PERAN FILSAFAT ISLAM DALAM DINAMIKA PENDIDIKAN MODERN DI INDONESIA Masmuni Mahatma Jurusan Tarbiyah STAIN SAS Bangka Belitung Email :
[email protected] Abstrak: Salah satu kelemahan mendasar dari perguruan tinggi Islam adalah problem dikotomik ilmu-ilmu agama dan umum. Di ranah lain, juga masih lebih terbebani dengan misi keagamaan yang bersifat memihak, subjektif dan romantis, sehingga kadar kritisisme tidak begitu tampak. Dari kondisi tersebut, mesti ada landasan paradigmatik sebagai pijakan filosofis dalam mengembangkan pendidikan tinggi Islam. Karena itu, keberadaan filsafat Islam di perguruan tinggi Islam menjadi sangat penting untuk direaktualisasikan untuk menumbuhkan telaah kritis terhadap teori dan konsep ilmu pengetahuan yang dipandang menyimpang dari pandangan Islam. Di luar itu, bisa juga menawarkan konsep alternatif dalam perspektif Islam dan bagaimana kaum muslimin menyikapi pengetahuan modern secara lebih kritis dan konstruktif. Kata kunci: Filsafat Islam, pendidikan modern, perguruan tinggi Islam Abstract: One of the fundamental weaknesses of the Islamic higher education is the dicotomic between religious sciences and the natural science. In another side, it has a great burden of segregating, subjective and romantic religious missions. Therefore, the critical study does not appear. Due to the condition, a paradigmatic foundation is a must to be the philosophical basis for developing Islamic higher education. Consequently, the existence of Islamic philosophy in the Islamic college is crucially important to be actualized to conduct a critical study on the theories and concepts of science deviated from Islamic perspective. Despite, it could also offer alternative concepts in the perspective of Islam and how Muslims respond to modern knowledge more critically and in constructive manner. Keywords: Islamic philosophy, modern education, Islamic college
Pendahuluan Hakikat tujuan pendidikan nasional adalah upaya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya. Istilah “seutuhnya” ini memang tampak klise dan masih kental dengan gaya dan logika Orde Baru. Namun demikian, manusia Indonesia seutuhnya yang diidealisasikan tersebut menjadi titik puncak pencapaian tujuan pendidikan nasional sebagai sebuah proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati yang masih terus menjadi dambaan sebagian besar masyarakat. Dan ketika sosok ‘manusia Indonesia seutuhnya’ masih terus diwujudkan, pada saat yang sama arus globalisasi dan era pasar bebas terus menerpa sedemikian cepat dan keras.1 Inilah sentuhan modernitas yang layak diapresiasi dengan berbagai sudut pandang maupun kearifan keilmuan (wisdom of knowledge) para akademisi (baca: masyarakat (ber) pendidikan). Arus globalisasi pun tak hanya merambah wilayah sosial budaya dalam arti yang sempit, melainkan telah merasuk dalam nadi pendidikan kita, baik melalui potensinya yang positif maupun dampaknya yang kadang negatif. Untungnya, dewasa ini perkembangan dunia pendidikan di Indonesia mengalami banyak kemajuan dibanding masa-masa sebelumnya. Sebuah pencapaian bermakna pasca runtuhnya rezim Orde Baru yang telah ikut “mengerdilkan” mentalitas pikir dan keilmuan masyarakat. Memasuki awal abad ke-21 yang dipenuhi berbagai fakta persaingan baik pada tingkat nasional maupun global, maka upaya mendinamisasi berbagai program pendidikan, khususnya pendidikan tinggi Islam, mutlak dilakukan. Salah satu kelemahan mendasar dari perguruan tinggi Islam adalah orientasi keilmuan yang masih terus dicarikan formulasinya dalam upaya memecahkan problem dikotomik antara ilmu-ilmu agama dan umum. Konsekuensi logisnya, muncul kecenderungan pada upaya reintegrasi keilmuan agama dan umum dalam ruangnya yang kadang (tampak) “dipaksakan”. Di beberapa UIN, IAIN, STAIN, misalnya, sedemikian menjamur program studi (prodi) seperti Psikologi, Kimia, Fisika, dan lain lain. Bisa jadi hal ini bukan masalah yang cukup berarti, namun sebagian kalangan menganggap 1Sudarwam
Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 1.
188
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
bahwa di sinilah krisis integritas keilmuan dan kependidikan Islam itu diperlihatkan. Adanya ketegangan (tension) hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan dalam pemikiran umat Islam ini, sepertinya merupakan fenomena di era modern. Sebab pada masa klasik, setidaknya ketika para filosof Muslim betul-betul memegang kendali peradaban keilmuan, jarang sekali terdengar fenomena demikian. Sejarah mencatat bahwa hubungan “agama” dan “ilmu” pada masa kejayaan peradaban umat Islam justru menunjukkan suasana yang dialogis dan harmonis.2 Pendidikan Islam, sekadar menegaskan kembali, dari sejak dulu sudah bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh para ilmuwan dan filosof Muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, atau pun Ibnu Khaldun.3 Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, terjadi pemisahan dikotomik antara keilmuan agama dengan umum hampir di seluruh ruang. Upaya reintegrasi keilmuan tersebut menunjukkan sebuah peluang bagi reaktualisasi peran filsafat Islam. Peluang ini dimungkinkan bukan hanya oleh kekayaan khazanah filsafat Islam yang ada, melainkan juga oleh sifat filsafat Islam yang sejak awal perkembangannya sangat menghargai pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, lebih dari itu, filsafat Islam memang tidak pernah bertumbuh terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tegasnya, filsafat Islam nyaris tak pernah mengenal pemisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan itu sendiri.4 Kultivasi ilmu-ilmu terpadu dalam perguruan tinggi Islam jelas bergantung pada sistem pendidikan yang memungkinkan transmisi dan implementasi ilmu pengetahuan di seluruh bentuknya dalam sebuah sikap yang terpadu dan holistik. Sistem pendidikan Islam se2Abdurrahman
Mas'ud, “Pendidikan Islam dalam Era Reformasi dan Globalisasi”, Makalah, Semarang: IAIN Walisongo, 1998, hlm. 5. 3M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama (Dari ParadigmaPositivistik-Sekularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik”, dalam Nanat Fatah Natsir & Hendriyanto Attan (eds.), Strategi Pendidikan: Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 16. 4Haidar Bagir, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu: Sebuah Demonstrasi”, Kata Pengantar dalam buku Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Arasy Mizan, 2005), hlm. 13.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
189
harusnya menekankan pada seluruh ilmu keagamaan sekaligus juga mencakup semua bentuk ilmu pengetahuan dan sains.5 Pentingnya filsafat Islam dalam upaya memberikan landasan filosofis bagi pengembangan keilmuan di perguruan tinggi Islam tersebut juga terkait dengan berbagai hegemoni paradigma keilmuan Barat yang positivistik-sekularistik, yang masih menjangkiti sebagian besar tradisi keilmuan di pendidikan Islam. Ide-ide dari para ilmuwan Barat yang menyerang berbagai pondasi metafisik secara rasional-filosofis tentunya harus dijawab secara kritis-konstruktif. Namun demikian, pertanyaan besarnya adalah apakah perguruan tinggi Islam (baik UIN, IAIN atau STAIN) selama ini sudah memberikan prioritas yang memadai dalam upaya intensifikasi dan ekstensifikasi kajian filsafat Islam? Sebab kedudukan dan peran filsafat Islam dalam memberikan landasan filosofis bagi pengembangan keilmuan, tidak kalah rasionalnya dibandingkan filsafat Barat. Inilah yang akan menjadi tema pembahasan makalah ini lebih lanjut. Selayang Pandang Filsafat Islam Sebagai sebuah hal yang sifatnya universal, maka kegiatan berfilsafat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari berbagai peradaban umat manusia. Peradaban-peradaban yang pernah ada di dunia hampir dipastikan memiliki filsafatnya masing-masing. Fakta tersebut sekaligus membantah anggapan bahwa yang berfilsafat hanya orang Barat, khususnya Yunani. Maka keberadaan filsafat Islam sebagai sebuah warisan peradaban panjang Islam tentu saja merupakan fakta yang tidak bisa ditolak. Dalam berbagai literatur sejarah filsafat dunia klasik, peran dan kedudukan filsafat Islam seringkali terpinggirkan dan bahkan juga diabaikan. Sebut saja misalnya pendapat dari para sejarawan filsafat seperti Hegel, Coplestone, atau Bertrand Russell, yang tidak terlalu mengapresiasi warisan khazanah filsafat Islam yang begitu kaya. Dalam pandangan mereka, filsafat Islam sebatas menampung dan melestarikan warisan pemikiran Yunani Kuno untuk kemudian meneruskannya kepada orang-orang Barat yang saat itu masih berada di 5Azyumardi
Azra, “Reintegrasi Ilmu-Ilmu dalam Islam”, dalam Natsir dan Attan (eds.), Strategi Pendidikan, hlm. 11.
190
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
Zaman Kegelapan (The Dark of Middle Ages). Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa para ilmuwan Barat pun sudah mengapresiasi secara lebih baik lagi terhadap berbagai warisan filsafat Islam. Filsafat Islam merupakan produk dari sebuah proses intelektual yang kompleks.6 Menurut Ahmad Fuad al-Ahwany, filsafat Islam adalah suatu pembahasan yang meliputi berbagai soal tentang alam semesta dan manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.7 Artinya, secara nilai, filsafat Islam itu menembus berbagai disiplin seperti halnya Islam sebagai agama yang fungsinya merahmati seluruh alam. Meski terdapat perbedaan pendapat tentang nomenklatur yang sesuai apakah filsafat Islam, filsafat Arab, filsafat negara-negara Islam, filsafat dalam dunia Islam atau pun penyebutan yang lainnya,8 namun penulis lebih cenderung sepakat dengan pendapat Mulyadi Kartanegara9 yang menggunakan sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy). Mulyadi menguatkan setidaknya melalui 3 (tiga) alasan, yaitu: Pertama, ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syariah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya pandangan tauhid dan syariah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam (tawhid) dan pandangan syariah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu, ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam. Imbasnya, disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim. Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati filsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang di6Majid
Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 2004), hlm. xvii. 7Ahmad Fuad Al-Ahwany, Filsafat Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 7. 8Ibid., hlm. 11 9Mulyadhi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, makalah pada acara ulang tahun Paramadina XX, di Jakarta, pada tanggal 23 November 2006, hlm. 1.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
191
derita oleh filsafat Yunani, misalnya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengkritiknya secara mendasar. Contoh, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengkritik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan menggantikannya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lain seperti Suhrawardi, dan Umar bin Sahlan al-Sawi, juga mengriktik sistem logika Aristoteles. Sementara al-‘Amiri mengkritik dengan keras pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.10 Ketiga, adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam, akibat dari interaksi antara Islam sebagai agama dan filsafat Yunani. Akibatnya, para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dan sebagainya.11 Di sisi yang lain, alasan penggunaan istilah filsafat Islam, bukannya filsafat Muslim atau filsafat Arab, menurut Haidar Bagir, karena sifat-menentukannya dari filsafat itu yang berisi ajaran Islam di dalamnya. Alasan lain adalah karena para filosof tersebut dianggap tidak kehilangan sifat filosofisnya, termasuk Ibnu Rusyd yang sudah mengarang kitab fiqh Bidâyatul Mujtahid. Dalam pandangan Haidar Bagir, para filosof Islam itu telah teruji kesetiaannya pada kegiatan rasiosinasi (ratiocination) dalam segenap prosedur berfikirnya.12 Berbagai argumentasi di atas membuat istilah filsafat Islam lebih tepat dan mudah dicari irisan nilai-nilainya. Selain disepakati oleh Mulyadi Kartanegara, penyebutan istilah filsafat Islam juga diamini oleh para pemikir lain dalam berbagai karya mereka, meski sebagian kecil saja diantara mereka yang bisa disebutkan di sini. Seperti Ahmad Fuad Al-Ahwany, Haidar Bagir13, Musa Asy’arie14, A. Khudori Soleh15, Oliver Leaman16, Seyyed Hossein Nasr17 dan lain-lain. 10Ibid. 11Ibid. 12Haidar
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 87-88.
13Ibid. 14Musa
Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir (Yogyakarta: LESFI, 2001) Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). 16Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999). 15A.
192
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
Filsafat Yunani, diakui atau tidak, memang merupakan salah satu sumber filsafat Islam, dan bukan satu-satunya. Sebab, filsafat Islam juga bersumber dari Persia, India, Tiongkok dan sebagainya. Menurut beberapa pemikir seperti Oliver Leaman18 dan CA. Qadir,19 bahwa pemikiran filsafat Islam tidak bersumber atau diimport dari filsafat Yunani, akan tetapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam sendiri, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Meskipun demikian, harus diakui bahwa rasionalisme menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan logika-logika Yunani lewat penterjemahan-penterjemahan yang dilakukan.20 Apabila menelaah filsafat Islam sebagaimana dipahami oleh tokoh-tokoh besarnya, seperti Ibnu Sina hingga Mulla Shadra, maka filsafat Islam meliputi metafisika dan juga fisika. Sayang, kita telah kehilangan jejak pemikiran gemilang itu. Pada abad 12 M telah terjadi penerjemahan besar-besaran ke dalam bahasa Latin dan Ibrani, sehingga pengaruh besar filsafat Islam ini menyadarkan orang Eropa dari Abad Kegelapan yang mereka alami dari abad 6 M-16 M. Bahkan, pada abad kegelapan Barat, filsafat Islam justru menjadi landasan bagi abad pencerahan Islam, dimana kemajuan yang ada bukan hanya dalam ilmu agama (ulumul quran, hadits, fiqih), tapi juga ilmu yang sekarang disebut sebagai ilmu umum (matematika, kimia, astronomi, musik, fisika, kedokteran dan lainnya). Masa-masa keemasan perkembangan filsafat Islam mengalami tantangan yang sangat serius ketika al-Ghazali menulis kitab Tahâfut al-Falâsifah, dan disusul dengan kitab berikutnya, al-Munqidz min alDlalâl. Meskipun kedua risalah ini sebenarnya tidak menyerang filsafat secara keseluruhan, kecuali persoalan metafisika, khususnya filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina,21 namun demikan secara keseluruhan
17Seyyed
Hossein Nasr, Islamic Philosophy: From its Origin to the Present (New York: State University of New York Press, 2006). 18Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press, 1989), hlm. 8. 19C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 30. 20Soleh, Wacana Baru, hlm. 3. 21Ibid, hlm. 12.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
193
buku tersebut mewarnai kecenderungan umum umat Islam untuk menghindari filsafat. Usaha Ibnu Rusyd menjawab serangan al-Ghazali dengan mengeluarkan kitab Tahâfut al-Tahâfut, sepertinya tidak berhasil menggairahkan kembali pemikiran filsafat Islam. Bahkan, setelah Ibnu Rusyd, gema filsafat Islam semakin tak terdengar dalam kancah intelektual Islam, kecuali dalam Mazhab Syiah. Di kalangan elit terpelajar ini, pemikiran filsafat tetap saja berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Shadra (1571 M – 1640 M), Mulla Hadi Sabziwari (1797 M – 1873 M) dan lainnya.22 Di dunia Sunni sendiri, khususnya di era modern perkembangan filsafat Islam menemukan gairahnya pada saat Muhammad Iqbal (1877–1938 M) yang berusaha mengobarkan kembali elan vital pemikiran Islam, disusul kemudian beberapa filosof Islam kontemporer seperti Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Muhammad Abed al-Jabbiri, Seyyed Hossein Nasr, dan lainnya. Dalam rangka menuju perkembangan filsafat Islam kontemporer yang lebih produktif lagi, tentu saja kesungguhan dari umat Islam, khususnya di Indonesia, sangat dibutuhkan. Setidaknya untuk memperbaiki berbagai sistem pendidikan Islam, secara khusus di lingkungan perguruan tingginya, sehingga diharapkan bisa lebih aktif mereproduksi berbagai warisan khazanah intelektual yang kemudian bisa dijadikan landasan filosofis untuk kebangkitan peradaban Islam secara makro. Dinamika Pendidikan Islam Modern Dalam konteks Indonesia, ketika mengulas tentang filsafat Islam tentu tidak terlepas membicarakan pula kondisi pendidikan Islam. Karena bagaimanapun juga, kondisi pendidikan Islam dan eksistensi filsafat Islam akan saling terkait satu sama lain. Sebelum membahas dinamika hubungan keduanya, akan dibahas terlebih dahulu dinamika historis perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Membahas sejarah pendidikan Islam Indonesia, hal itu berarti berbicara tentang sejarah awal Islam masuk ke Nusantara. Meskipun keberadaannya sudah ada sejak awal Islam datang, namun dalam per22Ibid.,
194
hlm. 13.
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
kembangannya pendidikan Islam dirasakan dipinggirkan oleh kebijakan umum sistem pendidikan nasional. Akan tetapi, akhir-akhir ini telah ada upaya yang cukup signifikan untuk menempatkan pendidikan Islam sebagai pendidikan alternatif yang menjadi rujukan dan model bagi pendidikan lain di Indonesia. Pendidikan Islam yang lahir seiring dengan datangnya Islam itu sendiri, meskipun pada mulanya dalam bentuk yang sangat sederhana, seperti di langgar (musalla) dan madrasah, dalam sejarahnya senantiasa tidak sunyi dari berbagai persoalan dan rintangan yang dihadapinya. Dari mulai berhadapan dengan segala tekanan dan intimidasi pemerintah kolonial Belanda sampai diberlakukannya kurikulum 1994 dan sebagainya. Kendati demikian, satu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan Islam dengan lembaga pendidikannya cukup mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia.23 Secara prinsipil, pendidikan Islam mempunyai tujuan membentuk manusia yang pada akhirnya disamping mempunyai kualitas tinggi secara individual/personal (kesalehan individual)24 juga mempunyai kualitas yang tinggi secara impersonal/sosial (kesalehan sosial). Terdapat beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang merupakan pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan. Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahan pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir bersifat sekular. Oleh karena itu, nilai-
23Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesi: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. ix. 24Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. l0.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
195
nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan.25 Terkait dengan bagian ketiga di atas, maka untuk merekonstruksi kondisi pendidikan Islam dewasa ini secara lebih baik, tentunya segala bentuk “peniruan” yang berlebihan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan. Bukan saja karena tidak sesuai dengan citacita pendidikan Islam, melainkan bisa semakin “mengikis otonomi” keilmuan Islam dalam kancah yang lebih luas. Maka suatu keniscayaan tersendiri bagi masyarakat Islam untuk mencari paradigma pendidikan Islam yang konstruktif dan dinamis, agar mampu mengimbangi laju kependidikan Barat dengan berbagai karakternya. Berbicara pendidikan Islam, salah satu hal penting yang harus dikaji lebih lanjut adalah kondisi pendidikan tingginya. Dalam hal ini, kendala yang masih dihadapi oleh perguruan tinggi Islam adalah pembidangan keilmuan yang digagas oleh LIPI telah menyebabkan studi Islam di Indonesia masih bergelut dalam aspek-aspek normatifdeduktif-klasik. Sementara IAIN/STAIN belum diberi kewenangan untuk mengembangkan ilmu yang bersifat umum atau sekular. Kondisi ini, selain karena aspek politik, sering dipicu pula oleh perdebatan tentang dikotomi ilmu agama dan ilmu sekular, sehingga perkembangan studi Islam di perguruan tinggi Islam hanya mengusung terma dan isu klasik, tanpa sedikit pun menyentuh hal-hal kontemporer yang membumi.26 Namun dalam dua dasawarsa terakhir ini (sejak 1993), dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya IAIN dan STAIN, ”menggeliat” untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi secara lokal maupun global. Wujudnya adalah memperluas kewenangan yang telah dimilikinya selama ini, yang kemudian disebut dengan program wider mandate (mandat yang diperluas) atau
25Achmadi,
Islam Paradigma Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, Yogyakarta, 1992), hlm. viii-ix. 26Akh. Minhaji & Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 87.
196
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
disingkat WM serta melakukan transformasi atau perubahan dari IAIN/STAIN menjadi UIN (Universitas Islam Negeri).27 Transformasi dimaksud menunjukkan adanya pengembangan keilmuan keislaman yang selama ini hanya berkutat pada Islamic Sudies (Dirasah Islamiyah) yang terangkum dalam fakultas atau jurusan Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah. Sementara dalam tradisi keilmuan di dunia Barat berkembang pesat yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga rumpun a) humanities, b) social sciences, dan c) natural sciences, di samping ada area studi yang pendekatannya dilakukan secara interdisipliner dan multi disipliner termasuk di dalamnya women studies.28 Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam di UIN, IAIN dan STAIN Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada problematika filosofis-epistemologis yang tak kunjung usai.29 Pengembangan pendidikan Islam dengan demikian secara mendasar berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis. Oleh karena itu, jika substansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam tersebut adalah juga merupakan problem pendidikan Islam.30 Dewasa ini terdengar keinginan beberapa lembaga pendidikan tinggi, termasuk di dalamnya perguruan tinggi Islam, untuk mengarah pada apa yang disebut sebagai “research university”. Keinginan ini tentu saja sangat bagus ketika dunia pendidikan tinggi dalam proses globalisasi sekarang dipenuhi dengan tingkat persaingan yang tinggi, maka eksistensi lembaga pendidikan tinggi itu salah satunya akan ditentukan oleh kemampuan risetnya. 27Ahmad
Haris, “Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi”, dalam Andito (ed.), Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2004), hlm. 106. 28Untuk mengkaji lebih jauh masalah ini lihat A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2003), hlm. 28-29. 29Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. xv. 30Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), hlm. 213.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
197
Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN dan STAIN) harus lebih membuka diri untuk menyongsong tuntutan masa depan. Dan setidaknya, ada tiga hal pokok yang harus menjadi perhatian, pertama masalah kurikulum yang senantiasa dievaluasi agar sesuai dengan kemajuan zaman, kedua kualitas, dan ketiga pembaruan kelembagaan.31 Dari ketiga hal di atas, mesti ada sebuah landasan paradigmatik yang akan diperlukan sebagai pijakan filosofis dalam pengembangan pendidikan tinggi Islam. Bahkan, keberadaan filsafat Islam di perguruan tinggi Islam menjadi sangat penting untuk direaktualisasi. Meskipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekular. Berbagai teori ilmiah dari bermacam bidang, seperti fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya, dengan mengatasnamakan metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah.32 Tentunya, sebagai perguruan tinggi Islam akan terasa janggal jika UIN, IAIN ataupun STAIN menjadikan filsafat “Barat” sebagai center of excellence-nya. Di ranah lain, perguruan tinggi Islam juga masih lebih terbebani dengan misi keagamaan yang bersifat memihak, subjektif dan romantis, sehingga kadar kritisisme, terutama dalam penelaahan teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah tertentu yang terdahulu tidak begitu tampak ditonjolkan.33 Reaktualisasi filsafat Islam secara masif tentu saja akan menumbuhkan upaya melakukan telaah kritis terhadap teori dan konsep ilmu pengetahuan yang dipandang menyimpang dari pandangan Islam. Di luar itu, bisa juga menawarkan konsep alternatif dalam perspektif
31Haidar
Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasisonal di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 131. 32Kartanegara, Masa Depan Filsafat Islam, hlm. 3. 33M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post-Modernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 17.
198
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
Islam dan bagaimana kaum muslimin menyikapi pengetahuan modern secara lebih kritis dan konstruktif. Sayangnya, sudah sejak lama kajian terhadap filsafat Islam di perguruan tinggi Islam belum terlalu masif dilakukan. Filsafat Islam, yang pada saat periode awal dikenalkan oleh Harun Nasution barulah dasar-dasarnya atau lebih bersifat pengantar. Pengenalan terhadap sedikit filosof utama Muslim dalam bukunya Filsafat dan Mistisme dalam Islam tersebut, meskipun sangat berguna, namun sudah dikesani tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN dan STAIN) sebagai pusat pengembangan pemikiran Islam. Buku tersebut sudah dicetak beberapa kali namun sejak penerbitan awalnya tahun 1973, tidak mengalami perubahan. Dengan begitu, untuk saat ini harus dikembangkan secara lebih ekstensif menurut bidang-bidang utamanya, seperti metafisika, epistemologi, etika, politik, logika dan lainnya. Di Indonesia, penerbitan buku-buku filsafat Islam semenjak masa reformasi sudah lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya meskipun belum cukup. Sebab untuk perubahan besar dan mendasar dibutuhkan sebuah produksi besar-besaran karya filsafat Islam baik itu yang berbentuk terjemahan karya-karya master piece para filosof Islam klasik maupun karya-karya genuine dari pemikir Islam di Indonesia itu sendiri. Peran filsafat Islam yang lebih optimal dalam merekonstruksi nalar keilmuan perguruan tinggi Islam pada prinsipnya dalam rangka menjawab berbagai kritik yang ditujukan pada paradigma keilmuan yang dianut oleh perguruan tinggi Islam (UIN, IAIN dan STAIN) yang hingga kini masih diselenggarakan dengan paradigma klasik, atau belum berani menganut paradigma baru. Ini berarti bahwa proses pembelajaran di perguruan tinggi Islam masih relatif, dan belum maksimal menawarkan materi dan metode pendekatan yang relevan bagi kebutuhan masyarakat (umat) pada zamannya.34 Adanya kecenderungan perguruan tinggi Islam untuk merencanakan pengembangannya menjadi lembaga pendidikan yang lebih integratif dengan keilmuan umum, seharusnya semakin menyadarkan kita agar maksimal dalam mengembangkan filsafat Islam di perguru34Idi
dan Suharto, Revitalisasi Pendidikan, hlm. 195.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
199
an tinggi umum. Harapannya agar akselerasi reintegrasi keilmuan tidak keluar dari nilai-nilai filosofis ajaran keislaman dalam maknanya yang universal. Pada tataran yang lain, adanya berbagai keinginan reintegrasi keilmuan tersebut sebenarnya masih dibayangi oleh kesadaran para ilmuwan dan elit perguruan tinggi Islam, dimana mereka mengetahui bahwa masih ada dua ‘kelemahan’ yang menjangkiti perguruan tinggi Islam, yaitu dalam merespons masa depan umatnya dan mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits.35 Berbagai ‘kelemahan’ itu tidak lantas menyurutkan untuk melakukan massifikasi kajian dan produksi karya-karya filsafat Islam. Secara eksternal, kajian yang intensif dalam filsafat Islam juga akan memberikan sumbangan bagi penyelamatan kondisi moral masyarakat yang akhir-akhir ini semakin menurun, dan cenderung menafikan nilai-nilai agama. Maka sudah selayaknya perguruan tinggi Islam mampu memproduksi rumusan visi etika yang berbasiskan filsafat Islam untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Adanya kekhawatiran sebagian pihak terhadap eksistensi filsafat Islam tentu saja tidak beralasan. Sebab reaktualisasi peran filsafat Islam di perguruan tinggi Islam, tidak akan menggoyahkan misi keagamaannya. Ia bukan “teror” baru dalam keilmuan Islam. Ia juga bukan semata alat mengasah logika dan kritisisme berpikir tanpa nilai. Intinya, reaktualisasi filsafat Islam seyogiyanya adalah modal dan model bagi dinamisasi nilai-nilai Islam yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara epistemologi keilmuan. Penutup Upaya serius memaksimalkan peran filsafat Islam dalam dinamika pendidikan modern di Indonesia, khususnya di perguruan tinggi Islam harus melalui langkah-langkah konkrit. Dan setidaknya ada empat hal yang harus dilakukan, pertama, mereformasi kurikulum perguruan tinggi Islam untuk lebih mengakomodir tema-tema filsafat Islam, baik dari sisi kualitatif maupun kuantitaifnya. Kedua, sebagai tindak lanjut dari yang pertama maka langkah berikutnya adalah 35Ibid.,
200
hlm. 198.
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
keseriusan membangun tradisi ilmiah Islam, dan yang ketiga perlunya mendirikan pusat-pusat kajian filsafat Islam secara lebih berkualitas di kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Keempat, perguruan tinggi Islam harus menyediakan literatur-literatur karya master piece para filosof Islam, baik klasik maupun dalam perpustakaannya, sehingga memudahkan untuk berbagai kajian yang terus produktif. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.*
Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. “Etika Tauhidik sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama”, dalam Nanat Fatah Natsir & Hendriyanto Attan (eds.), Strategi Pendidikan: Upaya Memahami Wahyu dan Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. -------. Falsafah Kalam di Era Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Achmadi. Islam Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media, Yogyakarta, 1992. Al-Ahwany, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Asy’arie, Musa. Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berfikir. Yogyakarta: LESFI, 2001. Azizy, A. Qadri. Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2003. Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2006. --------. “Reintegrasi Ilmu-Ilmu: Sebuah Demonstrasi”, Kata Pengantar dalam buku Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Arasy Mizan, 2005. Danim, Sudarwam. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Tadrís Volume 6 Nomor 2 Desember 2011
201
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 2004. Haris, Ahmad. “Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi”, dalam Andito (ed.), Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2004. Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesi: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Idi, Abdullah dan Toto Suharto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Kartanegara, Mulyadhi. “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, Makalah pada acara ulang tahun Paramadina yang ke XX, di Jakarta, pada tanggal 23 November 2006. Leaman, Oliver. A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge: Polity Press, 1999. -------. Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press, 1989. Mas'ud, Abdurrahman, “Pendidikan Islam Dalam Era Reformasi Dan Globalisasi” Makalah, Semarang: IAIN Walisongo, 1998. Minhaji, Akh. dan Kamaruzzaman. Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003. Mulkhan, Abdul Munir. Nalar Spiritual Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002. -------. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRES, 1993. Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy: From its Origin to the Present. New York: State University of New York Press, 2006. Qadir, CA. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991. Soleh, A. Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. 202
Tadrîs Volume 6 Nomor 2 Desember 2011