I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi oleh logging di hutan produksi untuk pemenuhan konsumsi kayu (69 juta Ha); konversi hutan untuk perkebunan sawit (lebih dari 3 juta Ha) dan pembangunan Hutan Tanaman Industri (7.861251 Ha) (FWI-GFW, 2001). Harus diakui di satu pihak eksploitasi kayu hutan alam, ekspansi perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri pada lahan hutan telah meningkatkan devisa, di lain pihak keseimbangan ekologi terganggu (Meijaard et al. 2006). Aktivitas tersebut telah membawa masalah dan pengaruh terhadap penyempitan dan fragmentasi habitat spesies terutama mamalia besar seperti gajah (Hedges et al. 2005 dan Kinnaird et al. 2003), badak dan harimau (Kinnaird et al. 2003) dan orangutan.
Kerusakan hutan dan fragmentasi habitat merupakan masalah serius bagi kelestarian satwaliar bukan hanya di hutan tropis Indonesia, tetapi juga di hampir semua hutan tropis dunia. Hal ini terjadi bukan hanya di luar kawasan konservasi namun juga di dalam kawasan konservasi, yang mengakibatkan terisolasinya satwaliar pada kawasan yang sempit karena tidak ada akses menuju kawasan di luarnya, dan terpotongnya jalur jelajah bagi satwa yang membutuhkan wilayah jelajah (homerange) yang sangat luas seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang mencapai 680 Ha per ekor (Santiapillai, 1987). Fragmentasi habitat yang terjadi, dalam jangka panjang juga akan menyebabkan terjadinya kemerosotan genetik karena tekanan silang dalam (inbreeding depression) yang mengancam kelestarian spesies (Vidya et al. 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sebagai sub spesies dari gajah asia, Gajah Sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera yang kini sedang mengalami penyempitan dan fragmentasi habitat.
Kondisi tersebut membuat populasinya semakin menurun. Selain itu
Gajah Sumatera juga diburu untuk mendapatkan gadingnya dan dibunuh karena terlibat konflik dengan masyarakat. Soehartono et al. (2007) memperkirakan populasi Gajah Sumatera pada akhir tahun 2007 berkisar antara 2400 sampai 2800 ekor. Bila dibandingkan dengan perkiraan Blouch dan Haryanto serta Blouch dan Simbolon (1985) sekitar 2800 – 4800 ekor, populasi Gajah Sumatera sangat menurun tajam (lebih dari 30%) dalam kurun waktu 20 tahun. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan untuk menjamin kelestarian populasi Gajah Sumatera dalam jangka panjang. Fakta semakin menurunnya populasi gajah karena penyempitan dan fragmentasi habitat, konflik dengan manusia, dan perburuan liar, menjadikan Gajah Sumatera termasuk satwa yang terancam punah dan terdaftar dalam IUCN Red List of Threatened Species (IUCN, 2008), dan termasuk dalam Appendix I dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Kategori terancam punah yang dimaksud adalah Gajah Sumatra liar (di alam) hanya terdapat dalam populasi yang kecil karena sebaran geografisnya sempit/terbatas dan kepadatan populasinya rendah (Mackenzie et al, 2001). Salah satu upaya untuk menghambat laju kepunahan Gajah Sumatera adalah dengan mempertahankan populasinya di alam liar (konservasi insitu) dan memelihara sebagian populasinya dalam penangkaran (captivity) seperti di kebun binatang yang disebut sebagai konservasi eksitu.
Universitas Sumatera Utara
Ekosistem Ulu Masen merupakan salah satu habitat alami bagi Gajah Sumatera, yang mempunyai kawasan seluas 750.000 ha yang sebagian besar wilayahnya masih berhutan. Kawasan ini memiliki beberapa tipe habitat; dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan, hutan rawa dan hutan kars. Ekosistem Ulu Masen meliputi 4 (empat) kabupaten di Provinsi Aceh, yaitu: Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie. Untuk memudahkan pengawasan terhadap populasi gajah dan mengatasi konflik dengan masyarakat, pada beberapa titik ditempatkan unit pengelola gajah yang disebut Conservation Respon Unit (CRU), yaitu di Krueng Sabe (Aceh Jaya), Sikundo (Aceh Barat), Geumpang (Pidie), dan Jantho (Aceh Besar) (Azmi et al. 2009). Habitat gajah menyebar luas di hampir semua hutan di kawasan Ekosistem Ulu Masen. Beberapa kawasan hutan memiliki formasi barir alami yang strategis sehingga dapat menampung gajah liar secara aman bahkan dapat menerima gajah pindahan dari daerah konflik tertentu yang kondisi populasinya sudah tidak memungkinkan untuk dipertahankan karena jumlah populasi yang terlalu kecil dan/atau tidak tersedianya habitat yang cukup mendukung kelompok tersebut secara jangka panjang. Kawasan dimaksud disebut sebagai Kawasan Pengelolaan Habitat Gajah (Managed Elephant Range) (Azmi et al. 2009). Hutan Seulawah bukan bagian dari Ekosistem Ulu Masen, kondisi kawasannya cukup merisaukan karena diduga banyaknya kasus perambahan di wilayah ini, meskipun belum ada data yang menyebutkan tentang laju kerusakan yang terjadi. Keberadaan gajah di wilayah ini diduga hanya menyisakan populasi kecil, yang menurut sumber dari Fauna Flora Internasional (komunikasi pribadi, 2011) sekitar 12 ekor. Indikator telah terjadi fragmentasi di kawasan ini adalah
Universitas Sumatera Utara
banyaknya kasus konflik antara manusia dan gajah di desa-desa sekitar hutan Seulawah. Sementara di desa-desa sekitar Cagar Alam Pinus Jantho belum pernah dilaporkan terjadi konflik antara manusia dan gajah. Keberadaan koridor yang menghubungkan hutan Seulawah dan Cagar Alam Pinus Jantho sangat diperlukan, karena menurut Good (1998) koridor sangat penting
untuk memfasilitasi penyebaran dan mengurangi risiko kepunahan
spesies yang disebabkan oleh fragmentasi habitat yang berlebihan dan terisolasinya populasi kecil. Dengan demikian diharapkan akan terjadi aliran genetik gajah Sumatera antara populasi kecil di hutan Seulawah dengan populasi gajah lain di ekosistem Ulu Masen. Mengingat letak kawasan Cagar Alam Pinus Jantho bagi keterhubungan habitat gajah di Aceh, diperlukan kajian tentang potensi habitat gajah di Cagar Alam dan keberadaan koridor yang menghubungkannya dengan hutan Seulawah, sehingga dapat dilakukan tindakan pengelolaan yang tepat di kawasan tersebut. 1.2. Perumusan Masalah Salah satu kawasan pengelolaan habitat gajah yang ada di Kawasan Ekosistem Ulu Masen adalah kawasan hutan Jantho. Hutan Jantho merupakan habitat gajah yang berada di Kabupaten Aceh Besar, yang berhubungan dengan kawasan hutan lain di wilayah Kabupaten Aceh Besar, yaitu hutan Seulawah (Gambar 1.1). Meskipun belum ada data resmi dari instansi terkait, percepatan konversi lahan di kawasan hutan Seulawah diperkirakan
cukup tinggi, yang
mengindikasikan kawasan tersebut telah terfragmentasi dan kemungkinan tidak ada lagi konektivitas dengan kawasan hutan Jantho.
Bila hal itu terjadi,
Universitas Sumatera Utara
dikhawatirkan populasi gajah di kawasan hutan Seulawah menjadi terisolir, yang pada akhirnya tidak terjadi aliran genetik dengan populasi gajah di wilayah lain. Gajah membutuhkan pakan yang sangat banyak sehingga gajah memerlukan ruang jelajah yang sangat luas untuk memenuhi kebutuhan pakan hariannya. Selain sumber pakan, gajah juga memerlukan air, dan garam-garam mineral. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk di desa-desa sekitar hutan, serta kebutuhan penduduk akan lahan hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan akan berdampak pada menurunnya kualiatas dan berkurangnya luas habitat gajah. Kondisi itu berakibat pada berkurangnya kesempatan gajah dalam memenuhi kebutuhan dasar dan faktor kesejahteraannya sehingga memicu konflik dengan manusia. Untuk mempertahankan kondisi populasi gajah yang sehat harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup gajah yaitu faktor kebutuhan hidup seperti: pakan, air dan garam-garam mineral; dan faktor kesejahteraan seperti kondisi topografi dan tipe vegetasi hutan. Gajah Sumatera sangat menyukai kondisi tipe vegetasi yang cenderung terbuka, seperti lahan rerumputan, semak belukar dan hutan sekunder. Ketersediaan pakan gajah biasanya lebih banyak pada tipe-tipe vegetasi tersebut.
Dengan demikian
pengelolaan habitat gajah hendaknya ditujukan untuk mempertahankan tipe vegetasi pada tahapan suksesi tertentu serta memperbaiki dan meningkatkan komponen habitat yang kondisinya kurang optimal.
Untuk itu diperlukan
perangkat penilaian agar dapat diketahui potensi masing-masing komponen habitat.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1. Peta Lokasi Cagar Alam Pinus Jantho dan Tahura Cut Nyak Dhien (Seulawah) di Kabupaten Aceh Besar
Universitas Sumatera Utara
Penilaian terhadap kawasan hutan sebagai habitat gajah membutuhkan suatu indeks yang dibangun berdasarkan komponen habitat yang menyusunnya, yang nantinya dapat diterapkan dalam pengelolaan habitat gajah.
Indeks merupakan
sebuah indikator ekologis yang secara kuantitatif mendeskripsikan kondisi habitat suatu spesies yang akan dikelola. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pola perubahan tutupan hutan, dan sejauh mana fragmentasi habitat yang terjadi, dan bagaimana kondisi koridor yang menghubungkan kawasan hutan Jantho dan hutan Seulawah?
2.
Bagaimana potensi habitat gajah dan bagaimana variasi komponen yang berhubungan dengan preferensi dan kesesuaian habitat gajah?
3.
Bagaimana pertumbuhan penduduk desa sekitar hutan; serta luas dan pemanfaatan lahan garapan, yang dapat barpengaruh pada kondisi habitat gajah?
4.
Berapa besar nilai indeks habitat gajah di kawasan hutan Cagar Alam Pinus Jantho, sebagai acuan dalam pengelolaan habitat gajah?
1.3. Kerangka Pemikiran Degradasi habitat gajah akan berdampak pada berkurangnya luas dan kualitas habitat, yang berarti penurunan ketersediaan kebutuhan hidup dan faktor kesejahteraan.
Selain itu deforestasi juga mengakibatkan fragmentasi habitat
sehingga terpotongnya jalur jelajah satwa. Kondisi tersebut menjadi penyebab penurunan populasi gajah, bahkan pada akhirnya akan memicu kepunahan sebagai
Universitas Sumatera Utara
akibat dari erosi genetik dan silang dalam (inbreeding) karena tidak tercapainya populasi minimum yang mungkin (minimum viable population).
Untuk itu
diperlukan upaya konservasi in situ dengan melakukan pengelolaan terhadap habitat gajah liar yang masih tersisa. Pengembangan indeks sebagai perangkat penilaian terhadap komponen bioekologi habitat alami yang berupa: sumber pakan, sumber air dan kondisi fisiografi sangat penting untuk dilakukan. Selain itu, faktor sosial yang juga sangat mempengaruhi terpeliharanya kondisi kualitas maupun kuantitas hutan sebagai habitat satwa liar; seperti: jumlah penduduk, luas dan pemanfaatan lahan garapan masyarakat desa sekitar hutan; juga perlu dijadikan sebagai salah satu parameter untuk membangun indeks habitat gajah yang dapat diterapkan dalam pengelolaan habitat. Hal lain yang juga penting adalah analisis terhadap keberadaan koridor sebagai penghubung antara beberapa kantong habitat untuk menjamin keberlangsungan populasi minimum yang harus dipertahankan (minimum viable population).
Bagan kerangka pemikiran
penelitian ini, tersaji pada Gambar 1.2. 1.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kesesuaian
kawasan hutan Jantho sebagai Managed Elephant Range dengan mengembangkan indeks habitat berdasarkan komponen fisiografi dan biologis habitat serta komponen sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi pola fragmentasi habitat melalui pola perubahan penutupan lahan.
Universitas Sumatera Utara
2.
Menganalisis keberadaan koridor yang berperan dalam konektivitas antar habitat gajah di kawasan hutan Jantho dan hutan Seulawah.
3.
Menilai potensi habitat di dalam ruang jelajah gajah yang meliputi: produksi pakan gajah, keanekaragaman jenis tumbuhan pakan, sumber air untuk minum dan mandi, salt licks dan komponen cover lainnya yang digunakan untuk menjalin hubungan sosial.
4.
Menganalisis kondisi sosial masyarakat sekitar hutan yang meliputi: pertumbuhan penduduk, pemanfaatan lahan garapan dan komoditi yang ditanam; dalam mempengaruhi kondisi habitat gajah.
1.5. Hipotesis Penelitian 1.
Tidak terjadi fragmentasi habitat di Cagar Alam Pinus Jantho, sehingga kawasan hutan masih mendukung kelestarian populasi gajah.
2.
Tidak ada konektivitas antara dua kantong habitat gajah di Cagar Alam Pinus Jantho dan Tahura Seulawah, sehingga tidak memungkinkan terjadinya aliran genetik antara 2 (dua) populasi gajah di kawasan tersebut.
1.6.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi
pengelolaan suatu kawasan yang ditunjuk sebagai Kawasan Pengelolaan Gajah (Managed Elephant Range). Dengan pengelolaan kawasan yang tepat, resiko konflik antara gajah dan manusia akan dapat diperkecil. Penelitian ini merupakan bagian dari upaya mitigasi konflik manusia dan gajah (KMG).
Universitas Sumatera Utara
1.7. Novelty Penelitian Pengembangan indeks habitat sebagai perangkat penilaian yang dapat menggambarkan kesesuaian habitat gajah Sumatera berdasarkan parameter ekologi dan sosial, selama ini belum pernah dilakukan.
SIG
PETA PENUTUPAN LAHAN
PERTUMBUHAN PENDUDUK & PEMANFAATAN LAHAN
Kerusakan Habitat
Ketersediaan pakan dan Faktor kesejahteraan menurun
FRAGMENTASI HABITAT
ANALISIS KORIDOR
Terpotongnya jalur jelajah gajah PENILAIAN POTENSI HABITAT
Penurunan Populasi Gajah ANALISIS KESESUAIAN HABITAT Pengelolaan Habitat & Koridor
PENGEMBANGAN INDEKS HABITAT
Konservasi in situ Gajah Sumatera
Gambar 1.2. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian
Universitas Sumatera Utara