EDUSIANA: JURNAL MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM VOLUME 1, NOMOR 2, SEPTEMBER 2014
PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI INDONESIA Fathul Fauzi Dosen STAI An Najah Surabaya Abstrak. Pendidikan dan demokrasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Apabila kita berbicara mengenai demokrasi, maka kita memasuki wilayah pendidikan. Pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu pendidikan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan Negara yang demokratis. Hubungan yang erat antara pendidikan dan demokrasi adalah 1) Pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat, 2) Pendidikan sebagai pelaksana kekuasaan negara, 3) Tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis. Demokrasi dapat tercipta bila masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sedangkan negara sebagai instrument politik dan ekonomi suatu bangsa juga harus memiliki usaha untuk mendukung terwujudnya demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan kebijakan dalam berbagai aspek. Keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan demokrasi memerlukan reformasi di bidang pendidikan. Reformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan kebebasan akademik, kebhinekaan pendidikan, dan perombakan materi kewarganegaraan. Selain reformasi ketiga hal diatas, pendidikan di sekolah mempunyai peran penting untuk menumbuhkan dan membangun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu dengan sosialisasi nilai-nilai demokrasi, peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, penciptaan iklim kelas. Kata kunci : Pendidikan, Demokrasi PENDAHULUAN Negara-negara di dunia menyakini demokrasi sebagai ukuran yang tidak terbantahkan dari keabsahan politik dan menggolongkan diri mereka ke dalam demokrasi. Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik demokrasi. Hal itu menunjukan bahwa rakyat di letakkan pada posisi penting walaupun secara operasional implikasinya diberbagai negara tidak selalu sama. Tidak ada negara yang ingin dikatakan sebagai negara yang tidak demokratis atau negara otoriter. Menuju tataan demokrasi yang lebih baik bukanlah hal yang mudah dan instant sebaliknya membutuhkan proses pengenalan, pembelajaran dan pengamalan serta pendalaman demokrasi. Proses panjang ini tidak lain dilakukan dalam rangka pengembangan budaya demokratis.
Perilaku budaya demokrasi yang dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan menghasilkan demokrasi yang berbudaya dan peradaban Untuk membentuk suatu negara yang demokratis, maka negara tersebut harus melaksanakan prinsip demokrasi yang didukung oleh warga negara. Prinsip demokrasi adalah perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi tersebut antara lain : adil, terbuka, menghargai, mengakui perbedaan, anti kekerasan, damai, tanggung jawab ,dan kerja sama. Sebagai output dari pendidikan yang demokratis, kedewasaan warga negara dalam berdemokrasi di Barat bisa menjadi referensi adanya keterkaitan antara sikapsikap demokratis warga negara dan penanaman nilai-nilai demokrasi di
lembaga pendidikan khususnya melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan sebagai alat sosialisasi politik adalah kenyataan yang tidak perlu dipungkiri. Karena itu, dalam konteks budidaya demokrasi di kalangan masyarakat, pendidikan dapat diharapkan menjadi instrument mengembangkan kesadaran, serta sikap watak demokratis bagi siswa agar kelak mereka menjadi masyarakat yang baik. Oleh karena itu, untuk membangun kultur demokrasi di masyarakat maka yang pertama harus dilakukan adalah mengubah orientasi pendidikan yang ditekankan pada kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian diperlukan untuk mengembangkan kepercayaan diri dan sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu, sehingga bekerjasama dengan warga lain merupakan keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkannya visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat. HAKIKAT PENDIDIKAN Pengertian Pendidikan Dalam kamus ilmiah dijelaskan bahwa pendidikan adalah segala usaha untuk membina kepribadian, mengembangkan pengetahuan, dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah agar mampu melaksanakan tugas (Suparlan, 1990). Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tercantum pengertian pendidikan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”(UU Sisdiknas, 2009).
Menurut Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anakanak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya (H. Zainal Aqib, 2002). Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Tujuan pendidikan disini bersifat normative, yaitu mengandung unsur norma yang bersifat memaksa, tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik (Umar Tirtarahardja, 2005). Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Menurut Hamka tujuan pendidikan memiliki dua dimensi; bahagia di dunia dan di akhirat. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus menjalankan tugasnya dengan baik yaitu beribadah. Oleh karena itu segala proses pendidikan pada akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan anak didik sebagai abdi Allah yang baik (Y. Suyitno, 2009). Sedangkan menurut Ki Hadjar Dewantara menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan
membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti : (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak dapat disetir (Y. Suyitno, 2009). HAKIKAT DEMOKRASI Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos” berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “Cratos” yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan ditangan rakyat (Abdullah IDI & Toto Suharto, 2006). Pemerintahan ditangan rakyat mengandung pengertian tiga hal: 1. Pemerintah dari rakyat (government of the people), mengandung pengertian bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. 2. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people), memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi, elit, Negara ataupun elit birokrasi. Selain itu mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control). Pengawasan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh rakyat melalui wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil di parlemen, ambisi
otoritarianisme dari para penyelenggara Negara dapat dihindari. 3. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people), mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis. Sedangkan pengertian Demokrasi dari beberapa ahli yaitu: 1. Joseph A. Schmeter mengatakan Demokrasi merupakan perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat (Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010) 2. Sidney Hook berpendapat Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. 3. Henry H. Mayo menyatakan Demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan berpolitik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan berpolitik. Demokrasi adalah proses yang masyarakat dan Negara berperan di dalamnya untuk membangun kultur dan sistem kehidupan guna menciptakan kesejahteraan, menegakkan keadilan, baik secara social, ekonomi, maupun politik. Dengan kata lain, bicara demokrasia adalah juga bicara tentang mentalitas bangsa.
Aktualisasi demokrasi harus dilakukan melalui upaya-upaya bersama yang berorientasi pada perwujudan masyarakat Indonesia yang demokratis, toleran, dan konpetitif. Tuntutan gelombang demokrasi menuju masyarakat yang terbuka dan toleran merupakan peluang bagi bangsa Indonesia untuk ambil bagian dalam pembangunan peradaban dunia yang lebih terbuka dan manusiawi. Keterlibatan ini dapat dilakukan melalui cara-cara pengembangan budaya demokrasi dalam kehidupan sehari-hari melalui pendidikan (A. Ubaedillah, dkk, 2006). HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN DEMOKRASI Sistem pendidikan merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi sebagai suatu kebutuhan. Sistem negara dan pendidikan merupakan sistem yang terintegrasi dalam sistem kekuasaan. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan demokrasi yaitu: 1. Pendidikan sebagai sarana perubahan budaya masyarakat Masalah pendidikan tidak lepas dari kebudayaan suatu masyarakat dan politik di dalamnya. Proses pendidikan bersifat dinamis yang menggerakkan dan merubah nilai-nilai suatu masyarakat sesuai dengan perubahan kehidupan yang ada. Pendidikan dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat lokal maupun nasional dengan dinamika yang ditentukan oleh kemampuankemampuan pribadi sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, tanpa pendidikan tidak mungkin suatu masyarakat dapat merubah budaya dan negaranya ke arah yang lebih baik. 2. Pendidikan sebagai pelaksana kekuasaan negara Sistem pendidikan dapat merubah gaya hidup suatu masyarakat karena dapat
merubah tingkah laku seseorang dalam berpikir yang lebih terbuka. Dalam pandangan studi cultural, peran Negara dapat bersifat positif apabila lembagalembaga pendidikan juga mempunyai control terhadap pelaksanaan kekuasaan Negara. Masyarakat berhak ikut serta dalam setiap proses pelaksanaan pendidikan sejak pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi lembaga pendidikan. Atas dasar tersebut, pembangunan suatu mayarakat hanya dapat terjadi apabila masyarakat itu sendiri mempunyai sikap demokratis, kesatuan bangsa atau nasionalisme, dan rasa persatuan. Masyarakat akan kritis terhadap kebijakan yang dimunculkan oleh penguasa. Dan dari sikap kritis tersebut akan menjadi benih bagi demokratisasi penyelenggaraan Negara. 3. Tujuan otonomi pendidikan yang sejalan dengan Negara demokratis Hakikat pendidikan demokratis sendiri adalah pemerdekaan. Sedangkan tujuan pendidikan dalam suatu Negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan berbagai perbudakan lainnya. Hal ini sejalan dengan tujuan otonomi pendidikan yang memberdayakan manusia melalui otonomi lembagalembaga pendidikan di masyarakat baik dalam bentuk pendidikan Negara maupun pendidikan swasta. Eksistensi pendidikan swasta menunjukkan dengan jelas bahwa antara politik dan pendidikan saling berkaitan. Keterkaitan ini menandakan bahwa politik tidak lepas dari pendidikan dan demikian pula pendidikan tidak bisa lepas dari politik. Seorang tokoh demokrasi dan pendidikan, John Dewey juga melihat hubungan yang begitu erat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa apabila kita berbicara mengenai demokrasi, maka kita memasuki wilayah pendidikan. Menurutnya
pendidikan merupakan sarana bagi tumbuh dan berkembangnya sikap demokrasi. Oleh karena itu pendidikan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan Negara yang demokratis.
TANTANGAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI Proses demokrasi di suatu negara hanya dapat tercipta bila masyarakat membangun kesadaran sendiri tentang pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sedangkan negara sebagai instrument politik dan ekonomi suatu bangsa harus memiliki usaha untuk mendukung terwujudnya demokrasi. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan kebijakan dalam berbagai aspek. Proses demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian komponen bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan secara nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang seharusnya memberikan tauladan berdemokrasi justru melakukan acrobat politik yang kadangkala membuat kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi ini semakin meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara ini seperti tidak bertuan dibuatnya. Barangkali demokrasi yang baru seumur jagung ini belum dipahami dan dipraktekan secara nyata, baru sebatas utopia semu. Demokrasi selamanya memerlukan kompi-kompi democrat dalam teori dan praktek. Satu hal yang perlu disayangkan pula, pendidikan acap kali ditempatkan sebagai sesuatu yang hanya bertali-temali dengan transfer of knowledge dan area induktrinasi, padahal sesungguhnya pendidikan lebih dari itu. Disamping sebagai aktifitas transfer of knowledge, pendidikan juga merupakan media dan aktifitas membangun kesadaran, kedewasaan, dan kemandirian peserta didiknya. Kesadaran, kedewasaan dan
kemandirian itulah yang menjadi tujuan pendidikan. Disisi lain, melelui pendidikan pula proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi suatu masyarakat dapat dilakukan. Sistem pendidikan yang dianut suatu bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya (Zamroni, 2001). Realitas sejarah di Indonesia telah menunjukkan betapa institusi pendidikan dijadikan “alat melanggengkan kekuasaan”. Implikasi semua itu adalah hilangnya profesionalisme dan independensi institusi pendidikan dari konteksnya dari institusi yang mencerdaskan dan membebaskan. Selain itu pendidikan saat ini telah disubordinasikan untuk kepentingan pasar. Dampaknya orientasi pendidikan hanya sekedar menjadi pawang atau mentor. Pendidikan hanya berusaha bagaimana membekali siwa dengan rumusan-rumusan teoritis belaka. Siswa bukan hanya diajak berproses menjadi manusiawi tetapi menjadi objek an sich (Benny Susetyo, 2005). Pendidikan, baik lembaga penyelenggara maupun pandangan sebagian kecil orang berada, lantas menjadi mekanistis karena hanya sematamata mengejar kepentingan “uang” belaka. Uang menjadi segala-galanya. Dan demi itu semua anak didik digagalkan memperoleh pendidikan yang luhur yakni membentuk manusia yang memiliki kecerdasan dan berbudi luhur. Jika pendidikan lantas terjerumus kedalam jurang bisnis, maka akan berlaku siapa yang memiliki uang dia bisa membeli pendidikan. Akibatnya anak yang miskin tak pernah dipertimbangkan untuk memperoleh sekolah yang bermutu. Sepertinya anak miskin juga di stimagsikan sebagai orang yang dibuang dari struktur masyarakat. Sistem pendidikan modern sudah berhasil menindas kaum miskin agar mereka tak mampu hidup lebih mandiri. Sistem pendidikan di negeri ini lebih berpola pada” pendidikan model anjing”.
Model pendidikan tersebut bakalan kepatuhan, sistem komando, sistem subordinasi dan sistem militeristik. Siswa bukan dijadikan subjek yang mandiri melainkan sebagai objek kepatuhan sang guru. Siswa yang patuh akan memperoleh hadiah sedangkan siswa yang kritis yang mempertanyakan ketidakwajaran harus dibungkam dan dihukum. Seharusnya pendidikan mampu memerdekakan seseorang dari ketergantungan kuasa modal dan subordinasi kekuasaan (Benny Susetyo, 2005). Pendidikan yang memerdekakan berpola layaknya “ayam yang mengajari ayam mengenal realitas kehidupan”. Induk ayam mendidik anak-anaknya dari dan untuk kehidupan itu sendiri, anak ayam dibiarkan mencari makan secara mandiri sedangkan induknya mengawasi. Pola ini menuntut guru menjadi teman atau rekan bermain anak didiknya bukan sebagai komandan yang setiap perintahnya harus dituruti. Guru bukan lagi figur yang harus ditakuti tetapi hendaknya menjadi mitra siswa yang dicintai. Dengan demikian paradigma pendidikan hendaknya berubah. Guru bukan menjadi satunya pusat satu kebenaran tetapi kebenaran harus dicari bersama-sama. Pendidikan seperti ini dalam bahasa Faire adalah pendidikan yang terkait dengan realitas pendidikan. Kenyataannya, di negeri ini pendidikan lepas dari realitas pendidikan, ini membuat lulusan sekolah kita tak mampu berinovasi dan berkreasi karna pendidikan hanya memperoleh ijasah dan gelar bukan proses yang membawa pada kemerdekaan dan pencerahan. Oleh karena itu perwujudan sistem pendidikan yang demokratis sudah menjadi keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh komponen yang terlibat didalamnya. Apakah itu kebijakan pemerintah, institusi pendidikan maupun oleh orang yang terlibat didalamnya. Karena bagaimanapun sebagai sebuah sistem, sekolah memperlibatkan banyak pihak. Baik yang berkaitan dengan persoalan manajemen dari unsur maupun
profesionalitasnya. Diharapkan pendidikan bebas dari unsur kepentingan. Sebaiknya yang perlu ditekankan disini yaitu peningkatan sistem pendidikan di Indonesia agar dapat menempatkan dirinya secara independen atau paling sedikitnya tidak banyak dicampurtangani oleh penguasa untuk melanggenkan kekuasaannya. Yang penting disini adalah proses membangun pendidikan untuk demokrasi, bagaimanapun, batasan intelek pendidikan, kesadaran politik dan mentalitas serta kultur demokrasi adalah setipis kulit bawang.
PERAN PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN DEMOKRASI Untuk membangun demokrasi dalam struktur masyarakat diperlukan adanya pendidikan demokrasi yang akan memberikan kontribusinya bagi pengembangan demokrasi di Indonesia. Menurut Kartini Kartono, demokrasi pendidikan adalah semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan yang diharapakan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pendidikan. Jadi, demokrasi pendidikan lebih bersifat politis karena menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan ditingkat nasional. Pendidikan yang demokratis tidak saja terbatas pada sistem yang berjalan dalam institusi-institusi pendidikan itu sendiri. Proses pemerataan pendidikan pun sebagai bagian dari komitmen demokrasi. Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang aktualisasi diri mereka. Proses belajar tidak lagi menjadi monopoli dosen maupun guru, tetapi menjadi milik
bersama dan menjadikan proses belajar sebagai wadah untuk dialog dan belajar bersama (A. Ubaedillah, dkk, 2006). Ini secara tidak langsung mempertegas peran pendidikan dalam demokratisasi (memberi pembinaan kepada peserta didiknya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan tanah air). Oleh karena itu pula prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana ditetapkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Th. 2003, Pasal 4, bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa; (2) Pendidikan diselenggarakn sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna; (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; (4) Pendidikan diselenggarakan dengan member keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran; (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat; dan (6) Pendidikan diselengarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan; merupakan dasar acuan yang kuat dalam mewujudkan peran pendidikan dalam demokratisasi. Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan akan peran warga dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu pendidikan demokratis juga bertujuan mempersiapkan
warga masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan pada generasi baru pengetahuan dan kesadaran akan tiga hal. Pertama, Demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah suatu learning proces yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga, Kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan nilainilai demokrasi: kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyal kepada system politik yang bersifat demokratis. Dengan demikian, pembangunan demokrasi akan dapat terwujud ( Zamroni, 2001). Pendidikan yang demokratis tidak terpaku oleh pola tertentu, dalam pengertian bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat ditanamkan sedini mungkin dalam sistem pendidikan kita seperti kebebasan berpendapat membangun tradisi ilmiah yang progresif dan objektif, kultur dialog dan sebagainya. Tanpa itu jangan kita berharap bahwa institusi- institusi pendidikan kita akan menghasilkan generasi yang cerdas, mandiri dan demokratis sebaliknya yang muncul adalah generasi yang selalu gamang dengan keadaan, tidak siap menyongsong masa depan di era yang sangat kompetitif, mandul dalam berkarya, dan parahnya generasi yang tidak merdeka dengan generasinya sendiri (Zamroni, 2001). Pendidikan yang demokratis tidak hanya terbatas pada sistem yang berjalan dalam institusi-institusi pendidikan itu sendiri. Dalam konteks ini proses pemerataan pendidikan sebagai bagian dari komitmen demokrasi itu sendiri harus diselesaikan di tingkat kebijakan sejak awal mula. Di Indonesia demokrasi belum sepenuhya menjadi kesadaran dan mentalitas. Perilaku politik sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan. Juga sikap masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara
umat beragama yang ternyata masih jauh dari api demokratis. Begitu pula timbulnya kekerasan politik yang terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti menganggap perbedaan sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah gambaran demokrasi di Negara kita. Kenyataan ini sesungguhnya bisa dimaklumi karena warisan masa lampau baik orde lama maupun orde baru yang tidak mendukung adanya proses demokrasi, dan juga kurangnya andil pendidikan dalam menyemaikan kultur demokrasi, bahkan pendidikan yang diharapkan memberikan kontribusi bagi tumbuhnya kultur demokrasi dijadikan alat memberantas demokrasi. Peranan pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di masyarakat dengan melalui internalisasi nilainilai demokrasi di sekolah. Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas. Guna membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warganya tidak sekedar mampu membaca dan berhitung. Warga masyarakat perlu memahami fungsi pemerintahan yang demokratis sesuai dengan konstitusi dan memahami konsep operasional pasar bebas. Sebab kekuatan suatu bangsa terletak pada kemampuan warganya untuk mengambil keputusan secara rasional. Kadar pemahaman warga atas fungsi pemerintahan dan konsep pasar bebas akan menentukan derajat rasionalitas keputusan yang diambil. Dalam kaitan dengan pendidikan, diharapkan pendidikan ekonomi ditekankan pada upaya memfasilitasi peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan untuk mengambil keputusan individual dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan bersama. Sekolah memiliki tanggung jawab melengkapi peserta didik dengan
kemampuan memerankan fungsinya sebagai anak bangsa di lingkungan masyarakat yang demokratis. Lebih luas dan mendasar dari itu semua, sekolah memiliki tanggung jawab utama untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan peserta didik guna berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan demokrasi memerlukan reformasi di bidang pendidikan. Reformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan kebebasan akademik, kebhinekaan pendidikan, dan perombakan materi civic/kewarganegaraan (Zamroni, 2001). Jhon Dewey menyatakan bahwa kebebasan akdemik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaki dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama lain, berpikir kreatif, menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan bekerja sama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Hal ini berarti sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan semua siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan merencanakan kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut. Sekolah pada zaman orde baru berupaya menciptakan bentuk perilaku politik tertentu, dengan mengimplementasikan kurikulum kewarganegaraan yang mendasarkan pada disiplin yang kaku dan bersifat induktrinatif oleh karena itu reformasi pendidikan kewarganegaraan mutlak diperlukan, materi kewarganegaraan ditekankan pada empat aspek yang meliputi: aspek sejarah asal mula demokrasi dan perkembangannya, perkembangan demokrasi di Indonesia, jiwa demokrasi dalam pancasila dan UUD 1945 dan tantangan demokrasi dalam era modern (Zamroni, 2001). Dengan demikian dapat terlihat betapa pentingnya peran pendidikan di
sekolah untuk menumbuhkan dan membangun nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain reformasi ketiga hal tersebut diatas, untuk menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam problematika yang ada, juga diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1. Sosialisasi nilai-nilai demokrasi Sosialisasi tersebut dilakukan baik dalam pendidikan formal ataupun non formal untuk seluruh kalangan masyarakat. Sosialisasi nilai-nilai demokrasi tersebut dapat terjadi dalam lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat melalui peran dari pihakpihak terkait seperti; guru, orang tua, teman/rekan dan juga media masa. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi akan tertanam dalam benak anak bangsa. 2. Peningkatan kualitas guru Guru memiliki peranan penting dalam proses sosialisasi nilai-nilai demokrasi, terutama pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Siswa senantiasa menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ia yakini dan bahkan perilakunya adalah sesuai dengan apa yang dikatakan gurunya. Guru menjadi sumber bagi nilai-nilai dan perilaku yang demokratis. Sedangkan pengaruh guru dalam sosialisasi nilai-nilai demokrasi dalam tingkat sekolah menengah sangat ditentukan oleh kredibilitas guru itu sendiri. Kalau dimata murid merupakan sosok yang dapat dipercaya, mampu dan dapat dijadikan sebagai model bagi para siswa maka pengaruh guru sangat besar. 3. Perbaikan kurikulum Pengaruh kurikulum cukup besar dalam menanamkan pengetahuan tentang demokrasi. Kurikulum harus bersifat fleksibel dan elastik, sehingga terbuka kesempatan untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi anak didik. Kurikulum harus memuat
nilai-nilai demokrasi didalam materinya. Elastisitas kurikulum disesuaikan dengan perubahan social yang terjadi. Sedangkan tujuan spesifik dari kurikulum adalah menumbuhkan rasa toleransi, kesanggupan untuk berfikir sederhana dan mengikis prasangka dalam memberikan pertimbangan nilai. Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum, dan suatu teori kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari teori pendidikan tertentu (Nana Syaodih Sukmadinata, 2008). 4. Penciptaan iklim kelas Dalam proses sekolah yang penting bukan apa materi yang diajarkan ataupun siapa yang mengajarkan, melainkan bagaimana materi tersebut diajarkan. Bagaimana guru mengajarkan materi tersebut menimbulkan apa yang disebut iklim kelas. Iklim kelas yang terbuka dan longgar sangat kondusif untuk mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, sebab dengan iklim semacam itu suasana kelas akan bersifat demokratis sehingga proses belajar akan dinamis. KESIMPULAN Pendidikan dapat menjadi salah satu upaya strategis pendemokrasian bangsa Indonesia, khususnya di kalangan generasi muda. Pendidikan yang dimaksud adalah model pendidikan yang berorientasi pembangunan karakter bangsa melalui pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran melalui cara-cara pembelajaran yang demokratis, partisipatif, kritis, kreatif dan menantang aktualisasi diri mereka. Proses demokrasi yang kita alami sekarang ini mengalami carut-marut ketika sebagian komponen bangsa memahami demokrasi melalui perilaku anarkis yang dipertontonkan secara nyata akhir-akhir ini. Perilaku tokoh-tokoh politik yang
seharusnya memberikan tauladan berdemokrasi justru melakukan akrobat politik yang kadangkala membuat kita miris. Kenyataan demikian menyebabkan situasi demokrasi ini semakin meluncur dan terpuruk dalam situasi yang tidak karuan bahkan Negara ini seperti tidak bertuan dibuatnya. Di Indonesia demokrasi belum sepenuhya menjadi kesadaran dan mentalitas. Perilaku politik sebagian kader partai sesekali nampak perilaku tak berpendidikan. Juga sikap masyarakat tentang kebebasan dan toleransi antara umat beragama yang ternyata masih jauh dari api demokratis. Bagitu pula timbulnya kekerasan politik yang terjadi di masyarakat untuk menyelasaikan masalah, seperti menganggap perbedaan sebagai konflik, berperilaku anarkis sebagai sebuah gambaran demokrasi di Negara kita. Peranan pendidikan yang sesungguhnya diharapkan dapat menciptakan kultur demokrasi di masyarakat dengan melalui internalisasi nilainilai demokrasi di sekolah. Pendidikan diharapkan menjadi obat penyembuhan dari penyakit-penyakit yang diderita masyarakat seperti yang telah dipaparkan diatas. Untuk menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang sekian lama terbelenggu oleh berbagai macam problematika yang ada, juga diperlukan hal-hal seperti; sosialisasi nilai-nilai demokrasi, peningkatan kualitas guru, perbaikan kurikulum, dan penciptaan iklim kelas.
DAFTAR PUSTAKA Aqib, H. Zainal Aqib. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran, Surabaya : Insan Cendekia Herdiawanto, Heri dan Jumanta Hamdayama. 2010. Cerdas Kritis dan Aktif Berwarganegara, Jakarta: Erlangga IDI, Abdullah, Toto Suharto. 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana Suparlan. 1990. Kamus istilah pekerjaan sosial, Bandung : Kanisius Susetyo, Benny. 2005. Politik Pendidikan Penguasa, Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara Suwarno, Wiji. 2006. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta :Ar-Ruzz Media Syaodih Sukmadinata, Nana. 2008. Pengambangan Kurikulum Teori Dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya Offset Tirtarahardja, Umar S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan, Jakarta : Asdi Mahasatya Ubaedillah, A dkk. 2006. Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah UU Sisdiknas. 2009. Bandung : Citra Umbara Zamroni. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi, Yogyakarta : Bigraf Publishing