1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri pelayanan jasa kesehatan berkembang sangat pesat di Indonesia. Di wilayah Yogyakarta sendiri terdapat 2.403 rumah sakit. Terdiri dari 1.850 Rumah Sakit Umum, dan 553 Rumah Sakit Khusus. Berdasarkan kelas terdapat 21 RSU tipe A, 39 RSK tipe A, 264 RSU tipe B, 44 RSK tipe B, 618 RSU tipe C, 182 RSK tipe C, 502 RSU tipe D, 34 RSK tipe D, dan ada 699 RSU dan RSK yang belum ditetapkan. (Data Rumah Sakit Online, 2014). Persaingan bisnis rumah sakit dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan semakin ketat. Pimpinan rumah sakit pun harus berhasil menyusun metode kepemimpinan dan penyelenggaraan good governance yaitu tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik sesuai pasal 36 dalam Undang Undang No 44 tahun 2009. Seperti disebutkan pada pasal 33 bahwa setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel.
Consensus Oriented
Accountable
Participatory
Transparent GOOD GOVERNANCE
Follow the rule of law
Responsive
Effective and Eficient
Equitable and Inclusive
Gambar 1. Good Governance (UNESCAP, 2005)
2
Tantangan dari luar organisasi yang dihadapi pimpinan rumah sakit adalah antara lain berasal dari changing environment, innovation, dan competition. Perubahan lingkungan adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi pemimpin dan organisasi rumah sakit. Salah satunya perubahan undang undang yang terus berganti dengan kebijakan-kebijakan yang baru seiring dengan perubahan kondisi politik atau bahkan perubahan pejabat yang berwenang. Seperti halnya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang per tanggal 1 Januari 2014 berubah dengan adanya penetapan BPJS Kesehatan dan mengharuskan pemimpin dan manajemen rumah sakit harus membuat strategi baru dalam menghadapi sistem pembayaran yang baru secara cepat dan tepat bagi rumah sakit yang sudah melaksanakan Jamkesmas sebelumnya. Rumah sakit yang belum bekerjasama dengan BPJS harus segera membangun kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan untuk mempermudah pasien dalam menggunakan keanggotaannya dalam BPJS Kesehatan. Hal ini tentunya untuk mencapai tujuan bersama yaitu tercapainya derajat kesehatan yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia dan tercapainya standar mutu dan kualitas baik bagi rumah sakit itu sendiri. Rumah Sakit Santo Yusuf Boro yang bertempat di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan merupakan rumah sakit keagamaan di bawah Yayasan Katholik OSF. Didirikan oleh perkumpulan suster-suster St. Fransiskus, rumah sakit ini memiliki 56 tempat tidur, 50 diantaranya kelas II dan tidak memiliki kamar kelas III. RS St. Yusuf Boro memiliki 8 dokter (termasuk 4 dokter umum, 3 dokter spesialis, dan 1 dokter gigi). Ketersediaan jumlah dokter di RS St. Yusuf Boro yang hanya memiliki 8 orang dokter tersebut 18 lebih sedikit daripada rumah sakit sejenis di Yogyakarta dan bahkan 24 lebih sedikit dari rumah sakit sejenis di Jawa. Berikut adalah data jumlah karyawan yang pada saat ini menjalankan kegiatan operasional di RS St. Yusup Boro.
3
Tabel 1. Data Jumlah Karyawan
JABATAN Dokter Umum Dokter Spesialis Dokter Gigi Bidan Perawat Apoteker AA Analisis Rekam Medis Ahli Gizi Keuangan Administrasi Tenaga lainnya Sopir Dapur Masak Dapur Cuci PRT Kebun Penjaga Malam Jumlah
JUMLAH 4 3 1 3 18 1 1 2 1 1 2 4 3 3 2 3 7 2 2 63
Dari data jumlah karyawan tersebut, sumber daya manusia di RS St. Yusup Boro belum memenuhi standar klasifikasi rumah sakit umum tipe D. Pemenuhan kebutuhan tenaga medis yang harus dipersiapkan adalah untuk pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan/atau obstetri dan ginekologi, serta tenaga fisioterapi. Kendala yang dihadapi RS ST. Yusuf Boro untuk mendapatkan tenaga medis tidak hanya dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dari pusat Kota Yogyakarta akan tetapi juga dikarenakan belum adanya keikutsertaan rumah sakit dengan program BPJS Kesehatan yang sedang dalam proses pengurusan, sehingga beberapa tenaga medis yang ingin bergabung dengan RS St. Yusup Boro memilih
4
untuk menunggu setelah rumah sakit bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pada saat ini RS St. Yusup Boro baru bekerja sama dengan Jamkesda.
TAHUN
INDIKATOR PELAYANAN Rs. Santo Yusup Boro BOR AvLos TOI BTO NDR GDR
2006 13% 6 33 10 24 33
2007 14% 5 10 31 12 28
2008 12% 4 30 11 20 37
2009 11% 5 27 12 7 16
2010 12% 4 28 12 10 21
2011 13% 5 32 10 6 18
2012 10% 4 36 9 17 28
2013 12% 4 28 11 12 24
2014 12% 3 25 11 20 29
Tabel 2. Indikator Pelayanan tahun 2006 – 2014.
Average Length of Stay (ALOS) juga menunjukkan angka 3%. Pada saat ini, prosentase hunian sangat kecil yaitu sekitar 12% dengan kunjungan rawat jalan dalam sehari sekitar 30 pasien.
Kunjungan Pasien Rawat Jalan 6000 5000 4000 e lt iT si 3000 x A 2000
Kunjungan Pasien Rawat Jalan
1000 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 2. Grafik Data Kunjungan Pasien Rawat Jalan tahun 2006 – 2014.
5
Kunjungan Pasien Rawat Inap 700 600 500 e tli 400 T si x 300 A 200
Kunjungan Pasien Rawat Inap
100 0 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 3. Grafik Data Kunjungan Pasien Rawat Inap tahun 2006 – 2014.
Gambar 4. Bangunan RS Santo Yusuf Boro tampak depan.
Fakta di atas menunjukkan bahwa RS. Saint Yusuf Boro memerlukan perbaikan dari segala bidang baik itu sumber daya manusia, peralatan sarana dan prasarana, maupun fisik bangunan untuk dapat memaksimalkan pelayanan jasa kesehatan bagi pasiennya. Terutama untuk menuju peningkatan tipe rumah sakit ke kelas D. mengingat sebagai sebuah kota Kabupaten, Kulon Progo hanya memiliki 7 rumah
6
sakit untuk melayani kebutuhan kesehatan 470.520 jiwa penduduk dengan kepadatan 802,57 jiwa/km². Hampir delapan puluh persen dari penduduk merupakan anggota BPJS Kesehatan, sehingga apabila RS St. Yusuf Boro tidak bermitra dengan BPJS Kesehatan, maka akan sangat sulit bagi rumah sakit untuk mendapatkan banyak pasien. Hal tersebut warga kabupaten Kulon Progo yang memiliki kartu anggota BPJS Kesehatan akan lebih memilih untuk berobat di rumah sakit yang berkerjasama dengan BPJS Kesehatan. Oleh karena itu sebelum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, RS St. Yusuf Boro harus melakukan perbaikan kondisi rumah sakit dari semua aspek terutama bangunan dan peralatannya. Penetapan Kelas Rumah Sakit akan ditinjau dari kecenderungan data penyakit sehingga dapat memperoleh gambaran Kapasitas Kualitas dan Kuantitas Layanan Kesehatan yang akan dilakukan, atau klasifikasi kelas Rumah Sakit sesuai dengan jenis layanannya serta kesiapan SDM yang dimiliki dan Fasilitas Sarana dan Prasarana yang akan disediakan (al. Bangunan, Peralatan dan Jumlah Tempat Tidur/ TT). Kendala yang paling mendasar yang dihadapi RS St. Yusuf Boro adalah masalah sarana dan prasarana yang belum cukup memadai serta bangunan rumah sakit yang merupakan bangunan tua. Tata ruangnya pun tidak sesuai dengan standar kelayakan rumah sakit, sekaligus peralatan kesehatan yang belum lengkap. Telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 pada bagian ke empat mengenai Rumah Sakit Umum Kelas D dalam pasal 18, 19, 20, dan 21. Pada pasal ke 20 ditekankan bahwa sarana dan prasarana harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh menteri. Dan dalam Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 7 ayat (1) menyebutkan Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Kemudian dalam Bagian Ketiga tentang Bangunan, pasal 9 butir (b) menyebutkan bahwa persyaratan teknis bangunan Rumah Sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut. Hal ini sejalan dengan Undang
7
Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dimana pada pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa persyaratan teknis bangunan gedung meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Oleh karena itu banyak sekali sarana prasarana yang harus dipenuhi oleh RS St. Yusuf Boro seperti kebutuhan ruang, kebutuhan peralatan-peralatan medis, serta atribut bangunan yang lebih memadai. Kebutuhan Ruang Bangunan Rumah Sakit akan disesuaikan dengan Jenis dan Kapasitas Layanan serta Aktifitas yang akan diberikan oleh Rumah Sakit kepada masyarakat. Perhitungan besaran ruangan masing-masing ruangan pada bangunan berdasarkan fungsi akan dihitung sesuai dengan standar Arsitektur serta Pedoman Teknis di Bidang Sarana dan Prasarana Rumah Sakit.
Untuk melakukan perbaikan yang terstruktur maka sangat perlu dilakukan Evaluasi Pasca Huni terhadap bangunan rumah sakit untuk mendapatkan data sarana prasarana yang sudah dimiliki untuk menyusun rancangan kebutuhan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh RS St. Yusup Boro dalam memenuhi standar klasifikasi rumah sakit tipe D. Dari data tersebut akan dilakukan perhitungan pembiayaan pelaksanaan perbaikan RS St. Yusuf Boro juga dibuat untuk mengetahui berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk melakukan perbaikan sarana dan prasarana. Sebagai rumah sakit yang berbasis keagamaan dan di bawah naungan yayasan, maka otomatis RS St. Yusuf Boro maupun Yayasan Katholik OSF harus mengupayakan pembiayaan tersebut secara mandiri (apabila mampu) atau menlakukan pencarian sumber dana dari pihak-pihak swasta lainnya.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang dihadapi RS St. Yusuf Boro adalah bahwa rumah sakit ini yang pertama adalah memerlukan
8
pengkajian kebutuhan sarana prasarana rumah sakit baik kondisi fisik rumah sakit, peralatan medis serta manajemen sumber daya manusia yang belum dirasa cukup. Yang kedua adalah solusi sumber pembiayaan untuk dapat menyelenggarakan perbaikan rumah sakit ini agar memenuhi kualifikasi rumah sakit tipe D.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Khusus Menentukan strategi untuk RS St. Yusuf Boro dalam memenuhi standar fasilitas Rumah Sakit Umum tipe D.
Tujuan Umum 1) Melakukan Evaluasi Pasca Huni bangunan RS St. Yusuf Boro. 2) Menyusun data kebutuhan perbaikan bangunan dan peralatan medis dan non medis yang belum dimiliki RS St. Yusuf Boro. 3) Melakukan penaksiran kebutuhan biaya untuk perbaikan sarana prasarana rumah sakit. 4) Mengatasi kemungkinan pembiayaan bagi RS St. Yusuf Boro dalam upaya memenuhi standar RSU tipe D.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis 1. Manfaat praktis bagi pimpinan dan manajemen RS St. Yusuf Boro dalam menetapkan langkah konkrit dan menyusun rancangan yang terstruktur untuk perbaikan rumah sakit di segala aspek. 2. Manfaat praktis bagi karyawan untuk dapat termotivasi dalam mendukung perbaikan RS St. Yusuf Boro.
9
3. Manfaat praktis bagi pasien/masyarakat umum agar pasien selaku objek pelayanan
jasa
kesehatan
dapat
merasakan
kenyamanan
dalam
memperoleh suatu pelayanan kesehatan dari rumah sakit yang kompeten dan dapat mendidik pasiennya untuk segera mencapai tingkat kesembuhan dan kenyamanan selama masa pengobatan. 4. Manfaat praktis bagi pemerintah sebagai pengawas pelaksanaan pelayanan jasa kesehatan. Hal ini ditujukan agar suatu wilayah pemerintahan daerah dapat memiliki rumah sakit-rumah sakit yang berintegritas dan berkompeten dalam menyediakan layanan jasa kesehatan untuk mencapai tingkat kesehatan masyarakat yang maksimal.
E. Keaslian Penelitian
NO
1
2
Peneliti
Persamaan
Guntoro, D. (2002)
Melakukan evaluasi pasca huni pada bangunan rumah sakit
Fadlina, T. E. (2005)
menulis tentang perencanaan keuangan dan sumber pendanaan pengembangan klinik menjadi rumah sakit pratama.
Tabel 3. Keaslian Penelitian.
Perbedaan menitik beratkan pada zona penunjang medis sebagai penilaian terhadap kinerja bangunan. lebih menitik beratkan pada analisa keuangan, bukan pada rencana pengembangan gedung atau sarana prasarana.