Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia
Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia HERI KUSMANTO Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected]
Diterima tanggal 7 Agustus 2010/Disetujui tanggal 9 September 2010 Study of civil society are often conducted by political scientist. In general, a reaction to the longstanding dominance of state. Similarly, in the context of Indonesia. These studies discuss the development of the concept of civil society in Indonesia. Analytical tools used in this study is the approach of political sociology. Focused on the relation between religion and state, also talked about the political systems that shape the relationship between state and civil society. To collecting data its using the study of literature and documents and analysis was performed with the method of historical comparison. The study found that in cases in Indonesia there are Muslim intellectuals and activists who think that the concept of democracy is anti-Islamic. Conversely, there are Islamic groups who believe that even if democracy comes from the west though, it is not contrary to the ethical principles of Islam. Democracy is well used by the Islamic community. The community like this is called as civil society berteraskan Islam. Keywords: Civil society, state approach, civil muslim. Pendahuluan Civil society banyak berkembang dalam pemikiran politik di Indonesia dan menjadi arus utama kajian sebagai reaksi atas dominasi peranan negara dalam realitas kehidupan politik. Dalam konteks peralihan demokrasi peranan masyarakat sipil dipandang sangat penting bagi keberhasilan upaya demokratisasi suatu bangsa. Untuk memahami realitas politik Indonesia kajian ini menggunakan pendekatan masyarakat sipil, khususnya pendekatan masyarakat sipil muslim karena di Indonesia masyarakat sipil muslim yang memiliki peranan penting dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan memiliki jumlah pendukungnya pada umumnya besar1
dibandingkan dengan masyarakat sipil lainnya. Oleh sebab itu, membicarakan masyarakat sipil di Indonesia tidak boleh menafikan masyarakat sipil muslim. Kajian ini merupakan reaksi terhadap berbagai analisis politik Indonesia yang cenderung menggunakan “pendekatan negara” (states approach), suatu pendekatan yang mendominasi diskursus negara-masyarakat sepanjang lebih dari tiga dasawarsa Orde Baru. Kajian yang menggunakan beberapa teori politik ini menolak alur-berpikir yang memandang eksistensi negara sebagai faktor paling penting dan menentukan bagi berlangsungnya proses politik di Indonesia sebagaimana yang ba-
1
Nahdhlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia mengklaim jumlah pendukungnya mencapai 40 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia atau sekitar
80-90 juta orang, sedangkan Muhammadiyah diperkirakan memiliki pendukung setengah daripada pendukung NU.
57
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia nyak digunakan para sarjana. 2 Patut diketahui bahwa sebelum gagasan masyarakat sipil banyak dibicarakan dalam kajian–kajian di Indonesia, konsep yang banyak diperdebatkan adalah hubungan dikhotomis antara negara dan masyarakat (state and society). Namun demikian, substansi pokok konsep tersebut lebih banyak menekankan “faktor” negara ketimbang masyarakat. Pendekatan state-society banyak digunakan oleh banyak sarjana untuk mengamati fenomena politik negeri-negeri berkembang, termasuk Indonesia.3 Untuk itu perlu dikembangkan suatu pendekatan baru yang mampu melihat tentang pentingnya peranan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendekatan dan Metode Studi ini dilakukan dengan pendekatan sosiologi politik. Fokusnya pada relasi antara agama dan negara. Studi ini juga berbicara tentang sitem politik yang membentuk hubungan antara negara dan masyarakat sipil. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan studi pustaka dan dokumen. Analisis dilakukan dengan metode perbandingan sejarah. Kajian Tentang Masyarakat Sipil Pendekatan masyarakat sipil yang dewasa ini banyak digunakan untuk memahami masalah Indonesia sesungguhnya merupakan reaksi terhadap pendekatan yang berfokus pada negara. Sebagainama diketahui, pendekatan yang menitikberatkan perhatian pada negara adalah “hasil” dari mainstream pendekatan politik yang sekian lama mendominasi kajian politik negeri-negeri berkembang. Padanan atau terjemahan lain civil society adalah 2
Pemahaman yang lebih mendalam dalam kasus ini Lihat, Abdul Aziz Thab, Islam dan Negara dalam Politik Oerde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 52-59; Moh Machfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 105-135; Ipong S. Azhar, Benarkah DPR Mandul: Pemilu, Partai dan DPR Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Bighraf Publishing, 1998), hal. 35-58. 3 Lihat, Alfred Stephan, The State and Society: Peru in Comparative Perspective, (Princeton, New York: Princeton University Press, 1978).
58
“masyarakat sipil”. Salah seorang cendekiawan cum aktivis Ornop (Organisasi NonPemerintah/NGO) yang giat mengenalkan istilah masyarakat sipil di Indonesia ialah Mansour Fakih, 4 bahkan ketika konsep civil society mulai di perbincangkan di kalangan cendekiawan Indonesia awal tahun 1990-an, Fakih sudah memperkenalkan padanan istilah ini dalam bahasa Indonesia melalui berbagai tulisan. Sepintas lalu terjemahan tersebut paling tepat untuk istilah civil society. Namun demikian, banyak orang melontarkan kritik terhadap penggunaan istilah itu yang dianggap dapat memunculkan ragam pengertian akibat tumpang-tindih makna yang terkandung di dalam kata civility (beradab) dan civil (sipil). Umpamanya, “masyarakat militer.” Pengertian “sipil” terkesan sebagai tandingan “militer” yang dalam masyarakat Indonesia hadir dalam bentuk dwi-fungsi ABRI, atau menekankan pentingnya supremasi sipil terhadap militer (civilian supremacy over the military). Dalam kaitan ini, Adi Suryadi Culla 5 membandingkan tulisantulisan Muhadjir Effendy, Michael Laifer, dan YB Mangunwijaya, misalnya, cenderung mempertentangkan military society dengan masyarakat sipil. 6 Secara konseptual, masyarakat sipil senantiasa berhadapan atau berlawanan dengan negara (state), sedangkan “lawan” dari military adalah civilian, bukan civil.7
4
Lihat misalnya, Mansour Fakih, Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Civil society dalam buku itu diterjemahkan sebagai sebagai “masyarakat sipil”. Sebelum itu, terbit buku terjemahan Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung : Mizan, 1995) karya Ernest Gellner. Dalam tulisan pengantar untuk buku Gellner, Aswab Mahasin memakai istilah “masyarakat madani”. 5 Lihat Adi Suryadi Culla, Rekontruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006). 6 Lihat Rahardjo, “Masyarakat Madani di Indonesia”, The Indonesian Quarterly 4, (1995), hal. 354-360. Dalam artikel itu laifer mengatakan bahwa tantangan terberat bagi pengembangan masyarakat sipil di Indonesia adalah masih terlalu kuatnya peran politik militer, khususnya pada masa Orde Baru. 7 Lihat Ibid., hal. 7.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia Kecenderungan umum di negeri-negeri otoritarian, termasuk Indonesia semasa Orde Baru, menunjukkan bahwa negara berperan sangat besar dalam menentukan berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tidaklah mengherankan jika kemudian muncul tantangan, bahkan tuntutan bagi peninjauan kembali paradigma pendekatan politik yang digunakan. Berbagai kasus di negerinegeri berkembang membuktikan bahwa sistem otoritarianisme tidak berjalan kekal, dan sebenarnya ada dinamika serta peran masyarakat di luar institusi negara yang tidak dapat diabaikan secara politik. Jika negara hendak menghindari gerakan perlawanan, penataan kehidupan politik yang bebas dari hegemoni negara menjadi sebuah kebutuhan. Pendekatan yang berfokus pada negara sesungguhnya memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, terlalu menekankan peran negara sebagai aktor paling menentukan dalam seluruh kehidupan politik. Kedua, cenderung mereduksi proses politik yang dilihat sebagai realitas pergulatan di kalangan elite dalam upaya mempengaruhi, merebut, atau mempertahankan kekuasaan di tingkat institusi negara serta mengabaikan dinamika pada aras masyarakat di luar negara. 8 Pendekatan state society belum “menempatkan” gagasan masyarakat sipil sebagai sebuah sudut pandang tersendiri. Pendekatan itu juga tidak membedakan secara tegas istilah civil society dengan society, mungkin karena istilah ini dianggap mewakili seluruh kekuatan yang berhadapan dengan negara (state). 9
yang terkait dengan perkembangan kapitalisme ketimbang peran penting masyarakat sipil di Indonesia. Beberapa peserta konferensi, khususnya dari Indonesia, membahas tentang gerakan perlawanan rakyat, peran Ornop, sektor bisnis, ideologi dan demokrasi, namun tidak tegas diletakkan dalam kerangka gagasan masyarakat sipil. 11 Bagaimanapun juga, konferensi dan buku tersebut bisa dicatat sebagai salah satu “titik” awal digunakannya perspektif yang berbeda untuk memahami realitas politik Indonesia dengan memasukkan peranan masyarakat sipil. Dalam pengantar editor buku itu, sebagaimana dikutip M Dawam Rahardjo, Arief Budiman menegaskan bahwa: Bicara tentang demokrasi, biasanya orang berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society. Asumsinya adalah jika civil society vis-a vis negara relatif kuat, maka demokrasi akan berlangsung. Sebaliknya, jika negara kuat dan civil society lemah, maka demokrasi tidak berjalan. Dengan demikian, proses demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan civil society. Proses pemberdayaan, menurut Arief Budiman, akan berlangsung jika, pertama, kelompok masyarakat sipil mendapat kesempatan untuk lebih banyak berperan, baik di tingkat negara maupun masyarakat: kedua, bila posisi kelas tertindas berhadapan dengan kelas dominan menjadi lebih kuat, berarti juga terjadinya proses pembebasan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan. 12 Perspektif itu jelas menekankan peranan masyarakat sipil sebagai arus utama dalam mencipta dan melahirkan perubahan politik.
Kecenderungan demikian tetap berlanjut, bahkan ketika istilah civil society mulai menarik perhatian para ilmuwan dan pengamat Indonesia. Pada 1988, misalnya beberapa Indonesianis di Australia mengadakan konferensi dengan tema State and Civil Society in Indonesia. Beberapa cendikiawan Indonesia, di antaranya Arief Budiman, Ariel Heryanto, Bambang Pranowo, Ignas Kleden, Yap Thiam Hien, dan lain-lain, hadir sebagai peserta. 10 Makalah para peserta yang diterbitkan dalam bentuk buku pada 1990, sebagian besar isi buku tersebut lebih banyak menekankan “gejala” hegemoni negara Orde Baru
Berkaitan dengan wacana pemikiran tentang negara yang tampil dominan, munculnya pendekatan masyarakat sipil dapat dianggap counter-discourse atas akibat dari pengaruh institusi negara yang sangat kuat, sebagaimana tercermin dalam berbagai teori negara yang umumnya dipakai untuk memahami realitas empirik politik di Indonesia dan negeri-negeri berkembang. Karena itu, pendekatan masyarakat sipil harus dilihat sebagai upaya membalikkan pusat perhatian dari penekanan pada peranan negara ke masyarakat. Theda Skocpol ketika menelaah revolusi sosial, misalnya, menganjurkan untuk mema-
8
Lihat, Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 12. Ibid. 10 Lihat, Rahardjo, op.cit., hal. 12-13. 9
11 12
Ibid., hal. 13-14 Loc.cit.
59
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia sukkan kembali negara sebagai salah satu tema bebas dalam lingkup ilmu negara, sedangkan ilmu politik lebih banyak memerhatikan soal kekuasaan, partai politik, pemilihan umum, dan pemerintahan. Perhatian ilmu politik atas insitusi negara itu sendiri masih amat terbatas. Oleh karena itu, pentingnya gagasan pluralisme lembaga-lembaga masyarakat atau non-state actor yang menjadi titik pusat perhatian dalam wacana masyarakat sipil sudah seharusnya memperoleh tanggapan yang juga sepadan. 13 Pentingnya konsep dan pendekatan masyarakat sipil disebabkan oleh di dalam masyarakat Indonesia sendiri dan juga di antara pelaku-pelaku sosial politik senantiasa terdapat keinginan dan tuntutan untuk membangun masyarakat yang mampu berkreasi secara maksimal sekaligus menyerap nilai-nilai demokrasi secara konkret melalui terciptanya sistem politik dan pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana terbukti dalam kenyataan politik era Orde Baru, gerakan-gerakan politik ditengah masyarakat akan selalu muncul untuk menolak kecenderungan sentralisme. Mereka melakukan resistensi atas negara, karena itu melalui konsep dan pendekatan masyarakat di luar domain negara seharusnya mendapat penekanan tersendiri. 14 Berdasarkan konteks itu, dan dalam rangka proses demokratisasi, maka perkembangan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh hubungan antara masyarakat yang mandiri di luar sistem “resmi”, sehingga menjadi salah satu prasyarat utama bagi demokrasi.Sayangnya, peluang menghadirkan masyarakat sipil seringkali harus berhadapan dengan perilaku represi dan kontrol negara yang sangat kuat, sebagaimana contoh pengalaman politik selama puluhan tahun di bawah Orde Baru. Sebagaimana yang banyak dikaji oleh para sarjana Indonesia seperti, Affan Gaffar15,
13
Lihat, Mahasin dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat , hal. XVI. 14 Adi Suryadi Culla, op.cit., hal. 13. 15 Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
60
Koirudin 16, Piet H. Khaidir 17, Adi Suryadi Culla, Gregorius Sahdan 18, telah menunjukkan fakta bahwa selama tiga puluh dua tahun Orde Baru berhasil membangun dan mempertahankan kekuasaan negara yang sentralistik. Selama itu negara menikmati dan menjaga penuh otonomi serta selalu berupaya memaksakan kepentingannya atas masyarakat sipil. Jaringan negara, terutama lembaga eksekutif, berkembang menjadi alat yang mendukung berbagai kebijakan negara. Lewat berbagai aturan perundang-undangan, dan proses penataan kehidupan politik, negara menghambat dan mengontrol pertumbuhan gerakan masyarakat sipil. 19 Kontrol negara yang dominan dan hegemonik ke atas diskursus dan praksis politik dengan sendirinya membuat komponen gerakan masyarakat sipil semakin sulit mengembangkan otonominya yang krusial dalam proses pembangunan politik dan penciptaan masyarakat yang demokratis. Negara mengontrol ruang publik (public sphere) melalui “pendekatan keamanan” dengan restriktisi dan represi untuk membungkam dan menghambat suara-suara kritis serta aktivitas masyarakat sipil. Walaupun demikian, kelompok-kelompok masyarakat sipil tetap bertahan. Meskipun sudah dilemahkan, masyarakat sipil masih bisa melakukan gerakan perlawanan dan bersikap kritis. Mereka bergerak melawan struktur kekuasaan yang tidak demokratis lewat jaringan organisasi dan kelompok-kelompok mahasiswa, cendekiawan, Ornop (NGO), bahkan politisi dan (mantan) pejabat tinggi pemerintah, baik sipil maupun militer. Metode aksi yang digunakan juga sangat beragam, mulai dari gerakan advokasi sampai penyebaran wacana dan aksi demonstrasi menuntut demokratisasi dan keadilan. Rejim Orde Baru Soeharto akhirnya runtuh pada akhir Mei 1998. Banyak pengamat mengatakan bahwa runtuhnya re16
Lihat Khoiruddin, Menuju Partai Advokasi, (Yogyakarta: LkiS, 2005). 17 Lihat Piet H. Khaidir, Nalar Kemanusiaaan Nalar Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2006). 18 Lihat Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, (Bantul: Pondok Edukasi, 2004). 19 Lihat Intornational IDEA, Democratization in Indonesia: An Assesment, (Stockholm, Sweden: International IDEA, 2000), hal. 108.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia jim otoriter itu adalah akibat dari perlawanan tanpa henti elemen-elemen masyarakat sipil, termasuk Ornop (NGO). 20 Secara teoritis, baik dalam kaitannya dengan wacana maupun aksi masyarakat sipil, ada beberapa relevansi konsep masyarakat sipil terhadap realitas politik di Indonesia. Pertama, masyarakat sipil adalah domain atau entitas otonom yang berhadapan dengan negara yang juga otonom. Kajian ini menolak perspektif hegelian yang menempatkan masyarakat sipil sebagai bagian integral yang inferior di bawah supervisi negara. Kedua, masyarakat sipil dan negara adalah dua entitas berbeda, terpisah dan tidak jarang berhadapan secara frontal. Walau keduanya mungkin saja menemukan titik konvergensi, tidak berarti masyarakat sipil harus kehilangan sikap kritis dan kemandirian. Ketiga, implikasinya, masyarakat sipil sebagai entitas senantiasa berjuang untuk meraih otonomi, sementara negara disisi lain selalu berusaha mendominasi atau menghambat kemajuan gerakan masyarakat sipil. Fokus kajian ini adalah masyarakat sipil muslim di Indonesia sebagai representasi masyarakat sipil pada umumnya. Ada dua catatan konseptual sebagi konsekuensinya. Pertama, objek yang diteliti semestinya dilihat sebagai perwujudan dari gerakan masyarakat sipil yang memiliki kemandirian penuh, baik politik maupun finansial (swadaya dan swasembada). Kedua, dalam kaitannya dengan negara, masyarakat sipil seharusnya mampu menunjukkan sikap kritis dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat sebagai warga negara. Konsep masyarakat sipil pada dasarnya telah melalui proses perkembangan cukup panjang sejak zaman Yunani Kuno hingga zaman modern dan masuk ke dalam akar pemikiran Barat. Tafsir atas konsep itu pun bermacammacam karena latar kondisi masyarakat masing-masing yang memang berbeda. Cara menafsirkan konsep itu juga didasari oleh sudut pandang tertentu. Locke, Rousseau, dan Hobbes mengidentikkan masyarakat sipil dengan negara (masyarakat politik), 20
Lihat, Rustam Ibrahim, “Neraca Reformasi Akhir Tahun 2001 dan Agenda Civil Society” dalam Nor Hiqmah, Indonesia Menapak Demokrasi, (Jakarta : Yappika, 2002), hal. 3.
sedangkan Ferguson, Smith, Hegel,dan Marx selain memisahkan kedua entitas itu juga memandang masyarakat sipil (masyarakat ekonomi) independen dari negara (masyarakat politik). Tocqueville dan Gramsci memperluas konsep itu dengan memisahkan masyarakat sipil, negara, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi. Gagasan tentang masyarakat sipil bersifat multi-tafsir, namun ada kesamaan pandangan di antara para pemikir konsep itu, yakni masyarakat sipil diberi makna sebagai sebuah kehidupan masyarakat beradab yang bisa mengatur dan mengelola diri sendiri di bawah aturan-aturan hukum. Walaupun memakai ”bahasa” yang berbeda, pandangan semacam itu dapat dilihat dalam argumen-argumen Locke, Rousseau, Ferguson, Smith, Paine, Tocqueville, dan Gramsci. 21 Hegel membawa konsep masyarakat sipil ke arah ”negatif”. Menurut Hegel, masyarakat sipil mengandung potensi anarki bila kebebasan yang dimiliki untuk mengatur diri itu dibiarkan tanpa kontrol. Negara dibenarkan melakukan intervensi dan supervisi atas masyarakat sipil. Marx mengembangkan konsep ini dengan sudut pandang lain; entitas masyarakat sipil dilihat sebagai kelas borjuis yang menindas kelas proletar dalam struktur ekonomi. Negara justru menjadi alat masyarakat sipil. Kendati Tocqueville, Gramsci, Cohen dan Arato menjelaskannya secara berbeda, dapat ditarik benang merah bahwa yang dimaksud masyarakat sipil adalah arena (domain) tempat tumbuh kembangnya berbagai bentuk organisasi, asosiasi, dan perkumpulan yang mempersatukan individu dalam kehidupan bersama sebagai sebuah kelompok, dibentuk oleh dan atas inisiatif kelompokkelompok masyarakat di luar negara. Melalui institusi masyarakat sipil, individu-individu 21
Gagasan “masyarakat sipil” yang dikembangkan oleh Gramsci sangat kompleks. Selain membedakannya dari negara, Gramsci melihat masyarakat sipil sebagai ajang pertarungan hegemoni. Negara berhasil ”memantapkan” hegemoni di dalam arena masyarakat sipil. Menurut Gramsci, di dalam masyarakat sipil terdapat berbagai unsur masyarakat mencakup kaum buruh dan gerakan sosial lainnya, termasuk Ornop, yang mungkin pula berusaha melakukan counter-hegemony terhadap Negara. Lihat Chandhoke, op.cit.; Patria dan Arif, op.cit.; Sparinga, loc.cit.
61
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia atau sekelompok masyarakat berinteraksi dengan negara. Dengan kebebasan itulah masyarakat sipil bisa menjalankan fungsi kontrol politik terhadap negara secara bertanggung jawab berdasarkan hukum yang dipatuhi bersama. Di dalamnya, melalui wadah-wadah bebas itu, partisipasi politik dapat berjalan dengan baik sesuai kesadaran masyarakat akan hak-haknya sebagai warga negara (beradab). Karena itu, ketika berinteraksi dengan negara, masyarakat sipil mensyaratkan adanya kriteria kemandirian (otonomi politik), keswadayaan (self-supporting) dan keswasembadaan (self-generating). Dengan adanya kesadaran dan memiliki kemampuan untuk membangun prasyarat-prasyarat tersebut, masyarakat sipil bisa menjalankan dengan baik fungsi kontrol-kritis atas negara. Sebagai perbincangan politik, gagasan masyarakat sipil meletakkan titik-tekan perhatian bukan pada negara sebagai faktor penentu kehidupan politik, tetapi justru pada masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, konsep masyarakat sipil merupakan suatu pembalikan atas teori-teori politik yang selama itu mendominasi kajian politik di negeri-negeri berkembang. Relevansinya untuk konteks politik Indonesia, konsep itu bisa menjadi semacam ”alat” untuk menjelaskan peran unsur-unsur masyarakat di luar negara yang berusaha mempengaruhi kebijakan atau menciptakan perubahan pada peran negara. Salah satu unsur yang dianggap representasi konsep masyarakat sipil adalah Ornop. Secara konseptual dan berbagai sudut pandang, Ornop ditafsirkan sebagai arena/entitas masyarakat yang berada di luar negara. Ornop berbeda dan terpisah, baik dari domain negara maupun masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Hal demikian pararel dengan kerangka pemikiran tentang masyarakat sipil yang hadir dan mengejawantah dalam bentuk lembaga atau kelompok-kelompok masyarakat. Karena itu, sosok Ornop dalam perspektif wacana masyarakat sipil pun mensyaratkan adanya kemampuan dalam membangun aspek-aspek kemandirian, keswadayaan, dan keswasembadaan, baik dalam hubungannya dengan negara maupun dengan aktor-aktor non negara.
62
Kajian tentang masyarakat sipil di Indonesia memperoleh tempat yang sangat luas, namun sebaliknya kajian tentang masyarakat madani tidak menjadi arus utama, karena anggapan bahwa masyarakat madani itu sama dengan masyarakat sipil. Secara sepintas barangkali prinsip-prinsip dan nilai-nilai antara masyarakat madani dan masyarakat sipil itu sama. Seperti yang diungkap oleh Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo 22, Azyumardi Azra 23 bahwa amatlah tepat menyebut masyarakat sipil sebagai masyarakat madani dan dalam perkembangan selanjutnya ternyata masyarakat madani banyak diterima oleh cendekiawan (banyak sarjana) Indonesia, terutama cendekiawan muslim sebagai terjemahan civil society. Perbincangan masyarakat madani populer di Indonesia setelah dikemukakan oleh Dato Anwar Ibrahim, dalam ceramah di festival Istiqlal tahun 1995 di Jakarta. Masyarakat madani menurutnya merupakan masyarakat yang menjadikan agama sebagai sumber (in put), peradaban sebagai proses dan kota sebagai hasilnya (out put). Jadi masyarakat madani merupakan pilar utama bagi upaya untuk mewujudkan peradaban, yaitu peradaban yang menjunjung tinggi pluralisme dan semua golongan dalam masyarakat agar dapat hidup secara damai dan sejahtera.24 Nurcholish Madjid memandang masyarakat madani itu sebagai masyarakat beradab (madaniyah/civilized), suatu masyarakat yang tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Masyarakat madani pada hakikatnya reformasi total ke atas masyarakat Arab-Jahiliyah yang tidak 22
M. Dawam Rahardjo, Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 146. 23 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Tantangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 5. 24 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hal. 535-536. Syarifuddin Jurdi menambahkan bahwa masyarakat madani merupakan usaha untuk membentuk peradaban dengan budaya kota yang berkeadaban dan perwujudan masyarakat baldatun thoyyibatun warabaun ghafur.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia kenal hukum (lawless) melalui suatu perjanjian yang terkenal sebagai ”Mitsaq al-Madinah” (Madinah Charter). Suatu dokumen politik yang ”pertama” dibuat sepanjang sejarah ummat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme, toleransi dan demokrasi. 25 Prinsip-prinsip masyarakat Madinah pada era Rasulullah yang bercirikan egalitarian, toleransi, pluralisme, partisipatif dan demokratis dipuji oleh Robert N. Bellah sebagai bentuk masyarakat moderen. Masyarakat moderen yang demokratis inilah yang disebut Azyumardi Azra sebagai masyarakat madani, sehingga dengan berlangsungnya proses demokratisasi di Indonesia, maka upaya mewujudkan masyarakat madani sebenarnya sedang terjadi di Indonesia. 26 Dawam Rahardjo berpendapat bahwa agama merupakan sumber pedoman, sedang peradaban adalah prosesnya yang akan menghasilkan suatu masyarakat kota, dengan demikian civil society yang diterjemahkan sebagai masyarakat madani sesungguhnya meliputi tiga hal, yaitu, agama, peradaban dan perkotaan. Pendapat-pendapat yang menyamakan antara masyarakat sipil dan masyarakat madani digunakan banyak sarjana di Indonesia. Kajian Tentang Masyarakat Madani Pendapat yang menganggap masyarakat madani sama dengan masyarakat sipil pada umumnya bersandar pada arti kata madani yang secara etimologis memiliki dua arti, pertama kata madani yang berasal dari kata madinah yang artinya kota, dan, kedua, kata madani yang berasal dari kata tamaddun atau madaniyah yang artinya beradab atau civilized. Pendapat yang demikian tentunya terlalu menyederhanakan (over simplyfication) kenyataan masyarakat madani yang berbeda secara filosofis maupun historis. Hal ini menunjukkan kegagalan menilai perjalanan sejarah masyarakat Islam yang sebenarnya. Walaupun beberapa prinsip, asas maupun 25
Firdaus Efendi & Khamami Zada (ed.), Membangun Masyarakat Madani, Melalui Khutbah dan Ceramah, (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), hal. 3-19. 26 Azyumardi Azra, op.cit., hal. 5-7.
nilai-nilai peradaban kelihatan hampir sama dalam masyarakat yang beradab seperti adanya toleransi, pengakuan akan pluralisme, masyarakat yang egaliter, berkeadilan, demokratis dan sebagainya, namun patut diingat bahwa dalam pengaturan Islam semua itu mesti ditujukan hanya kepada ALLAH S.W.T. semata, hal ini yang tidak ada dalam konsep masyarakat sipil dari barat, kalaupun ada semua itu ditujukan untuk kepentingan membuat ketertiban dalam masyarakat atau atas dasar filosofi kemanusiaan belaka. Tepat seperti yang dikatakan oleh Akram Diya’Al-Umari, ”Sejarawan Islam tidak akan menilai sebarang peradaban atas dasar pencapaian kebendaan semata-mata; ia juga akan mengambil kira sejauh mana peradaban itu memenuhi tujuan-tujuan dasar yang diperintahkan oleh Tuhan, Pencipta semua makhlukNya. Akram kemudian mengutip firman ALLAH dalam surah al-Dhariyat: 51-56, terjemahan: ”Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan untuk menyembah Aku” (2000: 20). Oleh karena itu, kata beradab walaupun secara etimologis sama antara madaniyah dan civilized, belum tentu sama pada kenyataanya, karena secara filosofis berbeda. Selain itu, secara historis, konsep masyarakat madani lahir dari upaya Nabi Muhammad S.A.W. melakukan reformasi total terhadap peradaban ummat manusia yang dimulai dengan mengubah nama kota Yasthrib dengan nama al-Madinah al-Munawwarah dan sejak itu peradaban Islam dibangun, serta searusnya menjadi model masyarakat beradab Islam masa kini. Peradaban Islam yang mulia merupakan peradaban yang melahirkan suatu persekitaran yang sesuai – politik, sosial, ekonomi, budaya, dan material – yang membolehkan manusia mengarahkan diri mereka untuk mengabdikan diri kepada ALLAH S.W.T. sematamata, dan patuh kepada semua perintah-Nya dalam melakukan berbagai aktivitas. Masyarakat dan berbagai institusi tidak boleh dibenarkan untuk menghalangi siapapun untuk menjalankan kewajibannya kepada ALLAH S.W.T. Tidak peduli bagaimana tingginya suatu peradaban baik berupa ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun kemajuan kebendaan dan sebagainya, selagi peradaban itu
63
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia gagal menciptakan persekitaran yang mendukung seluruh masyarakat untuk menyembah ALLAH S.W.T. dan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syariah, maka semua itu dianggap menyeleweng dan tertinggal (alUmari, 2000: 20-21). Masyarakat madani dalam pengertian demikian adalah masyarakat transendental dalam arti semua aktivitasnya harus berpedoman kepada syariah Islam dan ditujukan kepada Allah S.W.T. semata, dengan kata lain masyarakat madani adalah suatu Khairu Ummah. Kenyataannya memang demikian, Rasulullah S.A.W. pada hakekatnya di Madinah berupaya mengembangkan masyarakat yang beradab berdasarkan prinsip-prinsip, nilai, hukum yang mengacu kepada penghambaan kepada Sang Khalik. Selain itu, untuk membina masyarakat Madinah yang plural - terdiri dari sebagian saja beragama Islam dan yang lain yaitu, Yahudi, Nasrani, pemeluk kepercayaan tauhid tradisional (kaum hanif) dan orang-orang musyrik, serta berbagai kabilah dari berbagai kaum – dibuatlah suatu perjanjian yang dikenal sebagai Mitsaq alMadinah yang mengatur kesatuan masyarakat (al-Ummah) untuk menegakkan kebajikan umum (al-Khair). Prinsip-prinsip umum Mitsaq al-Madinah tersebut mengacu kepada Surah Ali Imran ayat 103 – 104: “dan berpeganglah kamu semua kepada tali (hukum) ALLAH dan janganlah kamu bercerai-berai. Dan ingatlah kamu akan nikmat ALLAH kepadamu ketika kamu dahulu (di era jahiliyah) bermusuhmusuhan, maka ALLAH menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat ALLAH, orang-orang yang bersaudara; dan ketika kamu telah berada di tepi jurang neraka, maka ALLAH menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kamu mendapatkan petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok ummat yang menyeru kepada kebajikan (al-Khair), menegakkan yang ma’ruf, dan mencegah segala yang munkar, merekalah yang akan mencapai kejayaan.”
Visi kemasyarakatan yang ada dalam ayat 103 tersebut adalah menegakkan hukum (syariah) dan menjaga kesatuan ummat. Syariah sangat diperlukan dalam mengatur hubungan yang adil dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan itu maka perpecahan masyarakat dapat dihindari. Sedangkan misi kemasyarakatannya jelas ada dalam ayat 104 yaitu, mendorong masyarakat untuk melakukan perbuatan baik, menegakkan yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemunkaran. Rasullullah selanjutnya melakukan pengaturan kehidupan bersama secara jelas melalui Mitsaq al-Madinah dengan asas-asas sebagai berikut: (1).Mengaku sebagai anggota suatu masyarakat; (2).Bersetuju untuk menegakkan keadilan bagi semua; (3).Keputusan berperang dilakukan dengan musyawarah; (4).Individu tidak boleh mengaku sebagai mewakili ummat; (5).Menjamin kebebasan beragama; (6).Semua pihak akan melindungi harta benda dan jiwa masyarakat; (7).Menghadapi musuh luar secara bersama-sama; (8).Mentaati hukum bersama-sama; (9).Mengakui dan melindungi persamaan hak individu; (10).Kaum muslim punya hak perlindungan yang sama dengan yahudi; (11).Madinah adalah zona aman berdasarkan hukum; (12).Mereka yang berbuat salah harus dinyatakan lewat pengadilan; (13).Setiap orang diwajibkan untuk tidak berkhianat, mengacau, sewenangwenang atau merusak ketertiban umum; (14).Konflik antar kabilah yang tidak dapat diselesaikan harus diserahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. untuk diselesaikan. 27 Secara singkat masyarakat tersebut hidup berdasarkan hukum dan mengacu kepada kebaikan (khair) untuk mencapai keridhoan kepada ALLAH S.W.T. semata, sebagai sumber kebenaran hakiki. Model masyarakat madinah ini banyak ditafsirkan sebagai Daulah Islamiyah. Kenyataannya pengaturan kehidupan bersama tersebut, memiliki ciriciri pengaturan pemerintahan, atau semacam polis (city of state) yang pernah ada di Yunani. Fenomena tersebut telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan individu dan masyarakat secara menyeluruh, terutama memperbaiki tingkah laku harian, tabiat asli 27
64
Dawam Rahardjo, op.cit., hal. 93-94.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia individu, status, penilaian dan pola hubungan dalam masyarakat dan dengan lingkungan alam sekitar. Perubahan dalam konteks aqidah merupakan suatu penghijrahan dari penyembahan berhala dan benda-benda hidup yang dapat dilihat dan disentuh kepada penyembahan kepada Allah yang Esa, yang tidak dapat digambarkan atau diwakili dengan sifat-sifat yang sebenarnya yang tidak diketahui. Terdapat perpindahan besar daripada pemikiran primitif, yaitu kepercayaan kepada kebendaaan sahaja, kepada pemikiran maju yang boleh menerima konsep keesaan Allah (tawhid) dan Dia yang melebihi dan mengatasi sifat manusia (tanzih), serta Tuhan yang Maha Berkuasa ke atas semua makhluk (Akram Di’ya al-Umari, 2000: 6365). Orang-orang Arab muslim tidak lagi terikat oleh undang-undang, peraturan ataupun adat istiadat lagi dalam urusan dan hubungan sosialnya, dia menjadi berdisiplin dengan mematuhi kuasa syariah dalam semua aspek kehidupan, mulai yang berhubungan dengan dirinya seperti, makan tidur, bekerja, beribadah dan sebagainya, kemudian berhubungan dengan orang lain atau masyarakat seperti perkawinan, jual-beli, bermasyarakat dan semua aktiviti sosial. Berbagai tabiat lama digantikan yang baru, seperti kebiasaan minum-minuman yang memabukkan, dan berbagai tabiat jahiliyah lainnya, berganti dengan kebiasaan puasa, zakat, sedekah, infaq dan perbuatan baik lainnya yang merupakan perwujudan nilai rahmatan lil alamin, dilakukan dengan penuh kesungguhan, karena takwa kepada Allah dan kecintaannya kepada Muhammad Rasulullah. Islam juga mengenalkan tentang persaudaran yang tidak didasarkan ke atas hubungan-hubungan darah, keturunan dan perkauman. Hubungan persaudaran menjadi luas karena Islam menyuruh persaudaraan didasarkan ke atas keimanan, seperti yang ada dalam Surah al-Hujarat,49: 10, terjemahan “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara”. Persaudaraan atau Mu’akhah menjadi penopang hubungan yang kuat antara muhajirin dan anshor. Selain itu, masyarakat muslim diperkuat oleh ikatan aqidah dan kasih sayang. Ikatan ini
bahkan dapat mengalahkan hubungan-hubungan yang didasarkan oleh ikatan darah, keturunan ataupun perkauman. Hubungan yang paling dekat seperti anak dan orang tua boleh menjadi putus hubungannya jika aqidahnya berbeda. Hubungan kasih sayang yang tercermin dalam masyarakat muslim di Madinah sangat luar biasa karena kasih sayang tersebut tidak didasarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu yang tersembunyi, melainkan karena kecintaannya terhadap sesama muslim. Orang-orang mukmin hidup dalam suatu masyarakat yang bebas daripada sikap mementingkan diri dan mengeksploitasi satu sama lain, mereka senantiasa bersikap saling tolong menolong dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Perhubungan antara orang-orang beriman terletak pada saling menghormati dan selalu bersikap membela yang lemah. Terdapat banyak cerita dari orang-orang mukmin generasi awal yang alim dan benar yang memiliki mentalitas kedermawanan dan sikap rela berkorban yang sangat luar biasa. Sedangkan orang-orang miskinnya berbeda dengan masyarakat lain, seperti membentuk kumpulan untuk mencuri, mengemis, dan melakukan kejahatan lain yang menimbulkan ketidakstabilan masyarakat. Masyarakat muslim yang miskin memiliki harga diri untuk tidak merendahkan dirinya dengan perbuatan tercela, mereka akan bekerja keras, tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain, bersikap sederhana dan zuhud, seperti yang ditunjukkan dalam kehidupan ahl alSuffah.28 Kekuatan Islam ini memberi kesan kepada Madinah, di mana masyarakat Islam muncul sebagai yang terbaik dan sempurna, sehingga tidak terjadi konflik kelas dan orang-orang 28
Ibn Jubayr menyebutnya dalam al-Rihlah (Perjalanan) bahwa al-Suffah adalah sebuah rumah di hujung Quba’ (kawasan kiblat yang ditinggalkan kerana ada ayat yang turun yang menyuruh perubahan kiblat di mesjid Quba’), dimana ahl al-Suffah tinggal, mereka merupakan orang bercampur (al-Afwad) terdiri daripada kaum muhajirin maupun anshor yang hidupnya miskin dan bersikap zuhud terhadap dunia dan cenderung cinta terhadap pengetahuan.
65
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia kaya saling tolong menolong dengan yang miskin untuk mendukung pesan Islam. Wujud persaudaraan, saling mengasihi dan saling bantu membantu di kalangan orang mukmin, sebagaimana yang dimanifestasikan dalam Perlembagaan Madinah. Orang-orang Arab hidup secara berkelompok dalam unit politik yang berdasarkan suku atau kaum. Gaya hidup kesukuan dan nomad, dicirikan oleh keutuhan suku, konflik dan pembagian kawasan menjadi dominan. Apabila Islam datang, ia melembagakan konsep negeri yang terbuka kepada semua suku dan individu. Islam membuka cara kehidupan bersama yang plural, terbuka dan saling menghargai, semua pengaturan itu kemudian diabadikan oleh Rasulullah melalui Mitsaq Al-Madinah, dalam pengertian sekarang adalah konstitusi, yang merupakan konstitusi yang pertama kali dibuat oleh manusia. Oleh karena itu, konsep masyarakat madani sebenarnya tidaklah sama dengan konsep masyarakat sipil. Secara filosofis dan historis masyarakat madani jelas berbeda dengan masyarakat sipil yang sekular. Selain itu, masyarakat sipil cenderung merupakan kumpulan yang melakukan pengaturan terbatas hanya untuk kumpulannya saja, sedangkan masyarakat madani melakukan pengaturan kehidupan bersama dari berbagai suku kaum ataupun bangsa, meliputi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, layaknya seperti pemerintahan atau negara moderen yang ada saat ini, sehingga banyak ditafsirkan sebagai Daulah Islamiyah, semacam negara menurut ideal Islam. Masyarakat Sipil Muslim Masyarakat Sipil muslim dalam konteks di Indonesia jelas memiliki peran yang sangat besar dalam perpolitikan Indonesia sejak masa kolonial, era perjuangan kemerdekaan, orde lama, orde baru, maupun dalam era reformasi yang sedang berlangsung dengan upaya demokratisasi di Indonesia. Masyarakat sipil muslim dalam konteks perbincangan yang berkembang di Indonesia ada yang menyebutnya sebagai Civil Islam atau masyarakat sipil Islam, Civil Muslim atau masyarakat sipil Muslim atau juga
66
masyarakat madani. Banyak para pakar membahas peranan masyarakat sipil dalam upaya demokratisasi saat ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari masyarakat sipil muslim, karena peranan mereka sesungguhnya sangat besar, mengingat jumlah para ahlinya sangat besar dan mampu mendirikan berbagai partai baik yang berhaluan Islam maupun nasionalis, dan berpengaruh terhadap partai-partai lain, serta memiliki ahli yang memperoleh kedudukan penting di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Masyarakat sipil muslim pada hakekatnya adalah suatu organisasi yang memiliki fungsi-fungsi dan peran seperti masyarakat sipil, tetapi secara ideologis tidak sekular, karena berdasarkan Islam. Pada umumnya masyarakat sipil berteraskan Islam ini mencitacitakan suatu masyarakat yang diatur oleh Islam dan berupaya menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Masyarakat sipil muslim pada awalnya didirikan karena keprihatinan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang melihat begitu rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan pemahaman terhadap Islam pada masa kolonial. Walaupun mereka sudah menganut Islam, seringkali aspek perilaku budaya lebih menonjol daripada aspek perilaku yang berdasarkan Islam, dan tingkat pengetahuan untuk kehidupanpun sangat rendah, mereka hidup dengan cara-cara yang sangat tradisional, sehingga kemiskinan merajalela dan kesadaran bahwa mereka harus berjuang untuk melepaskan diri dari upaya perbudakan atau eksploitasi oleh kaum kolonial tidak tumbuh dengan kuat, mereka hanya menerima kehidupan itu seadanya dan sesekali mengeluh dan menyesali diri menjadi warna kehidupan mereka. Oleh karena itu, pada umumnya masyarakat sipil muslim pada awalnya bergerak dalam aktivitas dakwah dan tarbiyah (pendidikan) dengan membentuk lembaga-lembaga dakwah dan mendirikan pesantren dan madrasah (sekolah-sekolah) Islamiyah, selanjutnya berkembang dengan berbagai amal usaha lain seperti mendirikan koperasi, baitul mal attamwil, atau lembaga-lembaga ekonomi dan
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia keuangan Islam lainnya, rumah sakit, panti asuhananak yatim dan orang tua lanjut usia. Pada era perjuangan merebut kemerdekaan mereka aktif dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional dan bahkan mendirikan sayap militer, seperti Lasykar Hezbolah, Lasykar Rakyat, Lasykar Ahlus Sunnah walJamaah, dan sebagainya. Pada masa Soekarno, mereka terlibat dalam kegiatan politik, seperti mendirikan partai berdasarkan Islam dan aktif menjadi pengurusnya, serta aktif dalam berbagai aktivitas pemerintahan. Mereka terus membina aktivitas walaupun ada tekanan politik dari pemerintahan Soeharto dan terus dapat menjaga kelangsungan organisasi mereka hingga saat ini. Pemikiran yang berkembang tentang orientasi tujuan mereka dalam membina masyarakat sipil muslim mengalami perbedaan pendapat yang serius dalam masyarakat Islam, khususnya tentang model masyarakat Indonesia yang mereka cita-citakan. Ada yang beranggapan bahwa masyarakat Indonesia harus dibangun menuju masyarakat ideal yang pernah diwujudkan oleh Rasulullah, pendapat ini tentunya tidak berhubungan dengan demokrasi. Afan Gaffar juga menyebut bahwa dalam kosakata politik, Islam tidak mengenal istilah demokrasi, karena istilah ini diperkenalkan oleh Herodotus sekitar 3000 tahun yang lalu di Mesir Kuno. Kalangan pemikir klasik Yunani kuno kemudian mengembangkan istilah demokratia yang identik dengan intitusi pengambil keputusan yang bersifat kolektif yang terdiri dari demos atau rakyat yang ada dalam polis. Giovani Sartori menyebutkan bahwa dalam masa klasik tersebut, masyarakat yang demokratis paling tidak mencakup 6 hal; pertama, adanya keharmonisan dari kepentingan masyarakat; kedua, masyarakat polis haruslah bersifat homogen yang berkaitan dengan karakter mereka, jika tidak maka akan menimbulkan konflik yang sangat tajam di antara mereka; ketiga, masyarakatnya tentu saja tidak terlampau besar untuk menghindarkan diri dari heterogenitas kepentingan; keempat, anggota masyarakat memiliki kebebasan untuk berkumpul dan memutuskan hukum, serta kebijakan bersama; keli-
ma, partisipasi masyarakat tidak dibatasi baik dalam pembuatan keputusan maupun dalam administrasi pemerintahan; dan keenam, polis tersebut harus tetaplah bersifat otonom. 29 Perbincangan tentang demokrasi di Indonesia selalunya menimbulkan perdebatan dan perbedaan. Kumpulan Islam yang menekankan aspek fundamental Islam, menganggap tidak ada demokrasi dalam Islam, dan karena itu, konsep demokrasi merupakan kajian yang menyesatkan. Pada pihak lain terdapat para intelektual dan aktivis Islam yang menganggap demokrasi walaupun dari barat tetap baik digunakan oleh masyarakat Islam dan tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip etik yang terdapat dalam Islam. Secara umum kelembagaan demokrasi memiliki prinsipprinsip dan nilai-nilai yang hampir sama dengan ideal Islam, seperti kebersamaan, partisipasi, supremasi hukum, pluralisme, persamaan hak dan kebebasan. Selain itu perlembagaan demokrasi bercirikan keterwakilan politik rakyat dalam suatu majelis. Islam juga memiliki itu, yang biasa disebut sebagai syura, yang pada prinsipnya merupakan suatu mekanisme pembuatan keputusan melalui musyawarah. Dalam konteks Islam sumber terbaik umat manusia tiada lain adalah mereka yang hidup di masa awal Islam yang oleh Rasulullah dijelaskan sebagai ”tiga generasi pertama”, yaitu, sahabat, tabi’un (pengikut sahabat) dan tabi’ut-tabi’un (para pengikut pengikut sahabat). Secara umum mereka dikenal sebagai Penduduk Madinah (ahlul Madinah), dan perilakunya disebut sebagai ”Amal Madinah”, 30 yang mereka tafsirkan sistem itu sebagai Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, pihak-pihak yang meyakini Amal Madinah sebagai kode etik perilaku sama sekali menolak demokrasi, sehingga polemik tentang demokrasi dan syura sebagai kelembagaan di Indonesia tidak pernah selesai. Lembaga syura saat ini sulit ditemukan dalam praktik politik moderen, kalaupun ada, yaitu berupa model imamah di Iran. Syura dibincarakan di Indonesia dalam kon29
Syarifuddin Jurdi, op.cit., hal. 611. Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam, (Jakarta: REPUBLIKA, 2007), hal. 1617.
30
67
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia teks politik kadang-kadang sebagai isu alternatif di tengah arus frustasi atas keterpurukan sistem politik moderen. Baik syura maupun demokrasi memiliki keistimewaan bagi para pendukungnya, dan mayoritasnya masyarakat sipil muslim mendukung upaya demokratisasi, karena demokrasi dianggap sebagai jalan keluar yang rasional dari kemajemukan bangsa Indonesia yang luar biasa, baik dari segi suku bangsa atau perkauman, ras, agama dan kepercayaan. Persoalannya adalah bagaimana melakukan upaya Islamisasi lembaga-lembaga demokrasi agar tidak bertentangan dengan syariah dan tidak mengkhawatirkan para penganut agama non-muslim. Dalam dimensi Islamisasi inipun terjadi perbedaan pendapat, ada pihak yang menginginkan proses itu berjalan formal, namun ada yang beranggapan bahwa formalisasi itu akan mengkhawatirkan penduduk non-muslim, sehingga tidak perlu dilakukan formalisasi, namun lebih kepada upaya-upaya kultural. Bagi mereka yang berfikir radikal proses Islamisasi itu justru bersifat ahistoris dan menafikan sejarah perjuangan Rasulullah dalam membina masyarakat Madinah, oleh karena itu upaya-upaya mengadopsi kelembagaan moderen yang berasal dari barat adalah sangat tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sekalipun kemudian dalam prakteknya diisi dengan nilai-nilai Islam, yang kenyataannya banyak menimbulkan kerancuan dan bahkan semakin menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai Islam. Syura sebagai kelembagaan politik yang lahir dalam masyarakat Madinah bagi sebagian umat Islam dipandang sebagai lembaga politik yang paling penting untuk diwujudkan. Beberapa gerakan Islam yang menekankan pada tradisi Islam periode awal, terus memperjuangkan agar terbentuk kepemimpinan umat yang satu yang bisa menegakkan nilai-nilai Islam di muka bumi. Para pendukung ini berpikiran hanya dengan khilafah Islamiyah, maka syura dapat terwujud. Gerakan semacam Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Palestina, Jama’ati Islami di Pakistan, dan Masyumi di Indonesia, memperlihatkan upaya untuk mengede-
68
pankan pada sistem politik Islam, yaitu syura. Mereka masih memandang bias terhadap demokrasi saat ini, karena kondisi politik yang dihadapi belum memungkinkannya untuk mewujudkan syura. Pandangan Ikhwanul Muslimin mengenai pemerintahan bersifat obyektif dan realistis, menurut Ikhwan bahwa sistem politik atau pemerintahan yang diselenggarakan harus sesuai dan dalam kerangka landasan-landasan tertentu, yaitu; syura (musyawarah), hurriyah (kebebasan), musawah (persamaan), adl’ (keadilan), ta’ah (kepatuhan), dan amar ma’ruf nahi munkar. Penekanan pada syura sebagai penyelesaian segala perselisihan paham di antara masyarakat merupakan persyaratan bagi terwujudnya sebuah masyarakat yang teratur, sehingga memudahkan upaya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan ketika kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran dan ketentraman menyertai masyarakat, maka kesejahteraan bagi umat dan masyarakat akan mudah diwujudkan. 31 Syura sebagai upaya penyelesaian atas perbedaan-perbedaan dan sekaligus merupakan mekanisme kontrol, ia akan berfungsi untuk menjaga keteraturan dan manajemen konflik dalam masyarakat. Sayyid Qutb menganggap keperluan syura sangat penting untuk menyatukan pandangan dan pemikiran yang berbeda-beda, oleh karena itu syura merupakan hal yang mendasar dalam sistem Islam. Syura memiliki sandaran teologis yang kuat untuk menjalankan fungsinya, karena syura merupakan metode yang berhubungan erat dengan aqidah dan syariah, terutama pada keyakinan tentang kewajiban untuk tunduk, patuh atau taqwa kepada ALLAH secara mutlak. Namun seringkali umat atau masyarakat muslim menghadapi kenyataan bahwa sistem politik berdasarkan syura sulit untuk dilaksanakan karena mereka harus menghadapi penguasa-penguasa otoritarian yang tidak menghendaki sistem itu berlaku, sehingga organisasi-organisasi Islam di Indonesia mencoba memperjuangkannya dengan 31
Syarifuddin Jurdi, op.cit., 602-603.
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia cara mempengaruhi proses pembuatan perundang-undangan agar sepenuhnya bersumberkan dari syariah Islam, dan sistem politik Islam dapat ditegakkan. Apabila sistem politik Islam dapat ditegakkan, maka menurut Al-Maududi ia harus berdasarkan pada tiga hal, yaitu; pertama, kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan Islam berada di tangan Tuhan dan tidak ada seorangpun yang berdaulat; kedua, wewenang legislatif dan pemberi hukum sejati hanya berada pada ALLAH SWT dan manusia tidak memiliki kewenangan untuk mengubah aturan hukum ALLAH walaupun dengan suara mayoritas; ketiga, pemerintahan dalam negara Islam harus ditaati sepanjang mereka menegakkan hukum-hukum ALLAH.
kan istilah lain yang disebut dengan masyarakat madani. Pendekatan negara (states approach) yang digunakan seringkali menafikan keberadaan masyarakat sehingga rakyat berupaya untuk aktif dalam upaya demokratisasi di Indonesia, terutama upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil muslim. Dalam hal ini terdapat para intelektual dan aktivis Islam yang menganggap demokrasi walaupun dari barat tetap baik digunakan oleh masyarakat Islam dan tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip etik yang terdapat dalam Islam. Sebaliknya, sebagian kelompok Islam yang menekankan aspek fundamental Islam, menganggap bahwa konsep demokrasi merupakan kajian yang menyesatkan dan bertentangan dengan Islam.
Bagi kalangan yang menganggap bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam, maka mereka memandang gagasan untuk membentuk masyarakat Islam melalui pemerintahan Islam atau sistem Islam, atau sistem yang pernah dijalankan di Madinah sebagai ideologi absolutisme hukum Islam sehingga berbagai pemikiran yang bermanfaat dari kalangan non-muslim sama sekali tidak dapat berlaku. Mereka menuduh sikap absolitisme tersebut sangatlah ahistoris, mengingat ketika agama Islam masuk ke Nusantara, wilayah ini sudah sangat kaya dengan tradisi keberagaman dan peradaban, termasuk tradisi dan peradaban hukum. Sejak kedatangannya Islam telah bersikap akomodatif dan melebur dengan budaya masyarakat setempat. Dalam masyarakat yang plural itu Islam justru memasukkan nilai-niai moral dan teologi sehingga Islam boleh tumbuh dan berkembang dengan corak yang bhineka atau plural sesuai dengan budaya masyarakat Nusantara yang plural dan dari sini pula lahir tradisi pluralisme hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. 32
Daftar Pustaka
Penutup Pembahasan masyarakat sipil banyak dilakukan sebagai reaksi ke atas dominasi negara yang berlangsung cukup lama di Indonesia. Pembahasan ini juga memuncul32
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2009), hal. 150-151.
Azhar, Ipong S.. 1998. Benarkah DPR Mandul: Pemilu, Partai dan DPR Masa Orde Baru. Yogyakarta: Bighraf Publishing. Azra, Azyumardi. 2000. Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Culla, Adi Suryadi. 2006. Rekontruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Efendi, Firdaus & Khamami Zada (ed.). 1999. Membangun Masyarakat Madani, Melalui Khutbah dan Ceramah. Jakarta: Nuansa Madani. Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gaffar, Afan. 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gellner, Ernest. 1995. Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung: Mizan. Hiqmah, Nor. 2002. Indonesia Menapak Demokrasi. Jakarta: Yappika. Intornational IDEA, 2000. Democratization in Indonesia: An Assesment. Stockholm, Sweden: International IDEA. Jurdi, Syarifuddin. 2008. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: UII Press. Khaidir, Piet H.. 2006. Nalar Kemanusiaaan Nalar Perubahan Sosial. Jakarta: Teraju. Khoiruddin. 2005. Menuju Partai Advokasi. Yogyakarta: LkiS. Machfud MD, Moh. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
69
Jurnal POLITEIA|Vol.3|No.1|Januari 2011 ISSN: 0216-9290 Heri Kusmanto Sipil Muslim dalam Transisi Demokrasi di Indonesia Rahardjo. 1995. Masyarakat Madani di Indonesia. The Indonesian Quarterly 4, (1995). Rahardjo, M. Dawam. 1999. Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES. Sahdan, Gregorius. 2004. Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Bantul: Pondok Edukasi. Saidi, Zaim. 2007. Ilusi Demokrasi, Kritik dan Otokritik Islam. Jakarta: Republika.
70
Stephan, Alfred. 1978. The State and Society: Peru in Comparative Perspective. Princeton, New York: Princeton University Press. Terbentuk, Tim Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Republika (25 Februari 1999). Thab, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Oerde Baru. Jakarta: Gema Insani Press. Wahid, Abdurrahman (ed.). 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.