Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
ANCAMAN KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN LINDUNG DI BATAM Threating Ecosystems Degradation of Protected Forest in Batam Adisti Yuliastrin Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, UPBJJ-Universitas Terbuka Batam Jl. Dr. Sutomo No.3 Sekupang – Batam, 08122773831/0778-326189 Email:
[email protected] Abstrak Kerusakan hutan menjadi topik yang mengemuka setelah terjadinya kebakaran hutan secara terus-menerus dan bersifat masif beberapa waktu yang lalu. Pulau Batam turut merasakan dampaknya. Selain udara panas, kering dan asap kiriman, kebakaran hutan pun terjadi pula di pulau kecil ini. Kebakaran hutan melanda beberapa titik kawasan hutan lindung seperti Hutan lindung Bukit Dangas, Hutan lindung Sei.Harapan, Hutan lindung Sei.Temiang dan beberapa kawasan hutan lindung lainnya di wilayah Sekupang. Selain kebakaran hutan terjadi pula konversi lahan dan kegiatan antropogenik lainnya yang menjadi ancaman kerusakan hutan terutama hutan lindung di Batam. Fungsi ekologis hutan seolah terabaikan. Padahal secara mendasar kehidupan di Batam sebagai pulau kecil sangat bergantung pada keberadaan hutan dalam hal ketersediaan air tawar. Kerusakan ekosistem hutan lindung merubah struktur vegetasi di hutan tersebut. Tulisan ini disajikan sebagai informasi tentang adanya ancaman kerusakan hutan lindung di Batam sehingga dilakukan upaya untuk menekan kerusakan terutama kerusakan karena faktor eksternal (antropogenik) sehingga memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup saat ini dan masa yang akan datang.Kerusakan yang terjadi sudah sepantasnya tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak melainkan tanggung jawab bersama seluruh pihak terkait. Diperlukan adanya komitmen yang kuat dari seluruh pihak untuk menerapkan pola hidup ramah lingkungan dan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang melanggar aturan. Kata kunci: Batam, Kerusakan hutan, kerusakan ekosistem, konversi lahan, hutan lindung Abstract Deforestation becoming a fore topic after the occurrence of forest fires on an ongoing basis and to be massive some time ago. In addition to hot air, dry and smokemails, a forest fire was happening here in this small island. Forest fires swept some region in the protected forest area as Protected Forest Bukit Dangas, protected forest Sei Harapan, protected forest Sei Temiang and some other areas in the region Sekupang.In addition to forest fires there are also land conversion and other anthropogenic activities that can be a threat to forest destruction especially protected forest in Batam.Though fundamentally life onthe smallisland of Batam asheavily dependenton the forestin terms offreshwater availability. The damage of protected forest ecosystems are alters the structure of the vegetation in that forest. This paper is presented as an information about threatening of deforestation in Batam anddoefforts to reducethe damage, especially due to the external factors (anthropogenic) thereby providingbenefits forthe survival ofthe present andfuture. The damage that occurs is not only the responsibility of a party on one side but also become responsibility of all parties concerned.It takes a forceful commitment from all parties to implement eco-friendlylifestyle and strict law enforcement for those who violate the rules. Keywords: Batam, deforestation, ecosystem degradation, land conversion, protected forest
675
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENDAHULUAN Hutan merupakan kekayaan sumber daya alam hayati yang tak ternilai harganya. Perannya begitu besar bagi kelangsungan hidup berbagai makhluk di muka bumi ini. Sebagai bentuk upaya pelestarian hutan maka hutan dibagi dalam beberapa jenis. Salah satunya adalah hutan lindung. Hutan lindung ditetapkan berdasarkan fungsi ekologisnya bagi kehidupan. Hutan lindung menjaga sumber-sumber penting bagi ekosistem seperti sumber mata air, menjaga fungsi lereng pada daerah-daerah tertentu yang rawan longsor dan fungsi-fungsi ekologis lainnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga hutan lindung adalah dengan menerapkan pola hidup yang tidak konsumtif dan tetap menjaga kelestarian ekologi hutan sehingga tercipta kondisi ekosistem yang sinergi. Menurut Nagel (2011) pola hidup tidak konsumtif merupakan pola hidup yang menjunjung tinggi etika lingkungan. Kelestarian hutan seringkali hanya menjadi sekedar jargon yang sangat sulit untuk mendapatkan terapannya. Berbagai kendala begitu banyak menghalangi. diantaranya adalah kebakaran hutan bahkan hutan lindung sekalipun. Kebakaran hutan lindung yang cukup besar terjadi di Batam pada tahun 2014. Kebakaran ini mencapai ratusan hektare. Hampir sepanjang tahun 2014 musim kering melanda sebagian wilayah Indonesia termasuk Batam. Musim kering ini merupakan lanjutan dari tahun 2013. Cuaca panas, kering dan angin kencang menjadi faktor pemicu kebakaran hutan, ditambah pula dengan adanya faktor kesengajaan dan kelalaian manusia menyebabkan kebakaran hutan semakin meluas. Lokasi kebakaran hutan lindung terbesar terjadi di Kecamatan Sekupang dengan sebaran titik kebakaran berada di Hutan Lindung Sei. Harapan, Sei. Temiang, Mata Kucing, Bukit Dangas dan Bukit Harimau (Rezkisari, 2014; Hazliansyah, 2014). Selain kebakaran hutan, indikator penting lainnya dalam menentukan kerusakan vegetasi adalah kondisi vegetasi itu sendiri. Kondisi vegetasi dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah. Tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh kehadiran bahan organik yang berada di lantai hutan. Bahan organik memiliki peran yang besar untuk mempertahan kesuburan tanah, berupa kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Dari segi fisik, tanah dengan bahan organik dalam jumlah besar akan memiliki aerasi yang baik dan tidak mudah memadat (Suprapto, 2005 dalam Santoso et al, 2013). Bahan organik tanah dapat dilihat dari keberadaan seresah hutan yang cukup banyak. Selain itu kondisi kanopi hutan sangat mempengaruhi faktor pencahayaan dan proses degradasi yang terjadi. Melalui tulisan ini rumusan masalah yang ingin disampaikan adalah bagaimana upaya mempertahankan kelestarian hutan lindung yang ada di Batam. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah memberikan informasi tentang adanya ancaman kerusakan hutan lindung di Batam sehingga dilakukan upaya untuk menekan kerusakan terutama kerusakan karena faktor eksternal (antropogenik) sehingga memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup saat ini dan masa yang akan datang. KAJIAN PUSTAKA Kebakaran hutan menjadi ancaman utama yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan. Kebakaran hutan dapat dipicu oleh faktor alam dan faktor eksternal (manusia), namun akhir-akhir ini faktor eksternal menjadi pencetus utama kebakaran hutan. Manusia melakukan pembakaran hutan karena berbagai alasan diantaranya karena kebutuhan lahan 676
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
sehingga melakukan konversi lahan dengan kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan dan lain-lain melalui pembakaran hutan. Selain itu kegiatan pembakaran vegetasi, pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan lahan gambut dan terjadinya sengketa lahan menjadi pemicu kebakaran hutan (Qodriyatun, 2014). Kebakaran hutan di Riau kembali merebak pada tahun 2014. Dampak kebakaran hutan ini turut dirasakan oleh warga Batam karena adanya hembusan angin yang membawa partikel asap sampai ke daratan Batam. Selain itu karena iklim kering yang melanda pada waktu itu sehingga memicu kebakaran hutan di Batam. Kebakaran hutan membawa banyak kerugian bagi kehidupan manusia antara lain menyebabkan emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global, hilangnya habitat bagi satwa dan fauna alami sehingga ekosistem mengalami ketidakseimbangan, menyebabkan bencana longsor, banjir bahkan kekeringan, kehilangan bahan baku untuk industri, mempengaruhi iklim mikro bahkan makro jika terjadi terus-menerus serta mampu menurunkan kualitas hidup manusia (Qodriyatun, 2014). Kerusakan hutan dan lingkungan hidup dapat pula terjadi karena kesalahan dalam pengelolaan kawasan itu sendiri. Masyarakat terutama yang menetap di sekitar hutan memiliki peran besar dalam menjaga kelestarian hutan. Adat dan tradisi yang berkembang menjadi suatu kearifan lokal dalam upaya mempertahankan kelestarian hutan. Menurut Sribudiani (2005) dalam Mustofa (2011) bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap pelestarian hutan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kearifan lokal. Upaya konservasi hutan yang terjadi saat ini merupakan suatu perkembangan dari traditional and local knowledge yaitu suatu proses evolusi tumbuhan dalam ekosistem atau habitat yang berinteraksi dengan kehidupan manusia (Harris dan Hilman, 1989 dalam Amzu et al., 2007). Bentuk sinergi antara manusia dan hutan harus ditingkatkan lagi. Batam sebagai pusat pengembangan industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata menyebabkan arus migrasi yang cukup tinggi ke Batam. Tingginya arus migrasi ini menyebabkan meningkatkan kebutuhan perumahan. Pada umumnya kebutuhan lahan perumahan ini akan dipenuhi dengan membuka suatu kawasan hutan (Setiyohadi, 2008). Berbagai upaya yang dilakukan masyarakat untuk pemenuhan terhadap kebutuhan lahan dapat menyebabkan terjadinya degradasi hutan. Aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat baik yang dilakukan dalam skala kecil maupun besar (industri) dapat menjadi ancaman bagi keberadaan hutan dan peran ekologisnya (Rifardi, 2008). Tumbuhan dan habitat serta budaya dalam masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Indikakator kerusakan hutan selain dilihat dari kondisi vegetasinya juga dapat dilihat dari tingkat kesuburan tanahnya. Tingkat kesuburan tanah sangat penting bagi vegetasi karena kesuburan tanah hutan dapat menjamin kelangsungan vegetasi di hutan tersebut. Tingkat kesuburan tanah terkait erat dengan kandungan bahan organik didalamnya. Di lantai hutan banyak sekali tumpukan sisa-sisa bahan organik yang berasal dari organisme yang hidup di hutan tersebut baik hewan maupun tumbuhan. Sisa-sisa bahan organik tersebut akan mengalami proses pengomposan (Nurchayati dan Yuliana, 2006). Pengomposan merupakan suatu proses yang melibatkan peran mikroorganisme. Selama proses ini berlangsung, sisa-sisa bahan organik akan mengalami penghancuran 677
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
menjadi humus. Proses ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperi cuaca, kelembaban dan suhu (Sutanto, 1992 dalam Nurchayati dan Yuliana, 2006). Faktor manusia (antropogenik) sering menjadi penyebab kerusakan hutan. Sebagai upaya menekan tindakan tersebut dapat dilakukan alternatif pemanfaatan lahan hutan. Menurut Mustofa (2011) masyarakat sekitar hutan yang memiliki pola sebagai masyarakat pertanian dapat melakukan pemanfaatan lahan di bawah tegakan (PLDT). Kegiatan ini sesuai dengan tujuan dari pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM). Kegiatan PLDT ini semula dilakukan tanpa prosedur yang legal. Bila pelaksanaannya benar, kegiatan ini dapat mengembalikan fungsi hutan secara ekologis. PLDT pada prinsipnya merupakan agroforestry yang sesungguhnya bermanfaat dalam upaya peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan. PEMBAHASAN Kondisi geografis Batam yang merupakan daerah pesisir menyebabkan hembusan angin kencang kerap kali terjadi. Jika masyarakat masih menerapkan pembukaan lahan dengan pola membakar hutan maka hembusan angin kencang ini akan memperburuk keadaan. Tidak hanya kegiatan membuka lahan, aktivitas harian masyarakat seperti membakar sampah yang dilakukan di tepi hutan pun jika api tidak diawasi dan seketika terjadi hembusan angin yang kencang maka kebakaran dapat terjadi di lahan hutan. Sebagian besar kawasan hutan lindung di Batam berdekatan bahkan bersisian dengan pemukiman sehingga intervensi dari luar tidak mungkin dihindari. Terganggunya ekosistem hutan lindung bila berlangsung secara terus-menerus bisa berakibat pada hilangnya suatu kawasan hutan lindung. Kehilangan ini sekaligus dapat mengganggu bahkan mungkin menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan seperti pengatur tata air, konservasi tanah dan udara (Pratiwi, 2007). Pola hidup masyarakat di Batam adalah masyarakat industri. Hanya sebagian kecil masyarakat yang bercocok tanam. Kegiatan bercocok tanam ini pun sejatinya bukanlah merupakan pekerjaan utama. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bercocok tanam ini telah merambah ke dalam kawasan hutan lindung. Salah satunya seperti di Hutan Lindung Bukit Dangas. Selain adanya aktivitas bercocok tanam di kawasan hutan lindung terdapat pula aktivitas lain yang berdampak sangat besar terhadap kelangsungan hutan lindung yaitu konversi lahan. Peran pemerintah sangat diharapkan dalam hal ini. Adanya penetapan status suatu kawasan hutan lindung seharusnya menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh pihak terkait, terutama pemerintah dan masyarakat. Konversi lahan ini terjadi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan lahan kosong sebagai kawasan hunia ataupun kawasan niaga yang bersifat ekonomi. Pemenuhan kebutuhan lahan di sini sudah seharusnya tidak melanggar site plan yang telah dibuat terdahulu. Konversi lahan untuk kawasan hunian ataupun kawasan niaga pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan namun oleh pihak pengembang perumahan. Peran pemerintah dalam menerbitkan ijin membuka lahan sangat besar dalam hal ini. Sehingga diperlukan komitmen yang sangat besar untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Adanya kawasan lindung dan kawasan konservasi tentulah memiliki tujuan sehingga menjadi suatu pelanggaran jika hal ini pun menjadi terabaikan. Kegiatan ini tentu saja menjadi ancaman bagi ekosistem hutan terutama hutan lindung. 678
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Salah satu contoh kawasan hutan lindung yang mulai mendapat ancaman kerusakan adalah Hutan Lindung Bukit Dangas. Hutan lindung ini mengalami kebakaran hutan yang cukup parah pada tahun 2014 sehingga memerlukan perhatian ekstra dari berbagai pihak terutama pemerintah dan masyarakat (Rezkisari, 2014; Hazliansyah, 2014). Kawasan hutan lindung ini bersisian dengan wilayah perairan Selat Singapura. Lokasi ini cukup strategis sebagai lokasi wisata pantai. Masyarakat cukup banyak melakukan aktivitas di kawasan hutan lindung ini seperti aktivitas olahraga alam bebas berupa sepeda downhill bahkan ancaman konversi lahan untuk perumahan semakin banyak terjadi. Realita ini menambah panjang daftar ancaman terhadap ekosistem hutan lindung. Selain Hutan Lindung Bukit Dangas terdapat pula kawasan hutan lindung lain yang terancam rusak seperti Hutan Lindung Bukit Tiban, Sei. Harapan dan Sei. Temiang. Faktor yang paling sering terjadi adalah kebakaran hutan dan konversi lahan untuk perumahan. Kebakaran hutan secara nyata dapat merusak vegetasi di hutan lindung tersebut dan perlahan dapat mempengaruhi bahkan merubah kandungan bahan organik di dalam tanah. Kondisi vegetasi yang dialami Hutan Lindung Bukit Dangas ini jika tidak segera mendapat perhatian dikhawatirkan akan semakin parah mengingat begitu dekatnya kawasan ini dengan aktivitas masyarakat. Diperlukan satu bentuk kerjasama yang sinergis dari semua pihak terkait. Konsep ini disebut juga dengan Good Environmental Governance (GEG). Konsep Good Environmental Governance (GEG) harus menjadi dasar dalam pengelolaan suatu kawasan hutan sehingga pola pembangunan yang tidak melampaui batas-batas ekosistem dan ambang lingkungan dapat terlaksana (Alikodra dan Syaukani, 2004 dalam Zaimah, 2007; Suweda, 2011). Kebakaran hutan dan konversi lahan serta berbagai intervensi manusia yang tidak ramah lingkungan merusak vegetasi hutan secara fisik. Hutan yang minim vegetasi akan menyebabkan minim pula seresah pada lantai hutan. Ketiadaan seresah ini akan mengurangi terjadinya pengomposan sehingga kandungan bahan organik tanah menjadi miskin. Bahan organik memiliki peran penting dalam mempertahankan sifat tanah untuk tetap dalam kondisi baik seperti berperan sebagai granulator yang memperbaiki struktur tanah, sumber bagi unsur hara baik makro maupun mikro. Tanah dengan kandungan bahan organik yang memadai akan mampu mempertahankan kandungan air tanah, menambah kapasitas pertukaran ion dan sumber energi bagi mikroorganisme tanah yang akan meningkatkan kesuburan tanah. Berbagai proses yang merupakan siklus fungsi ini menjadi terganggu dan akan berakibat pada kerusakan ekosistem yang berkelanjutan. Begitu besarnya fungsi hutan bagi kelangsungan kehidupan mengingat fungsi ekologisnya dalam tata air terutama di Batam yang merupakan pulau kecil. Ketersediaan air tawar sangat bergantung pada keberadaan hutan. Semakin banyak kawasan hutan yang rusak atau beralih fungsi maka akan semakin banyak air tanh yang terlepas kembali ke laut. Kondisi sulit air akan sangat dirasakan bila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Peran pemerintah sangat diperlukan di sini untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi hutan lindung. Salah satu fungsi hutan lindung yang sangat penting bagi kelangsungan Pulau Batam adalah sebagai pengikat air tanah. Tingkat ketergantungan kehidupan di Pulau Batam terhadap air tawar sangat bergantung pada waduk-waduk air tawar yang dibuat di berbagai titik wilayah dengan hutan yang masih 679
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
asri. Ancaman bagi kelestarian hutan merupakan ancaman besar kelangsungan kehidupan di Pulau Batam. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah memberikan informasi tentang adanya ancaman kerusakan hutan lindung di Batam sehingga dilakukan upaya untuk menekan kerusakan terutama kerusakan karena faktor eksternal (antropogenik) sehingga memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup saat ini dan masa yang akan datang. PENUTUP Kesimpulan Aktivitas dan kebutuhan masyarakat Batam semakin mengancam kelestarian ekosistem hutan bahkan sudah merambah ke kawasan hutan lindung. Kawasan lindung dan kawasan konservasi sesuai penetapannya tentu saja memiliki tujuan tertentu yang bermuara pada upaya menjaga kelestarian ekosistem dan sumberdaya. Ancaman kerusakan itu tidak hanya datang dari faktor alami, namun faktor antropogenik memiliki kapasitas yang cukup besar. Faktor alami seperti kebakaran hutan sudah cukup sulit dihindari karena iklim wilayah pesisir yang memiliki hembusan angin kering yang kencang. Aktivitas dan pola hidup masyarakat semakin memperparah kerusakan ekosistem yang dapat terjadi. Saran Kerusakan yang terjadi menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak terkait. Diperlukan upaya nyata dari seluruh pihak untuk berkomitmen menjaga ekosistem hutan. Upaya tersebut dimulai dari pribadi masyarakat, pemerintah dan pemerhati lingkungan. Seluruh komponen selayaknya berkomitmen merubah gaya hidup yang ramah lingkungan. Diperlukan adanya site plan yang jelas terhadap suatu kawasan sehingga tidak terjadi lagi kehilangan kawasan hutan karena konversi lahan dan lain-lain. Untuk mendukung hal itu sangat diperlukan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap pihak yang melanggar aturan. DAFTAR PUSTAKA Amzu, E. K, Sofyan. L. B, Prasetyo dan H, Kartodihardjo. 2007. Sikap Masyarakat dan Konservasi: Suatu Analisis Kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) Sebagai Stimulus Tumbuhan Obat Bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi. XII: 22-32. Hazliansyah. 2014. 265 Hektare Hutan Lindung di Batam Terbakar. (Online). (http://www.republika.co.id/. diakses tanggal 30 Januari 2015). Mustofa, M. S. 2011. Perilaku Masyarakat Desa Hutan dalam Memanfaatkan Lahan di Bawah Tegakan. Jurnal Komunitas. 3 (1): 1-11. Nagel, P. J. F. 2011. Pelestarian Hutan dalam Hubungannya dengan Lingkungan dan Potensi Ekonomi. Prosiding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil). 18-19 Oktober. Universitas Gunadarma – Depok. Nurchayati, Y and T. Yuliana. 2006. Pertumbuhan Tongkol Jagung Baby Corn (Zea mays L.) Varietas Pioneer-11 Setelah Pemberian Kascing. Jurnal Sains & Matematika (JMS). 14 (4): 175-181. 680
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Pratiwi. 2007. Konservasi Tanah dan Air: Pemanfaatan Limbah Hutan dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. 20 September. Padang. Qodriyatun, S. N. 2014. Kebijakan Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan. Info Singkat Kesejahteraan Sosial. VI (6): 9-12. Rezkisari, I. 2014. Kebakaran Hutan Batam Meluas. (Online). (http://www.republika.co.id/. diakses tanggal 30 Januari 2015). Rifardi. 2008. Degradasi Ekologi Sumberdaya Hutan dan Lahan (Studi Kasus Hutan Rawa Gambut Semenanjung Kampar Provinsi Riau). Jurnal Bumi Lestari. 8 (2): 145 – 153. Santoso, B. Irsal and Haryati. 2013. Aplikasi Pupuk Organik dan Benziladenin terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Jurnal Online Agroekoteknologi. 1 (4): 978-986. Setiyohadi, I. 2008. Karakteristik dan Pola Pergerakan Penduduk Kota Batam dan Hubungannya dengan Perkembangan Wilayah Hinterland. Tesis. Program Magister Teknik Sipil. Universitas Diponegoro, Semarang. (Tidak dipublikasikan). Suweda, I. W. 2011. Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan Berdaya Saing dan Berotonomi (Suatu Tinjauan Pustaka). Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. 15 (2): 113-122. Zaimah. 2007. Kearifan Lingkungan Masyarakat Kampung Kuta Bagi Kelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Tesis. Program Studi Ilmu Lingkungan. Universitas Indonesia, Jakarta. (Tidak dipublikasikan).
681