1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk Indonesia semakin meledak dari waktu ke waktu. Laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,49% atau sekitar 4 juta per tahun. Sesuai target tahun 2025 idealnya laju pertumbuhan penduduk hanya 1 juta sampai 2 juta per tahun (BKKBN, 2016). Dampak akibat ledakan penduduk yaitu tidak terpenuhinya sumber daya makanan, energi, dan kerusakan lingkungan hidup (BKKBN, 2016). Usaha pemerintah dalam mengatasi ledakan penduduk yaitu program Keluarga Berencana (KB) melalui penggunaan kontrasepsi. Metode kontrasepsi yang digunakan oleh wanita lebih banyak dibandingkan dengan lakilaki (Anonim, 2014). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa partisipasi lakilaki dalam menggunakan alat kontrasepsi masih rendah. Optimalisasi kontrasepsi dapat dilakukan dengan pengembangan kontrasepsi reversibel bagi pria (Engelstein, 2012). Pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) merupakan salah satu tanaman yang digunakan oleh masyarakat sebagai kontrasepsi tradisional. Menurut Rahayu, dkk (2006), Winarno dan Sundari (1997), pacing telah digunakan oleh masyarakat sebagai kontrasepsi tradisional, misalnya di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara. Pacing diambil daunnya untuk KB dan perawatan setelah persalinan dengan cara direbus. Tanaman ini digunakan di industri sebagai sumber diosgenin alami. Senyawa diosgenin merupakan steroid sapogenin yang digunakan untuk 1
2
sintesis hormon seks, kortison, dan kontrasepsi oral (Pawar dan Pawar, 2012). Berdasarkan penelitian terdahulu, infusa daun pacing pada dosis 275, 550, dan 1100 mg/kg BB mampu menurunkan jumlah spermatozoa sebesar 16-38% tanpa mengubah viabilitas dan morfologi spermatozoa. Dosis pacing sebesar 275 dan 550 mg/kg BB menurunkan motilitas spermatozoa 36-39%. Kemampuan infusa daun pacing dalam menurunkan jumlah dan motilitas spermatozoa bersifat reversibel (Sari dkk., 2012). Penggunaan produk herbal secara umum memerlukan waktu tertentu untuk mencapai efek yang diinginkan (Usia, 2010). Bahan alam tidak semuanya aman sehingga diperlukan suatu penelitian ilmiah untuk mengetahui keamaan penggunaannya (Indariani, 2013). Suatu zat kimia yang akan diproduksi dan dipasarkan harus memenuhi syarat keamanan bila digunakan oleh konsumen. Syarat keamanan dapat dipenuhi jika zat kimia tersebut sudah melalui serangkaian uji toksikologi (Donatus, 2005). Informasi ketoksikan ekstrak etanolik herba pacing (EEHP) belum diketahui secara pasti. Rahayu (2012) melakukan pengamatan histologi untuk mengetahui kerusakan organ sebagai prediksi aktivitas farmakologi namun hanya organ testis dan saluran vesika seminalis saja. Rangkuman hasil penelitian pacing yang disusun oleh Srivastava, dkk., (2011) secara umum belum menjelaskan tingkat ketoksikan pacing. Uji toksisitas subkronis ini dilakukan untuk mengetahui potensi ketoksikan pemberian EEHP selama 90 hari ditinjau dari profil hematologi dan histopatologi organ. Efek toksik yang kemungkinan timbul akibat pengaruh EEHP dapat bersifat terbalikkan (reversibel) atau tidak terbalikkan
3
(ireversibel). Efek toksik reversibel akan hilang dengan sendirinya setelah pemejanan dihentikan sedangkan efek toksik ireversibel akan menetap bahkan bertambah parah meskipun pemejanan dihentikan (Lu, 1995). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah: 1. Bagaimana pengaruh pemberian EEHP secara berulang selama 90 hari terhadap gejala klinik, berat badan, asupan pakan dan asupan minuman pada mencit BALB/c jantan? 2. Bagaimana pengaruh pemberian EEHP secara berulang selama 90 hari terhadap parameter hematologi dan histopatologi pada mencit BALB/c jantan? 3. Bagaimana sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan oleh EEHP terhadap parameter hematologi dan histopatologi pada mencit BALB/c jantan?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh pemberian EEHP secara berulang selama 90 hari terhadap gejala klinik, berat badan, asupan pakan dan asupan minuman pada mencit BALB/c jantan 2. Mengetahui pengaruh pemberian EEHP secara berulang selama 90 hari terhadap parameter hematologi dan histopatologi pada mencit BALB/c jantan 3. Mengetahui sifat reversibilitas efek toksik yang ditimbulkan oleh EEHP terhadap parameter hematologi dan histopatologi pada mencit BALB/c jantan
4
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini yaitu informasi potensi ketoksikan akibat pemberian EEHP secara subkronis. Hasil yang diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksikan potensi ketoksikan EEHP dan menentukan dosis terapi yang aman bagi manusia. E. Tinjauan Pustaka 1. Toksikologi a. Definisi toksikologi Toksikologi diartikan sebagai ilmu tentang racun (Donatus, 2005). Pengertian ini kurang sesuai karena bahan yang paling tidak berbahaya jika masuk ke dalam tubuh dengan jumlah yang cukup dapat menimbulkan keracunan. Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa yang membedakan antara racun dan obat adalah takarannya (Doull dan Bruce, 1986). Pengertian toksikologi selanjutnya berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi (Donatus, 2005). Toksikologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Toksikologi juga membahas penelitian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek ini sehubungan dengan terpejannya makhluk hidup (Lu, 1995). b. Asas umum toksikologi Ketoksikan suatu senyawa ditentukan oleh keberadaan (kadar dan durasi) senyawa toksik atau metabolitnya di tempat aksi sasaran dan
5
keefektifan antaraksinya (mekanisme aksi). Keadaan ini tergantung pada kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Berdasarkan alur peristiwa timbulnya efek toksik suatu senyawa, ada 4 asas utama dalam toksikologi meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2005). 1) Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik menentukan keberadaan zat beracun di dalam tubuh yang berupa kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup. Kondisi pemejanan yaitu semua faktor yang menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu dalam tubuh yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri makhluk hidup. Kondisi pemejanan termasuk jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan takaran pemejanan racun. Kondisi makhluk hidup yaitu keadaan fisiologi serta patologi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi ketersediaan zat beracun di sel sasaran dan keefektifan antaraksinya. Keadaan fisiologi meliputi berat badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, dan jenis kelamin. Keadaan patologi meliputi berbagai macam penyakit, diantaranya penyakit saluran pencernaan, kardiovaskular, hati dan ginjal (Donatus, 2005). 2) Mekanisme efek toksik. Mekanisme aksi toksik berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal digolongkan menjadi mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel atau mekanisme primer adalah luka sel yang diawali oleh aksi langsung zat beracun atau
6
metabolitnya pada tempat aksi tertentu di tempat sel sasaran. Mekanisme luka ekstrasel timbul jika zat beracun mula-mula beraksi di lingkungan sekitar sel yang mengakibatkan terjadinya luka di dalam sel (Donatus, 2005). 3) Wujud efek toksik. Wujud efek toksik suatu zat beracun dapat berupa perubahan bikomia, fisiologis (fungsional) dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat yang khas yaitu terbalikkan dan dan tak terbalikkan (Donatus, 2005). Wujud efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara zat beracun dan tempat aksi tertentu yang bersifat terbalikkan (Hodgson dan Smart, 2001). Perubahan fisiologis (fungsional) berkaitan dengan antaraksi zat beracun dan reseptor atau tempat aktif enzim yang sifatnya terbalikkan sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu (Lu, 1995). Perubahan struktural berkaitan dengan perubahan morfologi sel yang berwujud kekacauan struktural (Donatus, 2005). 4) Sifat efek toksik. Sifat efek toksik zat beracun berkaitan dengan reversibilitasnya berupa efek toksik yang dapat terbalikkan (reversibel) dan yang tidak terbalikkan (ireversibel) (Donatus, 2005). Efek toksik terbalikkan yang ditimbulkan oleh racun akan hilang dengan sendirinya setelah pemejanan dihentikan, sedangkan efek toksik tak terbalikkan akan menetap bahkan bertambah parah meskipun pemejanan dihentikan (Lu, 1995).
7
c. Uji ketoksikan Uji ketoksikan secara umum bertujuan untuk menentukan dosis suatu senyawa uji yang dapat menimbulkan kematian atau gejala toksik pada organ atau jaringan, mengidentifikasi korelasi antara dosis pemberian dengan terjadinya perubahan fisiologis dan morfologis suatu organisme serta melakukan monitoring terkait variasi hewan uji dengan responnya terhadap senyawa uji (Donatus, 2005; Lu, 1995). Uji ketoksikan digolongkan menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu senyawa secara keseluruhan pada berbagai macam hewan uji. Uji ini meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan khas merupakan uji untuk mengevaluasi efek toksik yang khas suatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Uji ini meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978). 1) Uji ketoksikan akut. Uji toksisitas akut digunakan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa dengan pemejanan dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dosis tunggal takaran tertentu (Donatus, 2005). 2) Uji ketoksikan subkronis. Uji ketoksikan subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu dengan jangka waktu kurang dari tiga bulan. Uji ini bertujuan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji.
8
Selain itu, uji ini juga dapat memperlihatkan apakah spektrum tersebut berkaitan dengan takaran atau dosis (Donatus, 2005). 3) Uji ketoksikan kronis. Uji ketoksikan kronis identik dengan uji ketoksikan subkronis. Perbedaannya terletak pada lama pemejanan dan pengamatan yaitu lebih dari tiga bulan. Uji dilakukan untuk menutupi kelemahan dari uji toksisitas akut maupun subkronis (Donatus, 2005). d. OECD guideline nomor 408 OECD 408 merupakan salah satu pedoman yang digunakan sebagai metode uji toksisitas suatu bahan kimia per oral dengan pemejanan berulang selama 90 hari pada hewan uji rodent. Hewan uji dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu tiga kelompok peringkat dosis dan satu kelompok kontrol. Penambahan kelompok satelit (lima ekor hewan uji/jenis kelamin/kelompok) dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dosis tertinggi (dosis III). Penambahan kelompok satelit ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah efek yang ditimbulkan dari suatu senyawa uji bersifat terbalikkan atau tidak terbalikkan. Informasi yang didapatkan dari metode ini meliputi efek toksik mayor dari suatu zat uji, organ yang terpengaruh, hubungan kadar zat dalam darah dengan luka toksik, serta sifat reversibilitas efek toksik. Pengamatan yang dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis yaitu: 1.) Perubahan berat badan yang diamati paling tidak setiap 7 hari sekali 2.) Asupan pakan dan minuman pada setiap hewan atau kelompok hewan uji minimal 7 hari sekali
9
3.) Gejala klinik umum yang diamati setiap hari 4.) Pemeriksaan hematologi setidaknya dua kali, yaitu awal dan akhir uji coba 5.) Pemeriksaan kimia darah (seperti butir d) 6.) Pemeriksaan urin paling tidak sekali 7.) Pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati saat pengujian dan seluruh hewan saat akhir penelitian (Donatus, 2005; OECD, 1998). 2. Pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith) Tanaman pacing merupakan herba dengan tinggi 0,5-3 m. Tangkai daunnya memiliki panjang maksimal 1,5 cm dan helaian daunnya memanjang sampai bentuk laset, ujungnya meruncing terutama di bagian bawah berambut. Tanaman ini memiliki bunga duduk, bentuk bulir terminal rapat, putih, merah. Daun pelindungnya berbentuk bulat telur sampai memanjang dengan ujung meruncing yang berduri menempel. Kelopak pacing tidak rontok, serupa tulang. Panjang tabung mahkota kira-kira 1 cm, lebar 0,5 cm, berbentuk corong. Buah kotak, bentuk telur, merah, tinggi 1,5-3 cm. Pacing tumbuh pada tempat lembab dan teduh (Steenis, 1975). Gambar tanaman pacing dapat dilihat pada Gambar 1.
10
Gambar 1. Tanaman pacing (Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith)
Berikut adalah klasifikasi tanaman pacing: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Costus
Jenis
: Costus speciosus (Koen.) J.E.Smith (Steenis, 1975).
Tanaman pacing mengandung diosgenin, tigogenin, dioscin, gracillin, βsitosterol gukosidase, prosapogenin, α dan β-dioscin, saponin furostanol seperti Costusosida I & J, asam oktasonoat, serta sikloartenol. Kandungan diosgenin pada batang sebesar 0,65%, pada daun sebesar 0,37%, pada bunga sebesar 1,21%, dan pada rimpang 0,2% (Srivastava dkk., 2011). Semua bagian dari tumbuhan mengandung sapogenin steroid maupun diosgenin dengan kuantitas
11
bervariasi antara 0,32-4% (Khare, 2007). Struktur kimia diosgenin ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur diosgenin (Ali, 2012)
Pacing memiliki efek farmakologi sebagai antidiabetik, hipolipidemik, antikolinesterase,
hepatoprotektif,
antifertilitas,
antioksidan,
estrogenik,
antikariogenik, spasmolitik, antiinflamasi, antipiretik, antibakteri dan antifungi. Secara tradisional tanaman ini digunakan untuk mengobati asma bronkial, kusta, kardiotonik, dan lain-lain (Srivastava dkk., 2011). Efek antifertilitas tanaman pacing sebelumnya sudah pernah dilakukan penelitian. Sari, dkk. (2012) melaporkan bahwa infusa daun pacing pada dosis 275, 550, dan 1100 mg/kg BB mampu menurunkan jumlah spermatozoa sebesar16-38% tanpa mengubah viabilitas dan morfologi spermatozoa. Infusa daun pacing juga mampu menurunkan motilitas spermatozoa sebesar 36-39% pada dosis 275 dan 550 mg/kg BB. Efek ini bersifat terbalikkan. Hasil penelitian Adnan dan Pagarra (2000) menunjukkan bahwa ekstrak etanol 50% rimpang pacing dosis 25, 50, dan 75 mg/kg BB berpotensi menghambat produksi spermatozoa secara terbalikkan pada mencit ICR jantan. Tewari, dkk (1973) melaporkan bahwa campuran saponin yang diisolasi dari rimpang pacing dengan pemberian 5-500 µg/100 g BB selama 15 hari mampu
12
mencegah kebuntingan pada tikus. Penelitian lain menyebutkan bahwa ekstrak etanolik herba pacing dapat menurunkan produksi kadar hormon testosteron intratestikuler (Paramita, 2014). 3. Hematologi Hematologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang darah dalam kondisi sehat maupun terserang penyakit (American Society of Hematology, 2016). Analisis hematologi termasuk ke dalam pengamatan dan evaluasi yang dilakukan selama masa perlakuan dan pada akhir penelitian (Hayes, 1989). Uji hematologi sampel hewan penting dalam evaluasi diagnostik, penilaian keamanan obat dan makanan, dan penelitian (Feldman dkk., 2000). Analisis hematologi meliputi penghitungan konsentrasi hematokrit dan hemoglobin, penghitungan eritrosit, penghitungan leukosit (total dan diferensiasi), morfologi eritrosit, dan pengukuran daya penggumpalan darah seperti protrombin dan waktu tromboplastin atau penghitungan kadar platelet (Hayes, 1989). Ada atau tidaknya perubahan hematologi pada hewan uji yang terpapar oleh zat kimia dari lingkungan atau senyawa kimia baru merupakan hal penting dalam penilaian resiko dan bahaya paparan potensial pada hewan atau manusia. Pengaruh senyawa kimia terhadap sel darah tidak terbatas pada kerusakan sel darah atau penghambatan hemopoiesis. Beberapa zat kimia menstimulasi hemopoiesis sedangkan senyawa lain dapat menekan atau meningkatkan fungsi sel darah. Perubahan profil hematologi yang paling banyak terjadi disebabkan
13
oleh respon hewan uji terhadap infeksi dan secara tidak langsung disebabkan oleh agen penginfeksi (Feldman dkk., 2000). a. Eritrosit Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan membawa oksigen serta karbon dioksida. Secara morfologis, eritrosit berperan dalam pertukaran gas antara darah dengan jaringan dan organ tubuh. Eritrosit merupakan sel dengan jumlah paling banyak di dalam darah. Pengaruh hormon eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal dapat meningkatkan kadar eritrosit diikuti dengan keadaan lingkungan yang kekurangan oksigen (Mc Kenzie dan Klien, 2000). Eritrosit pada mamalia berupa cakram bikonkaf. Bentuk bikonkaf menyebabkan eritrosit mempunyai permukaan yang luas sehingga mempermudah pertukaran gas (Junqueira dan Carneiro, 1991) dan menjaga viskositas darah tetap rendah (McKenzie dan Klien, 2000). Eritrosit normal memiliki diameter rata-rata sekitar 7,8 µm dan ketebalan 2,5 µm pada bagian yang paling tebal serta 1 µm di bagian tengahnya (Guyton dan Hall, 2014). Membran eritrosit tersusun dari lipid dan protein dimana lapisan lipid terletak di antara dua lapisan protein (Bullock dan Rosendahl, 1984). Eritrosit mengandung hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dan karbondioksida untuk membawa udara menuju ke jaringan maupun keluar dari jaringan (Bullock dan Rosendahl, 1984). Hemoglobin dalam eritrosit dapat berikatan dengan oksigen membentuk oksihemoglobin atau berikatan dengan karbondioksida membentuk karbaminohemoglobin. Sebaliknya, gas berbahaya
seperti
karbonmonoksida
berikatan
dengan
hemoglobin
14
membentuk karboksihemoglobin dan cenderung menyebabkan kapasitas transport berkurang secara tak terbalikkan (McKenzie dan Klien, 2000). Abnormalitas eritrosit terutama ditimbulkan oleh anemia. Anemia merupakan kondisi turunnya konsentrasi hemoglobin dalam darah. Abnormalitas eritrosit berupa perubahan konsentrasi hemoglobin, jumlah sel darah merah dan MCV. Eritrosit yang berukuran lebih kecil dari normal dan kadar MCV yang rendah disebut sebagai mikrositik sedangkan eritrosit yang berukuran lebih besar dari normal disebut makrositik. Anemia mikrositik disebabkan oleh abnormalitas produksi hemoglobin baik jumlah molekul hemoglobin tiap sel atau tipe molekul hemoglobin. Contoh anemia mikrositik yaitu anemia sel sabit, anemia defisiensi zat besi, dan talasemia. Anemia makrositik disebabkan oleh abnormalitas maturasi sel atau fraksi yang lebih besar yaitu retikulosit. Ketika inti sel eritrosit yang mengalami maturasi tampak terlalu muda dan besar untuk jumlah hemoglobin dalam sitoplasma maka anemia makrositik ini disebut megaloblastik. Anemia ini disebabkan oleh defisiensi vitamin (vitamin B12 atau asam folat) atau obat yang mempengaruhi sintesis DNA (McPhee dkk., 2000). b. Leukosit Leukosit atau sel darah putih berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi organisme asing serta memproduksi, transport, dan distribusi agen penyerang seperti antibodi atau komponen lain sebagai respon imun. Granulosit (polimorfonuklear leukosit) merupakan jenis sel dengan jumlah paling banyak. Sel ini memiliki granula besar dan inti sel
15
berbentuk seperti tapal kuda yang berdiferensiasi menjadi banyak lobus dengan dua sampai lima lobus yang berbeda dihubungkan oleh untaian tipis (Bullock dan Rosendahl, 1984). Polimorfonuklear leukosit digolongkan menjadi 3 tipe sel yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofil merupakan jenis leukosit dengan jumlah terbanyak yaitu 50-70%. Basofil merupakan jenis yang paling rendah jumlahnya (0-1%) dan mengandung granul yang berisi histamin, herparin, dan asam mukopolisakarida (Bullock dan Rosendahl, 1984). Limfosit dan monosit merupakan tipe leukosit yang lain dan biasanya ditemukan di pembuluh darah perifer. Limfosit dan monosit disebut sebagai agranulosit karena tidak memiliki granul. Granul yang terdapat dalam kedua tipe sel tersebut sangat kecil dan cukup berbeda dibandingkan granul besar pada granulosit. Selain itu, limfosit dan monosit juga disebut sebagai mononuklear leukosit karena tidak memiliki inti sel dengan banyak lobus seperti pada granulosit (Bullock dan Rosendahl, 1984). Gangguan leukosit yang tidak terlalu parah berupa perubahan kuantitatif granulosit,
perubahan
kualitatif
granulosit,
abnormalitas
monosit
(monositosis dan monositopenia), dan gangguan limfositik (limfositosis, limfadenopati). Perubahan kuantitatif terjadi karena suatu kondisi yang menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah leukosit. Perubahan kualitatif granulosit terjadi jika terdapat gangguan fungsi fisik dan kimia sel. Gangguan leukosit yang parah berupa leukemia, limfoma ganas, dan multiple myeloma (Bullock dan Rosendahl, 1984).
16
c. Hemoglobin Hemoglobin merupakan pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah. Hemoglobin yaitu suatu protein yang berbentuk bulat dan terdiri atas 4 subunit. Setiap subunit mengandung 1 gugus heme yang terkonjugasi oleh suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivate porfirin yang mengandung besi. Polipeptida-polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin. Ada dua pasang polipeptida di setiap molekul hemoglobin. Pada hemoglobin manusia dewasa normal (hemoglobin A), dua jenis polipeptida tersebut dinamakan rantai α, dan masing-masing mengandung 141 residu asam amino, dan rantai β, yang masing-masing mengandung 146 residu asam amino. Hemoglobin A diberi kode α2β2. Tidak semua hemoglobin di dalam darah orang dewasa normal berupa hemoglobin A. Sekitar 2,5% hemoglobin adalah hemoglobin A2, yang rantai β-nya digantikan oleh rantai δ (α2δ2). Ratai δ juga mengandung 146 residu asam amino, namun 10 macam residu asam aminonya berbeda dengan residu asam amino di rantai β (Ganong, 2005). Hemoglobin mengikat oksigen untuk membentuk oksihemoglobin. Oksigen menempel pada Fe2+ di heme. Afinitas hemoglobin terhadap oksigen dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3-bifosfogliserat (2,3BPG) dalam sel darah merah. 2,3-BPG dan H+ berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin deoksigenasi sehingga afinitas
17
hemoglobin terhadap oksigen berkurang dengan bergesernya posisi empat rantai peptida (struktur kuarterner) (Ganong, 2005). Bila darah terpajan oleh berbagai macam obat dan agen-agen pengoksidasi lainnya, bessi ferro (Fe2+) dalam hemoglobin akan berubah menjadi besi ferri (Fe3+) yang membentuk methemoglobin berwarna tua. Methemoglobin dengan jumlah yang besar dalam sirkulasi akan menimbulkan perubahan warna kehitaman pada kulit yang menyerupai sianosis. Pada keadaan normal, terjadi sedikit oksidasi hemoglobin menjadi methemoglobin tetapi sistem NADH-methemoglobin reduktase mengubah methemoglobin kembali menjadi hemoglobin. Tidak adanya sistem ini secara kongenital merupakan salah satu penyebab methemoglobinemia herediter (Ganong, 2005). d. Hematokrit Hematokrit merupakan proporsi massa eritrosit terhadap volume darah total (plasma darah) pada sirkulasi perifer dan dinyatakan dalam persen. Sentrifugasi sampel darah yang berisi antikoagulan merupakan metode pengukuran hematokrit yang baik (Hayes, 1989). Sel darah merah tidak mungkin dikumpulkan dengan pekat, kira-kira 3-8% plasma masih terjebak di antara sel. Hematokrit rata-rata yang sesungguhnya kira-kira 96% dari kadar yang terukur. Viskositas darah meningkat drastis seiring dengan bertambahnya nilai hematokrit (Guyton, 1991). Hematokrit digunakan untuk menghitung MCV dan MCHC untuk memeriksa jumlah eritrosit. Penurunan nilai hematokrit mengindikasikan
18
terjadinya anemia namun diagnosis lain tetap memerlukan evaluasi penghitungan eritrosit dan hemoglobin. Peningkatan jumlah eritrosit (hemokonsentrasi)
berpotensi
meningkatkan
hematokrit.
Selain
itu,
peningkatan nilai hematokrit terjadi karena polisitemia primer yang disebabkan oleh peningkatan eritropoiesis setelah hipoksia kronis, penyakit pernafasan, hidronefrosis, dan penyakit endokrin tertentu. Polisitemia sekunder atau sementara juga meningkatkan hematokrit karena kontraksi limpa yang memasukkan eritrosit lebih banyak ke sirkulasi perifer atau diuresis berlebihan yang dapat mengurangi cairan ekstraseluler melalui ekskresi. Hematokrit menurun dengan adanya hemolitik, hemoragi, anemia eritropoiesis yang rusak. Hidrasi berlebihan yang disebabkan oleh penghantaran cairan, kehamilan, atau kardiomiopati juga dapat menurunkan hematokrit. Jumlah EDTA yang terlalu banyak dalam sampel darah, bisa ular dan laba-laba dapat menurunkan nilai hematokrit (Hayes, 1989). e. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin, Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration Mean Corpuscular Volume (MCV) merupakan volume yang terhitung dari eritrosit rata-rata. Nilai MCV ditentukan dari pengukuran eritrosit dan hematokrit dengan rumus sebagai berikut: MCV µm3 =
Hematokrit x 10 Kadar eritrosit (106 /µl)
Volume sel digunakan untuk menggolongkan ukuran sel sebagai hematologi deskriptif. Sel dengan volume yang normal disebut normosit. Mikrositosis merupakan sel dengan volume kurang dari normal. Makrosit merupakan sel
19
dengan volume lebih besar dari normal. Secara umum hewan yang berumur lebih muda memiliki nilai MCV yang lebih tinggi karena eritrosit yang belum matang. Eritrosit baru yang diproduksi belum diasumsikan berbentuk cakram cekung dua sisi. Hewan dengan usia muda memiliki tipe lain hemoglobin di dalam sel dan batas hipoksik. Pada gejala anemia, eritrosit baru yang dihasilkan akan meningkatkan nilai MCV pada usia dewasa. Agen infeksi seperti Anaplasma atau Hemobartonella, kerapuhan osmotik, dan penyakit autoimun juga meningkatkan MCV. Ganguan sintesis asam nukleat dan defisiensi vitamin B12 juga meningkatkan MCV. Sementara ratikulositosis (eritrosit yang belum matang) kemungkinan berpotensi menaikkan jumlah MCV. Nilai MCV yang normal diperoleh jika jumlah makrositik dan mikrositik eritrosit signifikan. Penurunan MCV merupakan gejala normal defisiensi zat besi (Hayes, 1989). Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) merupakan indeks eritrositik dihitung dari konsentrasi hemoglobin berdasarkan berat dalam eritrosit ratarata. Nilai MCH dinyatakan dalam mikrogram atau pikogram. Berikut adalah rumus penghitungan MCH: MCH pg =
Konsentrasi hemoglobin (g/dl) x 10 Kadar eritrosit (106 /µl)
Pada bayi yang baru lahir dan gejala anemia makrositik, nilai MCH lebih tinggi dari keadaan normal. Hemolisis in vivo dan in vitro serta infeksi Anaplasma juga dapat meningkatkan nilai MCH. Retikulositosis dapat terjadi normal atau dapat menaikkan nilai MCH. MCH menurun dengan terjadinya defisiensi zat besi dan pada saat penambahan EDTA yang
20
berlebih sebagai antikoagulan. Nilai MCH lebih tinggi pada mencit dan tikus berumur muda dari pada hewan yang lain (Hayes, 1989). Mean Cospuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) merupakan indeks eritrositik yang menunjukkan perbandingan hemoglobin terhadap hematokrit. Berikut adalah rumus perhitungan MCHC: MCHC % =
Hemoglobin (g/dl) x 100 Hematokrit (%)
MCHC merupakan indeks yang paling bagus dibandingkan dengan MCV atau MCH karena tidak menggunakan penghitungan kadar eritrosit. Secara hematologi, nilai MCHC di bawah normal disebut sebagai hipokromasia. Hiperkromasia tidak dianggap sebagai kondisi patologis karena eritrosit normal membawa konsentrasi hemoglobin maksmimal. Retikulositosis, defisiensi zat besi, dan methemoglobinemia berpotensi mengurangi nilai MCHC. Hemolisis dapat meningkatkan nilai MCHC karena kesalahan penghitungan yang menggunakan hematokrit sebagai faktor tanpa koreksi kadar hemoglobin total. Peningkatan jumlah sferosit dan EDTA yang terlalu banyak akan menaikkan nilai MCHC (Hayes, 1989). f. Platelet Platelet merupakan agen pertama pertahanan tubuh ketika pembuluh darah rusak. Platelet berperan dalam mengurangi kehilangan darah melalui perlekatan terhadap subendotelium, penggumpalan, pengarahan tambahan platelet, dan memfasilitasi bentuk thrombin dan fibrin lokal untuk memastikan pembentukan thrombus dengan segera. Platelet juga berperan dalam inflamasi dan penyembuhan luka melalui interaksi antar sel secara
21
langsung dan pengeluaran mediator oleh platelet yang sudah teraktivasi dengan cara memodulasi aktivitas sel darah lain dan endotel vaskular (Feldman dkk., 2000). Platelet berbentuk cakram oval dengan diameter 2-4 mikrometer. Pembentukan platelet terjadi di sumsum tulang dan berasal dari megakariosit. Megakariosit ini merupakan sel berukuran sangat besar dalam rangkaian hemopoietik pada sumsum tulang. Megakariosit terpecah menjadi platelet baik dalam sumsum tulang maupun segera setelah memasuki darah terutama saat menyelip melalui kapiler paru-paru. Permukaan membran platelet dilapisi glikoprotein untuk menghindari perlekatan dengan endotel serta perlekatan terhadap area luka pada pembuluh darah terutama sel endotel yang terluka bahkan terhadap paparan kolagen dari dinding pembuluh yang lebih dalam. Membran platelet juga mengandung fosfolipid berisi platelet factor 3 yang berperan dalam aktivasi pada proses pembekuan darah (Guyton, 1991). Platelet menggumpal jika sampel darah tidak cukup tercampur dengan antikoagulan atau ketika sampel darah diambil dari vena ekor atau jantung (Hayes, 1989). Platelet ada dalam sirkulasi darah selama 8 sampai 12 hari sampai siklus hidupnya berakhir. Platelet kemudian dieliminasi dari sirkulasi oleh makrofag. Lebih dari separuh jumlah platelet disingkirkan oleh makrofag di dalam limpa dimana darah mengalir melalui trabekula yang padat (Guyton, 1991).
22
4. Histopatologi Wujud efek toksik digolongkan menjadi 3 yaitu perubahan biokimiawi, perubahan fisiologi atau fungsional, dan perubahan histopatologis atau struktural. Histologi yaitu ilmu yang mempelajari pengamatan mikroskopi sel, jaringan, dan organ dasar sehingga tampak lebih besar dan jelas. Histologi merupakan dasar dalam mempelajari histopatologi termasuk hubungan antara struktur jaringan normal maupun gangguan fungsional (Paulsen, 2000). Patologi merupakan ilmu yang berhubungan dengan aspek penyakit meliputi sifat penting, penyebab, dan perkembangan kondisi abnormal sebagaimana perubahan struktural dan fungsional yang dihasilkan dari proses terjadinya penyakit. Histopatologi didukung oleh pengecatan dengan hematoksilin dan eosin pada kondisi sesudah mati dan pembedahan patologi. Interpretasi gejala pada sampel tersebut menjadi diagnosis akhir penyakit (McGavin dan Zachary, 2007). Repon histopatologi dapat berupa perubahan morfologis atau struktural dalam berbagai wujud seperti radang, perubahan hidropik, perubahan melemak, nekrosis, edema, dan lain-lain (Underwood, 1999). Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan. Radang bukan merupakan suatu penyakit namun merupakan manifestasi penyakit. Radang
dapat
berpengaruh
menguntungkan
seperti
penghancuran
mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada rongga abses sehingga akan mencegah penyebaran infeksi (Underwood, 1999). Perubahan hidropik ditandai dengan sel yang sitoplasmanya pucat dan membengkak karena terjadi penimbunan cairan. Penambahan cairan yang lebih
23
lanjut dan pembengkakan organel menyebabkan terjadinya vakuola dalam sitoplasma. Perubahan hidropik diakibatkan oleh hipoksia atau keracunan bahan kimia. Perubahan ini bersifat reversible namun dapat menjadi ireversibel apabila penyebab cederanya menetap (Underwood, 1999). Vakuolsasi sel disebabkan oleh penimbunan tetesan lipid sebagai akibat gangguan fungsi ribosom dan uncoupling lipid dari metabolism protein. Organ hepar terkena gejala ini melalui berbagai penyebab seperti hipoksia, alkohol, dan diabetes. Penimbunan lipid dapat berbentuk vakuola kecil atau vakuola bergabung menjadi satu membentuk vakuola besar yang mengisi sel dan mendesak inti ke tepi sel. Perubahan lemak yang tidak terlalu parah masih reversibel namun perubahan lemak yang parah bersifat tidak reversibel (Underwood, 1999). Nekrosis merupakan proses patologis setelah terjadi cedera sel dan sering mengenai jaringan yang padat. Jenis-jenis nekrosis meliputi koagulativa, kolikuativa, kaseosa, gangrene, fibrinoid, dan nekrosis lemak. Jenis jaringan dan sifat dari penyebabnya menentukan jenis nekrosisnya (Underwood, 1999). Edema merupakan kelebihan cairan dalam ruang interseluler jaringan. Edema ditandai dengan pembengkakan yang menyeluruh dari jaringan yang terkena. Edema diklasifikasikan ke dalam empat kelompok yaitu peradangan, venous, limfatik, dan hipoalbuminamik (Underwood, 1999).
24
F. Keterangan Empiris Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mengetahui pengaruh pemberian EEHP secara per oral dengan dosis berulang selama 90 hari terhadap gejala klinik, berat badan, asupan pakan, asupan minuman, profil hematologi, profil histopatologi, dan sifat reversibilitas efek toksik pada mencit BALB/c jantan. Penelitian bersifat eksploratif karena belum pernah dilakukan observasi potensi ketoksikan EEHP.