KERAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN SISTEM USAHA TANI KONSERVASI TERHADAP TINGKAT PRODUKTIVITAS LAHAN PERBUKITAN YOGYAKARTA Abdullah Abas Id., Y. Soelaeman, dan A. Abdurachman Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendorong petani untuk membuka lahan kering berlereng sebagai lahan usaha tani. Lemahnya penerapan teknik konservasi tanah menyebabkan terjadinya erosi dan degradasi lahan serta munculnya lahan kritis yang mencapai 158.600 ha. Hampir 90% (142.740 ha) lahan kering berlereng telah dibuat teras bangku, namun kondisi dan struktur teras belum sempurna sehingga erosi tanah dan aliran permukaan menjadi tidak terkendali. Upaya penanganan dan perbaikan kawasan perbukitan kritis telah dilakukan dengan menerapkan teknologi sistem usaha tani konservasi (SUK) sesuai zona agroekosistem setempat. Komponen teknologi SUK meliputi pengendalian erosi tanah, penataan aliran air permukaan, introduksi ternak dan hijauan pakan, dan penggunaan tanaman tahunan penguat teras. Selama tahun 1993−1997, penerapan teknologi ini berhasil mengendalikan laju erosi tanah. Indeks erosi tanah secara nyata dapat diperkecil 45−64% (12,24−15,60 t/ha/tahun), meskipun masih lebih tinggi dari nilai yang diperbolehkan (6− 8 t/ha/tahun). Pendapatan petani juga meningkat 28−190%. Aliran air permukaan pada musim hujan yang ditampung pada kolam penampung air (embung) dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman pada musim kemarau. Populasi ternak ruminansia juga berkembang. Teknologi SUK ini telah diadopsi dengan baik, sehingga dapat menekan erosi dan meningkatkan kesuburan tanah. Limbah ternak berupa pupuk kandang telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Dalam jangka panjang, introduksi SUK diharapkan dapat menstabilkan dan meningkatkan produktivitas lahan kering berlereng. Kata kunci: Sistem usaha tani, konservasi lahan, pengendalian erosi, produktivitas lahan, perbukitan
ABSTRACT Impact of the application of conservation farming systems on land productivity in hilly lands of Yogyakarta Continuous population pressure has led to an expansion of subsistance agriculture in upland of the Province of Yogyakarta Special Territory (DIY). Such agricultural systems and poor conservation practices are viewed as a major cause of soil erosion and land degradation of which 158,600 ha are considered as critical land. Almost 90% (142,740 ha) of sloping land has been terraced, but the condition of terrace structure is generally poor, inducing severe soil loss due to uncontrolled run-off. In general, the productivity of the existing agriculture system in the sloping dryland are low. Farming system development through a better management of the conservation farming systems according to the local agroecosystems zones has been done. The conservation farming systems will emphasize conservation technology, management of run-off water, introduction ruminant livestock and fodder crops and fruit and industrial trees. During 1993−1997, the applications of a better conservation farming system have been quite successful in term of decreasing erosion rate. The erosion index has been decreased significantly, its effectiveness range from 45−64% (12.24−15.60 t/ha/year), even though the rate is still greater than the tolerable soil loss in the area, which ranges 6−8 t/ha/year. The conservation farming system has increased farmer income (28−190%) due to increasing the farm productivity. Conserving the run-off water in wet season in small reservoir for dry season uses has enable farmers to grow high values vegetables and protect young trees in dry season. The number of all ruminants has increased over the past five years. Adoption rates of the introduced technologies are not too difficult to asses. Some cooperating farmers have given much attention to their upland. and become firmly established. The amount of manure is adequate to improve soil fertility, thereby is expected to stabilize and sustain the upland farming systems. Keywords: Farming systems, soil conservation, erosion control, land productivity, highlands
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
49
K
ebijakan pembangunan pertanian selama Pelita I−V yang terlalu terpusat pada lahan sawah menyebabkan perhatian dan pengelolaan usaha tani lahan kering terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu semakin tertinggal. Ketimpangan ini telah menimbulkan beberapa masalah antara lain kerusakan lahan dan lingkungan yang semakin luas, pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, serta produktivitas lahan yang rendah akibat terjadinya degradasi lahan. Menurut Siswomartono et al. (1990), sebanyak 39 DAS kritis perlu mendapatkan prioritas penanggulangan dalam Pelita V. Masalah utama dalam usaha tani di lahan kering berlereng adalah terjadinya erosi tanah bila tidak disertai dengan tindakan konservasi (Suwardjo et al. 1995). Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah lapisan atas yang subur hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol (Inceptisol) pada kemiringan lahan 14% di Citayam, Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa tindakan konservasi tanah, mengalami kehilangan tanah setebal 2,50 cm/tahun dan penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm, maka produksi dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan lengkap (Suwardjo 1981). Kerusakan tanah karena hilangnya unsur hara dapat diperbaiki dengan menambahkan pupuk yang tepat, tetapi kerusakan tanah akibat hilangnya fungsi produksi dan hidrologi memerlukan proses rehabilitasi yang relatif lama. Lahan kering kritis di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama Pelita IV−V cenderung bertambah dengan laju 30,50%. Sekitar 25.692 ha terdapat di areal pertanian dan 3.700 ha di lahan hutan (Maas et al. 1995). Lahan kritis ini dikhawatirkan semakin meluas karena tidak seimbang dengan lahan yang berhasil direhabilitasi. Lahan kritis sebagian besar terdapat di DAS bagian hulu dan tengah dan telah berdampak buruk terhadap wilayah itu sendiri dan bagian hilir, antara lain timbulnya banjir dan longsor pada musim hujan serta kekeringan pada musim kemarau. Kerugian akibat terjadinya lahan kritis di Indonesia cukup besar, diperkirakan mencapai Rp 10 triliun/tahun (Karama dan Abdurachman 1995). 50
Penerapan sistem usaha tani konservasi dalam pengelolaan DAS di DIY di harapkan dapat mengendalikan erosi, mengawetkan lengas tanah, dan meningkatkan hasil pertanian. Upaya tersebut merupakan bagian dari suatu rencana konstruktif untuk memperbaiki pengelolaan lahan dan air. Ketiga upaya itu hanya efektif apabila merupakan bagian dari pendekatan penggunaan lahan yang serasi menurut kemampuannya (Hudson dan Notohadiprawiro 1983), artinya tidak terjadi penggunaan lahan melampaui batas (over-utilization) atau di bawah kemampuannya (under-utilization).
METODE USAHA TANI KONSERVASI DI LAHAN KERING DIY Sistem usaha tani konservasi di lahan perbukitan kritis DIY berupa usaha tani praktis dengan menerapkan kaidah konservasi yang disesuaikan dengan kemampuan lahan (Hudson dan Notohadiprawiro 1983). Prinsip usaha tani konservasi adalah pengendalian erosi tanah dan konservasi air secara efektif, serta peningkatan produktivitas tanah dan stabilitas lereng perbukitan. Untuk mempercepat tercapainya tujuan konservasi tanah dan pembangunan kawasan perbukitan diperlukan peran serta masyarakat/petani. Selama kurun waktu lima tahun (1992−1997), telah dihasilkan beberapa komponen/rakitan teknologi sistem usaha tani konservasi (SUK) yang prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut (Badan Litbang Pertanian 1997). Keberhasilan pengembangan teknologi ditentukan pula oleh dampak dan manfaat yang dirasakan oleh petani sehingga diperlukan evaluasi untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produktivitas lahan, pendapatan petani, dan adopsi teknologi.
KEADAAN UMUM WILAYAH Biofisik Lahan Perbukitan Kritis di DIY Propinsi DIY mempunyai areal seluas 318.560 ha (Badan Litbang Pertanian
1997) dan sebagian besar berupa lahan pertanian. Areal sawah berpengairan sekitar 20% dan sisanya merupakan lahan kering yang sumber pengairannya tergantung pada curah hujan (Maas et al. 1995). Lahan kritis diperkirakan mencapai 158.600 ha (World Bank 1991) yang tersebar di tiga zona agroekosistem. Zona agroekosistem II berupa perbukitan kapur Pegunungan Seribu di Kabupaten Gunung Kidul seluas 70.130 ha; zona agroekosistem III meliputi perbukitan Baturagung, Kabupaten Gunung Kidul, perbukitan Dlingo, Kabupaten Bantul dan perbukitan Sentolo dan Manoreh, Kabupaten Kulonprogo seluas 79.750 ha; dan zona agroekosistem Va meliputi wilayah lahan labil lereng vulkanik di Kabupaten Sleman seluas 8.720 ha (Gambar 1). Zona agroekosistem I (dataran tinggi Wonosari) tergolong lahan tidak kritis, dan zona V yang terletak di lereng puncak Gunung Merapi termasuk kawasan lindung. Kekritisan lahan dapat disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu faktor endogen dan eksogen (Notohadiprawiro 1978). Khusus untuk lahan kering perbukitan di DIY, faktor endogen meliputi sifat bahan induk, sifat tanah, dan bentuk fisiografi lahan (Suryanto 1995; Sunarminto 1997), sedangkan faktor eksogen adalah iklim terutama curah hujan dan musim kering yang jelas. Kondisi biofisik lahan sangat beragam.Tanah utama tergolong pada ordo Entisol, Alfisol, Inceptisol, dan Andosol (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993) yang berasal dari bahan induk kapur/karst. Tanah umumnya miskin bahan organik dan unsur hara khususnya N, P, K sehingga produktivitas lahan tergolong sangat rendah sampai sedang. Kondisi biofisik lahan di zona II, III, dan Va dicirikan oleh solum tanah dangkal, sebagian horizon B telah hilang tererosi, lereng relatif curam, tekstur pasir atau fragmentasi, dan terdapat singkapan batuan di permukaan. Meskipun sebagian besar lahan telah diteras, lahan masih rawan erosi dan longsor karena tampingan teras umumnya tegak, tanpa tanaman penguat, dan kondisi saluran pembuangan air belum baik. Keadaan ini merupakan kendala bagi perbaikan tanah sebagai habitat tanaman, fungsi produksi, dan hidrologi. Tingkat bahaya erosi bervariasi dari rendah, sedang, berat sampai sangat Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Gambar 1. Peta zona agroekosistem Propinsi DI Yogyakarta.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
51
berat. Tingkat bahaya erosi rendah terdapat pada bagian punggung dan lereng bawah yang mempunyai kemiringan < 15%, bahaya erosi sedang pada lereng bagian atas dan bawah dengan kemiringan 15−45%, dan tingkat bahaya erosi berat sampai sangat berat terdapat pada lereng bagian atas, tengah, dan bawah dengan kemiringan 30 sampai > 45%. Keadaan curah hujan, garis isohet, dan peta tipe curah hujan di kawasan perbukitan DIY cukup beragam. Zona II dan III relatif sangat kering (curah hujan 1.500 mm/tahun), zona III memiliki curah hujan 2.300 mm/tahun, dan zona Va relatif lebih basah dengan curah hujan 3.100 mm/ tahun. Pada lahan yang berlereng >15%, intensitas hujan yang relatif besar dan berlangsung singkat selama 4−5 bulan (November-Februari/Maret) memacu terjadinya erosi tanah. Nilai erodibilitas yang tinggi dan lereng yang panjang pada tanah bersolum dangkal akan memperbesar laju erosi tanah.
Kondisi Usaha Tani Konservasi di Tingkat Petani Munculnya lahan kritis yang tersebar luas di kawasan perbukitan zona II, III, dan Va menunjukkan lemahnya penerapan teknik konservasi di tingkat petani. Upaya perbaikan lahan serta konservasi tanah dan air mutlak diperlukan guna meningkatkan fungsi produksi dan fungsi hidrologi lahan, meningkatkan kesejahteraan petani, memperbaiki lingkungan hidup, dan membangun pertanian di kawasan perbukitan. Kondisi sosial ekonomi petani di kawasan perbukitan DIY kurang menguntungkan, antara lain ditunjukkan oleh luas pemilikan lahan relatif sempit (0,21−0,53 ha/kepala keluarga), tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi (338− 552 jiwa/km2), dan tingkat pendidikan umumnya rendah (51% berpendidikan SD, 33% tidak pernah sekolah, 16% berpendidikan nonformal dan buta huruf). Hal seperti ini menyulitkan petani dalam menerapkan teknologi usaha tani konservasi (Masbulan et al. 1994). Upaya memasyarakatkan teknologi usaha tani konservasi di lahan kering dengan tanaman pohon-pohonan bernilai ekonomi tinggi, dikombinasikan dengan pengembangan usaha ternak ruminansia sebagai komponen pendukung usaha tani, dihadapkan kepada masalah rendahnya 52
produktivitas lahan dan kondisi sosial ekonomi petani. Usaha tani yang berorientasi subsisten juga menghambat pengembangan sistem usaha tani lahan kering yang berwawasan konservasi tanah dan air. Untuk mempercepat tercapainya tujuan konservasi tanah dan memacu integrasi antara teknologi konservasi dan perbaikan lahan, diperlukan strategi pendekatan untuk setiap zona agroekosistem. Strategi tersebut kemudian dibahas bersama petani untuk mempertajam prioritas konservasi (tanaman penguat teras, tanaman penstabil lereng, fasilitas embung, ternak ruminansia, sarana produksi pertanian), mengatasi berbagai hambatan, dan meningkatkan
kesadaran masyarakat tani di sekitar lahan kering perbukitan.
KERAGAAN PENERAPAN SISTEM USAHA TANI KONSERVASI Kinerja Konservasi Tanah dan Air Kinerja konservasi tanah dan air baik sipil teknik maupun vegetatif menurut Suwardjo et al. (1997) menunjukkan adanya perbaikan yang nyata (Tabel 1). Kualitas konservasi tanah dan air pada hampir semua lokasi penelitian tergolong
Tabel 1. Kinerja konservasi tanah dan air pada beberapa zona agroekosistem di DI Yogyakarta, Desember 1997. Lokasi/tahun awal penelitian Zona agroekosistem II Karangasem/1994 Lahan penelitian Lahan di luar penelitian Giriharjo/1994 Lahan pengembangan Zona agroekosistem III Nawungan I/1992 Lahan penelitian Lahan di luar penelitian Nawungan II/1993 Lahan penelitian Dlingo/1994 Lahan penelitian Lahan di luar penelitian Baturagung/1994 Lahan penelitian Lahan di luar penelitian Lahan lokasi pengembangan Lahan di luar lokasi pengembangan Banjarsari/1993 Lahan pengembangan Lahan di luar lokasi pengembangan Zona agroekosistem Va Srunen/1994 Lahan penelitian Lahan di luar penelitian Kalitengah/1995 Lahan pengembangan 1)
Luas (ha)
Skor
Kinerja konservasi Tingkat adopsi 1)
10 30
39 21
Sedang Kurang
40
26
Sedang
10 30
42 23
Baik Kurang
10
41
Baik
40 30
37 29
Baik Sedang
10 − 100 30
40 31 37 34
Baik Sedang Sedang Sedang
100 30
44 25
Baik Kurang
12 30
35 35
Baik Baik
40
40
Baik
Tingkat adopsi kurang jika melakukan usaha konservasi mekanik dan vegetatif, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan teknik konservasi. Tingkat adopsi sedang jika melakukan usaha konservasi mekanik dan vegetatif, tetapi hanya sebagian yang sesuai dengan ketentuan teknik konservasi. Tingkat adopsi baik jika melakukan usaha konservasi vegetatif yang sesuai ketentuan teknik konservasi, tetapi hanya sebagian melakukan usaha konservasi mekanik.
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
sedang sampai baik yang ditunjukkan, oleh: 1) kualitas teras yang cukup baik (bentuk goler kampak) sehingga erosi dapat ditekan; 2) berfungsinya rumput penguat teras serta leguminosa perdu dan pohon-pohonan dalam mengurangi erosi dan longsor; serta menyediakan pakan; 3) berfungsinya saluran pembuang air dan bangunan terjunan air; 4) tidak terjadinya palungan erosi pada teras gulud; 5) terdapat pergiliran tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau dan pupuk kandang; 6) jumlah tanaman tahunan cukup memadai sesuai dengan kondisi lereng; dan 7) produktivitas tanah membaik dan erosi mendekati batas ambang toleransi. Tingkat adopsi teknologi konservasi tanah dan air di lahan kering perbukitan DIY dipengaruhi oleh kondisi biofisik wilayah pada setiap zona agroekosistem. Pada zona agroekosistem II dan III yang umumnya merupakan wilayah perbukitan berbahan induk karst dan breksi andesit yang telah mengalami proses erosi cukup lama, tanahnya mempunyai sifat-sifat fisika dan kimia yang kurang mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman (lahan kritis). Pada zona agroekosistem Va yang merupakan lahan labil vulkanik Merapi muda berbahan induk pasir, kondisi tanahnya masih cukup baik, tetapi mempunyai potensi menjadi kritis jika tidak dikelola dengan baik. Perbedaan kondisi biofisik lahan pada setiap zona agroekosistem secara tidak langsung telah mempengaruhi dan menciptakan sistem tata nilai, pandangan, perilaku, dan tindakan dalam kehidupan petani, khususnya yang berkaitan dengan aspek konservasi tanah dan air. Tingkat adopsi petani terhadap kinerja konservasi tanah dan air pada lahan penelitian dan pengembangan di
setiap zona agroekosistem tergolong sedang sampai baik (Tabel 1). Keadaan ini disebabkan petugas/teknisi lapangan tinggal dan bergaul langsung dengan petani, sehingga kegiatan penyuluhan dan bimbingan dapat dilakukan secara intensif sesuai dengan kebutuhan petani. Adopsi teknologi oleh petani nonkooperator berlangsung melalui proses difusi dan memerlukan waktu lebih lama, sehingga tingkat adopsinya tergolong kurang sampai sedang. Untuk mempercepat adopsi teknologi pada petani nonkooperator diperlukan sosialisasi melalui kegiatan penyuluhan. Tingkat adopsi petani pada zona agroekosistem Va lebih cepat dibandingkan dengan petani pada zona agroekosistem II dan III, karena kondisi agroekosistemnya lebih baik.
Untuk menurunkan nilai inderosi sampai batas yang tidak membahayakan produktivitas lahan pada setiap agroekosistem diperlukan penyuluhan dan bimbingan yang intensif , terutama dalam penataan rumput pakan dan tanaman leguminosa pada bibir dan tampingan teras, peningkatan penanaman tanaman buah-buahan, integrasi ternak ruminansia dalam sistem usaha tani, dan panen hujan melalui teknologi embung. Koordinasi di antara berbagai instansi formal dan informal juga diperlukan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani secara berkelanjutan.
Nilai Induk Erosi (Inderosi)
Beberapa teknik konservasi tanah yang telah populer dan cukup dikenal di antaranya adalah teras bangku, teras gulud, budi daya lorong, mulsa, dan strip rumput (Sukmana 1995). Strip rumput yang ditanam secara campuran pada bibir teras paling efektif mengendalikan erosi (35−40%) (Tabel 3) dan sebagai sumber hijauan pakan ternak. Pengukuran tingkat erosi dilakukan di Banjarsari (lereng 20−40%) dan Nawungan (lereng 15−30%) menunjukkan bahwa pembuatan teras disertai dengan penanaman tanaman penguat teras yang rapat dapat menekan laju erosi antara 16−20 t/ha/tahun (Hafif et al. 1995; Suhardjo et al. 1995). Pada lahan berlereng 15−45%, petani telah mengadopsi teknologi konservasi dengan baik, sehingga erosi dapat dikendalikan sampai mendekati batas laju erosi yang dibolehkan (permissible rate of erosion) sebesar 6−8 t/ha/tahun. Pemeliharaan ternak mendorong petani di wilayah perbukitan kritis untuk menanam rumput yang sangat efektif untuk mencegah erosi dan longsor. Teknologi konservasi tanah dan air yang terintegrasi dengan ternak dan penanaman rumput pakan dalam bentuk strip sebagai penguat teras terbukti mampu menekan erosi, meningkatkan kesuburan tanah, dan mendorong petani untuk menambah pemilikan ternak. Kekurangan pakan, pada musim kemarau dapat diatasi dengan menerapkan teknologi penyimpanan pakan seperti pembuatan silase atau hay.
Di lokasi yang telah dilengkapi dengan teras bentuk tampingan miring, rorak, saluran pembuang air, dan tanaman penguat teras, perubahan pola tanam telah menurunkan nilai inderosi (Tabel 2). Penurunan nilai inderosi terkecil terdapat pada wilayah zona II, terutama disebabkan oleh nilai faktor pengelolaan tanaman yang lebih kecil dibandingkan dengan zona lainnya. Perbaikan pengelolaan lahan telah menurunkan nilai rata-rata inderosi sebesar 55%. Namun, nilai ini masih relatif besar karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi petani, baik biofisik lahan, sosial-ekonomi maupun infrastruktur. Pendekatan partisipatif dengan metode bottom-up dimaksudkan agar adopsi berlangsung secara bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya petani.
Tabel 2. Nilai indeks erosi di beberapa zona agroekosistem DI Yogyakarta. Zona agroekosistem Zona Zona Zona Zona
Nilai indeks erosi
Penurunan (%)
Sebelum SUK
Sesudah SUK
28,12 34,60 28,16 37,11
15,60 12,24 13,56 15,71
45 64 52 57
31,99
14,28
55
II, Gunung Kidul III, Kulonprogo III, Bantul Va, Sleman
Rata-rata
SUK = sistem usaha tani konservasi. Sumber: Sunarminto (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Efektivitas Tanaman Rumput untuk Mengurangi Erosi dan sebagai Sumber Hijauan Pakan
53
Tabel 3. Pengaruh strip rumput terhadap erosi pada lereng 15−30% di lahan perbukitan kritis DI Yogyakarta. Perlakuan
Erosi (t/ha/tahun)
Satu jenis rumput Vetivera zizanoides Pennisetum purpureum Pannicum maximum Pennisetum purpuroides Tripsacum laxum Kontrol Kombinasi lebih dari satu jenis rumput Satu strip rumput (Vetivera, P. purpureum, Setaria, P. purpuroides) Dua strip rumput (Vetivera, P. purpureum, Setaria, P. purpuroides) Kontrol
34,20 27 60,70 39,20 39 49,70 11,90 21,80 21,80
Sumber: Hafif et al. (1995); Suhardjo et al. (1995).
Tanaman Tahunan Dalam jangka panjang, tanaman tahunan mempunyai peran penting dalam stabilisasi lereng curam. Pemilihan jenis tanaman hendaknya disesuaikan dengan pedo-agroklimat lahan. Karakteristik tanah (ketebalan dan tekstur tanah) sangat berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman. Pada tanah yang dangkal, perkembangan perakaran tanaman cenderung terhambat, karena terbatasnya volume tanah dan rendahnya ketersediaan hara dan air. Hasil penelitian Soekardi et al. (1996) menunjukkan bahwa lahan dengan solum tanah < 30 cm kurang mendukung pertumbuhan tanaman dan sebagian tanaman mati. Pada tanah bertekstur pasir dengan solum tanah relatif tebal (> 75 cm) dan daya sangga terhadap hara dan air rendah, pertumbuhan tanaman tahunan pada musim kemarau menunjukkan gejala cekaman kekeringan. Oleh karena itu, lahan bersolum relatif dalam (> 50 cm) sebaiknya dimanfaatkan untuk penanaman tanaman industri dan buah-buahan bernilai ekonomi tinggi seperti melinjo, mangga, petai, nangka, rambutan, durian, alpukat, dan pisang. Lahan bersolum dangkal seyogianya digunakan untuk mengusahakan tanaman hutan seperti akasia, albizia, sonokeling, jati, dan mahoni yang berfungsi sebagai bahan papan dan kayu bakar serta untuk mengkonservasi tanah dan air. Pemeliharaan tanaman berumur < 3 tahun mutlak diperlukan mengingat 54
lahan mengalami masa kering selama 5−6 bulan. Teknologi irigasi tetes dengan menggunakan botol plastik bekas yang bagian bawahnya dilubangi sebesar jarum untuk meneteskan air ke media perakaran (4−6 l/batang/bulan), pemberian mulsa dan pupuk organik serta pembuatan naungan dapat mempertahankan lengas tanah di bawah batas kritis (pF < 3,90) dan dapat mendukung pertumbuhan tanaman selama musim kemarau.
Pendapatan Usaha Tani Pendapatan usaha tani setelah mengikuti pola anjuran menunjukkan peningkatan yang bervariasi dari 28% di Umbulhardjo sampai 190% di Banjarhardjo (Tabel 4). Namun, keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan modal dan
kelancaran penyaluran sarana produksi yang diperlukan.
DAMPAK PENERAPAN SISTEM USAHA TANI KONSERVASI Peningkatan Hara Tanah Kadar C-organik tanah yang rendah (0,50−1%) merupakan penyebab utama struktur tanah menjadi labil, mudah memadat, dan peka terhadap erosi. Keadaan ini mengakibatkan produktivitas tanah rendah sehingga diperlukan pemberian pupuk kandang untuk mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman secara optimal. Hasil jagung dan ubi kayu masing-masing hanya 0,50 t/ha dan 5 t/ha. Dalam kurun waktu 3−6 tahun, penyempurnaan teras yang diikuti rehabilitasi lahan dengan pemberian pupuk kandang 5−10 t/ha dan pergiliran tanaman pangan dengan legum seperti koro benguk, kacang tunggak, dan gude, mampu memperbaiki kondisi tanah. Kadar C-organik meningkat sangat nyata sehingga KTK tanah serta kandungan K dan Mg meningkat (Tabel 5). Peningkatan bahan organik tanah dapat memperbaiki daya pegang tanah terhadap pupuk sehingga tanah kritis berangsur-angsur mendekati ke kondisi normal dan produktif. Dengan memelihara ternak sapi, kambing, atau domba, petani di Srunen, Nawungan, Banjarasri, dan Karangasem dapat memberikan pupuk kandang dengan takaran agak tinggi (>10 t/ha), sehingga memperbaiki kondisi tanah. Oleh karena itu, keberadaan ternak ruminansia di lahan kering perbukitan mempunyai kaitan yang erat dengan
Tabel 4. Peningkatan pendapatan usaha tani sesudah menerapkan sistem usaha tani konservasi (SUK) dan dengan SUK. Desa/kabupaten Selopamioro, Nawungan, Bantul (zona II) Banjarhardjo, Kulonprogo (zona III) Hargomulyo, Kulonprogo (zona III) Karangasem, Gunung Kidul (zona II) Umbulhardjo, Gunung Kidul (zona II)
Peningkatan pendapatan (%) Sesudah SUK − 190 60 39 28
Dengan SUK 11,84 − 39,04 16,93 36,92
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
Tabel 5. Kadar C-organik, KTK, K, dan Mg tanah awal (1993) dan akhir penelitian (1997). Waktu
C-organik (%)
Awal penelitian (1993) Akhir penelitian (1997)
1.026 2.045
KTK K Mg ------------- mg/100 g ------------23,21 40,75
0,27 0,54
5,50 8,02
Sumber: Suwardjo et al. (1997).
upaya pengendalian erosi tanah karena petani harus menanam hijauan pakan pada teras lahannya.
Peningkatan Penggunaan Pupuk Kandang Sebelum sistem usaha tani konservasi diintroduksikan, petani sudah menggunakan pupuk kandang, tetapi takarannya relatif rendah karena populasi ternak kurang memadai dan pengetahuan petani mengenai manfaat pupuk kandang relatif kurang. Introduksi teknologi sistem usaha tani konservasi dapat menambah pengetahuan petani sehingga populasi ternak dan penggunaan pupuk kandang untuk pertanian meningkat. Penggunaan pupuk kandang di Hargomulyo (zona agroekosistem III) meningkat 53% dari sebelumnya sebesar 2 t/ha, sedangkan di Karangasem (zona agroekosistem II) meningkat sampai 225% dari sebelumnya yang hanya 1,50 t/ha. Penggunaan pupuk kandang pada petani kooperator berkisar antara 10−11,50%, lebih banyak dibandingkan dengan petani nonkooperator (Suwardjo et al. 1997).
Introduksi Ternak Sapi Perah Untuk mendorong petani agar dapat mengkonservasi lahan, Proyek Bangun Desa Komponen-8 telah mengintroduksikan 25 ekor sapi perah peranakan Brahman pada tahun 1995 di Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman bekerja sama dengan Koperasi Peternakan Sarono Makmur. Introduksi sapi perah ini mengharuskan petani untuk menanam rumput unggul (rumput gajah dan raja) pada teras, serta kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Ketersediaan hijauan pakan menyebabkan produksi susu yang semula hanya 48 l/ Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003
hari meningkat menjadi 250−300 l/hari dengan harga yang diterima petani meningkat dari Rp 375/l menjadi Rp 425/l. Peningkatan produksi dan harga susu ini secara langsung telah meningkatkan pendapatan petani sehingga sejak bulan Maret 1994 sampai Desember 1997 terjadi pertambahan populasi ternak dari 25 ekor menjadi 81 ekor. Bentuk kerja sama dengan Koperasi Peternakan Sarono Makmur ini telah dikembangkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan menginvestasikan sebagian keuntungannya pada usaha tani konservasi tanah berbasis ternak sapi perah. Pada bulan Maret 1998 telah diintroduksikan 50 ekor sapi perah kepada petani yang selanjutnya akan dikembangkan secara bertahap menjadi 1.000 ekor melalui program pengentasan kemiskinan. Namun, program kerja sama ini berjalan kurang baik karena petani di Desa Glagaharjo lebih tertarik kepada program pemeliharaan sapi perah yang diintroduksikan oleh Proyek Bangun Desa II Komponen-8. Hasil observasi pada bulan Februari 2002 menunjukkan bahwa populasi sapi perah yang diintroduksikan kepada petani melalui kerja sama antara koperasi dan PLN selama 5 tahun masih kurang dari 100 ekor, sedangkan yang diintroduksikan oleh Komponen-8 telah berjumlah 176 ekor selama 7 tahun pemeliharaan.
Konservasi Air Berdasarkan keadaan iklim, wilayah perbukitan kritis mengalami defisit air sebesar 630 mm/tahun selama 5−6 bulan (Mei-Oktober), sehingga selama musim kemarau (MK) lahan dibiarkan bera (Pramudia et al. 1994). Untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP), pada tahun 1993/94 telah dibuat embung di Umbulhardjo, Gunung Kidul, dengan volume air
150 m3 dan di Nawungan, Bantul, dengan volume 280 m3. Pembuatan embung ini direspons positif oleh petani sehingga dalam waktu satu tahun petani telah berinisiatif membuat embung sendiri di lahan usaha taninya (Maswar et al. 1995). Air embung digunakan untuk mengairi tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti kacang merah, kacang panjang, cabai, tembakau, tanaman buahbuahan berumur muda, minum ternak dan sebagainya. Teknologi ini dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 163,60%/tahun (Hafif et al. 1995). Embung juga memberikan pengaruh terhadap sebaran lengas yang berasal dari air rembesan sehingga keragaan tanaman tahunan (melinjo, mangga, petai, nangka, dan pisang) pada radius 200 m ke arah lereng bawah embung lebih segar dan hijau dibandingkan dengan tanaman yang berada di lahan sekitarnya (Badan Litbang Pertanian 1997). Pembuatan embung memberikan dampak cukup baik terhadap peningkatan pendapatan petani. Pada MK 1996, jumlah embung yang dibuat oleh petani individu maupun kelompok mencapai 19 buah dengan kapasitas 22−53 m3, dan pada MK 1999 telah bertambah menjadi 61 buah. Keadaan ini menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknologi embung di lahan kering perbukitan kritis cukup baik.
KESIMPULAN DAN SARAN Sistem usaha tani konservasi telah diadopsi oleh petani kooperator di kawasan perbukitan kritis DIY yang tercermin dari perbaikan teras, peningkatan penanaman rumput penguat teras, baik di bibir teras maupun di tampingan, perbaikan saluran pembuangan air, bangunan terjunan air, dan rorak, peningkatan penggunaan pupuk kandang, dan penanaman leguminosa penutup tanah. Penerapan SUK pada lahan seluas 40 ha dan 100 ha di lahan perbukitan kritis dapat meningkatkan produktivitas lahan dan memperbaiki fisik lingkungan, yang ditunjukkan oleh menurunnya laju erosi dari 21,80 t/ha menjadi 11,10−20 t/ha, meningkatnya kesuburan tanah, dan meningkatnya pendapatan usaha tani. Usaha konservasi air dengan pembuatan embung berdampak positif terhadap diversifikasi tanaman bernilai 55
ekonomi tinggi dan menambah pendapatan usaha tani. Ternak merupakan bagian integral dari SUK. Penanaman rumput penguat teras dan penggunaan pupuk kandang merupakan sarana penting untuk mengendalikan erosi dan rehabilitasi lahan dan meningkatkan pendapatan petani.
Pemeliharaan sapi perah dalam pola SUK telah mendorong pengembangan SUK sapi perah oleh kooperator bekerja sama dengan swasta. Adopsi teknologi SUK pada petani nonkooperator telah pula terjadi, namun belum sebaik pada petani kooperator.
Untuk memasyarakatkan teknologi diperlukan sosialisasi dan peningkatan kemampuan sumber daya petani yang lebih intensif. Keberhasilan pengelolaan lahan kering perbukitan kritis di DIY dapat diacu untuk wilayah lain yang mempunyai agroekosistem serupa.
karya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 155−170.
Sukmana, S. 1995. Teknik konservasi tanah dalam penanggulangan degradasi tanah pertanian lahan kering. Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Cisarua-Bogor, 26− 28 September 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 1−22.
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Yogyakarta. 1997. Laporan Tahunan 1996/97. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Yogyakarta. 97 hlm. Hafif, B., M. Maswar, Suhardjo, Supriadi, dan A. Abas, Id. 1995. Potensi dan efektivitas beberapa teknik stabilisasi lahan pada kawasan perbukitan kritis Nawungan Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 171−184. Hudson, N. and T. Notohadiprawiro. 1983. Soil and Water Conservation. Composite Report of the Watershed Assessment Team. GOIUSAID. Vol. II Techn. App. III. 50 pp. Karama, A.S. dan A. Abdurachman. 1995. Kebijaksanaan nasional dalam penanganan lahan kritis di Indonesia. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 1−6. Maas, A.S. Nuryani, dan Tukijo. 1995. Usaha penanganan lahan kritis bukit kapur Rongkop dan Kasihan, Yogyakarta (Suatu tinjauan empiris). Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 85−91 Masbulan, E., R. Srinarni, dan E. Supratman. 1994. Makna orientasi pendekatan sosial ekonomi dalam proses alih teknologi dan pengembangan sistem usaha tani konservasi di wilayah perbukitan kritis DI Yogyakarta. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis DI Yogyakarta. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Yogyakarta. hlm. 134−151. Maswar, M., B. Hafif, A. Abas Id., dan E. Masbulan. 1995. Aplikasi rakitan teknologi stabilisasi lahan pada sistem usaha tani konservasi kawasan perbukitan kritis Kabupaten Gunung Kidul. Prosiding Loka-
56
Notohadiprawiro, T. 1978. Lahan Sumber Daya atau Serba Gatra dan Lingkungan Hidup Manusia. Jurusan Ilmu Tanah Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 38 hlm. Pramudia, A., G. Irianto, Nasrullah, E. Runtunuwu, B. Kartiwa, dan M. Suhardjo. 1994. Pedo-agroklimat DI Yogyakarta, Potensi dan kendalanya. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis (Bangun Desa II Komponen-8). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 95−115. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Survai Tanah Detil di Sebagian Wilayah DI Yogyakarta (Skala 1:50.000). Proyek LREP II, Part C. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. 137 hlm. Siswomartono, D., A.N. Ginting, K. Subagyono, and S. Sukmana. 1990. Development of conservation farming systems in Indonesia. Country review. Regional Action Learning Programme on the Development of Conservation Farming Systems. Report of the Inaugural Workshop, Chiangmai, Thailand, 23 Feb−1 March 1990. ASOCON Report (No. 2). Soekardi, M., A. Abas Id, A. Mulyani, dan R. Srinarni. 1996. Penelitian dinamika karakterisasi tanah dan ekosistem tanaman pada sistem usaha tani konservasi, YUADP, Yogyakarta. Prosiding Seminar Rekayasa Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi, Yogyakarta, 19−20 Januari 1996. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta (YUADP Komponen-8). Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 59−70. Suhardjo, M. Maswar, Supriadi, A.Abas Id., M. Thamrin, dan E. Masbulan. 1995. Peranan strip rumput dalam usaha tani konservasi di lahan perbukitan kritis Kulonprogo DI Yogyakarta. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 141−154.
Sunarminto, B.H. 1997. Evaluasi mikro DAS dan dampaknya di Kabupaten Gunung Kidul, Sleman, Bantul, dan Kulonprogo, Propinsi DIY. Kerja Sama dengan Proyek Pendukung Pengembangan Kawasan Perbukitan Kritis Propinsi DIY. Universitas Gadjah Mada. 37 hlm. Suryanto. 1995. Konservasi Kesuburan Tanah di Daerah Perbukitan Kritis untuk Pertanian Berkelanjutan. Prosiding Lokakarya dan Ekspose Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian, Yogyakarta, 17−19 Januari 1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 101−120. Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Usaha Tani Tanaman Semusim. Disertasi Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 240 hlm. Suwardjo, H., N.L. Nurida, dan Irawan. 1995. Langkah-langkah pengembangan usaha tani konservasi di wilayah perbukitan kritis DI Yogyakarta. Prosiding Seminar Hasilhasil Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis DI Yogyakarta. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Badan Litbang Pertanian. hlm. 47−58. Suwardjo, Hendiarto, B. Prawirodiputro, dan Z. Mahmud. 1997. Evaluasi kinerja dan dampak teknologi sistem usaha tani konservasi di perbukitan kritis. Seminar Teknologi Sistem Usaha Tani Konservasi Lahan Kering Kawasan Perbukitan Kritis Yogyakarta, 29 Desember 1997. Bagian Proyek Penelitian Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis, Kerja Sama Pemda. Prop. DIY dengan Badan Litbang Pertanian. 21 hlm. (belum dipublikasikan). World Bank. 1991. Staff Appraisal Report, Yogyakarta Upland Area Development Project. World Bank, Washington, DC. 133 pp.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(2), 2003