FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI Sumaryanto dan Helena J. Purba
Dalam reforma agrarian, selain perbaikan distribusi pemilikan/penguasaan, aspek lain yang tercakup dalam agenda kebijakan adalah pengendalian fragmentasi lahan pertanian. Secara normatif, tujuan pengendalian fragmentasi lahan adalah untuk mengondisikan agar sistem pengelolaan usaha tani terkonsolidasi sehingga kondusif untuk mendukung terwujudnya sistem usaha tani yang efisien dan produktif. Persepsi dan opini yang selama ini berkembang di kalangan akademisi maupun pengambil keputusan pada umumnya adalah bahwa fragmentasi lahan pertanian di Indonesia telah berada pada level yang dianggap menghambat upaya peningkatan efisiensi usaha tani. Oleh karena itu, konsolidasi lahan usaha tani harus segera diwujudkan. Persepsi tersebut berpijak dari deduksi teoritis dan konfirmasi dari sejumlah kasus yang menunjukkan bahwa fragmentasi lahan pertanian ikut berkontribusi pada: 1. terhambatnya peningkatan produktivitas usaha tani; 2. faktor-faktor penyebab rendahnya efisiensi pemasaran sarana produksi maupun produksi pertanian; 3. salah satu faktor pendorong laju meningkatnya konversi lahan pertanian; 4. inefisiensi yang terjadi pada ongkos pengelolaan program-program berbantuan, subsidi, dan lain-lain di bidang pertanian; dan 5. potensi sebagai salah satu sumber inefisiensi dalam pengelolaan asuransi pertanian (jika asuransi pertanian diterapkan). Berbagai hasil pengamatan maupun hasil kajian empiris sangat mungkin mengonfirmasi persepsi dan opini tersebut. Sampai saat ini, belum timbul persoalan yang serius, namun persoalannya menjadi sangat serius jika hal ini mendorong terbentuknya kebijakan dan program akselerasi konsolidasi lahan yang hanya mengandalkan pendekatan teknokratik semata atau dijadikan dasar argumen tentang urgensi pengembangan usaha tani pangan skala besar berbasis korporasi tanpa bekal yang memadai. Penting untuk memahami bahwa meskipun fragmentasi lahan ditengarai sebagai faktor negatif untuk pembangunan pertanian, persepsi seperti itu tidak selalu benar. Dari
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
sudut pandang efisiensi teknis-ekonomi, banyak fakta di lapangan yang mendukung, namun kesimpulannya akan berbeda jika orientasi dan dimensi yang menjadi fokus kajian tidak sama. Pada kajian-kajian yang yang berorientasi pada dimensi keberlanjutan, parameter yang merepresentasikan kinerja efisiensi teknis ataupun efisiensi ekonomi tidak dipandang sebagai variabel kunci yang dapat menjelaskan penyebab dan akibat fragmentasi lahan pertanian. Terdapat indikasi bahwa fragmentasi lahan konvergen dengan strategi pengelolaan yang berorientasi pada minimalisasi risiko usaha tani dan upaya mewujudkan keberlanjutan usaha tani. Dalam sejumlah kasus, fragmentasi lahan bersinergi dengan upaya mempertahankan biodiversitas untuk mendukung usaha tani berkelanjutan. Dengan kata lain, fragmentasi tidak dapat distigmatisasi sebagai faktor negatif dalam pembangunan pertanian. Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah bahwa fragmentasi lahan pertanian merupakan outcomes dari faktor internal lingkup rumah tangga maupun lingkup komunitas perdesaan dalam interaksinya dengan dinamika faktor eksternal yang sifatnya multidimensi dan kompleks. Faktor-faktor tersebut bukan hanya mencakup dimensi teknis dan ekonomi, tetapi juga dimensi sosial budaya. Oleh karena itu, fragmentasi lahan tidak sepenuhnya dapat dikendalikan melalui regulasi formal dengan hukum positif ataupun melalui instrumen ekonomi dengan pendekatan kelembagaan pasar berbasis paradigma teknokratis semata. Hadirnya pengaruh faktor-faktor sosial budaya yang memuat nilainilai, yang kadangkala bersentuhan dengan hak-hak dasar individu ataupun eksistensi suatu komunitas menyebabkan proses adaptasi dan inovasi kelembagaan yang terkait dengan dinamika lingkungan strategis tidak mudah untuk selalu konvergen dengan arah perkembangan sosial ekonomi yang kelembagaannya berbasis pada mekanisme pasar dan hukum besi efisiensi. Tulisan ini ditujukan untuk membahas keragaan fragmentasi lahan pertanian dan hubungannya dengan produktivitas usaha tani, khususnya usaha tani padi. Dalam tulisan ini, meskipun substansi pokok difokuskan pada implikasi fragmentasi lahan terhadap produktivitas usaha tani, pembahasan kritis dengan wawasan yang lebih luas lebih diutamakan. Tulisan ini diharapkan dapat ikut serta meningkatkan pemahaman yang holistik dan komprehensif mengenai fenomena fragmentasi lahan pertanian sehingga dapat berkontribusi terhadap perumusan kebijakan dan program pengendalian fragmentasi lahan tepat sasaran, efektif, dan adil.
Definisi dan Faktor Pendorong Fragmentasi Lahan Pertanian Dalam kepustakaan, fragmentasi didefinisikan menurut berbagai cara. Binns (1950) memandang fragmentasi lahan sebagai suatu tahapan dalam evolusi pengelolaan pertanian di mana suatu suatu unit usaha tani terdiri dari sejumlah persil lahan yang terpisah, sering kali terpencar-pencar dalam suatu area yang luas. Fragmentasi dipandang sebagai bagian 73
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
dari evolusi penguasaan lahan; dan dalam pandangan tersebut tidak dikaitkan dengan implikasinya terhadap efisiensi. Berbeda dari Binns (1950), dalam definisi Schultz (1953) fragmentasi lahan dikaitkan dengan implikasinya terhadap efisiensi. Dalam definisi ini faktor jarak antarpersil yang sering kali dipandang sebagai salah satu penyebab inefisiensi tidak dibicarakan. Pengakomodasian faktor jarak dalam pendefinisan fragmentasi lahan dilakukan oleh Dovring (1960) dan selanjutnya dipertegas pula dalam definisi Papageorgiou (1963). Melalui tinjauannya yang cukup mendalam dalam hubungannya dengan program konsolidasi lahan, Agarwal (1972) mendefinisikan fragmentasi lahan berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada implikasi dari persil-persil lahan yang terfragmentasi, yaitu sebagai suatu penurunan rata-rata garapan usaha tani, semakin berpencarnya lahan pertanian petani; dan semakin kecilnya persil-persil lahan garapan suatu usaha tani. Penyempurnaan definisi lebih lanjut dilakukan oleh McPherson (1982). Meskipun tidak secara spesifik mempersoalkan faktor jarak, aspek spasial dari sebaran persil merupakan unsur penting yang harus dipertimbangkan. Dalam argumentasinya, McPherson (1982) menyatakan “when a number of non-contiguous owned or leased plots (or ‘parcels’) of land are farmed as a single production unit, land fragmentation exists”. Dari beberapa penelitian (King 1977; Bentley 1987; Simmons 1988) terdapat 6 parameter yang lazim digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat fragmentasi yaitu luas usaha tani (farm size), jumlah total persil dalam usaha tani yang bersangkutan, rata-rata luas persil, distribusi luasan persil-persil tersebut, distribusi spasial persil, dan bentuk persil. Selain luas garapan, di antara 5 parameter itu yang terpenting adalah distribusi besaran dan distribusi spasial antarpersil. Bentuk persil merupakan faktor yang sangat menentukan dalam hubungannya dengan aplikasi mekanisasi pertanian. Dalam sudut pandang yang lebih umum, pengertian mengenai fragmentasi lahan lebih mudah dipahami jika dikaitkan dengan prosesnya. Dalam hal ini, Carsjens (2000) mendefinisikan fragmentasi sebagai proses segregasi spasial menjadi lebih banyak entitas sehingga memengaruhi fungsi optimalnya. Faktor pendorong yang menyebabkan munculnya atau berlanjutnya kecenderungan fragmentasi lahan dapat dibedakan dari dua sisi (McPherson 1982; Bentley 1987): (1) supply side (SS) dan (2) demand side (DS). Tercakup dalam SS adalah implikasi dari kelembagaan pewarisan lahan, tekanan penduduk atas lahan, ataupun kelangkaan lahan. Faktor SS lain, misalnya, adalah pemecahan lahan milik publik yang dilakukan di tengah tekanan penduduk atas lahan yang meningkat, seperti kasus yang terjadi di Kenya (King 1977) ataupun di Nigeria (Udo 1965). Mengacu pada fenomena empiris, pemahaman faktor pendorong dari sisi SS saja ternyata tidak memadai, tetapi harus dipertimbangkan pula kontribusi faktor pendorong 74
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
dari sisi DS. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa di wilayah yang kurang berkembang, lahan merupakan pengaman kehidupan keluarga atau komunitas yang bersangkutan. Dalam kondisi demikian, karena kondisi lahan yang berbeda-beda (jenis, kesuburan, ketersediaan air, dan agroklimat) dan peluang gagal panen akibat organisme pengganggu tumbuhan (OPT), banjir, kekeringan, dan sebagainya merupakan ancaman yang sering terjadi, fragmentasi usaha tani dengan per pencaran persil-persil garapan yang bersamaan dengan diversifikasi usaha tani merupakan pendekatan yang rasional untuk memperkecil risiko usaha tani. Dengan kata lain, fragmentasi lahan berawal dari pilihan positif pemiliknya, yakni terkait dengan pertimbangan yang didasarkan atas ekspektasi keuntungan bersih yang dapat dipetiknya ataupun terkait dengan upaya memperkecil risiko yang mungkin akan dihadapinya (Charlesworth 1983; Ilbery 1984). Penjelasan lain dari DS sebagai faktor pendorong juga terkait dengan aspek ketenagakerjaan (Fenoaltea 1976). Persil-persil yang tersebar memungkinkan petani mengalokasikan tenaga kerja keluarganya sepanjang musim. Jika tidak ada pasar tenaga kerja, pasokan tenaga kerja ditentukan oleh ukuran rumah tangga, sehingga kebutuhan tenaga kerja pada usaha taninya harus diupayakan agar tidak terkonsentrasi pada segmen waktu tertentu dalam durasi yang pendek. Terkait dengan itu, memecah-mecah persilpersil lahan untuk cabang-cabang usaha tani yang berbeda merupakan cara yang secara teknis sering kali ditempuh. Debat tentang persistensi dan meluasnya gejala fragmentasi lahan pertanian di perdesaan tidak lepas dari dilema untung-rugi dari fragmentasi lahan pertanian secara individual ataupun komunitas petani. McPherson (1983) mengemukakan dua alasan yang mendorong petani lebih menyukai persil-persil lahan pertaniannya terfragmentasi, yaitu meminimalkan risiko melalui diversifikasi spasial aktivitas dan agar dapat mengakses lahan yang kualitasnya berbeda. Mendukung pandangan tersebut, Bentley (1987) menambahkan bahwa dengan menguasai lahan pertanian yang terpencar, petani lebih mudah mengelola risiko melalui pemanfaatan multiple eco-zones dan pengaturan jadwal tanam. Kedua argumen di atas termasuk kategori faktor pendorong dari DS, dan dapat disimpulkan bahwa basis penjelasan DS adalah manfaat privat. Apakah fragmentasi lahan pertanian juga mendatangkan manfaat bagi komunitas? Ini tergantung pada bagaimana fragmentasi lahan tersebut terbentuk. Pada kasus fragmentasi lahan yang sifatnya by design (dalam program land reform), fragmantasi lahan merupakan salah satu cara untuk mengondisikan pemerataan manfaat antarpetani kecil dan ternyata juga kondusif untuk mendukung swasembada pangan. Contohnya adalah pada land reform yang dilakukan di Bulgaria, Vietnam, dan Cina (Tan 2005). Arus utama yang selama ini berkembang memandang fragmentasi lahan pertanian sebagai kondisi yang kurang kondusif untuk perkembangan pertanian. Jika konteks permasalahannya dibatasi pada konteks hubungan fragmentasi lahan dan efisiensi usaha 75
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
tani saja, mungkin cukup banyak fakta di lapangan yang mendukung pandangan tersebut. Namun, jika konteksnya diperluas ke aspek-aspek lain seperti keberlanjutan, pemerataan pendapatan, minimalisasi risiko, dan sebagainya, ternyata pandangan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan bukti-bukti empiris. Dari penjelasan di atas tampak bahwa terdapat kasus-kasus yang menunjukkan bahwa fragmentasi lahan pertanian didorong oleh (1) faktor eksternal yang sulit dihindari oleh petani dan (2) merupakan pilihan rasional petani yang bersangkutan. Jika faktor penyebabnya adalah (1), peluang untuk mempertahankan persil-persil lahan tersebut sebagai lahan pertanian mungkin mengendor. Di sisi lain, jika latar belakangnya adalah (2), secara teoritis kondusif untuk perkembangan usaha tani pada waktu berikutnya. Implikasinya adalah bahwa upaya-upaya untuk mendorong konsolidasi usaha tani dengan motif untuk meningkatkan efisiensi usaha tani haruslah dilandasi pemahaman yang lengkap dan penelaahan yang cermat mengenai faktor penyebabnya dan perhitungan yang cermat atas imbangan biaya dan manfaat sosialnya secara komprehensif.
Fenomena Fragmentasi Lahan Pertanian di Indonesia Keragaan Lingkup Makro Pada lingkup makro, unit analisis fragmentasi lahan pertanian yang lebih sesuai adalah kawasan. Dengan unit analisis kawasan, struktur penguasaan lahan pertanian yang didominasi oleh unit-unit usaha tani dengan rata-rata penguasaan garapan yang kecil dapat dipandang sebagai cerminan dari fragmentasi lahan pertanian. Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di Indonesia (SUSENAS) pada tahun 2003 adalah sekitar 24,05 juta, sedangkan pada tahun 1993 kira-kira 20,5 juta (Tabel 1). Jadi selama sepuluh tahun bertambah 17,2%, atau rata-rata per tahun bertambah 1,7%. Angka ini lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan sekitar 1,5% per tahun. Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap menjadi penyerap tenaga kerja terbesar. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004, dari total penduduk yang bekerja (93,7 juta orang), yang bekerja di pertanian (termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan) adalah sekitar 40,6 juta orang. Pada tahun 2007, sektor ini menyerap sekitar 42,6 juta orang dari seluruh penduduk yang bekerja (97,6 juta orang). Tabel 1. Jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, 1993 dan 2003 Lokasi Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Indonesia
Tahun 1993
Perubahan (%)
11.564
13.262
14,7
8.954
10.789
20,5
20.518
24.051
17,2
Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003
76
Tahun 2003
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
Di sisi lain, pertambahan jumlah rumah tangga pertanian itu tidak diimbangi dengan pertambahan luas lahan pertanian, khususnya lahan pertanian pangan. Akibatnya, ratarata luas garapan usaha tani pangan yang sejak semula relatif kecil menjadi semakin kecil. Ini merupakan salah satu indikator paling mudah diamati untuk menunjukkan kecenderungan meningkatnya fragmentasi lahan pertanian pangan di Indonesia. Keragaan fragmentasi lahan pertanian terkini dapat disimak dari hasil pendataan usaha tani yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 (PUT09). Dalam hal ini, meskipun pendataannya hanya mencakup usaha tani empat komoditas (padi, jagung, kedelai, dan tebu) tampaknya representatif karena mencakup sekitar 70% dari populasi rumah tangga pertanian Indonesia. Menurut data tersebut, jumlah rumah tangga usaha tani penghasil komoditas pertanian utama pada tahun 2009 adalah sekitar 17,8 juta (Tabel 2). Jumlah petani padi, jagung, kedelai masing-masing adalah sekitar 14,99, 6,71, 1,16 juta unit usaha tani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu rumah tangga. Sebagian besar (58,6%) berada di Pulau Jawa, terutama Sumatera (18,6%), Bali dan NTT (%), Kalimantan (6,3%), dan Sulawesi (7,6%). Tabel 2. Jumlah rumah tangga petani padi, jagung, kedelai, dan tebu di Indonesia, 2009 Lokasi
Padi
Jagung
Kedelai
Tebu
Total*)
Sumatera
20,1
9,3
3,9
7,3
18,6
Jawa
59,4
65,4
78,5
91,4
58,6
6,4
11,5
11,4
0,1
7,7
Bali dan NTT Kalimantan
7,3
2,0
0,8
0,5
6,3
Sulawesi
6,3
9,3
3,2
0,6
7,6
Maluku & Papua
0,5
2,5
2,2
0,1
1,3
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
6.714.695
1.164.477
195.459
Indonesia
Persen Jumlah
14.992.137
17.830.832
Sumber: Diolah dari data BPS “Pendataan Usaha tani 2009 (PUT09)”
Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0,1–0,49 hektare. Penelusuran lebih lanjut dengan pendekatan kumulatif menghasilkan kesimpulan sebagai berikut (Tabel 3).
77
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Tabel 3. Sebaran rumah tangga petani padi, jagung, kedelai, dan tebu di Indonesia menurut kelompok penguasaan lahan, 2009 Kelompok penguasaan lahan <0,1
Wilayah Sumatera
Jawa
Bali dan NT
Kalimantan
Sulawesi
Maluku & Papua
Indonesia
3,16
9,33
4,30
1,54
3,16
20,96
6,99
0,1–0,49
30,56
59,28
38,16
19,21
21,72
31,18
46,59
0,50–0,99
25,55
21,26
27,04
19,57
23,36
13,68
22,46
1,00–1,99
25,53
7,90
21,15
26,33
30,90
21,51
15,27
2,00–2,99
9,39
1,40
5,89
15,60
12,26
8,26
5,04
>=3,00
5,81
0,82
3,46
17,75
8,59
4,41
3,65
Total
100
100
100
100
100
100
100
< 0,1
3,16
9,33
4,30
1,54
3,16
20,96
6,99
< 0,5
33,73
68,61
42,46
20,75
24,88
52,14
53,58
< 1,0
59,27
89,87
69,50
40,32
48,25
65,82
76,04
< 2,0
84,80
97,77
90,65
66,65
79,14
87,34
91,31
< 3,0
94,19
99,18
96,54
82,25
91,41
95,59
96,35
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Kumulatif
All
Sumber: diolah dari data BPS “PENDATAAN USAHA TANI 2009 (PUT09)”
Jika angka 2 hektare (1,99 ha) digunakan sebagai batas untuk mendelineasi cakupan petani kecil, lebih dari 90% petani Indonesia termasuk dalam kategori ini. Jika angka delineasi yang digunakan 1 hektare (0,99 ha), proporsi petani kecil sekitar 76%, bahkan jika yang digunakan 0,5 hektare, jumlahnya masih lebih dari separuh (53%). Kondisi paling “gurem” terdapat di Pulau Jawa (lokasi dari 58% petani Indonesia berada). Dengan batas atas 1 hektare saja, sekitar 90% di antaranya termasuk dalam kategori petani kecil, dan jika batas atasnya 0,5 hektare, petani yang tercakup dalam kategori petani kecil masih lebih dari dua pertiga (69%). Meskipun rata-rata luas garapannya kecil, namun partisipasi petani—terutama petani padi—dalam penerapan teknologi budi daya pertanian cukup maju. Jumlah petani padi yang menggunakan benih padi berdaya hasil tinggi adalah sekitar 76% dengan rincian varietas unggul non hibrida 73% dan hibrida sekitar 3%, sedangkan yang memanfaatkan varietas lokal adalah sekitar 24%. Gambaran menurut wilayah agak paralel dengan sebaran jumlah total petani antar wilayah tersebut. Sebagai contoh, dari seluruh petani yang menggunakan benih hibrida tersebut sekitar 55%-nya adalah petani padi di Pulau Jawa. Peringkat berikutnya adalah di Sumatera (33%) dan Sulawesi (6%). Untuk varietas
78
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
unggul non hibrida, sekitar 70% ada di Pulau Jawa, sedangkan untuk varietas lokal yang terbanyak adalah di kalangan petani padi di Sumatera (33%). Khusus untuk varietas lokal ini, fenomena menarik terjadi di Kalimantan di mana sekitar 80% dari seluruh petani padi di pulau besar ini memanfaatkan varietas lokal (Tabel Lampiran 1). Dalam pemupukan, hampir semua petani padi (92%) menggunakan pupuk (tabel Lampiran 2). Dari seluruh petani pengguna pupuk itu, sekitar 74% di antaranya mengandalkan pupuk anorganik saja, sedangkan yang menggunakan campuran pupuk anorganik dan organik sekitar 25%. Fakta ini menunjukkan bahwa ketergantungan petani padi terhadap ketersediaan pupuk anorganik (Urea, SP16, SP18, NPK, ZA) sangat tinggi; dan karena itu kebijakan subsidi harga pupuk berimplikasi sangat luas terhadap kinerja usaha tani padi Indonesia. Dengan segala keterbatasannya, hampir semua (94%) petani padi terpaksa menggantungkan pembiayaan usaha tani padi dari modal sendiri. Bagi petani yang mengandalkan modalnya dari pinjaman, sumber utamanya berasal dari perorangan (sesama petani, famili, tetangga, tengkulak, pemilik lahan, dan sebagainya). Secara keseluruhan, peranan lembaga perbankan dalam pembiayaan usaha tani kurang dari 1% (tabel Lampiran 3). Produktivitas usaha tani tanaman pangan, khususnya padi dan jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Pada tahun 2010, produksi per hektare usaha tani padi Indonesia (rata-rata terbobot) pada tahun 2010 sekitar 5,01 ton gabah kering panen/ hektare. Dibandingkan dengan produksi padi di Cina ataupun Jepang, angka ini masih terpaut cukup jauh, namun setara dengan petani di India, dan lebih tinggi daripada petani padi di Thailand ataupun di Vietnam. Meskipun demikian, hampir setiap tahun Indonesia masih harus mengimpor beras karena rata-rata laju pertumbuhan produksi padi masih ketinggalan dari rata-rata laju kebutuhan.
Keragaan Lingkup Mikro Fragmentasi Pemilikan Lahan Untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai fenomena fragmentasi lahan, gambaran lingkup makro perlu dilengkapi dengan gambaran lingkup mikro. Pada lingkup mikro, unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga. Dengan unit analisis ini, sebagian himpunan parameter yang dapat menjelaskan proses munculnya atau faktor-faktor yang memengaruhi dinamika fragmentasi lahan pertanian dapat diungkap. Data yang digunakan sebagai bahan analisis adalah sebagian dari hasil survei panel rumah tangga perdesaan dalam kerja sama penelitian antara Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan IFPRI dan JICA tahun 2007 dan 2010. Penelitian
79
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
dilakukan di 7 provinsi (sekarang menjadi 9 provinsi karena ada 2 provinsi mengalami pemekaran), yaitu Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Total jumlah desa contoh adalah 98 dengan jumlah desa contoh per provinsi bervariasi antara 11 hingga 18. Jumlah rumah tangga contoh per desa antara 20 sampai 25. Dari data tersebut diketahui bahwa di perdesaan Pulau Jawa, rata-rata luas pemilikan lahan pertanian per rumah tangga adalah sekitar 0,34 hektare, sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 1,1 hektare. Data ini mencakup seluruh jenis lahan, bukan hanya lahan pertanian; sedangkan untuk lahan pertanian juga mencakup berbagai jenis lahan (terkait dengan penggunaannya) seperti kebun, tegalan, sawah, dan tambak, serta lahan pertanian yang untuk sementara tidak diusahakan. Terdapat kecenderungan bahwa rata-rata luas lahan milik petani semakin kecil, walaupun dalam kurun waktu 2007–2010 tidak terjadi penurunan yang tajam (Tabel 4). Dari populasi yang diteliti, maksimum luas lahan milik di perdesaan Pulau Jawa adalah 24 hektare (di desa Sungun Legowo – agroekosistem pesisir dengan komoditas bandeng/ udang), sedangkan di luar Pulau Jawa adalah 56 hektare (di desa Simpang Empat – agroekosistem lahan kering dengan komoditas utama sawit). Tabel 4. luas pemilikan lahan pertanian di perdesaan Pulau Jawa dan luar Jawa Uraian Rata-rata (hektare)
Pulau Jawa 2007
Luar Pulau Jawa 2010
2007
2010
0,344
0,336
1,096
1,065
Maksimum (hektare)
24,000
24,000
56,100
56,100
Koefisien variasi ( %)
353,1
378,6
205,2
200,6
Gambar 1. Kurva Lorenz pemilikan lahan pertanian di perdesaan, 2010
80
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
Dari koefisien variasi, ada indikasi bahwa distribusinya timpang. Konfirmasi mengenai tingkat ketimpangan ini dapat dilakukan dengan menghitung koefisien Gini (nilai koefisien Gini berkisar dari 0 hingga 1; semakin mendekati 1 berarti semakin timpang) dan generalisasi distribusi kumulatifnya dapat divisualisasikan dalam kurva Lorenz (Gambar 1). Distribusi kepemilikan telah mencapai kategori timpang berat. Ini terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera, meskipun di perdesaan Pulau Jawa kondisinya lebih parah. Selain luasnya (size), indikator lain yang menggambaran pemilikan lahan di tingkat petani adalah jumlah persil lahan milik. Lahan yang sangat terfragmentasi dicirikan oleh jumlah persil-persil yang banyak dengan ukuran yang kecil-kecil. Tabel 5 menyajikan gambaran yang menarik. Pertama, fragmentasi pemilikan lahan (mencakup lahan pertanian dan lahan non-pertanian, namun lebih dari 95% merupakan lahan pertanian) ternyata tidak hanya terjadi di perdesaan Pulau Jawa tetapi juga di Luar Pulau Jawa. Ini tampak dari persentase rumah tangga yang termasuk pada kelompok persil milik 4 ke atas yang cukup besar (di perdesaan Pulau Jawa sekitar 19%, di Luar Pulau Jawa sekitar 20%). Kedua, ukuran persil bervariasi namun umumnya kurang dari satu hektare. Dalam hal ini, ukuran persil-persil lahan milik di perdesaan Pulau Jawa pada umumnya kurang dari separuh ukuran persil-persil lahan milik di perdesaan Pulau Jawa. Ketiga, meskipun terdapat korelasi positif antara jumlah persil dengan total luas lahan milik namun hal itu tidak terjadi di semua tempat. Di Pulau Jawa, korelasinya lemah (koefisien korelasi = 0,356, di luar Pulau Jawa = 0,585). Tabel 5. Sebaran rumah tangga perdesaan yang memiliki lahan dan rata-rata luasnya*) Jumlah persil lahan milik
Rumah tangga ( persen )
Luas per persil
Total luas pemilikan
Rata-rata
Maksimum
Rata-rata
Maksimum
Pulau Jawa 1
42,9
0,094
5,000
0,094
5,000
2
22,3
0,215
2,510
0,430
5,020
3
15,5
0,226
2,674
0,677
8,023
4
9,2
0,155
0,353
0,619
1,413
>=5
10,1
0,252
4,000
1,623
24,000
1
30,6
0,246
3,000
0,246
3,000
2
30,0
0,446
3,512
0,892
7,024
3
19,2
0,565
6,692
1,695
20,075
4
10,8
0,665
5,023
2,661
20,090
>=5
9,5
0,745
8,014
4,877
56,100
Luar Pulau Jawa
*)
Mencakup lahan pertanian dan non-pertanian (lebih dari 95% adalah lahan pertanian)
81
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Sebagian besar lahan milik diperoleh dari warisan atau dari pembelian. Di Pulau Jawa, persentase persil-persil lahan milik yang diperoleh dari pembelian hanya sekitar 30% sedangkan di luar Pulau Jawa lebih dari 40% (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa transaksi jual- beli lahan di perdesaan di luar Pulau Jawa lebih ramai daripada di perdesaan di Pulau Jawa. Tabel 6. Sebaran rumah tangga perdesaan menurut asal perolehan lahan milik Asal perolehan lahan milik
Pulau Jawa
Luar Pulau Jawa
Dari warisan
66,49
45,75
Dari pembelian
29,79
43,11
0,93
4,47
2,78
2,64
Dari pemberian/hibah Dari pemerintah (program transmigrasi/migrasi lokal) Lainnya*) *)
-
4,02
Di Pulau Jawa, sebagian besar adalah dari “membeli” dengan harga murah (terkait warisan), sedangkan di luar
Pulau Jawa adalah dari membuka hutan
Aspek lain yang penting diamati dari karakteristik lahan yang terfragmentasi adalah konfigurasi spasialnya; dan parameter yang dapat dikuantifikasikan adalah jarak antarpersil maupun jarak persil-persil tersebut dari rumah pemiliknya. Hal tersebut berimplikasi terhadap aspek pengelolaan. Jika sebagian besar pemilik menggarap sendiri lahannya, jarak lahan dari tempat tinggal pemilik merupakan faktor yang diperhitungkan petani dalam strategi pengelolaan usaha taninya. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata jarak persilpersil lahan dari rumah pemilik sangat bervariasi. Namun, ada indikasi bahwa di luar Pulau Jawa, jarak tersebut lebih jauh daripada di perdesaan di Pulau Jawa. Tabel 7. Distribusi persil lahan milik menurut jarak persil lahan dari rumah Jarak persil lahan dari rumah responden (meter)
Pulau Jawa
Luar Pulau Jawa
<=500
53,10
42,73
>500–2500
21,36
28,06
6,63
14,17
18,92
15,04
>2500–10000 >10000
Fenomena yang menarik adalah bahwa persil-persil lahan milik yang jaraknya dari rumah lebih dari 10 km ternyata cukup besar (di perdesaan Pulau Jawa 19% dan di luar Pulau Jawa 15%). Di perdesaan Pulau Jawa, sebagian besar dari persil-persil lahan yang jaraknya jauh berasal dari warisan, sedangkan yang berasal dari pembelian kurang dari 20%.
82
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
Fragmentasi Pengusahaan Fragmentasi pengusahaan dapat disimak dari sebaran persil-persil garapan usaha tani. Penggarapan lahan usaha tani dipengaruhi oleh siklus tanaman yang diusahakan dan ketersediaan air. Siklus produksi untuk sebagian besar tanaman pangan dan sayuran adalah sekitar 3–4 bulan. Dengan demikian, sepanjang air yang tersedia cukup, potensi penggarapan per tahun bisa 2–3 kali. Sebaran petani menurut persil garapan (jumlah persil dan rata-rata luasnya) per musim untuk usaha tani tanaman semusim disajikan pada Tabel 8, 9, dan 10, sedangkan untuk tanaman nonmusiman disajikan pada Tabel 11. Persil-persil garapan tersebut mencakup lahan garapan milik maupun lahan garapan nonmilik. Sebagian besar lahan garapan nonmilik diperoleh dari menyakap atau menyewa dari petani lain. Tabel 8. Sebaran rumah tangga petani menurut jumlah persil garapan pada usaha tani musim tanam I, 2009/2010 Perdesaan Pulau Jawa
Jumlah persil
Petani N
Perdesaan Luar Pulau Jawa
Luas garapan (ha)
Persen
Rata-rata
Maksimum
Petani N
Luas garapan (ha)
Persen
Rata-rata
Maksimum
1
154
56,8
0,218
2,500
523
63,5
0,522
8,000
2
57
21,0
0,310
1,029
201
24,4
1,074
4,480
3
30
11,1
0,584
2,375
67
8,1
1,600
5,000
4
16
5,9
0,711
2,375
21
2,6
2,643
10,000
5
14
5,2
1,167
3,850
11
1,3
4,378
9,900
Tabel 9. Sebaran rumah tangga petani menurut jumlah persil garapan pada usaha tani musim tanam II, 2010 Perdesaan Pulau Jawa Jumlah persil
Petani N
Perdesaan Luar Pulau Jawa
Luas garapan (ha)
Persen
Rata-rata
Maksimum
Petani N
Luas garapan (ha)
Persen
Rata-rata
Maksimum
1
151
61,9
0,221
2,500
354
70,7
0,480
8,000
2
45
18,4
0,350
1,218
110
22,0
1,049
4,480
3
21
8,6
0,639
2,375
30
6,0
1,848
8,000
4
13
5,3
0,888
2,375
3
0,6
2,276
3,000
5
14
5,7
1,556
5,020
4
0,8
4,254
5,220
83
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Tabel 10. Sebaran rumah tangga petani menurut jumlah persil garapan pada usaha tani musim tanam III, 2009 Perdesaan Pulau Jawa Jumlah persil
Petani N
Perdesaan Luar Pulau Jawa
Luas garapan (ha)
Persen
Ratarata
Maksimum
Petani N
Luas garapan (ha)
Persen
Rata-rata
Maksimum
1
107
66,5
0,220
2,500
137
80,6
0,394
1,600
2
26
16,1
0,335
0,800
29
17,1
1,226
8,800
3
15
9,3
0,570
2,375
3
1,8
3,246
8,000
4
7
4,3
1,095
2,375
1
0,6
5,220
5,220
5
6
3,7
0,949
2,250
-
-
-
-
Tabel 11. Sebaran rumah tangga petani menurut jumlah persil garapan pada usaha tani tanaman nonsemusim, 2009/2010 Perdesaan Pulau Jawa Jumlah persil
Petani N
Perdesaan Luar Pulau Jawa
Luas garapan (ha)
Persen
Ratarata
Maksimum
Petani N
Luas garapan (ha)
Persen
Ratarata
Maksimum
1
139
44,3
0,222
7,500
698
60,4
0,521
16,000
2
61
19,4
0,236
1,475
253
21,9
1,198
10,000
3
29
9,2
0,255
1,025
141
12,2
1,879
13,000
4
72
22,9
0,338
1,140
40
3,5
2,806
7,500
5
13
4,1
0,810
2,601
23
2,0
3,715
8,750
Tampak bahwa secara umum persil-persil garapan usaha tani di perdesaan Pulau Jawa lebih terfragmentasi. Ini tampak dari sebaran rumah tangga menurut jumlah persil garapannya dan rata-rata luas persil-persil garapan tersebut. Jika dibandingkan dengan fragmentasi pemilikan lahan (lihat Tabel 5), ternyata level fragmentasi pengusahaan lahan usaha tani lebih rendah. Dengan kata lain, meskipun pengusahaan lahan usaha tani cukup terfragmentasi, namun tidak separah fragmentasi pemilikan lahan. Beberapa faktor yang memengaruhinya, antara lain, adalah: (1) Lahan milik tidak hanya mencakup lahan pertanian. Di dalamnya termasuk lahan untuk rumah tinggal dan persil-persil lahan tidak produktif yang untuk sementara tidak digarap (persentasenya kecil). (2) Batas persil-persil lahan milik mengacu pada status penguasaan dan tidak selalu berimpit dengan persil garapan. Sebagai contoh, sebidang lahan yang digarap seorang petani kadang-kadang mencakup pula persil lahan milik saudaranya dengan status 84
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
“sekadar digarap”, bukan bagi hasil ataupun sewa. Fenomena seperti ini merupakan implikasi logis dari karakteristik “extended family” yang kasusnya banyak ditemui di wilayah perdesaan. (3) Sesungguhnya petani juga mengetahui bahwa hamparan usaha tani yang terkonsolidasi memudahkan petani dalam pengelolaan usaha taninya, terutama dalam hal pengelolaan air, penanggulangan OPT, pengadaan dan aplikasi input usaha tani, dan penjualan hasil panen. Oleh karena itu, sepanjang situasi dan kondisinya kondusif, petani juga lebih menyukai lahan usaha taninya berada dalam suatu hamparan yang sama dengan petani lainnya.
Hubungan Fragmentasi Lahan dengan Produktivitas Usaha Tani Sesungguhnya tidaklah mudah menyimpulkan hubungan antara fragmentasi lahan dengan produktivitas usaha tani. Dasar argumennya diuraikan sebagai berikut, di satu sisi, fragmentasi lahan tidak mudah diukur dalam suatu parameter tunggal karena fenomena fragmentasi spasial mencakup pula dimensi spasial yang di dalamnya terhimpun sejumlah variabel yang tidak selalu dapat dikuantifikasikan. Di sisi lain, produktivitas usaha tani tidak hanya dipengaruhi oleh luas lahan maupun karakteristik fragmentasinya tetapi juga ditentukan oleh kesuburan tanah, kondisi iklim mikro dan makro, serta aplikasi teknologi (varietas yang digunakan, pola usaha tani, jenis komoditas), dan kapabilitas manajerial petani yang bersangkutan. Orientasi petani dalam berusaha tani juga tidak selamanya maksimimalisasi laba. Sebagian di antaranya berorientasi pada minimalisasi risiko. Dengan menyadari keterbatasannya, informasi mengenai hubungan antara fragmentasi lahan sawah (diwakili oleh jumlah persil dan rata-rata total luas garapan) dengan produktivitas usaha tani padi pada MT I dan MT II dapat disimak pada Tabel 12 dan Tabel 13 berikut. Dari Tabel 12 dan 13 dapat ditarik kesimpulan bahwa pada usaha tani padi, hubungan antara fragmentasi lahan garapan dengan produktivitas tidak linier. Dalam beberapa kasus, ada indikasi bahwa produktivitas usaha tani padi pada lahan sawah garapan yang lebih terkonsolidasi lebih tinggi, tetapi pada sejumlah kasus yang terjadi justru sebaliknya. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di perdesaan Pulau Jawa tetapi juga di Luar Pulau Jawa. Dengan kata lain, tidak ada bukti kuat yang berlaku umum yang menunjukkan bahwa fragmentasi lahan garapan usaha tani berdampak negatif terhadap usaha tani, setidaknya pada usaha tani padi.
85
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Tabel 12. Fragmentasi lahan sawah dan hubungannya dengan produksi per hektare usaha tani padi pada MT I 2009/2010 Jumlah persil garapan
Jumlah petani (persen)
Rata-rata luas garapan (hektare)
Pupuk, produksi, dan keuntungan per hektare
1
45,9
0,221
398,4
55,4
5.525
7.215
2
25,9
0,314
371,7
56,8
5.694
7.311
3
17,4
0,604
334,2
52,1
5.270
6.700
4
7,3
0,754
342,3
53,6
5.280
7.040
>=5
3,5
1,628
310,4
52,8
5.213
6.927
1
39,2
0,568
327,6
49,6
5.066
6.734
2
35,7
0,950
294,5
51,2
5.229
6.856
3
12,9
1,446
290,1
52,0
5.311
6.966
4
8,8
2,154
301,4
48,7
4.995
6.596
>=5
3,4
4,829
286,9
49,1
5.015
6.771
Pupuk (kg)*)
Produksi (Ku GKP)
Total biaya (Rp Juta)
Keuntungan (Rp Juta)
P. Jawa
Luar P. Jawa
Tabel 13. Fragmentasi lahan sawah dan hubungannya dengan produksi per hektare usaha tani padi pada MT II 2010 Jumlah persil garapan
Jumlah petani (persen)
Rata-rata luas garapan (hektare)
Pupuk, produksi, dan keuntungan per hektare Pupuk (kg)*)
Produksi (Ku GKP)
Total biaya (Rp Juta)
Keuntungan (Rp Juta)
P. Jawa 1
45,2
0,218
385,2
54,9
5.499
7.124
2
26,6
0,376
366,7
55,2
5.277
7.422
3
15,6
0,701
342,2
53,4
5.322
7.044
4
10,6
0,703
320,0
52,8
5.025
6.920
2,0
1,702
302,4
53,1
5.170
7.011
1
39,1
0,578
310,3
48,7
5.188
6.127
2
33,2
0,942
301,2
50,1
5.317
6.203
3
15,8
1,281
281,9
51,1
5.291
6.314
4
10,2
2,031
277,4
49,2
4.998
5.975
1,8
4,412
272,6
48,7
4.892
6.013
>=5 Luar P. Jawa
>=5
Kesimpulan di atas sebenarnya tidak mengejutkan. Meskipun tidak secara khusus ditujukan untuk mengkaji pengaruh fragmentasi lahan terhadap produktivitas, beberapa kajian yang relevan condong pada kesimpulan tersebut. Sebagian besar hasil studi 86
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
memperoleh kesimpulan bahwa usaha tani padi di Indonesia berada dalam kondisi “constant returns to scale”. Dengan kata lain, perluasan skala usaha tidak selalu diikuti oleh peningkatan efisiensi. Mengacu pada kondisi objektif struktur penguasaan lahan petani, implikasi dari kesimpulan tersebut adalah bahwa peningkatan efisiensi dengan cara memperluas skala usaha melalui konsolidasi pengelolaan lahan usaha tani belum tentu mencapai sasaran yang diharapkan. Hasil studi mengenai hubungan fragmentasi lahan terhadap produktivitas usaha tani ternyata memperoleh kesimpulan beragam. Sebagian di antaranya menggunakan pendekatan tidak langsung dengan cara melihat pengaruh luas garapan (holding size) terhadap produktivitas usaha tani. Di negara maju, terdapat kecenderungan ”increasing returns to scale”. Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usaha tani sapi perah di Utah ataupun analisis Hall and Levven (1978) mengenai hubungan antara skala usaha dan efisiensi usaha tani di California. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa secara rata-rata profitabilitas usaha tani skala kecil relatif lebih rendah daripada usaha tani skala menengah-besar. Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala besar tersebut terletak pada penghematan biaya pengadaan input. Kondisi serupa terjadi pula di sejumlah wilayah di negara berkembang. Sebagai contoh, Parikh and Shah (1994) dan Wadud and White (2000) dalam studinya di Pakistan dan Bangladesh memperoleh kesimpulan bahwa penguasaan garapan (holding size) berkorelasi positif dengan efisiensi usaha tani padi. Hal serupa diperoleh Wu et al. (2005) dan Tan (2005) di Cina yang menunjukkan bahwa peningkatan luas garapan berpengaruh positif terhadap usaha tani padi. Selanjutnya, meskipun agak berbeda dengan kesimpulan yang diperoleh Sherlund et al. (2002) pada studinya di Cote d’Ivore dapat ditunjukkan bahwa peningkatan jumlah plot (sekaligus luas garapan usaha tani) berpengaruh positif terhadap produktivitas usaha tani padi. Namun, fenomena yang sebaliknya ditemukan pula oleh sejumlah penelitian yang lain. Studi Sen (1962) di India menemukan adanya hubungan terbalik antara luas garapan dengan produktivitas pada usaha tani di India. Selanjutnya, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos dan Lau (1973) serta Berry dan Cline (1979) menyimpulkan bahwa usaha tani skala kecil di India ternyata lebih efisien daripada skala besar; dan tidak disarankan untuk mengondisikan konsolidasi usaha tani, karena secara umum, ternyata berada pada kondisi “constant returns to scale”. Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan oleh tenaga kerja keluarga yang lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar keluarga (buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya lebih baik, (ii) tenaga kerja keluarga tidak memerlukan biaya pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga menganggap bahwa apa yang dikerjakan dalam usaha taninya berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usaha taninya. Senada dengan berbagai temuan tersebut, 87
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Hayami (1998) juga menyatakan bahwa dalam banyak kasus, ternyata usaha tani skala rumah tangga adalah optimal. Namun, “outcomes” yang terjadi tidaklah paralel dengan berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usaha tani rumah tangga mempunyai “labor cost advantage” tidak demikian halnya dengan masalah pendanaan usaha tani dan berbagai implikasinya terhadap akses pasar dan lobi politik. Usaha tani skala besar memiliki “credit cost advantage” yang jauh lebih besar daripada usaha tani rumah tangga. Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan dalam interaksinya dengan sektor non-pertanian (Binswanger dan Rozensweig 1986). Apakah fenomena serupa juga terjadi pada usaha tani komoditas pertanian yang lain? Jawabannya tentu membutuhkan kajian lebih lanjut. Bahkan, andaikan ternyata diperoleh kesimpulan yang senada, tidaklah berarti bahwa upaya untuk mendorong konsolidasi pengusahan lahan pertanian menjadi kendor. Perlu digarisbawahi bahwa dalam kajian ini aspek-aspek penting lain yang memengaruhi kinerja usaha tani dalam konteks yang lebih komprehensif dan prospek ke depan belum semuanya tercakup. Aspek pengadaan input dan pemasaran hasil panen belum diperhitungkan, perlu disadari bahwa untuk jangka menengah-panjang, kedua aspek ini sangat menentukan kinerja usaha tani secara keseluruhan. Kesimpulan lain yang penting dikemukakan dari kajian ini adalah bahwa setidaknya dalam jangka pendek-menengah, konsolidasi lahan usaha tani bukan merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan produktivitas usaha tani. Terkait dengan itu, jika tujuannya adalah untuk mengembangkan usaha tani pangan yang efisien, pengembangan unit-unit usaha tani pangan skala besar berbasis korporasi patut dikaji secara cermat. Sikap kritis terhadap pengembangan pertanian pangan skala besar berbasis korporasi juga memiliki relevansi yang tinggi jika aspek kelestarian sumber daya dan keadilan dijadikan titik sentral kajian. Usahakan pangan bukan hanya bersifat “labor intensive”; lebih dari itu telah terbukti peranannya sebagai katup pengaman perekonomian komunitas desa ketika krisis ekonomi terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwa umumnya di perdesaan, pertanian pangan skala kecil menjadi bagian dari “way of life” penduduknya yang berjumlah sangat besar.
Penutup Di perdesaan Indonesia, fragmentasi pemilikan lahan merupakan fenomena yang umum. Sebagian besar dari munculnya atau berkembangnya fragmentasi pemilikan terkait dengan kelembagaan sosial yakni sistem pewarisan tanah. Meskipun level fragmentasinya lebih rendah, fragmentasi pengelolaan lahan usaha tani juga terjadi. Fenomena fragmentasi pemilikan maupun pengelolaan lahan terjadi di hampir semua wilayah pedesaan, tetapi ada kecenderungan bahwa kondisi di luar Pulau Jawa relatif lebih baik.
88
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
Pada usaha tani padi, tidak diperoleh bukti yang kuat, yang menunjukkan bahwa fragmentasi lahan menyebabkan turunnya produktivitas. Kondisi tersebut terjadi di perdesaaan Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Implikasinya dalam jangka pendek adalah bahwa konsolidasi pengelolaan usaha tani belum tentu efektif untuk mendorong peningkatan produktivitas usaha tani pangan, setidaknya pada usaha tani padi. Upayaupaya mengendalikan fragmentasi lahan tetap diperlukan. Namun, kebijakan dan program untuk mengendalikan laju fragmentasi dan atau mendorong konsolidasi lahan harus didasarkan atas pertimbangan serta pendekatan komprehensif dan holistik dengan mengedepankan aspek-aspek keadilan dan keberlanjutan, serta harus lebih difokuskan pada aspek pengelolaan.
Daftar Pustaka Agarwal SK. 1972. Economics of Land Consolidation in India. New Delhi: Chand. Bentley J. 1987. Economic and ecological approaches to land fragmentation: in defense of a Much-Aligned phenomenon. Annual Review of Anthropology 16: 31–67. Berry A, Cline W. 1979. Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Binns OB. 1950. The consolidation of fragmented agricultural holdings. FAO Agricultural Studies 11. Rome: Food and Agriculture Organization. Binswanger HP, Rossenzweig MR. 1986. “Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture,” Journal of Development Economics, 22, 503–539. Carsjens G J. 2000. Fragmentation and land use planning: analyses and beyond, Proceedings of the third international workshop on sustainable land use planning, June 19-21, 2000, Wageningen, the Netherlands. Charlesworth N. 1983. The Origins of Fragmentation of Landholdings in British India: A Comparative Examination. Rural India. London: Carson Press. Dovring F. 1965. Land and Labour in Europe in the Twentieth Century. The Hague, Nijhoff. Fenoaltea S. 1976. Risk, transaction costs, and the origin of medieval agriculture. Exploration in Economic History 13: 129–151. Hall BF, Le Veen P. 1978. Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589–600. Hayami Y. 1998. The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John Hopkins University Press. Ilbery BW. (1984). Farm fragmentation in the Vale of Evesham. Area 16: 159–165.
89
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
King R. (1977). Land Reform: A World Survey. Boulder: Westview Press. Kumbhakar SC. 1993. Short run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2): 336–341. McPherson MF. 1982. Land fragmentation: a selected literature review. Development Discussion Paper No. 141. Harvard Institute for International Development, Harvard University. McPherson MF. 1983. Land fragmentation in agriculture: adverse? Beneficial? And for whom? Development Discussion Paper No. 145. Harvard Institute for International Development, Harvard University. Papageorgiou E. 1963. Fragmentation of land holdings and measures for consolidation in Greece. In: Parsons, K. H., R. J. Penn and P. M. Raup (eds.) Land Tenure. Madison: University of Wisconsin Press. Parikh A, Shah K. 1994. Measurement of technical efficiency in the north-west frontier province of Pakistan. Journal of Agricultural Economics 45: 132–138. Schultz TW. (1953). The Economic Organization of Agriculture. New York: McGraw Hill. Sen A. 1962. An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243–246. Sherlund SM, CB Barrett and AA Adesina. 2002. Smallholder technical efficiency controlling for environmental production conditions. Journal of Development Economics 69: 85– 101. Simmons S. 1988. Land fragmentation in developing countries: the optimal choice and policy implications. Explorations in Economic History 25: 254–262. Tan SH. 2005. Land Fragmentation and Rice Production: A Case Study of Small Farms in Jiangxi Province, P.R. China. PhD thesis, Wageningen University. Udo RK. 1965. Disintegration of nucleated settlement in Eastern Nigeria. Geographical Review 55: 53–67. Wadud, Abdul Md, and White B. 2000. “Farm Household Efficiency in Bangladesh: a Comparison of Stochastic Frontier and DEA Methods.” Applied Economics 32 (13): 1665–1673 (October). Wu Z, Liu M, and Davis J. 2005. Land consolidation and productivity in Chinese household crop production. China Economic Review 16 (2005) 28–49. Yotopoulos P A, Lau LJ. 1973. A test for relatif economic efficisncy: Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214–223.
90
FRAGMENTASI LAHAN PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PRODUKTIVITAS USAHA TANI
Tabel Lampiran 1. Distribusi rumah tangga petani padi menurut varietas benih yang ditanam, 2009 Lokasi
Hibrida
Varietas Unggul
( % baris )
( % kolom )
4,77
33,40
Sumatera
( % baris )
Varietas Lokal
( % kolom )
(% baris )
( % kolom )
56,27
15,51
38,96
32,54
Total 100
Jawa
2,65
54,84
86,66
70,49
10,69
26,33
100
Bali dan NT
1,58
3,53
69,54
6,14
28,89
7,73
100
Kalimantan
0,59
1,50
19,47
1,94
79,94
24,17
100
Sulawesi
2,79
6,09
65,70
5,65
31,52
8,21
100
Maluku dan Papua
4,04
0,64
42,01
0,26
53,95
1,02
100
Indonesia
2,87
100
73,02
100
24,10
100
100
Sumber: diolah dari data BPS “PENDATAAN USAHA TANI 2009 (PUT09)”. *)
Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14.992.137
Tabel Lampiran 2. Tingkat partisipasi petani dalam penggunaan pupuk (persen) Lokasi
Tidak menggunakan pupuk
Yg menggunakan pupuk: dirinci yang digunakan
Total
Anorganik saja
Organik saja
Anorganik + organik
Subtotal
12,8
72,0
1,1
14,1
87,2
100
0,1
67,0
0,1
32,8
99,9
100
Bali dan NT
20,0
71,6
1,1
7,2
80,0
100
Kalimantan
46,0
46,3
2,8
4,9
54,0
100
Sumatera Jawa
(%)
Sulawesi
11,1
83,8
0,5
4,6
88,9
100
Maluku dan Papua
46,0
44,8
5,0
4,1
54,0
100
8,2
67,7
0,6
23,5
91,8
100*)
Indonesia
Sumber: Diolah dari data BPS “PENDATAAN USAHA TANI 2009 (PUT09)” *)
Jumlah N (rumah tangga petani padi) Indonesia 14.992.137
91
PENGUASAAN DAN FRAGMENTASI LAHAN
Tabel Lampiran 3. Sebaran petani padi menurut sumber utama pembiayaan usaha tani (persen) Lokasi
Modal sendiri
Modal utama berasal dari pinjaman dirinci menurut sumber utama pemberi pinjaman Perorangan
Koperasi
Bank
Total
Lainnya
N
(%)
Sumatera
91,72
6,71
0,61
0,13
0,83
3.018.172
100
Jawa
95,45
3,23
0,37
0,51
0,43
8.904.913
100
Bali dan NT
93,24
5,04
0,74
0,19
0,79
966.398
100
Kalimantan
97,90
1,35
0,13
0,06
0,56
1.092.682
100
Sulawesi
89,63
9,14
0,27
0,13
0,83
941.837
100
Maluku dan Papua
90,75
0,65
0,81
1,69
6,10
68.135
100
Indonesia
94,35
4,27
0,42
0,36
0,59
14.992.137
100
Sumber: Diolah dari data BPS “PENDATAAN USAHA TANI 2009 (PUT09)”
92