KAJIAN KEBERADAAN HUTAN MANGROVE: PERAN, DAMPAK KERUSAKAN DAN USAHA KONSERVASI ANITA ZAITUNAH, S. HUT Fakultas Pertanian Program Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara
A. PENDAHULUAN Indonesia membentang sejauh 5000 km dari Sumatra di bagian barat hingga Irian Jaya di bagian timur. Indonesia merupakan negara archipelago (nusantara) terbesar di dunia dengan luas teritorial daratan dan lautan kira-kira 7,7 juta km2, terdiri atas 17.500 pulau dengan garis pantai lebih dari 81.000 km. Hanya Kanada yang memiliki garis pantai yang lebih panjang dan itupun sebagian besar terkepung es, dengan begitu Indonesia memiliki garis pantai aktif yang potensial secara ekonomis yang terbesar di dunia. Hampir 75% dari wilayah terdiri dari perairan pesisir dan lautan termasuk 3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Parry, 1996). Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 60/kpts/DJ/I/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Darsidi, 1984). Indonesia yang memiliki pulau-pulau dan garis pantai yang panjang menunjukkan bahwa apabila hutan mangrove dikelola dengan baik dapat memberikan manfaat yang sangat besar secara lestari (Tjardana dan Purwanto, 1995). Hutan mangrove sebagai salah satu sumberdaya alam yang potensial telah lama diusahakan. Pada mulanya bentuk pemanfaatan oleh masyarakat pada hakekatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain dengan penebangan hutan mangrove untuk memperoleh kayu bakar, arang, daun-daun untuk atap rumah dan sebagainya; serta penangkapan ikan, udang dan jenis-jenis biota air lainnya. Dan perkembangan selanjutnya pemanfaatan ini berkembang ke arah bentuk pengusahaan yang bersifat komersial dan dilakukan secara besarbesaran, baik dalam bentuk pengusahaan hutan bakau yang dilakukan pada areal hutan yang tetap dengan pola yang teratur oleh perusahaan perkayuan maupun untuk usaha pertambakan yang makin bertambah meluas. Disamping itu dengan adanya pertambahan penduduk yang main meningkat, bentuk pemanfaatan tidak saja dilakukan terhadap hasil yang diperoleh dari hutan tersebut, tetapi malah berkembang ke bentuk pemanfaatan lahannya sendiri untuk usaha-usaha lainnya seperti untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman. Dengan semakin lajunya pemanfaatan hutan mangrove yang terkait pada berbagai sektor usaha, maka segala bentuk pemanfaatan ini kemudian diatur dan dikelola secara sektoral (departemental). Pada saat ini penataan mangrove belum dilakukan secara keseluruhan. Selain itu adalah demografi belum terkendali dan dinamika hutannya sendiri belum diungkapkan secara, maka sampai sekarang kegiatan-kegiatan yang 2002 digitized by USU digital library
1
ada masih berjalan sendiri-sendiri baik yang dilakukan oleh instansi yang berkepentingan maupun oleh masyarakat terutama penduduk yang berdekatan dengan kawasan hutan mangrove.1 Hutan mangrove yang merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut, sudah sejak lama diketahui mempunyai fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Sudah lebih dari seabad hutan mangrove diketahui memberi manfaat pada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu sebagai sumber penghasil kayu bakar dan arang, bahan bangunan, bahan baku pulp untuk pembuatan rayon, sebagai tanin untuk pemanfaatan kulit, bahan pembuat obat-obatan, dan sebagainya. Secara tidak langsung hutan mangrove mempunyai fungsi fisik yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan tebing sungai dari pengikisan atau erosi, menahan dan mengendapkan lumpur serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lain adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan pakan makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan dan berbagai biota laut. Juga berbagai habitat satwa terbang, seperti burung-burung air, kelelawar dan berbagai habitat primata seperti bekantan yang bersifat endemik di Kalimantan, kemudian jenis-jenis lutung maupun monyet. Mangrove juga merupakan habitat bagi reptilia seperti buaya, biawak dan banyak jenis insekta.2
1
Dikutip dari intisari Seminar IV Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990 Pengarahan Menteri Kehutanan, Dr. Soedjarwo pada Seminar III Ekosistem Mangrove, Denpasar 5-8 Agustus 1986
2
2002 digitized by USU digital library
2
B. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DAN PERANANNYA
Hutan mangrove ialah hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Egiceras, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1987). Ekosistem mangrove menduduki lahan pantai zona pasang surut, di laguna, estuaria, dan endapan lumpur yang datar. Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Kompleks, karena di dalam hutan mangrove dan perairan/tanah di bawahnya merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Dinamis, karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh. Labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Ekosistem mangrove merupakan ekoton (daerah peralihan) yang unik, yang menghubungkan kehidupan biota daratan dan laut. Fungsi ekologis ekosistem mangrove sangat khas dan kedudukannya tidak terganti oleh ekosistem lainnya. Misalnya, secara fisik hutan mangrove berfungsi menjaga stabilitas lahan pantai yang didudukinya dan mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Secara biologis, hutan mangrove mempertahankan fungsi dan kekhasan ekosistem pantai, termasuk kehidupan biotanya. Misalnya: sebagai tempat pencarian pakan, pemijahan, asuhan berbagai jenis ikan, udang dan biota air lainnya; tempat bersarang berbagai jenis burung; dan habitat berbagai jenis fauna. Secara ekonomis, hutan mangrove merupakan penyedia bahan bakar dan bahan baku industri (Nugroho, Setiawan dan Harianto, 1991). Selain tumbuhan, banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian dari daur hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Jenis ini terutama Crustaceae, Mollusca dan ikan. Hal ini menunjukkan pentingnya mangrove bagi kehidupan binatang (Atmawidjaja, 1987). Hutan mangrove mempunyai multifungsi yaitu fungsi hayati, fungsi fisik dan fungsi kimiawi. Sebagai penyumbang kesuburan perairan sudah tidak bisa disangkal lagi karena kawasan hutan mangrove merupakan perangkap nutrisi dan bahan organik yang terbawa aliran sungai dan rawa. Bahan organik mengalami penghancuran oleh fauna hutan mangrove dan selanjutnya proses dekomposisi oleh jasad renik menjadi berbagai senyawa yang lebih sederhana. Bersama dengan nutrisi yang dibawa sungai, bahan tersebut diserap oleh tumbuh-tumbuhan (Suwelo dan Manan, 1986). Secara fisik, hutan mangrove mempunyai peranan sebagai benteng atau pelindung bagi pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut. Hutan mangrove dapat diandalkan sebagai benteng pertahanan terhadap ombak yang dapat merusak pantai dan daratan pada keseluruhannya (Abdullah, 1984).
2002 digitized by USU digital library
3
C. HUTAN MANGROVE, PENDUDUK, EKONOMI DAN KONSERVASI Sebagian masyarakat menganggap hutan mangrove adalah daerah tidak berguna, sarang nyamuk, sarang hama dan bibit penyakit dan kumuh (Ch. Endah Nirarita, 1993). Karena anggapan tersebut, maka hutan mangrove kurang berkembang dan cenderung menyusut bahkan menuju kepunahan. Hal ini disebabkan karena peranan hutan mangrove tidak dapat diungkapkan secara obyektif dan komprehensif. Mekanisme ekonomi hanya menampung peranan hutan mangrove yang bisa melewati pasar dan memilih manfaat yang dapat diberi nilai uang (Emil Salim, 1986; Hadipurnomo, 1995). Hutan mangrove yang dahulu dianggap sebagai hutan yang kurang mempunyai nilai ekonomis, ternyata merupakan sumberdaya alam yang cukup berpotensi sebagai sumber penghasil devisa serta sumber mata pencaharian bagi masyarakat yang berdiam di sekitarnya (Darsidi, 1984). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa akhir-akhir ini terlihat gangguangangguan yang cenderung dapat mengancam kelestarian hutan dan mengubah ekosistem mangrove menjadi daerah-daerah pemukiman, pertanian, perluasan perkotaan dan lain sebagainya. Faktor utama penyebab gangguan ini adalah perkembangan penduduk yang pesat dan perluasan wilayah kota (Darsidi, 1984). Agaknya sudah dapat diraba bahwa mati hidupnya ekosistem hutan mangrove amat bergantung pada bentuk aktivitas manusia. Dengan masuknya teknologi, keterbatasan kemampuan manusia dapat ditopang, sehingga kedudukan ekosistem hutan mangrove (dan ekosistem lainnya) berada pada titik kritis. Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam mengelola hutan mangrove hendaknya jangan hanya melihat nilai ekonominya saja dengan maksud agar cepat menghasilkan tanpa melihat kerugian dalam jangka panjang, akan tetapi juga harus memperhitungkan nilai-nilai sosial budaya dan kelestarian (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Gangguan yang cukup besar terhadap hutan mangrove dapat menimbulkan erosi pantai, karena perlindungan yang diberikan oleh pohon-pohon mangrove sudah lenyap. Pantai pesisir akan berkurang dan tinggallah pantai sempit yang terdiri dari pasir atau kolam-kolam asin yang tak dapat dihuni. Maka pusat-pusat pemukiman pantai makin mudah diserang topan dan air pasang (Hadipurnomo, 1995). Pengrusakan serta pengurangan luas hutan mangrove di suatu daerah akan mengakibatkan terjadinya penurunan produktivitas perikanan (terutama udang) di perairan sekitar daerah tersebut (Naamin, 1988). Usaha-usaha pelestarian yang harus dikembangkan adalah: 1. Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi, hendaknya dengan melihat prioritas sebagai berikut: a Hutan mangrove yang berdekatan dengan muara sungai b Hutan mangrove yang berdekatan dengan daerah penangkapan ikan ataupun daerah pengeringan ikan c Hutan mangrove yang berdekatan dengan pemukiman dan industri d Hutan mangrove yang merupakan penyangga mutlak terhadap bahaya erosi maupun banjir e Hutan mangrove yang mempunyai tumbuhan muda yang rapat f Hutan mangrove yang terdapat di suatu pulau 2002 digitized by USU digital library
4
2. Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat langsungnya 3. Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang rasional.3
D. LINGKUP PENELITIAN DAN KAJIAN TENTANG HUTAN MANGROVE Penelitian mengenai hutan mangrove di Indonesia perlu ditingkatkan dengan memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan, antara lain: a Penelitian multidisiplin tentang sifat biologi, geografi dan fisik hutan mangrove serta hubungan timbal balik dengan lingkungan b Penelitian sosial ekonomi, antara lain masalah penduduk sekitar hutan mangrove, dan teknologi pemanfaatannya, termasuk pemanfaatan secara tradisional c Penelitian mengenai kecenderungan permintaan atas produk hutan mangrove d Penelitian mengenai aspek geografi hutan mangrove untuk bahan pertimbangan penunjukan sebagai kawasan konservasi alam e Penelitian untuk menelaah pelaksaan kebijaksanaan mengenai hutan mangrove (Suwelo dan Manan, 1986). Disarankan prioritas utama penelitian diletakkan pada kegiatan inventarisasi, meliputi pemetaan, distribusi, pendugaan luas dan identifikasi tipe hutan. Penelitian terapan perlu dipusatkan pada penelitian silvikultur, metode peremajaan dan produktivitas. Di bidang sosial perlu diteliti pemanfaatan tradisional, tata guna lahan dan pemilikan, analisis “cost-benefit” jangka panjang yang berkaitan dengan perubahan lingkungan akibat kegiatan manusia (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Kartawinata dkk. (1979) mengemukakan bahwa ekosistem hutan mangrove di Indonesia sudah banyak diteliti orang. Akan tetapi, penelitian-penelitian yang dilakukan orang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri. Jarang atau dapat dikatakan tidak ada pendekatan penelitian pada tingkat ekosistem yang dilakukan secara terpadu. Terlihat bahwa penelitian yang berjalan sendiri-sendiri kurang dapat dipakai sebagai dasar kebijaksanaan (Budiman, Kartawinata dan Soerianegara, 1984). Bermacam-macam karakter dari ekosistem mangrove di daerah pantai sekarang telah diketahui dengan baik di Indonesia. Namun, manajemen dan pemanfaatan sumberdaya ini hingga kini memiliki dasar ilmiah yang sangat sedikit. Burbridge dan Koesoebiono (1980) yakin bahwa strategi pengembangan yang sekarang dari sumberdaya mangrove di Indonesia telah didasarkan pada informasi yang terbatas dan tidak lengkap (Soemodihardjo dan Soerianegara, 1989).
3
dikutip dari intisari hasil Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturaden 3-5 Agustus 1982
2002 digitized by USU digital library
5
PENUTUP Sebagai hutan yang memiliki peranan yang sangat penting, hutan mangrove memerlukan perhatian yang serius dari berbagai pihak. Setiap kebijaksanaan yang diambil harus diputuskan dengan cermat melalui suatu penelitian yang terpadu. Penelitian dalam usaha pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove biasanya terbentur oleh data yang sudah lama dan informasi yang tidak lengkap, ataupun informasi yang sebenarnya lengkap namun terpisah-pisah. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem informasi yang dapat merangkum informasi menjadi suatu sistem informasi yang terpadu, yang datanya mudah diperbaharui sejalan dengan perubahan waktu dan mampu memberikan informasi yang lengkap untuk pengelolaan hutan mangrove yang terencana dan mantap. Usaha-usaha pelestarian hutan mangrove harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan peran hutan mangrove itu sendiri bagi kelestariannya dan kehidupan masyarakat di sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, 1984. Pelestarian dan Peranan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Atmawidjaja, R. 1987. Konservasi dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Budiman, A., K. Kartawinata dan I. Soerianegara. 1984. Arah Penelitian Hutan Mangrove di Indonesia sebagai Dasar Kebijaksanaan Pengembangan dan Pengelolaannya dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Darsidi, A. 1984. Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Prosiding Seminar II Ekosistem Mangrove. Proyek Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di dalam Mintakat Pantai (Coastal Zone). Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta. Naamin, N. 1988. Masalah Pengelolaan Perikanan Laut di Pantai Timur Sumatera dalam kaitannya dengan Perubahan Lingkungan dalam Coastal Zone Environmental Planning in the Strait of Malacca, Lokakarya Perairan Pantai Perencanaan Lingkungan untuk Selat Malaka, Palembang, Indonesia 7-9 Juni 1988. F. Sjarkowi, W. J. M. Verheugt dan H. J. Dirschl (ed.). Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan, Development of Environmental Study (DESC) Project UNDP/IBRD/GOI. Palembang.
2002 digitized by USU digital library
6
Nugroho, S. G., A. Setiawan dan S. P. Harianto. 1991. “Coupled Ecosystem SilvoFishery” Bentuk Pengelolaan Hutan Mangrove-Tambak yang Saling Mendukung dan Melindungi dalam Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Panitia Nasional Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta. Parry, D. E. 1996. Strategi Nasional untuk Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia dalam Lokakarya “Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia, Jakarta, 26-27 Juni 1996. Proyek Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove di Sulawesi, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Soemodihardjo, S and I. Soerianegara. 1989. The Status of Mangrove Forest in Indonesia in Symposium on Mangrove Management: Its Ecological and Economic Considerations, Bogor, Indonesia, August 9-11, 1988. Biotrop Special Publication No. 37/1989. Bogor. Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove dalam Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Proyek Penelitian Lingkungan Hidup-LIPI. Jakarta. Suwelo, I. S. dan S. Manan. 1986. Jalur Hijau Hutan Mangrove sebagai Wilayah Konservasi Daerah Pantai dalam Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. I. Soerianegara, S. Hardjowigeno, N. Naamin, M. Soedomo, A. Abdullah (ed.). Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Jakarta Tjardana dan E. Purwanto. 1995. Hutan Mangrove Indonesia, terjemahan bebas dari “Indonesian Mangrove Forest” publikasi Departemen Kehutanan. Duta Rimba/Maret-April/177-178/XXI/1995. Perum Perhutani. Jakarta.
2002 digitized by USU digital library
7