BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Limbah minyak bumi ( crude oil ) dapat terjadi disemua lini aktivitas perminyakan mulai dari eksplorasi sampai ke proses pengilangan danberpotensi menghasilkan limbah berupalumpur minyak bumi (Oily Sludge). Salah satu kontaminan minyak bumi yang sulit diurai adalah senyawan hidrokarbon. Ketika senyawa tersebut mencemari perairan laut, maka zat tersebut sebagai zat beracun.Kontaminan tersebut dapat terjadi secara sengaja dan tidak disengaja. Kesengajaan seperti kegiatan pengeboran minyak bumi baik secara modern maupun tradisional, serta contoh tidak sengajaan seperti tumpahan minyak karena kecelakaan, kebocoran dan lain-lain.Akibatnya, ekosistem dan siklus air juga ikut terganggu. Secara alamiah lingkungan memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa-senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya melalui proses biologis dan kimiawi. Namun, sering kali beban pencemaran di lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara alami. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur tangan manusia dengan teknologi yang adauntuk mengatasi pencemaran tersebut. Penanggulangan pencemaran minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi. Penanggulangan secara fisik umumnya digunakan pada langkah awal penanganan, terutama apabila minyak belum tersebar ke mana-mana. Namun cara fisika memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengangkutan dan pengadaan energi guna membakar materi yang tercemar. Penanggulangan secara kimia dapat dilakukan dengan bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak, sehingga minyak tersebut dapat terdispersi. Terutama ketika zat pencemar tersebut dalam konsentrasi tinggi. Namun cara ini memiliki kelemahan, yaitu mahal pengoprasiannya karena memakan biaya yang cukup besar danmetode kimia memerlukan teknologi dan peralatan canggih untuk menarik kembali bahan kimia dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang lain. Mengingat dampak pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus berusaha mencari teknologi yang paling mudah, murah dan tidak menimbulkan dampak lanjutan. Akhir-akhir ini material adsorpsi yang banyak digunakan adalah biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan material pengadsorpsi yang ramah lingkungan, biodegradable dan tidak toksik yang dihasilkan dari sintesis mikroorganisme. Dan salah satu metode yang sering digunakan pula adalah metode bioremediasi. Metode ini dapat ditempuh untuk memulihkan tanah tercemar oleh kegiatan industri misalnya, pencemaran minyak mentah.
B. TUJUAN MAKALAH Tujuan makalah ini adalah : 1. Menjelaskan peranan biosurfaktan dalam pengolahan limbah minyak bumi 2. Menjelaskan cara menurunkan kandungan Total Petroleum Hydrocarbon pada limbah minyak bumi.
BAB. II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA Limbah lumpur minyak bumi merupakan produk yang tidak mungkin dihindari oleh setiap perusahaan pertambangan minyak bumi dan menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan Sebab lumpur limbah minyak bumi mempunyai komponen hidrokarbon atau Total petroleum Hydrocarbon (TPH) yaitu senyawa organik yang terdiri atas hidrogen dan karbon contohnya benzene, toluene, ethylbenzena dan isomer xylema. Total petroleum Hydrocarbon (TPH) ialah merupakan pengukuran konsentrasi pencemar hidrokarbon minyak bumi dalam air laut atau serta seluruh pencemar hidrokarbon minyak dalam suatu sampel yang sering dinyatakan dalam satuan mg hidrokarbon/kg tanah . Lumpur minyak bumi termasuk limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), jika mengacu pada PP No. 85 tahun 1999 tentang limbah B3. Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu pengolahan secara baik sehingga tidak mencemari lingkungan di sekitarnya. Menurut UU nomor 23 tahun 2009 tentang pengelolaan limbah B3 adalah dapat dilakukan dengan pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan . Limbah harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang jika mengandung bahan pencemar yang mengakibatkan rusaknya lingkungan, atau paling tidak berpotensi menciptakan pencemaran. Dalam suatu proses pengolahan limbah, harus dibuat perkiraan terlebih dahulu dengan mengidentifikasi sumber pencemaran, fungsi dan jenis bahan, sistem pengolahan kualitas dan jenis buangan, serta fungsi B3. Salah satu alternatif penanggulangan lingkungan tercemar minyak adalah dengan teknik bioremediasi, yaitu suatu teknologi yang ramah lingkungan, efektif dan ekonomis dengan memanfaatkan aktivitas mikroba seperti bakteri. Melalui teknnologi ini diharapkan dapat mereduksi minyak buangan yang ada dan mendapatkan produk samping dari aktivitas tersebut. Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim tanaman atau enzim mikroba.
Lambatnya proses degradasi hidrokarbon di alam dikarenakan hidrokarbon sukar larut dalam air. Akibatnya, kemampuan mikroba memanfaatkan hidrokarbon sebagai substrat pertumbuhannya rendah (Francy et al., 1991). Dengan pemberian surfaktan, termasuk biosurfaktan, akan dapat meningkatkan kelarutan konsentrasi senyawa hidrofobik dan memberikan kemudahan ketersediaan hidrokarbon oleh mikroba (Ni’matuzahroh dkk., 2003). Surfaktan merupakan senyawa komplek yang terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobok sehingga bersifat larut dalam air maupun minyak. Sifat tersebut menyebabkan surfaktan memiliki kemampuan menurunkan tegangan permukaan cairan (surface tension). Kemampuan ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang diantaranya bidang farmasi, industri, dan lingkungan. Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti linier alkilbensen sulfonat (LAS), alkil sulfonat (AS), alkil etoksilat (AE) dan alkil etoksilat sulfat (AES). Surfaktan dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan, karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi. Di samping itu, minyak bumi yang digunakan merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah inilah yang menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. Penerapan bioteknologi pada sintesis surfaktan akhir-akhir ini mendapat perhatian yang besar. Bioteknologi dapat didefinisikan sebagai pemanfaatan jasad hidup dan proses biologis/kimia dalam suatu proses metabolisme untuk menghasilkan produk bernilai ekonomis lebih tinggi. Sejalan dengan definisi di atas serta didukung dengan jumlah minyak nabati sebagai pemasok bahan baku biosurfaktan maka penerapan bioteknologi pada sintesis biosurfaktan ini berpotensi besar untuk diaplikasikan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, akan tetapi biosurfaktan lebih rendah tingkat toksisitasnya, mudah terurai secara biologi, lebih efektif pada suhu, pH dan kadar garam yang berlebihan, dan lebih mudah disintesis. Di samping itu, sifat aktif permukaan yang dimilikinya berbeda dengan surfaktan yang disintesis secara kimia. Biosurfaktan sebagian besar diproduksi oleh mikroorganisme seperti bakteri, ragi (khamir) dan kapang secara biotransformasi sel. Beberapa mikroba dapat menghasilkan surfaktan pada saat tumbuh pada berbagai substrat yang berbeda, mulai dari karbohidrat sampai hidrokarbon. Perubahan substrat seringkali mengubah juga struktur kimia dari produk sehingga akan mengubah sifat surfaktan yang dihasilkan. Di bidang lingkungan khususnya perairan laut, surfaktan digunakan sebagai akselator proses biodegradasi hidrokarbon untuk penanggulangan pencemaran minyak di laut. Jenis surfaktan yang banyak digunakan dalam penanggulangan ini adalah surfaktan sintetik tetapi dengan cara tersebut justru menjadi limbahnyang sukar terdegradasi sehingga berdampak pada kerusakan lingkungan. Adanya permasalahan inilah yang menyebabkan diperlukan
suatu alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi sehingga lebih ramah lingkungan yaitu dengan biosurfaktan. Biosurfaktan merupakan jenis surfaktan yang dihasilkan oleh mikroorganisme bersifat alami dan lebih ramah lingkungan. Biosurfaktan mempunyai sifat yang mirip seperti surfaktan sintetik, namun lebih rendah tingkat toksisitasnya dan mudah terurai secara biologi. Oleh sebab itu penggunaan surfaktan jenis biosurfaktan mendapat perhatian sebagai teknologi alternatif dalam mempercepat proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Selain itu, Keuntungan biosurfaktan dibandingkan surfaktan yang disintesis secara kimia antara lain : tidak beracun, dapat diuraikan, lebih ramah lingkungan, dan dapat disintesis dari bahan – bahan organik ataupun limbah organik yang sebagai sumber karbon dan nitrogen, biosurfaktan juga lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan sintetik. Pada umumnya, struktur kimiawi biosurfaktan terdiri atas gugus hidrofilik yang mengandung asam amino atau anion dan kation peptida, mono-, di-, atau polisakarida; dan gugus hidrofobik yang mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh. Berdasarkan ukuran molekularnya, biosurfaktan dapat dibagi menjadi biosurfaktan dengan berat molekul rendah dan berat molekul tinggi. Glikolipid seperti rhamnosa dan sophorolipid, dan lipopeptida seperti surfactin dan polymyxin merupakan biosurfaktan dengan berat molekul rendah, yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar permukaan. Sedangkan biosurfaktan dengan berat molekul tinggi seperti lipoprotein, lipopolisakarida, dan amphipatik polisakarida sangat efektif untuk menstabilkan emulsi minyak dalam air. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi biosurfaktan seperti jenis substrat pertumbuhan, jenis bakteri, sumber nutrisi, dan faktor lingkungan menjadi perhatian utama para peneliti dalam upaya optimasi produksi biosurfaktan tersebut Mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menghasilkan biosurfaktan adalah jenis bakteri laut hidrokarbonoklastik yaitu Hallobacillus truperi dan Rhodobacteraceae bacterium. Bakteri tersebut ditemukan di lingkungan perairan laut yang tercemar minyak dan mempunyai kemampuan dalam mensintesis hidrokarbon yang dapat mendegradasi senyawa hidokarbon minyak bumi. Bakteri ini terbukti menghasilkan biosurfaktan sebesar 0.7047 g/L dan dapat menurunkan tegangan permukaan dari 40.8 mN/m hingga mencapai 30.09 mN/m, kemampuan menurunkan hingga 30.09 mN/m sehingga biosurfaktan yang diproduksi bakteri ini dapat digunakan sebagai akselator biodegradasi hidrokarbon pencemaran minyak bumi. Faktor yang mempengaruhi produksi biosurfaktan diantaranya adalah kemampuan bakteri dalam mensintesis hidrokarbon dari terbentuknya zona bening. yang dapat dilihat Kemampuan biosurfaktan dalam mempercepat proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dapat dilihat dari kemampuan senyawa dalam menurunkan tegangan permukaan.
Adapun uraian proses pembentukan biosurfaktan antara lain : 1. Isolasi
Dalam lingkungan alamiah, mikroba hampir selalu terjadi pada populasi campuran terdiri dari banyak strain dan spesies yang berbeda. Untuk menganalisis sifat organisme dari suatu campuran populasi diperlukan kultur murni. Selain isolasi strain langsung dengan cara pengenceran dan pelapisan, kultur pengayaan dengan substrat hidrofob sangat menjanjikan untuk isolasi mikroba pemproduksi biosurfaktan. Selain itu, kromatografi interaksi hidrofobik dan teknik plat replika juga metode yang bagus Prinsip kultur pengayaan adalah untuk menyediakan kondisi pertumbuhan yang sangat menguntungkan bagi organisme yang penting dan mungkin tidak menguntungkan bagi organisme yang bersaing. Oleh karena itu, mikroba penting terseleksi dan diperkaya. Untuk screening mikroba penghasil biosurfaktan, kultur memanfaatkan senyawa hidrofobik sebagai sumber karbon satu-satunya Isolsasi bakteri pemproduksi biosurfaktan dari tanah yang terkontaminasi dengan poliaromatik hidrokarbon (PAH). PAH yang diubah menjadi medium cair minimal untuk kultur pengayaan. Lebih jauh lagi, mereka menggunakan piring-agar dilapisi dengan PAHagar berbeda dan piring-agar dengan filter PAH yang direndam dalam tutup cawan petri untuk pemilihan. Degradasi PAH agar oleh mikroorganisme lalu mengarah ke agar pada zona bersih di sekitar koloni pada PAH yang dilapisi agar. Akibatnya, mereka dapat mengisolasi 57 strain dan hanya 4 strain yang menunjukkan aktivitas permukaan. Ada juga dengan mengisolasi strain pemproduksi biosurfaktan dari sampel yang terkontaminasi minyak tanah dengan menggunakan limbah minyak pelumas sebagai sumber karbon tunggal. Mengisolasi 44 strain yang mampu tumbuh di hidrokarbon dan lima isolate diantaranya yang dapat menghasilkan biosurfaktan. Schulz et al, (1991) mengisolasi tiga jenis bakteri yang berasal dari laut selama screening untuk biosurfaktan antara mikroorganisme pengurai n-alkana. Sebagai media pengayaan, mereka menggunakan media mineral dengan C14- dan C15-n-alkana dan juga piring agar dengan penyaring alkana yang direndam. Yakimov et al, (1998) mengisolasi bakteri penghasil biosurfaktan dari suatu genus baru dengan menggunakan teknik pengayaan yang sama. Rahman et al (2002) mengisolasi 130 isolat pendegradasi minyak dari lingkungan tercemar hidrokarbon dengan teknik pengayaan. Medium garam mineral yang mengandung minyak mentah sebagai sumber karbon tunggal yang diterapkan. Dua dari strain yang ditemukan mampu menghasilkan biosurfaktan. Degradasi dan konsumsi hidrokarbon juga dapat divisualisasikan dengan metode kolorimetri yang dikembangkan oleh Hanson et al (1993) dengan menambahkan indikator redoks berwarna, 2,6-dichlorophenol indophenol (DCPIP), untuk kultur cair pertumbuhan pada hidrokarbon, hasil alat tes kolorimetri sederhana. Di dalam DCPIP ini berlangsung aktivitas bakteri yang dapat mendegradasi hidrokarbon. DCIP bertindak sebagai akseptor elektron dan perubahan dari biru (teroksidasi) menjadi tak berwarna (tereduksi). Dengan demikian, penghilangan warna kultur menunjukkan degradasi hidrokarbon. Sampling dari lokasi yang terkontaminasi dikombinasikan dengan isolasi langsung atau pengayaan budaya merupakan strategi disetujui untuk menemukan strain baru memproduksi biosurfaktan. Namun, proporsi positif hanya dalam kisaran beberapa persen, beberapa lusin isolat harus diuji bagus
2. Metode Screening Biosurfaktan secara struktural adalah sebuah kelompok yang sangat beragam dari biomolekul misalnya, glycolipid, lipopeptide, lipoprotein, lipopolysaccharide atau fosfolipid. Oleh karena itu, metode yang paling umum untuk screening strain pemproduksi biosurfaktan didasarkan pada efek fisik surfaktan. Kemampuan strain untuk menggubah antar permukaan hidrofobik dapat diselidiki. Di sisi lain, metode penyaringan tertentu seperti uji kolorimetri agar CTAB (Gambar 3)yang cocok hanya untuk sekelompok terbatas biosurfaktant. Metode skrining dapat memberikan hasil kualitatif dan / atau kuantitatif. Untuk screening isolat pertama, metode kualitatif pada umumnya cukup efisien ((Walter et al, 2010 ).
BAB. III PEMBAHASAN A.
Metode Bioremediasi Bioremediasi merupakan salah satu cara untuk membersihkan senyawa polutan baik
bahan kimia maupun bahan organik yang bersifat toksik, menjadi bentuk lain yang tidak berbahaya. Prosesnya melibatkan aktivitas metabolisme mikroba. Sasaran yang akan dicapai dalam proses tersebut adalah menurunkan polutan sampai tingkat konsentrasi yang aman (4). Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada didalam tanah. Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang dan akhirnya hilang(7). B.
Proses Bioremediasi Biosurfaktan Metode yang digunakan dalam proses bioremediasi dapat melalui bioaugmentasi,
biostimulan dan bioreaktor. Bioaugmentasi dilakukan dengan jalan menambahkan inokulan bakteri dalam sistem yang akan dibersihkan. Biostimulan dilakukan dengan menambahkan nutrien tertentu pada lokasi yang terpolusi, untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan. Sedangkan mekanisme bioreaktor dilakukan dengan cara mengambil bahan polutannya, kemudian dibersihkan dalam satu sistem pengolahan yang telah disiapkan(4). Proses bioremediasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi inokulum, nutrisi ( rasio C:N:P) dan faktor lingkungan pH(6). Dalam proses ini, biosurfaktan akan menurunkan tegangan permukaan atau tegangan antar muka antara minyak dan air pada lingkungan yang tercemar oleh kegiatan industri. Dan selanjutnya, akan terbentuk emulsi.
Metode bioremediasi ini menurut beberapa penelitian, terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawasenyawa kimia toksik atau beracun. Keberhasilan proses bioremediasi harus didukung oleh disiplin ilmu lain seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia organik, biokimia, genetika molekuler, kimia air, kimia tanah, dan juga teknik. Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah bakteri, jamur, yis, dan alga. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan berbahaya di lingkungan, yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang cukup kompleks. Dalam proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses oksidasi. Menganalisis dari beberapa penelitian para pakar ilmu sains, sangat penting digalakan metode bioremediasi ini dengan menggunakan biosurfaktan di semua lingkungan yang sudah tercemar kegiatan industri. Proses ini sangat efektif untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan senyawa kimia toksik pada lingkungan yang sudah tercemar. Selain itu, material pengadsorpsinya pun, yaitu biosurfaktan sangat ramah lingkungan, tidak toksik dan biodegradable
serta
produksinya
oleh
mikroorganisme
tidak
terbatas
sehingga
memungkinkan untuk meregenerasi lingkungan baik tanah maupun air secara kontinyu dan efektif.
BAB.IV KESIMPULAN 1. Biosurfaktan merupakan material pengadsorpsi yang dihasilkan dari sintesis mikroorganisme yang sangat berperan dalam penanggulangan pencemaran lingkungan oleh kegiatan industri yang ramah lingkungan, biodegradable dan tidak toksik. 2. Proses bioremediasi merupakan proses alternatif yang cukup baik untuk memperbaiki struktur lingkungan baik tanah maupun air yang tercemar oleh kegiatan industri sehingga senyawa kimia yang bersifat toksik akan berkurang atau bahkan akan hilang.
DAFTAR PUSTAKA
http://forsima2012.blogspot.com/2011/11/makalah-biosurfaktan-dalam-rangka.html https://gedangmatikenekvirus.wordpress.com/category/mikrobiologi/mikrobiologi-industri/ http://roudhotuljannah12019.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/?p=99