MAYA LISA ARYANTI
WILAYAH SEMIMETAFIS: HUTAN DAN BENTENG
NIDA DWI KARYA PUBLISHING
WILAYAH SEMIMETAFIS: HUTAN DAN BENTENG Oleh: MAYA LISA ARYANTI Copyright © 2013 by MAYA LISA ARYANTI
Penerbit NIDA DWI KARYA PUBLISHING
Desain Sampul:
Tim Nulis Buku
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
DAFTAR ISI
BAB I
:
Kenangan
5
BAB II
:
Tugas dari Sang Raja
20
BAB III : Kesaksian Para Pendatang
28
BAB IV : Upaya Pemulangan I
38
BAB V
51
:
Upaya Pemulangan II
BAB VI : Keberanian atau Kenekatan?
64
BAB VII :
Persiapan-Persiapan
70
BAB VIII:
Benteng Cadas Ampera
80
BAB IX : Gunung Es yang Membara
91
BAB X
100
:
Kala Bongkahan Es Mencair
BAB I
Kenangan --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ia tersenyum sinis. Senyum sinisnya itu tidak ditujukan pada siapa pun sebab senyum sinisnya itu ia tujukan pada dirinya sendiri. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Nyanyian merdu para biduan dan tarian gemulai para penari istana menghibur para hadirin yang hadir pada pesta perayaan hari ulang tahun raja yang ke dua puluh enam sekaligus merayakan kesalamatan sang raja muda dari upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang mantan Papeagis. Hari itu, raja, para pejabat negeri, tiga orang Papeagis dan para rakyat jelata membaur di dalam istana untuk merayakan hari perayaan tersebut. Perayaan yang diselenggarakan di dalam istana tersebut berlangsung meriah dan megah walaupun perayaannya tidak semegah bangunan istana yang mereka tempati. Sajian makanan yang disajikan pun membumi dan mengikuti selera raja dan rakyatnya. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja muda bernama Zala Telabahari. Berkat raja muda inilah manusia yang mendiami wilayah Mortalis jarang mendapat serangan dari para makhlukmakhluk kegelapan yang mendiami wilayah Supral yang seringkali mendapat bantuan dari raja kerajaan Thagutha yang bernama Shadrok Takasuh. Dalam mempertahankan wilayahnya dan lokasi-lokasi tertentu di mana Portal Silindris yang menghubungi Wilayah Supral dan Wilayah Mortalis sang raja dibantu oleh tiga orang Papeagis. Para Papeagis itu sendiri mempunyai pasukan yang mereka bentuk sendiri yang diberi nama Proteguard. Papeagis yang pertama bernama Sumara Aldinaya. Pemuda ini berusia dua puluh sembilan tahun dengan perawakan yang tinggi semampai. Dari segi penampilan ia memang tampan tapi sayangnya sikapnya yang angin-anginan sering kali membuat orang sebal dan ingin memukul kepalanya (tapi mereka selalu gagal karena pemuda itu ternyata cukup ‘licin’). Papeagis yang kedua bernama Pitaloka. Gadis hitam manis yang berbibir merah merekah itu bernama lengkap Pitaloka Khazanah Cinde. Penampilannya terbilang biasa-biasa saja dan ia juga tidak secantik putri raja. Namun, hal ini tidak membuatnya merasa rendah diri karena ia selalu percaya bahwa semua wanita itu cantik.
Pitaloka tergolong gadis cerdas, tangkas dan agak sedikit pedas. Oleh karena itulah, ia bisa menjadi seorang Papeagis seperti sekarang ini. Papeagis wanita satu-satunya ini sering terlibat pertengkaran dengan Sumara karena selain perbedaan usia mereka yang terpaut agak jauh (Pitaloka berusia dua puluh lima tahun), mereka berdua juga tergolong keras kepala dan luar biasa egois. Kedua Papeagis ini terakhir kali terlibat pertengkaran dua hari sebelum pesta perayaan dimulai. Di ruang tahta sang raja mereka berdua beradu pendapat tentang makanan apa yang sebaiknya disajikan oleh pihak kerajaan untuk pesta yang melibatkan rakyat tersebut. Pitaloka beranggapan bahwa makanan yang membumi adalah makanan yang sudah pasti diminati oleh rakyat sementara Sumara berpendapat bahwa makanan yang racikan bumbunya sedikit divariasikan bisa menarik perhatian rakyat. Namun, idenya Sumara ditentang Pitaloka sebab gadis itu beranggapan bahwa makanan yang bumbunya tidak sesuai atau tidak seperti biasanya belum tentu disukai oleh rakyat sebab makanan yang seperti itu pada kenyatannya seringkali membuat para penghuni istana (termasuk para Papeagis) sakit perut. Perdebatan mereka berlangsung alot hingga akhirnya Sumara menyerah setelah raja memutuskan untuk melibatkan juru masak istana dan beberapa ahli pangan dan gizi dalam membantu dirinya untuk memutuskan masakan mana yang paling baik untuk dihidangkan dihadapan rakyatnya. Papeagis yang ketiga adalah Papeagis termuda yang bernama lengkap Yakta Sriwijaya dan ia biasa dipanggil Yakta. Pemuda berusia dua puluh empat tahun ini tergolong orang yang pendiam, serius dan bahkan bisa dibilang dingin. Banyak orang yang tidak suka dengan sikapnya yang terakhir ini. Beberapa orang beranggapan bahwa ia orang yang bijaksana dan sangat tegas tetapi orang lain menganggap dirinya seorang pengecut. Semua orang tampak berbahagia kecuali Yakta. Keadaan disekelilingnya memang meriah dan gemerlap. Namun, ia tidak merasakan kebahagiaan tersebut. Papeagis termuda ini berdiri diam di atas jembatan kecil di teras kerajaan yang tidak jauh dari istana. Ia berdiri bak patung satria yang menghiasi kebun kerajaan. Sekali dua kali, ia mendapat perhatian dari anak-anak kecil yang sedang bermain-main di halaman istana. Anak-anak itu tampaknya sangat penasaran dengan perilakunya yang menarik diri. Beberapa anak laki-laki dan perempuan yang penasaran selalu berusaha untuk menarik perhatiannya. Cara-cara yang mereka gunakan bermacam-macam. Ada yang berusaha mengajaknya bicara baik-baik, ada yang menarik-narik jubah putihnya yang panjang, atau
bahkan ada juga yang pura-pura jatuh. Anak laki-laki cenderung berani sementara anak-anak perempuan cenderung bersikap malu-malu kucing. Anak-anak perempuan tersebut cenderung memakai cara halus dan klasik: menawarinya permen, makanan-makanan ringan yang lain atau bahkan air minum. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menarik perhatiannya sebab Yakta selalu menolak ajakan mereka dengan cara yang halus walaupun pada kenyatannya ada juga anak yang langsung lari terbirit-birit ketika Yakta memberi mereka tatapan matanya yang dingin dan tegas. Setelah anak-anak penggangu itu pergi, Yakta menghela nafas perlahan dan kembali menatap kerumunan di dalam istana. Sorot matanya yang dingin dan sedih menerawang jauh ke dalam istana. Suasana istana benar-benar ramai dan semua orang larut dalam suka cita saat itu. Sang raja sibuk menyambut tamu begitu pula dengan para pejabat tinggi kerajaan. Sumara, sang Papeagis senior sedang menebar senyumnya yang ramah membuat para tamu semakin kerasan dan menikmati suasana bahagia di istana Krakataritis. Pitaloka, sang Papeagis wanita, tampak menikmati ajang berkumpul seperti ini. Ia tampak senang karena pada pesta yang diselengarakan oleh raja, ia bisa sedikit santai. Ia tampak ceria sekali saat sekelompok ibu-ibu muda mendekatinya dan mengajaknya berbicara tentang banyak hal. Keceriannya bertambah manakala sekelompok remaja putri yang mengidolakannya menghampirinya. Yakta terus mengamati para penghuni istana dan para rakyat jelata yang sedang menikmati suasana meriah di dalam istana hingga akhirnya ia merasa lelah dan ingin pergi ke tempat yang benar-benar sepi. Baru saja melangkah dua langkah tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. “OI! YAKTA!” Yang namanya dipanggil menoleh ke belakang dan menemukan Sumara sudah berdiri di belakangnya. “Mau kemana? Wajahmu kenapa? Kok pucat sekali?” tanya Sumara sembari nyengir. Yakta terdiam sesaat. Dia tidak tahu apakah ia sebaiknya memberitahu Sumara bahwa ia lelah dan ingin beristirahat atau tidak. Sepanjang yang ia tahu, jika Sumara memperlihatkan cengirannya, itu berarti ia ingin mengusilinya. Waktu ia masih belum begitu mengenal Sumara, Yakta sering menjadi korban keusilan pemuda angin-anginan itu. Terakhir kali ia terkena keusilan pemuda itu
adalah saat pemuda itu memberikannya pedang yang terlihat bagus. Sebelum ia memberikan pedang itu padanya ia memperlihatkan cengirannya dan memintanya untuk membuka sarung pedang yang menutupi pedang yang bagus itu. Yakta yang tidak tahu kalau pedang itu sudah patah mengayunkan pedang itu ke udara. Pada saat ujung pedang yang patah yang direkatkan ke bagian lain dari pedang tersebut lepas, ujung pedang yang patah tersebut memantul setelah mengenai dinding dan mendarat dengan bunyi yang menggema di lantai keramik membuat pemuda dingin itu terkejut. Pada saat itu, ia beruntung sebab potongan pedang itu tidak mengenainya. Sumara yang melihat kejadian itu langsung tertawa terbahak-bahak dengan volume suara yang cukup keras. Kegeliannya bertambah saat ia melihat wajah Yakta yang benar-benar terkejut dan tampak seperti orang bodoh. Tawanya mereda sesaat setelah Yakta memukul kepalanya dengan sarung pedang dan meninggalkan dirinya yang meringis kesakitan. “….Saya…tidak apa-apa…. Saya hanya ingin ke kamar kecil sebentar,” jawab Yakta setelah beberapa lama berdiam diri. Sebelum Sumara sempat menghujani Yakta dengan pertanyaan, juniornya itu sudah mengambil langkah seribu meninggalkannya di atas jembatan kecil. “Hei, Sumara! Ada apa?” tanya Pitaloka seraya mendekati rekannya. Gadis hitam manis itu tampaknya sudah cukup puas setelah ia bertemu dengan para penggemarnya. “Hm….Liat aja sendiri! Si dingin itu kabur lagi! Kau tahu sendiri kan wataknya yang kayak kelabang. Hewan melata yang pemalu yang berjalan pelan-pelan di atas tanah!” “Hei! Jangan ngomomg kayak gitu dong! Kamu membuatku merinding, tahu!” teriak Pitaloka sembari memukul pelan kepala Sumara. “Ow! Maaf…maaf...Aku lupa kalau kamu benci kelabang. Lagipula, dia juga salah kan?” “Salah kenapa?” tanya Pitaloka dengan nada yang sedikit naik. Maklum, kekesalannya belum hilang sepenuhnya. “Dia berbohong padaku. Padahal kita bertiga kan berteman dekat!”
“Sumara…Sumara…Dia bohong ke kamu kan wajar! Habisnya! Kamu suka mengerjai dia sih! Dia jadi kesal kan?” “Sejak kapan kamu jadi ibunya?” tanya Sumara agak sedikit sarkastis tapi dengan nada bercanda. “Sejak ular kobra peliharaan Shadrok lepas dari kandangnya! Sudah ah! Aku mau pergi ke ruang utama. Mau ikut?” “Baiklah!” ********* Yakta berjalan cepat di koridor. “Aku ingin pergi ke kamar kecil….” adalah alasan palsu yang selalu ia gunakan untuk menghindari orang lain atau bahkan temannya sendiri. Yakta sebenarnya tidak ingin pergi ke kamar kecil. Yang ia inginkan hanyalah kesendirian. Mengusir anak-anak yang tadi mengganggunya di taman mudah sebab mereka takut hanya dengan tatapan matanya. Sebaliknya, mengusir dua orang rekannya adalah pekerjaan berat baginya. Sebab, Sumara dan Pitaloka selalu merasa penasaran dengannya. Sang Papeagis yang berperangai dingin itu terus berjalan hingga ia tiba di halaman bagian dalam istana. Ia memperlambat jalannya dan melihat ke sekelilingnya. Pemandangan di halaman istana cukup menenangkan dan menarik minatnya untuk berdiam diri sendirian tanpa harus diganggu oleh siapa pun. Air yang mengalir dari pancuran kecil begitu menentramkan hatinya. Tanah yang ia pijak padat dan berpermukaan halus. Ia melihat dua kursi kayu yang dipisahkan oleh meja bundar yang berukuran kecil yang juga terbuat dari kayu. Sebuah kanopi besar melindungi furnitur-furnitur tersebut dari sinar matahari. “Tempat ini benar-benar cocok untuk merenung sekaligus menenangkan pikiran.” Yakta melangkah pelan mendekati kursi kayu yang ada di hadapannya, lalu ia duduk setelah ia mengelus-elus kursi kayu tersebut. Yakta menatap langit-langit istana yang tidak ditutupi oleh beton dan melihat burung-burung merpati putih berterbangan. Ia memejamkan matanya dan mendengarkan kicauan burung-burung lain. “Hmm…Tempat yang benar-benar menyenangkan…” gumamnya. Pemuda berusia dua puluh empat tahun itu lantas menarik kursi kayu dan mendudukinya.
Ia menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan matanya. Ia berkonsentrasi pada aliran air terjun buatan dan pancuran kecil didekatnya dan membiarkan dirinya hanyut dalam aliran melodi yang diciptakan oleh dua aliran air tersebut. Ia merasa ketenangan disekitarnya dan membiarkan hati dan pikirannya mengikuti irama yang dihasilkan oleh aliran-aliran air tersebut. Melodi-melodi yang diciptakan oleh air tersebut bersahut-sahutan dan menenggelamkan pemuda tersebut ke dalam lautan memori yang ada di dalam dirinya. Memori akan mendiang kedua orangtuanya yang ia sayangi dan memori akan seorang seniornya yang ia idolakan dan ia anggap sebagai seseorang yang karismatik. Ingatannya membawa dirinya ke sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, ia masih berusia empat belas tahun dan masih tidak mengetahui keadaan yang menyelimuti tempat ia tinggal yang sekarang menjadi salah satu tanggung jawab terbesar dalam hidupnya. Saat itu, ia masih belum mengetahui bahwa wilayah tempat dia tinggal adalah suatu wilayah yang membatasi Wilayah Supral dengan Wilayah Mortalis. Yang ia tahu hanyalah ia tinggal ditempat yang tenang dan damai dengan kedua orang tuanya hingga suatu ketika ayahnya berpesan kepadanya agar ia bersedia meneruskan posisinya. Ia tidak menyangka bahwa pesan ayahnya adalah wasiatnya sebelum ia tewas di Benteng Cadas Ampera guna mencegah para makhluk-makhluk jahat penghuni wilayah Supral memasuki wilayah Mortalis. Kematian sang ayah tak pelak membuat Yakta yang masih remaja merasa terpukul. Ia menyayangi kedua orangtuanya lebih dari siapa pun. Baginya, ayahnya adalah idolanya. Ia mengenal dunia militer dan alam yang ia tempati berkat ilmu dan didikan ayahnya. Rasa sedih dan kehilangannya bertambah ketika satu setengah tahun kemudian ibunya menyusul sang ayah ke Alam Barzakh. Sebuah alam yang menurutnya menakutkan kala itu. Ia cukup beruntung sebab keluarga kerajaan berbelas kasih padanya dan memintanya agar ia tinggal di kerajaan Krakataritis bersama-sama Zala Telabahari yang kala itu masih menjadi pangeran. Meskipun pihak kerajaan sudah mengatakan bahwa ia akan dijamin dalam segala hal, Yakta justru merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk tinggal bersama-sama dengan prajurit biasa di asrama prajurit. Keputusannya sempat ditolak oleh raja dan ratu kerajaan Krakataritis sebab mereka ingin Yakta dilatih secara langsung oleh para Papeagis senior sebelum ia akhirnya resmi menjadi seorang Papeagis. Namun, setelah Yakta meyakinkan keduanya bahwa ia merasa sanggup memulainya dari nol, akhirnya raja dan ratu kerajaan Krakataritis terpaksa menyetujui
keinginannya. Setelah melewati seleksi yang ketat untuk menjadi calon Papeagis, Yakta akhirnya lolos bersama dua orang rekannya yang juga keturunan Papeagis. Mereka adalah Sumara Aldinaya dan Pitaloka Khazanah Cinde. Sumara mempunyai seorang ayah yang juga seorang Papeagis. Ayahnya pensiun cepat karena ia merasa fisiknya sudah tidak mendukungnya lagi untuk melaksanakan tugas kemiliteran dan Sumara adalah seorang pemuda yang beruntung karena pihak kerajaan tidak hanya menunjuk dirinya untuk menggantikan ayahnya dan karena ayahnya masih hidup sehingga Sumara masih bisa belajar banyak dari ayahnya (hal inilah yang membuat Yakta agak iri walaupun di sisi lain dia bersyukur karena dia bisa jadi orang yang lebih mandiri dan lebih matang dari rekannya). Pitaloka Khazanah Cinde adalah cucu salah seorang Papeagis. Sebenarnya, orang tuanya tidak setuju jika putri mereka bergabung dengan pasukan istana. Namun, mereka berubah pikiran setelah anak gadis mereka terbukti bisa mengalahkan tiga orang pria mabuk yang menggangunya di pasar tepat di hadapan tiga orang prajurit kerajaan yang sedang berpatroli keliling. Pitaloka sempat dimintai keterangan oleh pihak keamanan bahkan dibawa ke hadapan raja dan ia hampir dihukum. Kalau saja saksi mata yang menyaksikan peristiwa pertarungan massal itu enggan memberi keterangan dan apabila orang tuanya tidak datang untuk membelanya dan mengatakan bahwa Pitaloka adalah keturunan Papeagis yang sejarahnya terukir dalam Prasasti Tiga Papeagis di istana, mungkin ia sudah dijebloskan ke dalam penjara. Ingatan sang Papeagis muda terus berputar-putar. Ingatan tersebut terus bermunculan dan bergantian. Ingatan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Yakta menggenggam bahu kursi kayu yang ia duduki erat-erat saat wajah Valcant, seniornya yang membelot, muncul di