eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(4): 1051-1062 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PERAN WOMEN’S FORUM DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DAN PEMBANGUNAN DEMOKRASI DI SIERRA LEONE Raudhatul Jannah1 0902045111 Abstract The civil war for 11 years in Sierra Leone led to suffering of women, both during and in the post-war period. But women were not only regarded as victims but also as agents of change. The efforts made by women’s group in the country were actively in facilitating women’s inclusion in conflict resolution and democratization. Women’s Forum as one of the women’s group in Sierra Leone played an active role in the peace process, which included organising campaigns, demonstrations, debates to advocate for peace. Women’s Forum have been active in lobbying for the holding of two national Consultative Conference in 1995 and 1996, which paved the way for the transition to democratic rule. Women’s Forum mobilising for of the 30 percent quota for women’s representation in parliament. Morever, the efforts made by women’s groups in the country and involvement of international organitations in partnership with either the government or women’s group to provide assistance to female victims of violence. Keywords: Women’s Forum, Conflict Resolution, Democratization, Sierra Leone. Pendahuluan Republik Sierra Leone merupakan salah satu negara bekas koloni Inggris yang merdeka sejak tahun 1961. Namun hanya 6 tahun setelah kemerdekaannya, Sierra Leone mengalami berbagai peristiwa seperti perebutan kekuasaan politik dan ekonomi serta suksesi rezim militer yang korup sehingga terjadi instabilitas keamanan, ekonomi, sosial dan politik yang pada akhirnya membuat pemerintahan di Sierra Leone tidak bisa berjalan baik. Pengelolaan negara yang burukyang dilakukan oleh Siaka Stevens, tindak korupsi, kudeta pemerintahan, pelanggaran hak asasi manusia mengakibatkan munculnya gerakan pemberontak yang menamakan dirinya Revolutionary United Front (RUF). Selama beberapa tahun kemudian terjadi konflik antara RUF dan pemerintah Sierra Leone
1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
Selama 11 tahun konflik internal antara pemerintah Sierra Leone dan kelompok pemberontak terjadi di negara ini. Sepanjang konflik bersenjata yang terjadi dari tahun 1991 hingga 2002 telah menyebabkan kerusakan besar infrastuktur sosial di negara tersebut, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan seperti sekolah dan puskesmas hancur. Selain itu pada tingkat politik, struktur pemerintah menjadi tidak efektif dan lemah. Konflik juga memiliki dampak yang sangat buruk bagi masyarakat sipil di Sierra Leone. Dimana sekitar 75.000 warga sipil terbunuh dan 500.000 orang mengungsi dari Sierra Leone. Selama konflik penculikan, pemerkosaan dan mutilasi dilakukan RUF yang menargetkan warga sipil. Posisi perempuan sangat rentan karena menjadi target kelompok bersenjata. Berbagai jenis kekerasan dan pelanggaran yang dialami perempuan selama konflik diantaranya kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan dan pemerkosaan. Selain itu, para pemberontak menculik ribuan anak perempuan dan memaksa mereka menjadi istri pemberontak. Diperkirakan bahwa sekitar 250.000 perempuan telah menderita akibat kekerasan seksual yang digunakan sebagai cara atau alat penekan pemerintah selama konflik 11 tahun. Hingga konflik dinyatakan berakhir pada Januari 2002, perempuan masih mengalami dampak yang buruk. Karena kekerasan seksual dan pemerkosaan yang begitu marak selama konflik, menyebabkan masalah kesehatan dan kasus infeksi penyakit menular (HIV/AIDS), meningkatnya kemiskinan, prostitusi, dan diskriminasi. Konflik juga sangat tinggi menimbulkan maraknya kasus perdagangan anak dan remaja dari Sierra Leone ke negara lainnya. Banyaknya dampak yang dirasakan oleh perempuan kemudian mendorong mereka untuk turut serta menyelesaikan konflik. Perempuan di Sierra Leone adalah pelopor dalam proses perdamaian dan juga demokratisasi, organisasi dan perkumpulan perempuan mendirikan kelompok penekan dan melakukan inisiatif yang bertujuan untuk mengakhiri perang dan memulihkan demokrasi. Salah satu organisasi perempuan tersebut adalah Women’s Forum yang dibentuk sebagai organisasi payung bagi organisasi-organisasi perempuan di Sierra Leone dengan motto “pemberdayaan, kesetaraan dan pembangunan”. Tujuan awal didirikannya Forum ini adalah sebagai jaringan untuk persiapan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing, akan tetapi melihat dampak dari konflik terhadap perekonomian dan masyarakat terutama pada perempuan di Sierra Leone, Forum memutuskan untuk mengatur dalam mendukung proses perdamaian dan berpartisipasi dalam mengembalikan pemerintahan militer ke pemerintahan sipil. Kerangka Dasar Konsep 1. Konsep Feminisme Liberal Feminisme merupakan suatu gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan diekploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil
1052
Peran Women’s Forum di Sierra Leone (Raudhatul Jannah)
menuju ke sistem yang adil bagi kaum perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial (dalam arti tidak hanya memperjuangkan soal perempuan belaka). (Fakih Masour 1996) Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. 2. Teori Resolusi Konflik Resolusi konflik adalah suatu format penghentian konflik yang dipahami beberapa pihak yang bertikai sampai pada menetapkan kembali hubungan mereka sedemikian rupa agar salah satu dari mereka merasa bahwa mereka dapat mewujudkan tujuan mereka tanpa konflik, atau mereka dapat menetapkan kembali hubungan mereka sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi konflik yang lebih lama. Menurut Simon Fisher, istilah resolusi konflik mengacu pada strategistrategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan-kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Selain itu, resolusi konflik juga diartikan sebagai langkah atau cara untuk menghentikan konflik dengan cara-cara analitis dan masuk ke akar permasalahannya yang merupakan penyebab konflik. (Simon Fisher 2001) Resolusi konflik menurut Pater Wallensteen adalah suatu situasi dimana pihakpihak yang bertikai mencapai kesepakatan untuk mengatasi inti permasalahan yang ada diantara mereka dan menerima kelanjutan eksistensi dari masing-masing pihak serta menghentikan semua aksi kekerasan. (Jemadu Alexius 2007) Ada 3 tahap penyelesaian konflik menurut John Galtung, yaitu: (Yulius P. Herawan 2007) a. Peacekeeping merupakan proses penyelesaian konflik dengan cara mengurangi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian netral.
1053
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
b. Peacemaking merupakan proses penyelesaian konflik yang tujuannya untuk mempertemukan akan merekonsiliasi pihak yang berkonflik melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi tertuma pada level elit atau pemimpin. c. Peacebuilding merupakan proses implementasi perubahan atau rekonsiliasi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang bersifat selamanya. Melalui metode ini diharapkan negative peace (atau the obsence of violence) berubah menjadi positif peace dimana semua kalangan masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi dan perwakilan politik yang efektif. 3. Konsep Demokratisasi Proses demokratisasi diartikan sebagai perubahan sistem politik dari bentuk yang non-demokratis ke bentuk yang lebih demokratis, dapat terjadi dengan berbagai cara. Meningkatnya partisipasi (inklusifitas) berarti meningkatnya jumlah warga negara yang memperoleh hak-hak politik dan kebebasan. Sedangkan adanya kompetisi (liberalisasi) menyangkut tersedianya hak-hak dan kebebasan paling tidak bagi beberapa anggota sistem politik. Dan meningkatnya liberalisasi berarti meningkatnya peluang bagi oposisi politik dan meningkatnya kompetisi untuk meraih kekuasaan pemerintahan. Demokratisasi pada tingkat lokal dan nasional akan menyebabkan terjadinya demokratisasi pada tingkat sistem internasional. (George Sorensen 2003) Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan diberikannya ruang kebebasan pers. (Guillremo O’Donnell, Philippe C Schmitter 1993) Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahap ini ditandai dengan adanya pemilu. Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. Ini merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Tahapan transisi adalah tahapan yang paling penting dan krusial, mengingat adanya penyertaan perubahan politik yang drastis. Namun begitu jalur yang ditempuh oleh setiap negara dalam proses transisi ternyata beda satu sama lain.
1054
Peran Women’s Forum di Sierra Leone (Raudhatul Jannah)
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif, yaitu menggambarkan fakta-fakta tentang peran Women’s Forum dalam penyelesaian konflik dan pembangunan demokrasi di Sierra Leone. Data yang disajikan merupakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dari berbagai literatur yang menyangkut permasalahan seperti buku, jurnal, koran, majalah dan situs internet. Teknik analisa data yang digunakan adalah teknik analisa data kualitatif. Hasil Penelitian Ada beberapa faktor yang menyebabkan konflik di Sierra Leone, yang meliputi pemerintahan yang buruk dalam beberapa dekade, korupsi, pelanggaran HAM, perebutan kekuasaan militer dan sebuah kejatuhan institusi demokratis menciptakan sebuah lingkungan dimana pemberontak dapat melakukan kejahatan terhadap masyarakat sipil di Sierra Leone. Jutaan pegungsi dan puluhan ribu warga sipil meninggal akibat konflik 11 tahun tersebut. Puluhan ribu anak perempuan dan wanita menjadi korban perbudakan seksual dan pemerkosaan. Hal ini memunculkan kesadaran bagi perempuan dalam upaya mengakhiri penderitaan mereka dengan melakukan upaya penyelesaian konflik dan pembangunan demokrasi. Women’s Forum sebagai organisasi perempuan di Sierra Leone yang melakukan inisiatif tersebut. Perjuangan gerakan perempuan di Sierra Leone kemudian memfokuskan pada isu mengenai kesamaan hak politik. Kesamaan hak politik dalam hal ini tidak hanya dalam konteks hak untuk memilih, tetapi juga untuk mengekspresikan pandangan politik yang merupakan cara untuk memperoleh penyelesaian konflik dan pemulihan demokrasi di Sierra Leone. Melalui aksi politik dan pembentukan berbagai organisasi perempuan telah membuka kesempatan yang sama bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam ranah publik sebagai penggerak masyarakat. A. Peran Women’s Forum dalam Penyelesaian Konflik di Sierra Leone Keterlibatan perempuan dalam resolusi konflik menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi agent of peace karena mampu hadir sebagai kekuatan representasi politik melalui jalur kelompok masyarakat sipil. Berikut ini peran Women’s Forum dalam upaya penyelesaian konflik di Sierra Leone. 1. Sebagai Inisiator Women’s Forum melakukan beberapa tindakan sebagai langkah utama dalam upaya penyelesaian konflik di Sierra Leone, antara lain: dimulai pada pertengahan tahun 1994 dengan pembentukan Women’s Forum. NGO perempuan ini mengambil tindakan kolektif dalam rangka untuk memperluas jaringan dan mempersiapkan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing. Kelompok ini kemudian memutuskan membuat jalan bagi organisasi perempuan untuk membuat strategi dan mengorganisir perdamaian. Sebagai langkah awal, Sierra Leone Women Movement For Peace (SLWMP) dibentuk. Dipimpin oleh SLWMP, Women’s Forum memulai perdebatan tentang perdamaian pada tahun 1995. Strategi yang dilakukan oleh kelompok ini dalam
1055
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
penyelesaian konflik diantaranya termasuk mengorganisir kampanye, demonstrasi, dan memobilisasi perempuan dari berbagai latar belakang di seluruh negeri untuk terlibat dalam demonstrasi damai. (www.un.org) Women’s Forum memulai perdebatan tentang perdamaian pada bulan Januari 1995. Ini merupakan sebuah demonstrasi untuk memprotes perubahan pada hukum dalam keluarga. Pesan dari para demonstran sederhana dan menarik: “Try Peace to end this senseless war.” Perempuan dari segala usia dan status dipanggil untuk menonton kemudian diajak bergabung dengan mereka. Namun, pada pertengahan 1995 tidak ada tanggapan yang signifikan terhadap kegiatan perempuan setelah kampanye perdamaian tersebut. Perempuan Sierra Leone di pengasingan di Conakry, Guinea, mengirim pesan anti junta lewat radio kepada pemerintah, demonstrasi terorganisir melawan rezim dan memobilisasi masyarakat internasional untuk campur tangan dalam krisis saat itu. Perempuan pengungsi Sierra Leone di Guinea, Gambia, Inggris dan Amerika Serikat juga membentuk jaringan dan menekan pemerintah Sierra Leone dan komunitas internasional agar menginisiasi langkah-langkah untuk mengakhiri konflik dan memulihkan perdamaian. 2. Sebagai Fasilitator Women’s Forum memfasilitasi komunikasi dengan melobi pihak yang terlibat dalam konflik, mendorong pemerintah dan RUF atas komitmennya terhadap masyarakat internasional untuk segera menyelesaikan konflik. Selain itu, mereka bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil berbasis perempuan lainnya di Sierra Leone melakukan beberapa tindakan sebagai langkah utama untuk mendapatkan penyelesaian terhadap konflik dan pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada perempuan dan anak perempuan Sierra Leone. Women’s Forum mengajukan beberapa rekomendasi kepada pemerintah antara lain: a. Pemerintah Sierra Leone harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa pemberontak melepaskan semua perempuan dan anak perempuan yang diculik selama konflik bersenjata. b. Pemerintah Sierra Leone harus memprioritaskan pembentukan klinik kesehatan bagi perempuan dan anak perempuan yang dapat memberikan pengobatan untuk mengatasi HIV/AIDS dan pemerintah harus menjamin kerahasiaan hasil tes dan mencari bantuan internasional untuk melakukan c. Pemerintah harus mencabut ketentuan dalam Perjanjian Perdamaian Lome 1999 yang memberikan amnesti kepada semua pihak yang bertikai, sehingga setiap individu yang melakukan tindakan kekerasan seksual (dan kejahatan lainnya) selama perang dapat dituntut di pengadilan negeri. d. Pemerintah Sierra Leone harus terlibat dalam skala besar bekerjasama dengan kelompok-kelompok perempuan untuk mendidik perempuan dan laki-laki korban konflik. e. Pemerintah Sierra Leone harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan korban kekerasan seksual, termasuk penyediaan layanan kesehatan, konseling dan
1056
Peran Women’s Forum di Sierra Leone (Raudhatul Jannah)
pendidikan atau pelatihan kerja/keterampilan. Layanan ini harus diperluas di seluruh negara. f. Pemerintah harus membentuk sebuah komisi hak asasi manusia independen nasional sebagaimana diatur dalam Perjanjian Perdamaian Lome yang memberikan kontribusi untuk mempromosikan dan perlindungan hak asasi manusia, yaitu : Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dan Truth Reconciliation and Commission. Pemerintah juga harus bekerjasama sepenuhnya dengan Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone dan TRC. Selain itu, Women’s Forum bersama dengan perempuan di ibu kota Freetown, perempuan di kota Pujehun melakukan komunikasi dengan pemberontak dengan cara bernegosiasi langsung dengan para pemimpin RUF. Diantaranya Women’s Forum melakukan sebuah demonstrasi damai di rumah pemimpin gerakan pemberontak, Foday Sankoh, di Freetown pada tanggal 6 Mei 2000. Dalam aski damai itu mereka menuntut dibebaskannya para pasukan penjaga perdamaian dan sejumlah anak perempuan yang diculik sejak tanggal 6 Januari 1999, begitu juga dengan penghentian permusuhan sesuai dengan Persetujuan Lomé. B. Peran Women’s Forum dalam Pembangunan Demokrasi di Sierra Leone Women’s Forum berperan penting dalam mengambil sikap kolektif untuk mewujudkan pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis di Sierra Leone. Proses pembangunan demokrasi dilakukan baik pada tingkat lokal maupun nasional. 1. Tingkat Lokal Women’s Forum lebih memfokuskan pada urusan sosial. Seperti pelatihan bagi para remaja, guru dan para tetua masyarakat tentang pencegahan dan pengurangan kehamilan remaja di Kabupaten Moyamba. James AR Kamara, Manager Women’s Forum menargetkan tiga sekolah di kabupaten dan wilayah selatan. Mengambil lima gadis dari 25 klub anggota dari masing-masing sekolah untuk menjalani pelatihan keterampilan hidup, yang pada gilirannya akan melatih rekan-rekan mereka di klub masing-masing dan kemudian melatih seluruh sekolah, menunjukkan bahwa mereka juga melibatkan tokoh masyarakat yang akan membentuk dua kelompok di masyarakat yang akan memiliki tanggung jawab melibatkan para tetua tentang dampak negatif dari kehamilan remaja dan mencari dukungan mereka dalam memerangi "musuh dari pendidikan anak perempuan". Presiden Women’s Forum mendesak perempuan untuk bersikap tegas untuk selalu berpikir kritis tentang masa depan mereka. Ia mendesak anak-anak untuk menyampaikan pengetahuan yang mereka peroleh dari orang lain sehingga dapat membantu rekan-rekan mereka. Pada akhir pelatihan, para remaja mengungkapkan kegembiraan dan berjanji untuk meneruskannya kepada rekanrekan mereka, terutama perempuan, sehingga dapat mencegah dan mengurangi kehamilan remaja di daerah. Women’s Forum telah mendorong sesama rekan-rekan perempuan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam politik dengan menyelenggarakan lokakarya mengenai
1057
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
kepemimpinan, komunikasi dan advokasi keterampilan politik. Beberapa program juga diarahkan untuk memberdayakan dan mendukung perempuan untuk mencari dan memegang jabatan tinggi, mendorong pendidikan, membangun kapasitas anggota parlemen perempuan dan meningkatkan jumlah perempuan di kantorkantor publik. Meskipun tidak jauh jumlahnya karena kurangnya dana, mereka telah berhasil memaksa partai-partai pemerintah dan politik untuk mengakui pentingnya memfasilitasi partisipasi politik perempuan. 2. Tingkat Nasional Partisipasi yang dipimpin Women’s Forum pada tingkat nasional adalah dalam transisi politik untuk mengadakan dua konferensi konsultatif nasional yaitu Bintumani I dan Bintumani II (disebut Bintumani, hotel tempat diadakannya konferensi). Partisipasi dan suara mereka dalam konferensi adalah titik balik dalam keputusan nasional untuk melanjutkan pemilihan umum. Konferensi Konsultasi Nasional pada bulan Agustus 1995. Banyak dari rekomendasi perempuan diadopsi tanpa perdebatan. Dalam konferensi tersebut Women’s Forum menekankan pentingnya menangani isu seperti 30% keterwakilan perempuan sesuai deklarasi Beijing, perawatan kesehatan, kewirausahaan perempuan untuk mengurangi kemiskinan, dan aturan hukum yang merugikan perempuan tentang perceraian, pernikahan dan warisan. Mereka juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk perdamaian dan menuntut agar pemilu diadakan, akhirnya berdasarkan kesepakatan pemilihan ditetapkan pada 26 Agustus 1995. Namun kekerasan terjadi setelah Konferensi ketika pemberontak RUF meningkatkan serangan terhadap penduduk sipil untuk menggagalkan rencana yang telah disepakati. Akibatnya, Konferensi Konsultatif Nasional diselenggarakan kembali oleh pada bulan Februari 1996 untuk memastikan bahwa delegasi-delegasi konferensi dan masyarakat umum mempertahankan sikap mereka pada rencana demokratisasi. Upaya Women’s Forum dalam memobilisasi penyelenggaraan Konferensi Konsultatif tersebut membuka jalan bagi transisi politik ke pemerintahan demokratis. Bahkan hingga hari pemilihan upaya mereka dalam mendukung transisi politik terus berlanjut. Mereka membujuk perempuan lain untuk memberikan suara mereka dalam pemilihan. Mendorong yang lain yang enggan untuk memilih karena intimidasi dan ancaman dari orang-orang yang menentang diadakannya pemilu. Partisipasi dan kehadiran perempuan dalam fase transisi politik mendorong perempuan lain terlibat dalam proses transisi. Pemilihan umum telah lima kali diselenggarakan di Sierra Leone: tiga pemilihan presiden dan parlemen (Maret 1996, Mei 2002, Agustus 2007) dan dua pemilihan pemerintah daerah (Mei 2004, dan Juli 2008). Pemilu yang diadakan pada Maret 1996 adalah pemilu pertama yang dalam transisi dari pemerintahn militer NPRC ke pemerintahan demokratis, dimana Partai Rakyat Sierra Leone menang, Alhaji Ahmad Tejan Kabbah terpilih sebagai Presiden.
1058
Peran Women’s Forum di Sierra Leone (Raudhatul Jannah)
Representasi 30% perempuan yang diperlukan dalam pemilu tidak terlaksana. Hanya 5 perempuan yang memenangkan kursi di parlemen dari 80 kursi parlemen, 3 wanita ditunjuk sebagai menteri dari 25 kabinet dan 2 wakil menteri perempuan dari 20 wakil menteri. Diantaranya: Margaret A. Idriss (Menteri Informasi, Penyiaran dan Budaya), Amy Smythe (Menteri Pariwisata dan Kebudayaan), Shirley Yema Gbujoma (Menteri Gender dan Anak), Teresa Koroma (Wakil Menteri di Kantor Wakil Presiden) dan Haja Afsatu Kabbah (Wakil Menteri Energi dan Power). Kemudian dalam meningkatkan representasi politik perempuan dalam pemilu 1996, pemerintah membentuk Kementerian yaitu Ministry of Social Welfare, Gender, and Children’s Affairs (MSWGCA) dalam kabinet untuk menekan dan mengkoordinasikan isu mengenai perempuan. Kementerian ini telah menghasilkan dua kebijakan. Pertama, Kebijakan Nasional demi Kemajuan Perempuan yang mencoba meningkatkan status perempuan dan menekan pada diskriminasi yang mereka hadapi dalam semua sektor. Kedua, Kebijakan tentang Pengarusutamaan Gender yang memperkenalkan komitmen pemerintah untuk melakukan pendekatan yang sensitif gender dalam semua program pembangunan yang dilakukan di seluruh negeri. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk mempromosikan isu-isu gender dalam pembangunan sementara pada saat yang sama menutup kesenjangan antara lakilaki dan perempuan di semua tingkat sosial. (http://elsam.or.id) Persentasi kecil dari perwakilan perempuan menunjukkan bahwa meskipun kebijakan tentang kesataraan dan pengarusutamaan gender perempuan masih menghadapi hambatan untuk berpartisipasi dalam pemilu, yang terpilih sebagai anggota parlemen dan ditunjuk untuk posisi kabinet. Partisipasi politik perempuan hanya dapat diatasi jika kedua kebijakan diimplementasikan dan dimonitor oleh perempuan. Namun meskipun sangat sedikit perempuan memegang posisi kekuasaan di pemerintah, disisi lain hal ini telah menjadi dorongan bagi perempuan. Perempuan semakin aktif dalam kehidupan politik di Sierra Leone. Zainab Hawa Bangura, kandidat perempuan dari APC mencalonkan diri sebagai presiden Sierra Leone dalam pemilu 2002. Keberhasilan yang diperoleh termasuk advokasi untuk pelaksanaan rekomendasi Truth Reconciliation and Commission (TRC). Women’s Forum terlibat dalam sebuah komisi yang dibentuk oleh pemerintah dengan dukungan PBB dan komunitas internasional memiliki tanggung jawab besar atas perempuan dan anak perempuan korban kekerasan selama konflik internal di Sierra Leone. TRC dan Pengadilan Khusus Sierra Leone menjadi wadah kajian dan analisis khusus yang memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat Sierra Leone yang menjadi
1059
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
korban tindak kekerasan selama konflik dan mencegah pengulangan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap perempuan dan anak perempuan. TRC dan Pengadilan Khusus Sierra Leone mulai bekerja sama dengan kelompok perempuan Women’s Task Force (Gugus Kerja Perempuan). Women’s Task Force adalah sebuah koalisi dari perwakilan kelompok masyarakat sipil, kelompok perempuan, dan lembaga swadaya internasional dan lokal yang dibentuk untuk memastikan bahwa kejahatan yang dialami oleh perempuan dapat diidentifikasi dan diperhatikan. Women’s Task Force termasuk dalam jaringan Women’s Forum yang mendukung pemulihan bagi korban konflik, khususnya korban perempuan. Selain itu TRC diperlukan untuk mengatasi representasi politik perempuan dan sebagai bagian dari proses transisi politik. TRC menekankan pembentukan program kepemimpinan bagi perempuan di Freetown dan NGO masyarakat lokal lainnya dalam rangka memastikan partispasi mereka dalam masyarakat. Keberadaan Women’s Forum memiliki peranan signifikan terhadap perkembangan gerakan wanita di Sierra Leone. Women’s Forum sering menjadi penghubung komunikasi antara NGO-NGO perempuan dengan pemerintah dalam usaha memperjuangkan tuntutan mereka. Women’s Forum sebagai payung organisasi perempuan telah bertindak sebagai kelompok pelobi yang efektif. Dengan demikian, keberhasilan Women’s Forum dalam pembangunan demokrasi di Sierra Leone pada tingkat nasional dapat dilihat dari tingkat kebebasan politik dan sipil. Dari tingkat partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum dan kebebasan yang meningkat sejak pemilihan umum 1996 dan pemilihan umum 2002. Kemudian pada kebebasan sipil dapat dilihat dari kebebasan mendirikan dan menjadi anggota organisasi dengan terbentuknya NGO-NGO perempuan. Misalnya, Mano River Women’s Peace Network (MARWOPNET) adalah sebuah organisasi perempuan regional, bekerja untuk mengarahkan perhatian komunitas internasional pada pelanggaran yang dilakukan oleh pemberontak selama pemerintahan National Provisional Ruling Council (NPRC). Women's Network of the Methodist Church menyelenggarakan lokakarya pada tahun 2001 tentang “peran perempuan dalam membuat panduan persenjataan masyarakat” dalam rangka untuk merancang dan menerapkan strategi untuk mencegah penggunaan senjata kecil di antara anak-anak dan di sekolah. Organisasi-organisasi yang disebutkan adalah contoh-contoh organisasi yang dibentuk selama konflik internal di Sierra Leone dan telah berperan aktif dalam membantu Women’s Forum dalam mencapai perdamaian dan membangun kembali serta meningkatkan peran mereka dalam bidang politik. Semua organisasi tersebut didirikan dalam rangka membangun perdamaian dan merekonstruksi Sierra Leone. Perempuan telah memperjuangkan hak mereka
1060
Peran Women’s Forum di Sierra Leone (Raudhatul Jannah)
sebagai salah satu korban utama kekerasan terjadi, dan mereka memiliki peran yang signifikan dalam membangun kembali negaranya dengan ikut aktif dalam lembaga pemerintah. Mereka mampu menggerakkan seluruh perempuan untuk bekerjasama tanpa membedakan asal etnis mereka. Kesimpulan Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan Women’s Forum dan gerakan perempuan di Sierra Leone merupakan kekuatan terorganisir yang berperan dalam mengubah kehidupan perempuan untuk menciptakan ruang untuk perempuan Sierra Leone lainnya untuk melakukan perubahan. Hal ini juga menunjukkan bahwa perempuan Sierra Leone bukan hanya sebagai korban yang terus mengalami kekerasan akan tetapi perempuan juga sebagai pelopor dalam upaya mengakhiri konflik dan pemulihan demokrasi di Sierra Leone. Kondisi ini mendorong para perempuan di Sierra Leone untuk menyatukan diri dalam satu gerakan yang melintasi batasan agama dan etnis. Women’s Forum secara sinergis melakukan pendekatan dan tekanan politik kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Sekalipun pada awalnya kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik tidak menyetujui inisiatif ini, namun karena tekanan dari kelompok perempuan ini juga memunculkan dukungan dari dunia internasional, secara perlahan mampu mengakhiri pertikaian yang ada dengan puncaknya pada tahun 2002. Keberadaan Women’s Forum memiliki peranan signifikan terhadap gerakan perempuan di Sierra Leone sebagai organisasi payung yang mengakomodir berbagai kepentingan golongan perempuan. Keberadaan Women’s Forum dapat menyatukan suara wanita dalam menyampaikan isu-isu perempuan kepada masyarakat dan pemerintah Sierra Leone. Kontribusi Women’s Forum di Sierra Leone dalam upaya menyelesaikan konflik dan membangun demokrasi menggambarkan pada kekuatan perempuan di negara tetangga dalam memberikan dorongan baru dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam ranah publik. Referensi Buku Fakih, Mansour.1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan Strategi Bertindak, terjemahan Cet. 1. Jakarta: The British Council. Hermawan, P. Yulius. 2007. Transformasi dalam Studi Ilmu Hubungan Internasional:Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Jemadu, Alexius. 2007. Analisis Konflik Internal dari Perspektif Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Graha Ilmu.
1061
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 2, Nomor 4, 2014: 1051-1062
O’Donnell, Guillremo dan Philippe C Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: LP3ES. Internet Peace Agreements as a Means for Promoting Gender Equality and Ensuring Participation of Women, lihat pada: http://www.un.org/womenwatch/daw/egm/peace2003/reports/EP5Dyfan.PD F , waktu akses, 11 Maret 2013 pukul 05.57 wita. Ruth Rubio-Marin, Perempuan Menggugat: Masalah Gender dan Reparasi dalam Kejahatan Hak Asasi Manusia, Lihat pada: http://elsam.or.id/downloads/1296541929_Perempuan_Menggugat.pdf, , waktu akses: Rabu, 20 Maret 2013 pukul 22:23 wita.
1062