BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengembangan manusia seutuhnya sebagai hakikat pembangunan nasional dicapai dengan berhasilnya salah satu sektor yakni pembangunan kesehatan dan juga dipengaruhi oleh terkendalinya pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia per Januari 2011 mencapai 259,940 juta jiwa (Dirjen Otda Kemendagri, 2011). Untuk menekan pertumbuhan penduduk, pemerintah telah merintis program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1951. Keluarga Berencana (KB) adalah menghindari kehamilan yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran, mengatur jarak, dan untuk mengontrol waktu kelahiran. Program KB Nasional yang telah dilaksanakan selama tiga dasawarsa ini telah membuahkan hasil yang menggembirakan. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate) pada pelaksanaan awal tahun 1967-1970 sebesar 5,61 anak per wanita menurun menjadi 3,39 anak per wanita pada survei prevalensi Indonesia tahun 1987. Penurunan terus terjadi hingga pada tahun 1997 menjadi 2.78 per wanita. Lebih lanjut pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka TFR „stagnant’ pada 2,6 anak per wanita (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2008). Penurunan angka kelahiran yang lambat diantaranya diakibatkan oleh penurunan angka prevalensi kontrasepsi.Kontrasepsi bertujuan untuk mencegah fertilisasi atau implantasi sel telur yang telah dibuahi.Pada SDKI 2002/2003
1
2
tercatat angka penggunaan KB semua metode hanya meningkat 1,1% pada tahun 2007 dari 60,3 menjadi 61,4% (BKKBN, 2008). Gerakan KB Nasional selama ini telah berhasil mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam membangun keluarga mandiri. Pencapaian program KB di Provinsi Jawa Tengah cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) di Provinsi Jateng yang tergolong rendah yakni 0,37% per tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Jawa Tengah sejumlah 32,3 juta jiwa (Solopos, 2012). Pelayanan KB diberikan di berbagai unit pelayanan kesehatan baik oleh pemerintah maupun swasta mulai di tingkat desa hingga kota. Pemberi layanan KB diantaranya Rumah Sakit, Puskesmas,maupun tempat praktek tenaga kesehatan yang dekat dengan masyarakat.Secara umum kontrasepsi digolongkan menjadi dua macam, yaitu metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) dan non metode kontrasepsi jangka panjang (Non MKJP). MKJP merupakan cara kontrasepsi yang efektif dan efisien digunakan dalam jangka waktu lebih dari 2 tahun. Contoh MKJP adalah alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), implan, strerilisasi pada wanita/pria. Non MKJP adalah cara kontrasepsi yang efektif digunakan dalam jangka waktu pendek misalnya sekali waktu hingga beberapa bulan. Contoh Non MKJP adalah suntik, pil, kondom dan senggama terputus (Elviani 2012). Menurut Maryani (2006), KB suntikan merupakan pilihan yang sangat efektif untuk mencegah kehamilan apabila rutin disuntikkan. Efektif karena
3
tingkat kegagalan hanya 0,3 kehamilan per 100 pemakai pada tahun pertama. Dapat digunakan pada wanita dari berbagai golongan umur, sudah maupun belum pernah memiliki anak, aman digunakan wanita menyusui, dan 6 minggu setelah melahirkan. Pengguna KB suntik cenderung melakukan suntik di tenaga kesehatan yang dekat dengan masyarakat karena lebih mudah dan sewaktu-waktu dapat dilakukan (BKKBD Kec. Nguter, 2013). Salah satu Kabupaten yang sukses melaksanakan program KB semua metode adalah Kabupaten Sukoharjo.Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data BPS Kab.Sukoharjo berkisar 0,69% setahun. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Kabupaten Sukoharjo tercatat sebanyak 156.889 PUS. Jumlah meningkat dibandingkan tahun 2011 tercatat sebanyak 155.676 PUS. Peserta KB aktif mencapai 121.586 PUS atau sebesar 78,10% (Profil Kesehatan Kab. Sukoharjo, 2012). Kecamatan Nguter merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Sukoharjo dengan jumlah PUS sebesar 12.877 PUS.Dengan peserta KB aktif mencapai 9.677 PUS atau 75,1%.Jumlah peserta KB aktif Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD sebanyak 16,2%, MOP/MOW sebanyak 1,4%, implan 8,5%. Berbeda dengan cakupan pengguna Non MKJP yaitu suntik 54,0%, pil 10,4%, dan kondom 1,3%. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peserta KB aktif metode suntik paling tinggi diantara metode kontrasepsi yang lain (Profil Kesehatan Kab. Sukoharjo, 2012).
4
Sementara itu peserta KB baru di Kecamatan Nguter sebanyak 1.637 peserta (12,71%).Jumlah ini mengalami penurunan dibanding hasil tahun 2011 sebesar 16,25%.Jumlah peserta KB baru Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD sebanyak 3,6%, MOP/MOW sebanyak 7,8%, implan 8,2%. Berbeda dengan cakupan pengguna Non MKJP yaitu suntik 43,4%, pil 29,3%, dan kondom 7,8%. Menurut data kontrasepsi suntik merupakan pilihan metode kontrasepsi yang paling banyak digunakan. Berdasar data-data di atas pemilihan metode kontrasepsi peserta KB lama maupun baru masih banyak yang memilih metode kontrasepsi jangka pendek, yaitu metode suntik (Profil Kesehatan Kab. Sukoharjo, 2012). Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Puskesmas Kecamatan Nguter, Desa Kedungwinong memiliki 692 PUS. Pada tahun 2012 rata-rata pengguna kontrasepsi sebesar
81,8% dari total jumlah PUS yang mengikuti
pelayanan KB. Jumlah peserta KB aktif semua metode sebanyak 556 PUS.Angka ini mengalami penurunan, pada tahun 2012 peserta KB aktif semua metode sebanyak 575 PUS.Berdasarkan data sekunder tersebut didapatkan bahwa persentase pengguna KB sangat tinggi di masyarakat. Dengan persentase yang tinggi inilah, pengetahuan akan sangat berperan terhadap kelangsungan penggunaan kontrasepsi. Penurunan jumlah PUS peserta KB aktif dapat disebabkan karena ketidaktahuan secara lengkap tentang alat kontrasepsi yang dipilih, sehingga mencoba menggunakan kemudian merasa tidak cocok. Selain itu pengetahuan
5
tentang kontrasepsi akan mempengaruhi seseorang dalam memilih alat kontrasepsi yang dianggap paling sesuai dengan pribadinya. Dengan kata lain apabila PUS merasa tidak cocok dengan suatu alat kontrasepsi maka kemungkinan akan memilih „absen‟ menggunakan kontrasepsi atau menjadi peserta KB tradisional. Sedangkan diketahui kegagalan pada metode kontrasepsi tradisional masih sangat tinggi (BKKBN, 2008). Di Indonesia rata-rata tingkat pengetahuan akseptor semua metode kontrasepsi baik, namun di beberapa wilayah didapatkan hasil yang berbeda.Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, informasi dari tenaga kesehatan maupun media (Subekti, 2011). Akseptor kontrasepsi yang berpengetahuan baik akan cenderung memilih metode kontrasepsi yang rasional. Untuk menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan perlu mempertimbangkan beberapa hal misalnya, jumlah anak, usia calon akseptor maupun efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan kontrasepsi. Selain itu pemilihan metode kontrasepsi didasarkan pada tujuan penggunaannya, yaitu untuk menunda kehamilan, menjarangkan kehamilan ataupun untuk mengakhiri masa subur.Dengan demikian pengetahuan calon akseptor yang luas tentang berbagai metode kontrasepi sangat diperlukan agar calon akseptor dapat menentukan sikap terhadap metode yang dipilih.Informasi yang benar diharapkan akan mengubah perilaku sesuai kearah mendukung pemilihan alat kontrasepsi (Sitopu, 2012).
6
Calon akseptor kontrasepsi akan memilih menggunakan suatu metode kontrasepsi apabila telah mengenal metode tersebut. Pengalaman orang lain merupakan contoh nyata. Apabila seorang akseptor kontrasepsi dalam menggunakan suatu metode kontrasepsi dan merasa cocok maka akseptor tersebut akan memberitahu orang lain. Sehingga calon akseptor akan tertarik menggunakan metode tersebut. Calon akseptor yang familiar dengan suatu metode kontrasepsi akan mempunyai sikap yang berbeda dalam menanggapi metode kontrasepsi tersebut. Selain itu perbedaan gender akan mempengaruhi sikap terhadap pemilihan metode kontrasepsi (Thornburn, 2006). Sikap seseorang akan sangat berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan. Sikap disini berupa dukungan maupun tolakan terhadap penggunaan alat kontrasepsi. Bentuk dukungan dapat berupa kepuasan terhadap penggunaan metode kontrasepsi, sedangkan tolakan dapat berupa keinginan untuk mengganti metode kontrasepsi lain. Kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang dipengaruhi emosi. Pengetahuan yang luas tentang metode kontrasepsi yang dipilih akan memperbesar keinginan pengguna KB untuk melanjutkan penggunaan metode tersebut maupun sebaliknya dengan mengetahui kekurangan metode kontrasepsi yang dipilih seseorang mengganti dengan metode lain. Sikap akan terbentuk apabila ada keselarasan antara pemikiran, emosional dan perilaku (Azwar, 2011). Penulis memfokuskan penelitian di Desa Kedungwinong karena jumlah pengguna KB suntik sebanyak 371 peserta dari 692 PUS (53,6%).Selain alasan
7
tersebut peneliti telah melakukan beberapa wawancara dengan akseptor KB di Desa tersebut.Dari wawancara singkat terhadap 10 ibu pengguna KB suntik umumnya
mereka
belum
mengetahui
secara
lengkap
tentang
KB
suntik.Sedangkan beberapa ibu sudah mempunyai pengetahuan baik yaitu dapat menyebutkan jenis, indikasi dan kontraindikasi kontrasepsi suntik. Sebagai contoh ibu akan menggunakan kontrasepsi metode pil, ketikaterdapat kenaikan tekanan darah. Berdasarkan keadaan inilah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang masalah tersebut karena tingginya pemilihan metode kontrasepsi suntik di Desa Kedungwinong Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah “Adakah perbedaan sikap tentang kontrasepsi suntik menurut tingkat pengetahuan akseptor keluarga berencana dengan metode suntik?”
C. 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan sikap tentang kontrasepsi suntik menurut tingkat pengetahuan akseptor keluarga berencana dengan metode suntik.
2.
Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui deskripsi karakteristik responden kontrasepsi metode suntik.
8
b) Untuk mengetahui tingkat pengetahuan akseptor kontrasepsi metode suntik. c) Untuk
mengetahui
sikap
tentang
kontrasepsi
suntik
pada
akseptorkontrasepsi metode suntik.
D. 1.
Manfaat Penelitian
Secara teoritis Bagi praktek keperawatan maternitas diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar terutama dalam program pendidikan kesehatan mengenai metode kontrasepsi suntik.
2.
Secara praktis a) Bagi akseptor kontrasepsi metode suntik di Kabupaten Sukoharjo hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pemilihan metode kontrasepsi suntik. b) Bagi penyedia layanan kesehatan hasil penelitian ini dapat dijadikan data untuk evaluasi pengetahuan tentang kontrasepsi suntik. c) Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan pemilihan metode kontrasepsi suntik.
9
E.
Keaslian Penelitian
Belum ada penelitian seperti yang akan peneliti lakukan, namun sudah beberapa penelitian yang hampir serupa, diantaranya: 1.
Destyowati (2011) dengan judul : Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Minat Pemakaian Kontrasepsi IUD di Desa Harjobinangun, Grabak, Purworejo. Responden adalah wanita usia subur. Metode penelitian dengan pendekatan survey dan pembagian kuesioner. Hasil penelitian responden yang memiliki pengetahuan tentang IUD baik 62,5% berminat memakai IUD, cukup sebanyak 84,0% berminat memakai IUD, pengetahuan kurang sebanyak 100% tidak berminat memakai IUD. Kesimpulannya ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang kontrasepsi IUD dengan minat pemakaian kontrasepsi IUD. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan Destyowati
terletak
pada
pendekatan
dan
variabel.
Destyowati
menggunakan pendekatan survey dan variabelnya adalah minat pemakaian kontrasepsi IUD sebagai variabel terikat. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan incidental dan variabelnya adalah sikap sebagai variabel terikat. 2.
Damanik (2009) dengan judul : Analisa Faktor- Faktor Pendukung Pemilihan Alat Kontrasepsi Suntik pada Akseptor KB di Puskesmas Pematang
Sidamanik
Kabupaten
Simalungun.
Metode
penelitian
menggunakan incidental sampling terdiri dari 70 akseptor KB suntik. Hasil penelitian adalah faktor pendukung pemilihan alat kontrasepsi suntik terdiri
10
dari kontraindikasi dengan berbagai metode 57,1%, usia anak terkecil 54,7%, kenyamanan metode 50,0%, paritas 45,7%. Kesimpulan pada penelitian tersebut adalah berdasarkan faktor pribadi dan faktor kesehatan sebagian besar responden berada pada kategori sangat mendukung, sedang faktor ekonomi/aksesbilitas dan faktor sosial budaya berada pada kategori mendukung. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode penelitian dan variabel penelitian. Penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode cross-sectional dan variabelnya adalah pengetahuan dan sikap tentang kontrasepsi suntik. 3.
Dianawaty (2005) dengan judul : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sikap Akseptor Keluarga Berencana Suntik Di Wilayah Puskesmas Kertak Hanyar Kabupaten Banjar. Metode penelitian menggunakan metode cross sectional terdiri dari 70 akseptor KB suntik aktif di Puskesmas Kertak Hanyak Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Didapatkan hasil tidak ada hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan dengan sikap akseptor KB suntik (p>0,05 dengan koefisien korelasi pengetahuan 0,16 dan koefisien tingkat pendidikan 0,059 dengan kekuatan rendah). Penghasilan berhubungan dengan sikap akseptor (p<0,05 dengan koefisien korelasi 0,200 kekuatan sedang). Penelitian yang dilakukan mengukur variabel pengetahuan dan sikap akseptor KB suntik.