Kesenjangan dan Konglomerasi (1)
Program Benteng dan ‘Ginandjar Boys’ Penulis Eddy Junaidi https://nusantara.news/program-benteng-dan-ginandjar-boys/ 7 Maret 2017
Nusantara.news, – Presiden Joko Widodo perlu mengevaluasi pernyataannya tentang mata uang “untuk menjadikan Yuan sebagai ‘kiblat’ mata uang Indonesia”. Cina justru kini mengalami cadangan devisa terus menurun, Januari 2017 berada pada level USD 2.997 miliar melewati batas psikologis USD 3 triliun yang dipertahankan selama ini. Trump Effect, membuat USD menguat di belahan dunia. Penurunan cadangan devisa digunakan pemerintah Cina untuk menjaga nilai dan stabilitas Yuan yang terus dalam tekanan. Biaya yang dikeluarkan Cina untuk menjaga stabilitas Yuan senilai USD 100 miliar – 110 miliar setiap bulannya, setara dengan cadangan devisa Indonesia. Liberalisasi Yuan dengan menjadi salah satu SDR (Special Drawing Rights/Mata Uang Dunia) tentu sangat rentan terhadap gejolak moneter dunia. Terakhir kita tahu beberapa rencana akuisisi perusahaan Cina dimungkinkan batal, seperti rencana Anbang Insurance (perusahaan asuransi terbesar di Cina) mengakuisisi Starwood Hotel & Resort, dan grup Dalian Wanda mengakuisisi Dick Clarck perusahaan Event Organizer Holywood (Golden Globe Award, Miss America Peagent), dan terakhir rencana perusahaan-perusahaan baju Cina yang akan melakukan PHK terhadap puluhan ribu karyawannya. Apakah Trump Effect mulai berdampak?
1
Trump dalam kampanye menganggap musuh dagang utama Amerika Serikat (AS) adalah Cina, dan dia bertekad memenangkan perang tersebut. Dengan demikian, apakah Joko Widodo akan mengoreksi hubungan mesra Jakarta – Beijing? Karena di saat yang sama hubungan AS – Indonesia juga buruk karena urusan Freeport. Kekuatan China Overseas Negara Cina mempunyai karakter khusus secara ekonomi. Selain negara Cina, saat ini menjadi ‘jawara’ di WTO (World Trade Organization), dibanding negara lain dia mempunyai spesifikasi khusus karena keberadaan Cina perantauan yang menjadi orang kaya di beberapa negara Asia, diantaranya Indonesia. Bayangkan, 4 orang terkaya Indonesia yang etnis Cina memiliki aset senilai USD 25 miliar, setara dengan aset 100 juta orang miskin di Indonesia. Ironis dan tragis, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ingin Negara menjadikan pekerjaan rumah (PR) utama dalam hal kesenjangan ini. Presiden Joko Widodo di saat yang sama, juga menanggapi agar Pemerintah menindaklanjuti tiga hal mendasar: yaitu Redistribusi aset (Revisi Undang-Undang Agraria), sesuai dengan nafas keadilan versi Pancasila dan UUD 1945, akses perbankan dipermudah untuk membuat UKM (pribumi), bila perlu dengan skema khusus tanpa jaminan diperbesar secara signifikan, dan pendidikan SDM (vokasional) dengan keahlian khusus menyongsong bonus demografi, dimana usia muda menjadi porsi terbesar angkatan kerja di Indonesia. Keberadaan etnis Cina yang menguasai perekonomian Indonesia sudah terasa sejak zaman Belanda, ketika tahun 1854 Belanda menerbitkan ‘Regeringsreglement’ menetapkan penduduk Hindia Belanda terdiri dari tiga golongan, yaitu: European (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), dan Inlander (pribumi). Pada tahun 1886 Belanda mempertegas dengan menerbitkan ‘wijnkasteel’, yang dimuat dalam “Straatblad van Nederlands Indie” No. 57 tentang Pemusatan Pemukiman orang Cina (Pecinan), dan Timur Asing (Kampung Arab). Pada era kolonial tabiat etnis pendatang adalah oportunistik, karena berada di antara yang dijajah dan penjajah. Posisi mereka diuntungkan, dijadikan pedagang, pegawai sekaligus informan Belanda untuk memonitor para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Puncaknya tanggal 6 September 1947 Letnan Gubernur Jenderal H.J. Van Mook mengeluarkan Keputusan Penguasa Militer No. 516, kemudian Komandan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger) Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor mengeluarkan
2
perintah resmi pembentukan Laskar Rakyat Cina (Pao An Tui) yang dilantik dan dipersenjatai oleh Raymond Westerling untuk membantu NICA mengembalikan Indonesia ke pangkuan Belanda. Keberadaan Pao An Tui ini sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia, karena Westerling membantu puluhan ribu di Sulsel. Berlanjut ketika Indonesia merdeka fase liberalisasi 1945 – 1959, ekses perlakuan Belanda terhadap etnis Cina dan Arab secara eksklusif. Cina menguasai perekonomian, dan Arab menguasai tanah. Terlihat pemukiman eksklusif Arab di Kwitang dan Ampel (Surabaya), Cina di kota pusat perdagangan Batavia kala itu, dan terus berlanjut sampai dengan saat ini. Soekarno ingin ada keseimbangan porsi ekonomi (1950 – 1955) Soekarno sebagai Presiden RI pertama sudah menyadari bahwa keunggulan Cina dalam berdagang perlu diimbangi dengan keberpihakan Negara pada pribumi secara subjektif. Cina yang menempatkan dirinya sebagai non-pribumi memang dilatar-belakangi Kebijakan Pemerintahan Manchu Dinasti Qing menetapkan hukum kewarganegaraan: “Setiap anak yang mempunyai Bapak atau Ibu Cina secara Legal dan Ilegal di mana pun tempat lahirnya dianggap sebagai warga negara Cina, dengan prinsip Ius Sanguinis, Oktober 1949 mendirikan Committee of Overseas Chinese Affairs, dan dilanjutkan pada tahun 1955 saat Konferensi Asia Afrika tanggal 22 April 1951, Zhon Enlai dan Mr. Sunario menandatangani perjanjian dwi kewarganegaraan, dan dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1958 tentang dwi kewarganegaraan. Setelah Dekrit tahun 1959, Soekarno membatasi ruang gerak pedagang Cina, dan akhirnya setelah G 30 S PKI 1965. Soeharto membatalkan Perjanjian Dwi Kewarganegaraan, dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1969. Secara historikal memang kehadiran etnis Cina berbeda dengan Arab; Cina selalu menyatakan dirinya non-pribumi. Sementara karena beragama Islam, Arab lebih cepat membaur dan jarang sekali dianggap non-pribumi. Komitmen turunan Arab dalam sejarah kemerdekaan, sehingga etnis Arab telah diterima secara alami bagian dari suku di Indonesia dan melebur dengan bangsa Indonesia. Celaka dengan etnis Cina ketika ketegangan hubungan komunis vs Barat, Cina yang bagian dari komunis telah akrab dengan Soekarno karena bermusuhan dengan Amerika Serikat (AS) dan Barat, diboikot dengan konsep Nasakom. Peristiwa Gestapu 1965 menyulitkan posisi etnis Cina di Indonesia secara politik. Namun tahun 1950, Soekarno (Kabinet Natsir) sudah berupaya memberikan keseimbangan dengan memajukan usaha pribumi. Gerakan dan program Benteng dari Sumitro Djojohadikusumo (1950 – 1953)
3
Tujuh ratus pengusaha pribumi diberi kemudahan kredit usaha dari Pemerintah. Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo dikenalkan sistem ekonomi Ali-Baba, namun ujungnya pengusaha pribumi hanya dijadikan alat oleh Baba, karena Ali yang tidak cerdas dalam berdagang. Program Benteng awal dari transformasi ekonomi yang dipaksakan oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian, Prof. Sumitro Djojohadikusumo kala itu (tahun 1950), wakil dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) di kabinet Natsir, walau terkesan kapitalistik, namun program Benteng sepenuhnya untuk memproteksi pengusaha pribumi diharapkan mampu meruntuhkan dominasi asing dan pengusaha non-pribumi kala itu. Indonesia saat itu dikuasai oleh 5 perusahaan Belanda, yaitu: Borsumij Wehry, Jacobson Van Den Berg, Go Wehry, Internatio, dan Lindeteves (permesinan), tahun 1957 perusahaan ini dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Dalam program Benteng, dibuka jaringan usaha pribumi dengan pihak asing (internasional), dan jaringan pengusaha Cina. Untuk melancarkan usaha ini Sumitro Djojohadikusumo membentuk bank pemerintah bernama BIN (Bank Industri Negara), bank ini sebagai perintis ekonomi industri di Indonesia, dan sekaligus bertanggung jawab atas proyek industri Sumitro. Program Benteng berjalan baik pada tahun 1950-an, perdagangan impor sudah dijalankan oleh pribumi, tercatat Hasjim Ning sudah memperoleh lisensi dari Chrysler dan Ford untuk otomotif. Walau tidak punya keterampilan khusus kerena disebut ‘importir aktentas’, pengusaha tidak bermodal dan tidak berkantor. Program rent seeking (pencari rente), dimulai pada era program Benteng, dan umumnya pengusaha binaan partai PSI. Tercatat selain Hasyim Ning – Palembang (otomotif), Soedarpo (pelayaran). Dasaat (perdagangan), Bakrie – Lampung (perkebunan). Dari Sumatera tercatat: Pardede – Sumatera Utara (tekstil), Rahman Tamim – Sumatra Barat (perdagangan tekstil Raja di Tanah Abang), Kalla (perdagangan Sulawesi Selatan), Gobel – Sulawesi Tenggara (industri), Sumendap (penerbangan Bouraq), dan lain-lain. Secara eknomi membesarkan nama-nama tersebut di atas. Namun dengan pertimbangan diskriminatif, dan terjadinya PRRI dan Pemesta, program Benteng diberhentikan pada tahun 1957 oleh Menteri Perekonomian Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo. PSI dengan Sumitro Djojohadikusumo terlibat PRRI dan melarikan diri ke luar negeri. Hakikat program Benteng ingin mengubah struktur ekonomi yang senjang antara pribumi dan non pribumi (Cina), dengan tujuan:
Menggairahkan iklim berusaha pada pengusaha pribumi 4
Pengusaha pribumi bermodal lemah diberi akses khusus untuk berusaha
Program Ginandjar boys di era Soeharto (1990-an) Soeharto sebagai Presiden RI kedua, mengendalikan etnis Cina hanya pada sektor ekonomi dengan memegang Bob Hasan dan Liem Sioe Liong sebagai media komunikasi dengan pengusaha etnis Cina. Di era Soeharto dominasi Cina dimulai era konglomerasi, diversifikasi usaha dari hulu ke hilir. Soeharto mengimbangi awalnya di tahun 1990-an dengan program Bapak Angkat, dipimpin oleh Bob Hasan. Program ini relatif hanya meningkatkan ketergantungan pada perusahaan besar, bukan kemandirian yang diharapkan. Tercatat, hanya Astra yang berhasil, dan Bob Hasan pada industri rotan. Manuver pengusaha Cina yang tercatat ketika ingin menguasai KADIN (1994) yang saat itu dipimpin oleh Aburizal Bakrie yang bisa disebut pengusaha andalan pribumi kala itu. Hasrat konglomerat Cina yang dipimpin oleh Sofyan Wanandi dkk. mempengaruhi Presiden Soeharto dan sempat Aburizal Bakrie terpojok saat itu. Namun dukungan Keluarga Cendana, Probosutedjo dan Sukamdani Sahid Gitosardjono; Aburizal Bakrie dkk. tetap menduduki kursi Ketua Umum KADIN, dan beberapa pengusaha pribumi lainnya yang rata-rata berasal dari HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia). Rasa kurang puas Sofyan Wanandi diwujudkan dengan mendirikan Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang terbukti sampai saat ini sebagai benteng pengusaha non-pribumi dalam negosiasi politik, baik dalam hal upah maupun tekanan politik lainnya. Pada umumnya pengusaha pengurus KADIN kala itu adalah binaan Ginandjar (Ginandjar boys). Saat itu Ginandjar Kartasasmita sebagai Menteri Muda UPPDN (Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri), diberi skema khusus oleh Soeharto yang dijamin Soedharmono (Mensesneg kala itu) untuk membina pengusaha pribumi. Dengan skema kredit khusus diperoleh pengusaha, seperti: Aburizal Bakrie (Bakrie), Ponco Sutowo (Hilton Hotel dan Puri Wisata), Abdul Latief (ritel), Fahmi Idris dan Sugeng Sarjadi dkk. (perdagangan – Grup Kodel), Imam Taufik (industri), Wiwoho Basuki (Tripatra), Sutrisno Bachir (perdagangan dan media), Arnold Baramuli, Jusuf Kalla (Kalla Group), Pri Sulisto, Agung Laksono, Keluarga Tahija, Tantyo Sudharmono, Bambang Yoga, dan lain-lain. Secara objektif memang harus diakui pengusaha pribumi kurang mempertanggungjawabkan hasil, dan program itu relatif gagal secara teknis. Bahkan hal ini dijadikan alasan oleh Eddy Tanzil kala itu untuk tidak membayar utang pada Bapindo (1995) dengan kredit dan bunga berbunga mencapai Rp 1,2 triliun. Sentimen pribumi muncul karena Eddy Tanzil (Golden Key) dengan proyek kimia dan tidak mau bayar kredit karena pengusaha pribumi macet, tapi juga tidak ditagih. Dan hal itu membuat murka pengusaha Ginandjar boys. Di rumah Probosutedjo mereka berkumpul, 5
lalu beberapa hari kemudian Arnold Baramuli melaporkan kasus ini ke DPR, dan meledak, Eddy Tansil ditangkap. Jadi, persoalan kesenjangan sosial tentang keberadaan pengusaha non-pribumi telah menjadi perhatian khusus dari zaman Belanda berkuasa, Orde Lama (Soekarno) dengan program Benteng, Soeharto (Ginandjar boys), namun “nasi telah menjadi bubur”, karena empat orang terkaya Indonesia dari etnis Cina saat ini menguasai aset USD 25 miliar yang setara dengan 100 juta orang miskin Indonesia. Luar biasa! Kesenjangan sosial menjadi persoalan sosial paling utama, dan keberadaan etnis Cina pada politik (khususnya Ahok), telah membuat luka pribumi yang mayoritas Islam. Ditengarai bahwa Pemerintah melalui Presiden Joko Widodo, terlalu memihak, sehingga etnis Cina terkesan akan memasuki wilayah politik masa depan di Indonesia. []
6