ie, channels 6 and 7. While on channel 4 (red) and 9 (cirrus), did not show significant changes. Channel 7 (SWIR Long) and 5 (NIR) have the highest separability. By using a combination of both channels can be derived formulas Normalized Burn Ratio of Landsat-8. Keywords: Landsat-8 OLI, reflectance, forest/land fire, burned area ABSTRAK Kebakaran hutan dan lahan akan menyisakan daerah bekas-bekas kebakaran (burned area). Daerah ini ditandai oleh adanya sisa-sia pembakaran dari biomassa seperti arang, abu, dan tanah yang tersingkap ke permukaan. Asesmen burned area sangat diperlukan, karena data ini sangat dibutuhkan, khususnya untuk keperluan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Penelitian ini mencoba untuk mengenali burned area berdasarkan karakteristik spektralnya dari data optis Landsat-8 OLI (Operational Land Imager). Metodologi disusun melalui beberapa tahapan, yaitu pemilihan tanggal perekaman citra, penurunan nilai reflektansi, pembuatan citra komposit warna Red Green Blue, pengambilan training sample, serta analisis statistik nilai reflektansi piksel burned area, yang meliputi analisis nilai piksel pre-fire, post-fire dan perubahannya (selisih nilai sebelum dan setelah kebakaran), serta analisis separabilitas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa peristiwa kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan penurunan nilai reflektansi pada spektrum tampak untuk kanal 1 (blue), 2 (blue), dan 3 (green). Penurunan paling besar terjadi kanal inframerah dekat (NIR). Proses kebakaran juga akan meningkatkan nilai reflektansi kanal-kanal SWIR, yaitu kanal 6 dan 7. Pada kanal 4 (merah) dan 9 (cirrus), tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Separabilitas paling tinggi dalam memisahkan daerah terbakar (burned area) dan tidak terbakar (unburned area) dimiliki oleh kanal 7 (SWIR Long) dan 5 (NIR). Dengan menggunakan gabungan kedua kanal tersebut dapat diturunkan rumusan Normalized Burn Ratio dari Landsat-8. Kata kunci: Landsat-8 OLI, reflektansi, kebakaran hutan/lahan, burned area.
PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan telah seolah-olah melekat sebagai peristiwa bencana yang rutin terjadi di wilayah Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan.Peristiwa kebakaran hutan dan lahan akan merubah kondisi permukaan lahan dimana sebelumnya berupa lahan yang Prosiding SNSA 2015 – Halaman 252
didominasi oleh vegetasi menjadi tanah-tanah terbuka beserta arang dan abu yang tersisa. Kondisi demikian tentu saja akan berkontribusi pada terjadinya degradasi hutan dan lahan, merusak ekosistem, mempengaruhi keanekaragaman hayati serta meningkatkan emisi karbon.1
Suwarsono, dkk.
Informasi mengenai luas dan sebaran spasial daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) sangat dibutuhkan, terutama oleh pemerintah dalam mendukung upaya-upaya rehabilitasi lahan. Selain itu, dalam dalam estimasi jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer akibat kebakaran biomassa, informasi ini sangat dibutuhkan dan merupakan parameter kunci.2 Untuk memperoleh informasi burned area secara langsung di lapangan memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga dianggap tidak efisien. Dengan demikian, dibutuhkan suatu sains dan teknologi untuk mengatasi permasalahan ini, yang salah satunya adalah dengan memanfaatkan sains dan teknologi penginderaan jauh.3 Tren dan perkembangan sains dan teknologi penginderaan jauh tidak terlepas dari ketersediaan data yang direkam dari suatu wahana dan sensor. Dengan kehadiran data citra Landsat-8 yang telah tersedia secara meluas membuka peluang dalam pemanfaatannya untuk memberikan informasi burned area ini. Penelitian ini mencoba untukmengkaji potensi pemanfaatan suatu data citra penginderaan jauh untuk aplikasi tertentu, yaitu mengenai burned area. Yang pertama kali yang perlu dikaji adalah pemahaman mengenai karakteristik spektral (masing-masing kanal), respon spektral terhadap suatu obyek serta perubahannya, serta kemampuannya dalam membedakan obyek satu dengan obyek lainnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji karakteristik nilai reflektansi piksel-piksel burned area dari data Landsat-8 Operational Land Imager. Landsat-8 merupakan satelit yang dikembangkan oleh NASA, USGS, Orbital Science Corp., Ball Aerospace & Technology Corp., dan NASA Goddard Space Flight Center . Satelit ini merupakan generasi paling baru dalam seri satelit Landsat, dan diluncurkan pada 11 Februari 2013).4 Keunggulan yang dimiliki Satelit Landsat-8 dibandingkan generasi sebelumnya adalah muatan sensor yang dibawanya, yaitu terdiri dari sensor Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) yang dirancang untuk menyempurnakan sensor pada satelit Landsat-7 ETM+.5 Tabel 1 berikut menyajikan perbandingan spektral kanal OLI dari Landsat-8 dan ETM+ dari Landsat7.Landsat-8 OLI kanal 1 hingga 4 masuk ke dalam spektrum tampak, kanal 5 merupakan masuk spektrum NIR, serta kanal 6 hingga 7 masuk ke dalam spektrum SWIR. Memperhatikan karakteristik spektral kanal-kanal OLI tersebut, maka secara teoritis dapat dipahami
bahwa data ini dapat dipergunakan untuk mendeteksi obyek-obyek air, vegetasi, serta tanah-tanah terbuka. Tabel 1.Perbandingan spektral kanal OLI and ETM+.5 Bands 1 2 3 4 5 6 7 8 9
OLI Band with (µm) 0,433 – 0,453 0,450 – 0,515 0,525 – 0,600 0,630 – 0,680 0,845 – 0,885 1,560 – 1,660 2,100 – 2,300 0,500 – 0,680 1,360 – 1,390
GSD (m) 30
Bands
30
1
30
2
30
3
30
4
30
5
30
7
15
8
30
ETM+ Band with (µm) 0,450 0,515 0,525 0,605 0,630 0,690 0,775 0,900 1,550 1,750 2,090 2,350 0,520 0,900
GSD (m) 30
–
30
–
30
–
30
–
30
–
30
–
30
–
15
Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (burned area) Burned area merupakan sebagai daerah di permukaan bumi yang menunjukkan ciri-ciri telah mengalami peristiwa terbakar akibat prosesproses alami atau terbakar oleh manusia baik disengaja atau tidak dimana pada daerah tersebut sebelumnya merupakan lahan yang didominasi oleh tutupan vegetasi hutan maupun vegetasi non hutanseperti semak, belukar, perkebunan, ladang atau tegalan).6 Dalam konteks kebakaran, burned area berbeda dengan hotspot. Hotspot merupakan suatu daerah di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan daerah di sekitarnya berdasarkan ambang batas suhu tertentu. Hotspot hanyalah merupakan indikasi potensi akan terjadinya kebakaran, sehingga belum tentu akan terjadi kebakaran.6 Penelitian terkait pemanfaatan data citra penginderaan jauh satelit untuk identifikasi burned area sudah sering dilakukan oleh banyak ahli, terutama peneliti-peneliti luar negeri. Metode yang dilakukan umumnya menggunakan analisis deteksi perubahan nilai piksel (change detection), yaitu dengan membandingkan kondisi sebelum terbakar (pre-fire) dan setelah terbakar (post-fire). Parameter yang dipergunakan meliputi indeks vegetasi, indeks kebakaran maupun nilai reflektansi itu sendiri.7 NDVI merupakan indeks vegetasi yang paling umum dipergunakan, seperti yang telah dilakukan oleh Martin & Chuvieco,8 Fraser et Prosiding SNSA 2015 – Halaman 253
Suwarsono, dkk.
al.9, Roy et al.10, Fraser et al.11, Goetz et al.12, Li et al.13, Kasischke & French14, Lloret et al.15, Salvador et al.16 dan Suwarsono et al.17 Indeks NBR (Normalized Burn Ratio) merupakan indeks kebakaran yang paling umum digunakan, seperti yang telah dilakukan oleh Suwarsono et al.6, Suwarsono et al.18, Key and Benson19, Epting et al.20, Cocke et al.21, Wagtendonk et al.22, Eidensink et al.23, dan Brewer et al.24. Penelitian ini dilakukan sebagai tahapan awal untuk memahami respon spektral kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek-obyek burned area. Belum banyak penelitian yang mencoba mengkaji pemanfaatan jenis data yang dapat dikatakan masih relatif baru ini untuk identifikasi burned area. Dengan demikian, kajian mengenai karakteristik reflektansi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) dari data Landsat8 Operational Land Imager menjadi sangat penting untuk dilakukan.
karakteristik setelah terbakar. Level data citra yang dipergunakan adalah Level 1T, yaitu data yang sudah terkoreksi secara radiometrik (L1R) danterkoreksi geometrik sistematik, menggunakan Ground Control Points (GCPs) atau informasi posisi onboard untuk me-resample data citra untuk proses registrasi ke suatu proyeksi kartografik, dengan referensi WGS 84, G873 atau versi saat ini. Data citra L1T juga sudah terkoreksi secara terrain terhadap pergeseran relief (relief displacement).25
METODOLOGI Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Provinsi Riau (sebagian wilayah). Lokasi yang dipilih merupakan daerah yang banyak dijumpai lokasilokasi kebakaran hutan dan lahan. Menyesuaikan dengan cakupan liputan citra Landsat-8, daerah yang dipilih adalah wilayah Provinsi Riau yang masuk liputan citra (scene) path/row 126/059, dengan ukuran sekitar 185 km x 185 km. Liputan tersebut mencakup seluruh P. Bengkalis, P. Padang, P. Rangsang, P. Tebing Tinggi, pulaupulau kecil di sekitarnya dan sebagian Riau daratan. Secara administratif, lokasi penelitian masuk ke dalam empat wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bengkalis, Siak, Kepulauan Meranti, dan Pelalawan.Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian. Data Penelitian ini menggunakan data Landsat-8 kanal-kanal OLI resolusi 30 meter (band 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9), path/row 126/059 yang merekam lokasi penelitian. Diperlukan paling tidak 2 (dua) tanggal perekaman dalam penelitian untuk memahami karakeristik reflektansi suatu daerah yang mengalami perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Dalam hal ini adalah untuk memahami karakteristik reflektansi suatu daerah setelah mengalami kebakaran hutan dan lahan.Tanggal citra yang dipilih yaitu tanggal 28 Januari 2014 dan 21 Juni 2014.Tanggal pertama untuk mengetahui karakteristik sebelum terbakar, sedangkan tanggal kedua untuk memahami Prosiding SNSA 2015 – Halaman 254
Gambar1.Lokasi penelitian (kotak warna biru) yang mencakup seluruh P. Bengkalis, P. Padang, P. Rangsang, P. Tebing Tinggi, pulau-pulau kecil di sekitarnya dan sebagian Riau daratan
Pengolahan dan Analisis Data Metode penelitian yang dibangun meliputi pengolahan data dan analisis data.Tahapan pengolahan data meliputi; 1) Perhitungan nilai reflektansi (konversi dari nilai kecerahan brightness value menjadi reflectance; 2) Pembuatan citra komposit warna (RGB); 3) pengambilan training sampleburned area;4) Perhitungan statistik reflektansiburned area, dan 5) Perhitungan separabilitas perkanal. Konversi dari nilai Brightness Values (BV) ke Reflektansi Data Landsat-8 yang masih berupa nilai digital number (DN)perlu dikonversi ke dalam reflektansi. Nilai reflektansi disini adalah TOA planetary reflectance. Untuk mengkonversi menjadi nilai TOA planetary reflectance, menggunakan persamaan sebagai berikut:26
Suwarsono, dkk.
ρλ' = M ρ Q cal + A ρ
(1)
dimana ρλ' adalah TOA planetary reflectance (tanpa koreksi solar angle). M ρ adalah Bandspecific multiplicative rescaling factor diambil dari meta data (REFLECTANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah band number), A ρ adalah band-specific additive rescaling factor diambil dari metadata (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah band number), dan Q cal adalah quantized and calibrated standard product pixel values (DN). Kemudian, sun angle correction of TOA reflectance dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:26 =
memperhatikan tipe vegetasi penutup lahan sebelum terbakar. Perhitungan Statistik Training Sample Burned Area Perhitungan statistik terhadap sampel burned area meliputi nilai rerata (mean), standar deviasi (deviation standard), dan normalized distance (D-value). Perhitungan D-value dilakukan untuk mengetahui discrimination abilityatau separabilitas, yaitu kemampuan variabel (reflektansi per band Landsat-8) dalam memisahkan obyek (obyek burned area danunburned area). Perhitungan D-value mengacu rumusan yang ditulis oleh Kaufman & Remer.27 Nilai D-value> 1 menunjukkan bahwa band tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam memisahkan obyek. Persamaan 3 berikut dipergunakan untuk menghitung D-value.
= (2)
(3)
Dengan ρλ adalah TOA planetary reflectance, θ SE adalah local sun elevation angle. Sun elevation angle (dalam derajat) untuk pusat scene tersedia dalam file metadata (SUN_ELEVATION). θ SZ adalah local solar zenith angle, θ SZ = 90° - θ SE .
Dimana D adalah Normalized Distance, µ1 dan µ2 berturut-turut adalah nilai rerata sampel sebelum dan sesudah terbakar. σ1 dan σ2 berturut-turut adalah nilai standar deviasi sampel sebelum dan sesudah terbakar.
Pembuatan Citra Komposit Warna RGB
Hasil identifikasi dari citra Landsat-8 komposit RGB 654,ditemukan empat tipe vegetasi penutup lahan yang mengalami kebakaran hutan/lahan dan berubah menjadi burned area. Empat tipe vegetasi penutup lahan tersebut adalah: hutan (forest), semak/belukar (shrubland), ladang/tegalan (cropland), dan perkebunan (plantation). Burned area pada citra komposit RGB 654 tampak berwarna merah magenta. Gambar 3 memperlihatkan perubahan pada berbagai obyek vegetasi menjadi burned area beserta pola reflektansinya. Hasil perhitungan secara statistik diperoleh pemahaman secara umum bahwa terjadi perubahan nilai dan pola reflektansi pada masingmasing tipe vegetasi akibat proses kebakaran. Untuk vegetasi hutan, tampak terjadi penurunan nilai pada seluruh kanal-kanal tampak (visibel), kanal 1 (blue), 2 (blue), dan 3 (green). Rerata nilai penurunan reflektansi untuk kanal 1 hingga 3 berturut-turut adalah -0,028, -0,022, -0,024. Penurunan paling besar terjadi kanal inframerah dekat (NIR) yang mencapai -0,208. Pola sebaliknya terjadi pada kanal-kanal inframerah
Citra komposit warna menggunakan teknik pewarnaan RGB (Red Green Blue) dengan menempatkan kanal 6 (SWIR) pada layer Red, 5 (NIR) pada layer Green, dan 4 (Red) pada layer Blue. Komposisi ini akan menampilkan visualisasi warna alami (natural color), dimana vegetasi akan berwarna kehijauan, tanah berwarna coklat kemerahan, air berwarna kebiruan, awan berwarna putih, dan bayangan awan berwarna hitam.Gambar 2 berikut menampilkan visualisasi citra komposit warna RGB 654 dari Landsat-8. Pengambilan Training Sample Burned Area Pengambilan training sampel cropping citra pada piksel-piksel burned area merupakan tahapan yang sangat vital dalam memahami karakteristik spektral dari obyek burned area. Lokasi training sampel yang dipilih harus benar-benar homogen dan mewakili burned areauntuk seluruh populasi. Pengambilan sampel dilakukan secara acak berstrata (stratified random sampling) dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 255
Suwarsono, dkk.
gelombang pendek (Short Wave Infra Red), yaitu kanal 6 dan 7. Pada kedua kanal ini, terjadi peningkatan reflektansi masing-masing sebesar 0,083 dan 0,079. Untuk kanal merah (4) dan kanal Cirrus (9) tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Pola perubahan nilai reflektansi akibat peristiwa kebakaran pada lahan bervegetasi hutan tersebut juga mirip untuk tipe vegetasi lainnya yaitu semak/belukar, ladang/tegalan dan perkebunan. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa peristiwa kebakaran hutan dan lahan pada lahan-lahan bervegetasi akan mempengaruhi nilai dan pola reflektansi yang terekam oleh sensor satelit, khususnya sensor OLI pada Landsat-8. Peristiwa ini akan menyebabkan penurunan nilai reflektansi pada spektrum tampak untuk kanal 1 (blue), 2 (blue), dan 3 (green). Penurunan paling besar terjadi kanal inframerah dekat (NIR). Proses kebakaran juga akan meningkatkan nilai reflektansi kanal-kanal SWIR, yaitu kanal 6 dan 7. Sedangkan pada kanal 4 (merah) dan 9 (cirrus), tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Secara lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 sampai dengan Tabel 6 dan Gambar 4. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa burned area dari masing-masing tipe vegetasi memiliki nilai D-value yang bervariasi (Tabel 7). Secara lebih khusus diketahui bahwa untuk hutan dan perkebunan, separabilitas paling tinggi dimiliki oleh kanal 7. Sedangkan untuk semak/belukar dan ladang/tegalan, separabilitas paling tinggi dimiliki oleh kanal 5. Jadi secara umum, kanal 5 (NIR) dan 7 (SWIR Long ) memiliki separabilitas paling tinggi di antara kanal-kanal lainnya untuk dipergunakan dalam memisahkan burned area dan unburned area. Apabila dikombinasikan untuk memahami fenomena kebakaran hutan dan lahan, khususnya untuk deteksi burned area, dari kedua kanal tersebut dapat dirumuskan suatu formulasi indeks kebakaran, yaitu Normalized Burn Ratio (NBR) seperti yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Key and Benson,28 Martin et al.29 dan Bastarika et al.30 Rumusan NBR dari data citra Landsat-8 OLI tersebut adalah: (4) dimana NBR L merupakan Normalized Burn Ratio menggunakan band 5 dan 7 (SWIR Long), serta ρ5 dan ρ7 berturut-turut merupakan nilai reflektansi band 5 dan band 7. KESIMPULAN Prosiding SNSA 2015 – Halaman 256
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan pada lahanlahan bervegetasi akan mempengaruhi nilai dan pola reflektansi yang terekam oleh sensor satelit, khususnya sensor OLI pada Landsat-8. Peristiwa ini akan menyebabkan penurunan nilai reflektansi pada spektrum tampak untuk kanal 1 (blue), 2 (blue), dan 3 (green). Penurunan paling besar terjadi kanal inframerah dekat (NIR). Proses kebakaran juga akan meningkatkan nilai reflektansi kanal-kanal SWIR, yaitu kanal 6 dan 7. Sedangkan pada kanal 4 (merah) dan 9 (cirrus), tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Separabilitas paling tinggi untuk memisahkan burned area dan unburned area dimiliki oleh kanal 7 (SWIR Long) dan 5 (NIR). Dengan menggunakan gabungan kedua kanal tersebut dapat diturunkan rumusan Normalized Burn Ratio dari Landsat-8.
Band 4
Band 5
Band 6
RGB (654)
Gambar 2.Visualisasi citra komposit warna RGB 654 dari Landsat-8 pada lokasi penelitian (scene 126/059, citra tanggal akusisi 21 Juni 2014).
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Mahdi Kartasasmita dan Bapak Taufik Maulana atas segala bentuk diskusi beserta arahan dalam pengembangan riset pemanfaatan data optis untuk kebencanaan kebakaran hutan dan lahan.
Suwarsono, dkk. SEBELUM TERBAKAR
SETELAH TERBAKAR
POLA REFLEKTANSI
(a) Hutan
(b) Semak/Belukar
(c) Ladang/Tegalan
(e) Perkebunan
Gambar 3.Citra Landsat-8 OLI RGB 654 yang memperlihatkan perubahan pada berbagai obyek vegetasi menjadi burned area beserta pola reflektansinya.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 257
Suwarsono, dkk.
Tabel 2.Nilai reflektansi kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek penutup lahan hutan dan perubahannya setelah terbakar menjadi burned area Pre-fire Band Mean STD
1 0,154 0,006
2 0,128 0,006
3 0,104 0,007
4 0,073 0,005 Post-fire
5 0,350 0,060
6 0,122 0,025
7 0,047 0,010
9 0,005 0,001
Band Mean STD
1 0,127 0,007
2 0,105 0,009
3 0,080 0,011
5 0,142 0,037
6 0,204 0,041
7 0,126 0,023
9 0,001 0,001
Band Mean STD
1 -0,028 0,009
2 -0,022 0,010
3 -0,024 0,016
4 0,076 0,015 Changes 4 0,002 0,016
5 -0,208 0,092
6 0,083 0,056
7 0,079 0,025
9 -0,004 0,001
Tabel 3.Nilai reflektansi kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek penutup lahan semak belukar dan perubahannya setelah terbakar menjadi burned area Pre-fire Band
1
2
3
4
5
6
7
9
Mean
0,159
0,133
0,111
0,081
0,384
0,159
0,067
0,004
STD
0,006
0,006
0,006
0,009
0,054
0,038
0,028
0,001
Post-fire Band
1
2
3
4
5
6
7
9
Mean
0,124
0,102
0,075
0,070
0,131
0,195
0,124
0,001
STD
0,007
0,008
0,009
0,011
0,025
0,028
0,016
0,001
Changes Band
1
2
3
4
5
Mean
-0,035
-0,031
-0,036
-0,011
-0,253
0,036
0,058
-0,003
STD
0,011
0,012
0,013
0,016
0,059
0,039
0,024
0,001
6
7
9
Tabel 4. Nilai reflektansi kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek penutup lahan ladang/tegalan dan perubahannya setelah terbakar menjadi burned area Pre-fire Band
1
2
3
Mean
0,162
0,137
0,115
STD
0,010
0,010
0,008
4
5
6
7
9
0,083
0,387
0,167
0,069
0,006
0,009
0,022
0,026
0,017
0,001
Post-fire Band
1
2
3
4
5
6
7
9
Mean
0,128
0,106
0,080
0,073
0,142
0,209
0,138
0,001
STD
0,004
0,005
0,006
0,007
0,021
0,022
0,021
0,000
Changes Band
1
2
3
4
5
Mean
-0,035
-0,031
-0,035
-0,010
-0,245
0,043
0,070
-0,005
STD
0,008
0,008
0,007
0,010
0,030
0,026
0,016
0,001
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 258
6
7
9
Suwarsono, dkk.
Tabel 5. Nilai reflektansi kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek penutup lahan perkebunan dan perubahannya setelah terbakar menjadi burned area Pre-fire Band
1
2
3
4
5
6
7
9
Mean
0,166
0,141
0,111
0,087
0,289
0,115
0,050
0,008
STD
0,005
0,005
0,003
0,004
0,035
0,025
0,010
0,001
Post-fire Band
1
2
3
Mean
0,136
0,115
0,090
STD
0,005
0,005
0,005
4
5
6
7
9
0,090
0,168
0,243
0,145
0,001
0,007
0,018
0,017
0,009
0,000
Changes Band
1
2
3
Mean
-0,030
-0,026
-0,021
0,003
-0,121
0,128
0,095
-0,006
STD
0,003
0,003
0,005
0,007
0,038
0,032
0,012
0,001
4
5
6
7
9
Tabel 6. Nilai reflektansi kanal-kanal Landsat-8 OLI pada obyek penutup lahan bervegetasi (gabungan hutan, semak belukar, ladang/tegalan, dan perkebunan) dan perubahannya setelah terbakar menjadi burned area Pre-fire Band
1
2
3
Mean
0,157
0,131
0,106
STD
0,008
0,008
0,007
4
5
6
7
9
0,077
0,343
0,126
0,050
0,005
0,008
0,062
0,030
0,015
0,002
Post-fire Band
1
2
3
4
5
6
7
9
Mean
0,128
0,107
0,081
0,078
0,146
0,211
0,130
0,001
STD
0,008
0,009
0,011
0,015
0,035
0,040
0,021
0,001
Changes Band
1
2
3
Mean
-0,029
-0,024
-0,025
0,001
-0,197
0,085
0,079
-0,004
STD
0,009
0,010
0,014
0,015
0,089
0,056
0,025
0,002
4
5
6
7
9
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 259
Suwarsono, dkk.
Tabel 7.Separabilitas kanal-kanal Landsat-8 OLI dalam memisahkan obyek burned area dan unburned area dari masing-masing penutup lahan sebelumnya PENUTUP LAHAN
SEPARABILITAS 1
2
3
4
5
6
7
HUTAN
2,03
1,52
1,32
0,12
2,14
1,25
2,42
SEMAK/BELUKAR
2,68
2,28
2,55
0,57
3,18
0,54
1,31
LADANG/TEGALAN
2,37
2,07
2,64
0,62
5,73
0,88
1,85
PERKEBUNAN
2,97
2,46
2,73
0,24
2,27
3,06
5,13
GABUNGAN
1,86
1,42
1,37
0,02
2,04
1,22
2,18
DAFTAR PUSTAKA 1
Tacconi, L. (2003).Fires in Indonesia: causes, costs, and policy implications. CIFOR Occasional Paper No.38, Bogor, Indonesia. 2 IPCC, 2006.2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Vol.4 Agriculture, Forestry and Other Land Use. Intergovernmental Panel on Climate Change. 3 Cochrane, M.A., 2003.Fire science for rainforests. Nature, 421, 913-919. 4 Landsat MissionsTimeline. (http://landsat.usgs.gov, diakses 16 April 2013. 5 Irons, J.R., Dwyer, J.L., Barsi, J.A., 2012. The next Landsat satellite: The Landsat Data Continuity Mission. Remote Sensing of Environment 122, 11-21. 6 Suwarsono, Rokhmatuloh, & Waryono, T., 2013.Pengembangan model identifikasi daerah bekas kebakaran hutan dan lahan (burned area) menggunakan citra MODIS di Kalimantan,Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 10(2), 93-112. 7 Suwarsono, 2014.Deteksi daerah bekas kebakaran hutan/lahan (burned area) menggunakan citra penginderaan jauh, suatu tinjauan, Bunga Rampai Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Mitigasi Bencana. Crestpent Press. Bogor 8 Martin, M.P., & Chuvieco, E., 1995.Mapping and Evaluation of Burned Land from Multitemporal Analysis of AVHRR NDVI Images, Earsel Advances in Remote Sensing, 4(3), 7-13. 9 Fraser, R.H., Fernandes, R., & Latifovic, R., 2003.Multi-Temporal Mapping of Burned Forest Over Canada using Satellite-Based Change Metric, Geocarto International, 18 (2), 37-47. 10 Roy, D.P., Giglio, L., Kendall, J.D., &Justice, C. O., 1999. Multi-Temporal Active-Fire Based Burn Scar Detection Algorithm, Prosiding SNSA 2015 – Halaman 260
International Journal of Remote Sensing, 20(5), 1031-1038. 11 Fraser, R.H., Li, Z., & Cihlar, J., 2000.Hotspot and NDVI Differencing Synergy (HANDS): A New Technique for Burned Area Mapping Over Boreal Foresy, Remote Sensing of Environment, 72, 362-376. 12 Goetz, S.J., Fiske, G.J., & Bunn, A.G., 2006. Using Satellite Time-Series Data Sets to Analyze Fire Disturbance and Forest Recovery Across Canada, Remote Sensing of Environment, 101, 352-365. 13 Li, Z., Nandon, S., Cihlar, J., & Stocks, B., 2000.Satellite-Based Mapping of Canadian Boreal Forest Fires: Evaluation and Comparison of Algorithms, International Journal of Remote Sensing, 21(16), 30713082. 14 Kasischke, E.S., & French, N.H., 1995.Locating and Estimating the Extent of Wildfires in Alaskan Boreal Forest using Multiple-Season AVHRR NDVI, Remote Sensing of Environment, 51, 263-275. 15 Lloret, F., Calvo, E., Pons, X., & Delgado, R.D., 2002.Wildfire and Landscape Patterns in the Eastern Iberia Peninsula, Landscape Ecology, 17, 745-759. 16 Salvador, R., Valeriano, J., Pons, X., & Delgado, R. D., 2000.A Semi-Automatic Methodology to Detect Fire Scars in Shrubs and Evergreen Forests with Landsat MSS Time Series, International Journal of Remote Sensing, 21(4), 655-671. 17 Suwarsono, Yulianto, F., Parwati, & Suprapto, T., 2009. Pemanfaatan Data MODIS untuk Identifikasi Daerah Bekas Terbakar (Burned Area) Berdasarkan Perubahan Nilai NDVI di Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2009, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 6, pp.54-64. 18 Suwarsono, Vetrita, Y., Parwati, & Khomarudin, R., 2011. Analisis Daerah Bekas Kebakaran Hutan dan Lahan (Burned
Suwarsono, dkk.
Area) di Wilayah Kalimantan Tengah Tahun 2009 Berdasarkan Nilai NBR (Normalized Burned Ratio) dari data Landsat-7 SLC-Off, Prosiding Seminar Nasional Geospasial dalam Pembangunan Wilayah dan Kota, Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (PIT MAPIN) Tahun 2011, Biro Penerbit Planologi UNDIP, Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro. 19 Key, C.H., and N.C. Benson, 2002. Measuring and Remote Sensing of Burn Severity, U.S. Geological Survey wildland fire workshop. 20 Epting, J., Verbyla, D., & Sorbel, B., 2005.Evaluation of Remotely Sensed Indices for Assessing Burn Severity in Interior Alaska using Landsat TM and ETM+, Remote Sensing of Environment, 96, 328339. 21 Cocke, A.E., Fule, P.Z., & Crouse, J.E., 2005.Comparison of Burn Severity Assessments using Differenced Normalized Burn Ratio and Ground Data, International Journal of Wildland Fire, 14, 189-198. 22 Wagtendonk, J.W.V., Root, R.R., & Key, C. H., 2004.Comparison of AVIRIS and Landsat ETM+ Detection Capabilities for Burn Severity, Remote Sensing and Environment, 92, 397-408. 23 Eidensink, J., Schwind, B., Brewer, K., Zhu, Z.L., Quayle, B., & Howard, S., 2007.A Project for Monitoring Trends in Burn Severity, Fire Ecology Special Issue, 3(1), 321. 24 Brewer, C.K., Winne, J.C., Redmond, R.L., Opitz, D.W., & Mangrich, M.V. ., 2005.Classifying and mapping wildfire severity: a comparison of methods. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 71(11), 1311-1320. 25 USGS, 2012.Landsat Data Continuity Mission (LDCM) Level 1 (L1) Data Format Control Book (DFCB) Version 6.0. Department of the Interior, U.S. Geological Survey. 26 Using the USGS Landsat 8 Product. (http://landsat.usgs.gov, diakses 16 April 2013). 27 Kaufman, Y.J., Remer, L.A., 1994.Detection of forest fire using Mid-IR reflectance: and application fro aerosols study, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 32, 672-683. 28 Key, C. H., & Benson, N. C., 1999.The Normalized Burn Ratio (NBR): A Landsat TM radiometric measure of burn severity. U.S. Department of the Interior, Northern
Rocky Mountain Science Centre. The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, 38(8), 275-280. 29 Martín, M. P., Gómez, I., & Chuvieco, E., 2005.Performance of a burned-area index (BAIM) for mapping Mediterranean burned scars from MODIS data. In J. Riva, F.PérezCabello, & E. Chuvieco (Eds.), Proceedings of the 5th International Workshop on Remote Sensing and GIS applications to Forest Fire Management: Fire Effects Assessment (pp. 193−198). Paris: Universidad de Zaragoza, GOFC-GOLD, EARSeL. 30 Bastarika, A., Chuvieco, E., & Martin.,2011. Mapping burned areas from Landsat TM/ETM+ data with a two-phase algorithm:Balancing omission and commission errors. Remote Sensing of Environment, 115, 1003-1012.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 261
Suwarsono, dkk.
DETEKSI TITIK API (FIRE SPOT) KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT-8 TIRS FIRE SPOT DETECTION USING LANDSAT-8 TIRS Suwarsono, Yenni Vetrita, Parwati, Any Zubaidah, M.Rokhis Khomarudin Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Monitoring of hot spots currently dominated by the use of low spatial resolution image data because he prefers high-frequency recording. Despite having a low temporal data with higher spatial resolution can also be used for observation of the phenomenon as far as having a thermal channel. This study attempts to utilize Landsat image data-8 TIRS (Thermal Infra Red Sensor) for detecting firespots of forest and land fire events. The research took place in several areas in Sumatra and Kalimantan. The research methodology was developed through several stages of research, namely: selecting the image recording date, impairment reflectance and making composite image color Red Green Blue, extracting the brightness temperature values (brightness temperature) channel 10, extracting the NDVI values, and analysis of the value of the object brightness temperature of the flame land and forest fires. The results showed that the location of firespots of forest and land fires detected by the brightness temperature values channel 10 TIRS and spatial patterns. Firespots were observed from the data TIRS channel 10 has a brightness temperature relatively higher than surrounding areas (unburned). The study concluded that the data TIRS channel 10 from Landsat-8 can be used to detect firespots of forest and land fire events. The firespots data can be used to validate the product hotspot of such low spatial resolution data from AVHRR, MODIS, ATSR, or VIIRS. Keywords: Firespots, forest/land fire, Landsat-8 TIRS ABSTRAK Pemantauan titik panas (hotspot) pada saat ini didominasi oleh penggunaan data citra resolusi spasial rendah karena lebih mengutamakan frekuensi perekaman yang tinggi. Meskipun memiliki temporasi yang rendah, data dengan resolusi spasial lebih tinggi juga dapat dimanfaatkan untuk observasi fenomena tersebut sejauh memiliki kanal termal. Penelitian ini mencoba untuk memanfaatkan data citra Landsat-8 TIRS (Thermal Infra Red Sensor) untuk deteksi titik api dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Penelitian mengambil lokasi di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Metodologi penelitian dikembangkan melalui beberapa tahapan riset, yaitu: pemilihan tanggal perekaman citra, penurunan nilai reflektansi dan pembuatan citra komposit warna Red Green Blue, penurunan nilai suhu kecerahan (brightness temperature) kanal 10, penurunan nilai NDVI, dan analisis nilai suhu kecerahan obyek api dari kebakaran hutan dan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi titik api dari kebakaran hutan dan lahan terdeteksi berdasarkan nilai suhu kecerahan kanal 10 TIRS dan pola spasialnya. Titik api yang terpantau dari data TIRS kanal 10 memiliki suhu kecerahan yang relatif lebih tinggi dari daerah sekitarnya (yang tidak terbakar). Penelitian ini menyimpulkan bahwa data TIRS kanal 10 dari Landsat-8 dapat dipergunakan untuk mendeteksi titik api dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Data titik panas dapat dipergunakan untuk memvalidasi produk hotspot dari data resolusi spasial rendah seperti dari AVHRR, MODIS, ATSR, maupun VIIRS. Kata kunci: Titik api, kebakaran hutan/lahan, Landsat-8 TIRS.
PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu proses ekosistem yang penting dan berdampak secara signifikan terhadap sistem teresterial, akuatik, dan atmosferik di seluruh penjuru dunia. Lebih lanjut, pada beberapa dekade terakhir in, kebakaran hutan dan lahan telah menarik perhatian dikarenakan pengaruhnya yang melebar ke aspek-aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan nilai-nilai politik.1 Betapa seriusnya dampakProsiding SNSA 2015 – Halaman 262
dampak yang ditimbulkan akibat peristiwa kebakaran ini, maka upaya pemantauan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Di Indonesia, pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh oleh LAPAN untuk pemantauan kebakaran hutan dan lahan telah memberikan andil yang nyata terutama sejak pertengahan tahun 90-an seiring dengan terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan paling parah dalam sejarah yang pernah terjadi di Indonesia pada musim kemarau tahun 1997.2
Suwarsono, dkk.
Sampai pada saat ini, data satelit yang dipergunakan oleh LAPAN untuk pemantauan kebakaran hutan dan lahan, khususnya hotspot, yaitu NOAA-AVHRR, MODIS, dan VIIRS. Pemantauan titik panas (hotspot) pada saat ini memang didominasi oleh penggunaan data citra resolusi spasial rendah karena lebih mengutamakan frekuensi perekaman yang tinggi, seperti AVHRR,3,4,5,6,7,8 MODIS,2,8,9,10, dan ATSR.11 Meskipun memiliki temporasi yang rendah, data dengan resolusi spasial lebih tinggi juga dapat dimanfaatkan untuk observasi fenomena tersebut sejauh memiliki kanal termal. Seiring dengan sudah beroperasinya satelit Landsat-8, satelit resolusi menengah, pada tahun 2013 dan datanya sudah mulai dipergunakan secara meluas, maka manjadi tantangan tersendiri untuk melakukan kajian deteksi titik kebakaran dari data perekaman sensor termal (TIRS) yang dibawa oleh satelit tersebut. Penelitian ini dilakukan sebagai tahapan awal untuk memahami respon spektral kanal-kanal Landsat-8, khususnya TIRS yang merekam obyek titik api di permukaan bumi yang merupakan wujud adanya kebakaran hutan dan lahan. Belum ada penelitian yang mencoba mengkaji pemanfaatan jenis data untuk deteksi titik api tersebut. Dengan demikian, penelitian dalam konteks deteksi titik api kebakaran hutan dan lahan dari data Landsat8 TIRS ini menjadi sangat penting untuk dilakukan. Landsat-8, yang sebelumnya dikenal sebagai Landsat Continuity Mission (LDCM), merupakan misi bersama NASA dan USGS, diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2013. Satelit ini membawa dua instrument yang dioperasikan secara bersamaan, yaitu Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Satelit Landsat-8 adalah penerus Landsat sebelumnya yang bertujuan untuk menyediakan data secara kontinyu ke depannya yang cukup konsisten dari data Landsat sebelumnya sehingga memungkinkan deteksi dan karakterisasi secara kuantitatif perubahan permukaan bumi dan memungkinkan untuk penelitian perubahan penutup dan penggunaan lahan lebih dari periode sepuluh tahunan.12 Menurut Irons et al.13, satelit ini memiliki keunggulan dibandingkan sengan generasi sebelumnya, dan dirancang untuk menyempurnakan sensor pada satelit Landsat-7 ETM+. Sensor OLI merekam data pada sembilan kanal spektral dengan resolusi 30 meter (15 meter untuk kanal pankromatik), lebar sapuan 185 km yang direkam pada ketinggian 705 km. Lebar dari beberapa kanal OLI disempurnakan untuk
menghindari fitur penyerapan atmosfer dalam band ETM +. Perubahan terbesar terjadi pada OLI Band 5 (0,845-0,885 µm) untuk meniadakan fitur penyerapan uap air pada 0,825 µm di tengah ETM + kanal inframerah dekat (kanal 4; 0,7750,900 µm). Pada kanal pankromatik OLI (band 8), juga relatif sempit dibandingkan kanal pankromatik ETM+, untuk menciptakan kontras yang lebih besar antara daerah bervegetasi dan permukaan tanpa vegetasi pada citra pankromatik. Selain itu, dua kanal baru ditentukan pada OLI, yaitu kanal biru (Band 1; 0,433-0,453 µm) terutama untuk observasi warna air laut (ocean color) di wilayah pesisir dan band inframerah gelombang pendek (Band 9; 1,3601,390 µm) yang jatuh di atas fitur penyerapan uap air yang kuat dan akan memungkinkan deteksi awan cirrus pada citra OLI. Dimana, awan cirrus akan tampak terang sementara sebagian besar permukaan tanah akan tampak gelap melalui atmosfer bebas awan yang mengandung uap air).13 Tabel 1 menunjukkan karakteristik spektral sensor OLI. Tabel 1. Karakteristik Spektral Kanal OLI13 Bands
Bandwidth (µm)
GSD (m)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,433 – 0,453 0,450 – 0,515 0,525 – 0,600 0,630 – 0,680 0,845 – 0,885 1,560 – 1,660 2,100 – 2,300 0,500 – 0,680 1,360 – 1,390
30 30 30 30 30 30 30 15 30
Menurut Irons et al.13, sensor TIRS merekam data pada dua kanal spektral inframerah termal dengan resolusi 100 meter, lebar sapuan 185 km yang direkam pada ketinggian 705 km. Kedua band yang dipilih tersebut untuk mengaktifkan koreksi atmosfer data termal menggunakan algoritma split-window14 dan merepresentasikan keunggulan atas data termal band tunggal yang direkam oleh satelit Landsat sebelumnya. Batas noise TIRS ditentukan dalam hal noiseequivalent-change-in-temperature (NEΔT) daripada rasio signal-to-noise yang digunakan pada OLI. Ketidakpastian kalibrasi radiometrik ditentukan untuk menjadi kurang dari 2% dalam hal mutlak, pada aperture spektral cahaya untuk target antara 260 K dan 330 K (kurang dari 4% untuk target antara 240 K dan 260 K dan target antara 330 K dan 360 K).13 Tabel 2 menunjukkan menunjukkan karakteristik Spektral sensor TIRS sedang Tabel 3 menunjukkan Saturasi radiansi Prosiding SNSA 2015 – Halaman 263
Suwarsono, dkk.
TIRS dan spesifikasi Noise-Equivalent-Changein-Temperature (NEΔT). Data yang direkam oleh sensor pada satelit Landsat-8 memiliki kemampuan dan peluang dalam aplikasi; 1) kalibrasi dan karakterisasi radiometrik, 2) reflektansi permukaan, 3) albedo permukaan, 4) temperatur permukaan, evapotranspirasi, dan kekeringan, 5) pertanian, 6) penutup lahan (kondisi, gangguan dan perubahannya), 7) perairan air tawar dan pantai, serta 8) es dan salju (Roy, et al., 2014).15
Band
Tabel 2. Karakteristik Spektral Sensor TIRS13 Center wavelength (µm)
Minimum lower band edge (µm)
Maximum upper band edge (µm)
Spatial resolution (m)
10 11
10,9 12,0
10,6 11,5
11,2 12,5
100 100
Band
Tabel 3. Saturasi radiansi TIRS dan spesifikasi NoiseEquivalent-Change-in-Temperature (NEΔT)13 Saturasi suhu (K)
Saturasi Radians (W/m2 sr µm)
NEΔT pada 240 K
NEΔT pada 300 K
NEΔT pada 360 K
10 11
360 360
20,5 17,8
0,80 K 0,71 K
0,4 K 0,4 K
0,27 K 0,29 K
Monitoring Titik Panas (Hotspot) dari Data Penginderaan Jauh Data penginderaan jauh yang sudah sangat popular dipergunakan untuk monitoring hotspot salahsatunya adalah MODIS. Algoritma penentuan hotspot dari MODIS menggunakan panjang gelombang 4 µm (T 4 ) dan 11 µm (T 11 ) seperti yang dikembangkan oleh Justice et al.16 Teknik yang dipergunakan untuk deteksi hotspot dari data MODIS tersebut adalah didasarkan pada deteksi absolut dari api. Jika api cukup kuat dan deteksi relatif emisi termal piksel-piksel di sekitarnya untuk mendeteksi kebakaran yang lebih lemah. Metode ini memperhitungkan variabilitas suhu permukaan dan refleksi dari sinar matahari. Metode (algoritma deteksi hotspot) yang dikembangkan oleh Justice et al.16 adalah diuraikan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Langkah pertama, untuk menghindari deteksi semu, seluruh piksel untuk T 4 <315 K (305 K pada malam hari) atau T 4 - T 11 <10 K (3 K pada malam hari) atau ρ 2 >0,3 (hanya untuk siang hari) dihilangkan terlebih dahulu dari kemungkinannya sebagai piksel kebakaran. Langkah kedua, untuk deteksi api absolut, algoritma mensyaratkan bahwa paling tidak satu dari dua kondisi di bawah ini dipenuhi, yaitu: Prosiding SNSA 2015 – Halaman 264
T 4 >360 K (330 K pada malam hari) T 4 >330 K (315 K pada malam hari) dan T 4 - T 11 >25 K (10 K pada malam hari). Jika salah satu kriteria mutlak di atas tidak terpenuhi, maka untuk penentuan piksel hotspot dibedakan dari nilai rerata piksel-piksel di sekitarnya yang menjadi latar belakang (background) oleh standar deviasi pada T 4 dan T 4 - T 11 , yaitu sebagai berikut : T 4 > mean(T 4 ) + 3stddev(T 4 ) dan T 4 -T 11 > median(T 4 -T 11 ) + 3stddev(T 4 T 11 ) Mean, median, dan standar deviasi (dilanbangkan dengan “mean”, “median”, dan “stddev”) dihitung untuk piksel pada suatu grid yang diperluas yang berpusat pada piksel kandidat api sampai suatu jumlah yang cukup untuk awan, air, dan piksel bebas api yang diidentifikasi. Jumlah yang cukup didefinisikan sebagai 25% dari seluruh piksel background, dengan minimum enam. Piksel air diidentifikasi dengan data eksternal masking air, dan piksel awan diidentifikasi dari produk MODIS cloud mask (MOD35). Piksel background bebas api diidentifikasi sebagai piksel yang T 4 <325 K (315 K pada malam hari) dan T 4 - T 11 <20 K (10 K pada malam hari). Jika salahsatu standar deviasi di bawah 2 K, dipergunakan nilai dari 2 K sebagai pengganti. Piksel background window dibiarkan hingga mencapai ukuran 21 x 21 piksel. Jika batas ini tercapai dan kriteria sebelumnya mengenai jumlah minimum yang valid untuk piksel latar belakang tidak terpenuhi, maka tes deteksi relatif tidak dapat digunakan. Jika tes absolut tidak mengindikasikan bahwa suatu active fire tidak dijumpai dalam situasi ini, algoritma flags hasil deteksi tidak diketahui. Kombinasi seluruh tes ke dalam satu ekspresi algoritma, suatu piksel diklasifikasikan sebagai piksel api (pada siang hari), jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: {T 4 > mean(T 4 ) + 3stddev(T 4 ) atau T 4 >330K} dan {T 4 -T 11 > median(T 4 -T 11 ) + 3stddev(T 4 -T 11 ) atau T 4 -T 11 >25K} Atau T 4 >360K Sedangkan untuk malam hari, algoritma berubah menjadi: {T 4 > mean(T 4 ) + 3stddev(T 4 ) atau T 4 >315K} dan {T 4 -T 11 > median(T 4 -T 11 ) + 3stddev(T 4 -T 11 ) atau T 4 -T 11 >10K} atau T 4 >330K Untuk pengamatan siang hari, ketika sunglint akan menyebabkan deteksi semu, suatu piksel api dikeluarkan jika nilai MODIS 250 meter kanal
Suwarsono, dkk.
merah dan inframerah dekat memiliki reflektansi di atas 30% dan terletak dalam posisi specular reflection dalam 40°. Mencermati algoritma metode penentuan titik hotspot dari data MODIS dan karakteristik spektral dari data Landsat-8, maka untuk metode deteksi titik api menggunakan citra Landsat-8 yang paling memungkinkan adalah dilakukan dengan menggunakan data sensor TIRS.
kartografik, dengan referensi WGS 84, G873 atau versi saat ini. Data citra L1T juga sudah terkoreksi secara terrain terhadap pergeseran relief (relief displacement).17 Untuk Sumatera Selatan, menggunakan data Landsat-8 path/row 124/062 Tgl.27 September 2014 dan untuk Kalimantan Tengah – Kalimantan Selatan menggunakan path/row 118/062 Tgl.1 September 2014.
METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian mengambil lokasi di Provinsi Sumatera Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan merupakan provinsi yang rawan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan. Lokasi yang dipilih merupakan daerah yang banyak dijumpai lokasi-lokasi kebakaran hutan dan lahan. Menyesuaikan dengan cakupan liputan citra Landsat-8, daerah yang dipilih adalah wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang masuk liputan citra (scene) path/row 124/062, dan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan yang masuk liputan citra (scene) path/row 118/062. Secara administratif, di Sumatera Selatan, lokasi penelitian masuk ke dalam tujuh wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Muara Enim, Banyuasin, Musi Banyuasin, Kota Palembang dan Kota Prabumulih. Sedangkan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, secara administratif, lokasi penelitian masuk ke dalam sebelas wilayah kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Pulang Pisau, Katingan, Kapuas, Barito Kuala, Barito Selatan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Kota Palangkaraya, Kota Banjarmasin, dan Kota Banjarbaru. Gambar 1 menunjukkan lokasi penelitian. Data Penelitian ini menggunakan data Landsat-8, khususnya kanal termal (TIRS) band 10, yang memiliki resolusi 100 meter. Selain kanal 10 tersebut, juga dipergunakan data citra kanal reflektan, yaitu band 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9 yang memiliki resolusi 30 meter. Level data citra yang dipergunakan adalah Level 1T, yaitu data yang sudah terkoreksi secara radiometrik (L1R) dan terkoreksi geometrik sistematik, menggunakan Ground Control Points (GCPs) atau informasi posisi onboard untuk me-resample data citra untuk proses registrasi ke suatu proyeksi
(a)
(b) Gambar 1. Lokasi penelitian di Sumatera Selatan (a) serta Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (b) (kotak warna biru-scene citra Landsat).
Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan dan analisis data meliputi; 1) Perhitungan nilai radiansi, 2) Perhitungan nilai suhu kecerahan (brightness temperature), 3) Perhitungan nilai reflektansi (konversi dari brightness value menjadi reflectance); 4) Pembuatan citra komposit warna (RGB); 5) pengambilan training sample burned area; dan 6) Perhitungan statistik nilai piksel fire spot.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 265
Suwarsono, dkk.
Konversi dari nilai Brightness Values (BV) ke Radiance
Konversi ke Suhu Kecerahan (Brightness Temperature)
Data Landsat-8 yang masih berupa nilai DN dapat dikonversi ke dalam radiance. Nilai reflektansi disini adalah TOA radiance. Untuk mengkonversi menjadi nilai TOA radiance, menggunakan persamaan sebagai berikut18: L λ = M L Q cal + A L (1) dimana L λ adalah TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * μm)), M L Band-specific multiplicative rescaling factor yang diperoleh dari file metadata (RADIANCE_MULT_BAND_x, dimana x adalah nomor band), A L Band-specific additive rescaling factor yang diperoleh dari file metadata (RADIANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah nomor band), dan Q cal Quantized and calibrated standard product pixel values (DN).
Konversi menjadi nilai brightness temperature dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut18:
Konversi dari nilai Brightness Values (BV) ke Reflektansi Data OLI dapat dikonversi ke TOA planetary reflectance menggunakan faktor skala yang disediakan di dalam file metadata (MTL file). Untuk mengkonversi menjadi nilai TOA planetary reflectance, menggunakan persamaan sebagai berikut18: ρλ' = M ρ Q cal + A ρ (2) dimana ρλ' adalah TOA planetary reflectance (tanpa koreksi solar angle). M ρ adalah Bandspecific multiplicative rescaling factor diambil dari metadata (REFLECTANCE_MULT _BAND_x, dimana x adalah band number), A ρ adalah band-specific additive rescaling factor diambil dari metadata (REFLECTANCE_ADD_BAND_x, dimana x adalah band number), dan Q cal adalah quantized and calibrated standard product pixel values (DN). Kemudian, sun angle correction of TOA reflectance dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut18:
(4) dimana T brightness temperature pada satelit (K), L λ TOA spectral radiance (Watts/( m2 * srad * μm)), K 1 Band-specific thermal conversion constant yang diperoleh dari file metadata (K1_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band, 10 atau 11), dan K 2 Bandspecific thermal conversion constant yang diperoleh dari file metadata (K2_CONSTANT_BAND_x, dimana x adalah nomor band 10 atau 11). Pembuatan Citra Komposit Warna RGB dan Identifikasi Titik Api Pembuatan citra komposit warna menggunakan teknik pewarnaan RGB (Red Green Blue). Citra komposit RGB yang dibuat adalah citra warna alami (natural color).
(band 4)
(band 6)
=
=
(3)
dimana ρλ adalah TOA planetary reflectance, θ SE adalah local sun elevation angle. Sun elevation angle (dalam derajat) untuk pusat scene tersedia dalam file metadata (SUN_ELEVATION). θ SZ adalah local solar zenith angle, θ SZ = 90° - θ SE .
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 266
0
(band 5)
Reflektansi
(RGB 654)
0.5
Gambar 2. Citra komposit warna RGB 654 dari Landsat-8 pada lokasi penelitian di Sumatera Selatan (scene 124/062, citra tanggal akusisi 27 September 2014).
Suwarsono, dkk.
Pada citra warna alami, obyek-obyek vegetasi akan berwarna kehijauan, tanah berwarna coklat kemerahan, dan tubuh perairan akan berwarna kebiruan. Dengan data Landsat-8, citra ini dapat dibuat dengan menyusun band 6, 5 dan 4 masingmasing pada layer Red, Green, dan Blue. Gambar 2 dan 3 berikut menampilkan visualisasi citra komposit warna alami RGB 654 dari Landsat-8 pada lokasi penelitian. Setelah dibuat suatu citra komposit warna, kemudian pada citra tersebut dilakukan identifikasi lokasi-lokasi titik kebakaran hutan dan lahan yang sedang berlangsung. Identifikasi ini dilakukan secara visual dengan mendasarkan Kunci-kunci interpretasi, khususnya warna, bentuk, ukuran, letak, pola, dan asosiasi.
(band 4)
(band 6)
0
(band 5)
Reflektansi
(RGB 654)
0,3
Gambar 3. Citra komposit warna RGB 654 dari Landsat-8 pada lokasi penelitian di Kalimantan Tengah – Kalimantan Selatan (scene 118/062, citra tanggal akusisi 1 September 2014).
Pengambilan Training Sample Piksel Titik Api dan Analisis Statistik Pengambilan training sampel cropping citra pada piksel-piksel titik api merupakan tahapan yang sangat penting dalam memahami karakteristik spektral dari obyek titik api. Lokasi training sampel yang ditentukan harus benarbenar homogen dan mewakili obyek-obyek titik api untuk seluruh populasi. Perhitungan statistik terhadap sampel burned area meliputi nilai rerata
(mean), nilai minimum (min), maksimum (max) dan standar deviasi (standard deviation). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan nilai reflektansi (band 1 hingga 7) dan suhu kecerahan (band 10 dan 11) menunjukkan suatu nilai yang spesifik. Piksel api memiliki pantulan yang rendah pada spektrum visibel dan inframerah dekat. Nilai reflektansi piksel api bergeser mengalami peningkatan ke arah spektrum SWIR dan mencapai nilai tertinggi (hampir mendekati angka 100%) pada spektrum SWIR kanal 7 Landsat-8 (2,10 – 2.30 µm) (Lihat Tabel 4 dan Gambar 4). Selain itu, piksel api memiliki nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yang rendah (kurang dari 0,2) dan memiliki nilai Normalized Burn Ratio (NBR) yang sangat rendah (kurang dari -0,5). Nilai NDVI dari Landsat-8 diperoleh dari hasil perhitungan reflektansi kanal 4 (red) dan 5 (NIR), dengan mengacu pada Huete et al. 19, nilai NDVI dapat diperoleh dari ; NDVI= (ref5 - ref4)/(ref5 + ref4). Nilai NBR diperoleh dari hasil perhitungan reflektansi kanal 5 (NIR) dan 7 (SWIR), dengan mengacu pada Key and Benson20 nilai NBR dapat diperoleh dari; NBR= (ref5 - ref7)/(ref5 + ref7). Karakteristik penting lainnya adalah, piksel api memiliki nilai suhu kecerahan rerata untuk kanal 10 (BT10) adalah sekitar 319 K dengan standar deviasi sekitar 3 K. Berdasarkan nilai rerata dan standar deviasi dari piksel api tersebut, maka dapat ditentukan kriteria suatu piksel pada Landsat-8 dinyatakan sebagai piksel api, dengan mendasarkan pada nilai rerata dan standar deviasi dari reflektansi kanal 7, nilai NBR, dan suhu kecerahan kanal 10, yaitu dengan kriteria sebagai berikut (rerata 1*standar deviasi): BT10 ≥ 308,74 K NBR ≤ -0,502 ρ7 ≥ 0,766 Gambar 5 dan 6 memperlihatkan contoh hasil penerapan deteksi titik api dengan menggunakan kriteria dari suhu kecerahan kanal 10, berturutturut untuk contoh wilayah di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Hasil penerapan ini secara visual memperlihatkan hasil yang cukup representative. Berdasarkan data ini, dapat diketahui bahwa data TIRS kanal 10 dari Landsat-8 dapat dipergunakan untuk mendeteksi titik api dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Data titik panas dapat dipergunakan untuk memvalidasi produk hotpsot dari data resolusi spasial rendah seperti dari AVHRR, MODIS, ATSR, maupun VIIRS. Prosiding SNSA 2015 – Halaman 267
Suwarsono, dkk.
Tabel 4. Nilai Reflektansi dan Suhu Kecerahan Piksel Titik Api
Mean Min Max SDev
1 0,249 0,193 0,348 0,062
2 0,227 0,167 0,333 0,065
3 0,189 0,133 0,289 0,060
4 0,169 0,120 0,258 0,052
5 0,236 0,187 0,327 0,053
6 0,577 0,275 1,000 0,209
7 0,927 0,499 1,000 0,161
NDVI 0,174 0,102 0,268 0,054
NBR -0,589 -0,683 -0,431 0,087
TB10 311,68 306,43 319,40 2,94
TB11 303,16 299,87 309,88 2,20
Gambar 4. Karakteristik reflektansi piksel api pada Landsat-8 OLI (band 1 – band 7). a.
RGB 654
RGB 654
b.
Suhu kecerahan 308,74
Titik Api
320,00 K
Gambar 6. Contoh hasil penerapan deteksi titik api dengan menggunakan kriteria dari suhu kecerahan kanal 10 di Kalimantan Tengah. Suhu kecerahan 308,74
Titik Api
KESIMPULAN 320,00 K
Gambar 5. Contoh hasil penerapan deteksi titik api dengan menggunakan kriteria dari suhu kecerahan kanal 10 di Sumatera Selatan.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 268
Berdasarkan nilai suhu kecerahan yang terekam pada sensor TIRS kanal 10 (TB10), piksel api memiliki nilai suhu kecerahan rerata untuk kanal sekitar 319 K dengan standar deviasi sekitar 3 K. Selain itu, piksel api memiliki pantulan yang rendah pada spektrum visibel dan inframerah dekat. Nilai reflektansi piksel api bergeser mengalami peningkatan ke arah
Suwarsono, dkk.
spektrum SWIR dan mencapai nilai tertinggi (hampir mendekati angka 100%) pada spektrum SWIR kanal 7 Landsat-8 (2,100 – 2,300 µm). Piksel api juga memiliki nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) yang rendah (kurang dari 0,2) dan memiliki nilai Normalized Burn Ratio (NBR) yang sangat rendah (kurang dari -0,5). Berdasarkan data ini, dapat diketahui bahwa data TIRS kanal 10 dari Landsat-8 dapat dipergunakan sebagai data utama untuk mendeteksi titik api dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Data titik panas dapat dipergunakan untuk memvalidasi produk hotspot dari data resolusi spasial rendah seperti dari AVHRR, MODIS, ATSR, maupun VIIRS. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Bapak Mahdi Kartasasmita dan Bapak Taufik Maulana atas segala bentuk diskusi beserta arahan dalam pengembangan riset pemanfaatan data optis untuk kebencanaan kebakaran hutan dan lahan.
DAFTAR PUSTAKA 1
Lentile, L.B., Holden, Z.A., Smith, A.M.S., Falkowski, M.J., Hudak, A.T., Morgan, P., Lewis, S.A., Gessler, P.E., & Benson, N.C., 2006. Remote sensing techniques to assess active fire characteristics and post-fire effects, International Journal of Wildland Fire, 15, 319-345. 2 Suwarsono, Yulianto, F., Parwati, & Suprapto, T., 2010. Analisis persebaran titik panas (hotspot) indikasi kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan sepanjang tahun 2001-2009, Berita Inderaja, IX(16), 32-37. 3 Flannigan, M.D., and Vonder Haar, T.H., 1986. Forest fire monitoring using NOAA satellite AVHRR, Canadian Journal Forest Research, 16, 975-982. 4 Kaufman, Y.J., Tucker, C.J., & Fung, I., 1990. Remote sensing of biomass burning in the tropics, Journal of Geophysical Research, 95, 9.927-9.939. 5 Justice, C.O., Kendall, J.D., Dowty, P.R., & Scholes, R.J., 1996. Satellite remote sensing of fires during the SAFARI campaign using NOAA advanced very high resolution radiometer data, Journal of Geophysical Research, 101, 23.851-23.863. 6 Li, Z., Cihlar, J., Moreau, L., Huang, F., & Lee, B., 1997. Monitoring fire activities in the boreal ecosystem, Journal of
Geophysical Research, 102, 29.611-29.624. Li, Z., Kaufman, Y.J., Ichoku, C., Fraser, R., Trishchenko, A., Giglio, L., Jin, J.Z., & Yu, X., 2001. A review of AVHRR-based active fire detection algorithms: principles, limitations, and recommendations, Global and Regional Vegetation Fire Monitoring from Space: Planning a Coordinated International Effort (Edited by Ahern, F.J., Goldammer, J.G., & Justice, C.O.), 199225. 8 Suwarsono, Parwati, & Suprapto, T., 2009. Mendeteksi titik panas (hotspot), kebakaran hutan dan lahan menggunakan satelit, Berita Inderaja, VIII(14), 35-39. 9 Giglio, L., Descloitres, J., Justice, C.O., & Kaufman, Y.J., 2003. An enhanced contextual fire detection algorithm for MODIS, Remote Sensing of Environment, 87, 273-282. 10 Wang, W., Qu, J.J., Hao, X., Liu, Y., & Sommers, W.T., 2007. An improved algorithm for small and cool fire detection using MODIS data: A preliminary study in the southeastern United States, Remote Sensing of Environment 108, 163-170. 11 Barbero, R., Moron, V., Mangeas, M., Despinoy, M., & Hely, C., 2011. Relationships between MODIS and ATSR fires and atmospheric variability in New Caledonia (SW Pacific), Journal of Geophysical Research, 116, D21110, doi:10.1029/2011JD015915. 12 Reuter, D.C., Richardson, C.M., Pellerano, F.A., Irons, J.R., Allen, R.G., Anderson, M., Jhabvala, M.D., Lunsford, A.W., Montanaro, M., Smith, R.L., Tesfaye, Z., & Thome, K.J., 2015. The Thermal Infrared Sensor (TIRS) on Landsat 8: Design Overview and Pre-Launch Characterization, Remote Sensing, 7, 1135-1153. 13 Irons, J.R., Dwyer, J.L., Barsi, J.A., 2012. The next Landsat satellite: The Landsat Data Continuity Mission. Remote Sensing of Environment 122, 11-21. 14 Caselles, V., Rubio, E., Coll, C., & Valor, E., 1998. Thermal band selection for the PRISM instrument 3. Optimal band configuration. Journal of Geophysical Research, 103, 17.057–17.067. 15 Roy, D.P., Wulder, M.A., Loveland, T.R., Woodcock, C.E., Allen, R.G., Anderson, M.C., Helder, D., Irons, J.R., Johnson, D.M., Kennedy, R., Scambos, T.A., Schaaf, C.B., Schott, J.R., Sheng, Y., Vermote, E.F., Belward, A.S., Bindschadler, R., Cohen, 7
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 269
Suwarsono, dkk.
W.B., Gao, F., Hipple, J.D., Hostert, P., Huntington, J., Justice, C.O., Kilic, A., Kovalskyy, V., Lee, Z.P., Lymburner, L., Masek, J.G., McCorkel, J., Shuai, Y., Trezza, R., Vogelmann, J., Wynne, R.H., & Zhu, Z., 2014. Landsat-8: Science and product vision for terrestrial global change research, Remote Sensing of Environment, 145, 154-172. 16 Justice, C.O., Giglio, L., Korontzi, S., Owens, J., Morisette, J.T., Roy, D., Descloitres, J., Alleaume, S., Petitcolin, F., & Kaufman, Y., 2002. The MODIS fire products, Remote Sensing of Environment, 83, 244-262. 17 USGS, 2012. Landsat Data Continuity Mission (LDCM) Level 1 (L1) Data Format Control Book (DFCB) Version 6.0. Department of the Interior, U.S. Geological Survey. 18 Using the USGS Landsat 8 Product. (http://landsat.usgs.gov, diakses 16 April 2013. 19 Huete, A., Justice, C., & Leeuwen, V.W., 1999. Modis Vegetation Index (MOD 13) Algorithm Theoretical Basis Document, University of Virginia, Department of Environmental Sciences, Charlottesville, Virginia. 20
Key, C. H., & Benson, N. C., 1999. The Normalized Burn Ratio (NBR): A Landsat TM radiometric measure of burn severity. U.S. Department of the Interior, Northern Rocky Mountain Science Centre. The Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science, 38(8), 275-280.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 270
Tuti Budiwati, dkk.
KOMPOSISI KIMIA DEPOSISI ASAM DAN FENOMENA HUJAN ASAM DI INDONESIA CHEMISTRY COMPOSITION OF ACID DEPOSITION AND ACID RAIN FENOMENANCE IN INDONESIA Tuti Budiwati1)*, Elmaya Rahmawati2), Dyah Aries Tanti1), dan Asri Indrawati1) 1.Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer –LAPAN 2. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan *Tel/Fax: 022-6037445/022-6037443; e-mail:
[email protected] ABSTRACT The increase in gas such as NH 3 , NO 2 , SO 2 , and aerosol {(NH 4 ) 2 SO 4 dan NH 4 NO 3 } from anthropogenic and natural sources will affect the acidity of rain water, through a wet deposition process (wet deposition) is a wet cleaning of the atmosphere. Rain water chemistry data and rainfall is the result of monitoring of the National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), the Meteorology, Climatology and Geophysics (BMKG), and the Environmental Impact Management Agency (Pusarpedal) from 2001 to 2013. Data of anions and cations are the data weighted monthly average. Dilution effects were important to the equivalent ionic concentration of different rainfall types. Indonesia haves three of rainfall type categories. The results showed that each city has a different amount of acid deposition in the same season and agree with rainfall types. Acid deposition pattern of areas monsoonal precipitation type is different from the equatorial regions. In addition it was found average trend pH <5.6 in Indonesia as much as 89.82%; in monsoonal areas as much as 91.02%; and in the equatorial area as much as 85.03% from 2001 to 2013, although in 2011 there were months of the pH rise above 5.6. This shows the acid rain has occurred in this period. Keywords: chemical composition, acid deposition, acid rain, monsoonal, equatorial ABSTRAK Kenaikan gas seperti NH 3 , NO 2 , SO 2 , dan aerosol {(NH 4 ) 2 SO 4 dan NH 4 NO 3 } dari sumber antropogenik dan alam akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan, melalui proses pengendapan basah (wet deposition) yaitu pembersihan atmosfer secara basah. Data kimia air hujan dan curah hujan adalah hasil pemantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika (BMKG), dan Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL) dari tahun 2001 sampai 2013. Data anion dan kation yang digunakan adalah data rata-rata bulanan tertimbang. Pengaruh pelarutan merupakan hal penting untuk mendapatkan konsentrasi ion dari tipe curah hujan yang berbeda. Indonesia mempunyai tiga kategori tipe curah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing kota mempunyai jumlah deposisi asam yang berbeda pada musim yang sama dan sesuai dengan pola curah hujan. Pola deposisi asam dari daerah tipe curah hujan monsunal berbeda dengan daerah ekuatorial. Selain itu diperoleh tren rata-rata pH< 5,6 di Indonesia sebanyak 89,82%; di daerah monsunal sebanyak 91,02%; dan di daerah ekuatorial sebanyak 85,03% dari 2001 sampai 2013, meskipun tahun 2011 terdapat bulan bulan dengan pH naik diatas 5,6 . Hal ini memperlihatkan telah terjadi hujan asam dalam kurun waktu tersebut. Kata kunci: komposisi kimia, deposisi asam, hujan asam, monsunal, ekuatorial
PENDAHULUAN Pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah memacu pertumbuhan industri dan transportasi serta penggunaan energi. Penggunaan bahan bakar minyak dan batubara di sektor industri dan pembangkit listrik akan mengemisikan NO 2 , SO 2 , dan aerosol {(NH 4 ) 2 SO 4 dan NH 4 NO 3 }. Peta hasil estimasi gas-gas tersebut menunjukkan bahwa pulau Jawa relatif tinggi konsentrasi NO 2 , SO 2 , dan SPM (Suspended Particle Matter)
dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.1 Polutan-polutan ini relatif stabil di atmosfer dan dapat berpindah bersamaan dengan masa udara untuk jarak jauh.2 Aerosol dan gas-gas NO 2 , SO 2 yang terlarut dalam udara dapat dibersihkan dari atmosfer melalui proses pembersihan secara kering (dry deposition) atau basah (wet deposition). Proses deposisi basah adalah proses pencucian yang mana polutan (gas-gas dan partikel) diserap oleh elemen hujan (butir-butir air, partikel-partikel es) Prosiding SNSA 2015 – Halaman 271
Tuti Budiwati, dkk.
dan jatuh (diendapkan) di permukaan selama hujan.3 Deposisi asam merupakan masalah lingkungan yang serius dimana asam kuat, terutama asam sulfat dan nitrat dari oksidasi gasgas sulfur dan nitrogen di atmosfer, diendapkan ke permukaan bumi secara basah atau kering. Nilai pH rendah berarti dipengaruhi sangat kuat oleh SO 2 dan NO 2 , 4,5 sebaliknya nilai pH tinggi terdapat netralisasi keasaman air hujan oleh CaCO 3 dan atau NH 3 yang melimpah di atmosfer.6,7 Sulfat (SO 4 2-) and nitrat (NO 3 -) adalah anion terbesar yang didapati dalam deposisi basah, 8, 9, 10, 11 demikian juga Cl-, Na+, NH 4 +, K+, Mg2+, dan Ca2+.12,13,14,15,16 Mg2+, Na+ dan K+ merupakan komponen yang berasal dari sumber laut juga partikel debu tanah.17 Mg2+ adalah komponen yang berasal dari laut bila pengamatan dilakukan dekat laut dan berasal dari kerak bumi bila jauh dari laut.18 Air hujan menunjukkan keasaman kuat ketika sejumlah besar asam telah terlarut di dalamnya. Hal ini merupakan asal adanya istilah hujan asam.19 Di kota-kota besar terdapat lebih komponenkomponen yang komplek dalam aerosol disebabkan polusi industri dan transportasi, akibatnya berdampak pada komposisi yang komplek pula dalam air hujan.11 Selama periode 2005-2009, rata-rata tahunan deposisi ion-ion utama nss-SO 4 2- (non sea salt- SO 4 2-) lebih tinggi dibandingkan ion-ion lainnya di Jakarta, Serpong dan Bandung dalam variasi 97,0–114,2 meq.m2.y1 20 . Indonesia dipengaruhi oleh tipe curah hujan yang berbeda yaitu tipe monsun adalah daerah A, tipe ekuatorial adalah daerah B dan tipe lokal adalah daerah C.21,22 Daerah A terletak di Indonesia bagian selatan dan tengah dari Sumatera Selatan, Jawa sampai pulau Timor, meliputi sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi, dan Irian Jaya. Pola hujan monsun mempunyai tipe curah hujan yang bersifat unimodial dengan satu puncak yaitu DJF musim hujan dan satu lembah yaitu JJA musim kemarau. Daerah B terletak di Barat Laut Indonesia dan meliputi bagian utara Sumatera dan Timur laut Kalimantan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Daerah C meliputi Maluku dan sebagian Sulawesi.22 Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun 21,22 , dengan satu puncak hujan (Juni-Juli), dan dua lembah Nopember dan Februari. Musim dibagi dalam empat musim yaitu musim hujan Desember Januari Februari (DJF), Prosiding SNSA 2015 – Halaman 272
musim peralihan hujan ke kemarau Maret April Mei (MAM), musim kemarau Juni Juli Agustus (JJA) dan musim peralihan kemarau ke hujan September Oktober Nopember (SON).21,23 Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh musim dan curah hujan terhadap komposisi kimia deposisi asam dan terjadinya hujan asam di wilayah Indonesia. METODOLOGI Data kimia air hujan terdiri dari pH, anion (SO 4 2-, NO 3 -, Cl-) dan kation (NH 4 +, Ca2+, Na+, Mg2+, K+ , dan H+) hasil pemantauan LAPAN, BMKG, dan PUSARPEDAL dari tahun 2001-2013 berupa rata-rata bulanan tertimbang untuk lokasi Indonesia. Untuk menghitung deposisi ion-ion kimia air hujan, digunakan perhitungan deposisi ion berdasarkan persamaan 2-1. 24 2-1 D th = Dimana: D th = deposisi ion rata-rata musiman dalam µmol/m2 per musiman 2 (µmol/(m musiman)); Ci = konsentrasi ion dalam µmol/L tiap bulan dalam satu tahun dan Vi adalah total curah hujan dalam mm tiap bulan dalam satu musim dan n adalah bulan kejadian hujan dalam satu musim. Data dibuat rata-rata musiman terdiri dari bulan-bulan hujan yaitu Desember, Januari Februari; peralihan musim hujan ke musim kemarau Maret April Mei; musim kemarau Juni Juli Agustus dan peralihan kemarau ke musim hujan September Oktober Nopember. Pengaruh musiman mempengaruhi curah hujan yang berperanan dalam proses deposisi basah. Kecenderungan terjadi hujan asam dilihat pada daerah tipe curah hujan ekuatorial dan monsunal juga lokal dengan pengelompokan nilai pH rataata bulan. Untuk mengetahui frekuensi kejadian hujan asam dilakukan dengan uji statistik untuk rata-rata daerah seluruh Indonesia, rata-rata daerah monsunal dan rata-rata daerah ekuatorial. Stasiun dengan tipe curah hujan lokal tidak ada yang mewakili terkait dengan ketersediaan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Kimia Deposisi Asam Berdasarkan Musim Berdasarkan Gambar 1 dan 2 dapat diketahui bahwa masing-masing kota mempunyai jumlah deposisi asam yang berbeda pada musim yang sama. Curah hujan akan membersihkan atmosfer berupa rain out maupun wash out. Wash out adalah proses pembersihan polutan didalam awan melalui pembentukan inti kondensasi yang
Tuti Budiwati, dkk.
akhirnya menjadi titik-titik hujan. Rain out proses pembersihan polutan melalui pelarutan partikel-partikel polutan oleh air hujan atau salju.18,3 Didaerah tipe curah hujan monsunal maka total deposisi asam terbesar terdapat pada musim penghujan DJF dan diikuti SON seperti Jakarta, Cisarua, Lampung, Makassar, Banjarbaru, dan Mataram (Gambar 1.a). Curah hujan yang tinggi di Cisarua pada bulan-bulan DJF telah mengendaphan deposisi asam tertinggi yaitu sebesar 47469,65 µmol/m2 dengan ion terbesar NH 4 + sebesar 10090,7 µmol/m2 dan Clsebesar 5725,8 µmol/m2. Kondisi tersebut adalah sesuai dengan karakteristik daerah perkebunan di daerah gunung api. Selain itu daerah Jakarta mempunyai deposisi asam yang tinggi juga dengan total 42721,16 µmol/m2 dimana SO 4 2adalah 7156,26 µmol/m2 dan NO 3 - 6228,72 µmol/m2. Transportasi menyumbangkan emisi NO 2 sebesar 80% dari total NO 2 ke udara.25 Potensi industri pengguna batubara dan minyak berkadar sulfur tinggi akan sangat besar dalam menyumbangkan SO 2 ke udara.26 Pengaruh polusi udara SO 2 dan NO 2 terindikasi dalam H 2 SO 4 dan HNO 3 dalam air hujan.4,5 Berdasarkan kandungan deposisi asam yang tinggi untuk sulfat dan nitrat terlihat bahwa Jakarta dipengaruhi oleh sumber antropogenik seperti transportasi dan industri. Berdasarkan penelitian Hamonangan et al.,27 bahwa konsentrasi NO 2 yang tinggi di pusat kota Jakarta berhubungan dengan jumlah kendaraan yang tinggi pula. Di daerah tipe yang sama seperti Serpong, Bandung, Palembang, dan Jayapura didapati deposisi asam terbesar pada bulan-bulan MAM dan SON (Gambar 1b). Hal tersebut dikarenakan faktor curah hujan. Menurut BMKG bahwa wilayah monsunal (tipe A) memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan (bulan bulan DJF) dimana curah hujan melimpah dan periode musim kemarau (bulan-bulan JJA) dengan curah hujan minimum. Tipe A dipengaruhi monsun tenggara atau monsun Australia yang menyebabkan curah hujan sedikit atau kemarau di Indonesia.22 Pada proses pengendapan basah curah hujan mengendapkan gas dan partikel di atmosfer, maka musim hujan DJF menyebabkan deposisi asam tentunya tinggi di daerah tipe A atau Mosunal (Gambar 1.a dan 1.b). Deposisi asam terlihat tinggi pula pada bulanbulan SON, kemungkinan faktor sumber yang melimpah telah menyebabkan tingginya deposisi asam di daerah monsunal. Konsentrasi SO 2 adalah tinggi di bulan-bulan DJF baik di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.28,29,30 Rata-rata
musimam total kolom SO 2 di Jawa adalah 0,088 > 0,076 > 0,067 > 0,037 DU berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA. Sedangkan di Sumatera berurutan dari DJF > SON > MAM > JJA adalah 0,045 > 0,043 > 0,035 > 0,019 DU.29,30 Demikian pula konsentrasi NO 2 adalah tinggi di Sumatera, Jawa dan Kalimantan pada bulan-bulan JJA dan SON.30,31 Tingginya konsentrasi total O 3 pada musim SON di Jawa diduga ada peningkatan O 3 prekursor akan mempercepat proses oksidasi SO 2 dan NO 2 19 menjadi asam sulfat dan nitrat pada musim peralihan tersebut. Demikian juga menurut Budiwati dan Setyawati,31 bahwa konsentrasi partikel [Aerosol Optical Depth (AOD)] yang tinggi pada bulan-bulan DJF di Jawa akan berdampak pada nilai deposisi asam yang tinggi. Hasil analisis sebaran atau distribusi ruang dari aerosol dalam AOD 483,5nm adalah tertinggi terjadi pada bulan-bulan SON (September; Oktober dan Nopember) dengan nilai 3,455-3,846 terdapat di wilayah perbatasan dengan Kalimantan Tengah. 28 Di daerah tipe A (Monsunal) lainnya seperti Serpong, Bandung, Palembang, dan Jayapura ternyata deposisi asam didapati tinggi pada bulan-bulan MAM. Hal tersebut dikarenakan jumlah curah hujan MAM yang tinggi dibandingkan bulan-bulan DJF. Diantara empat daerah ini ternyata Palembang mempunyai total deposisi asam terbesar yaitu 40799,70 µmol/m2 dengan ion tertinggi terdapat NH 4 + sebesar 13353,63 µmol/m2 dan diikuti Cl- sebesar 5051,74 µmol/m2. Indikasi ini berasal dari sumber pembakaran biomasa yang melanda daerah Palembang pada bulan bulan tersebut. Selain itu deposisi K+ didapati tinggi pula yaitu 1677,28 µmol/m2 dan NH 4 + sebesar 13746,85 µmol/m2 pada bulan-bulan SON dimana kebakaran hutan cukup besar dibandingkan bulan-bulan MAM. Ion K+ dalam air hujan berasal dari pelarutan partikel-partikel yang mengandung K. Partikel-partikel tersebut merupakan hasil pembakaran biomassa dan industri semen juga pupuk di Indonesia.32 Wilayah dengan pola hujan ekuatorial memiliki distribusi hujan bulanan dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun mengalami musim hujan.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 273
Tuti Budiwati, dkk.
450
3,5E+04
400
3,5E+04
400
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0
JJA
Mg Ca
450 350
3,0E+04
300
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
NO3 SO4 Cl NH4 K Na
100
5,0E+03
50
Ca
0,0E+00
0
Jml C.H.
4,5E+04
3,5E+04 3,0E+04 2,5E+04 2,0E+04 1,5E+04 1,0E+04 5,0E+03 0,0E+00
DJF
MAM
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0
JJA
MAM
JJA
Mg
3,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0 MAM
NO3 SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca
JJA
4,0E+04
K Na Mg Ca
NO3 SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca Jml C.H.
500 450 350
3,0E+04
300
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
Jml C.H.
NH4
H+
400
3,5E+04
0
DJF
SON
Cl
SON
Banjarbaru
4,5E+04 H+
450
300
2,5E+04
SO4
500
350
3,0E+04
NO3
Jml C.H.
400
DJF
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
SON
Mataram
4,0E+04
SON
Makassar
4,0E+04
150
4,5E+04 H+
1,0E+04
JJA
200
1,5E+04
DJF
400
MAM
250
2,0E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
Na
2,5E+04
500
3,5E+04
DJF
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
K
300
SON
Lampung
4,0E+04
NH4
3,0E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
MAM
Cl
Jml C.H.
Jumlah curah hujan (mm)
DJF 4,5E+04
SO4
H+
Jumlah curah hujan (mm)
300
350
Jumlah curah hujan (mm)
3,0E+04
NO3
Jumlah curah hujan (mm)
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
350
H+
500
Cisarua
Jumlah curah hujan (mm)
4,0E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
4,5E+04
450
Jakarta
Jumlah curah hujan (mm)
500
4,0E+04
4,5E+04
MAM
JJA
H+ NO3 SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca Jml C.H.
SON
Gambar 1.a. Komposisi deposisi asam dan curah hujan berdasarkan musim di kota-kota dalam daerah tipe A atau Monsunal. Satuan = µmol/m2
3,0E+04
350 300
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0 MAM
JJA
SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca
Jml C.H.
Palembang
450
3,5E+04
400
NO3
350
SO4
300
Cl
250
NH4
200
K
3,0E+04 2,5E+04 2,0E+04 1,5E+04
150
1,0E+04
Na
100
Mg
5,0E+03
50
Ca
0,0E+00
0
Jml C.H.
DJF
MAM
JJA
3,0E+04
SON
300
2,5E+04
250 2,0E+04
200
1,5E+04
150
H+ NO3 SO4 Cl NH4 K Na
1,0E+04
100
5,0E+03
50
Ca
0,0E+00
0
Jml C.H.
4,5E+04
H+
4,0E+04
450 350
DJF 500
500 400
3,5E+04
SON
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
DJF
NO3
Serpong
4,0E+04
Jumlah curah hujan (mm)
400
4,5E+04 H+
MAM
JJA
500
Jayapura
4,0E+04
450
3,5E+04
400 350
3,0E+04
300
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0 DJF
MAM
JJA
Mg
SON H+
Jumlah curah hujan (mm)
3,5E+04
4,5E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
500 450
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
Bandung
4,0E+04
Jumlah curah hujan (mm)
Deposisi Ion-ion (µmol/m2)
4,5E+04
NO3 SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca Jml C.H.
SON
Gambar 1.b. Komposisi deposisi asam dan curah hujan berdasarkan musim di kota-kota dalam daerah tipe A atau Monsunal. Satuan = µmol/m2
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 274
Tuti Budiwati, dkk.
3,5E+04
350
3,0E+04
300
2,5E+04
250 2,0E+04
200
1,5E+04
150
Cl NH4 K Na
100
5,0E+03
50
Ca
0
Jml C.H.
DJF
MAM
JJA
Mg
400
3,5E+04
350
3,0E+04
300
2,5E+04
250 2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
0,0E+00
JJA
250 2,0E+04
200
1,5E+04
150
SO4 Cl NH4 K Na
SO4 Cl NH4 K Na
1,0E+04
100
5,0E+03
50
Ca
0,0E+00
0
Jml C.H.
MAM
JJA
SON 500
P.Baai
4,0E+04
Mg
450 400
3,5E+04
350
3,0E+04
300
2,5E+04
250 2,0E+04
200
1,5E+04
150
H+ NO3 SO4 Cl NH4 K Na
100
50
50
Ca
0
Jml C.H.
0,0E+00
0
Jml C.H.
Mg
DJF
MAM
JJA
Mg
SON
500 450
3,5E+04
400 350
3,0E+04
300
2,5E+04
250
2,0E+04
200
1,5E+04
150
1,0E+04
100
5,0E+03
50
0,0E+00
0
JJA
300
2,5E+04
SON
Betoambari
MAM
3,0E+04
NO3
5,0E+03
4,0E+04
DJF
350
H+
Ca
Jumlah curah hujan (mm)
4,5E+04
MAM
NO3
450
1,0E+04
100
5,0E+03
Deposisi Ion-ion (µmol/m2 )
450
Jumlah curah hujan (mm)
Medan
DJF
3,5E+04
4,5E+04 H+
500 400
DJF 500
4,0E+04
4,0E+04
SON
4,5E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2 )
SO4
1,0E+04
0,0E+00
Deposisi Ion-ion (µmol/m2 )
NO3
Kototabang
Jumlah curah hujan (mm)
400
4,5E+04 H+
Jumlah curah hujan (mm)
450
Deposisi Ion-ion (µmol/m2 )
4,0E+04
Deposisi Ion-ion (µmol/m2 )
500
Pontianak
Jumlah curah hujan (mm)
4,5E+04
H+ NO3 SO4 Cl NH4 K Na Mg Ca Jml C.H.
SON
Gambar 2. Komposisi deposisi asam dan curah hujan berdasarkan musim di kota-kota dalam daerah tipe B atau Ekuatorial. Satuan = µmol/m2
Tren pH
7 6
pH
5 4 3 2 pH Indonesia
1
pH 5,6
pH Monsunal
pH Ekuatorial
0 010509010509010509010509010509010509010509010509010509010509010509010509010509010509 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 3. Tren pH periode 2000-2013 secara rata-rata di daerah Indonesia, pH 5,6 (ambang batas keasaman air hujan), rata-rata di daerah Monsunal, rata-rata di daerah Ekuatorial Prosiding SNSA 2015 – Halaman 275
Tuti Budiwati, dkk.
Indonesia Frequency Cumulative %
30
50
100%
40
80% 60%
20
Monsunal
30
Cumulative %
60%
20
40%
0
0%
10
20%
0
0%
pH
pH
30
120%
50
100%
40
Frequency
80%
Cumulative %
60%
20
40%
Frekuensi
Ekuatorial
40
Betoambari
120% 100% 80%
30
Frequency Cumulative %
20
60% 40%
20%
10
20%
0
0%
0
0%
pH
3,5 3,8 4,1 4,4 4,7 5 5,3 5,6 5,9 6,2 6,5 6,8 7,1 7,4 7,7 8
10
3,5 3,8 4,1 4,4 4,7 5 5,3 5,6 5,9 6,2 6,5 6,8 7,1 7,4 7,7 8
Frekuensi
80%
3,5 3,8 4,1 4,4 4,7 5 5,3 5,6 5,9 6,2 6,5 6,8 7,1 7,4 7,7 8
20%
50
Frequency
40%
10
120% 100%
3,5 3,8 4,1 4,4 4,7 5 5,3 5,6 5,9 6,2 6,5 6,8 7,1 7,4 7,7 8
Frekuensi
40
120%
Frekuensi
50
pH
Gambar 4. Distribusi pH rata-rata di Indonesia, daerah Monsunal dan daerah Ekuatorial
Curah hujan tinggi pada bulan November terdapat pada tipe ekuatorial. Akibatnya di daerah tipe curah hujan Ekuatorial seperti Kototabang, Pulau Baai (P. Baai), Pontianak, dan Medan mempunyai deposisi asam terbesar pada bulanbulan SON. Untuk daerah Ekuatorial didapati total deposisi asam tertinggi di Pulau Baai (Bengkulu) yaitu mencapai 42137,95 µmol/m2 dengan unsur tertinggi NH 4 + sebesar 8748,19 µmol/m2 dan Na+ sebesar 9968,45 µmol/m2. Ion NH 4 + yang tinggi di Pulau Baai kemungkinan besar pengaruh dari pembakaran biomasa dari wilayah Sumatera Selatan terlihat dari deposisi NH 4 + yang tinggi di Palembang. Adapun deposisi Na+ yang tinggi berasal dari laut Hindia yang dipengaruhi angin tenggara. Tren Keasaman Air Hujan (pH) Selama periode 2000 sampai 2013 rata-rata pH air hujan bervariasi untuk seluruh Indonesia berkisar 3,67-5,71; untuk daerah monsunal adalah 3,60-5,87 dan untuk daerah ekuatorial adalah antara 3,50-6,01 (Gambar 3). Tren pH air hujan di Indonesia secara rata-rata berada dibawah 5,6 (batas hujan asam) dari 2000 sampai 2013 meskipun tahun 2011 ada bulan bulan dengan pH naik diatas 5,6 yaitu untuk rata-rata Indonesia adalah 5,13. Nilai pH dilihat secara Prosiding SNSA 2015 – Halaman 276
rata-rata baik untuk daerah monsunal maupun ekuatorial berurutan yaitu 5,11 dan 5,10. Lacaux et al.,33 dan Seinfeld34 menyatakan bahwa hujan dengan nilai pH < 5,6 adalah kondisi dimana hujan dikatakan asam atau hujan asam. Nilai pH sangat dipengaruhi oleh kesetimbangan dari anion (SO 4 2-, NO 3 -, Cl-) dan kation (NH 4 +, Ca2+, Na+, Mg2+, K+ , dan H+) dalam air hujan. Unsur-unsur kation adalah penetral untuk unsur anion, sehingga pH air hujan menjadi basa atau nilainya akan cenderung tinggi. Nilai pH yang tinggi pada bulan-bulan Agustus sampai Oktober terkontrol dengan unsur penetral Na+, Mg2+, dan K+ yang tinggi pula. Menurut Hu et al.,18 bahwa Mg2+, Na+ dan K+ merupakan komponen yang berasal dari sumber laut juga partikel debu tanah adalah unsur-unsur penetral asam (anion). Berdasarkan distribusi pH air hujan ternyata kondisi rata-rata pH < 5,6 berarti telah terjadi hujan asam di Indonesia selama 2001 sampai 2013 (Gambar 4). Telah terjadi hujan asam dengan pH< 5,6 dari data rata-rata Indonesia sebanyak 89,82%; rata-rata di daerah monsunal sebanyak 91,02%; dan rata-rata di daerah ekuatorial sebanyak 85,03%. Untuk memperjelas keasaman air hujan tentunya harus dilihat kandungan ion asam maupun basa yang mempengaruhinya.
Tuti Budiwati, dkk.
KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap kota mempunyai jumlah deposisi asam yang berbeda pada musim yang sama dan sesuai dengan pola curah hujan. Berarti pola deposisi asam dari daerah tipe curah hujan monsunal berbeda dengan daerah ekuatorial. Maka curah hujan yang tinggi berpotensi mengendapkan sejumlah ionion kimia dalam air hujan. Pada musim peralihan musim kemarau ke musim dimana jumlah partikel karena debu dan kebakaran hutan akan menjadi beban pada proses pencucian bulanbulan basah DJF sampai MAM baik di daerah monsunal maupun ekuator. Tren pH air hujan di Indonesia selama periode 2000 sampai 2013 berdasarkan nilai rata-rata bulanan menunjukkan bahwa sebesar 89,82% adalah nilai dibawah 5,6. Meskipun tahun 2011 terdapat bulan-bulan dengan pH naik diatas 5,6 . Hal ini menunjukkan telah terjadi hujan asam di Indonesia. Nilai pH secara rata-rata Indonesia dibandingkan dengan rata-rata di daerah monsunal dan ekuatorial adalah sama. Hal ini menunjukkan bahwa pH air hujan tidak dipengaruhi oleh curah hujan saja, tetapi ada faktor lainnya seperti sumber emisi yang mempengaruhinya. Berdasarkan nilai ratarata pH < 5,6 di Indonesia maka peranan anion lebih besar dari kation. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Pusat Sains Dan Teknologi Atmosfer LAPAN yang telah mendanai pemantauan deposisi asam di Cekungan Bandung dan menyediakan data deposisi asam lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1
Budiyono A., dan T. Samiaji, 2009, Prosiding Seminar Nasional Proyeksi Iklim dan Kualitas Udara 2010-2014, LAPAN 28-29 Juli 2009, xvii-69. 2 Milukaite, A., A. Mikelinskiene, and B. Giedraitis., 2000. Characteristics of SO 2 , NO 2 , Soot and Benzo(a)pyrene Concentration Variation on the Eastern Coast of the Baltic Sea, Acid Rain 2000. Proceeding from the 6th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, Vol. III, 1553-1558. 3 Meszaros, E., 1981. Atmospheric Chemistry Fundamental Aspects. Elsevier Scientific Publishing Company, 119-120.
4
Sanusi, A, H. Wortham, M. Millet, and P. Mirabel, 1996. Chemical Composition Of Rain Water In Eastern France. Atmospheric Environment Vol. 30, No. 1, 59-71. 5 Narita Y., K. Satoh, K. Hayashi, T. Iwase T, S. Tanaka, Y. Dokiya, M. Hosoe, and K. Hayashi, 2000. Long Term Of Chemical Constituents In Tokyo Metropolitan Area In Japan. Acid Rain 2000, Proceedings from the 6 th International Conference on Acidic Deposition: Looking back to the past and thinking of the future, Tsukuba, Japan, 10-16 December 2000, Editor-in-Chief Satake Kenichi, Kluwer Academic Publishers, Vol. III: 1649-1654. 6 Al-Momani I.F., S. Tuncel, U. Eler, E. Ortel, G. Sirin, and G. Tuncel, 1995. Major Ion Composition of Wet and Dry deposition in The Eastern Mediterranean Basin.The Science of the Total Environment 164: 75-85. 7 Asman W.A.H., and Janssen A.J., 1987. A LongRange Transport Model For Ammonia and Ammonium For Europe, Atmospheric Environment, Vol. 21, No. 10, pp. 2099-2119. 8 Noguchi, I., T. Kato, M. Akiyama, H. Otsuka, and Y. Matsumoto, 1995. The effect of alkaline dust decline on the precipitation chemistry in Northern Japan. Water, Air, and Soil Pollution 85, 2357-2362. 9 Lee, B.K., S.H. Hong, D.S. Lee, 2000. Chemical composition of precipitation and wet deposition of major ions on the Korean peninsula. Atmospheric Environment 34, 563575. 10 Rastogi, N., M.M. Sarin, 2005. Chemical characteristics of individual rain events from a semi-arid region in India: three-year study. Atmospheric Environment 39, 3313-3323. 11 Tang A., Zhuang G., Wang Y., Yuan H., and Sun Y., 2005, The Chemistry of precipitasion and its relation to aerosol in Beijing, Atmospheric Environment, V. 39, pp. 33973406. 12 Dufour, C.M.L., B. Chapman, A. Lore, 1985. Acid deposition near a sour gas plant in south western Alberta. Water, Air, and Soil Pollution 24, 361-373. 13 Karlsson, V., M. Lauren, M., and S. Peltoniemi, 2000. Stability of major ions and sampling variability in daily bulk precipitation samples. Atmospheric Environment 34, 4859-4865. 14 Akkoyunlu, B.O., M. Tayanç, 2003. Analyses of wet and bulk deposition in four different regions of Istanbul, Turkey. Atmospheric Environment 37, 3571-3579.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 277
Tuti Budiwati, dkk. 15
Staelens, J., A. De Schrijver, P.Van Avermaet, G. Genouw, N. Verhoest, 2005. A comparison of bulk and wet-only deposition at two adjacent sites in Melle (Belgium).Atmospheric Environment 39, 715. 16 Chantara, S., N. Chunsuk, 2008. Comparison of wet-only and bulk deposition at Chiang Mai (Thailand) based on rainwater chemical composition. Atmospheric Environment 42, 5511-5518. 17 Torseth K., J.E. Hanssen., and A. Semb, 1999. Temporal and spatial variations of airborne Mg, Cl, Na, Ca, and K in rural areas of Norway. The Science of the Total Environment 234. 18 Hu, G.P., R. Balasubramanian, and C. D. Wu, 2003. Chemical characteristics of rainwater at Singapore. Atmospheric Environment, No. 51, hal 747 – 755. 19 Seinfeld, J.H. and S.N. Pandis, 1998. Atmospheric Chemistry and Physics from Air Pollution to Climate Change. John Wiley and Sons. INC., New York, 1031-1032. 20 Budiwati, T., W. Setyawati, E. Rachmawati, E., dan A. Indrawati, 2012, Perbandingan Sulfat dan Amonium Terhadap Nitrat Dalam Deposisi Basah, Fisika, Dinamika Dan Kimia Atmosfer Berbasis Data Satelit Dan Insitu, ISBN: 978-979-1458-58-0, 138-150. 21 Tjasjono, B., 1999, Klimatologi umum, Penerbit ITB Bandung, hal. 23. 22 Aldrian E. dan D. Susanto, 2003. Identification of three dominant rainfall region within Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Int. Journal Climatology, 23, 1435-1452. 23 Mc. Gregor G.R. and S. Nieuwolt, 1998. Tropical Climatology: An Introduction To The Climates Of The Low Latitudes, second edition, John Wiley & Sons, 125-133. 24 ADORC, 2002. Manual Quality Assurance/Quality Control (QA/QC). Program for Wet Deposition Monitoring in East Asia by ADORC Acid Deposition and Oxidant Research Center –Japan. 25 Achmadi, U.F., 1996. Public Health Implications of Environmental Pollution in Urban Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition, 5.3. 141-144. 26 Graedel T.E., and P.J. Crutzen, 1993. Atmospheric Change and Earth System Perspective. WH Freeman and Company, New York, hal. 238. 27 Hamonangan, E., A. Kondo, A. Kaga, Y. Inoue, S. Soda, and K. Yamaguchi, 2003. Retrieval Prosiding SNSA 2015 – Halaman 278
of Emission Loads from Measured Nitrogen Oxide Concentrations in Jakarta City. Clean Air and Environmental Quality 37 No. 2, 3237. 28 Setyawati, W., dan T. Budiwati, 2011. Forest fire contribution to atmospheric aerosol distribution (AOD 483.5nm ), tropospheric NO 2 and SO 2 total column in West Kalimantan During Period 2004-2009. International Symposium on the 10thAnniversary of the Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Jakarta, September 22-23, ISBN: 978-979-1458-52-8. 29 Setyawati, W., dan T. Budiwati, 2012. Analisis Total Kolom SO 2 di Sumatera Dan Jawa Periode 2004-2008 Hasil Observasi SCIAMACHY. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, ISBN 978-602-19911-1-4, Mei 2012, Pusat Penginderaan Jauh ITB, 5569. 30 Budiwati, T., 2013. Variabilitas NO 2 Troposfer Dan Total Dan SO 2 Total Di Sumatera Berbasis Data Satelit. Prosiding: Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia 2012 Buku 2: "Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia", Ikatan Ahli Teknik Penyehatan dan Lingkungan Indonesia, ISSN No. 20884818, 217-226, 2013. 31 Budiwati, T., dan W. Setyawati, 2012, Analisis aerosol dan total O 3 di Jawa hasil observasi Aura Omi. Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia, ISBN 978-602-19911-1-4, Mei 2012, Pusat Penginderaan Jauh ITB, 39-54. 32 Santoso, M., P.K. Hopke, A. Hidayat, and D.D. Lestiani, 2008. Sources identification of the atmospheric aerosol at urban and suburban sites in Indonesia by positive matrix factorization. Science of the Total Environment 397, 229– 237. 33 Lacaux J.P., J. Servant, and J.G.R. Baudet, 1987. Acid Rain In The Tropical Forests Of The Ivory Coast. Atmospheric Environment, Vol. 21, No 12, hal 2643 – 2647. 34 Seinfeld, J.H., 1986. Atmospheric Chemistry and Physics of Air Pollution, John Wiley and Sons. INC., New York, hal 695 - 720.
Toni Samiaji
VARIASI MUSIMAN KONSENTRASI METAN DI KOTA SEMARANG DAN JAKARTA SEASONAL VARIATION OF METHANE CONCENTRATION IN SEMARANG AND JAKARTA CITY Toni Samiaji Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jl Dr Djundjunan No 133 Bandung 40173* Pos-el:
[email protected] ABSTRACT Methane gas could be emitted from flood area. Semarang city is related to be stricken by flood frequently, so it’s needed to research methane concentration characteristic in Semarang City. The aim of this research is to know seasonal variation of methane concentration in Semarang City, then its result is prooved by result which obtained from Jakarta City. Jakarta City is city which often undergo flood too. Methane concentration data were obtained from TES cencor of Aura satellite belongs to NASA from 2004 until 2010. Research result for Semarang City showed that surface methane concentration in rainy season DJF higher than transition season (MAM and SON) and dry season JJA. But for methane concentration profile in troposfer showed conversely phenomena. As well as season variation of methane total column showed same pattern with concentration profile of maximum methane i.e. at dry season was higher than wet season and transition season MAM. These results were prooved by result which obtained from Jakarta City and its surround which showed same phenomena. Keywords : concentration of methane gas, seasonal variation ABSTRAK Gas metan dapat diemisikan dari lahan yang dilanda banjir. Kota Semarang adalah kota yang sering dilanda banjir. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai karakteristik konsentrasi metan di Kota Semarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi musiman terhadap konsentrasi metan di Kota Semarang, kemudian hasilnya dibuktikan dengan hasil dari Kota Jakarta yang juga sering dilanda banjir. Data konsentrasi metan diperoleh dari sensor TES pada satelit Aura situs NASA, dari tahun 2004 hingga 2010.Hasil penelitian untuk Kota Semarang menunjukkan bahwa konsentrasi metan permukaan pada musim penghujan (DJF, Desember-Januari-Februari) lebih tinggi daripada musim peralihan (MAM, Maret-April-Mei dan SON, September-Oktober-November) dan musim kemarau (JJA, Juni-Juli-Agustus). Namun untuk profil konsentrasi metan di troposfer menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Demikian pula variasi musiman kolom total metan menunjukkan pola yang sama dengan profil konsentrasi metan maksimum yakni pada musim kemarau adalah lebih tinggi daripada musim penghujan dan musim peralihan (MAM). Hasil ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh dari Kota Jakarta dan sekitarnya yang menunjukkan fenomena yang sama. Kata kunci : konsentrasi gas metan, variasi musiman
PENDAHULUAN Gas metan merupakan bagian dari gas alam karena secara alami diemisikan dari alam, seperti berasal dari kolam, sawah1, 2 pertambangan batubara, sampah organik,3 peternakan4 dan lain lain. Meskipun gas metan dikenal sebagai gas rumah kaca, namun dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Misalnya penangkapan gas metan dari kolam anaerobik pengolahan air limbah Pabrik Kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VI yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik di PTPN VI Jambi.5 Selain itu gas metan dapat dioksidasi
secara parsial menjadi metanol dan formaldehida untuk penggunaan di industri kimia.6 Gas metan (CH 4 ) adalah gas yang tidak berbau, tidak berwarna dan mudah terbakar.7 Sedangkan gas metan dapat diemisikan dari lahan yang dilanda banjir.8 Kota Semarang sering dilanda banjir sebagai akibat dari musim penghujan, perlu kiranya meneliti karakteristik konsentrasi metan di Kota Semarang khususnya yang berkaitan dengan musim. Sebagai pembanding penelitian ini, juga dilakukan penelitian di Kota Jakarta untuk membuktikan hasil penelitian di Kota Semarang. Kota Semarang dan Kota Jakarta sering dilanda banjir Prosiding SNSA 2015 – Halaman 279
Toni Samiaji
rob, tidak jarang bahkan kedua kota tersebut sering mengalami kebanjiran pada waktu musim kemarau yaitu ketika pasang naik terjadi maksimum (sewaktu posisi bulan super moon). Pada penelitian ini akan diketahui apakah ketiga jenis konsentrasi metan (permukaan, profil dan kolom) tersebut mempunyai karakteristik yang sama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi musiman konsentrasi metan di Kota Semarang, kemudian hasilnya dibandingkan dengan hasil dari Kota Jakarta. Sasaran penelitian ini adalah diperolehnya karakteristik gas metan pada musim yang berbeda. Sumber air banjir dapat dibedakan menjadi 3, yaitu air hujan, air laut yang mengalami pasang naik dan gabungan dari air hujan dan air laut. Sumber air banjir dari laut yang mengalami pasang naik sering disebut dengan banjir rob. Kedua kota, Semarang dan Jakarta sering mengalami banjir, baik yang disebabkan hujan ataupun air laut yang sedang pasang naik, atau gabungan dari keduanya. Salah satu syarat terbentuknya emisi CH 4 adalah kondisi badan air yang bersifat anaerob. Air tergenang seperti banjir adalah contoh kondisi badan air yang anaerob. Hal tersebut yang menjadi latar belakang perlunya dilakukan penelitian ini. METODOLOGI Lokasi penelitian ini adalah Kota Semarang dan Kota Jakarta, sedangkan waktu penelitiannya adalah dari tanggal 3 September 2004 hingga 23 Desember 2010. Perangkat yang digunakan pada penelitian ini adalah sensor TES (Tropospheric Emission Spectrometer) yang ditumpangkan pada satelit Aura milik NASA. Sensor ini digunakan untuk mengamati konsentrasi gas metan permukaan, profil dan kolom total. Konsentrasi metan permukaan dan profil dalam satuan volume mixing ratio (vmr) dan total kolom metan dalam satuan jumlah molekul per satuan luas (cm2). Metode analisis yang digunakan adalah dilihat variasi musiman konsentrasi metan permukaan, profil dan total kolom. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data harian dari tanggal 3 September 2004 hingga 23 Desember 2010 yang diunduh untuk lokasi Kota Semarang (110.02o – 110.82o BT, 6.55o -7.35o LS) dan untuk perbandingan diambil lokasi Kota Jakarta (106.50o – 107.30o BT, 5.97o – 6.77o LS) dari sensor TES pada satelit Aura.9Kemudian data harian tersebut Prosiding SNSA 2015 – Halaman 280
difilter, dirata-ratakan, diplot dan dianalisis. Pada penelitian ini juga digunakan data sekunder yang digunakan untuk analisis data primer. Data sekunder tersebut adalah data kejadian banjir di Kota Jakarta dan Kota Semarang dari tanggal 3 September 2004 hingga 23 Desember 2010 yang diperoleh dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).10 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi CH 4 dari permukaan di Kota Semarang disajikan pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa konsentrasi metan permukaan dari tahun 2005 hingga 2008 di Kota Semarang pada musim penghujan (DJF) lebih tinggi daripada musim kemarau (JJA). Demikian pula konsentrasi metan permukaan pada musim penghujan lebih tinggi daripada musim peralihan (MAM atau SON). Demikian pula untuk kota lain yang sering mengalami banjir seperti kota Jakarta (lihat Tabel 1). Pada Gambar 2 ditampilkan bahwa konsentrasi metan permukaan musim penghujan (DJF) lebih besar daripada musim kemarau (JJA) dan musim peralihan (MAM dan SON). Fluks gas metana ternyata mempunyai hubungan linear dengan presipitasi (curah hujan) yang jatuh di 3 lokasi yakni lahan terbuka, lahan sawah dan hutan sekunder di Kalimantan Selatan, yakni bilamana presipitasi bertambah maka fluk gas metan pun bertambah meskipun koefisien korelasinya (r) masih rendah (r=0.333).11 Jadi hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sumirat dan Solehudin11, karena musim penghujan yang mengindikasikan presipitasi yang lebih besar daripada musim kemarau dan musim peralihan akan menaikkan fluk gas metan yang menyebabkan konsentrasi metan permukaan di musim penghujan lebih besar daripada musim peralihan dan musim kemarau baik untuk kota Jakarta maupun kota Semarang. Tabel 1. Jumlah hari terjadinya banjir 3 Sep 2004 23 Des 2010 Bulan
Semarang
Jakarta
DJF
20
12
JJA
0
4
SON
5
4
MAM
10
5
Toni Samiaji
musim kemarau (JJA) yang lebih tinggi daripada musim hujan (DJF) dan musim peralihan (MAM dan SON) (Gambar 3). Demikian pula hal yang sama terjadi untuk profil metan Kota Jakarta, yakni konsentrasi metan maksimum pada musim kemarau (JJA) yang lebih tinggi daripada musim penghujan (DJF) dan musim peralihan (MAM dan SON) (Gambar 4).
Gambar 1. Variasi musiman konsentrasi CH 4 permukaan di Kota Semarang
Gambar 2. Variasi musiman konsentrasi CH 4 permukaan di Jakarta
Gambar 3 Profil metan di Kota Semarang
Berbeda dengan metan permukaan, untuk profil metan di Kota Semarang dan sekitarnya, konsentrasi metan maksimum terdapat pada
Gambar 4. Profil metan musiman di Jakarta
Gambar 5. Variasi musiman total kolom metan di Kota Semarang
Sedangkan untuk kolom total metan di Semarang dan sekitarnya, ternyata kolom total metan pada musim penghujan (DJF) dan musim peralihan (MAM) adalah lebih rendah daripada Prosiding SNSA 2015 – Halaman 281
Toni Samiaji
musim kemarau (JJA) pada tahun yang sama (Gambar 5).Demikian pula untuk Kota Jakarta total kolom metan pada musim peralihan (MAM) dan musim penghujan (DJF) adalah lebih rendah daripada musim kemarau (JJA) pada tahun yang sama (Gambar 4 sampai dengan Gambar 6).
Gambar 6. Variasi musiman total kolom metan di Jakarta
Di sini terlihat bahwa konsentrasi metan permukaan pada musim penghujan selalu lebih tinggi daripada musim kemarau. Kondisi ini diduga berkaitan dengan banjir yang terjadi di Kota Semarang dan Kota Jakarta. Lahan banjir mengemisikan gas metan dan menurut Tabel 1 banjir lebih sering terjadi pada musim penghujan daripada musim kemarau. Namun berbeda untuk lokasi Kototabang yang menurut Pujiastuti,12 menunjukkan curah hujan yang tinggi mengakibatkan konsentrasi metan di permukaan menurun. Perbedaan ini disebabkan Kototabang, Kota Semarang dan Kota Jakarta memiliki perbedaan topografi, Kota Semarang dan Kota Jakarta yang terletak di dataran rendah sering terjadi banjir, sedangkan Kototabang yang terletak di dataran tinggi belum pernah terjadi banjir. Pada kawasan dengan air hujan yang langsung berinfiltrasi, konsentrasi metana cenderung rendah. Pada kawasan dengan air hujan menggenang dan terjadi banjir, maka konsentrasi metana cenderung tinggi. Menurut Pujiastuti (2012),12 turunnya konsentrasi metan permukaan saat curah hujan tinggi di Kototabang adalah akibat radikal OH yang bereaksi dengan metan. Di Jakarta dan Semarang pun ada reaksi radikal OH dengan metan permukaan, tetapi karena Jakarta dan Semarang sering dilanda banjir, diduga fluk Prosiding SNSA 2015 – Halaman 282
metan dari genangan air lebih besar daripada pengurangan metan akibat reaksi tersebut. Radikal OH ini sebagai hasil dari reaksi uap air dengan radikal Oksigen. Saat curah hujan tinggi maka radikal OH yang dihasilkan di troposfer semakin banyak dan menyebabkan konsentrasi metan permukaan di Kototabang menurun. Hal ini dapat dilihat pada Gambar profil metan di Gambar 3 dan Gambar 4 yang mana konsentrasi metana maksimum pada musim basah adalah lebih kecil daripada musim kering. Konsentrasi metana maksimum ini berada di lapisan troposfer (tekanan < 100 hPa). Kemudian bila konsentrasi metan ini dimampatkan pada luas penampang 1 cm2 dari ketinggian tak terhingga hingga permukaan tanah maka akan dihasilkan kolom total metan. Di sini kolom total metan pada musim kering terlihat lebih besar daripada musim basah pada tahun yang sama. Ini diduga karena 2 hal, yang pertama berkaitan dengan konsentrasi metan di troposfer yang mana di troposfer konsentrasi metan pada musim kering lebih besar daripada musim basah (ini dikarenakan konsentrasi radikal OH yang merusak metan pada musim basah lebih besar daripada musim kering), kemudian jumlah metan di troposfer lebih banyak daripada di stratosfer, sehingga menjadikan kolom total metan pada musim kering lebih besar daripada musim basah pada tahun yang sama. KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian variasi musiman terhadap konsentrasi metan permukaan, total kolom dan profilnya di Kota Semarang dari tahun 2004 hingga 2010. Hasil menunjukkan konsentrasi metan permukaan pada musim penghujan (DJF) lebih tinggi daripada musim peralihan (MAM dan SON) dan musim kemarau (JJA). Namun untuk profil konsentrasi metan di troposfer menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Demikian pula variasi musiman kolom total metan menunjukkan pola yang sama dengan profil konsentrasi metan maksimum yakni pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim penghujan dan musim peralihan (MAM). Hasil ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian untuk Kota Jakarta yang menunjukkan fenomena yang sama. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Lapan atas tersedianya seminar ini sebagai media sosialisasi penelitian ini.
Toni Samiaji
DAFTAR PUSTAKA 1
Wihardjaka, 2004. Emisi gas metana dari beberapa varietas padi pada tanah sawah tadah hujan vertic endoaquepts, Sains Tanah 4 (1): 21-25. 2 Suwarna N., Hermanto B., Sihombing T. and Kusumah K.D., 2006. Coalbed methane potensial and coal characteristics in the Lati region, Berau basin, East Kalimanatan, Jurnal Geologi Indonesia 1 (1):19-30. 3 Gareso P.L., Dewang s., Paembonan S.P. dan Wahab A.W., 2010.Reaktor biogas sampah organik untuk menghasilkan gas metana (CH 4 ), J. Sains MIPA 16 (2):99-104. 4 Gustiar F., Suwignyo R.A., Suheryanto dan Munandar, 2014. Reduksi gas metan (CH 4 ) dengan meningkatkan komposisi konsentrat dalam pakan ternak sapi, Jurnal Peternakan Sriwijaya 3 (1):14-24. 5 Febijanto I., 2010. Potensi penangkapan gas metana dan pemanfaatannya sebagai bahan bakar pembangkit listrik di PTPN VI Jambi, J. Ilm. Tek. Energi 1 (10): 30-47. 6 Husin H., Mairiza L. dan Zuhra, 2007. Oksidasi parsial metana menjadi metanol dan formaldehida menggunakan katalis CuMoO 3 /SiO 2 : Pengaruh rasio Cu:Mo, temperature reaksi dan waktu tinggal, Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 6 (1): 2127. 7 Lestari L.I., Soemirat J. dan Dirgawati M., 2013. Penentuan konsentrasi gas metan di udara zona 4 sumur batu kota Bekasi, Jurnal Institut Teknologi Nasional 1 (1):1-11. 8 Supriatin S.L., 2001. Pemanfaatan gas metan sebagai sumber energi, Berita Dirgantara 2 (1):31-34. 9 NASA, 2015. TES Level-3 Daily Global Surveys, Tropospheric Emission Spectrometer Global 2.0° x 4.0° Gridded Data dalam http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov/daacbin/G3/gui.cgi?instance_id=tes_l3daily. 10 BNPB, 2015.Data & Informasi Bencana Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam http://dibi.bnpb.go.id/DesInventar/simple_dat a.jsp. 11 Sumirat U. dan Solehudin A., 2009. Nitrous Oksida (N 2 O) dan Metana (CH 4 ) sebagai gas rumah kaca, TORSI7(2):13-20. 12 Pujiastuti D., 2012.Analisis pola konsentrasi metana (CH 4 ) dan Curah Hujan di
Kototabang tahun 2004-2009, Jurnal Teknik Lingkungan UNAND 9(2):146-154.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 283
Wendi Harjupa, dkk.
VARIABILITAS DIURNAL PARAMETER ATMOSFER BERBASIS PENGAMATAN DI KOTOTABANG DIURNAL AND VERTICAL VARIABILITY ATMOSPHERIC PARAMETERS BASED ON OBSERVATIONSI IN KOTOTABANG Wendi Harjupa, Syafrijon dan Ridho Pratama Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang Lembaga Penerbangan Dan Antariksa Nasional email :
[email protected] ABSTRACT Atmospheric condition in the equatorial region is very interesting to study. Many atmospheric circulations that affect to the atmosphere condition at the equatorial region. Global circulation such as monsoon and regional circulation as Madden Julian Oscillation (MJO) make the atmosphere condition at the equator is vary widely. In addition, due to the equatorial region receive more intensity radiation from the sun causes local circulation at the equatorial region is different to other regions. The purpose of this research is to study the diurnal variation of surface temperature and precipitation over Kototabang, and to study the vertical variation of wind, clouds and rain. The data used in this study are temperature and precipitation observation data which taken from Optical Rain Gauge (ORG). The vertical profile data of cloud which taken from mie LIDAR observations, the vertical wind profile data which taken from Equatorial Atmosphere Radar (EAR) observations and vertical rainfall profile data which taken from Micro Rain Radar (MRR) observations at a specified time period are also used. The data is analyzed statistically. From the data analysis, the average temperature and rainfall in two different seasons are found that the differences of timing of the peak temperature. It also obtained information that in Kototabang maximum rainfall occurred in the afternoon in both the wet season and the dry season. Keywords:diurnal, vertical, cloud, rainfall, EAR, ORG. ABSTRAK Kondisi Atmosfer di daerah ekuator sangat menarik untuk diteliti. Banyak sirkulasi atmosfer yang mempengaruhi keadaan atmosfer di daerah ekuator. Sirkulasi global seperti monsoon dan sirkulasi regional seperti Madden Julian Oscillation (MJO) membuat keadaan atmosfer di daerah ekuator sangat bervariasi. Selain itu dengan menerima intensitas penyinaran yang lebih banyak dari matahari menyebabkan daerah ekuator mempunyai sirkulasi lokal berbeda dengan daerah lain.Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari variasi diurnal temperatur permukaan dan curah hujan, serta mempelajari variasi vertikal angin, awan dan hujan di atas Kototabang. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data temperatur dan curah hujan rata-rata harian pada bulan Januari dan Juli dari tahun 2008-2013 hasil pengamatan Optical Rain Gauge (ORG). Digunakan juga data profil vertikal awan hasil pengamatan mie LIDAR, data profil vertikal angin hasil pengamatan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) dan data profil vertikal hujan hasil pengamatan Micro Rain Radar (MRR) pada periode waktu tertentu.. Dengan menggunakan metode statistik, data tersebut dapat dianalisis dan hasilnya menunjukkan bahwa data temperatur ratarata harian dan curah hujan rata-rata harian pada dua musim dan tahun yang berbeda didapatkan perbedaan waktu terjadinya temperatur puncak. Selain itu juga diperoleh informasi bahwa di Kototabang curah hujan maksimum terjadi pada sore hari baik itu pada musim basah ataupun musim kering. Kata kunci:diurnal, vertikal, awan, curah hujan, EAR, ORG.
PENDAHULUAN Secara geografis Indonesia terletak merupakan negara maritim1 yang terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua lautan besar (samudera Hindia dan Pasifik). Karena posisi geografisnya tersebut menyebabkan Indonesia dipengaruhi oleh banyak fenomena iklim yang terjadi di atmosfer bumi. Mulai dari fenomena Prosiding SNSA 2015 – Halaman 284
iklim global seperti ENSO El-Niño And Southern Oscillation (ENSO)2 Tropospheric Biennial Oscillation (TBO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan Madden Julian Oscillation (MJO)3 yang mempengaruhi iklim Indonesia mulai dari skala tahunan sampai skala bulanan. Fenomena iklim regional seperti sirkulasi monsunal dan Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) juga sangat mempengaruhi variabilitas iklim Indonesia.
Wendi Harjupa, dkk.
Indonesia yang juga terletak di daerah khatulistiwa menjadikannya termasuk dalam wilayah beriklim tropis, dimana daerah ini kaya akan energi matahari karena hampir sepanjang tahun mendapatkan panas dari matahari rata-rata selama 12 jam. Dengan lautan luas yang mengelilinginya membuat Indonesia juga kaya akan uap air. Dengan perpaduan energi matahari dan uap air yang banyak ini maka akan menghasilkan fenomena iklim yang luar biasa, dimana awan-awan konvektif biasa terjadi pada siang hari dan menghasilkan hujan yang sangat lebat. Kondisi topografi Indonesia yang terdiri atas banyak pegunungan membuat konsisi iklim semakin beragam dimana hal ini bisa menghasilkan awan-awan cumulonimbus yang menjulang tinggi di sekitar pegunungan tersebut. Awan-awan tersebut terjadi disebabkan oleh adanya aliran udara dan awan dari Samudera Hindia. Selanjutnya awan tersebut terperangkap karena adanya pegunungan.4 Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa sirkulasi lokal yang disebabkan oleh topografi Sumatera berperan penting dalam pembentukan konveksi. 5,6,7
Loka Pengamatan Atmosfer (LPA) Kototabang diresmikan pada bulan Juni tahun 2001, dengan dilengkapi dengan radar raksasa untuk pengamatan atmosfer. Equatorial Atmospher Radar (EAR) merupakan proyek kerjasama antara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dengan Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) Universitas Kyoto, Jepang. Radar ini digunakan untuk pengamatan angin tiga dimensi dari ketinggian 2 km sampai 20 km.8 Dengan resolusi waktu pegamatan yang tinggi maka variasi pergerakan angin di atmosfer (lapisan troposfer) dapat dipantau. Selain untuk pengamatan angin EAR juga digunakan untuk pengamatan hujan dan turbulensi sehingga radar ini bisa digunakan untuk memantau proses konveksi yang terjadi di daerah ekuator. Untuk mendukung hasil pengamatan EAR maka dipasang juga Light Detection and Ranging (LIDAR) dan Optical Rain Gauge (ORG). Sistem LIDAR yang dipasang di Kototabang adalah mie LIDAR, dimana dengan mie LIDAR ini maka ketinggian aerosol dan awan yang terjadi di daerah ekuator (di atas Kototabang) bisa dipantau.9 Hal ini sangat membantu hasil yang didapatkan oleh EAR. Kita bisa melihat ketinggian awan yang terjadi dengan menggunakan mie LIDAR, yang mana awanawan tersebut merupakan hasil dari turbulensi
yang bisa di pantau oleh EAR. Data ORG juga sangat membantu hasil yang diperoleh EAR. Dengan resolusi waktu pengamatan yang tinggi, ORG bisa memberikan informasi curah hujan dalam skala menit. Awan-awan hasil pengamatan dari mie LIDAR yang akhirnya menghasilkan hujan dapat diklasifikasikan lebih detail dengan membandingkan curah hujan yang terjadi di permukaan. Tujuan dan sasaran dari penelitian ini adalah untuk menganalisis variasi diurnal temperatur permukaan dan curah hujan di atas Kototabang, mempelajari variasi vertikal angin, awan dan hujan sehingga diperolehnya informasi variasi diurnal dan variasi vertikal atmosfer di atas Kototabang. METODOLOGI Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data temperatur dan curah hujan hasil pengamatan ORG tahun 2008 – 2013. Data ORG yang digunakan selama enam tahun tersebut hanya data pada bulan Januari dan bulan Juli. Sebagai data pelengkap maka digunakan data profil vertikal awan hasil pengamatan Mie Lidar, data profil vertikal hujan hasil pengamatan MRR dan data profil vertikal angin hasil pengamatan EAR. Data profil vertikal untuk parameter yang disebutkan digunakan untuk beberapa kasus yang diperlukan sebagai studi kasus. Data-data tersebut diolah dengan menggunakan Microsoft excel dan dianalisa dengan metode statistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Temperatur rata-rata Temperatur rata-rata harian yang diperoleh selama enam tahun yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata harian temperatur seperti yang terlihat pada Gambar tersebut menunjukan bahwa temperatur minimum di Kototabang adalah 17oC dan temperatur maksimum adalah 29oC. Berdasarkan Gambar tersebut juga terlihat bahwa temperatur minimum baik itu dibulan Januari ataupun bulan Juli terjadi pada pukul 05.00 WIB, sedangkan temperatur maksimum terjadi pada pukul 11.00 -12.00 WIB pada bulan Juli dan pukul 12.00 – 13.00 WIB pada bulan Januari. Disini terlihat bahwa ada perbedaan puncak temperatur antara bulan Januari (basah) dan bulan Juli (kering) yang diperkirakan disebabkan oleh kandungan uap air yang tinggi dan tutupan awan yang bergerak memasuki wilayah Kototabang pada saat musim hujan. Pada penelitian sebelumnya telah ditemukan bahwa Prosiding SNSA 2015 – Halaman 285
Wendi Harjupa, dkk.
awan, kelembapan dan hujan bisa menurunkan temperatur sebesar 50 persen.10 Curah hujan rata-rata Curah hujan rata-rata harian dengan menggunakan data ORG selama enam tahun (2008 – 2013) ditampilkan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 tersebut terlihat bahwa puncak rata – rata curah hujan selalu terjadi setelah jam 12 siang baik itu pada bulan basah (Januari) atau bulan kering (Juli). Sedangkan rata-rata curah hujan pada dini hari tidak terlalu tinggi pada dua bulan yang berbeda. Variasi diurnal dan vertikal Hujan konvektif study kasus 1 April 2013 Variasi diurnal dan vertikal hujan dianalisis pada tanggal 1 April 2013 terlihat pada Gambar 3. Hujan konvektif yang ditandai dengan hujan intensitas tinggi dan waktu yang singkat11 ditunjukan pada Gambar 3a. Berdasarkan Gambar 3b dapat dilihat bahwa terjadi penurunan temperatur yang sangat drastis. Data profil awan dari pengamatan mie LIDAR yang ditunjukan oleh Gambar 3c memperlihatkan bahwa partikel awan terdeteksi mulai dari permukaan sampai ketinggian 6 km. Intensitas scattering ratio sangat tinggi terdeteksi di permukaan pada pukul 10.00 WIB. Data mie LIDAR terputus mulai dari pukul 11.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB dikarenakan alat berhenti beroperasi untuk melindungi lensa teleskop dari sinar matahari. Intensitas scattering awan juga sangat tinggi terdeteksi pada pukul 13.00 WIB sampai pada saat sebelum terjadinya hujan. Gambar 3d menunjukan profil hujan yang terdeteksi oleh MRR. Berdasarkan Gambar 3d tersebut terlihat bahwa hujan dengan intensitas tinggi terdeteksi di permukaan, selanjutnya hujan terdeteksi sampai ketinggian 3 km. Hujan dengan intensitas tinggi terdeteksi diawal terjadinya hujan. Hujan konvektif study kasus 23 April 2013 Hujan konvektif terdeteksi oleh ORG pada tanggal 23 April 2013 seperti terlihat pada Gambar 4a. Dimana hujan terjadi dengan intensitas tinggi dan waktu yang pendek. Gambar 4b menunjukan nilai temperatur yang turun drastis pada saat hujan terjadi. Profil vertikal awan yang ditunjukan oleh Gambar 4c merupakan scattering mie LIDAR. Disini terlihat bahwa intensitas awan terdeteksi sangat tinggi pada saat sebelum terjadinya hujan. Awan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 286
terdeteksi mulai pukul 06.30 WIB dimana scattering awan terdeteksi sampai ketinggian 10 km. Hujan dengan intensitas tinggi terjadi pada pukul 13.30 seperti ditunjukan oleh Gambar 4d. Intensitas hujan terdeteksi sangat tinggi diawal terjadinya hujan. Dipermukaan hujan dengan intensitas tinggi juga terdeteksi. Pada pukul 18.00 sampai 23.00 terdeteksi hujan dengan intensitas tinggi pada ketinggian 4 km. Seperti terlihat didalam lingkaran merah pada Gambar 4d. Hal ini terlihat seperti melting layer. Hujan stratiform Kejadian hujan yang terdeteksi oleh ORG pada tanggal 6 April merupakan hujan tipe stratiform, dimana hal ini ditunjukan oleh hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi dan waktu yang lama 11 seperti ditunjukan oleh Gambar 5a. Terlihat bahwa nilai temperatur menjadi rendah sepanjang hari pada saat hujan terjadi. Nilai temperatur naik kembali pada waktu hujan berhenti seperti ditunjukan Gambar 5b. Hal ini menunjukan adanya hubungan antara tutupan awan atau hujan dengan temperatur 12 dimana awan dapat menurunkan temperatur dengan memantulkan cahaya matahari. Penelitian dengan menggunakan model iklim global menemukan bahwa awan disemua lapisan dapat menurunkan nilai temperatur.13 Awan terdeteksi oleh mie LIDAR melalui scattering ratio yang ditunjukan oleh Gambar 5c. Berdasarkan Gambar 5c tersebut awan terdeteksi di permukaan dengan intensitas rendah pada waktu hujan terjadi. Sedangkan pada waktu hujan berhenti scattering ratio mie LIDAR meningkat. Hal ini dapar dilihat pada scattering ratio pukul 13.00 WIB sampai 17.00 WIB pada Gambar 5c. Profil vertikal hujan pada Gambar 5d menunjukan bahwa intensitas hujan terdeteksi hanya pada permukaan, yaitu hanya sampai ketinggian 2 km. Hubungan curah hujan dan kecepatan angin vertikal Hubungan curah hujan dan angin vertikal ditampilkan pada Gambar 6a-c. Berdasarkan Gambar 6a terlihat bahwa hujan konvektif terjadi pada pukul 16.00 WIB. Pada saat dan sebelum hujan terpantau data EAR menunjukan adanya updraft yang tinggi seperti bisa terlihat pada lingkaran merah di Gambar 6a. Hal yang sama terjadi pada tanggal 23 April 2013, dimana hujan konvektif terjadi pada pukul 14.00 WIB. Updraft terpantau oleh EAR sampai ketinggian 10 km seperti ditunjukan pada lingkaran merah di Gambar 6b.
Wendi Harjupa, dkk.
Gambar 1. Temperatur rata-rata harian pada bulan Januari dan Juli tahun 2008 – 2013 di Kototabang
Gambar 2. Curah hujan rata-rata harian tahun 2008 – 2013 di Kototabang selama bulan Januari dan Juli
Gambar 3. Variasi diurnal dan vertikal dilihat dari a) curah hujan permukaan, b) temperatur permukaan, c) scattering ratio awan, d) profil vertikal hujan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 287
Wendi Harjupa, dkk.
Gambar 4. Variasi diurnal dan vertikal dilihat dari a) curah hujan permukaan, b) temperatur permukaan, c) scattering ratio awan, d) profil vertikal hujan
Gambar 5. Variasi diurnal dan vertikal dilihat dari a) curah hujan permukaan, b) temperatur permukaan, c) scattering ratio awan, d) profil vertikal hujan
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 288
Wendi Harjupa, dkk.
Gambar 6. Hubungan curah hujan dan angin vertikal a) 1 April 2013, b) 23 April 2013, c) 6 April 2013
Dari dua kejadian tersebut bisa dikatakan bahwa pada saat hujan konvektif terjadi maka updraft juga terjadi yang menandakan adanya proses konveksi. Berbeda dengan hujan konvektif, di Gambar 6c menunjukan proses hujan stratiform dimana hujan berlansung lama dengan intensitas rendah. Tidak ada updraft terbentuk pada saat terjadinya hujan stratiform. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak adanya proses konveksi karena tidak adanya pemanasan dari matahari. KESIMPULAN Dari analisa yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa temperatur rata- rata terendah selama enam tahun pengamatan (2008 – 2013) adalah 17 oC, dan temperatur rata – rata tertinggi adalah 29 oC. Temperatur rata- rata terendah terjadi pada pukul 5.00 WIB baik pada bulan Juli ataupun Januari, sedangkan rata- rata temperatur tertinggi terjadi sebelum pukul 12.00 pada bulan Juli sedangkan pada bulan Januari temperatur rata-rata tertinggi terjadi setelah pukul 12.00. Dari analisa data profil vertikal disimpulkan juga bahwa awan tinggi terbentuk sebelum terjadinya hujan konvektif, sedangkan ketinggian terjadinya hujan terdeteksi hanya pada ketinggian 3 km. Angin bergerak keatas pada saat terjadinya hujan yang menandakan adanya updraft sebagai penyebab terjadinya hujan konvekktif. Tidak ada updraft terdeteksi pada saat terjadinya hujan stratiform. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada semua teman di bidang kajian Atmosfer LPA Kototabang atas bantuannya dalam pengoperasian peralatan pengamatan atmosfer. Terima kasih juga kepada temanpeneliti dan para peneliti senior di Pusat
Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) LAPAN yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA 1
Ramage, C.S., 1968, "Role of a tropical maritime continent in the atmospheric circulation", Mon.Wea. Rev., 96, p:365–369. 2 Berlage, 1957, "Fluctuations in the general atmospheric circulation of more than one year, their nature and prognostic value", Verhandelingen, 69, p:152. 3 Madden, R.A. and P.R. Julian, 1994, "Observations of the 40–50-day tropical oscillation", —A review.Mon. Wea. Rev, 122, p:814–837. 4 Sakagami, F.R. Ohgushi, and D.W. Roubik, 1990, "Natural History of Social Wasp and Bees in Equatorial Sumatra", Hokkaido University Press, Sapporo, Japan, p:274. 5 Wu, P., J.-I. Hamada, S. Mori, Y.I. Tauhid, and M.D. Yamanaka, 2003, "Diurnal variation of precipitable water over a mountainous area of Sumatra Island", J. Appl. Meteor., 42, p:1107–1115. 6 Mori, S., J. –I. Hamada, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, and T. Sribimawati, 2004, "Diurnal land-sear rainfall peak migration over Sumatra Island, Indonesia maritime continent observed by TRMM satellite and intensive rawindsonde soundings", Mon. Wea. Rev., 132, p:2021-2039. 7 Sasaki, T., P. Wu, S. Mori, J.-I. Hamada, Y.I. Tauhid, M.D. Yamanaka, T. Sribimawati, T. Yoshikane,and F. Kimura, 2004, "Vertical moisturetransport above the mixed layer around themountains in western Sumatra",
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 289
Wendi Harjupa, dkk.
Geophys. Res. Lett., 31, L08106, doi:10.1029/2004GL019730. 8 Fukao, S., H. Hashiguchi, M. Yamamoto, T. Tsuda, T. Nakamura, M.K. Yamamoto, T. Sato, M. Hagio, and Y. Yabugaki, 2003. "The Equatorial Atmosphere Radar (EAR): System Description and First Results", RadioSci.,38(4),1053,doi:10.1029/2002RS00 2767. 9 Abo, M., C. Nagasawa, and Y. Shibata, 2006, "Multi-purpose lidar system established at the equatorial region", J. Remote Sens. Soc. Jpn., 26(1), p:45–51. 10 Dai, A., K. E. Trenberth, and T. R. Karl, 1998. "Effects of Clouds, Soil Moisture, Precipitation, and Water Vapor on Diurnal Temperature Range", J. Climate, 12, p:2451 – 2473. 11 Gray, W. R., Seed, A. W., 2000, "The Characterization of Orographic Rainfall", Meteorol. Appl. 7, p:105-119. 12 Dai, A., A. D. Del Genio, and I. Fung, 1997a. "Clouds, precipitation, and temperature range", Nature, 386, p:665–666. 13 Hansen, J., M. Sato, and R. Ruedy, 1995, "Long-term changes of the diurnal temperature cycle: Implications about mechanisms of global climate change", Atmos. Res., 37, p:175–210.
.
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 290
Wiwiek Setyawati, dkk.
VARIABILITAS TEMPORAL TOTAL HIDROKARBON DAN KARBON MONOKSIDA DI UDARA AMBIEN PERKOTAAN (STUDI KASUS: KOTA BANDUNG) TEMPORAL VARIABILITIES OF TOTAL HIDROCARBON AND CARBON MONOXIDE IN URBAN AIR (CASE STUDY:BANDUNG CITY) Wiwiek Setyawati, Saipul Hamdi, Mulyono dan Suparno Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer – LAPAN, Jl. Dr Djundjunan 133, Bandung 40173 Pos-el:
[email protected],
[email protected] ABSTRACT This paper aims to study diurnal, annual and seasonal variabilities of total hydrocarbon (THC) and carbon monoxide (CO) in urban ambient air. Total hydrocarbon are defined as the sum of methane (CH 4 ) and non-methane hydrocarbons (NMHC). Together with CO they are all carbon gases that their existences in the atmosphere can effect air quality by acting as green house gases directly or indirectly and also gaseous pollutants that are toxic to human health. THC and CO data were measured continuously by using gas analyser instruments in LAPAN Bandung in 2010 – 2011. Based on 30 minutes- average concentration of THC and CO it was found that they both had similar diurnal pattern with one maximum and one minimum peaks with increase in concentration that lead to maximum in early morning and late noon. It was due to topography of Bandung city and also increase in number of vehicles during peak hours. Decrease in both concentrations during the day were caused by photochemical oxidation by OH radicals to produce ozone.On the contrary, diurnal pattern of CH 4 had two maximum and two minimum peaks that were inversely proportional to diurnal pattern of NMHC’s concentration. The minimum of NMHC’s and the maximum CH4’s concentrations both were found in the morning. It was due to oxidation of OH radical as the main sink of atmospheric CH 4 and CO. Seasonal averageof CH 4 , NMHC and CO had ranged of 0.72 ppm – 1.05 ppm, 0.52 ppm – 0.69 ppm dan 0.36 ppm– 0.41 ppm, respectively.Unlike CO, there were clear seasonal variation of CH 4 and NMHC in Bandung. Annual average of THC and CO concentrations in Bandung city had increased from 2010-2011 about 3.96% and 40.36%, respectively. Keywords: THC,CO, CH 4 , NMHC, Bandung ABSTRAK Paper ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas diurnal, tahunan dan musiman total hidrokarbon (THC) dan karbon monoksida (CO) di udara ambien perkotaan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor di kota Bandung yang merupakan salah satu sumber emisi THC dan CO ke udara. THC (terdiri atas metan (CH 4 ) dan hidrokarbon non-metan (NMHC)) dan CO merupakan gas-gas karbon yang keberadaannya di atmosfer dapat mempengaruhi kualitas udara baik sebagai gas rumah kaca maupun gas-gas polutan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Data yang digunakan dalam analisis adalah data THC dan CO hasil pengukuran kontinyu menggunakan instrumen gas analyser di kantor LAPAN Bandung tahun 2010 – 2011. Berdasarkan data rata-rata per-30 menit diketahui bahwa THC dan CO memiliki pola diurnal yang serupa dengan satu puncak maksimum dan satu puncak minimum dimana terjadi peningkatan konsentrasi hingga mencapai maksimum pada pagi dan menjelang sore hari. Hal ini selain karena kondisi topografi juga disebabkan oleh peningkatan volume kendaraan pada saat berangkat dan pulang kerja. Penurunan konsentrasi keduanya pada saat siang hari diakibatkan oleh oksidasi oleh radikal OH dalam proses fotokimia pembentukan ozon. Sedangkan CH 4 memiliki pola diurnal dengan dua puncak maksimum dan dua puncak minimum yang berbanding terbalik dengan pola diurnal NMHC dimana konsentrasi NMHC minimum dan konsentrasi CH 4 maksimum keduanya ditemukan pada pagi hari. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh oksidasi oleh radikal OH yang merupakan sink utama dari CH 4 dan CO di atmosfer. Nilai rata-rata musiman CH 4 , NMHC dan CO ketiganya berkisar masing-masing antara 0,72 ppm – 1,05 ppm, 0,52 ppm – 0,69 ppm dan 0,36 ppm– 0,41 ppm. Berbeda dengan CO, variasi musiman CH 4 dan NMHC di Kota Bandung terlihat sangat jelas. Nilai rata-rata tahunan konsentrasi THC dan CO di Kota Bandung mengalami peningkatan pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 masing-masing sebesar 3,96% dan 40,36%. Kata Kunci: THC, CO, CH 4 , NMHC, Bandung
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 291
Wiwiek Setyawati, dkk.
PENDAHULUAN Hidrokarbon merupakan molekul organik yang terdiri atas rantai ikatan atom-atom hidrogen dengan oksigen, nitrogen dan halogen. Total hidrokarbon (THC) di udara terdiri atas Metan (CH 4 ) dan Nonmetan Hidrokarbon (NMHC) dimana keduanya dapat berperan sebagai gas rumah kaca baik secara langsung maupun tidak langsung.1 Metan merupakan gas rumah kaca terpenting kedua yang dihasilkan dari aktifitas manusia dimana sejak tahun 1700an konsentrasi globalnya terus meningkat 2 hingga 3 kali lipat.2 Emisi metan dihasilkan dari aktifitas bakteri methanogenic selama proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dan merupakan komponen utama fluks THC dari tanah organik dan gambut.1 Namun demikian aktifitas manusia seperti kegiatan pertanian dan peternakan, penggunaan bahan bakar fosil dan penanganan limbah juga mengemisikan CH 4 dalam jumlah besar.2 Oksidasi metan di troposfer oleh radikal hidroksil (OH) menghasilkan formaldehida (CH 2 O), karbon monoksida (CO) dan ozon (O 3 ) dengan adanya oksida nitrogen (NOx) dalam konsentrasi yang cukup.2 CO merupakan salah satu produk senyawa karbon utama yang dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna.1 CO merupakan salah satu polutan utama di atmosfer yang keberadaannya dapat mengganggu kesehatan mahluk hidup. CO juga berperan penting dalam proses fotokimia smog di atmosfer yaitu sebagai prekursor pembentukan ozon.3 Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 Kota Bandung merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat dengan kepadatan penduduk tertinggi sebesar 14.491 orang/km2.4 Kota Bandung mengalami peningkatan jumlah penduduk yang luar biasa dari tahun 1980 – 2010 yaitu sebesar ±40%.4 Jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di Kota Bandung mengalami peningkatan yang sangat pesat yaitu 4,63% selama tahun 2010-2011.4,5 Kota Bandung juga merupakan kota wisata yang banyak menarik wisatawan baik mancanegara maupun domestik dengan peningkatan jumlah kunjungan yang luar biasa tahun 2010-2011 sebesar 113,41%.4,5 Secara topografi Bandung berada pada wilayah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan sehingga memberikan kondisi iklim yang lembab dan sejuk. Pada tahun 2010 - 2011 suhu rata-rata Kota Bandung sekitar 23,30C, kelembaban nisbi rata-rata 80%, curah hujan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 292
rata-rata 235.7 mm, dan jumlah hari hujan ratarata 21 hari perbulan.4,5 Kombinasi antara jumlah penduduk, jumlah kendaraan bermotor dan kondisi iklimnya yang unik membuat Kota Bandung menjadi sangat rentan mengalami penurunan kualitas udara. Oleh sebab itu studi mengenai konsentrasi THC dan CO sebagai produk aktifitas manusia sangat penting dilakukan. Tujuan dari paper ini adalah untuk mengetahui pola konsentrasi keduanya sebagai fungsi dari waktu terutama di Kota Bandung. METODOLOGI Lokasi dan Data Lokasi pengukuran berada di Kota Bandung (6,50 LS; 107,250 BT) yang terletak pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut. Instrumen pengukuran diletakkan di atas gedung LAPAN Bandung pada ketinggian ± 15 m dari atas permukaan tanah dan berjarak ± 100 m arah Barat Daya jalan raya Pasteur yang padat dengan kendaraan seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Data yang digunakan dalam analisis adalah data konsentrasi ambien CH 4 , NMHC, THC dan CO dalam satuan ppm periode tahun 2010 – 2011. CH 4 dan NMHC diukur menggunakan instrumen Hydrocarbon analyser (Model APHA 370, Japan) berdasarkan metode cross flow modulated selective combustion type yang dikombinasi dengan metode hydrogen ion detection. THC sendiri merupakan total dari konsentrasi CH 4 ditambah konsentrasi NMHC. Konsentrasi CO diukur menggunakan metode non-dispersive cross modulation infra-red analysis (Model APMA 370, Japan).
Titik pengukuran
Gambar 1. Lokasi Pengukuran di kantor LAPAN Bandung (6,50 LS; 107,250 BT).
HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Diurnal Rata-rata per-30 menit konsentrasi THC dan CO selama periode tahun 2010 – 2011 di Bandung ditunjukkan pada Gambar 2. Konsentrasi maksimum THC dan CO keduanya ditemukan
Wiwiek Setyawati, dkk. 0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 CO 0.10 0.05 0.00
20:00
18:00
16:00
14:00
12:00
8:00
10:00
6:00
4:00
2:00
0:00
THC
22:00
CO (ppm)
THC (CH4 + NMHC) (ppm)
2.9 2.8 2.7 2.6 2.5 2.4 2.3 2.2 2.1 2.0
Waktu lokal (WIB)
Gambar 2. Rata-rata per-30 menit konsentrasi THC dan CO (dalam ppm).
Rata-rata per- 30 menit konsentrasi CH 4 dan NMHC dalam ppm disajikan pada Gambar 3. CH 4 memiliki pola diurnal dengan dua puncak maksimum dan dua puncak minimum yang berbanding terbalik dengan pola diurnal NMHC. Konsentrasi NMHC minimum dan konsentrasi CH 4 maksimum keduanya ditemukan pada pagi hari pada pukul 6:30 WIB dan 7:00 WIB dengan nilai masing-masing adalah 1,21 ppm (± 0,56 ppm) dan 1,63 ppm (± 0,79 ppm). Tingginya nilai deviasi standar dari rata-rata konsentrasi CH 4 dan NMHC tersebut menunjukkan penyebaran data keduanya yang kadang-kadang hingga mencapai lebih dari 4 ppm untuk CH 4 dan 3 ppm untuk NMHC. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh emisi lokal yang kuat yaitu emisi dari kendaraan bermotor.6 Sedangkan pada siang hari konsentrasi CH 4 mengalami penurunan yang diakibatkan oleh oksidasi oleh radikal OH membentuk ozon. Penghancuran oleh radikal OH di troposfer merupakan salah satu sink utama dari CH 4 .2 Salah satu komponen NMHC yaitu formaldehida (CH 2 O) merupakan salah satu produk dari oksidasi metan tersebut.2 2.5 2.0
Konsentrasi (ppm)
1.5 1.0 0.5
CH4 NMHC
0.0
0:00 1:30 3:00 4:30 6:00 7:30 9:00 10:30 12:00 13:30 15:00 16:30 18:00 19:30 21:00 22:30
pada pagi hari yaitu pada pukul 7:30 WIB, masing-masing sebesar 2,81 ppm (±0,33ppm) dan 0,44 ppm (±0,16 ppm). Tingginya nilai deviasi standar dari rata-rata konsentrasi CO tersebut menunjukkan penyebaran data CO yang kadang-kadang hingga mencapai lebih dari 13,00 ppm. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh emisi lokal yang kuat yaitu emisi dari kendaraan bermotor.6 Sedangkan konsentrasi minimum THC ditemukan pada siang hari yaitu pada pukul 12:30 WIB sebesar 2,32 ppm (±0.34 ppm) dan CO pada pagi hari yaitu pada pukul 4:30 WIB sebesar 0.24 ppm (±0.2 ppm). THC dan CO memiliki pola diurnal yang serupa dengan satu puncak maksimum dan satu puncak minimum. Pola diurnal THC mengindikasikan adanya peningkatan tajam konsentrasi ambiennya pada saat pagi hari dan penurunan konsentrasinya pada saat siang hari. Sedangkan pada saat malam hari yaitu sekitar pukul 21:00 WIB hingga menjelang dini hari pukul 4:00 WIB konsentrasinya relatif stabil. Pola diurnal CO juga memiliki satu puncak maksimum dan satu puncak minimum dengan maksimum pada pukul 7:30 WIB dan 19:00 WIB dan minimum pada pukul 3:00 WIB dan 12:30 WIB. Pola diurnal CO yang sama juga ditemukan di wilayah lembah Pertoulli, Yunani.6Hal ini disebabkan karena adanya kemiripan Bandung dengan Pertoulli secara topografi dimana keduanya merupakan wilayah cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan. Peningkatan tajam konsentrasi CO dan THC pada pukul 7:30 WIB mengindikasikan adanya isolasi massa udara dari troposfer bebas di wilayah tersebut pada pagi hari, yang kemudian diikuti oleh penurunan tajam konsentrasi keduanya yang disebabkan oleh adanya percampuran yang kuat dengan massa udara di troposfer bebas. Selain itu emisi CO dan THC dari kendaraan bermotor meningkat pada saat pagi dan menjelang sore hari diakibatkan oleh peningkatan volume kendaraan di jalan raya pada saat jam-jam berangkat dan pulang kerja. Hal ini sesuai dengan pola diurnal THC dan CO yang diukur di wilayah perkotaan Augsburg, Jerman.7 Penghancuran oleh radikal OH di atmosfer merupakan salah satu sink utama dari CO dan THC.6,8,9Penurunan konsentrasi CO dan THC pada saat siang hari merupakan akibat dari proses oksidasi keduanya oleh radikal OH dalam proses fotokimia pembentukan ozon.6,8
Waktu lokal (WIB)
Gambar 3. Rata-rata per-30 menit konsentrasi CH 4 dan NMHC (dalam ppm)
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 293
Wiwiek Setyawati, dkk.
Variabilitas Tahunan Nilai rata-rata tahunan THC dan CO yang dihitung berdasarkan nilai rata-rata harian tahun 2010 dan 2011 beserta perbandingannya dengan pengukuran di dua distrik di Kota Seoul, Korea Selatan disajikan pada Tabel 1.Nilai rata-rata tahunan konsentrasi THC di kota Bandung jika dibandingkan dengan Guro dan Nowon1 nilainya tidak berbeda jauh, namun tidak demikian dengan CO. Yang menggembirakan adalah kenyataan bahwa nilai rata-rata tahunan konsentrasi CO di kota Bandung jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan dua distrik di Korea Selatan tersebut. Nilai rata-rata tahunan konsentrasi THC dan CO di Kota Bandung mengalami peningkatan pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 masing-masing sebesar 3,96% dan 40,36%. Hal ini selaras dengan peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan bermotor yang terdaftar di Kota Bandung tahun 2010 - 2011 masing-masing sebesar 1,8% dan 4.63%.4,5 Peningkatan konsentrasi THC juga terjadi di Guro sebesar 3,6% dan konsentrasi CO di Nowon sebesar 4,2%1, lebih kecil jika dibandingkan dengan Kota Bandung.
CO di Kota Seoul yang lebih kecil dibandingkan Kota Bandung meskipun jumlah penduduk dan kendaraan bermotor jauh lebih besar karena padatahun 2009 – 2013 Korea Selatan sebagai negara maju telah mengadopsi standar emisi gas buang kendaraan bermotor (EURO 5)11 yang lebih ketat dibandingkan Indonesia (EURO 2). Sejak tahun 2014 Korea Selatan bahkan telah mulai menerapkan standar emisi EURO 6.11 Tabel 2. Jumlah penduduk dan total kendaraan bermotor yang terdaftar di Kota Bandung dan Kota Metropolitan Seoul, Korea Selatan tahun 2010 dan 2011 Jumlah penduduk Tahun
Bandung4,5
Seoul10
2010
3.178.543
10.575.000
2011
3.235.615
10.529.000
Tahun
Jumlah kendaraan bermotor Bandung4,5
Seoul10
2010
1.196.813
3.392.015
2011
1.252.230
3.387.689
Tabel 1.Perbandingan rata-rata tahunan THC dan CO di kota Bandung Indonesia dengan kota lainnya. Tahun 2010
Bandung 2,48a (± 0,15b) 2,11c – 2,88d 240e
THC(ppm) Guro1 2,40a ( ±0,29b) 1,98c – 3,79d 363e
Nowon1 2,51a (±0,28b) 1,89c – 3,45d 350e
2011
2,58a (± 0,31b) 2,05c – 5,30d 312e
2,49a (±0,28b) 2,04c – 3,77d 362e
2,49a (±0,21b) 2,07c – 3,15d 349e
Bandung 0,23a (± 0,29b) 0,06c – 4,85d 287e
CO (ppm) Guro1 0,64a (±0,24b) 0,28c – 2,09d 360e
Nowon1 0,46a (±0,25b) 0,13c – 2,33d 363e
0,39a (± 0,39b) 0,01c – 5,78d 283e
0,57a (± 0,22b) 0,24c – 1,64d 363e
0,48a (±0,26b) 0,11c – 1,65d 359e
Tahun 2010
2011
Keterangan: a = rata-rata, b = deviasi standar, c = minimum, d = maksimum, e = jumlah data (n)
Nowon dan Guro merupakan dua distrik padat di Utara dan Selatan Kota Seoul, ibukota Korea Selatan1. Hal yang menarik adalah jumlah penduduk dan kendaraan bermotor yang terdaftar tahun 2010-2011 di Kota Seoul jauh lebih besar dibandingkan Kota Bandung seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Peningkatan THC dan Prosiding SNSA 2015 – Halaman 294
Gambar 4. Rata-rata musiman konsentrasi CH 4 , NMHC, THC dan CO dalam ppm
Variabilitas Musiman Nilai rata-rata konsentrasi CH 4 , NMHC dan CO berdasarkan musim yaitu musim basah (Desember, Januari, Februari), musim peralihan basah ke kering (Maret, April, Mei), musim kering (Juni, Juli, Agustus) dan musim peralihan kering ke basah (September, Oktober, November) yang dihitung berdasarkan rata-rata harian disajikan pada Gambar 4. Nilai rata-rata musiman CH 4 , NMHC dan CO keempatnya berkisar masing-masing antara 0,72 ppm – 1,05 ppm, 0,52 ppm – 0,69 ppm dan 0,36 ppm– 0,41 ppm. Berbeda dengan CO, variasi musiman CH 4 dan NMHC di Kota Bandung terlihat sangat
Wiwiek Setyawati, dkk.
jelas. Hal yang berbeda ditemukan di negara dengan empat musim seperti Korea selatan dan Jepang dimana dominasi dari aktifitas pembakaran biomassa dan biofuel pada saat musim dingin sangat mempengaruhi konsentrasi CO di atmosfer.1 Maksimum konsentrasi CH 4 dan NMHC keduanya ditemukan pada musim kering, sedangkan CO pada musim peralihan. KESIMPULAN THC dan CO memiliki pola diurnal yang serupa yaitu satu puncak maksimum dan satu puncak minimum, dimana terjadi peningkatan konsentrasi hingga mencapai maksimum pada pagi dan menjelang sore hari. Sedangkan CH4 memiliki pola diurnal dengan dua puncak maksimum dan dua puncak minimum yang berbanding terbalik dengan pola diurnal NMHC dimana konsentrasi NMHC minimum dan konsentrasi CH4 maksimum keduanya ditemukan pada pagi hari. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh oksidasi oleh radikal OH yang merupakan sink utama dari CH 4 dan CO di atmosfer. Nilai rata-rata musiman CH 4 , NMHC dan CO keempatnya berkisar masing-masing antara 0,72 ppm – 1,05 ppm, 0,52 ppm – 0,69 ppm dan 0,36 ppm– 0,41 ppm. Berbeda dengan CO, variasi musiman CH 4 dan NMHC di Kota Bandung terlihat sangat jelas. Nilai rata-rata tahunan konsentrasi THC dan CO di Kota Bandung mengalami peningkatan pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 masing-masing sebesar 3,96% dan 40,36%. Hal ini perlu diwaspadai karena akibat buruknya terhadap kesehatan manusia. UCAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terima kasih kepada Bidang Komposisi Atmosfer – LAPAN Bandung yang telah berkenan mengijinkan penggunaan data hasil monitoring AQMS untuk penulisan paper ini dan kepada Ibu Ir. Tuti Budiwati, MEng atas masukan dan saran-sarannya.
3
Badr, O dan Probert, S. D.1994. CarbonMonoxide Concentration in the Earth’s Atmosphere.Applied Energy. 49: 99 – 143 4 BPS, 2011. Jawa Barat dalam angka. Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. BPS Jawa Barat 5 BPS, 2012.Jawa Barat dalam angka. Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik. BPS Jawa Barat 6 Gros, V., Kostas, T., Bernard, B., Maria, K., Casimiro, P. 2002. Factors controlling the Diurnal variation of CO above a forested area in Southeast Europe. Atmospheric Environment. 36: 3127 – 3135 7 Mollmann-Coers, M., Dieter, K., Katja, M., Franz, S. 2002. Statistical study of the diurnal variation of modeled and measured NMHC contribution, Atmospheric Environment. 36, Supplement No. 1: S109 – S122 8 Bottenheim, J. W., Peter C, B., Tom F, D., Daniel K, W., Fred, K., Allan J, G., Kurt G, A., H. Allan, W. 1997. Non-Methane Hydrocarbons and CO during Pacific ’93.Atmospheric Environment. Vol. 31, no. 14: 2079 – 2087. 9 Tang, J. H., Chan, L. Y., Chan, C. Y., Li, Y. S., Chang, C. C., Liu, S. C., Wu, D., Li, Y. D.2007. Characteristics and diurnal variations of NMHCs at urban, suburban, and rural sites in the Pearl River delta and a remote site in South China.Atmospheric environment. 41: 8620 - 8632 10 The Official Website of Seoul Metropolitan Goverment, Major Traffic Statistics.(http://english.seoul.go.kr/policyinformation/traffic/major-traffic-statistics/, diakses pada 31 Juli 2015) 11 TransportPolicy.Net, South Korea: Light-duty: Emission.(http://transportpolicy.net/index.ph p?title=South_Korea:_Lightduty:_Emissions, diakses pada 8 Agustus 2015)
DAFTAR PUSTAKA 1
Ahmed, E., Ki-Hyun, K., Eui-Chan, J., Richard J.C, B. 2015.Long term trends of methane, non methane hydrocarbon and carbon moonoxide in urban atmosphere.Science of the Total Environment. 516 – 519: 595 – 604 2 Wuebles, D. J dan Katharine, H. 2002. Atmospheric Methane and Global Change. Earth-Science Reviews. 57 : 177 – 210
Prosiding SNSA 2015 – Halaman 295