KAJIAN KEBERADAAN PENAMBANGAN MARMER DI KARST HUTAN LINDUNG BULUSARAUNG Studi Kasus di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan
MOEHD SUBCHAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Keberadaan Penambangan Marmer di Karst Hutan Lindung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Moehd Subchan NRP E34103066
RINGKASAN MOEHD. SUBCHAN. E34103066. Kajian Keberadaan Penambangan Marmer di Karst Hutan Lindung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh ARZYANA SUNKAR dan SITI BADRIYAH R. Kawasan karst HL Bulusaraung merupakan salah satu kawasan pertambangan batu gamping di Kabupaten Maros yang memiliki cadangan batu gamping dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik. Namun, di sisi lain kawasan HL Bulusaraung merupakan kawasan lindung dengan status sebagai hutan lindung yang memiliki fungsi pokok sebagai pengatur tata air bagi kehidupan masyarakat sekitar. Keberadaan industri penambangan marmer di HL Bulusaraung yang merupakan ekosistem karst, tentu akan mempengaruhi fungsi lindung dari kawasan karst baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keberadaan penambangan marmer di HL Bulusaraung dari segi pengaruh terhadap fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air dilihat dari segi kualitas air serta menentukan bentuk pengelolan yang tepat untuk HL Bulusaraung. Pengambilan data dilaksanakan selama bulan Januari-Februari 2008 di PT. Bosowa Marmer Mining pada kawasan Hutan Lindung Bulusaraung Kel Leangleang, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Data yang dikumpulkan antara lain kegiatan pengelolaan pertambangan di HL Bulusaraung peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan pertambangan, persepsi masyarakat terhadap keberadaan industri pertambangan dan kualitas perairan berdasarkan parameter fisika (suhu, kekeruhan dan TDS), kimia (pH, DO, BOD, COD, nitrat dan fosfat) dan biologi (Makrozoobenthos). Analisis data dilakukan dengan analisis deskriptif (Pengelolaan HL Bulusaraung dan masyarakat) dan Kuantitatif yaitu analisis kualitas air. Parameter fisika dan kimia dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran lapangan dengan PP RI No. 82/2001 berdasarkan baku mutu kelas III dan juga menggunakan indeks biotik, yaitu kepadatan (K), dominasi (D), keseragaman (E), Keanekaragaman (H’) dan Hilsenhoff (HBI)). Pengelolaan penambangan yang dilakukan PT. Bosowa Mining telah melanggar beberapa aturan seperti perizinan pinjam pakai kawasan dan SIPD, penambangan dengan pola terbuka dan membuang limbah ke sungai. Hasil pengukuran kualitas air pada parameter fisika-kimia diketahui bahwa kedua stasiun masih memenuhi persyaratan untuk pemakaian kegiatan kelas III berdasarkan PP No. 82 tahun 2001. Hanya saja dari hasil pengukuran terjadi peningkatan nilai parameter pada titik II dibandingakan dengan titik I, yang menunjukan telah terjadi penurunan kualitas perairan pada titik II akibat masuknya limbah marmer. Hasil pengamatan parameter biologi diperoleh jumlah jenis yang berbeda, pada titik I ditemukan 7 jenis (80 individu) sedangkan pada titik II ditemukan 3 jenis (16 individu). Jumlah jenis yang rendah pada pada titik II, mengindikasikan bahwa lokasi tersebut telah mendapat tekanan biologis yang berat yaitu air keruh dan banyak endapan limbah marmer yang menutupi dasar perairan sehingga makrozoobenthos sedikit yang dapat hidup karena habitatnya di dasar perairan terganggu. Penurunan kualitas perairan akan mempengaruhi
kondisi masyarakat yang sangat bergantung pada HL Bulusaraung dalam memenuhi kebutuhan air. Kondisi karst di HL Bulusaraung menunjukan bahwa kawasan tersebut termasuk kedalam karst kelas I karena kawasan ini berfungsi sebagai penyimpan dan penyuplai air bagi kebutuhan masyarakat, memiliki aliran bawah tanah yang aktif serta gua dan tempat bersejarah yang berperanan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Arah pengelolaan yang tepat untuk HL Bulusaraung ialah pengelolaan yang berlandaskan prinsip kelestarian tanpa mengurangi manfaat secara ekonomi. Kegiatan yang tepat di HL Bulusaraung ialah usaha pemanfaatan air dan usaha potensi wisata. Keberadaan penambangan di HL Bulusaraung perlu dikaji kelayakannya karena berpotensi merusak fungsi perlindungan tata air HL Bulusaraung. Stakeholder yang memiliki kepentingan dalam pengelolaan HL Bulusaraung ialah Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bapedalda, Dinas Pertambangan dan Energi, LSM (Walhi), industri marmer dan masyarakat. Terkait keberadaan stakeholder terdapat beberapa permasalahan pengelolaan HL Bulusaraung yang perlu diselesaikan antara lain perbedaan persepsi, konflik kepentingan dan tidak adanya koordinasi antar stakeholder diselesaikan dengan membentuk suatu sistem pengelolaan bersama; jumlah SDM instansi pemerintah yang minim diselesaikan dengan cara pengadaan personil dan perekrutan swadaya masyarakat; dan ketidaklengkapan data dan informasi diselesaikan dengan melakukan inventarisasi kawasan secara mandiri maupun bekerjasama dengan LSM serta lembaga penelitian dan pendidikan. Kata kunci : Karst, pertambangan, kualitas air.
MOEHD. SUBCHAN. E34103066. Study of Marble Quarry in Karst of Bulusaraung Protection Forest, South Sulawesi. Under supervision of ARZYANA SUNKAR and SITI BADRIYAH R. Introduction: Karst area of Bulusaraung Protection Forest (PF) is one of limestone mining areas in the Regency of Maros. On the other hand, Bulusaraung PF is a protected area main with a hidrologycal function. The presence of marble quarry and industry in Bulusaraung’s karst area will affect the protected forest’s function. Therefore, a research is needed to study the impact of the marble quarry toward the forest’s functions which can contribute toward a more sustainable management. Method: Data were collected from January to February 2008 in PT. Bosowa Marmer Mining in Bulusaraung PF, Leang-Leang Village, Regency of Maros, South Sulawesi. Data collected include quarry management, local perception on marble quarry and industry, as well as water quality based on physical parameters (temperature, turbidity, and TDS), chemical parameters (pH, DO, BOD, COD, nitrate, and phosphate), and biological parameters (macrozoobenthos). Data analysis was done using descriptive analysis (for Bulusaraung PF management and community data) and water quality analysis (physical and chemical parameters by comparing field results with Government Regulation No. 82 of 2001 based on category III standard quality for water and using biotic index). Results and Discussions: Quarry management by PT. Bosowa Mining has broken several rules such as the right for land use and SIPB, open mining, and using river as waste dumping. Water quality analysis for both physical and chemical properties showed that both stations still fulfill the conditions for category III activities based on Gov. Decree No. 82 of 2001. However, data analysis showed an increase in parameter scores on point II compared to point I. results of Biological parameter analysis showed different number of species in each point. Seven species were recorded in point I (80 individuals) and 3 species (16 individuals) were recorded in point II. The low number of species in point II indicates that the particular site has received great biological stress, such as turbid water and much sedimentation from marble quarry waste that covers the base of the water body, in which only few macrozoobenthos can survive. The karst condition of Bulusaraung PF showed that the area is classified as class I karst, because the area stores and supplies water to local villages, contains active underwater storage, as well as an important historical site. Stakeholders for Bulusaraung PF include Provincial Forestry and Agricultural Agency, Environmental Impact Management Agency (Bapedalda), Provincial Energy and Mining Agency, NGOs (Walhi), marble industry, and the local community. Due to the many stakeholders involved, several problems faced by Bulusaraung PF management include the different perceptions, conflict of interest, and lack of coordination between stakeholders. This problem needs to be resolved immediately through a joint-management system. The lack of human resource can be resolved by recruiting more staff as well as involving active participation of the community. Lack of information and data can be resolves by conducting area inventory either independently or with cooperation with NGOs and research and academic institutes. Conclusion: PT. Bosowa Mining in Bulusaraung PF has impacted the water cycle of the karst area as well as decrease the water quality (based on physical, chemical, and biological parameters). This will affect the condition of the local villages that depend on Bulusaraung PF for their water supply. The sustainable management for Bulusaraung PF is one that is based on sustainability. Activities recommended include water utilization and ecotourism. Current quarry site would be best to be moved outside of the protected area, and an alternative location for quarry site which will not affect the functions of Bulusaraung PF should be chosen instead. Keywords: Karst, mining, quarry, water quality, sustainable management.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat ALLAH SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan
karya
ilmiah
yang
berjudul
“Kajian
Keberadaan
Penambangan Marmer di Karst Hutan Lindung Bulusaraung (Studi Kasus di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan)” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di bawah bimbingan Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Ir. Siti Badriyah R., M.Si. Tidak dapat dipungkiri lagi, bentang alam karst mewakili sisi penting dari keanekaragaman bumi karena memiliki sumberdaya yang besar dan berpotensi untuk dikembangkan. Kawasan karst memiliki kerentanan ekosistem yang sangat tinggi dan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui sehingga segala kegiatan yang sifatnya menurunkan daya dukung atau merusak lingkungan biotik dan abiotik kawasan karst harus dihindari. Pada skripsi ini dikaji mengenai dampak keberadaan penambangan marmer di Kawasan HL Bulusaraung terhadap kualitas dan masyarakat. Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, tetapi semoga dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, 26 Agustus 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jambi pada tanggal 29 November 1985 dari pasangan bapak H. Machmud, SE. dan ibu Nurhasanah sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1990 di TK Pertiwi Kerinci dan pada tahun 1991 memulai pendidikan dasar di SD Negeri 106 Kota Jambi. Pada tahun 1997 penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 4 Kota Jambi kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Kota Jambi. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjalani pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata), anggota Kelompok Pemerhati Gua-HIMAKOVA dan Himpunan Mahasiswa Jambi (Himaja). Penulis telah mengikuti beberapa praktek dan kegiatan lapangan diantaranya: SURILI-HIMAKOVA (Studi Konservasi Lingkungan) di Taman Nasional Betung Kerihun Propinsi Kalimantan Barat, Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA Kamojang-CA Leuweung Sancang Kabupaten Garut dan Perhutani KPH Kuningan, Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Keberadaan Penambangan Marmer di Karst Hutan Lindung Bulusaraung (Studi Kasus di Kelurahan Leang-Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan)” di bawah bimbingan Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Ir. Siti Badriyah R., M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Abah, ibu, nenek, datuk, nyai’ dan kedua adik perumpuanku serta semua saudaraku atas doa, kasih sayang, dan dukungannya. 2. Ibu Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc dan Ibu Ir. Siti Badriyah R., M.Si atas bimbingan, motivasi dan nasehatnya kepada penulis untuk ‘segera’ menyelesaikan skripsi ini.. 3. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Ibu Istie Sekartiningsih Rahayu, M. Si sebagai wakil penguji, atas saran dan masukan dalam membantu kesempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kehutanan IPB atas ilmu yang telah diberikan dan staf KPAP DKSHE yang telah banyak membantu dalam kegiatan administratif. 5. Pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros, Dinas Pertambangan dan Energi Maros, Bapedalda Maros dan Pemerintah Kabupaten Maros yang telah banyak membantu penulis. 6. Pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung atas kesediaannya menerima penulis untuk menetap di rumah dinas yang nyaman. 7. Bapak Amran Achmad atas informasinya mengenai Karst Maros Pangkep. 8. Seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB khususnya angkatan 40. 9. Seluruh teman-teman di jambi yang telah memberi dukungan dan semangat. 10. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. I.
i ii iii iv
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1.2. Tujuan ........................................................................................... 1.3. Manfaat .........................................................................................
1 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Lindung ............................................................................. 2.2. Potensi dan Penambangan Kawasan Karst .................................. 2.3. Kualitas Air .................................................................................. 2.4. Pengelolaan Kawasan Karst .........................................................
3 4 6 12
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi ......................................................................... 3.2. Jenis Data ..................................................................................... 3.3. Penentuan Lokasi Penelitian .......................................................... 3.4. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 3.5. Alat dan Bahan .............................................................................. 3.6. Analisis Data ................................................................................
14 15 17 18 19 20
IV. KONDISI UMUM LOKASI 4.1. Sejarah dan Status Kawasan ......................................................... 4.2. Kondisi Fisik ................................................................................ 4.3. Kondisi Biotik .............................................................................. 4.4. Masyarakat Kelurahan Leang-leang ............................................
24 26 28 31
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keberadaan Penambangan ............................................................ 5.2. Pengelolaan HL Bulusaraung ......................................................
34 45
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .................................................................................... 5.2. Saran ............................................................................................
54 55
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
56
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Kelas tanah dan kategorinya ..................................................................
3
2. Struktur komunitas makrozoobentos dalam suatu perairan ...................
12
3. Parameter kualitas air dan metode analisisnya ......................................
15
4. Data yang dikumpulkan dari Pemangku Jabatan terkait di Kawasan Hutan Lindung Bulusaraung .................................................
16
5. Alat dan Bahan Penelitian untuk sampel air ..........................................
19
6. Alat dan Bahan Penelitian untuk sampel bentos ....................................
19
7. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) ............
21
8. Kriteria tingkat pencemaran berdasarkan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener ..........................................................
21
9. Kategori nilai kualitas air menurut indeks biotik hilsenhoff (HBI) ......................................................................................................
23
10. Kondisi Masyarakat Kelurahan Leang-leang ........................................
32
11. Perusahaan pertambangan yang berada di HL Bulusaraung dan jenis kegiatannya ...................................................................................
34
12. Pelanggaran aturan yang dilakukan PT. Bosowa Marmer Mining dalam kegiatan pengelolaan penambangan ..............................
37
13. Hasil pemeriksaan parameter fisika-kimia .............................................
40
14. Hasil pemeriksaan parameter biologi ....................................................
41
15. Indeks pengukuran makrozoobenthos ...................................................
42
16. Persepsi masyarakat mengenai dampak industri penambangan terhadap kelestarian perairan ..................................................................
44
17. Stakeholder yang terlibat dan peranannya dalam pengelolaan HL Bulusaraung .....................................................................................
46
18. Permasalahan pengelolaan kawasan HL Bulusaraung dan upaya penyelesaiannya ...........................................................................
48
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Peta HL Bulusaraung (lokasi penelitian)................................................
14
2. Lokasi pengambilan sampel kualitas air ................................................
17
3.
Peta kawasan hutan berdasarkan hasil paduserasi tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan tahun 1999 .................................
25
4. Peta status kawasan hutan .....................................................................
26
5. Kondisi topografi karst HL Bulusaraung ..............................................
27
6. Penutupan lahan di Kawasan HL Bulusaraung .....................................
28
7. Jenis vegetasi Kawasan HL Bulusaraung ..............................................
29
8. Beberapa jenis satwa di Kawasan HL Bulusarung ................................
30
9. Bentuk pemanfaatan sumberdaya di HL Bulusaraung ..........................
32
10. Wilayah industri PT. Bosowa Marmer Mining .....................................
35
11. Lokasi pembuangan limbah PT. Bosowa Marmer Mining ...................
39
12. Limbah marmer yang masuk ke perairan ..............................................
41
DAFTAR LAMPIRAN No. 1. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air...................................................
60
2. Gambar beberapa maskrozoobenthos yang ditemukan di titik pengambilan sampel air..........................................................................
61
3. Daftar pengguna kawasan hutan di Kawasan HL Bulusaraung ............
62
4. Daftar pemegang surat izin penambangan daerah (SIPD) di Kawasan HL Bulusaraung .....................................................................
63
5. Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan .........................................................................................
64
6. Kpts Bupati Maros No.21 Tahun 2001 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C .............................................
65
7. UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan ..........................................
66
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan .............................................................
66
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas dan Pengendalian Pencemaran Air ..........................................................................................................
69
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai ......................................................................................
71
11. Keputusan Bupati Maros No. 76 Tahun 2006 Tentang Pemberian Perpanjangan Ketiga Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD) Eksploitasi Atas Nama PT. Bosowa Mining ................
73
1. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Kabupaten Maros sebagian dari wilayahnya merupakan ekosistem karst
yang memiliki potensi batugamping besar. Kawasan ini diperkirakan memiliki potensi batu gamping yang mencapai 39.131.718.750 ton dan marmer mencapai 8.539.974.500 ton (Pemerintah Daerah Kab. Maros, 2006). Kualitas batu gamping yang ada di Kabupaten Maros tergolong baik untuk diolah menjadi marmer karena memiliki daya tahan yang baik dan corak yang indah. Hal ini menyebabkan pertambangan batu gamping untuk dijadikan marmer merupakan salah satu peluang industri yang sangat menjanjikan di Kabupaten Maros. Salah satu kawasan yang terdapat dalam bentang alam Karst Maros ialah Hutan Lindung (HL) Bulusaraung. Menurut (Taslim, 2007), sejak tahun 2000 terdapat 13 perusahaan industri penambangan marmer yang berada di dalam kawasan HL Bulusaraung. Kawasan karst HL Bulusaraung sejak tahun 1982 ditetapkan sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai pengatur tata air. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan menyatakan pentingnya menjaga kelestarian hutan lindung, karena memiliki salah satu fungsi pokok yaitu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air dan mencegah banjir. Keberadaan HL Bulusaraung memiliki arti yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat sekitar. Masyarakat memanfaatkan air yang berasal dari kawasan HL Bulusaraung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti irigasi pertanian, mencuci maupun air minum. Kegiatan penambangan, walaupun memberikan dampak positif berupa penyerapan tenaga kerja dan peningkatan devisa daerah, namun juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keberadaan hutan karst itu sendiri juga terhadap kondisi masyarakat sekitar areal tambang. Dampak ini terjadi akibat hilangnya pohon dan rusaknya lapisan batu gamping oleh kegiatan penambangan maupun dari limbah yang dihasilkan. Keberadaan industri dan penambangan marmer di kawasan karst HL Bulusaraung tentu akan mempengaruhi fungsi lindung baik secara langsung maupun tidak langsung karena kawasan karst
2
merupakan kawasan dengan daya dukung yang rendah dan merupakan sumberdaya yang tidak dapat diperbaiki jika terlanjur rusak. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji keberadaan penambangan marmer di HL Bulusaraung dari segi pengaruh terhadap fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air bagi masyarakat sekitar serta menentukan bentuk pengelolan yang tepat untuk HL Bulusaraung.
B.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk :
1. Mengkaji dampak keberadaan penambangan marmer di HL Bulusaraung terhadap fungsinya sebagai pengatur tata air dilihat dari segi kualitas air. 2. Menentukan bentuk pengelolaan yang tepat bagi HL Bulusaraung.
C.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi serta rekomendasi
atau pertimbangan kepada Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi selatan dalam mengelola kawasan Hutan Lindung Bulusaraung secara berkelanjutan dan bersama-sama. Selain itu, hasil penelitian ini akan berguna untuk menambah pengetahuan mengenai permasalahan yang ditimbulkan dari dampak kegiatan penambangan bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
Hutan Lindung Berdasarkan Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837 tahun
1980 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung, terdapat beberapa faktor yang diperhitungkan dan diperhatikan dalam penetapan suatu wilayah hutan lindung yaitu kelerengan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi (Tabel 1), dan intensitas hujan di wilayah yang bersangkutan. Kegiatan penambangan yang dilakukan pada kondisi tanah yang peka dan sangat peka, berpeluang besar meningkatkan erosi. Tabel 1 Kelas tanah dan kategorinya Kelas tanah
jenis
Kategori
1
Aluvial, tanah Glei Planosol, Hidromof kelabu
Tidak peka
2
Latosol
Agak peka
3
Mediteran, Brown Forest Soil, Non Clasis Brown
4
Andosol, Laterik, Grumosol, Podsol, Podsolik
5
Regosol, Litosol, Organosol
Kurang peka Peka Sangat peka
Sumber : Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/II/1980
Menurut Pedoman Pengelolaan Hutan Lindung (Dephut, 1990), upaya perlindungan dan perbaikan tata air diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi tata air akibat perubahan yang terjadi. Secara umum penyebab perubahan tata air dapat digolongkan sebagai berikut : 1. Faktor klimatis yaitu menurunnya jumlah dan frekuensi hujan, serta meningkatnya suhu rata-rata dan perubahan aerodinamik suatu daerah 2. Faktor fisik yaitu terbukanya areal hutan lindung sebagai akibat penebangan liar, perladangan berpindah, kebakaran hutan, penambangan dan penyebab alam lainnya. Sedangkan dalam kegiatan pemanfaatan hutan, pada hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, yang hanya dapat dilakukan pada blok pemanfaatan. Akan tetapi kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, bahkan kegiatan penambangan pun diizinkan untuk
4
dilaksanakan dengan pola pertambangan tertutup dengan seizin Menteri Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 3 dan 4). Secara umum permasalahan hutan lindung di Indonesia menurut Falah et al (2005) ialah: 1) perbedaan persepsi antar pemangku jabatan mengenai kepentingan hak pengelolaan, luasan, tata batas, dan hak pemanfaatan sumberdaya hutan; 2) masalah yang berkaitan dengan masyarakat sekitar, antara lain kepemilikan lahan sempit, angka pengangguran tinggi, tingkat pendidikan dan pendapatan rendah, serta masih mengandalkan pemungutan hasil hutan lindung ; 3) lahan hutan banyak berupa tanah kosong dan masih perlu direhabilitasi ; dan 4) perambahan kawasan, penebangan, dan perburuan illegal. Selain itu saat ini kegiatan pertambangan juga telah menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi di beberapa kawasan hutan lindung. Menurut Keraf (2003) dalam Suryandari dan Sylviani (2006), izin konsesi yang diberikan terhadap penambangan akan menimbulkan krisis lingkungan dan akan menggangu ekosistem kawasan hutan lindung. Hutan lindung memiliki peranan yang penting dalam mengatur tata air bagi masyarakat sekitarnya. Keberadaan kegiatan pertambangan di hutan lindung tentu dapat menganggu fungsi dan luasan hutan lindung itu sendiri. Sehingga pada akhirnya tentu diperlukan perhatian khusus baik dari segi kegiatan pengelolaannya maupun dari kebijakan yang harus dikeluarkan. B.
Potensi dan Penambangan Kawasan Karst Karst adalah istilah bagi sebuah bentang alam yang secara khusus
berkembang pada batuan karbonat (batu gamping dan dolomit), dimana bentang alam tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan kawasan batuan lainnya (Samodra, 2001). Fenomena karst terutama terjadi pada daerah yang terbentuk dan tersusun dari endapan batuan karbonat dengan mineral utama kalsit (CaCO3), aragonit (CaCO3), dan dolomit (CaMg(CO3))2 tetapi dapat juga terjadi pada batuan lain yang terbentuk dari mineral-mineral mudah larut oleh air lainnya seperti gipsum (CaSO42H2O),
5
anhidrit (CaSO4), halit (NaCl), batuan sedimen klastik dengan semen yang mudah larut, maupun batuan lain dimana proses pelarutan mineral bisa dan mudah terjadi (Notosiswoyo, 2006). Kawasan karst merupakan kawasan dengan sumberdaya yang besar dan berpotensi untuk dikembangkan antara lain dari sumberdaya alamnya seperti sumberdaya air, tambang, hayati, wisata, arkeologi dan lainnya. Potensi tambang di kawasan karst ialah penambangan bahan galian golongan C (batu gamping) dan bahan mineral (emas, perak, tembaga dan seng). Batu gamping merupakan batuan sedimen karbonat yang terdapat di alam dengan penampakan luar berwarna putih, putih kekuningan, abu-abu hingga hitam. Sebaran batuan karbonat, khususnya batu gamping di Indonesia diperkirakan mencapai luas lebih dari 15,4 juta hektar dan diasumsikan cadangan batu gamping tersebut sebanyak 39 trilyun ton (Surono dkk, 1999 diacu dalam Samodra 2001). Hal ini merupakan aset negara yang menggiurkan untuk dimanfaatkan dalam sektor pertambangan. Berdasarkan determinasi bahan tambang, batu gamping merupakan salah satu bahan galian industri yang potensinya sangat besar. Batu gamping memiliki manfaat cukup beragam di beberapa bidang kehidupan. antara lain untuk: 1) pertanian, 2) lingkungan (penjernih air dan obat pembasmi hama), 3) konstruksi (fondasi bangunan rumah, jalan, jembatan dan pembuatan semen trass atau semen merah dan marmer) dan 4) industri (keramik, kaca, bahan kimia, dan bahan pemutih) (Samodra, 2001). Marmer atau batu pualam merupakan batuan hasil proses metamorfosa atau malihan dari batu gamping. Marmer akan selalu berasosiasi keberadaannya dengan batu gamping. Setiap ada batu marmer akan selalu ada batu gamping, walaupun tidak setiap ada batu gamping akan ada marmer. Selain itu marmer juga memiliki arti sebagai nama dagang untuk setiap batu gamping yang setelah digosok (diproses) menjadi mengkilap. Kegiatan penambangan adalah kegiatan yang pasti merubah lingkungan yang ada menjadi lingkungan baru yang berbeda, dan perubahan tersebut tidak akan dapat atau susah untuk dikembalikan ke keadaan semula. Penambangan dapat menciptakan kerusakan lingkungan yang serius dalam suatu kawasan. Skala potensi kerusakan ini tergantung pada berbagai faktor kegiatan pertambangan dan faktor keadaan lingkungan. Faktor kegiatan pertambangan antara lain berkaitan
6
dengan letak cebakan mineral, faktor teknik pertambangan, pengolahan, dan sebagainya. Sedang faktor lingkungan adalah faktor kepekaan lingkungan, antara lain faktor geografis dan morfologis, faktor fauna dan flora, faktor hidrologis dan lain-lain (KLH, 2000). UNEP (1999) diacu dalam BAPEDAL (2001) menggolongkan dampak-dampak yang timbul dari kegiatan pertambangan sebagai berikut: 1. Kerusakan habitat dan keanekaragaman hayati pada lokasi pertambangan. 2. Perubahan landskap/gangguan visual/kehilangan penggunaan lahan. 3. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah tambang dan tailing, peralatan yang tidak digunakan, limbah padat, limbah rumah tangga dan bahan kimia. 4. Kecelakaan/ terjadinya longsoran fasilitas tailing. 5. Peningkatan emisi udara, debu, perubahan iklim dan konsumsi energi. 6. Pelumpuran dan perubahan aliran sungai serta perubahan air tanah dan kontaminasi. 7. Kebisingan, radiasi dan toksisitas logam berat. 8. Perusakan peninggalan budaya dan situs arkeologi. 9. Terganggunya/menurunnya kesehatan masyarakat dan permukiman di sekitar tambang. Potensi tambang yang besar dengan manfaat yang besar pula, membuat kegiatan penambangan di kawasan karst khususnya tambang batu gamping merupakan salah satu sektor yang memiliki peluang menjanjikan. Namun, kegiatan ini tentu akan menimbulkan dampak negatif tidak hanya bagi kondisi kawasan itu sendiri tetapi juga terhadap masyarakat sekitar. C.
Kualitas Air Perusahaan pertambangan di Indonesia, menurut Chalid Muhammad,
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam Uni Sosial Demokrat (2001), masih menggunakan teknologi pembuangan limbah secara manual, yakni pembuangan limbah ke sungai, sistem dam, atau pembuangan limbah ke laut. Padahal air permukaan (air sungai, danau dan laut) merupakan sumber utama untuk pengairan di Indonesia karena jumlahnya cukup berlimpah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.35 (1991) dalam Isnugroho (2002),
7
sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Potensi dan mutu air sungai dipengaruhi oleh kondisi daerah aliran sungai, baik oleh sifat komponen lingkungan biologi, fisik dan kimia yang ada maupun oleh kegiatan manusia (Wongsosentono, 1993). Salah satu dampak negatif dari kerusakan DAS atau sungai di Indonesia adalah semakin berkurangnya ketersediaan sumberdaya air. Kerusakan DAS atau sungai telah menyebabkan kondisi air menurun, baik secara kualitas, kuantitas maupun distribusinya, sehingga seringkali menyebabkan konflik di masyarakat (Nugroho, 2002). Menurut Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.2 tahun 1988 dan Fardiaz (1992) yang dimaksud dengan pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya zat, mahluk hidup (mikroorganisme patogen), energi (air panas, air dingin dan lain-lain), atau komponen lain (zat radioaktif) ke dalam air dan berubahnya tatanan dan sifat-sifat air dari keadaan normal oleh kegiatan manusia atau proses alami, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu, yang menyebabkan air kurang berfungsi sesuai dengan peruntukkannya atau tidak dapat digunakan secara normal. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air dapat dikelompokkan menjadi: 1) bahan buangan padat, 2) bahan buangan organik, 3) bahan buangan anorganik, 4) bahan buangan olahan bahan makanan, 5) bahan buangan cairan berminyak, 6) bahan buangan zat kimia, dan 7) bahan buangan berupa panas. Menurut PP Republik Indonesia No.82 tahun 2001, kualitas air dinyatakan dengan beberapa parameter kualitas air yang meliputi parameter fisika, seperti suhu, kekeruhan, padatan terlarut, dan sebagainya; parameter kimia yang mencakup pH, oksigen terlarut, BOD5, kadar logam-logam, dan lain-lain; dan parameter mikrobiologi meliputi keberadaan plankton, bakteri, dan sebagainya. Pengujian penentuan sifat-sifat air (sifat fisika air, sifat kimia air dan sifat biologis air), dapat dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi penyimpangan dari batasan-batasan pencemaran air. Selain itu, Wardhana (1995) juga mengatakan bahwa indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan yang dapat diamati melalui: 1) perubahan suhu air, 2) perubahan pH
8
atau konsentrasi ion Hidrogen, 3) perubahan warna, bau dan rasa air, 4) timbulnya endapan, koloidal dan bahan terlarut, 5) mikroorganisme, dan 6) meningkatnya radioaktivitas air lingkungan. C.1. Sifat Fisik 1. Suhu Suhu suatu perairan mempunyai pengaruh universal dan sering menjadi faktor pembatas dalam pertumbuhan dan distribusi organisme akuatik, karena seringkali organisme kurang dapat bertahan terhadap perubahan suhu yang terjadi (Odum, 1993). Suhu air limbah umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan suhu air perairan penerima. Tingginya suhu air limbah tersebut disebabkan adanya campuran air panas dari perumahan dan aktifitas industri (Saeni, 2000). Kenaikan suhu air akan menimbulkan beberapa akibat, antara lain: 1) jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun, 2) kecepatan reaksi kimia meningkat, 3) kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu, dan 4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati (Fardiaz, 1992). 2. Kekeruhan Kekeruhan adalah gambaran dari kejernihan suatu perairan. Menurut Mahida (1984) pada dasarnya pengeruhan terjadi disebabkan oleh adanya zat-zat koloid yaitu zat yang terapung serta terurai secara halus sekali. Hal itu disebabkan pula oleh kehadiran zat organik yang terurai secara halus, jasad-jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat koloid yang serupa atau benda terapung yang tidak mengendap dengan segera. Hadirnya benda dan zat tersebut mengakibatkan air menjadi kotor dan tidak jernih. Tidak jernih atau keruhnya air mengganggu penetrasi matahari, sehingga mengganggu dan menghambat jalannya proses fotosintesis tanaman air, memberikan wadah bagi bakteri patogen untuk berlindung di dalam atau disekitar bahan penyebab kekeruhan (Sutrisno dan Suciyanti, 1991). 3. Padatan Total Padatan total adalah semua bahan sisa setelah penguapan pada suhu 103105°C. Padatan total dalam air meliputi bahan-bahan yang mengapung, bahan yang tersuspensi, bahan koloid dan bahan padat terlarut. Bahan-bahan padat ini berasal dari sumber buangan domestik, buangan industri, pertanian dan dari
9
infiltrasi air tanah. Sedangkan menurut Sugiharto (1987), padatan total digolongkan menjadi 3 golongan besar yaitu: 1) golongan padatan yang mengendap, 2) golongan padatan yang tercampur, dan 3) golongan padatan yang terlarut. Padatan yang terdapat dalam perairan akan mempengaruhi warna air dan mengurangi penetrasi cahaya matahari yang lebih lanjut akan mengurangi oksigen terlarut. C.2. Sifat Kimia 1. pH Konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam suatu cairan dinyatakan dengan pH, yang dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain aktifitas biologi, suhu, kandungan oksigen dan adanya ion-ion. Aktifitas biologi yang menghasilkan gas CO2 akan membentuk ion buffer atau penyangga untuk menyangga kisaran pH di perairan agar tetap stabil (Pescod 1978, diacu dalam Azwir 2001). Menurut Brook et al (1989) dalam Fakhry (2000) menyebutkan bahwa perairan sudah dianggap tercemar apabila memiliki nilai pH dengan kisaran pH < 4,8 dan > 9,2. Sedangkan menurut Sastrawijaya (1991) jika pH air < 7 dan > 8,5 kemungkinan pencemaran sudah terjadi di perairan tersebut. 2. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen
terlarut
merupakan
parameter
penting
untuk
mengukur
pencemaran air serta kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan dalam air. Oksigen terlarut adalah jumlah milligram/liter (mg/l) oksigen yang terlarut dalam air. Kandungan oksigen terlarut yang rendah menandakan bahwa suatu perairan telah tercemar, karena oksigen terlarut digunakan untuk mengoksidasi bahan organik (Wahono, 1992). Menurut Fardiaz (1992), konsentrasi oksigen terlarut yang rendah akan menyebabkan ikan dan hewan air lainnya mati, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi mengakibatkan proses pengkaratan semakin cepat. 3. Biological Oxygen Demand (BOD) Biological Oxygen Demand adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram/liter (mg/l) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik oleh bakteri, sehingga perairan menjadi jernih kembali. Untuk itu semua diperlukan waktu 100 hari pada suhu 20°C akan tetapi di laboratorium dipergunakan waktu 5
10
hari sehingga dikenal sebagai BOD5 (Sugiharto, 1987). Air yang hampir murni mempunyai nilai BOD5 kira-kira 1 ppm dan air yang mempunya nilai BOD5 3 ppm masih dianggap cukup murni, tetapi kemurnian air diragukan jika nilai BOD5nya mencapai 5 ppm atau lebih (Fardiaz, 1992). Sedangkan nilai BOD5 air limbah kasar sangat berbeda, berkisar antara 100 ppm untuk air limbah yang sangat encer sampai 600 ppm atau lebih untuk air limbah terpadu yang berisi beberapa jenis sampah industri (Mahida, 1984). 4. Chemical Oxygen Demand (COD) Chemical Oxygen Demand adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau milligram/liter (mg/l) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk menguraikan bahan organik secara kimiawi (Sugiharto, 1987). Nilai COD umumnya lebih besar dari BOD, karena lebih banyak senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimia oleh oksidator kuat daripada oksidasi secara biologis. Rasio perbandingan antara BOD dengan COD berkisar antara 0,4 – 0,8. Penentuan cara COD lebih cepat daripada pengukuran dengan cara BOD5 (Saeni, 2000) dimana 96 % hasil uji COD yang dilakukan selama 10 menit akan setara dengan hasil uji BOD selama 5 hari (Fardiaz, 1992). 5. Nitrogen (N) Nitrat, nitrit dan amonia adalah senyawa nitrogen organik yang banyak mendapat perhatian dalam penentuan kualitas air. Menurut Saeni (2000), dalam buangan segar, nitrogen terdapat dalam bentuk senyawa protein dan urea. Melalui penguraian bakteri, senyawa tersebut diurai menjadi ammonia. Makin lama umur buangan, makin besar jumlah ammonianya. Pada keadaan aerob, bakteri akan mengoksidasi ammonia menjadi nitrit (NO2⎯⎯) dan nitrat (NO3⎯⎯). Jumlah senyawa nitrat dalam buangan mencirikan bahwa buangan tersebut telah distabilkan oleh tersedianya oksigen. Nitrat merupakan produk hasil oksidasi zat bernitrogen. Makin sempurna pembenahan limbah bernitrogen, maka semakin tinggi produk nitratnya. Kadar nitrat air permukaan yang tercemar oleh sumber nitrogen, dapat mencapai 100 ppm. Sumber nitrogen dalam perairan berasal dari hancuran bahan organik, limbah domestik, limbah industri, limbah peternakan dan limpasan pupuk.
11
6. Posfat (P) Unsur fosfor merupakan unsur esensial untuk pertumbuhan alga dan organisme biologi perairan lainnya. Kelebihan unsur P dalam perairan dapat mengakibatkan keadaan yang terlalu subur (eutrofikasi) dan dapat menurunkan kadar oksigen terlarut sampai nol ppm (Saeni, 2000). Bila keadaan ini ditunjang dengan tersedianya unsur hara lainnya, maka akan merangsang perkembangbiakan organisme air, misalnya peledakan populasi plankton dan alga (blooming). Akibatnya, akan menimbulkan keadaan perairan yang anaerob terutama pada malam hari ketika aktifitas fotosintesis berhenti. Selanjutnya hal ini akan mengakibatkan kematian organisme perairan terutama ikan (Adrian, 2004). C.3. Sifat Biologi Apabila pencemaran lingkungan diperkirakan melalui jalur air maka indikator biologisnya dapat ditentukan melalui hewan atau tanaman yang hidup atau tumbuh di air, baik air sungai, danau, maupun air laut. Indikator biologis yang ada pada jalur air dan mungkin sampai kepada manusia (Wardhana, 1995) adalah: 1) phytoplankton, jenis plankton tanaman, 2) zooplankton, jenis plankton hewan, 3) moluska, jenis kerang-kerangan, 4) krustacea, jenis siput-siputan, dan 5) ikan dan sejenisnya. Bentos Organisme bentos adalah binatang yang relatif besar dan sebagian siklus hidupnya berada di dalam atau pada substrat di air. Adapun yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah cacing, serangga air, anelida, moluska, dan lainlain. Komunitas bentos sensitif terhadap perubahan kualitas air. Perairan yang memperoleh pencemaran berat, sedang dan ringan memiliki organisme bentos dengan spesies berlainan (Sutrisno dan Suciyanti, 1991). Peran bentos di dalam ekosistem perairan sangat besar, diantaranya sebagai pengurai bahan-bahan organik yang terdapat di dasar atau didalam perairan, pentransfer energi dari produsen primer ke organisme pada “trophic level” yang lebih tinggi, dan bermanfaat secara ekonomis (Dahuri et al, 1996). Menurut Odum (1979) diacu dalam Priyono (1996), keberadaan bentos sangat tergantung pada kondisi tipe substrat dasar perairan. Keragaman bentos tertinggi biasanya dijumpai pada dasar sungai berarus deras di daerah hulu yang bertipe dasar batu-batuan, sedangkan
12
tipe dasar pasir dan lumpur umumnya memiliki keragaman jenis bentos yang rendah karena kondisi dasar yang labil dan tidak ada tempat bertaut atau menempel yang kokoh. Tabel 2 Struktur komunitas makrozoobentos dalam suatu perairan No.
Kondisi Perairan
Struktur Komunitas
1
Bersih
Komunitas makrozoobentos dengan beberapa spesies intoleran seimbang kehidupannya dengan diselingi populasi fluktuatif, tidak adanya suatu spesies yang mendominasi.
2.
Tercemar Sedang
Penghilangan atau pengurangan sejumlah spesies intoleran dan beberapa kelompok fakultatif serta satu atau dua spesies toleran mulai mendominasi.
3.
Tercemar
Komunitas makrozoobentos dengan jumlah yang terbatas, diikuti intoleran dan fakultatif. Kelompok toleran mulai berlimpah tanda perairan tercemar bahan organik.
4.
Tercemar Berat
Penghilangan hampir semua hewan makroinvertebrata kemudian diganti oleh perkembangan cacing Oligochaeta dan organisme yang mampu bernafas di udara
Sumber: The Georgia Water Quality Control Board (1971) diacu dalam Wilhm (1975)
Berdasarkan ukurannya, bentos terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) makrozoobentos, berukuran lebih besar dari 1 mm, 2) meiobentos, berukuran antara 0,1-1,0 mm, dan 3) mikrobentos, berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (Barnes dan Mann, 1980). Menurut The Georgia Water Quality Control Board (1971) diacu dalam Wilhm (1975), makrozoobentos dapat menunjukkan kondisi air suatu perairan berdasarkan struktur komunitasnya. Tabel 2 menunjukkan struktur komunitas makrozoobentos dalam suatu kondisi perairan. D.
Pengelolaan kawasan karst Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.1456
(2000) tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, kawasan karst dibagi menjadi 3 kelas, antara lain: (1). Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu, atau lebih kriteria berikut ini: a) berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi; b) mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya membentuk jaringan baik mendatar maupun tegak yang
13
sistemnya mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan; c) gua-guanya mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalan-peninggalan sejarah sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata dan budaya; d) mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan. (2). Kawasan Karst Kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua kriteria berikut ini: a) berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih mendukung fungsi umum hidrologi; b) mempunyai jaringan lorong lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak, serta sebagai tempat tinggal tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi. (3). Kawasan Karst Kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Dalam hubungannya dengan kegiatan pengelolaan, pembagian kelas karst ditujukan untuk menentukan bentuk kegiatan atau bentuk pemanfaatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan tersebut sesuai dengan kelas karstnya. Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang perlu dikonservasi dan tidak boleh ada kegiatan usaha pertambangan, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan penelitian yang tidak merubah atau merusak bentuk-bentuk morfologi dan fungsi kawasan karst. Pada kawasan karst Kelas II, dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mendapat rekomendasi teknis dari Menteri yang membidangi kegiatan pertambangan, setelah dilengkapi dengan studi lingkungan (Andal, UKL dan UPL). Sedangkan pada kawasan karst Kelas III, dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, tanpa rekomendasi dari Menteri yang membidangi kegiatan pertambangan.
III. METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan Hutan Lindung Bulusaraung Kabupaten
Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengambilan data dilaksanakan selama ± 2 bulan, yaitu bulan Januari sampai Februari 2008. Batasan lokasi penelitian ialah di wilayah Kecamatan Bantimurung, di Kel. Leang-Leang (Gambar 1). Lokasi pengambilan sampel kualitas air dilaksanakan di daerah sekitar kegiatan industri dan penambangan marmer PT. Bosowa Mining Marmer.
Gambar 1 Peta HL Bulusaraung (lokasi penelitian)
15
B.
Data Data-data yang diambil serta metode analisis untuk setiap parameter
dijelaskan secara rinci dalam Tabel 3 dan 4 berikut ini: Tabel 3 Parameter kualitas air dan metode analisisnya No.
Parameter Kualitas Air
Satuan
a.
Fisik
1.
Suhu Air
2.
Kekeruhan
NTU
3.
Debit
m/det
4.
Total Padatan Terlarut
Mg/l
b.
Kimia
1.
pH
2.
Oksigen Terlarut
3.
°C
Metode Analisis
Alat
Lokasi Analisis
Pembacaan skala
Termometer
In situ
Metode Nephelometrik
Turbidimeter
In situ
-
-
In situ
Gravimetrik
Penyaring dan timbangan analitik
Lab induk
Potensiometrik elektroda hidrogen
pH meter
In situ
Mg/l
Metode Winkler
Peralatan titrasi
In situ
BOD
Mg/l
Metode Winkler
Peralatan titrasi
In situ
4.
COD
Mg/l
Titrasi K2Cr2O7 dengan indikator Ferron
Peralatan titrasi
Lab induk
5.
Nitrat
Mg/l
Metode Brusia
Peralatan titrasi
Lab induk
6.
Posfat
Mg/
Metode Stanus Klorida
Peralatan titrasi
Lab Induk
7.
Sulfat
Mg/l
Metode Turbidimetrik memakai BaCl2
Peralatan titrasi
Lab Induk
c.
Biologi
1.
Bentos
Mikroskop
Lab induk
-
-
16
Tabel 4 Data yang dikumpulkan dari Pemangku Jabatan terkait di Kawasan Hutan Lindung Bulusaraung No.
Stakeholder
1
Dinas Kehutanan
Informasi yang dikumpulkan
Metode pengumpulan data
- Kondisi fisik dan biologi kawasan HL Bulusaraung - Peta penutupan lahan
Wawancara dan studi putaka
- Peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan HL dan pelaksanaan kegiatan penambangan di HL - Dokumen pengelolaan HL Bulusaraung - MOU atau perjanjian mengenai pelaksaanan kegiatan industri semen dan penambangan di HL Bulusaraung - Program kerja atau rencana strategis yang akan, sedang dan telah dilakukan dalam kegiatan pengelolaan HL - Pengaruh keberadaan industri semen dan penambangan terhadap fungsi HL Bulusaraung - Upaya pengawasan dan penyelesaian yang akan dan telah ditempuh dalam mengantisipasi permasalahan 2
3
4
- Dokumen AMDAL
Bapedalda dan KLH
Dinas Pertamabangan dan Energi
PT.Bosowa Mining
-
Keterlibatan dalam pengelolaan HL Bulusaraung
-
Permasalahan kualitas air akibat penambangan
-
Keterlibatan dalam pengelolaan HL Bulusaraung
-
Peraturan dan perundang-undangan mengenai penambangan -
Perizinan kegiatan penambangan
-
Permasalahan dalam kegiatan penambangan
- Bentuk limbah yang dihasilkan, sistem dan lokasi pembuangannya - Kegiatan pengelolaan penambangan - Kapasitas produksi dan buangan limbah per bulan
Wawancara dan studi putaka Wawancara dan studi putaka
Pengamatan langsung, wawancara dan studi putaka
- Kegiatan pemantauan kondisi lingkungan perairan (waktu, tata cara, lokasi, dan pelaksana) - Bentuk pemanfaatan sungai dalam kegiatan industri dan penambangan 5
Masyarakat sekitar kawasan HL Bantimurung
- Karakteristik (nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan pekerjaan) - Tingkat ketergantungan dan masyarakat terhadap sungai
bentuk
pemanfaatan
- Penilaian masyarakat terhadap kondisi air sungai - Pengaruh keberadaan limbah industri semen dan marmer yang dirasakan oleh masyarakat terhadap kualitas air (kondisi kesehatan dan pertanian)
Pengamatan langsung, wawancara dan studi putaka
17
C.
Penentuan Lokasi Penelitian Pengambilan lokasi penelitian di Kelurahan Leang-Leang didasarkan
karena di dalam dan disekitar kawasan tersebut terdapat 2 perusahaan marmer aktif dari 4 perusahaan marmer yang aktif di dalam HL Bulusaraung. Selain itu masyarakat di sekitar kawasan tersebut memiliki interaksi yang besar dengan kawasan HL Bulusaraung dan kegiatan penambangan.
Gambar 2 Lokasi pengambilan sampel kualitas air Lokasi pengambilan sampel kualitas air dilakukan hanya pada 1 lokasi yaitu pada daerah aliran mata air Bombro (Sungai Bulutengae) yang berada di sekitar industri dan penambangan marmer dari PT. Bosowa Mining. Pemilihan lokasi ini didasarkan karena perairan tersebut mendapatkan pengaruh pembuangan limbah marmer yang berasal dari industri marmer PT. Bosowa Mining. Sehingga lokasi ini dianggap mewakili dalam hal penentuan kualitas perairan akibat kegiatan pertambangan dan industri. Pada lokasi yang ditentukan, diambil 2 titik stasiun yaitu stasiun pertama (di perairan sebelum outlet pengeluaran limbah) dan stasiun kedua (di perairan setelah outlet pengeluaran limbah). Stasiun 1 merupakan titik yang perairannya
18
dianggap tidak terpengaruh oleh kegiatan industri marmer, sedangkan stasiun 2 merupakan titik yang terpengaruh oleh kegiatan industri marmer berupa limbah cair. Pengambilan kedua titik ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas air antara perairan yang tidak dipengaruhi dan dipengaruhi oleh aktifitas industri dan pertambangan. D.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam 2 tahap yaitu pengambilan sampel air
dilapangan dan pengumpulan data kualitatif melalui beberapa kegiatan sebagai berikut: 1
Studi pustaka : dilakukan untuk mengetahui kegiatan pengelolaan Hutan Lindung Bulusaraung, kondisi perairan, kegiatan industri marmer di Hutan Lindung Bulusaraung. Kegiatan ini dilakukan di kantor Dinas Kehutanan Maros, Dinas Pertambangan dan Energi Maros, Bapedalda Kab. Maros, dan di PT. Bosowa Mining. Pustaka yang terkait dengan permasalahan diatas diperoleh dari pihak-pihak lain yang terkait (hasil penelitian perguruan tinggi, LSM dan instansi lainnya).
2
Metode wawancara : dilakukan terhadap informan kunci yaitu Kepala Dinas dan Kepala sub Bagian Kehutanan (Dinas Kehutanan Kab. Maros), Kepala Bidang Perizinan dan Kepala Bidang Konservasi dan Pemetaan (Dinas Pertambangan dan Energi Maros), Kepala Sub Bidang Pemantauan dan Pemulihan dan Kepala Sub Bidang Pelestarian (Bapedalda Kab. Maros), Manajer Produksi dan bagian pemantauan lingkungan (Pengelola Industri marmer), dan perangkat desa, tokoh adat dan agama di sekitar HL Bulusaraung (tokoh masyarakat). Perangkat desa, tokoh adat dan agama (tokoh masyarakat) menjadi informan kunci. Untuk mengevaluasi serta melengkapi informasi yang diperoleh, dipilih beberapa orang dari masyarakat umum sekitar kawasan tersebut, secara acak ataupun atas saran dan rekomendasi dari informan kunci. Jumlah informan kunci yang diwawancarai ialah sebanyak 10 orang dengan menggunakan bantuan panduan wawancara.
19
3
Metode pengamatan : dilakukan untuk mengetahui kesesuaian antara informasi yang diberikan oleh informan dan hasil pustaka terhadap keadaan di lapangan.
4
Metode penentuan kualitas air : Penentuan kualitas air dilakukan dalam 2 tahap
yaitu
tahap
pertama
yaitu
pengambilan
sampel
air
dan
makrozoobenthos di 2 stasiun yang telah ditentukan dan tahap kedua melakukan analisis terhadap sampel air dan makrozoobenthos di laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemeberantasan Penyakit Menular Kelas I Makassar. E.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini tercantum
dalam Tabel 5 dan 6 berikut ini: Tabel 5 Alat dan bahan penelitian untuk sampel air No.
Nama Alat dan Bahan
Kegunaan
1
pH meter
Mengukur pH air
2
Termometer
Mengukur suhu air
3
Pipet
Menambahkan bahan kimia ke dalam sampel air
4
Ice box / MnSO4 Azida
Mengawetkan sampel air
5
Jerigen
Mengangkut sampel air
6
Botol BOD
Wadah sampel air untuk uji BOD dan COD
7
Water Sampler
Mengambil sampel air
8
Bahan titrasi
Mengukur DO dan BOD
9
Turbidimeter
Mengukur kekeruhan
10
TDs meter
Mengukur padatan terlarut
Tabel 6 Alat dan bahan penelitian untuk sampel bentos No.
Nama Alat dan Bahan
Kegunaan
1.
Surber
Mengambil sampel bentos di dasar sungai
2.
Saringan
Memisahkan bentos dari material lain
3.
Alkohol 70 %
Mengawetkan spesimen bentos
4.
Tabung film atau botol
Wadah sampel bentos
Peralatan dan bahan penelitian yang digunakan untuk kegiatan wawancara dan studi pustaka adalah tape recorder, kamera dan panduan wawancara.
20
F.
Analisis Data
Analisis data pengelolaan pertambangan HL Bulusaraung Analisis
data
pengelolaan
pertambangan
dilakukan
dengan
membandingkan data kondisi kegiatan penambangan yang ditemukan di lapangan sebenarnya dengan aturan atau perundangan yang berkaitan dengan penambangan kawasan karst dan hutan lindung serta pencemaran lingkungan. Analisis data nilai kualitas air Analisis data untuk parameter fisika dan kimia perairan di sungai sekitar industri marmer dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran lapangan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, berdasarkan baku mutu kualitas air kelas III. Peruntukkan kelas III dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman dan atau untuk peruntukkan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Analisis Parameter Biologi: 1. Kepadatan Kepadatan makrozoobentos didefinisikan sebagai jumlah individu makrozoobentos per satuan luas (m2). Contoh makrozoobentos yang telah didefinisikan dihitung kepadatanya dengan rumus: K=
dimana :
1000 a b
K
= Kepadatan makrozoobentos (individu/m2) a
= Jumlah makrozoobentos yang dihitung (individu)
b
= Luas bukaan transek surber
1000 = Konversi dari cm2 ke m2 2. Indeks Keanekaragaman (H’) Pengolahan data keanekaragaman makrozoobentos menggunakan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener. Indeks tersebut tidak tergantung pada besarnya contoh, yang berarti bahwa dengan contoh yang sedikit dapat diperoleh indeks yang dapat dipercaya untuk keperluan pembandingan sehingga cocok untuk pengukuran keanekaragaman makrozoobentos pada perairan dengan jumlah
21
spesies sedikit. Untuk keperluan ini hanya diperlukan kemampuan membedakan jenis tanpa harus mengidentifikasinya (Odum, 1993). Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) dihitung dengan rumus:
H ' = − ∑ i =1 [Pi log 2 Pi ] s
Pi =
ni N
dimana: H’ = Indeks keanekaragaman ni = Jumlah individu ke-1 N = Jumlah total individu S
= Jumlah jenis
Nilai indeks ini kemudian diklasifikasikan menurut Wilhm (1975) pada Tabel 7. Tabel 7 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) No.
Nilai Indeks keanekaragaman (H’)
Kategori
1.
>3
Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
2.
1–3
Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang.
3.
<1
Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah.
Sumber: Wilhm (1975)
Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener dapat pula digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran suatu perairan. Hubungan antara besarnya nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener dengan tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Kriteria tingkat pencemaran berdasarkan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
No.
Nilai Indeks keanekaragaman (H’)
Tingkat Pencemaran
1.
> 4,5
Tidak tercemar / tercemar sangat ringan
2.
1,0 – 3,0
Tercemar sedang
3.
< 1,0
Tercemar berat
Sumber : Wilhm dan Doris (1968) diacu dalam Wilhm (1975)
3. Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman (E) digunakan untuk membandingkan tingkat keseragaman antar komunitas bentos sehingga diketahui pola dominasi suatu jenis
22
atau beberapa kelompok jenis dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
E= dimana:
H' H maks
E
= Indeks keseragaman
H’
= Indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
Hmaks
= 3,3219 log10S
S
= Jumlah jenis dalam komunitas
Semakin besar nilai E (mendekati 1), maka sebaran individu antar jenis relatif merata dan keseimbangan ekosistem semakin stabil. Tetapi sebaliknya jika nilai E semakin kecil (mendekati 0), maka sebaran individu antar jenis sangat tidak merata dan keseimbangan ekosistem semakin tidak stabil. 4. Indeks Dominasi (D) Indeks dominasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya organisme makrozoobentos yang mendominasi suatu lingkungan perairan. Indeks dominasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus: D=
dimana: D
⎛ ni ⎞ ∑ i =1 ⎜⎝ N ⎟⎠
2
s
= Indeks dominasi
ni
= Jumlah individu Jenis ke-i
N
= Jumlah total individu dari semua jenis
s
= Jumlah jenis
5. Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI) Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan berdasarkan data biota perairan. HBI dihitung menggunakan rumus:
HBI = ∑i =1 s
ni.ai N
dimana: HBI = Indeks Biotik Hilsenhoff ni
= Jumlah individu jenis ke-i
ai
= Nilai toleransi jenis ke-i
N
= Total individu dalam contoh
23
Tingkat pencemaran suatu perairan ditentukan berdasarkan besarnya nilai indeks biotik. Hubungan Indeks Biotik Hilsenhoff dengan tingkat pencemaran (Tabel 9). Tabel 9 Kategori nilai kualitas air menurut Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI) No.
HBI
Kategori Kualitas Air
1.
0,0 – 3,75
Sangat bagus sekali
2.
3,76 – 4,25
Bagus sekali
3.
4,26 – 5,00
Bagus
4.
5,01 – 5, 75
Sedang
5.
5,76 – 6,50
Agak buruk
6.
6,51 – 7,25
Buruk
7.
7,26 – 10,00
Sangat buruk
Sumber: Hilsenhoff (1977)
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A.
Sejarah dan Status Kawasan Sejarah status kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan telah dimulai
sejak tahun 1930-an dimana pada saat itu pemerintah Belanda telah menetapkan beberapa wilayah hutan dengan nama Tuan Vak. Pada tahun 1982, Menteri Pertanian mengeluarkan SK 760/kpts/um/10/1982 tentang penunjukan areal hutan di wilayah Provinsi Dati I Sulawesi Selatan seluas 3.615.164 ha sebagai kawasan hutan. Setelah dilakukan kegiatan penataan batas di lapangan dan berdasarkan hasil paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (THGK), maka ditunjuk kembali kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 890/kpts-II/1999 tentang penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi Dati I Sulawesi Selatan seluas ± 3.879.771 Ha (Gambar 3). Kemudian dalam rangka mengakomodasi rencana sektor kehutanan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan SK 276/IV/1999 tentang penetapan hasil paduserasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Dati I Sulawesi Selatan. Berdasarkan Keputusan dan SK tersebut, lokasi penelitian ini dilakukan merupakan kawasan hutan dengan status kawasan hutan lindung yaitu Kelompok Hutan Lindung Bulusaraung yang merupakan bagian dari bentangan kawasan Karst Maros-Pangkep. Pada tahun 2004 sebagian besar kawasan Karst Maros Pangkep mengalami perubahan fungsi menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas ± 43.750 ha melalui SK penunjukan Menteri Kehutanan No. 398/Menhut-II/2004 (Gambar 4). Perubahan fungsi ini merupakan peralihan dari beberapa status hutan yang ada di 2 kabupaten yaitu Kabupaten Maros dan Pangkep, dengan perincian Taman Wisata Alam (TWA) Bantimurung seluas 118 ha, TWA Gua Pattunuang seluas 1.506,25 ha, Cagar Alam (CA) Karaenta seluas 1.226 ha, CA Bantimurung seluas 1.000 ha, CA Bulusaraung seluas 8.056,65 ha, Hutan Lindung seluas 21.343,10 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 145 ha dan Hutan Produksi Tetap seluas 10.355 ha.
25
Gambar 3 Peta kawasan hutan berdasarkan hasil paduserasi tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dan rencana tata ruang wilayah propinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan Tahun 1999 Kawasan hutan lindung yang mengalami perubahan fungsi tersebut ialah kawasan kelompok Hutan Lindung Bulusaraung. Dengan berubahnya sebagian besar wilayah hutan lindung tersebut menjadikan wilayah hutan lindung ini menjadi terpecah-pecah menjadi hutan lindung dengan wilayah yang relatif kecil. Salah satunya adalah pecahan wilayah Hutan Lindung Bulusaraung yang berada di bagian barat ini. Kawasan HL Bulusaraung merupakan kawasan hutan lindung yang hampir sebagian besar wilayahnya telah dibebani Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pinjam Pakai (HPP) untuk kegiatan industri semen dan penambangan marmer.
26
Gambar 4 Peta status kawasan hutan B.
Kondisi Fisik
Letak Administratif Kawasan Hutan Lindung Bulusaraung berada dalam 2 wilayah administratif yaitu Kabupaten Maros (Kecamatan Bantimurung dan Kecamatan Maros Utara) dan Kabupaten Pangkep (Kecamatan Balocci). Kawasan ini secara geografis terletak pada ± 119º 36’39” BT - 119º 41’ 47” BT dan 4º 54’ 18” LS 4º 58’ 22” LS. Akibat perubahan fungsi sebagian besar wilayah Hutan Lindung Bulusaraung menjadi Taman Nasional, seluruh pecahan wilayahnya belum dapat ditentukan luasannya secara pasti, disebabkan karena belum terbitnya SK Penunjukan terhadap kawasan-kawasan tersebut. Namun, pengukuran secara manual oleh pihak Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, menghasilkan wilayah Hutan Lindung Bulusaraung seluas ± 3.719,29 Ha. Topografi Kawasan Karst Maros Pangkep terdiri dari beberapa tipe ekosistem, antara lain ekosistem hutan di atas batuan karst, ekosistem hutan hujan dataran rendah, dan ekosistem hutan hujan pegunungan bawah. Kelompok Hutan Lindung Bulusaraung ialah salah satu bagian kawasan Karst Maros Pangkep dengan ekosistem berupa hamparan karst. Ekosistem karst yang ada di kawasan ini memiliki batas yang jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding terjal
27
dengan puncak menara (tower karst) yang relatif bergelombang (Gambar 5), sangat berbeda dengan topografi ekosistem lain yang mempunyai topografi datar sampai bergunung. Topografi wilayah ini sebagian besar curam dan terjal (kelas lereng > 60%).
Gambar 5 Kondisi topografi karst HL Bulusaraung Tanah Tanah di wilayah ini terdiri dari 2 jenis tanah yang didominasi oleh jenis Rendolls yang mempunyai warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, dan sebagian kecil dari jenis Tropoquepts. Jenis batuan di kawasan ini sebagian besar di dominasi oleh jenis batu gamping dan sebagian kecil saja oleh jenis aluvium dan aluvium muda estuarin (Dinas Kehutanan tingkat I Sulawesi Selatan, 2007). Menurut Achmad (2005), intensitas curah hujan wilayah ini berdasarkan rataan 10 tahun terakhir yaitu sebesar 3.609 mm/th dan berdasarkan iklim Schmidt – Ferguson termasuk kedalam tipe C dengan nilai Q rasio = 33,87 %. Penutupan lahan pada kawasan HL Bulusaraung sebagian besar di dominasi oleh semak belukar (Gambar 6). Hidrologi Sistem hidrologi Kabupaten Maros merupakan bagian dari Das Maros yang terdiri dari 3 sub DAS yaitu sub DAS Tabo-Tabo, sub DAS Maros dan sub DAS Tanralili. Kawasan hutan lindung tersebut termasuk dalam wilayah sub DAS Tabo-Tabo dimana di dalam kawasan ini banyak sekali dijumpai mata air dan sungai-sungai kecil yang bermuara ke sungai besar di Kabupaten Maros yaitu Sungai Pute. Selain itu, juga ditemukan beberapa gua dengan sistem perairan air bawah tanah.
28
Gambar 6 Penutupan lahan di Kawasan Karst HL Bulusaraung C.
Kondisi Biotik
Flora Kawasan karst adalah salah satu bentuk keanekaragaman geologi di bumi yang merupakan habitat berbagai kenekaragaman hayati. Kawasan Karst Maros Pangkep merupakan salah satu kawasan karst dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi. Pada kawasan karst ini terdapat 2 jenis tipe vegetasi yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Sampai saat ini telah tercatat ± 284 jenis tumbuhan berkayu di kawasan Karst Maros Pangkep, bahkan ada diantaranya yang merupakan endemik Pulau Sulawesi maupun endemik wilayah Karst Maros Pangkep sendiri (Achmad, 2002). Kawasan Hutan Lindung Bulusaraung sendiri merupakan salah satu kawasan yang memiliki ke-2 tipe vegetasi tersebut. Selain memiliki kawasan yang masih primer, kawasan ini juga memiliki tipe vegetasi sekunder yang disebabkan oleh adanya gangguan dari kegiatan manusia seperti industri semen, marmer dan pengambilan batu gunung. Menurut Achmad (2005), kelompok vegetasi primer di kawasan Karst Maros Pangkep terdiri dari 4 jenis habitat yaitu pada puncak menara, tebing, lereng, dan lorong patahan. Puncak menara karst ditumbuhi oleh beberapa jenis diantaranya Hymenodictyon excelsum, Ficus subperba, Palanqium obovatum,
29
Spathodea campanulata, Polyathia celebica, Dripetes longifolia. Daerah tebing karst dapat dijumpai beberapa jenis diantaranya Ficus spp., Knema intermedia, Macaranga sp., Leea indica, Glochidion phylippicum, Nauclea orientalis. Sedangkan pada daerah lereng ditemukan antara lain Knema
intermedia,
Buchanania
arborescens,
Aglaya odorattisima,
Dacryodes
sp.,
Eugenia
acutangulata, Pangium edule, dan lain-lain. Pada lorong patahan ditemukan jenis Leea indica, Knema intermedia, Saurawia exavatia, Planchonia valida, Ardisia sp., Cananga odorata, dan lain-lain. Sedangkan pada vegetasi sekunder ditemukan beberapa jenis diantaranya Picus spp., Macaranga gigantea, Mallotus spp., Homalantus spp., Evodia sp., Litsea sp., Antocepalus cadamba dan lain-lain.
a. Vegetasi sekunder
b. Vegetasi primer
Gambar 7 Jenis vegetasi di kawasan HL Bulusaraung
Hasil eksplorasi yang dilakukan oleh tim SURILI Himakova IPB kerja sama dengan Dephut dan WWF (2007) di TN Bantimurung Bulusaraung menemukan 280 spesies tumbuhan dari 85 famili yang hidup di kawasan Karst Maros Pangkep dan sebanyak 66 spesies tumbuhan yang ditemukan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pangan, pengobatan tradisional dan tanaman hias. Spesies tumbuhan pangan yang ditemukan antara lain Arenga pinnata, Caladium sp. dan Dioscorea sp. Untuk spesies tumbuhan obat antara lain Alstonia scholaris dan Phyllanthus niruri. Adapun tumbuhan yang memiliki fungsi hias adalah anggrek (Orchidaceae), seperti Phalaenopsis spp dan Vanda spp (Himakova IPB et al, 2007).
30
Fauna Satwa yang dapat dijumpai di kawasan Karst Maros Pangkep terdiri dari beberapa jenis yaitu dari jenis mamalia, aves, amphibi dan reptilia, kupu-kupu, molusca dan arthropoda (Achmad, 2005). Berdasarkan Achmad (2005) dan hasil eksplorasi yang dilakukan oleh tim surili Himakova IPB kerja sama dengan Dephut dan WWF di TN BaBul tahun 2007 menemukan 69 spesies dari 27 famili burung, 54 spesies dari 4 famili kupu-kupu, 13 spesies dari 8 famili mamalia, 6 spesies dari 4 famili amfibi dan 17 spesies dari 5 famili reptil. Jenis burung diantaranya yaitu Blekok sawah (Ardeola speciosa), Elang-ular Sulawesi (Spilornis lufipectus), Tuwur Sulawesi (Eudynamys melanorhyncha), Cekakak sungai (Todirhamphus cloris) (Gambar 8a) dan Gagak Sulawesi (Corvus typicus). Jenis kupu-kupu yang ditemukan diantaranya Graphium milon, Hebomia glaucippe, Junonia atlitesdan dan Arhopala thamyras. Pada jenis herpetofauna ditemukan diantaranya yaitu Polypedates leucomystax, Rana celebensis, Draco walkeri dan Psamodynastes pulverulentus. Mamalia ditemukan diantaranya yaitu Tarsius (Tarsius spectrum), Monyet hitam dare (Macaca maura), Kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Musang sulawesi (Macrogalidea mussenbracecki).
(a)
(b)
Gambar 8 Beberapa jenis satwa di Kawasan HL Bulusaraung Mattimu (1977) diacu dalam Achmad (2002) melaporkan 103 jenis kupukupu yang ditemukan di antaranya ialah Papillo blumei, P. polites, P. satapses, Troides haliptron, T. helena, T. hypolites dan Graphium androcles. Suharjono et. al (2003) diacu dalam Achmad (2005) menemukan beberapa jenis fauna dalam
31
beberapa gua di wilayah karst Maros Pangkep, termasuk jenis-jenis moluska seperti Cyclotus longipilus, C. politos, C. guttatus, Xesta sp., Planispira sp dan Leptoma celebecianum, dan jenis-jenis artrophoda adalah Ketam buta, Cirolanidae (isopoda air tawar gua), Polydesmida, Trombidiidae, Amblipigi, heteropididae, dan lainnya. D.
Masyarakat sekitar kawasan HL Bulusaraung Kawasan Hutan Lindung Bulusaraung jauh sebelum ditetapkan menjadi
kawasan hutan lindung telah didiami oleh masyarakat Suku Bugis-Makassar secara turun temurun. Namun, seiring dengan perkembangan waktu serta berdirinya industri dan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan, penduduk asli yang berada di dalam kawasan tersebut pindah mencari tempat lain. Suku Bugis-Makassar merupakan etnik yang dominan di sekitar kawasan ini dan hampir seluruh penduduknya memeluk agama Islam. Desa yang menjadi lokasi penelitian terletak disebelah selatan kawasan Hutan Lindung Bulusaraung yaitu di Kelurahan Leang-Leang. Desa tersebut merupakan desa yang berbatasan langsung dengan lokasi penambangan dan industri marmer. Masyarakat kelurahan Leang-leang Kelurahan Leang-Leang terletak di sekitar kawasan Hutan Lindung Bulusaraung dan di kelurahan ini terdapat kegiatan penambangan oleh 2 industri marmer yaitu PT. Bosowa Marmer dan PT. Makassar Marmer Muliaindah. Secara administratif, kelurahan ini berada di kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Balocci, sebelah timur berbatasan dengan Desa Labuaja, sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kalabbirang, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Tukamasea. Kelurahan Leang-Leang memiliki luas ± 30,70 km², dengan penutupan lahan terbesar berupa hutan lindung seluas 1.015 Ha, diikuti oleh sawah 500 Ha, pemukiman 50 Ha dan perkebunan 35 Ha. Kelurahan Leang-Leang dihuni oleh 465 kepala keluarga (kk), dengan jumlah penduduk mencapai 1836 orang yang terdiri dari 872 orang laki-laki dan 964 orang perempuan (Pemerintah Daerah Leang-Leang,
2005).
Masyarakat
Leang-leang
sebagian
besar
bermata
pencaharian sebagai petani di sawah yang mereka garap (Tabel 10), yang terletak di sekitar desa dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Beberapa
32
kelompok tani dibentuk oleh masyarakat sekitar guna memperlancar kegiatan pertanian mereka. Kegiatan penambangan marmer di kelurahan ini, dijadikan sebagai pekerjaan sampingan oleh beberapa penduduk yang bekerja sebagai buruh perusahaan marmer tersebut. Tabel 10 Kondisi masyarakat Kelurahan Leang-Leang No
Kriteria Penduduk
1
Jumlah penduduk
2
Pendidikan
3
Jumlah (org) 1836
a. Tidak tamat SD
536
b. SD
731
c. SMP
222
d. SMA
275
e. Perguruan tinggi dan akademi
65
Pekerjaan a. Petani
348
b. Buruh/swasta
23
c. PNS
18
d. Pedagang
74
e. Peternak
25
Sumber: Monografi kelurahan Leang-Leang (2005)
a. Hasil hutan kayu
b. Kegiatan penambangan batu gunung
Gambar 9 Bentuk pemanfaatan sumberdaya di HL Bulusaraung Warga Leang-Leang baik secara langsung maupun tidak langsung sangat bergantung pada kawasan HL Bulusaraung. Salah satu bentuk ketergantungan masyarakat ialah kebutuhan air untuk kegiatan pertanian. Sebagai penyimpan air, HL Bulusaraung telah membantu warga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
33
terutama mengairi sawah-sawah baik dari sungai permukaan maupun dari sumur yang dibuat warga di tengah sawah yang merupakan aliran sungai bawah tanah. Terdapat 3 aliran sungai yang memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kelurahan Leang-Leang, yaitu Sungai Leang-Leang, Sungai Lambatorang dan Sungai Bulutengae (mengalir di sekitar kawasan pabrik marmer PT. Bosowa Mining). Selain memanfaatkan air, masyarakat juga memungut hasil hutan seperti kayu (Gambar 9a), madu, batu gunung (Gambar 9b), dan siput di sungai-sungai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Keberadaan penambangan Kegiatan penambangan di kawasan HL Bulusaraung dilakukan oleh
beberapa perusahaan, yang secara hukum telah melakukan pertambangan batu gamping di dalam kawasan HL Bulusaraung sebelum pemberlakuan UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Terdapat 13 perusahaan yang mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan pertambangan di HL Bulusaraung (HL Bulusaraung) namun hanya 4 perusahaan tambang saja yang aktif melakukan penambangan. Tabel 11 Perusahaan pertambangan yang berada di HL Bulusaraung dan jenis kegiatannya. No
Stakeholder
Jenis kegiatan yang dilakukan
keterangan
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Aktif
1
PT. Bosowa Mining
2
PT. Makassar Marmer Mulia indah
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Aktif
3
PT. Sanjiwahana Paramitra
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Aktif
4
PT. Hanilusindo Tri Pratama
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Aktif
5
PT. Batcelindo Perkasa
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
6
PT. Quarindah Ekamaju Marmer
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
7
PT. Baruga Asri Nusa
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
8
PT. Pusaka Dekorindah
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
9
PT. Kallabirang Marmer Lestari
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
10
PT. Sulawesi marmer Granite
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
11
PT. Tunas Marwa
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
12
PT. Mitra Mega Marindah
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
13
PT. Arkamira Jatindo
Marmer (kegiatan penambangan terbuka)
Tidak Aktif
a)
Ket: a) Perusahaan tempat pelaksanaan penelitian. Sumber : BPKH Provinsi Sulawesi Selatan
PT. Bosowa Mining merupakan salah satu perusahaan penambangan yang berada di dalam kawasan HL Bulusaraung dengan wilayah tambang seluas 25 ha. Secara administratif letak perusahaan ini berada di wilayah Kelurahan LeangLeang, Kecamatan Bantimurung. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT. Bosowa Marmer Mining ialah penambangan batu gamping sebagai bahan baku pembuatan marmer. Perusahaan ini telah melakukan kegiatan penambangan semenjak tahun 1993, dengan kapasitas produksi tambang batu gamping bulanan sebesar 200-300 m3 yang menghasilkan produksi marmer bulanan sebesar 4000
35
m2. Kegiatan industri pertambangan yang dilakukan PT. Bosowa Mining ialah penambangan batu gamping di dalam kawasan HL Bulusaraung dengan sistem penambangan terbuka (Gambar 10a). Kemudian dilakukan pengolahan (Gambar 10b) untuk menghasilkan marmer dengan buangan sampingan berupa limbah cair yang mengandung serbuk-serbuk halus batu gamping. Limbah cair tersebut kemudian dialirkan ke kolam pengendapan yang berbatasan langsung dengan sungai kecil yang berasal dari dalam kawasan.
a) Lokasi penambangan
b) Lokasi pabrik
Gambar 10 Wilayah industri PT. Bosowa Marmer Mining Pelanggaran aturan Alur pelaksanaan kegiatan pengelolaan penambangan yang dilakukan oleh PT. Bosowa Marmer Mining dimulai dari kegiatan perizinan dan perjanjian kemudian kegiatan penambangan dan terakhir pengolahan. Perizinan yang harus dimiliki suatu perusahaan tambang untuk melakukan kegiatannya di HL Bulusaraung terbagi menjadi dua yaitu izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dan Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Izin pinjam pakai kawasan diatur berdasarkan Permenhut No.14 tahun 2006 (Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Izin ini diberikan kepada perusahaan tambang dengan persetujuan Menteri Kehutanan dan berlaku dalam jangka waktu 5 tahun. Perpanjangan izin pinjam pakai harus dilakukan perusahaan jika tetap ingin melakukan kegiatan di
36
dalam kawasan hutan lindung, yang jika dilanggar, maka dapat dikenakan sanksi yaitu pemberhentian sementara atau pencabutan izin. Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD) merupakan perizinan yang dikeluarkan oleh Bupati melalui Dinas Pertambangan dan Energi. Izin SIPD di Kabupaten Maros diatur di dalam Keputusan Bupati Maros No. 21 tahun 2001 (Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C). Izin ini hanya berlaku dalam jangka waktu 10 tahun. Selain itu dalam hal reklamasi lahan bekas tambang, Kabupaten Maros mengeluarkan aturan Kpts Bupati Maros No.09 Tahun 2004 mengenai Jaminan Reklamasi Lahan Bekas Tambang yang harus dilakukan oleh perusahaan sebelum melakukan kegiatan penambangan.
.
Beberapa peraturan perundangan yang mengatur kegiatan penambangan PT. Bosowa Marmer Mining ialah Kpts Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan ini mengatur mengenai bentuk, jenis dan sanksi kegiatan penambangan di hutan lindung. Sedangkan, aturan yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan limbah PT. Bosowa Marmer Mining ialah PP No. 35 tahun 1991 tentang Pengelolaan sungai, PP No. 51 tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap kegiatan pengelolaan (Tabel 12), diketahui bahwa dalam melaksanakan pengelolaan penambangan PT. Bosowa Marmer telah melanggar beberapa peraturan dan perundangan yang berlaku. Pelanggaran tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh PT. Bosowa Marmer Mining telah melanggar hukum karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelanggaran tersebut dilakukan secara sadar karena terhadap beberapa pelanggaran atau tindakan yang belum sesuai dengan aturan ini, sebagian dari pemerintahan daerah Kabupaten Maros seperti Dinas Kehutanan dan Bapedalada telah melakukan teguran dan diketahui oleh pihak perusahaan. Hanya saja untuk kegiatan penindakan belum dapat diambil karena adanya kecenderungan dari pemerintah daerah untuk memudahkan perusahaan tambang dalam melakukan kegiatan penambangan yang berguna untuk
37
peningkatan pendapatan daerah. Namun kemudahan tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik dan penegakan aturan yang tegas. Tabel 12 Pelanggaran aturan yang dilakukan PT. Bosowa Marmer Mining dalam kegiatan pengelolaan penambangan No
Aturan yang berlaku
Kondisi di lapangan
1
Permenhut No.12 tahun 2004 (Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan) pasal 16 : perpanjangan izin eksploitasi diajukan selambat-lambatnya 6 bulan sebelum izin berakhir. pasal 21 ayat 1 dan 2 : apabila pemegang izin pinjam pakai tidak tidak memenuhi kewajiban dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan dilapangan atau pencabutan izin pinjam pakai.
Izin pinjam pakai PT. Bosowa Marmer Mining telah berakhir sejak tahun 1998 dan belum diperpanjang namun perusahaan tetap melakukan kegiatan industri penambangan hingga saat ini walaupun telah diberikan surat teguran.
2
Kpts Bupati Maros No. 21 tahun 2001 (Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C) pasal 16 : SIPD eksploitasi diberikan untuk jangka waktu maksimal 10 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 kali dan setiap kali perpanjangan jangka waktunya 3 tahun.
PT. Bosowa Marmer Mining mendapatkan izin perpanjangan SIPD dengan No.76 tahun 2006 yang merupakan perpanjangan ketiga dan memiliki masa berlaku selama 5 tahun.
3
Kpts Bupati Maros No.09 Tahun 2004 (Jaminan Reklamasi Lahan Bekas Tambang) pasal 10 : mengenai bentuk jaminan reklamasi adalah sejumlah dana yang dikeluarkan untuk kegiatan reklamasi dalam bentuk deposito berjangka.
PT. Bosowa Marmer hanya memberikan jaminan reklamasi dalam bentuk surat perjanjian saja
4
PP No.6 tahun 2007 (Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan) Pasal 24: Pemanfaatan kawasan hutan lindung tidak diperbolehkan menggunkan peralatan mekanis dan alat berat dan tidak mengubah sarana dan prasarana yang dapat merubah bentang alam.
Perusahaan dalam melakukan kegiatannya menggunakan peralatan mekanis dan alat berat lainnya seperti eskavator, crane dan alat pengebor.
5
PP No. 35 tahun 1991 (Pengelolaan sungai) pada pasal 27 yaitu dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair atau pun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan.
Perusahaan melakukan pembuangan limbah marmer ke dalam kolam pengendapan yang berada di sekitar sungai, sehingga limbah masuk ke perairan sungai.
6
PP No. 51 tahun 1993 (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan PP No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air : kegiatan pertambangan harus melakukan upaya pemantauan lingkungan dan di laporkan ke instansi pemerintah.
Perusahaan tambang tidak melakukan kegiatan pemantauan lingkungan dan tidak membuat laporan secara kontinyu dan berkala kepada Bapedalda Maros dan Dinas Pertambangan.
38
Dampak terhadap kualitas air Karst HL Bulusaraung Keberadaan penambangan dengan semua kegiatan dan pelanggaran yang dilakukannya tentu akan sangat berpengaruh terhadap fungsi hidrologis HL Bulusaraung karena kawasan tersebut merupakan kawasan karst dan hutan lindung. Kawasan karst merupakan sumberdaya yang sangat rentan mengalami kerusakan jika terdapat kegiatan yang bersifat merubah bentang alam dan sangat sulit sekali untuk diperbaharui jika terlanjur rusak. Kawasan karst memiliki sistem hidrologi yang lebih rumit jika dibandingkan ekosistem lainnya. Air yang masuk ke karst, mengalir sebagian di permukaan karst dan sebagian lagi masuk di celah, retakan dan gua yang ada di antara batuan (Samodra, 2001). Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sulawesi Imran Oemar saat ini di areal penambangan karst HL Bulusaraung masih banyak gua yang di dalamnya terdapat sungai-sungai bawah tanah yang menjadi sumber air bagi sejumlah sungai besar. Penambangan terhadap batu gamping yang dilakukan PT. Bosowa Marmer Mining di HL Bulusaraung akan membuat daya tampung dan daya simpan air pada lapisan batuan di karst semakin berkurang. Sehingga air yang seharusnya dapat ditampung dalam jumlah yang besar pada saat musim hujan, dengan penambangan batu gamping yang terus meningkat, menyebabkan kawasan HL Bulusaraung menampung jumlah air yang terus menurun. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi masyarakat Kelurahan Leang-Leang karena hampir seluruh masyarakat menggantungkan kebutuhan air untuk kehidupan sehari-hari, menggunakan air yang berasal dari kawasan karst HL Bulusaraung. Masih banyaknya gua-gua yang berada di kawasan HL Bulusaraung menimbulkan kekhawatiran bahwa kegiatan penambangan dapat menghilangkan bukti-bukti sejarah apabila di gua-gua juga menyimpan artefak-artefak prasejarah, karena di sekitar kawasan HL Bulusaraung terdapat taman wisata yaitu Taman Wisata Leang-Leang dengan jarak ± 3 Km, yang didalamnya terdapat beberapa peninggalan prasejarah berupa lukisan masyarakat prasejarah.
39
Gambar 11 Lokasi pembuangan limbah PT. Bosowa Marmer Mining. Keberadaan limbah tambang marmer tentu juga akan mempengaruhi fungsi hidrologi HL Bulusaraung dengan mencemari perairan yang mengalir dari dalam kawasan. Limbah marmer hasil produksi PT. Bosowa Marmer Mining dialirkan ke dalam kolam pengendapan yang berada di sekitar sungai dan bersifat tidak permanen (tidak dilapisi semen di dasar dan sisinya). Limbah marmer PT. Bosowa Marmer Mining masuk ke perairan sungai melalui celah-celah kolam pengendapan serta limbah yang meluap keluar dari kolam pengendapan akibat hujan yang deras. Berdasarkan pengukuran mengenai kualitas perairan di dua titik pada sungai tersebut didapatkan hasil: Parameter Fisika-kimia Pada parameter fisika dan kimia diketahui bahwa kedua stasiun masih memenuhi persyaratan untuk pemakaian kegiatan kelas III berdasarkan PP No. 82 tahun 2001, kecuali pada parameter BOD. Hanya saja jika dilihat dari hasil pengukuran (Tabel 13) terjadi peningkatan nilai parameter pada titik II dibandingkan dengan titik I, yang menunjukkan telah terjadi penurunan kualitas perairan pada titik II akibat masuknya limbah marmer.
40
Tabel 13 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia No
Parameter
Satuan
Titik I
Titik II
Hasil
Ket
Hasil
Ket
°C
+1
MS
+2
MS
A
Fisika
1
Suhu
2
Kekeruhan
NTU
1
MS
5
MS
3
Total Padatan Terlarut
mg/l
67,5
MS
99,5
MS
B
Kimia
1
pH
-
7
MS
8
MS
2
BOD
mg/l
10,7914
TMS
14,988
TMS
3
COD
mg/l
16,7742
MS
19,354
MS
4
DO
mg/l
9
MS
9,3
MS
5
Nitrat
mg/l
1,1
MS
1,1
MS
6
Fosfat
mg/l
0,02
MS
0,01
MS
Ket: Berdasarkan peruntukan air kelas III MS : Memenuhi syarat TMS : Tidak memenuhi syarat Sumber : Hasil analisis laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemeberantasan Penyakit Menular Kelas I Makassar
Pada industri marmer air limbah dihasilkan dari kegiatan pemotongan, penghalusan batu gamping serta proses pendinginan mesin. Sejalan dengan pendapat Wardhana (1995) dan Slamet (1994) diacu dalam Purwani (2001), bahwa dalam kegiatan industri seringkali suatu proses disertai dengan timbulnya panas dari suatu mesin. Agar proses produksi yang menunjang kegiatan tersebut dapat berjalan baik maka panas yang terjadi harus dihilangkan. Penghilangan panas dilakukan dengan proses pendinginan. Air pendinginan akan menyerap panas yang terjadi, air yang panas tersebut kemudian dibuang ke sungai, maka air tersebut meningkatkan suhunya. Limbah marmer mengandung energi panas yang jika dibuang ke perairan sungai akan meningkatan, suhu pada titik II. Peningkatan kekeruhan dan total padatan terlarut pada titik II disebabkan masuknya bahan limbah berupa butiran-butiran halus batu gamping ke perairan sehingga terlarut bersama air. Hal ini mempengaruhi warna air dimana air menjadi keruh dan mengurangi penetrasi cahaya matahari yang akan mengurangi oksigen terlarut dan penurunan aktivitas fotosintesis di perairan, sehingga menyebabkan kematian pada tumbuhan dan hewan perai ran. Hasil pengukuran pada kedua titik menunjukkan nilai pHnya adalah 7 dan 8. Peningkatan nilai pH pada titik II disebabkan karena limbah marmer yang merupakan batu gamping dengan struktur
41
kimia berupa kalsium karbonat (CaCO3) masuk ke air (H2O), kemudian terjadi proses kimia dimana unsur Ca2+ mengikat OH- menjadi Ca(OH)2. Sehingga meningkatkan pH ke arah basa (pH naik) karena adanya unsur OH yang merupakan unsur basa. Perubahan pH pada air buangan, baik ke arah basa (pH naik) maupun ke arah asam (pH menurun), akan menggangu kehidupan ikan dan hewan air sekitarnya (Fardiaz, 1992). Rendahnya konsentrasi nitrat dan fosfat pada kedua titik disebabkan oleh, karena bahan organik serta hara fosfat ketersediaanya sangat rendah pada kawasan karst. Gejala chlorosis fosfat merupakan gejala defisiensi yang sering terlihat pada lahan karst (Siradz, 2004).
Gambar 12 Limbah marmer yang masuk ke perairan Parameter Biologi Tabel 14 Hasil pemeriksaan parameter biologi No
Titik I Jenis Makrozoobenthos
Titik II Jumlah
Jenis Makrozoobenthos
Jumlah
1
Pila scutata
11
Pila scutata
1
2
Telescopium telescopium
25
Telescopium telescopium
13
3
Terebralia palustris
12
Centhidea cingulata
2
4
Faunus ater
2
5
Pila polita
3
6
Thiara scabra
23
7
Centhidea cingulata
4
jumlah
80
Jumlah
16
42
Pengukuran pencemaran perairan dengan parameter biologis dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan kualitas fisik dan kimia perairan akibat pembuangan limbah tambang marmer terhadap komunitas makrozoobenthos. Habitat makrozoobenthos adalah lingkungan perairan sehingga digunakan sebagai indikator biologis pada perairan yang dinamis (mengalir). Makrozoobenthos tergolong biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik kimiawi, endapan lumpur dan arus air yang kuat. Hewan ini tidak dapat bergerak cepat dan habitatnya di dasar perairan seringkali menjadi tempat penumpukan bahan pencemar seperti pasir. Hasil pengamatan pada dua stasiun tersebut menunjukan sebanyak 3 famili makrozoobenthos yang ditemukan yaitu Thiaridae, Ampullariidae, dan Potamididae. Ketiga family tersebut merupakan bagian dari kelas Gastrophoda (keong-keongan). Hasil perhitungan indeks makrozoobenthos yang ditemukan dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Indeks pengukuran makrozoobenthos No.
Indeks
Titik 1
2
88,89 (Tidak berlimpah)
17,78 (Tidak berlimpah)
1
Kepadatan (K)
2
Keseragaman ( E)
0,12 (Rendah)
0,10 (Rendah)
3
Dominasi (D)
0,22 (Rendah)
0,68 (Tinggi)
4
Keanekaragaman (H’)
1,64 (Tercemar sedang)
0,60 (Tercemar berat)
5
Biotik Hilsenhoff (HBI)
6,68 (Buruk)
7 (Buruk)
Hasil pengamatan yang dilakukan pada masing-masing titik diperoleh jumlah jenis yang berbeda, pada titik I ditemukan 7 jenis sedangkan pada titik II ditemukan 3 jenis. Jumlah jenis yang rendah pada suatu lokasi, mengindikasikan bahwa lokasi tersebut telah mendapat tekanan biologis yang berat. Jenis yang ditemukan hanya jenis yang dapat bertahan hidup dan memiliki nilai toleransi tinggi terhadap kondisi perairan yang tercemar. Kepadatan suatu jenis pada kedua titik penelitian memiliki perbedaan yang cukup jauh yaitu pada titik I sebesar 88,89 ind/m2 dan titik II 17,78 ind/m2. Kepadatan yang semakin kecil mengindikasikan kualitas perairan yang semakin buruk. Nilai kepadatan rendah pada titik II (17,78 ind/m2) disebabkan karena jenis tidak berkembang dengan baik. Pertumbuhan makrozoobenthos menjadi
43
terhambat dikarenakan pada stasiun kedua perairan tersebut mendapat tekanan ekologis dari limbah marmer. Perairan pada titik II menjadi keruh dan di dasar perairan banyak ditemukan endapan dari limbah marmer yang menutupi dasar perairan sehingga makrozoobenthos sedikit yang dapat hidup karena habitatnya di dasar perairan tertutupi oleh endapan limbah marmer. Pribadi (2005) menyatakan bahwa biasanya kondisi air yang keruh kurang disukai oleh benthos. Pengendapan partikel tanah yang berlebihan menyebabkan penurunan kelimpahan benthos hingga 20 – 50 %. Nilai indeks dominasi menunjukkan jenis yang paling dominan pada suatu komunitas perairan. Berdasarkan hasil perhitungan indeks dominasi pada titik I sebesar 0,22 dan pada titik II sebesar 0,68. Besarnya indeks keseragaman dipengaruhi oleh indeks dominasi. Seperti yang dikemukakan
Odum (1993)
bahwa indeks dominasi yang semakin kecil akan meningkatkan indeks keseragaman. Indeks keseragaman (E) secara umum memiliki kisaran 0 – 1, dimana nilai E yang semakin mendekati satu berarti bahwa komunitas memiliki keseragaman jenis yang tinggi. Sebaliknya, nilai E yang semakin mendekati nol menggambarkan sebaran individu yang tidak merata dan diperkirakan terjadi dominasi dari sekelompok jenis tertentu yang telah mampu beradaptasi dengan lingkungan perairan yang telah tercemar. Nilai indeks keseragaman pada dua titik didapat nilai yang mendekati nol yaitu pada titik I sebesar 0,12 dan titik II sebesar 0,10 sehingga menunjukkan dominasi dalam derajat yang rendah oleh satu kelompok jenis makrozoobenthos. Indeks keanekaragaman merupakan salah satu indeks untuk menilai kestabilan komunitas makrozoobenthos pada suatu perairan, terutama hubunganya dengan kondisi perairan tersebut. Nilai keanekaragaman jenis Shannon-wiener pada dua titik penelitian diketahui yaitu titik pertama 1,64 dan titik kedua 0,60 tergolong ke dalam kondisi tercemar sedang dan tercemar berat. Nilai keanekaragaman jenis kedua titik tergolong rendah sehingga dapat dikatakan bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenis tidak merata dan kestabilan komunitas rendah. Indeks Biotik Hilsenhoff ialah indeks yang dipengaruhi oleh nilai toleransi setiap jenis yang ada pada lokasi kajian. Nilai toleransi mengidentifikasikan kemampuan suatu jenis untuk bertahan hidup. Nilai toleransi
44
yang semakin tinggi menyebabkan jenis tahan terhadap pencemaran dan tekanan ekologis. Makrozoobenthos yang ditemukan di dua titik adalah jenis toleran yang memiliki nilai toleransi berkisar antara 6-8 berasal dari kelas gastropoda, dan merupakan indikator perairan yang mengalami tekanan ekologis dan penurunan kualitas. Setelah dilakukan perhitungan, maka didapat nilai indeks biotik sebesar 6,68 pada titik I dan 7 pada titik II yang termasuk dalam kategori air yang buruk. Hasil perhitungan kedua indeks diketahui bahwa kualitas perairan berdasarkan indeks keseragaman dan indeks Biotik Hilsenhoof, menyatakan bahwa terjadi penurunan kualitas perairan pada titik II, meskipun pada parameter Biotik Hilsenhoof kondisi air pada kedua titik tergolong dalam keadaan buruk. Berdasarkan pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi, dapat dikatakan telah terjadi penurunan kualitas perairan pada titik II, yang menunjukan bahwa kegiatan pembuangan limbah marmer yang dilakukan PT. Bosowa Marmer berkontribusi terhadap menurunnya kualitas perairan sungai di Kelurahan LeangLeang. Sungai ini merupakan aliran air yang berasal dari kawasan HL Bulusaraung,
sehingga
akan
berpotensi
besar
mempengaruhi
kondisi
perekonomian masyarakat karena sebagian besar masyarakat Kelurahan LeangLeang berprofesi sebagai petani dan memanfaatkan sungai untuk kegiatan pertanian. Jika air sungai yang dimanfaatkan untuk pertanian kondisinya semakin memburuk akibat masuknya limbah marmer maka tanah sawah akan mengeras sehingga menyebabkan petani membutuhkan tenaga lebih untuk mengolah tanah yang keras dan juga membuat padi sulit untuk berdiri. Kondisi seperti ini membuat petani membutuhkan biaya yang lebih dalam mengolah sawah mereka dan dapat menurunkan produksi hasil pertanian masyarakat. Hal ini diperkuat berdasarkan wawacara terhadap masyarakat LeangLeang (Tabel 16), yang menyatakan telah terjadi penurunan kualitas perairan. Sebanyak 80 % masyarakat mengatakan air sungai menjadi tercemar dan 20 % tercemar ringan. Masyarakat menyatakan akibat kegiatan industri pertambangan membuat sawah menjadi keras (40 %), sungai menjadi keruh (30 %) dan sawah menjadi keras dan sungai keruh (30%).
45
Tabel 16 Persepsi masyarakat mengenai dampak industri penambangan No
B.
Parameter
Kelurahan Leang-leang
A
Persepsi mengenai kualitas air sungai
1
Tercemar berat
(0 %)
2
Tercemar
(80 %)
3
Tercemar ringan
(20 %)
4
Tidak tercemar
(0%)
B
Dampak industri dan penambangan pada kualitas air
1
Sawah menjadi keras
(40 %)
2
Sungai menjadi kotor
(30 %)
3
Sawah menjadi keras dan sungai menjadi kotor
(30 %)
Pengelolaan HL Bulusaraung
Arah pengelolaan Pengelolaan kawasan lindung ditujukan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan dan mempertahankan fungsi lindungnya. Penetapan kawasan Karst Bulusaraung dengan status sebagai hutan lindung sejak tahun 1982, tentu bertujuan untuk melindungi fungsi kawasan HL Bulusaraung yang memiliki hamparan karst yang berperan besar dalam pengaturan tata air bagi masyarakat. Pengelolaan kawasan karst harus memperhatikan jenis dan kondisi kawasan karst itu sendiri. Kondisi karst di HL Bulusaraung menunjukan bahwa kawasan tersebut termasuk ke dalam karst kelas I karena di kawasan tersebut memiliki banyak aliran bawah tanah yang aktif serta gua yang memiliki tempat bersejarah yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, kawasan ini juga berfungsi sebagai penyimpan dan penyuplai air bagi kebutuhan masyarakat sekitar. Berdasarkan tujuan penetapan kawasan sebagai hutan lindung dan keberadaan karst di dalam HL Bulusaraung, maka pengelolaan HL Bulusaraung haruslah memperhatikan aspek kelestarian dan perlindungan agar fungsi kawasan tersebut sebagai pengatur tata air tetap terjaga. Kegiatan penambangan dengan pelanggaran dan dampak negatif yang diberikan tentu bukan lah pilihan yang tepat dalam melaksankan pengelolaan yang berkelanjutan
dan
bermanfaat
bagi
masyarakat
sekitar
dengan
tetap
46
memperhatikan aspek kelestarian. Sebaiknya tidak terdapat kegiatan industri penambangan di dalam kawasan karst HL Bulusaraung karena akan mengganggu atau mempengaruhi fungsi HL Bulusaraung dalam mengatur tata air. Bentuk pengelolaan yang paling tepat dalam hal pemanfaatan kawasan HL Bulusaraung ialah pemanfaatan jasa lingkungan dengan kegiatan berupa usaha wisata alam dan usaha pemanfaatan air. Kondisi karst dengan bukit-bukit batu gamping yang berbangun menara sangat khas dan indah, terdapatnya situs budaya masa prasejarah serta akses transportasi yang baik, membuat daya tarik dan keuntungan tambahan kawasan Karst HL Bulusaraung untuk dijadikan lokasi wisata. Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan usaha wisata pada hutan lindung, sesuai PP No.6 tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, dapat dilakukan dengan ketentuan tidak: a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; b. mengubah bentang alam; dan c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan. Potensi air dalam jumlah besar yang berasal dari dalam kawasan karst HL Bulusaraung baik berupa mata air maupun sungai bawah tanah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian. Pemanfaatan air dapat dilakukan dengan usaha penyediaan air bersih bagi masyarakat Kabupaten Maros. Kegiatan wisata dan pemanfaatan air di kawasan karst harus tetap memperhatikan aspek kelestarian dengan tidak merubah bentang alam yang ekstrem serta mengambil air dalam jumlah yang melebihi ketentuan. Penyelesaian permasalahan pengelolaan Terdapat beberapa stakeholder yang berkaitan erat dalam hal pengelolaan HL Bulusaraung. Masing-masing stakeholder memiliki peranan dan kepentingan yang berbeda dalam mengelola HL Bulusaraung (Tabel 17).
47
Tabel 17
Stakeholder yang terlibat dan peranannya dalam pengelolaan HL Bulusaraung
No.
Stakeholder
Peranan (kapasitas)
1
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Maros
Menjaga kelestarian dan mempertahankan fungsi HL Bulusaraung
Bapedalda Maros
Pemantauan pelestarian lingkungan khususnya perairan
2
Kab.
3
Dinas Pertambangan dan Energi Kab. Maros
4
LSM (Walhi)
Mengawasi dan pertambangan
5
Industri Marmer
Pengelola kegiatan pertambangan
6
Masyarakat desa
Memanfaatkan HL Bulusaraung untuk pemenuhan kebutuhan hidup
Pengawasan dan pengembangan kegiatan pertambangan
melakukan
penelitian
mengenai
kegiatan
Berdasarkan PP No. 25 tahun 2000 tentang Perencanaan Kehutanan yang menyatakan bahwa wewenang pengelolaan kawasan hutan lindung ada ditangan Pemerintah Kabupaten. Selanjutnya pada PP No.6 tahun 2007 mengenai Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Dalam isinya, peraturan ini menjelaskan ketentuan dalam memanfaatkan kawasan pada hutan lindung. Berdasarkan hal tersebut, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros selaku pengelola kawasan HL Bulusaraung mempunyai wewenang dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan yang berurusan dengan pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam, salah satunya kegiatan industri pertambangan batu gamping. Dalam perannya sebagai pengelola HL Bulusaraung, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros bertugas mengawasi kelestarian hutan lindung akibat dari kegiatan pertambangan. Saat ini kegiatan yang dilakukan hanya berupa teguran jika terdapat permasalahan perizinan. Sedangkan monitoring dan evaluasi kegiatan pertambangan masih dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi SulSel dengan mengikutsertakan Dinas Kabupaten Maros. Dinas Pertambangan dan Energi serta Bapedalda Maros adalah dua instansi pemerintah yang sangat erat keterkaitannya dalam hal pengelolaan kegiatan pertambangan di Kabupaten Maros khususnya yang berada di HL Bulusaraung. Sebagai instansi yang berada langsung di bawah Bupati Maros,
48
Dinas Pertambangan dan Energi Maros memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan pertambangan dalam hal pemberian izin, pengawasan keselamatan kerja dan lingkungan hidup, serta pembinaan dan penyuluhan mengenai ketentuan ke pihak perusahaan tambang. Kegiatan yang dilakukan Dinas Pertambangan dan Energi Maros selama ini ialah pemberian izin perpanjangan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) sedangkan pemantauan kegiatan pertambangan masih dilakukan bekerja sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi SulSel. Kegiatan yang dilakukan Bapedalda terkait dalam pengelolaan pertambangan di HL Bulusaraung ialah pembinaan dan pengawasan kegiatan pertambangan dan industri marmer serta melakukan pemantauan dampak kegiatan industri marmer terhadap kualitas perairan. Masyarakat merupakan salah satu stakeholder yang memilki peranan sangat penting dalam pengelolaan. Masyarakat terbagi menjadi dua kategori yaitu masyarakat yang berperan sebagai pelaku pertambangan dan masyarakat petani yang merasakan dampak dari kegiatan pertambangan. Selain itu, terdapat juga lembaga non formal yang menjadi salah satu stakeholder pengelolaan pertambangan di HL Bulusaraung yaitu LSM lingkungan Walhi (Wahana Hingkungan Hidup). Kegiatan yang dilakukan oleh Walhi ialah penelitian mengenai dampak yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan. Terkait dengan keberadaan stakeholder dengan peran dan kapasitasnya yang berbeda-beda, terdapat beberapa permasalahan dalam pengelolaan HL Bulusaraung. Permasalahan tersebut telah menimbulkan permasalahan lingkungan sehingga
pengelolaan
HL
Bulusaraung
berjalan
tidak
sesuai
dengan
peruntukannya sebagai kawasan lindung. Upaya penyelesaian permasalahan pengelolalaan yang ada saat ini perlu dilakukan agar kedepan arah pengelolaan yang telah ditetapkan tadi dapat berjalan sesuai dengan rencana dan tidak terjadi konflik yang berpotensi merusak kondisi karst HL Bulusaraung. Permasalahan tersebut berikut rekomendasi upaya penyelesaiannya tersaji pada Tabel 18.
49
Tabel 18 No
Permasalahan pengelolaan kawasan HL Bulusaraung dan upaya penyelesaiannya Permasalahan
Upaya penyelesaian
A
Perbedaan persepsi dan konflik kepentingan terhadap karst
Unit pengelolaan stakeholder
khusus
yang
berisi
semua
B
Koordinasi dan kerja sama
Unit pengelolaan stakeholder
khusus
yang
berisi
semua
C
Jumlah SDM Instansi pemerintah
Mengajukan penambahan atau pengadaan personil.
D
Ketidaklengkapan data dan informasi
Melakukan kegiatan inventarisasi kawasan baik dilakukan secara mandiri maupun bekerjasama dengan LSM atau lembaga penelitian dan pendidikan
Perbedaan persepsi dan koordinasi Perbedaan persepsi merupakan permasalahan yang dihadapi dalam menentukan arah pengelolaan HL Bulusaraung. Antara instansi pemerintah yang memiliki kepentingan serta stakeholder dari swasta (perusahaan tambang) memiliki sudut pandang yang berbeda-beda tentang kawasan karst. Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta Bapedalda memandang kawasan karst sebagai suatu bentang alam yang perlu dilestarikan, sedangkan Dinas Pertambangan dan Energi serta perusahaan tambang memandang kawasan karst sebagai sesuatu yang bernilai ekonomi untuk ditambang. Perbedaan ini membuat arah pengelolaan HL Bulusaraung selama ini menjadi bermasalah. Pemerintah Daerah Kabupaten Maros sendiri mengambil sikap bahwa Kawasan Karst HL Bulusaraung sebagai kawasan yang bernilai ekonomi karena memiliki potensi bahan tambang yang besar, sehingga Pemerintah Daerah Kab Maros mengizinkan perusahaan tambang untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan tersebut. Koordinasi merupakan elemen yang penting jika melakukan suatu pengelolaan dengan stakeholder yang cukup banyak. Karena koordinasi yang baik akan melancarkan suatu pengelolaan yang terarah dan tepat sasaran. Koordinasi yang tidak tepat sasaran akan menyebabkan konflik dan kesalahpahaman antara stakeholder terkait. Tidak adanya koordinasi antar stakeholder dapat dilihat dari
50
tidak adanya koordinasi antar instansi pemerintah dan koordinasi antara instansi pemerintah dan pengelola pertambangan (pengusaha dan masyarakat). Bentuk tidak adanya koordinasi antar instansi pemerintah terjadi antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Bapedalda dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Maros. Permasalahan ini terjadi karena pada pemberian perpanjangan izin SIPD kepada pengusaha tambang, proses dan izin yang keluar tanpa rekomendasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan Bapedalda. Hal ini tidak sesuai dengan Perda Kab Maros No. 21 tahun 2001 pasal 11 ayat 3 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C yang berbunyi ” Sebelum Bupati memberikan SIPD terlebih dahulu meminta pendapat Instansi Teknis lainnya yang berkepentingan tentang adanya hak-hak atas tanah serta masalah gangguan dan pencemaran lingkungan hidup”, berdasarkan PP. No. 25 tahun 2000, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros merupakan pengelola kawasan hutan di Kabupaten Maros sedangkan Bapedalda merupakan instansi yang bertugas untuk mengawasi pengaruh kegiatan penambangan terhadap lingkungan, sehingga tanpa rekomendasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros (dilihat dari pengurusan izin pinjam pakai) dan Bapedalada (pelaporan pemantauan lingkungan berupa UKL-UPL), seharusnya izin perpanjangan SIPD tidak dapat diberikan. Selain itu, kegiatan penambangan tetap berjalan tanpa adanya izin pinjam pakai (telah berakhir) walaupun telah diberikan surat teguran (Tabel 16). Apabila koordinasi berlangsung baik maka seharunya Dinas Pertambangan dan Energi sebagai instansi yang bertugas sebagai pembina, pengkoordinir, pengendali dan pengawas atas kegiatan usaha pertambangan mewajibkan perusahaan tambang untuk melakukan penghentian sementara proses penambangan sampai perizinan pinjam pakai kawasan hutan diperpanjang masa berlakunya. Koordinasi antara instansi pemerintah dengan pengelola pertambangan (perusahaan tambang dan masyarakat) juga hampir bisa dikatakan tidak berlangsung dengan baik. Koordinasi yang tidak terarah antara instansi pemerintah dengan perusahaan tambang terjadi antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros dengan PT. Bosowa Mining dalam hal pengurusan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan, berdasarkan wawancara yang dilakukan pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros menyatakan telah melayankan
51
surat teguran agar perusahaan melakukan perpanjangan izin, namun surat tersebut tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan. Hingga saat ini, PT. Bosowa Mining tetap melakukan kegiatan pertambangan walaupun izin pinjam telah berakhir semenjak tahun 2004. Selain itu, kedua perusahaan (PT. Bosowa Mining dan PT. Makassar Marmer Multi Indah) juga tidak melakukan koordinsi yang baik dengan Bapedalda Maros dalam hal pelaporan kegiatan pemantauan lingkungan. Berdasarkan hasil wawancara, Bapedalda menyatakan kedua perusahaan tersebut sangat jarang melaporkan kegiatan pemantauan lingkungan (dokumen UKL-UPL) semenjak tahun 2004. Ketiga instansi (Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertambangan dan Energi dan Bapedalda Maros) tidak melakukan interaksi dan sosialisasi mengenai kegiatan pengelolaan yang mereka lakukan di HL Bulusaraung kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memahami aturan dan permasalahan yang terjadi pada kawasan HL Bulusaraung padahal tingkat ketergantungan masyarakat terhadap HL Bulusaraung cukup tinggi. Berdasarkan pengamatan dilapangan dan wawancara diketahui bahwa Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros sangat jarang melakukan sosialisasi mengenai aturan yang berlaku serta fungsi dari kawasan hutan lindung sehingga banyak masyarakat melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan yang diperbolehkan seperti penambangan batu gunung. Dinas Pertambangan dan Energi serta Bapedalda Maros juga tidak melakukan sosialisasi mengenai aturan kegiatan penambangan dan
pencemaran
lingkungan
akibat
kegiatan
penambangan,
sehingga
dikhawatirkan jika terjadi permasalahan antara masyarakat dan pihak perusahaan penambangan maka masyarakat tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Upaya penyelesaian kedua permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan membentuk suatu unit pengelolaan bersama yang berisi semua stakeholder. Pembentukan suatu unit pengelolaan khusus yang berisikan semua stakeholder ditujukan agar semua stakeholder dapat bersatu dalam mewujudkan kepentingan masing-masing tanpa mengorbankan kepentingan pihak lain. Sehingga kedepan tidak terjadi permasalahan dan konflik dalam pengelolaan karena semua stakeholder telah mengetahui hak dan kewajiban mereka. Mengacu pada PP No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan dan PP No. 6 tahun 2007 tentang
52
Tata hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, menyatakan bahwa yang bertanggung jawab terhadap setiap pengelolaan kawasan hutan lindung adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten. KPHL yang terbentuk dapat mengelola kawasan HL Bulusaraung secara total baik dari sisi penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi lahan dan reklamasi hutan, serta perlindungan dan konservasi hutan. SDM Permasalahan SDM dalam pengelolaan HL Bulusaraung dialami khususnya oleh stakeholder yang merupakan instansi pemerintah. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros dalam melakukan kegiatan perlindungan hutan hanya memiliki 6 orang personil polhut yang memiliki umur di rata-rata diatas 50 tahun (mendekati masa pensiun). Padahal di Kabupaten Maros berdasarkan (Padu Serasi Provinsi dengan Kep. Guberner Sulsel No.276 tahun 1999) memiliki luas hutan 68.509 ha. Sehingga dalam hal pengamanan dan pengawasan kawasan khususnya kegiatan pertambangan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Maros mengalami kesulitan. Bapedalda Maros dalam menjalankan tugasnya sebagai salah satu instansi pemerintah yang mengawasi kondisi lingkungan khususnya Kabupaten Maros juga mengalami kendala dalam SDM. Banyaknya kegiatan industri dan penambangan yang harus diawasi dan dipantau di Kabupaten Maros baik yang berada di kawasan hutan maupun non hutan, tidak diimbangi dengan jumlah SDM yang dimiliki. Bapedalda tidak memiliki teknisi khusus untuk memantau kualitas perairan akibat kegiatan pertambangan dan industri. Selama ini kegiatan pemantauan kualitas air dilakukan hanya berdasarkan pandangan visual tanpa melakukan pengambilan sampel air. Sehingga data nilai tepat mengenai kondisi perairan di sekitar lokasi industri tambang marmer tidak diketahui secara pasti. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pihak Dinas Pertambangan dan Energi Maros menyatakan dalam hal pengelolaan pertambangan salah satu permasalahan SDM ialah belum terisinya jabatan Pelaksana Inspeksi Tambang Daerah (PITDA), pengawas produksi dan penyidik pegawai negeri sipil tambang.
53
Pengawasan yang dilakukan selama ini masih bekerjasama dengan Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi SulSel dengan volume kegiatan yang tidak teratur dan tidak merata ke seluruh perusahaan setiap tahunnya. Salah
satu
langkah
yang
dapat
dilaksanakan
untuk
mengatasi
permasalahan SDM ialah dengan pengadaan personil. Selain itu instansi pemerintah juga dapat melakukan perekrutan masyarakat sekitar untuk dijadikan pekerja swadaya masyarakat dengan sistem intensif dalam membantu kegiatan pengelolaan. Hal ini selain bermanfaat bagi instansi pemerintah karena memudahkan dalam kegiatan pengelolaan, tetapi juga memberikan dampak bagi masyarakat sekitar dalam meningkatkan ekonomi serta dapat menghindari terjadinya konflik antara masyarakat sekitar dan pengelola. Ketidaklengkapan data dan informasi Masalah data dan informasi merupakan masalah paling mendasar dalam pengelolaan kawasan karst di Indonesia. Data dan informasi yang ada mengenai semua potensi yang ada maupun yang mendukung suatu kawasan karst sangat sulit didapatkan. Hal ini juga dialami pada pengelolaan HL Bulusaraung. Khusus kawasan karst kelengkapan data sangat memepengaruhi arah dan bentuk kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan. Untuk menentukan bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan di suatu kawasan karst maka perlu diketahui terlebih dahulu kondisi alamnya, kemudian data kondisi alam tersebut dianalisis dan dapat disimpulkan kawasan tersebut termasuk kelas karst tertentu. Dengan diketahuinya kelas karst suatu kawasan maka kita dapat menentukan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan yang dapat dilakukan berdasarkan KepMen ESDM No.1456 tahun 2000. Beberapa data dan informasi yang masih belum diketahui dari kawasan karst HL Bulusaraung antara lain mengenai Kondisi fauna dan flora, karst (batuan, gua, daya tampung air, dll ), potensi wisata, potensi air, arkeologi, sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar dan lainnya. Untuk mengatasi permasalahan ini maka pengelola HL Bulusaraung dapat melakukan kegiatan inventarisasi potensi kawasan dan kondisi masyarakat, baik dilakukan secara mandiri maupun bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga penelitian dan pendidikan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan 1. Kegiatan penambangan yang dilakukan PT. Bosowa Mining telah melanggar
beberapa
aturan
seperti
perizinan,
penambangan
dan
pengelolaan limbah. Selain itu, Keberadaan PT. Bosowa Mining di HL Bulusaraung akan memberikan dampak terhadap perubahan tata air kawasan karst dengan menurunkan daya tampung air dan menurunkan kualitas air (fisika, kimia dan biologi) yang keluar dari dalam kawasan. Berdasarkan pengukuran parameter fisika kimia diketahui terdapat peningkatan nilai parameter pada titik II dibandingkan dengan titik I, yang menunjukan telah terjadi penurunan kualitas perairan pada titik II akibat masuknya limbah marmer. Sedangkan pada parameter biologi, nilai keanekaragaman jenis Shannon-wiener diketahui titik pertama 1,64 tergolong ke dalam kondisi tercemar sedang dan titik kedua 0,60 tergolong ke dalam kondisi tercemar berat. Menurunnya kualitas perairan HL Bulusaraung akan mempengaruhi kondisi masyarakat karena sebagian besar masyarakat sangat bergantung pada HL Bulusaraung dalam memenuhi kebutuhan air. 2. Arah pengelolaan yang tepat untuk HL Bulusaraung ialah pengelolaan yang berlandaskan prinsip kelestarian tanpa mengurangi manfaat secara ekonomi. Kegiatan yang tepat di HL Bulusaraung ialah usaha pemanfaatan air dan usaha potensi wisata. Keberadaan penambangan di HL Bulusaraung perlu dikaji kelayakannya karena berpotensi merusak fungsi perlindungan tata air HL Bulusaraung. Selain itu, perlu penyelesaian permasalahan pengelolaan yang ada seperti perbedaan persepsi, konflik kepentingan dan tidak adanya koordinasi antar stakeholder diselesaikan dengan membentuk suatu sistem pengelolaan bersama; jumlah SDM instansi pemerintah yang minim diselesaikan dengan cara pengadaan personil dan perekrutan swadaya masyarakat; dan ketidaklengkapan data dan informasi diselesaikan dengan melakukan inventarisasi kawasan
55
secara mandiri maupun bekerjasama dengan LSM serta lembaga penelitian dan pendidikan. Hal ini dilakukan agar ke depan arah pengelolaan yang telah ditetapkan dapat berjalan sesuai dengan rencana.
B.
Saran 1. Perlu dilakukan kajian dan penelitian lebih lanjut terhadap pengelolaan dan keberadaan industri pertambangan mengenai seberapa besar batu gamping yang dapat ditambang di suatu kawasan karst dan persyaratan yang harus ditaati untuk menjamin agar di satu pihak kebutuhan bahan galian dapat terjamin, tetapi di lain pihak tidak menimbulkan kerusakan yang mengganggu fungsi lindung kawasan karst. 2. Pemerintah daerah Kabupaten Maros perlu mengkaji lagi kelayakan keberadaan penambangan marmer di dalam kawasan HL Bulusaraung dilihat dari aspek kelegalan (hukum), kondisi alam, pengaruh keberadaan penambangan marmer serta kondisi masyarakat sekitar.
DAFTAR PUSTAKA Achmad, A. 2002. Potensi Kawasan Karst Maros Pangkep dan Usulan Taman Nasional Hassanuddin. Makassar: Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hassanudin. Adrian, C. 2004. Evaluasi Kualitas Air Sungai Bekasi di Wilayah Bekasi dengan Pendekatan Pengukuran Parameter Fisika-Kimia dan Biologi (Bioindikator) [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Azwir, L. 2001. Dampak Aktivitas Industri PT. Semen Padang terhadap Kualitas Air Sungai Limau-limau di Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. BAPEDAL. 2001. Aspek Lingkungan dalam AMDAL Bidang Pertambangan. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Penerapan AMDAL BAPEDAL. Barnes R.S.K, K.H. Mann. 1980. Fundamental of Aquatic Ecosystem. London: Blackwell Scientific publication. Oxford. Dahuri R, I. Nyoman SP, Zairion, Sulistiono. 1996. Metode dan Teknik Analisa Biota Perairan. Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. Dephut. 1990. Pedoman Pengurusan dan Pengelolaan Hutan Lindung. Bogor: Direktorat Perlindungan hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan Tingkat I Sulawesi Selatan. 2007. Peta Kondisi Fisik Sulawesi Selatan [peta digital]. Makassar: Dinas Kehutanan Tingkat I Sulawesi Selatan. 5 lembar. Fakhry, I. 2000. Evaluasi Kualitas Air Sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat selam periode 1996-1998 [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Falah, F, Noorcahyati, Hari H. 2007. Kajian Kelembagaan Pengelolaan Hutan Lindung Sungai Wain. Info Hutan (Volume IV No. 4): 399-408. Fardiaz, S. 1992. Polusi Udara dan Air. Yogyakarta: Kanisius. Himakova IPB, Departemen Kehutanan, WWF. 2007. Studi Konservasi Lingkungan 2007: Eksplorasi Budaya, Flora dan Fauna Ekosistem Karst Maros-Pangkep Bagi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Bogor: Kerja
57
sama Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB dengan Dephut dan WWF. Isnugroho. 2002. Strategi Pengelolaan Sungai untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan di Indonesia. Di dalam: Nugroho SP, Adi S, Setiadi B, editor. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Cet 1. Jakarta: P3-TPSLK BPPT. KLH. 2000. Agenda 21 Sektoral (Agenda Pertambangan untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan). Jakarta: Kerjasama KLH dan UNDP (United Nations Development Programme). Mahida, UN. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: CV. Rajawali. Notosiswoyo, S. 2006. Potensi Mineral pada Endapan Batukapur pada Ekosistem Karst. Di dalam: Maryanto I, M Noerdjito, R Ubaidillah, editor. Manajemen Bioregional: Karst, Masalah dan Pemecahannya, dilengkapi kasus Jabodetabek. Cet II. Bogor: Puslit-Biologi LIPI. Nugroho, SP. 2002. Pengelolaan DAS dan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan. Di dalam: Nugroho SP, Adi S, Setiadi B, editor. Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Cet 1. Jakarta: P3-TPSLK BPPT. Nugroho. 2003. Evaluasi Kualitas Air Sungai Ciliwung DKI Jakarata Melalui Pendekatan Indeks Kualitas Air-National Sanitation Foundation [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Alih Bahasa, Samingan T. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pemerintah Daerah Kab. Maros. 2006. Data Pertambangan Kabupaten Maros. http://maros.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=30 7&Itemid=64. [24 Mei 2008]. Pemerintahan Desa Leang-leang. 2005. Monografi Desa Leang-leang Tahun 2005. Maros: Desa Leang-leang. Pribadi, MA. 2005. Evaluasi Kualitas Air sungai Way Sulan kecil Kabupaten Lampung Selatan [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Priyono, A. 1996. Laporan Survai: Biota Perairan di Perairan Sungai Tiku dan Sekitarnya di Wilayah Konsesi PT. Barisan Tropical Mining Kabupaten Musi Rawas – Sumatera Selatan. Bogor: Departemen
58
Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Purwani, I. 2001. Dampak Pembuangan Limbah Industri Terhadap Kualitas Perairan Sungai Kampar, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saeni, M.S. 2000. Dampak Pembangunan pada Kualitas Air. Di dalam: Pelatihan Dosen Perguruan Tinggi se-Jawa Bali dalam Bidang AMDAL; Bogor, 4-18 September 2000. Bogor: kerja sama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB, BAPEDAL, Proram studi Analisis Lingkungan Biologi IPB dan Depdiknas. Samodra, H. 2001. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia, Pengelolaan dan Perlindungannya. Bandung: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Sastrawijaya, AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. Bandung: Rineka Cipta. Siradz, S.A. 2004. Identifikasi Hara Pembatas Pertumbuhan pada Lahan Karst Gunung Sewu-Gunung Kidul. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI Press. Suryandari, EY, Sylviani. 2006. Kajian Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan (Volume 3 No. 1): 15-28. Sutrisno CT, Suciyanti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka Cipta. Taslim, RSA. 2007. Hentikan Izin Pertambangan di Taman Nasional. http://www.fwi.or.id/indexasli.php?link=news&id=1022. [24 Mei 2008]. Uni
Social Demokrat. 2001. Uang Tunai Serbu Hutan Lindung. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/13/Fokus/425996.htm [24 Mei 2008].
Wahono, MDK. 1992. Penuntun Praktikum Ekologi Perairan (Ekosistem Air Tawar). Bogor: Laboratorium Analisis Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Wardhana, WA. 1995. dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
59
Wilhm, J.F. 1975. Biological Indicator of Pollution. in B.A. Whitton, (Ed). River Ecology. London: Blackwell Sci Publ. Wongsosentono, S. 1993. Peranan Peta Geologi Tata Lingkungan dalam Rangka Perencanaan dan Manajemen Lingkungan. Di dalam: pelatihan Perencanaan dan manajemen Lingkungan Terpadu. Kumpulan Makalah; Bandung, 4 Januari-13 Februari 1993. Bandung: Kerjasama antara Universitas Padjajaran dan Depdikbud.
60
Lampiran 1 :
Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas
KELAS
PARAMETER SATUAN
III
KETERANGAN
I
II
IV
°C
Deviasi 3
Deviasi 3
Deviasi 3
Deviasi 5
mg/L
1000
1000
1000
2000
FISIKA Temperatur
Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
mg/L
50
50
400
Deviasi Tempertur dari keadaan alamiah
400
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, residu tersuspensi < 5000 mg/L
Apabila secara alamiah di luar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah
KIMIA ANORGANIK ph
6-9
6-9
6-9
5-9
BOD COD
mg/L mg/L
2 10
3 25
6 50
12 100
DO
mg/L
6
4
3
0
Total Fosfat sbg P
mg/L
0,2
0,2
1
5
NO 3 sebagai N
mg/L
10
10
20
20
NH3-N
mg/L
0,5
(-)
(-)
(-)
Nitrit sebagai N
mg/L
0,06
0,06
0,06
(-)
Sulfat
mg/L
400
(-)
(-)
(-)
Fecal coliform
jml/100 ml
100
1000
2000
2000
Total coliform
jml/100 ml
1000
5000
10000
10000
Angka batas minimum
Bagi perikanan, kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka < 0,02 mg/L sebagai NH3 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N < 1 mg/L
MIKROBIOLOGI
Keterangan : mg = miligram ug = mikrogram ml = militer
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, fecal coliform < 2000 jml/ 100 ml dan total coliform < 10000 jml/100ml
-
61
L = liter Logam berat merupakan logam terlarut Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH dan DO. Bagi pH merupakan nilai rentang yang tidak boleh kurang atau lebih dari nilai yang tercantum. Nilai DO merupakan batas minimum. Arti (-) di atas menyatakan bahwa untuk kelas termasuk, parameter tersebut tidak dipersyaratkan Tanda adalah lebih kecil atau sama dengan Tanda < adalah lebih kecil
Lampiran 2 :
Faunus ater
Gambar beberapa makrozoobenthos yang ditemukan di titik pengambilan sample air
Pila polita
Telescopium telescopium
Pila scutata
Terebralia palustris
62
Lampiran 3 : Daftar pengguna kawasan hutan di Kawasan HL Bulusaraung No
Nama perusahaan
Jenis tambang
Desa / Kecamatan
1
PT. Bosowa Mining
Marmer
Ds. Leang-leang, Kec Bantimurung
25
Tahapan proses Persetujuan Perjanjian Pinjam Prinsip pakai Menhut 1332 thn 1994 Tgl 24 – 12 – 1993
2
PT. Makassar Marmer Mulia indah
Marmer
Ds. Leang-leang, Kec Bantimurung
25
1379 thn 1996
Tgl 17 – 1 – 2000
5 tahun
Berakhir
Aktif
3
PT. Sanjiwahana Paramitra
Marmer
Ds.Botolempangan, Kec Bantimurung
50
727 thn 1998
-
5 tahun
Berakhir
Aktif
4
PT. Hanilusindo Tri Pratama
Marmer
Ds.Botolempangan, Kec Bantimurung
25
752 thn 1998
-
5 tahun
Berakhir
Aktif
5
PT. Batcelindo Perkasa
Marmer
Ds. Baruga, Kec Maros
25
1459 thn 1996
Tgl 8 – 7 – 1999
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
6
PT. Quarindah Ekamaju Marmer
Marmer
-
25
-
Tgl 18 – 10 – 1990
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
7
PT. Baruga Asri Nusa
Marmer
Ds. Semangki, Kec. Bantimurung
50
697 thn 1997
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
8
PT. Pusaka Dekorindah
Marmer
Ds. Salenrang, Kec. Bantimurung
40
1460 thn 1997
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
9
PT. Kallabirang Marmer Lestari
Marmer
Ds. Tukamasea, Kec. Bantimurung
30
1554 thn 1996
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
10
PT. Sulawesi marmer Granite
Marmer
Ds. Leang-leang, Kec Bantimurung
25
1735 thn 1999
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
11
PT. Tunas Marwa
Marmer
Ds. Tukamasea, Kec. Bantimurung
50
947 thn 1997
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
12
PT. Mitra Mega Marindah
Marmer
Ds.Botolempangan, Kec Bantimurung
50
966 thn 1998
-
5 tahun
Berakhir
Aktif
13
PT. Arkamira Jatindo
Marmer
Ds.Botolempangan, Kec Bantimurung
50
1272 thn 1998
-
5 tahun
Berakhir
Tidak aktif
Sumber : BPKH Propinsi Sulawesi Selatan
Luas (ha)
Masa berlaku
Berakhir/ belum
Aktif/ tidak
5 tahun
Berakhir
Aktif
63
Lampiran 4 : Daftar pemegang surat izin penambangan daerah (SIPD) di Kawasan HL Bulusaraung No.
Nama perusahaan
Nomor, Tanggal dan masa berlaku
Bahan galian
Ket
76/kpts/540.11/111/06, 1-3-2006, 5 Tahun
Marmer
Aktif
71 Tahun 1998, 6-4-1998, 10 Tahun
Marmer
Aktif
1
PT. Bosowa Mining
2
PT. Makassar Marmer Mulia indah
3
PT. Sanjiwahana Paramitra
190 Tahun 1998, 18-7-1998, 10 Tahun
Marmer
Aktif
4
PT. Hanilusindo Tri Pratama
194 Tahun 1998, 27-7-1998, 10 Tahun
Marmer
Aktif
5
PT. Batcelindo Perkasa
Januari 1997, 10 Tahun
Marmer
Tidak Aktif
6
PT. Pusaka Dekorindah
12 Tahun 1997, 20-1-1997 10 Tahun
Marmer
Tidak Aktif
7
PT. Kallabirang Marmer Lestari
11 Tahun 1997, 20-1-2007, 10 Tahun
Marmer
Tidak Aktif
8
PT. Sulawesi marmer Granite
540.11/066/Distam/00, 3-8-2000, 10 Tahun
Marmer
Tidak Aktif
9
PT. Kurnia Batu Indah
227/III/1989 Maret 1989, 10 Tahun
Marmer
Tidak Aktif
10
PT. Cahaya Marbel International
75/kpts/540.119/III/06, 1-3-2006, 10 Tahun
Marmer
Proses persiapan
11
PT. Global Marbel Creation
432/kpts/540.11/XII/05, 19-12-2005, 10 Tahun
Marmer
Proses pembebasan lahan
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Maros
64
Lampiran 5 : Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 2004 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN Pasal 15 (1) Izin kegiatan di dalam kawasan hutan lindung berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak ditandatangani surat izin dan dapat diperpanjang. (2) Perpanjangan izin kegiatan dalam kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum izin berakhir. (3) Permohonan perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri laporan hasil eksplorasi yang telah dilaksanakan. Pasal 16 (1) Izin pinjam pakai kawasan hutan lindung berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak ditandatangani izin pinjam pakai dan dapat diperpanjang. (2) Perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sebelum izin berakhir. (3) Perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. Pasal 21 (1) Pemegang izin pinjam pakai yang tidak memenuhi kewajiban dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. penghentian sementara kegiatan di lapangan; b. pencabutan izin pinjam pakai. Pasal 22 Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan di lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, karena pemegang izin tidak melaksanakan salah satu atau lebih kewajiban yang ditetapkan. (2) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) huruf a sampai dengan pemegang izin memenuhi kewajibannya. (1)
Pasal 23 (1) Sanksi administrasi berupa pencabutan izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b karena pemegang izin: a. dalam waktu 1 (satu) tahun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); b. menggunakan kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak sesuai dengan izin yang diberikan; c. memindahtangankan sebagian atau seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis dari Menteri; d. dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999. (2) Pencabutan izin pinjam pakai sebagai akibat pelanggaran yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c, dilakukan setelah pemegang izin diberi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya surat peringatan tersebut. (3) Khusus untuk pencabutan izin dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
65
Pasal 24 Kegiatan penambangan harus dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan.
Lampiran 6 : Kpts Bupati Maros No. 21 Tahun 2001 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Maros No. 21 Tahun 2001 Tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C Pasal 16 (1). SIPD Eksplorasi diberikan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun; (2). SIPD Eksploitasi diberikan untuk jangka waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 (dua) kali dan setiap kali perpanjangan jangka waktunya 3 (tiga) tahun; (3). Pemberian SIPD yang melebih ketentuan sebagaiman dimaksud ayat (2) pasal ini hanya dapat diberikan oleh Bupati setelah dapat persetujuan oleh Menteri Pertambangan dan Energi Cq. Direktur Jenderal Pertambangan Umum (4). Permohonan perpanjangan SIPD sebagaimana dimaksud ayat (2) pasal ini diajukan kepada Bupati, 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya izin dengan melampirkan bukti pelunasan kewajibannya yang terkait dengan usaha pertambangan bahan galian golongan C. Pasal 19 Pemegang SIPD wajib : a. Mematuhi setiap kewajiban yang tercantum dalam SIPD; b. Membayar pajak dan retribusi sesuai ketentuan yang berlaku; c. Melaksanakan pemeliharaan keselamatan kerja, pengamanan teknis dan lingkungan hidup serta mematuhi ketentuan yang berlaku dan petunjuk dari Dinas; d. Memberikan laporan secara tertulis atas pelaksanaan atas pelaksanaan kegiatannya setiap 3 (tiga) bulan sekali dan laporan hasil produksi setiap bulan kepada Bupati Cq. Kepala Dinas; e. Memperbaiki atas beban dan biaya sendiri semua kerusakan yang terjadi pada bangunan pengairan dan badan jalan termasuk tanggul-tanggul dan bagian tanah yang berguna bagi saluran air dan lebar badan jalan, yang terjadi atau diakibatkan pengambilan/penambangan dan pengangkutan bahan galian yang pelaksanaan perbaikannya berdasarkan perintah/petunjuk instansi teknis terkait; f. Bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau lebih pemegang SIPD yang dibebankan kepada mereka secara seimbang; g. Memelihara kelestarian/penyelamatan tanah dan mencegah erosi yang dapat membahayakan pengendapan dan pendangkalan saluran serta mengusahakan kelestarian bantaran sungai. Pasal 24 (2) dengan pemberitahuan 1 (satu) bulan sebelumnya, Bupati dapat membatalkan SIPD eksploitas dalam hal : b. Adanya pelanggaran teknis yang dipandang dapat mengancam/membahayakan lingkungan hidup f. Tidak mematuhi/mengindahkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pejabat yang berwenang mengenai penyelenggara usaha pertambangan dan atau tidak mengindahkan kewajibankewajibannya sebagaimana tercantum dalam SIPD H. Jika ternyata kegiatan pertambangan di wilayah tersebut dinilai mengganggu dan atau merusak kelestarian lingkungan.
66
Lampiran 7 : UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Pasal 38 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. (4) Pada Kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka (5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis
Lampiran 8 : PP No.6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN Pasal 23 (1) Pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan: a. pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatan jasa lingkungan; atau c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. (2) Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 24 (1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha : a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; f. rehabilitasi satwa; atau g. budidaya hijauan makanan ternak. (2) Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan : a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; b. pengolahan tanah terbatas; c. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; d. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau e. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
67
Pasal 25 (1) Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha : a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. (2) Kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung, dilakukan dengan ketentuan tidak: a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; b. mengubah bentang alam; dan c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan. (3) Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan lindung, harus membayar kompensasi kepada Pemerintah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 26 (1) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, antara lain berupa : a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet. (2) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung dilakukan dengan ketentuan: a. hasil hutan bukan kayu yang dipungut harus sudah tersedia secara alami; b. tidak merusak lingkungan; dan c. tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya. (3) Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. (4) Pada hutan lindung, dilarang; a. memungut hasil hutan bukan kayu yang banyaknya melebihi kemampuan produktifitas lestarinya; b. memungut beberapa jenis hasil hutan yang dilindungi oleh undang-undang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 27 (1) Dalam satu izin pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dapat meliputi beberapa izin kegiatan usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur dan lebah. (2) Pemberi izin, dilarang mengeluarkan lagi izin pada areal pemanfaatan kawasan atau jasa lingkungan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b yang telah mendapatkan izin pemanfaatan hutan, kecuali izin untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dapat dikeluarkan dengan komoditas yang berbeda. Pasal 28 (1) Jangka waktu IUPK pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, sesuai dengan jenis usahanya, diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun. (2) IUPK pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang, berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin. (3) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan: a). paling luas 50 (lima puluh) hektar untuk setiap izin b) paling banyak 2 (dua) izin untuk setiap perorangan atau koperasi dalam setiap kabupaten/kota Pasal 29 (1) Jangka waktu IUPJL pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b, diberikan sesuai dengan kegiatan usahanya, yaitu untuk izin :
68
a. pemanfaatan jasa aliran air diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; b. pemanfaatan air diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dengan volume paling banyak 20% (dua puluh perseratus) dari debit; c. wisata alam diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dengan luas paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan; d. perlindungan keanekaragaman hayati diberikan untuk jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan diberikan untuk jangka waktu dan luas sesuai kebutuhan; dan f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan luas sesuai kebutuhan investasi. (2) IUPJL pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f dapat diperpanjang, berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin. Pasal 30 (1) Jangka waktu IPHHBK pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, sesuai dengan lokasi, jumlah, dan jenis hasil hutan bukan kayu yang dipungut, diberikan paling lama 1 (satu) tahun, kecuali untuk pemungutan sarang burung walet, diberikan paling lama 5 (lima) tahun. (2) IPHHBK pada hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang, berdasarkan evaluasi yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan, kecuali untuk pemungutan sarang burung walet dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun oleh pemberi izin.
69
Lampiran 9 : PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DANPENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Pasal 4 (1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya. (2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air. (3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada : a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung; b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan c. akuifer air tanah dalam. (4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). (5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 (1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas : a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. (2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini. Pasal 25 Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penanggulangan pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya. Pasal 26 Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan. Pasal 34 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin aplikasi air limbah pada tanah. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air. (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sekurangkurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri. (4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
70
Pasal 37 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menang-gulangi terjadinya pencemaran air. Pasal 38 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin. (2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan : a. kewajiban untuk mengolah limbah; b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media lingkungan; c. persyaratan cara pembuangan air limbah; d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan darurat; e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah ; f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan; g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau pelepasan dadakan; h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penaatan batas kadar yang dipersyaratkan; i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau. (3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom. Pasal 42 Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan atau sumber air. Pasal 48 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi. Pasal 49 Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25, Bupati/Walikota/Menteri berwenang menerap-kan paksaan pemerintahan atau uang paksa. Pasal 50 (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan tindakan tertentu. (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Pasal 51 Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
71
Lampiran 10 : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 1991 Tentang Sungai Pasal 7 (1) Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia. (2) Sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan. Pasal 13 (1) Eksploitasi dan pemeliharaan sungai dan bangunan sungai meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan evaluasi. (2) Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang ditujukan untuk kesejahteraan dan keselamatan umum dalam rangka pembinaan sungai dilakukan oleh Pemerintah atau badan usaha milik Negara. (3) Pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang pembangunannya dilakukan oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dilakukan oleh yang bersangkutan. Pasal 14 (1) Pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat dilaksanakan oleh Pemerintah. (2) Pelaksanaan pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan usaha milik Negara. (3) Selain diusahakan oleh badan usaha milik Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pengusahaan sungai dan/atau bangunan sungai dapat dilakukan oleh badan hukum, badan sosial dan perorangan setelah memperoleh ijin dari pejabat yang berwenang. Pasal 22 (1) Pejabat yang berwenang bersama-sama dengan pihak lain yang bersangkutan, masing-masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, menyelenggarakan upaya pengamanan sungai dan daerah sekitarnya yang meliputi a. pengelolaan daerah pengaliran sungai; b. pengendalian daya rusak air; c. pengendalian pengaliran sungai. (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan pengelolaan daerah pengaliran sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. (3) Tata cara pelaksanaan ketentuan pengendalian pengaliran sungai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan c diatur lebih lanjut oleh Menteri, dengan memperhatikan kepentingan Departemen dan/atau Lembaga lain yang bersangkutan. Pasal 27 Dilarang membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan menimbulkan pencemaran atau menurunkan kualitas air, sehingga membahayakan dan/atau merugikan penggunaan air yang lain dan lingkungan.
Pasal 28 Mengambil dan menggunakan air sungai selain untuk keperluan pokok sehari-hari hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.
72
Pasal 33 Dipidana berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 dan peraturan perundang-undangan lainnya: a. barangsiapa untuk keperluan usahanya hanya melakukan pembangunan bangunan sungai tanpa ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3); b. barangsiapa melakukan pengusahaan sungai dan bangunan sungai tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3); c. barangsiapa mengubah aliran sungai, mendirikan,mengubah atau membongkar bangunanbangunan di dalam atau melintas sungai, mengambil dan menggunakan air sungai untuk keperluan usahanya yang bersifat komersil tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27; d. barangsiapa membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.