HUTAN DAN PENGEMBANGAN WILAYAH: Sebuah Kajian Dampak Pembangunan Terhadap Keberadaan Hutan di Halmahera Utara Oleh Radios Simanjuntak S.Hut. ABSTRACT Actually development means to grow human welfare, but it is a pity that the development mindset is usually focus on the economic aspect only and deny the environmental and social aspect. Indonesian history noted that the way to think the forest as a green gold and deny the traditional wisdom in managing the natural resources had been destroyed the Indonesian forest rapidly. North Halmahera is a rich regency that has many natural resources, such as forest on the ground and valuable minerals in the ground. The natural resources are potentially functioned as an important capital to develop the community welfare, but managing the natural resources in a wrong way by denying the ecological and the social aspects would bring disaster to the region, especially to the community. This article writes about the idea of sustainable development and its history, the development in North Halmahera Regency and its impact to the sustainable forest. Pengembangan wilayah merupakan upaya untuk membangun suatu daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menghuni wilayah/daerah tersebut. Istilah lain yang umumnya digunakan adalah pembangunan. Pengembangan atau pembangunan wilayah sering ditafsirkan sebagai tujuan dari segalanya, yang mampu menyelesaikan segala permasalahan. Kemiskinan, pengangguran, dan dimensidimensi keterbelakangan sosial, budaya dan semua pola kemasyarakatan, dijadikan sebagai agendaagenda pembangunan. Paham seperti ini kemudian melahirkan berbagai persoalan rumit di berbagai negara berkembang karena. seringkali menerapkan model-model pembangunan di negara maju untuk negaranya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat situasional dan kondisional.. Pemaknaan pengembangan wilayah yang hanya berorientasi pembangunan infrastruktur fisik dan perekonomian belaka akan mengorbankan sisi sosial kemasyarakatan yang cenderung dipandang sebagai objek, serta terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Sejarah telah membuktikan bahwa pembangunan yang hanya berorientasi ekonomi telah menghancurkan sendi-sendi kearifan lokal masyarakat. Sisi tradisional dianggap sebagai sesuatu yang identik dengan ketertinggalan atau kampungan. Sementara itu fakta menunjukkan pemanasan global (global warming) telah mencapai tingkat yang sangat menghawatirkan dengan mencairnya sejumlah gunung es di kutub utara yang telah nyata menaikkan ketinggian air laut dan menenggelamkan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Semua hal ini merupakan dampak nyata dari kekeliruan mindset pembangunan kita. Sejarah Pembangunan Berkelanjutan Pada tahun 1972 di Stocholm, Swedia, diadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup pertama di tingkat dunia yang dihadiri oleh berbagai pemimpin negara yang mulai menyadari dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan hidup. Salah satu implikasi politis dari konferensi ini di Indonesia adalah dibentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup pada Kabinet Pembangunan III tahun 1978, yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim. Sejak saat itu masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup menjadi salah satu agenda nasional yang mulai diperhatikan. Kongres Kehutanan Sedunia ke-VIII diselenggarakan pada tanggal 16-28 Oktober 1978 di Jakarta bertemakan “Forest for People” dihadiri oleh 102 negara dan 19 organisasi internasional. Dalam kongres ini ditegaskan bahwa hutan di seluruh dunia harus dibina atas dasar kelestarian,
demi kesejahteraan umat manusia. Sebuah pernyataan politik yang sangat simpatik, tapi tidak diikuti program aksi yang mengarah pada ikrar kongres tersebut. Dampak kongres ini baru terlihat pada tahun 1985, ketika ekspor kayu gelondongan (log) dilarang. Pelarangan ini sebenarnya lebih bertujuan meningkatkan nilai tambah kayu. Ekspor besarbesaran kayu gelondongan sejak Pelita I sampai Pelita III (1969-1984) merupakan penghasil devisa kedua setelah minyak bumi. Pada saat itu, belum muncul isu yang menyangkut aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan atau masyarakat tradisional (indigenous people). Masalah ini baru muncul pada paruh tengah dekade 1980-an dan selanjutnya bergema terus hingga puncaknya muncul pada KTT Bumi. “Meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own need”, merupakan definisi pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan di Rio de Janeiro, Brazil, pada United Nations Conference on Environmental and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) pada tanggal 3-4 Juni 1992. Konsep pembangunan tidak lagi bertumpu pada salah satu aspek, seperti pada pembangunan yang lebih memusatkan perhatian kepada aspek ekonomi. Tetapi memandang pembangunan dalam konsep yang integral memuat tiga aspek yang dituju, yakni aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial budaya. KTT Bumi menghasilkan tiga buah kesepakatan yang kemudian dinamakan Kesepakatan Rio, yaitu: 1. Deklarasi Rio 2. Konvensi Perubahan Iklim 3. Konvensi Keanekaragaman Hayati Di Indonesia, hasil-hasil KTT Bumi, terutama Konvensi Keanekaragaman Hayati, ditindaklanjuti dengan penetapan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagai penanggung jawab dalam penyiapan strategi di tingkat kebijakan (Bappenas yang bertanggungjawab menyiapkan rancang tindak) sementara Departemen Kehutanan bertanggung jawab di tingkat operasional, yaitu pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan-kawasan konservasi dan Departemen Pertanian bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati pertanian. Akhirnya pada tahun 1993, Bappenas berhasil menerbitkan dokumen “Biodiversity Action Plan for Indonesia”. Sejarah Kehutanan Nasional Indonesia Karakteristik perizinan usaha kayu masa Presiden Soekarno diawali oleh penyerahan sebagian urusan pemerintah pusat kepada daerah di bidang pemangku hutan dan eksploitasi hutan. Karakteristik tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan otonomi daerah seluas-luasnya dengan diterbitkannya UU No.1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan PP No.64 Tahun 1957 tentang Penyerahan Sebagian dari Urusan Pemerintahan Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah Swantantra Tingkat I. Eksploitasi Hutan yang diatur dalam PP No.64 Tahun 1957 tersebut memiliki dua karakteristik. Pertama, pemerintah daerah di Pulau Jawa dan Madura dapat menyelenggarakan sendiri praktik eksploitasi hutan di daerahnya. Kedua, praktik eksploitasi hutan di luar Pulau Jawa dan Madura yang belum dapat dilakukan sendiri oleh Pemerintah Daerah dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan surat izin. Kedua karakteristik tersebut didasarkan atas pertimbangan keterbatasan sumber daya manusia lokal di luar Pulau Jawa dan Madura dalam melakukan kegiatan eksploitasi hutan. (Greenomics Indonesia, 2004) Sejak pemerintahan Orde Baru (1967-1998) semakin memantapkan usahanya dalam pembangunan ekonomi, maka berubah pulalah pola manajemen hutan. Pertama, perubahan itu disebabkan oleh Undang-undang Pokok Penanaman Modal Asing (UU no.1/1967), dan kedua, Undang-undang Pokok Kehutanan (UU no.5/1967). Dua undang-undang ini membuka peluang bagi pembalakan hutan secara besar-besaran dengan menggunakan teknologi yang paling maju pada saat itu dan dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia bekerjasama dengan tenaga kerja asing. Dalam
manajemen sumber daya hutan, kemudian diberlakukan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada badan-badan usaha yang memenuhi syarat. Pada akhir September 1999, Indonesia, dibawah pimpinan Presiden B.J. Habibie kala itu, mengeluarkan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berparadigma pada upaya menuju optimalisasi pemanfaatan hutan. Karakter ini memang berbeda signifikan dengan UU No.5 Tahun 1967 yang berparadigma maksimalisasi ekonomi kayu. (lih. Effendi, Elfian et al. 2004). Kawasan Hutan di Kabupaten Halmahera Utara dan Propinsi Maluku Utara a. Luas Kawasan Hutan Dalam penetapan luas kawasan hutan dan perairan, hingga saat ini belum ada Penunjukan Kawasan Hutan khusus Provinsi Maluku Utara, sehingga masih mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 415/Kpts-II/1999 Tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Maluku yang kemudian dibagi berdasarkan kabupaten/kota dalam wilayah Propinsi Maluku Utara yang dibagi antara lain Cagar Alam, Hutan Lindung, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Konversi dan Areal Penggunaan Lain (APL). Pembagian hutan per kabupaten/kota sebagaimana tersebut di atas lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Luas Kawasan Hutan Propinsi Maluku Utara berdasarkan Kepmen No.415/Kpts/1999 Tahun 1999.
No
1 2 3 4 5 6 7 8
Kabupaten/ Kota Kab.Halmahera Utara Kab.Halmahera Tengah Kab.Halmahera Timur Kab.Halmahera Barat Kab.Halmahera Selatan Kab.Kepulaun Sula Kota Ternate Kota Tidore Kepulaun Jumlah
Hutan PPA Cagar Alam (HPPA/C A)
Hutan Lindung (HL)
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Hutan Produk si (HP)
Hutan Konver si (HK)
Areal Penggunaan Lain (APL)
Jumlah
-
145.500
111.000
26.250
189.100
64.750
536.600
-
26.750
65.250
23.250
80.000
15.250
210.500
-
177.500
178.000
79.750
117.250
57.000
609.500
-
79.500
27.250
4.250
96.250
39.250
246.500
38.500
105.750
229.250
185.000
244.525
74.750
877.775
9.500
44.750
34.250
175.350
167.250
45.000
476.100
-
2.500
-
-
13.000
-
15.500
-
101.500
34.000
3.750
49.250
23.750
212.250
48.000
683.750
679.000
497.600
956.625
319.750
3.184.725
(Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005)
b. Realisasi Penataan Batas Kawasan Realisasi penataan batas kawasan hutan Propinsi Maluku Utara sampai dengan akhir tahun 2005 telah mencapai 5.034,62 Km, sedangkan kawasan hutan yang belum ditata batas ± 867 Km (Berdasarkan TGHK tahun 1996, belum diperhitungkan terhadap perubahan adanya Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi serta penunjukan Taman Nasional Aketajawe Lolobata) Pada tahun 2005 pelaksanaan penataan batas kawasan hutan sepanjang 48,29 Km. Disamping itu juga dilakukan rekonstruksi batas sepanjang 90 Km dan orientasi batas sepanjang 256,21 Km.
Tabel 2. Pelaksanaan Tata Batas Kawasan Hutan Kabupaten Halmahera Utara sampai dengan Tahun 2005 NO
Kelompok Hutan 114.170 56.125
Panjang (Km) 117.10 100,81
HL HL HL HL HP/HPT
298.00 3,99 38.878,84
14,51 15,00 35.26 18,00 50,20
P.Morotai 2
HP/HPT
38.878,84
109,58
Tg Jojefa Ake Ngabengan G. Tolu-tolu
HP/HPT HP/HPT HP/HPT
Nama
1 2
G. Pangeo Sabatai
3 4 5 6 7
P. Rau P. Dagasuli G. Posawane Gurukumu P.Morotai 1
8 9 10 11
Fungsi HL HL
Luas (Ha)
136,92 91,35 85,54
No. dan Tanggal SK Penunjukan
Penetapan 325/Kpts-II/78, Tgl 19-10-78
535/Kpts-II/97, Tgl 20-08-97 535/Kpts-II/97, Tgl 20-08-97
c. Kawasan Hutan yang belum di tata batas Kawasan hutan yang belum di tata batas di Propinsi Maluku Utara sampai dengan tahun 2005 sepanjang 867 Km, dimana 465 Km diantaranya terdapat di Pulau Halmahera dengan rincian Hutan Lindung 307 Km, Hutan Produksi 55 Km dan Hutan Produksi Terbatas 103 Km. d. Penutupan Lahan/Vegetasi Penutupan lahan/vegetasi adalah kondisi permukaan bumi yang menggambarkan kenampakan penutupan lahan dan vegetasi. Penafsiran untuk penutupan lahan/vegetasi di bagi ke dalam tiga klasifikasi utama yaitu Hutan, Non Hutan dan Tidak Ada Data, yang kemudian masingmasing diklasifikasikan lagi secara lebih detail menjadi Klasifikasi Hutan seperti hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder dan hutan tanaman, Klasifikasi Non Hutan seperti semak/belukar, belukar rawa, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan, pemukiman, pertanian lahan kering, rawa, savana, sawah, tanah terbuka, tambak, transmigrasi, pertambangan dan bandara, serta Klasifikasi Tidak Ada Data terdiri dari tertutup awan dan tidak ada data. Keadaan penutupan lahan/vegetasi Indonesia diperoleh dari hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 TM+ secara lengkap menggunakan data liputan tahun 1999-2001 (Statistik Kehutanan Indonesia 2003 dalam Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005). Berdasarkan hasil penafsiran tersebut, total daratan Propinsi Maluku Utara yang ditafsir adalah seluas 3.164.000 Ha. Kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan : 1.701.000 Ha (54%) Non Hutan: 740.000 Ha (23%) Tidak Ada Data : 723.000 Ha (23%) Khusus di dalam kawasan hutan, kondisi penutupan lahannya seluas 2.836.000 Ha sebagai berikut : Hutan : 1.607.000 Ha (57%) Non Hutan: 565.000 Ha (20%) Tidak Ada Data : 664.000 Ha (23%)
e. Lahan Kritis Luas lahan kritis di Kabupaten Halmahera Utara dan kabupaten/kota lainnya di Propinsi Maluku Utara pada tahun 2005 adalah: No Kabupaten/ Kota Luas Lahan Kritis (Ha) 1 Kab.Halmahera Utara 261.518 2 Kab.Halmahera Tengah 86.666,5 3 Kab.Halmahera Timur 206.138,5 4 Kab.Halmahera Barat 96.657,5 5 Kab.Halmahera Selatan 360.622 6 Kab.Kepulaun Sula 270.022,5 7 Kota Ternate 11.812,25 8 Kota Tidore Kepulaun 66.150,5 Jumlah 1.359.587,75 (Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005) f. Inventarisasi Hutan Inventarisasi hutan adalah kegiatan untuk mengetahui potensi hutan berupa flora, fauna dan sumberdaya manusia dan sosial ekonomi serta potensi budaya masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan. Pada tahun 2005, Dinas Kehutanan melakukan pemeriksaan pelaksanaan inventarisasi yang dilaksanakan oleh pemegang izin IUPHHK, potensi dan jenis vegetasi dominan untuk diameter 50 cm ke atas untuk Kabupaten Halmahera Utara adalah: No
Jenis Dominan
1 2 3 4 5 6 7
Binuang (Octomeles sumatrana) Nyatoh (Palaquium sp.) Horo Mersawa (Anisoptera costata Korth) Nanari (Canarium sp.) Bugis (Koordersiodendron pinnatum Merr) Bintangur (Callophillum sp.)
Volume Ratarata per Ha 21 18,82 11,65 8,69 6,16 5,97 4,89
(Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005) Pembangunan berbagai sektor terkait kondisi hutan di Kabupaten Halmahera Utara A. Sektor Kehutanan a. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Berdasarkan Peta Situasi Lingkup Kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Utara diketahui bahwa di Halmahera Utara terdapat tiga ijin IUPHHK (HPH), yakni: No Nama Izin Usaha Luas di Halut Nomor Ijin Masa Ijin PT. Widuri Utama 30.128,5 SK MENHUT 29 Oktober 1992 – 1 Timberindo (SK.35.000 Ha) NO.1016/KPTS-II/1992 29 Oktober 2012 PT. Nusaniwe Indah 56.077,10 Ha SK MENHUT 18 Oktober 2004 – 2 (SK.73.500 Ha) NO.410/MENHUT-II/2004 18 Oktober 2044 PT. Tunas Pusaka 17.549,43 Ha SK MENHUT 2006 - 2051 3 Mandiri (SK.24.430 Ha) NO.351/MENHUT-II/2006 Dari hasil diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Utara, Bapak Yesaya Cie SP, diketahui bahwa meskipun izin operasional perusahaan tersebut di atas masih aktif, namun saat ini kegiatan operasional perusahaan di lapangan terkait pengusahaan kayu sudah
berhenti yang dimungkinkan oleh kondisi krisis perekonomian global yang berdampak pada sektor kehutanan. b. Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) Berdasarkan Peta Situasi Lingkup Kerja Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Utara diketahui bahwa di Halmahera Utara terdapat dua izin IPK, yakni IPK Pugaga dan IPK Porimoi, namun saat ini IPK yang masih aktif adalah IPK Pugaga yang terletak di Desa Supu. Terkait dengan pengelolaan Izin Pemanfaatan Kayu yang berlaku di Indonesia, harus diakui bahwa banyak praktek IPK di lapangan yang tidak sesuai dengan konsep IPK itu diberikan. Dalam banyak kasus di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Propinsi Maluku Utara, IPK yang pada dasarnya merupakan upaya untuk pelaksanaan pembangunan baik perkebunan maupun transmigrasi seringkali tidak direalisasi. Sejumlah IPK yang peruntukanya sebagai perkebunan misalnya, seharusnya melaksanakan pembangunan perkebunan sebagaimana izin yang diajukan oleh badan usaha (kelompok tani), namun pada kenyataannya seringkali yang dilaksanakan hanyalah pengambilan log (kayu bulat) yang dibutuhkan saja, tanpa dilakukan land clearing untuk kemudian dijadikan areal perkebunan. Acapkali pengelola IPK hanyalah memberikan bibit tanaman kepada masyarakat sebagai formalitas belaka, sementara bibit-bibit tersebut ditanam masyarakat dikebun mereka masing-masing, bukan pada areal IPK itu sendiri. Ada pendapat sebagian kalangan yang mendukung kegiatan IPK walaupun menyadari praktek menyimpang yang terjadi. Pemikiran bahwa IPK memberikan keuntungan ekonomi lebih besar dan lebih cepat kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat, dibandingkan HPH yang izinnya dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan dominan menguntungkan pemerintah pusat. Pendapat tersebut di atas sebenarnya tidaklah salah sepenuhnya, karena bagaimanapun memang IPK digagas oleh masyarakat dalam suatu wadah kelompok tani yang difasilitasi oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan izin IPK, untuk kemudian secara teknis dilaksanakan oleh perusahaan yang memiliki alat-alat berat (biasa disebut kontraktor). Artinya secara ekonomi, keuntungan lebih besar dan lebih cepat dirasakan oleh masyarakat kelompok tani dan pemerintah daerah, namun hal ini tentunya tidak boleh menjustifikasi (membenarkan) praktek IPK yang hanya mengambil kayu bulat belaka tanpa realisasi perkebunan misalnya jika peruntukannya untuk itu. Para pengambil kebijakan, aparat penegak hukum dan pecinta lingkungan khususnya yang berada di Kabupaten Halmahera Utara tentunya tidak boleh menutup mata jika praktek seperti ini terjadi di daerah kita. Pemberian izin perpanjangan IPK oleh para pengambil kebijakan tanpa evaluasi objektif terhadap realisasi peruntukan IPK (semisal perkebunan) pada dasarnya adalah melegalkan praktek pengusahaan hutan yang ilegal. c. Izin Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) Izin Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) lingkup Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara sampai dengan akhir tahun 2005 terdapat 25 IPKH. Adapun IPKH yang terdapat di Kabupaten Halmahera Utara adalah: SK IPKH Kapasitas (M3) No Nama IPKH Keterangan Nomor Tanggal Terpasang Produksi 1 PT. Raja Ampat 204/Kpts/2005 07-10-2005 5.000 SK Gubernur 2 CV. Mitra Sapta 223/Kpts/2005 18-10-2005 5.200 SK Gubernur 3 CV.Mitra 231/Kpts/2005 14-11-2005 6.000 SK Gubernur Multiguna Mandiri 4 CV. Grand Intim 236/Kpts/2005 18-11-2005 6.000 SK Gubernur 5 CV. Tiga Putra 369/Kpts/2005 23-12-2005 6.000 SK Gubernur Tobelo (Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005)
Terkait dengan bahan baku bagi Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH), maka perlu kiranya dicermati bahwa sumber bahan baku kayu bulatnya harus berasal dari penebangan hutan yang legal serta sesuai dengan daya dukung sumber daya alam hutan yang ada. Pemegang IPKH wajib untuk menyusun Rencana Pemenuhan Bahan baku Industri (RPBI) setiap tahunnya, yang didasarkan pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan bahan baku dari hasil penebangan yang sah. (Greenomics, 2009). d. Produksi Kayu Bulat (Log) Pada tahun 2005 Provinsi Maluku Utara diberikan jatah tebang oleh Departemen Kehutanan sebesar 220.000 m3. Dari jumlah tersebut dibagi kepada 12 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dengan realisasi produksi sebesar 289.371,77 m3 sedangkan realisasi produksi pada Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar 275.829,30 m3.sehingga pada tahun 2005 produksi kayu bulat sampai dengan 31 Desember adalah sebsar 565.201,07 m3. Adapun produksi kayu bulat untuk Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten/Kota lainnya di Maluku Utara adalah seperti berikut di bawah: No
Kabupaten / Kota
2004
Rencana Realisasi 1 Halmahera Utara 47.329,27 21.869,96 2 Halmahera Barat 42.933,27 6.625,14 3 Halmahera Tengah 74.767,26 6.359,28 4 Halmahera Timur 329.002,63 47.554,12 5 Halmahera Selatan 115.960,26 243.883,64 6 Ternate 7 Kepulauan Sula 420.629,80 93.131,87 8 Tidore Kepulauan 18.871,35 4.792,15 JUMLAH 1.049.493,84 424.216,16 (Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005)
2005
Rencana 74.828,34 90.674,01 172.365,26 50.577,58 388.445,19
Realisasi 77.690,91 5.875,62 42.605,68 84.630,12 248.902,28 105.496,46 565.201,07
e. Kayu Olahan Produksi kayu olahan untuk Kabupaten Halmahera Utara dan Kabupaten/Kota lainnya di Maluku Utara adalah seperti berikut di bawah: Kabupaten / Kota 2004 (m3) Halmahera Utara 202,11 Halmahera Barat 119.577,65 Halmahera Tengah 61,8 Halmahera Timur 188,9 Halmahera Selatan 17.063,34 Ternate 3,59 Kepulauan Sula 109.870,48 Tidore Kepulauan JUMLAH 246.967,86 (Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara, 2005) No 1 2 3 4 5 6 7 8
2005 (m3)
177,18 80.932,97 0 2.266,4 20.236,78 3.492,83 66.713,54 329,35 174.149,07
f. Hasil Hutan Non Kayu Pada masa lalu paradigma pembangunan sektor kehutanan hanya berorientasi pada hasil hutan kayu karena dianggap lebih mudah, lebih cepat dan lebih besar mendatangkan keuntungan, namun kenyataannya orientasi pemanfaatan hutan pada kayu telah berdampak pada kerusakan
hutan. Saat ini dan kedepannya paradigma pemanfaatan hasil hutan haruslah diperluas pada hasil hutan non kayu guna lebih menjamin kelestarian hutan. Harus diakui bahwa masih sangat sedikit potensi hasil hutan non kayu yang dikembangkan dalam suatu skala usaha, bahkan masih banyak potensi hasil hutan non kayu yang belum diketahui, seperti sumber bahan obat-obatan dari berbagai jenis tanaman hutan. Semuanya membutuhkan upaya untuk mengeksplorasi lebih banyak hasil hutan non kayu, dan hal ini hanya akan terjadi jika ada kemauan untuk tidak hanya memanfaatkan hasil hutan secara pragmatis, dari kayu. Produksi Hasil Hutan Non Kayu di Kabupaten Halmahera Utara terbilang sangat sedikit, paling tidak hal ini bisa dilihat dari data yang dihimpun oleh Dinas Kehutanan Propinsi Maluku Utara tahun 2005 bahwa di Kabupaten ini hanya tercatat produksi dua jenis hasil hutan non kayu, yakni rotan sebesar 72,43 ton dan damar/kopal sebanyak 45 ton. B. Sektor Pertambangan Pembangunan pada sektor pertambangan memiliki kaitan yang sangat erat dengan kehutanan, hal ini disebabkan karena sebagian besar potensi tambang di daratan terdapat dalam areal hutan, baik pada hutan produksi maupun konservasi. Tarik ulur kebijakan seputar pertambangan di kawasan hutan seakan menjadi pertarungan para peraup dollar hasil tambang dengan para rimbawan yang memiliki kecintaan terhadap alamnya. Propinsi Maluku Utara sendiri merupakan daerah yang sangat kaya akan bahan-bahan tambang, seperti emas, nikel, mangan dan sebagainya. Tercatat perusahaan-perusahaan besar baik nasional maupun multinasional yang mengeksploitasi bahan tambang di propinsi ini, seperti PT. Nusa Halmahera Mineral dan PT. Aneka Tambang Tbk, bahkan perusahaan yang terakhir disebutkan sedang dalam proses pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) bagi pembangunan pabrik ferro nikel di Tanjung Buli, Kabupaten Halmahera Timur. Jika terealisasi, maka pabrik ini merupakan pabrik nikel ketiga di Indonesia, selain di Pomala yang dimiliki perusahaan yang sama serta di Soroako yang dimiliki PT. Indonesian Nickel Corporation (PT.Inco). Sejarah mencatat bahwa sektor pertambangan seringkali bertentangan dengan sektor kehutanan. Salah satu klimaks dari pertentangan ini adalah keluarnya Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada intinya Perpu ini menambahkan suatu ketentuan yang sifatnya “pasal peralihan”. Pasal peralihan ini intinya menentukan, bahwa perizinan atau perjanjian pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlaku UU No.41 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku sampai perizinan/perjanjian tersebut berakhir. Hal ini sendiri dilatarbelakangi karena UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 38 Ayat 4 menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka (open pit mining). Perpu ini kemudian distatuskan menjadi UU No.19 Tahun 2004 dan diterapkan bagi 13 perusahan tambang, termasuk PT. Nusa Halmahera Mineral di Kabupaten Halmahera Utara. Fakta juga mencatat bahwa meskipun pembangunan sektor pertambangan sangat berdampak terhadap kondisi hutan, namun koordinasi para pihak yang terkait, utamanya pertambangan dan kehutanan sangat lemah. Mengedepankan ego sektoral tanpa adanya sinergisitas akan berdampak pada pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development). Banyak kasus, seperti halnya juga di Kabupaten Halmahera Utara, bahwa usaha pertambangan tidak melibatkan pihak kehutanan sedari awal, ketika permasalahan muncul ke permukaan, barulah kehutanan dilibatkan. Salah satu peraturan di bidang kehutanan yang sering dilanggar oleh perusahaan tambang adalah UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada pasal 38 ayat 3, yang berbunyi Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri. Ada asumsi bahwa pengurusan izin terkait kehutanan dilaksanakan hanya pada saat hendak produksi atau eksploitasi saja, karena pada tahap itulah terjadi kerusakan hutan, sementara pada saat eksplorasi tidak diperlukan. Dari pengalaman penulis melakukan pekerjaan eksplorasi bijih nikel di Pulau Kawe, Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Papua Barat, sewaktu bekerja di suatu perusahaan tambang, memang eksplorasi awal dengan cara test pit tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi
hutan. Teknis pelaksanaan test pit yaitu dengan menggali lubang dan mengambil sampel tanah pada lapisan limonite dan saprolite tanah pada sejumlah titik secara acak dan dilakukan secara manual. Tatkala hasil analisis lab terhadap sampel tersebut memiliki kadar mineral yang diharapkan, maka akan dilanjutkan dengan eksplorasi yang lebih intensif, yakni dengan drilling (pengeboran) pada spasi atau jarak tertentu. Drilling yang pernah dilakukan penulis adalah spasi 50 meter pada hutan produksi di Pulau Kawe, menggunakan alat bor yang dimobilisasi menggunakan alat berat (doser), sehingga dampak kerusakan hutan sangat jelas terjadi karena lahan yang digusur oleh doser untuk aktifitas drilling. Memang tidak semua aktifitas drilling dilakukan dengan mobilisasi unit seperti doser, ada juga yang dilakukan secara manual, namun kerusakan hutan tetap terjadi, apalagi jika dilakukan pada spasi yang lebih rapat, 25 meter. Hal inilah kiranya yang menjadi catatan penting bagi usaha pertambangan di daerah, khususnya Kabupaten Halmahera Utara. Sebagai unit usaha yang padat modal dan padat karya tentunya investasi perusahaan tambang sangat dibutuhkan di daerah, namun aspek ekologi juga harus mendapat porsi perhatian yang sama oleh perusahaan tambang maupun para pengambil kebijakan. Menurut catatan yang ada pada website Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, sumber daya pertambangan yang potensial di Kabupaten Halmahera Utara sebagian besar telah teridentifikasi lokasi keberadaannya melalui penyelidikan dan eksplorasi secara bertahap yang dilakukan oleh para investor. Untuk bahan galian yang termasuk klasifikasi golongan B, pertambangan emas misalnya, investor PT. Nusa Halmahera Minerals mendapat izin eksploitasi (kontrak karya) pertambangan emas di wilayah Halmahera Utara (Kecamatan Kao), disamping itu pemerintah memberikan kesempatan kepada penduduk melalui wilayah pertambangan rakyat (WPR) dengan model pertambangan skala kecil yang dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal. Selain tambang emas di Kecamatan Kao, terdapat juga pertambangan emas di Kecamatan Loloda (Desa Dotia). Disamping itu Morotai memiliki potensi sumber daya energi yang diperkirakan sebesar 0.0072 juta barel dan energi gas bumi sebesar 0.018 Tscf, juga terdapat sumber daya energi panas bumi di Kecamatan Galela (Desa Mamuya). Sedangkan di Kecamatan Malifut (Desa Malapa) terindikasi mengandung bijih Nikel. C. Sektor Perkebunan Di beberapa daerah di Indonesia investasi di bidang perkebunan sangat jelas mempengaruhi keberadaan ekosistem hutan. Keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat tinggi sebagai ciri utama dari hutan hujan tropis Indonesia telah banyak digantikan oleh pengembangan tanaman keras dengan pola monokultur, seperti yang terutama saat ini banyak diminati para investor perkebunan, yakni tanaman kelapa sawit. Berdasarkan pengamatan langsung yang pernah dilakukan penulis di sejumlah daerah di Indonesia, keuntungan finansial yang lebih cepat dari investasi perkebunan telah menggantikan sangat banyak kawasan hutan tropis Indonesia, bahkan merambah ke kawasan konservasi, seperti perkebunan kelapa sawit di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang terletak di antara Propinsi Aceh dan Sumatera Utara dan perkebunan kopi di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Propinsi Bengkulu. Belum lagi proyek mercusuar nan ambisius pemerintah orde baru seperti Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan, yang hendak mengubah hutan bertipikal gambut dengan perkebunan kelapa sawit. Sejatinya kebijakan pembangunan perkebunan, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat, bertujuan untuk mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat, namun demikian perlu tetap diperhitungkan cost yang akan keluar jika pengembangan perkebunan, semisal kelapa sawit, dilakukan dengan cara membuka areal hutan alam. Kemampuan lahan perkebunan dalam menyerap air tentunya sangat jauh lebih rendah dibandingkan pada hutan alam, demikian juga dengan fungsi pengaturan iklim mikro (mikroklimatologi).
Pada sejumlah kasus investasi perkebunan kelapa sawit dibeberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan bahkan terjadi kondisi yang memprihatinkan dimana setelah hutan alam dihabiskan kayunya dengan suatu Izin Pemanfaatan Kayu (IPK), ternyata perkebunan tidak kunjung direalisasi. Saat ini investasi skala besar di bidang perkebunan oleh perusahaan-perusahaan memang masih terbilang kecil untuk wilayah Propinsi Maluku Utara, khususnya Kabupaten Halmahera Utara, namun dengan semakin sempitnya ruang gerak pengembangan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan, cepat atau lambat investasi yang sama akan masuk ke daerah ini, maka seyogyanya beberapa kondisi di atas bisa dijadikan catatan dan pertimbangan untuk membangun investasi perkebunan. Sejauh ini, pada sektor perkebunan terdapat beberapa jenis tanaman yang menjadi unggulan sebagaimana yang dirilis website Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, yakni : Cengkeh, luas areal 3.179,5 ha dengan produksi sebesar 320,71 ton Kakao, luas areal 6.368 ha dengan produksi sebesar 3.009,8 ton Pala, luas areal 2.449,5 ha dengan produksi sebesar 980,4 ton Kopi, luas areal 459 ha dengan produksi sebesar 105,2 ton. Penutup Pengembangan suatu wilayah dilakukan dengan menggerakkan roda perekonomian di wilayah tersebut, demikian juga dengan pembangunan di Kabupaten Halmahera Utara sangat terkait erat dengan upaya meningkatkan perekonomian masyarakat melalui investasi di berbagai bidang, seperti kehutanan, pertambangan, perkebunan dan sebagainya. Paham pembangunan yang hanya menjadikan manusia sebagai orientasi utama (ecopopulism) dan mengabaikan kelestarian alam seakan melupakan realita bahwa manusia hanyalah salah satu bagian dari ekosistem alam, maha karya Sang Pencipta, yang perkasa secara alamiah namun juga rapuh oleh kerakusan manusia. Kerusakan pada sistem alam yang telah dibentuk demikian sempurna akan berdampak buruk bagi manusia sebagai sub sistemnya. Sebaliknya memahami hutan sebagai bagian yang tidak boleh diganggu oleh aktifitas pembangunan atau yang dikenal dengan paham ecofasism juga menampikkan bahwa alam (hutan) diciptakan Tuhan bagi kesejahteraan manusia. Sebagaimana pendapat Bapak Yesaya Cie S.P, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Halmahera Utara, kita boleh berbangga karena Halmahera Utara mendapat penghargaan sebagai 10 besar kabupaten di Indonesia yang paling lestari yang disampaikan dalam event internasional United Nations Framewok Convention on Climate Change (UNFCCC) Bulan Desember 2007 di Bali. Penghargaan juga patut kita sampaikan dengan upaya pembangunan oleh pemerintah daerah yang mengangkat nilai-nilai budaya dan menjadikan negeri Hibualamo sebagai identitas Halmahera Utara. Tentunya kita harapkan bahwa pembangunan berwawasan budaya tidak hanya sebagai icon, namun sungguh diwujudkan dalam program aksi pembangunan yang memposisikan masyarakat tradisional sebagai subjek. Demikian pula kearifan lokal (local wisdom) yang umumnya dimiliki masyarakat tradisional dalam menjaga dan melestarikan alamnya perlu diangkat dan dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembangunan daerah. Singkat kata, sinergi dari seluruh komponen di Halmahera Utara mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada pertimbangan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Daftar Pustaka Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara. 2005. Statistik Kehutanan Maluku Utara Tahun 2005. Ternate: Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara Effendi, Elfian et al. 2004. Politik Ekonomi Kayu antar Generasi Presiden. Jakarta: Greenomics Indonesia.
Iskandar, Untung. 1999. Dialog Kehutanan Dalam Wacana Global. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Siahaan, N.H.T. 2007. Hutan, Lingkungan dan Paradigma Pembangunan. Cetakan Pertama. Jakarta: Pancuran Alam. Wiratno et al. 2004. Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Cetakan Kedua. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement.