Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI, M. SABRAN dan A. HAMDAN BPTP Kalimantan Selatan
ABSTRAK Ternak kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang beberapa puluh tahun terakhir populasinya cenderung menurun tergantikan oleh ternak sapi. Potensi dan peranan ternak kerbau di Kalimantan Selatan yaitu sebagai penghasil protein hewani (daging), memiliki potensi sosial yang tinggi, sebagai tenaga kerja, sebagai penghasil pupuk, sebagai sumber pendapatan petani, tabungan dan sebagai komoditas agrowisata. Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Kalimantan Selatan pada umumnya masih dilakukan secara tradisional dan menunjukkan adanya perbedaan cara pemeliharaan bila dibandingkan antara agroekosistem lahan rawa dan lahan kering, tapi pada prinsipnya sama yaitu masih dilakukan secara tradisional. Permasalahan umum yang dihadapi yaitu kesulitan pakan dan air minum pada musim kemarau, kesulitan pakan pada musim hujan yang panjang (rumput terendam air), semakin berkurangnya lahan penggembalaan, adanya hama berupa keong mas dan ulat yang memakan hijauan pakan, terjadinya kebakaran pada lahan penggembalaan pada musim kemarau sehingga mematikan hijauan pakan yang tumbuh dan adanya serangan penyakit. Kata kunci: Kerbau, potensi, peran, masalah, Kalimantan Selatan
PENDAHULUAN Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang hampir terlupakan dalam beberapa dekade terakhir ini. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya populasi ternak kerbau di beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (tahun 1997 - 2003) telah terjadi penurunan populasi dari 41.727 ekor menjadi 37.550 ekor (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2003). Penurunan populasi antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat produktivitas, pemotongan yang tinggi, mortalitas anak yang tinggi, daya dukung lahan (pakan) yang terbatas dan kualitas pakan rendah serta faktor penyakit. Penyebab lain penurunan populasi karena mutu bibit, pakan dan tatalaksana (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 1994). Dalam laporan BPPH V dan SUB BALITVET (1991) salah satu kendala dalam pengembangan populasi kerbau adalah masalah penyakit yang mengakibatkan kematian ternak dan penjualan paksa terhadap kerbau yang diduga sakit sehingga mengakibatkan penurunan populasi. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN (1989) menyatakan perkembangan ternak kerbau dinilai relatif lambat karena adanya kendala-kendala berupa pemilikan modal yang lemah, keadaan rawa
yang kurang sehat (penuh gulma), langkanya bibit unggul dan belum adanya tataguna lahan rawa. Budidaya ternak kerbau rawa banyak dilakukan di daerah rawa yang relatif terpencil dari daerah lain dimana ternak dipelihara secara tradisional dengan cara digembalakan di rawa-rawa secara berkelompok, ternak ini berkembang biak secara alami (SADERI et al., 2005). Pemeliharaan ternak kerbau di Kalimantan Selatan dilakukan secara turun temurun. Ternak kerbau digunakan sebagai penghasil daging dan sumber pendapatan bagi peternak yang mengusahakannya, juga sebagai objek wisata yang unik (pacuan kerbau) pada saat tertentu (DINAS PARIWISATA KALIMANTAN SELATAN, 1996). Makalah ini bertujuan untuk menyampaikan gambaran tentang ternak kerbau di Kalimantan Selatan ditinjau dari segi potensi, peran dan permasalahannya. Potensi dan peranan ternak kerbau Berdasarkan beberapa sifat produktivitas, ternak kerbau mempunyai potensi yang cukup baik untuk terus dikembangkan agar kebutuhan konsumen akan daging dapat terpenuhi. Beberapa potensi dan peranan ternak kerbau di Kalimantan Selatan yaitu :
59
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
• Sebagai penghasil daging dengan kontribusi sebesar 13,9% dari daging sapi. • Memiliki fungsi sosial yang tinggi • Sebagai tenaga kerja • Sebagai penghasil pupuk (walaupun sampai saat ini belum dimanfaatkan) • Sumber pendapatan petani • Tabungan • Komoditas agrowisata Bila dilihat dari segi penyedia protein hewani bagi masyarakat, diketahui bahwa produksi karkas dan jerohan ternak kerbau di Kalimantan Selatan pada tahun 2004 mampu menyumbang sekitar 12,2% dari total produksi ternak besar atau 13,9% dari ternak sapi. Produksi ini turun sebesar 3,33% dibanding tahun 2002 (DINAS PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa ternak kerbau berperan tidak hanya memberikan kontribusi pendapatan bagi petani yang mengusahakannya, namun juga memberi kontribusi terhadap penyediaan daging. Untuk menunjang optimalnya potensi dan peranan ternak kerbau di atas perlu didukung dengan potensi sumber daya alam. Luas wilayah Kalimantan Selatan adalah 3.753.052 ha, terdiri dari lahan kering, pekarangan, tegalan/kebun, ladang/huma, padang penggembalaan, lahan tidur, hutan rakyat, perkebunan, rawa tidak ditanami, tambak, kolam/empang dan hutan. Luas lahan di Kalimantan Selatan sebagian terdiri atas lahan kering (1.825.170 ha) dan hutan (1.325.024 ha). Luas padang penggembalaan adalah 145.805 ha dan rawa tidak ditanami seluas 181.169 ha dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa. Lahan rawa merupakan salah satu wilayah yang berpotensi untuk pengembangan ternak kerbau di Kalimantan Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan kerbau rawa. Untuk lebih meningkatkan potensi dan peranan ternak kerbau, DITJENNAK (2006) operasionalisasi pengembangan usaha ternak kerbau yang dapat dilakukan yaitu : • Pola pembinaan kelompok Pembentukan dan pengembangan kelompok, kelompok sebagai sarana pembelajaran, sebagai unit produksi, wadah kerjasama dan unit usaha
60
• Pola kawasan Kawasan khusus pengembangan ternak kerbau, mempermudah pelayanan dan pemasaran, sebagai sentra pengembangan agribisnis, pembinaan dan pengembangan kelembagaan lebih mudah • Pola bergulir Dengan model Bantuan Langsung Masyarakat pada saatnya harus digulirkan kepada anggota/kelompok lain • Pola kemitraan Dengan swasta murni, atau swasta bertindak sebagai penjamin kredit Berdasarkan operasionalisasi pengembangan usaha ternak kerbau di atas, maka pola pembinaan kelompok telah dilakukan hampir di tiap kabupaten walaupun fungsinya masih belum optimal. Pola kawasan sudah terbentuk secara alamiah, karena pemeliharaan ternak kerbau memang tersentralisir di suatu kawasan. Namun untuk lebih optimal perlu dukungan pemerintah daerah terutama dalam hal pembinaan dan pengembangan kelembagaan. Pola dana bergulir telah berjalan cukup baik dan berhasil di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dimana peternak mendapat pinjaman modal untuk diusahakan dalam beternak kerbau dalam jangka tertentu dengan bunga yang telah disepakati sedangkan pola kemitraan dengan swasta di Kalimantan Selatan untuk ternak kerbau belum dilakukan. Karakteristik ternak kerbau di Kalimantan Selatan Bila dilihat dari segi agroekosistem antara lahan rawa dan lahan kering terdapat perbedaan karakteristik, kerbau yang dibudidayakan dan berkembang di lahan rawa pandai berenang (hasil adaptasi), dan kerbau yang dipelihara di lahan kering meskipun bisa berenang, tapi intensitas berenangnya kurang/hanya untuk berkubang. Perbedaan lain yang ditunjukkan yaitu dari bentuk teracak kerbau, pada ternak yang dipelihara di rawa teracaknya lebih lebar/besar, sedangkan kerbau yang dipelihara di lahan kering lebih sempit namun kuat dan kokoh (ROHAENI et al., 2006a). Selanjutnya berdasarkan laporan dan hasil penelitian ROHAENI et al. (2006a) diketahui beberapa informasi sifat biologis
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
kerbau rawa di Kalimantan Selatan seperti pada Tabel 1. Menurut DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN (2006) bahwa umur beranak pertama kerbau berkisar 3,5–4 tahun, lama kebuntingan 11-12 bulan dan jarak beranak 20-24 bulan. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa jarak beranak ternak kerbau mempunyai kisaran yang cukup jauh yaitu antara 12-24 bulan. Dinamika populasi dan program pengembangan ternak kerbau Secara nasional populasi ternak kerbau dalam kurun waktu 5 tahun (2001 - 2005) mengalami kenaikan walau sangat kecil yaitu sebesar 1,02% dengan pertumbuhan produksi
daging sebesar 3,3%. Berdasarkan laporan di Kalimantan Selatan diketahui bahwa populasi kerbau dalam waktu 5 tahun (2000 - 2005) secara umum mengalami kenaikan dari 35.288 ekor menjadi 38.88 ekor (sekitar 1,81% per tahun). Walaupun antara tahun 1997 - 2003 mengalami penurunan populasi. Pada Tabel 2 ditampilkan data dinamika populasi kerbau yang ada di tujuh kabupaten tempat dilakukan kegiatan yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (2006a). Dari tiga kabupaten yang disurvai diketahui bahwa populasi kerbau yang ada di Kabupaten Tapin mengalami penurunan (dalam waktu 5 tahun, 2000 - 2005) sebesar 8,58% per tahun, namun untuk kabupaten lain meningkat populasinya walau relatif kecil. Penurunan populasi kerbau
Tabel 1. Beberapa informasi sifat biologis kerbau rawa di Kalimantan Selatan Lokasi kabupaten Uraian
Banjar
Tala
Tapin
HST
HSS
HSU
Batola
3,5
4
4
3,5
3,5
4
3,5
Umur pertama beranak (tahun) Lama kebuntingan (hari)
330
325
332
330
330
330
330
Jarak beranak (bulan)
13-24
12-18
12-18
13-24
13-24
12-20
12-18
Umur pejantan kawin (tahun)
mulai
2-2,5
2-3
2
2
2,5
2,5
3
Umur betina kawin betina (tahun)
2-2,5
2-3
3
2,5
3
2
2
Sumber: ROHAENI et al. (2006a)
Tabel 2. Beberapa informasi sifat biologis kerbau rawa di Kalimantan Selatan Tahun 2000 Kabupaten
Tahun 2005
Populasi
Produksi
Pemotongan
Populasi
Produksi
Pemotongan
(ekor)
(kg)
(ekor)
(ekor)
(kg)
(ekor)
Tala
3.89l
42.4l0
218
4.538
6.845
3.7
Banjar
1.202
72.280
373
1.426
85.008
440
Tapin
578
621
3
338
15.565
84
Hulu Sungai Tengah
1.80l
75.045
383
1.974
113.l60
324
Hulu Sungai Selatan
2.8l2
14.538
70
3.136
16.997
74
Hulu Sungai Utara
6.509
42.400
212
7.846
124.649
324
493
11.102
57
894
3.060
72
Batola
Sumber: ROHAENI et al. (2006a)
61
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
di Tapin karena beberapa hal yaitu antara lain berubahnya fungsi lahan dari padang penggembalaan menjadi lahan perkebunan (karet), sehingga peternak kesulitan untuk menggembalakan ternaknya dan akhirnya ternak terpaksa dijual habis atau dikurangi skala pemeliharaannya, selain itu adanya perubahan pemeliharaan dari ternak kerbau menjadi sapi. Menurut SUBANDRIYO (2006), kegunaan mengetahui populasi adalah berkaitan dengan status dan kerentanan suatu populasi. Populasi ternak yang tidak terancam menurun keragaman genetiknya, dapat berkembang biak tanpa mengalami tekanan genetik apabila populasinya cukup besar. Status populasi yang terancam dapat ditentukan dengan menghitung jumlah ternak dewasa yang digambarkan dari jumlah betina dewasa dan nisbah kelaminnya atau melalui perhitungan ukuran efektif populasi yang dapat menggambarkan status populasinya. Salah satu tahap awal dalam program pelestarian plasma nutfah adalah menentukan status populasi ternak menurut rumpun. Kategori status populasi ternak menurut BODO (1990) berturut-turut adalah status normal, rentan, tidak aman, terancam, kritis dan punah. Secara umum di Kalimantan Selatan (tanpa memilah per kabupaten) diketahui bahwa populasi ternak kerbau yang ada masuk dalam kategori normal karena jumlah kerbau jantan sekitar 2.058 ekor sedang yang betina 10.430 ekor dengan ratio jantan betina 1 : 5. Berdasarkan laporan ROHAENI et al. (2006a) yang telah melakukan konsultasi dan
koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan Instansi terkait, diketahui bahwa ternak kerbau memang belum mendapat prioritas dalam pengembangan dan penanganannya, sehingga perkembangan ternak kerbau di masyarakat dapat dikatakan masih kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah. Program yang dilakukan di beberapa kabupaten berkenaan dengan pelestarian dan peningkatan produksi ternak kerbau ditampilkan pada Tabel 4. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2004 melakukan kegiatan penjaringan bibit kerbau dengan tujuan untuk: (a). Memperoleh pejantan kerbau yang terselekasi eksterior maupun daya produktivitasnya, (b). Menyediakan pejantan yang bermutu (terseleksi) yang dapat digunakan sebagai pemacek ternak kerbau lokal (karena mutu genetiknya mulai menurun), c). Memperbaiki produktivitas kerbau lokal dan meningkatkan mutu daging dalam rangka mendukung kecukupan daging daerah (DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN, 2004) Berdasarkan hasil lokakarya pembibitan dan pengembangan ternak kerbau pada tanggal 4 - 5 Agustus 2006 di Sumbawa (DITJENNAK, 2006), diharapkan adanya sinkronisasi program pengembangan ternak kerbau antara pemerintah pusat dan daerah seperti yang ditampilkan pada Tabel 5. Hal ini dapat menjadi acuan dalam penyusunan program sehingga peran dan fungsi ternak kerbau dapat ditingkatkan lagi untuk masa yang akan datang.
Tabel 3. Kerentanan populasi ternak berdasarkan ukuran populasi efektif Ratio kelamin (betina : jantan) Status
Jumlah betina dewasa
5:1
10 : 1
30 : 1
50 : 1
1.000 : 1
> 10.000
33.333
18.181
6.201
3.921
195
Tidak aman
5.000-10.000
5.000
2.727
930
588
30
Rentan
1.000-5.000
1.666
909
309
196
10
100-1.000
333
182
65
39
-
<100
33
18
7
4
-
Normal
Terancam Kritis Sumber: BODO (1990)
62
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 4. Program yang telah dilakukan berkenaan dengan pelestarian dan peningkatan produksi ternak kerbau di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan Kabupaten Banjar
Program Program yang terkait dengan ternak kerbau di kabupaten ini tidak rutin dilakukan setiap tahun, hal ini disebabkan karena pemeliharaan kerbau yang masih tradisional sehingga sulit untuk ditangani, namun ada beberapa program yang pernah dilakukan, yaitu : Kerbau Banpres tahun 1994/1995 (Desa Panggalaman dan Simpang Empat). Vaksinasi SE (tidak rutin).
Tapin
Tahun 1986 ada bantuan dana dari BRI (proyek RCP) berupa bantuan kerbau sebanyak 3 ekor/KK (2 betina dan 1 jantan). Tahun 1986, program Banpres berupa pinjaman ternak kerbau. Vaksinasi SE.
HSU
Pengadaan pompa air terutama untuk pengadaan air minum yang sulit diperoleh pada musim kemarau di daerah pengembangan kerbau. Penanaman HMT dan pengaturan tatacara padang pengembalaan. Vaksinasi Clostridium ± 1.000 ekor.
HST
Aplikasi IB pada kerbau. Penggemukan kerbau jantan (pinjaman modal). Kesehatan ternak (vaksinasi). Penambahan pejantan dan betina unggul. Pengadaan peralatan laboratorium, vagina buatan, perbaikan kubangan, kandang jepit dan kalang permanen.
HSS
Membuat tempat galangan/surjan di tengah padang gembalaan untuk istirahat kerbau pada saat air dalam. Vaksinasi SE untuk kesehatan ternak.
Batola
Pemasukan kerbau jantan dari luar daerah untuk perbaikan kualitas ternak Pembinaan dan penyuluhan kepada peternak.
Sumber: ROHAENI et al.(2006a) Tabel 5. Sinkronisasi program pengembangan ternak kerbau antara pemerintah pusat dan daerah Pusat Peningkatan angka kelahiran
Daerah Pengendalian pemotongan betina produktif Intensifikasi kawin alam melalui perbaikan komposisi jantan betina
Penurunan angka kematian
Pengendalian wabah penyakit hewan menular
Penetapan wilayah pengembangan
Pengukuhan padang penggembalaan Rehabilitasi sumber daya air
Sistem pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak kerbau yang dilakukan di Kalimantan Selatan menunjukkan perbedaan bila dilihat dari agroekosistem daerah (ROHAENI et al., 2005 dan ROHAENI et al., 2006). Daerah rawa pada umumnya memiliki sistem pemeliharaan ternak yang
hampir serupa seperti halnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Utara (HSU), dan Batola, sistem pemeliharaan akan berbeda bila dilakukan di daerah lahan kering seperti Kabupaten Banjar, Tanah Laut dan Tapin. Untuk lebih jelasnya sistem pemeliharaan diuraikan pada Lampiran 1.
63
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Permasalahan yang dihadapi Laporan ROHAENI et al. (2006a) yang dilakukan dengan cara konsultasi, koordinasi dan wawancara dengan berbagai pihak (Pemerintah Daerah/Dinas terkait dan peternak kerbau), dapat diinventarisasi beberapa permasalahan dalam beternak kerbau, khususnya di Kabupaten Tanah Laut, Banjar, Tapin, HST, HSS, HSU, dan Batola seperti pada Tabel 6. Aspek ekonomi Beternak kerbau merupakan salah satu jenis usaha yang umumnya dilakukan secara turun temurun (pada lokasi sentra kerbau). Beternak kerbau di Kalimantan Selatan sudah membudaya dan menunjukkan status sosial bagi pemiliknya. Bagi petani yang mengusahakan ternak kerbau di daerah rawa, kerbau mempunyai peranan yang besar terhadap perekonomian keluarga, dimana sebagian besar merupakan sebagai usaha utama dalam usaha keluarga untuk peternak. Namun untuk peternak yang ada di daerah lahan kering seperti Kabupaten Tanah Laut, Banjar dan Tapin, beternak kerbau merupakan usaha tambahan/sampingan. Peran ternak kerbau rawa bagi daerah umumnya hanya berfungsi sebagai penghasil daging, pada umumnya tidak berfungsi sebagai tenaga kerja seperti di daerah lain di Indonesia. Kondisi alam yang luas dan berawa-rawa merupakan salah satu potensi untuk pengembangan usaha ternak kerbau sebagai agrowisata yang unik dan menarik. Usaha ini sudah dimulai oleh Pemerintah Kabupaten HSU berupa kegiatan pacuan kerbau, terutama
64
dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI. Namun kegiatan ini mengalami hambatan terutama disebabkan minimnya dana pembinaan baik sarana dan prasarana sehingga tidak dapat dilaksanakan setiap tahun. Selain itu karena mungkin kurang promosi dan jaraknya jauh terpencil sehingga penontonnya atau wisatawan dari luar daerah masih sedikit. Luasnya lahan kering yang ada di Kalimantan Selatan juga merupakan salah satu pendukung dalam pengembangan ternak kerbau. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (2006b) digambarkan analisis usaha pemeliharaan ternak kerbau di Desa Banua Riam, Kalaan, Bunglai, Belangian, dan Rantau Bujur (Tabel 7). Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi yang berlaku di desa, diketahui bahwa pemeliharaan kerbau memberikan tambahan pendapatan lebih kurang Rp 3.438.800/dua tahun atau bila dirata-ratakan sekitar Rp 1.719.400/tahun dengan skala kepemilikan induk 3 ekor. Hasil penelitian lain yang dilaporkan oleh ROHAENI et al. (2006c) diuraikan bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau yang dipelihara sendiri oleh pemilik ternak dengan skala 4 ekor induk betina dewasa selama 2 tahun memberikan pendapatan sebesar Rp 10.450.000 (Tabel 8). Berdasarkan analisis sederhana di atas, diketahui bahwa usaha pemeliharaan ternak kerbau menunjukkan prospek yang baik karena memebrikan keuntungan dan tambahan pendapatan bagi petani yang mengusahakannya selain juga menunjang program pemerintah dalam hal penyediaan daging untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 6. Inventarisasi permasalahan dalam beternak kerbau rawa Kabupaten Tanah Laut
Kecamatan Jorong
Permasalahan Kesulitan pakan pada musim kemarau Ketersediaan air minum berkurang Pada musim kemarau kesulitan untuk mendapatkan HMT.
Pelaihari
Pada awal musim kemarau HMT diserang ulat hingga kering dan mati Semakin berkurangnya lahan padang penggembalaan Pada musim kemarau banyak ulat yang memakan HMT
Banjar
Tapin
Bati-bati
Kebakaran yang terjadi di lahan padang penggembalaan pada musim kemarau
Simpang Empat
Hampir dapat dikatakan tidak ada masalah, kadang-kadang ada penyakit berupa sakit perut dan pusing
Aranio
Kebakaran yang terjadi pada lahan padang penggembalaan terutama pada musim kemarau sehingga kesulitan mendapatkan HMT
Bungur
Lokasi padang penggembalaan yang semakin berkurang dengan adanya perluasan areal tanam karet Pada musim kemarau HMT berkurang sehingga harus mencari ke tempat yang jauh
Lokpaikat HST
Labuan Amas Utara
Keterbatasan modal Pada musim hujan (air dalam) kesulitan mendapatkan HMT karena terendam air Pada musim kemarau panjang kesulitan HMT Keong mas yang menyerang dan menghabisi HMT
HSS
Daha Utara
Pada musim hujan (air dalam) kesulitan mendapatkan HMT karena terendam air. Pada musim kemarau panjang kesulitan HMT Keong mas yang menyerang dan menghabisi HMT
HSU
Danau Panggang
Pada musim hujan (air dalam) kesulitan mendapatkan HMT karena terendam air Pada musim kemarau panjang kesulitan HMT Keong mas yang menyerang dan menghabisi HMT
Batola
Kuripan
Hampir dapat dikatakan tidak ada masalah, kadang-kadang ada penyakit berupa sakit perut dan pusing
Sumber: ROHAENi et al. (2006a)
65
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
Tabel 7. Analisis usaha pemeliharaan ternak kerbau skala pemilikan 3 ekor induk selama 1 tahun pemeliharaan di Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, 2006 Uraian
Fisik
Nilai (Rp)
3 ekor @ Rp 4.000.000
12.000.000
3 ekor @ Rp 10.000/tahun
30.000
Pengeluaran (A) : Bibit Perbaikan pagar Garam
3 ekor x 52 minggu @ Rp 200
31.200
Jumlah
12.061.200
Nilai induk
3 ekor @ Rp 4.500.000
13.500.000
Anak umur 1 tahun
2 ekor @ Rp 1.000.000
2.000.000
Jumlah
15.500.000
Nilai penerimaan (B) :
Pendapatan/keuntungan
3.438.800
Tabel 8. Analisis biaya dan pendapatan pemeliharaan ternak kerbau bagi pemilik dengan skala 4 ekor induk dewasa dalam 2 tahun Uraian
Fisik
Total (Rp)
Biaya : - Bibit
4 ekor x Rp 7.000.000
- Pagar keliling
4 ekor induk x 2 tahun x Rp 100.000
800.000
6 ekor anak x Rp 100.000
600.000
- Ciri telinga anak kerbau
6 ekor X Rp 25.000
28.000.000
150.000
Jumlah
29.550.000
- Nilai bibit
4 ekor x Rp 7.500.000
30.000.000
- Nilai anak kerbau
4 ekor x Rp 2.500.000
10.000.000
Jumlah
40.000.000
Nilai Penerimaan :
Pendapatan
10.450.000
KESIMPULAN Ternak kerbau di Kalimantan Selatan memiliki potensi dan peranan sebagai penghasil protein hewani (daging), memiliki potensi sosial yang tinggi, sebagai tenaga kerja, sebagai penghasil pupuk, sebagai sumber pendapatan petani, tabungan dan agrowisata. Cara pemeliharaan ternak kerbau di Kalimantan Selatan menunjukkan adanya perbedaan bila dibandingkan antara agroekosistem lahan rawa dan lahan kering,
66
tapi pada prinpsipnya pemeliharaan masih dilakukan secara tradisional. Permasalahan umum yang dihadapi yaitu kesulitan pakan dan air minum pada musim kemarau, kesulitan pakan pada musim hujan yang panjang (rumput terendam air), semakin berkurangnya lahan padang penggembalaan, adanya hama berupa keong mas dan ulat yang memakan hijauan pakan, terjadinya kebakaran pada padang penggembalaan sehingga mematikan hijauan pakan yang tumbuh dan penyakit.
Seminar dan Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau 2007
DAFTAR PUSTAKA BALAI PENYIDIK PENYAKIT HEWAN V dan SUB BALAI PENELITIAN VETERINER BANJARBARU. 1991. Penelitian tentang Kerbau Rawa dan Penyidikan Penyakitnya di Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Banjarbaru BODO, I. 1990. Methods and experiences with insitu preservation of farm animals. In Wiener, G (Ed). Animal Genetic Resources: a Global Programme for Sustainable Development. FOA Animal Production and Health Paper, 76. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, Italy. P : 85 - 102. DANIA, I. B. dan H. POERWOTO. 2006. Pertambahan berat badan, laju pertumbuhan dan konversi pakan kerbau jantan akibat pemberian kesempatan berkubang dan jerami padi amoniasi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 - 5 Agustus 2006. P. 99 - 102. DINAS PARIWISATA PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 1996. Upaya Pengembangan Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro di Kalimantan Selatan. Makalah disampaikan dalam rangka : Diskusi Kerbau Rawa sebagai Obyek Wisata Agro. Banjarbaru 25 Maret 1996. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 1989. Rencana pembinaan dan Pengembangan Ternak di Kalimantan Selatan. Laporan. Banjarbaru. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 1994. Hasil-hasil Rumusan Lokakarya Bioteknologi/Pemantapan Kebijaksanaan Pemuliabiakan Ternak Kerbau. Banjarmasin 3 - 4 Januari 1994. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2003. Laporan Tahunan. Laporan. Banjarbaru. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2004. Pelaksanaan Pekerjaan Kegiatan Kerjasama Teknis (KST) Penjaringan Ternak Bibit Kerbau. Laporan Akhir. Banjarbaru. DINAS PETERNAKAN KALIMANTAN SELATAN. 2005. Database Peternakan 2005. Banjarbaru. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Regulasi dan Kebijakan Pengembangan Usaha Ternak Kerbau. Makalah disampaikan
Lokakarya Pembibitan dan Pengembangan Ternak Kerbau pada tanggal 4 - 5 Agustus 2006 di Sumbawa. DIWYANTO, K dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional: Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, tanggal 4 - 5 Agustus 2006. P. 3-12. ROHAENI, E.S., ARIEF DARMAWAN, A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2005. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. ROHAENI, E.S., A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2006a. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. ROHAENI, E.S., A. SUBHAN, R. QOMARIAH dan Z. HIKMAH. 2006b. Pemeliharaan kerbau mendukung ekonomi keluarga di kawasan Bendungan PLTA Riam Kanan Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Puslitbangnak. Bogor Agustus 2006. Inpres. ROHAENI, E.S., A. SUBHAN dan A. HAMDAN. 2006c. Kontribusi pendapatan dari pemeliharaan ternak kerbau (Studi kasus di Desa Banua Raya, Kecamatan Bati-bati, Tanah Laut). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Balai Penelitian Lahan Rawa Kalimantan Selatan. Banjarbaru 28 - 29 Juli 2006. INPRES. SADERI, D. I., E. S. ROHAENI, A. DARMAWAN, A. SUBHAN dan A. RAFIEQ. 2005. Profil Pemeliharaan Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. (Studi Kasus di Desa Bararawa dan Desa Tampakang, Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi. Jambi, 23 - 24 Nopember 2005. P. 320 - 325. SUBANDRIYO. 2006. Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Plasma Nutfah Ternak Kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional: Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, tanggal 4 - 5 Agustus 2006. P. 21 - 39.
67
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Lampiran 1. Sistem pemeliharaan kerbau di Kalimantan Selatan No
Kabupaten
1
Banjar
2
Sistem pemeliharaan
Kecamatan Aranio
Agroekosistem daerah tempat berkembangnya ternak kerbau adalah lahan kering. Pemeliharaan kerbau yang dilakukan secara tradisional pada areal padang penggembalaan yang berpagar. Pemeliharaan kerbau mirip pemeliharaan ternak sapi. Keperluan kerbau untuk berkubang dilakukan pada sungai/bendungan Riam Kanan Aranio. Padang penggembalaan dikelola bersama oleh beberapa pemilik kerbau. Peternak pemilik/penggaduh kerbau akan memeriksa/mengontrol ternak antara 1 - 2 kali/minggu, untuk melihat keberadaan dan kondisi kerbau. Interaksi antara pemilik/penggaduh dan ternaknya dinilai sangat sedikit, hal ini disebabkan karena pemeliharaan ternak kerbau hanya sebagai usaha sampingan dan tabungan. Sistem perkawinan dilakukan secara alamiah pada sesama ternak yang ada dalam satu kelompok. Skala pemeliharaan berkisar antara 1 - 150 ekor/KK, pemeliharaan ada yang dilakukan sendiri dan digaduhkan/karon/bagi hasil
Kecamatan Empat
Agroekosistem di daerah ini yaitu rawa lebak. Pemeliharaan kerbau dilakukan pada musim hujan dengan cara sistem kalang, kondisinya mirip seperti di Kabupaten HSS, HST, HSU dan Batola. Pada musim kemarau dipelihara seperti halnya kerbau di lahan kering. Pada musim hujan ternak pada pagi hari dikeluarkan dari kalang untuk digembalakan di padang penggembalaan, dan sore hari ternak kembali ke kalang. Pada musim kemarau ternak dipelihara di kandang-kandang untuk menampung mulai sore hari sampai pagi, antara pagi sampai sore hari ternak digembalakan di padang penggembalaan. Pemeliharaan kerbau di daerah ini dengan menggunakan kalang belum lama dilakukan (baru berjalan 2 tahun), hal ini dilakukan untuk menjaga keamanan, kemudahan pemeliharaan. Skala pemeliharaan berkisar antara 2 - 45 ekor/KK, dengan pemeliharaan ada yang dilakukan sendiri atau bagi hasil
Simpang
Tanah Laut Kecamatan Jorong
68
Kecamatan Jorong kondisi lahannya kering, sehingga pemeliharaan kerbau mirip dengan ternak sapi. Keperluan ternak untuk berkubang dilakukan di sungai-sungai atau kubangan buatan yang ada di padang penggembalaan, dan sebagian di lembah yang selalu berair. Padang penggembalaan ada yang dikelola bersama (milik desa) dan ada milik perorangan. Kerbau yang dipelihara pada padang penggembalaan baik milik desa/perorangan dengan cara sistem ranch. Penggembalaan dipagar dengan luas antara 50 - 200 ha, ternak melakukan aktivitas dalam padang penggembalaan, pemilik/penggaduh melakukan kontak dengan ternak sekitar 1 minggu sekali untuk mengontrol keberadaan dan keadaan ternak serta memberi garam agar jinak. Di daerah ini ada pula yang memelihara ternak dengan cara dikandangkan seperti halnya ternak sapi, pada pagi hari ternak dibawa ke lokasi padang penggembalaan dan sore hari dibawa ke kandang, cara ini dilakukan oleh peternak yang skala pemeliharaannya antara 1 - 10 ekor/KK saja. Skala pemeliharaan kerbau di daerah ini berkisar anatara 2 - 80 ekor/KK, dengan pemeliharaan ada yang dilakukan sendiri atau bagi hasil
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Lanjutan Lampiran 1 Kecamatan Pelaihari
Kecamatan Bati-bati
3
4
Tapin Kecamatan Bungur dan Kecamatan Lokpaikat
Lokasi pemeliharaan kerbau di kecamatan ini termasuk dalam daerah rawa lebak dangkal. Ada 2 macam pemeliharaan yaitu ada yang dengan cara ranch pada padang penggembalaan berpagar dan ada yang dilakukan dalam kandang namun siang hari dikeluarkan ke lokasi padang penggembalaan untuk mencari pakan. Skala pemeliharaan antara 4-100 ekor/KK, pemeliharaan dilakukan sendiri oleh pemilik atau digaduhkan pada orang lain Daerah ini termasuk dalam rawa lebak tengahan-dalam, ternak dipelihara dalam lokasi padang penggembalaan kelompok seluas 200 ha yang dipagar keliling, semua aktivitas kerbau dilakukan dalam lokasi padang penggembalaan. Pemeliharaan kerbau di daerah ini tidak menggunakan kalang, hanya pagar keliling untuk melindungi ternak. Meskipun pemeliharaannya secara tradisional, intensitas waktu yang dicurahkan peternak untuk memelihara kerbaunya cukup intensif, sebab setiap hari peternak mengontrol kerbaunya di padang penggembalaan dan setiap minggu selalu melakukan gotong royong untuk memperbaiki pagar keliling lahan padang penggembalaan. Skala pemeliharaan berkisar antara 1 - 10 ekor/KK, pemeliharaan ada dilakukan oleh pemilik atau digaduhkan pada orang lain Kerbau yang dibudidayakan di daerah ini sudah dilakukan dengan sistem yang lebih baik yaitu ternak pada sore hari dikandangkan, kemudian pada pagi sampai sore hari ternak digembalakan di padang penggembalaan di lahan sawah yang bera/istirahat, di lahan-lahan kosong atau pinggiran kebun karet dengan cara diikat tali. Pemeliharaan kerbau di daerah ini mirip dengan pemeliharaan sapi, namun disediakan tempat berkubang di kubangan buatan/sungai. Kandang yang disediakan terbuat dari kayu dengan memanfaatkan kayu hutan atau kayu bekas rumah. Skala pemeliharaan relatif kecil yaitu berkisar antara 1 - 5 ekor/KK, hal ini disebabkan karena petani lebih prioritas pada kebun karet dan usahatani tanaman pangan. Pemeliharaan ternak kerbau dilakukan sebagai sampingan untuk melengkapi dan memanfaatkan lahan pekarangan
HST, HSS, HSU, dan Batola Agroekosistem di daerah ini yaitu rawa lebak dangkal - dalam. Pemeliharaan kerbau dilakukan pada musim hujan dengan cara sistem kalang, dan pada musim kemarau dipelihara seperti halnya kerbau di lahan kering. Pada musim hujan ternak pada pagi hari dikeluarkan dari kalang untuk digembalakan di padang penggembalaan, dan sore hari ternak kembali ke kalang. Pada musim kemarau ternak dipelihara di kandang-kandang mulai sore hari sampai pagi, sedangkan antara pagi sampai sore hari ternak digembalakan di padang penggembalaan. Sistem perkawinan dilakukan secara alamiah pada sesama ternak yang ada dalam satu kelompok. Skala pemeliharaan berkisar antara 2 - 100 ekor/KK, dengan pemeliharaan ada yang dilakukan sendiri dan bagi hasil
Sumber: ROHAENI et al. (2006a)
69