300 Hektar Hutan Terbakar di Batam Kebakaran yang melanda kawasan hutan di Kota Batam terjadi. Hingga Rabu (5/2), luasan hutan yang terbakar diperkirakan sudah hampir mencapai 300 hektar. Kepala Bidang Kehutanan Dinas KP2K Batam, Emri Zuramen mengatakan, data terakhir yang tercatat, ada sekitar 265 hektar lahan hutan lindung yang terbakar. Data tersebut belum termasuk kebakaran hutan yang terjadi pada Rabu (5/2) kemarin. Kata dia, dalam sehari, sedikitnya ada enam titik hutan terbakar. Karena itu, luasan hutan yang terbakar hingga Rabu kemarin diprediksi sudah mencapai 300 hektar. "Paling besar hutan lindung terbakar di wilayah Tanjungpiayu, Kecamatan Seibeduk. Untuk penyebabnya, kita belum tahu apakah disengaja atau terbakar sendiri," katanya. Kemarin, si jago merah mengamuk di sejumlah titik. Kebakaran besar terjadi di kawasan hutan lindung di Seiharapan, Kecamatan Sekupang dan kawasan hutan di Bandara Internasional Hang Nadim, Kecamatan Nongsa. Di Seiharapan, api yang melalap hutan menimbulkan api besar dan asap tebal yang membumbung ke angkasa. Pemandangan itu sempat menarik perhatian sejumlah pengendara yang melintas di wilayah tersebut. Nur Patria Kurniawan, Kepala Seksi Konsevasi wilayah II, Balai Koservasi Sumber Daya Alam (KSDA) mengatakan, petugas dari Brigadir Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Bridalkarhutla), dan Penanggulanan Bahaya Kebakaran (PBK) BP Batam tidak bisa masuk ke titik api. Karena mobil pemadam kebakaran tak bisa mendekat, maka petugas pun dibuat kerepotan. Belum lagi berhasil memadamkan api, petugas kembali mendapat laporan telah terjadi kebakaran di hutan lindung dekat kawasan Bukit Mata Kucing. "Kita sulit masuk. Apalagi mobil PBK BP (Badan Pengusahaan) Batam, padahal kita mau masuk dengan membawa mesin penyedot air. Kalau pakai perahu karet mungkin baru bisa kita nyebrang ke lokasi hutan terbakar itu," kata Nur Patria Kurniawan yang terjun ke lokasi kebakaran di Seiharapan. Dia juga menyebutkan pihak Bridalkarhutla Manggala Agni ini dalam memadamkan api tidak membawa air melainkan membawa mesin penyedot air. Berbeda dengan mobil PBK BP Batam, yang membawa air untuk memadamkan kebakaran, jika pihaknya mencari sumber air untuk menyiram api yang membakar hutan. "Mesin menyedot air yang kita miliki 15 menit bisa menghabiskan air dua unit tangki air mobil PBK BP Batam. Jadi dalam memadamkan api, kita mencari sumber air bukan membawa air," terangnya.
Kata dia, dari data yang dimiliki, paling banyak hutan lindung yang terbakar dibandingkan hutan konservasi. Dan dalam tugasnya, pihaknya mengutamakan dulu untuk memadamkan hutan konservasi yang terbakar. Sementara di kawasan hutan dekat Bandara Hang Nadim, Rabu sekitar pukul 13.00 WIB. Di sini, diperkirakan luas hutan yang terbakar mencapai lima hektar. Kebakaran juga sempat menimbulkan kecemasan warga Perumahan Permata Bandara Regency karena tiupan angin yang kencang membuat api mengarah ke perumahan tersebut. Beruntung, api berhasil dipadamkan sekitar pukul 15.30 WIB. Petugas sempat kewalahan melakukan pemadaman dikarenakan titik api pecah di berbagai titik. Kondisi dipersulit dengan angin yang bertiup kencang sehingga api cepat menyebar. Petugas pemadam kebakaran Bandara Hang Nadim yang tidak sanggup lantas meminta bantuan kepada petugas pemadam kebakaran dari Kecamatan Nongsa, Punggur dan Batuampar. Charles Simamora, seorang petugas pemadam kebakaran mengatakan, lahan yang terbakar sekitar lima hektar. Petugas harus mengisi air ke mobil tangki hingga lima kali untuk memadamkan api. "Petugas PMK dari bandara tadi ngontak. Kami langsung meluncur. Lahan yang terbakar kira-kira seluas lima hektar. Namun apinya pecah, jadi agak sulit dipadamkan," kata Charles. Lokasi lahan yang terbakar berada di hutan pinggir jalan sekitar 1 KM dari simpang bandara arah Batu Besar. Dari bandara sendiri, lahan yang terbakar ini kira-kira berjarak 1 KM dari hanggar baru Lion Air. Warga perumahan Permata Bandara, Zainal mengatakan kira-kira pukul 13.00 WIB, ada anak-anak yang pulang sekolah mengatakan ada api di semak seberang jalan perumahan. "Anak-anak SD tadi yang bilang, ada api di situ. Waktu itu apinya masih kecil, tapi tiba-tiba saja sudah membesar dan menyebar," katanya. Sejauh ini, kebakaran tersebut belum mempengaruhi jarak pandang hingga mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Hang Nadim. [mes]
Kebakaran Hutan Batam Terbesar Sejak 1984 Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof Bambang Hero Saharjo mengatakan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia terutama di provinsi rawan kebakaran seperti Provinsi Riau sudah kronis karena selalu terjadi berulang-ulang kali.
"Kebakaran hutan dan lahan kita itu sudah kronis, sudah bertahun-tahun terjadi dan terjadi lagi," ujar Bambang Hero, saat ditemui di Kampus IPB Dramaga, Senin. Prof Bambang mengatakan, harusnya peristiwa kabut asap yang terjadi di 2013 lalu menjadi pelajaran bagi semua. Namun, karena sejumlah pihak mengaggap kebakaran hutan dan lahan bukan masalah penting sehingga kebakaran tersebut terjadi lagi, mulai dari Januari hingga Maret ini. Penanganan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di 2014 sempat menemukan jalan buntu karena meluasnya sebaran kabut asap hingga melumpuhkan aktivitas masyarakat, bandara, sekolah dan kantor di Provinsi Riau dan meluas ke provinsi tetangga seperti Medan, Sumbar dan Jambi. Upaya pemadaman yang dilakukan mengalami kendala karena pesawat pembawa bom air dan garam tidak bisa beroperasi akibat jarak pandang yang sangat pendek akibat ketebalan kabut asap. Bandara Sultan Syarif Kasim II juga tidak melayani penerbangan. Selain karena lambatnya penanganan dan pencegahan, faktor cuaca juga turut memperluas sebaran api. Karena selama kurun waktu kebakaran hutan dan lahan tidak ada hujan turun, sehingga Satgas Penanggulangan Bencana Kabut Asap tidak bisa berbuat banyak. "Siapa pelaku dari kebaran hutan dan lahan ini. Pelakunya tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat dan koprorasi (perusahaan)," ujar Prof Bambang yang juga merupakan tim ahli perlindungan hutan untuk Polda Riau ini. Prof Bambang mengatakan masyarakat yang dimaksud bukanlah masyarakat adat yang biasa melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, mereka adalah masyarakat "berdasi" yang berdalih sebagai masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara dibakar. Ia menjelaskan, pada Pasal 17 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 memang memperbolehkan masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara membakar. Karena membakar merupakan ritual adat dan budaya masyarakat lokal. Dalam peraturan pemerintah ini juga dibatasi, bahwa luas wilayah yang boleh dibakar oleh masyarakat adat hanya 2 hektar, dan tidak boleh melompat atau meluas ke daerah lain. Apabila melebihi dan melombat ke kawasan lain, maka masyarakat ada yang melakukan pembakaran akan ditindak dan dikenai sanksi pidana. Faktanya, lanjut Prof Bambang, masyarakat adat yang melakukan pembakar memiliki lahan seluas 5 sampai 100 hektar. Berdasarkan Undag-Undang Nomor 18 Tahun 2004 masyarakat yang memiliki lahan lebih dari 25 hektar disebut perusahaan. "Inilah fakta, masyarakat berdasi yang dimaksudkan yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar," ujarnya. Prof Bambang mengatakan, bencana kabut asap yang terjadi tahun ini merupakan akumulasi dari beberapa faktor diantaranya, selain adanya pembiaran karena menganggap kebakaran penting lebih
kepada ulah manusia, juga dikarenakan akses di lahan areal perkebunan yang belum memadai sehingga saat membakar lahan sulit dipadamkan karena tidak adanya akses. Selain itu, cuaca di musim kemarau mempercepat laju terbakarnya hutan dan lahan yang kebakayan terjadi di lahan gambut. "Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia khususnya di Riau tidak terjadi begitu saja. Ada yang membakarnya, karena membakar jauh lebih murah dibanding membuka lahan dengan metode lain," ujar Bambang. Bencana kabut asap yang melanda Provinsi Riau selama hampir tiga bulan lamanya terus meluas hingga dampaknya dirasakan oleh provinsi tentangga seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jambi. Sebanyak 55.000 warga Riau terserang ISPA, seratus orang mengungsi, sekolah diliburkan, hingga selama dua pekan bandar udara tidak bisa melayani penerbangan. Bencana kabut asap ini membuat Presiden SBY turun mengambil alih penanganan dengan mengerahkan personel TNI untuk melakukan pemadaman. Upaya yang dilakukan membuahkan hasil, ditambah hujan yang mengguyur wilayah tersebut hingga dua hari terakhir kondisi udara di Kota Pekanbaru, Riau mulai cerah.
Hutan Kita dan Ancaman Kebakaran Indonesia, negeri yang terletak di garis khatulistiwa, kaya ditaburi sinar matahari. Cahaya kehidupan ini menjadi modal tumbuh suburnya pepohonan di nusantara. Hutan tropis Indonesia sempat dikenal amat lebat, kaya jenis, dan begitu luas. Kawasan hutan ini tersebar di Pulau Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa. Di tahun 1950-an, 84 persen wilayah Indonesia masih berupa hutan. Percepatan pembangunan membuat wajah hutan Indonesia berubah. 30 tahun kemudian, di tahun 1980-an, tersisa separuh wilayahnya. Dari tahun ke tahun, hutan di Indonesia memang luasnya terus menyusut, dan kondisinya kian rusak. Pengelolaan hutan menuntut perhatian lebih. Telah lama, upaya konservasi dilakukan. Memilah dan menggolongkan hutan, adalah sebagian usaha agar penanganan hutan di Indonesia lebih fokus. Ada hutan lindung, hutan suaka alam dan wisata, yang juga berfungsi untuk keperluan konservasi. Ada pula hutan produksi, dan hutan konversi untuk keperluan perkebunan dan pertanian. Data tahun 2001 menunjukkan, Indonesia yang mempunyai luas lebih dari 190 juta hektar, masih menyisakan hutan sekitar 110 juta hektar. 29 juta hektar diantaranya berupa hutan lindung. 21 juta hektar merupakan hutan suaka alam dan wisata untuk konservasi. Sementara hutan produksi terbatas, termasuk hak penguasaan hutan dan hutan tanaman industri, masih seluas 27 juta hektar. Sementara hutan produksi tetap, masih tersisa 16 juta hektar. Sedangkan hutan
konversi yang sering dijadikan sebagai lahan perkebunan dan pertanian, kini luasnya tak lebih dari 16,6 juta hektar. Angka deforestasi selama tahun 1985 sampai 1997, mencapai 1,5 persen, per tahun, yang menyebabkan kawasan tak berhutan seluas lebih dari 40 juta hektar. Data terakhir menunjukkan, luas hutan di Kalimantan kini tinggal sekitar 31 juta hektar. Sementara di Pulau Sumatera masih ada sekitar 16 juta hektar. Di Sulawesi tersisa 9 juta hektar. Di ujung timur, Irian dan Maluku, masih ada 38 juta hektar area hutan. Beberapa faktor deforestasi, lenyapnya kawasan hutan di Indonesia, antara lain kebakaran hutan, penebangan liar dan perambahan hutan. Alih status dan fungsi kawasan hutan, juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebabnya. Perihal kebakaran hutan, dari 40 juta hektar lahan hutan yang hilang, 3 juta hektar di antaranya akibat kebakaran hutan ini. Hutan tropis Indonesia memang termasuk dalam kategori rawan terhadap bahaya kebakaran. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera pada 1997 dan 1998, tergolong parah. Terlebih lagi ketika badai tropis El Nino, ikut memperburuk dengan meluasnya lahan kebakaran hutan. Tuaian protes pun datang, dari negara tetangga Singapura dan Malaysia, yang terganggu oleh asap yang ditimbulkan kebakaran hutan. Asian Developement Bank, ADB, mencatat, akibat kebakaran hutan di wilayah Indonesia pada tahun 1997, 1998, jutaan hektar hutan hangus. Periode ini adalah masa kebakaran hutan terburuk di tanah air, dalam 15 tahun terakhir. Saat itu, di Sumatera diperkirakan 1,7 juta hektar, sementara di Kalimantan, tidak kurang dari 6 juta hektar hutan juga terbakar. Demikian pula yang terjadi di irian, Sulawesi dan Jawa. Nicolas, yang telah lebih dari 10 tahun melakukan studi dan memberikan berbagai pelatihan tentang penanggulangan bahaya kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera ini, meyakini sejumlah kebakaran hutan di tanah air, lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia. Membuka hutan untuk lahan perkebunan den pertanian dengan cara membakar, disebut-sebut sebagai penyebabnya. Beruntung, sepanjang tahun ini nyaris tak ada kasus kebakaran hutan yang menonjol di tanah air. Meskipun hasil pantauan satelit menunjukkan adanya sejumlah titik api, hot spot, di berbagai lokasi, yang menunjukkan adanya aktivitas pembakaran hutan. Meski boleh dibilang kondisinya saat ini aman, namun upaya menghindari kebakaran hutan tetap dilakukan. Satu diantaranya adalah apa yang kini tengah dikembangan pemerintah yang bekerja sama dengan Uni Eropa. Program kerjasama ini memiliki konsep melibatkan masyarakat lokal sebagai basis, untuk regu-regu pemadam kebakaran hutan. Merekalah yang menjadi garda terdepan memadamkan api di saat kebakaran hutan terjadi. Dengan cara ini diharapkan api cepat dikendalikan dan kebakaran hutan tidak akan meluas. Keberadaan dan keutuhan hutan Indonesia, adalah masa depan bangsa Indonesia. Hutan adalah paru-paru dunia dan kekayaan alam tak ternilai, yang harus terus dilindungi dan dijaga kelestariannya. Kelalaian dan
keserakahan manusia terhadap hutan dan seisinya, hanya akan menuai petaka panjang di kemudian hari.(Idh) Video Streaming