1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pendidikan tidak lepas dari keberhasilan berkomunikasi selama berlangsungnya proses belajar mengajar. Komunikasi dalam proses pembelajaran tidak dapat dipandang mudah karena pendidikan itu sendiri tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, sikap dan keterampilan. Keberhasilan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor terutama guru dan siswa sebagai subjek komunikasi. Pentingnya komunikasi dalam pembelajaran dikemukakan pakar pendidikan Quantum Teaching DePorter dkk (2010: 159) yang menyebutkan bahwa komunikasi dalam pembelajaran harus dapat memunculkan kesan yang positif seperti menarik dan menantang. Komunikasi juga harus dapat mengarahkan fokus pada aspek yang mendukung keberhasilan belajar. Komunikasi juga harus inklusif dalam arti mengesankan adanya kebersamaan dan kesatuan. Selain itu, komunikasi juga harus spesifik agar tidak menimbulkan pengertian ganda. Fakta di lapangan sering menunjukkan hal sebaliknya sehingga pembelajaran menjadi tidak efektif. Keberhasilan komunikasi dalam kegiatan belajar mengajar sering terkendala pada kurangnya perhatian guru menjalin komunikasi nonverbal. DePorter dkk (2010: 167) Kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak tubuh dan postur tubuh pada saat berbicara ikut mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Kenyataan di kelas-kelas membuktikan guru pada umumnya mengabaikan komunikasi nonverbal. Pendidikan merupakan usaha sadar, terencana dan berkesinambungan dalam membantu peserta didik mengembangkan potensinya secara optimal. Karena itu, pendidikan sudah seharunya disampaikan melalui proses komunikasi yang terencana dan terarah sehingga kegiatan belajar mengajar berlangsung efektif. Komunikasi perlu disesuaikan dengan kondisi anak didik karena potensi anak didik tidak sama dilihat dari IQ, kondisi fisik ataupun
kondisi sosial ekonominya. Dilihat dari IQ, ada anak didik tuna grahita ringan yang juga berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya sehingga potensi anak dapat berkembang. Pengembang potensi pada peserta didik baik cipta, rasa dan karsa. Kecakapan dan keterampilan tersebut meliputi kecakapan dalam mengenali diri (self awareness), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), kecakapan berfikir rasional (thinking skill) dan kecakapan personal (personal skill). Tujuan pendidikan bagi anak tunagrahita, salah satunya adalah membekali anak dengan kecakapan beradaptasi dengan masyarakat. Upaya yang dilakukan yaitu dengan menanamkan nilai-nilai sosial dan emosinya dimana anak mengalami hambatan dalam penyesuaian sosialnya (mal adjustment), dan juga hambatan dalam kontrol emosinya (emotion control). Biasanya anak tuna grahita dalam bersosialisasi dengan lingkungan sering mengalami kesulitan, anak kadang kurang mengerti norma-norma dalam bermasyarakat dan bergaul, begitu pula secara emosi mereka juga mengalami hambatan yakni tidak dapat mengendalikan emosi, tidak dapat memusatkan perhatian atau perhatian mudah beralih, kurang sabar dalam menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupannya. Kondisi kekhususan anak tunagrahita ringan tersebut membawa konsekuensi
intervensi
pembelajaran
yang
berbeda-beda.
Intervensi
pembelajaran ini sebagai salah satu bentuk implementasi kurikulum untuk mengelola perilaku belajar
anak. Hasil penelitian Ishartiwi (2007)
menunjukkan bahwa pembelajaran terindividualisasi dapat mengembangkan kemampuan kognitif fungsional, berkomunikasi dan sosial personal pada anak tunagrahita ringan. Keberhasilan program keterampilan tersebut di Sekolah Luar Biasa Negeri Pembina Yogyakarta, bukan hanya ditentukan oleh pendidik sebagai komunikator saja namun juga ditentukan oleh beberapa unsur lain yang terlibat dalam proses pembelajaran program tersebut. Unsur-unsur lain pendukung peningkatan keberhasilan komunikasi instruksional yang terlibat selama proses pembelajaran program tersebut adalah materi pelajaran sebagai
3
pesan, peserta didik sebagai komunikan, media pembelajaran sebagai media atau saluran dan umpan balik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti akan menganalisis penerapan unsur-unsur komunikasi instruksional yang terdapat pada Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Yogyakarta dalam mendukung keberhasilan komunikasi pendidikan di sekolah luar biasa. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana unsur-unsur komunikasi instruksional diterapkan dalam proses pembelajaran program keterampilan siswa tunagrahita ringan di Sekolah Luar Biasa Negeri Pembina Yogyakarta?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur komunikasi instruksional
yang
diterapkan
dalam
proses
pembelajaran
program
keterampilan siswa tunagrahita ringan di Sekolah Luar Biasa Negeri Pembina Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian dalam bidang ilmu komunikasi khususnya komunikasi pendidikan di Sekolah Luar Biasa. 2. Manfaat praktis a. Bagi sekolah. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi sekolah dalam meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan bagi anak didik di sekolah. b. Bagi guru di sekolah luar biasa. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi guru dalam meningkatkan kualitas komunikasi instruksional sehingga kualitas pembelajaran semakin baik.
E. Landasan Teori Komunikasi dalam kegiatan pembelajaran di sekolah haruslah menerapkan prinsip-prinsip komunikasi yang efektif. Guru sebagai subjek yang aktif berkomunikasi dituntut menerapkan unsur-unsur komunikasi instruksional sesuai dengan kondisi peserta didik yang dalam penelitian ini berada dalam kondisi sebagai tunagrahita ringan. Komunikasi juga harus disesuaikan dengan materi yang disampaikan dalam kegiatan pembelajaran. Landasan teori disusun sebagai pijakan untuk mengkaji penerapan komunuikasi intruksional dalam kelas vocational di sekolah luar biasa khususnya pada anak tunagrahita ringan. 1. Komunikasi Efektif Komunikasi yang efektif sangat dibutuhkan selama proses pembelajaran guna menentukan keberhasilan pendidikan. Menurut Ngainun Naim, dalam komunikasi pendidikan, pendidik seyogyanya memenuhi segala prasyarat komunikasi yang efektif dalam menyampaikan materi pelajaran. Jika tidak, proses pembelajaran akan sulit mencapai hasil maksimal (2011: 112). Untuk menghindari berbagai persoalan yang sering muncul apabila hubungan komunikatif antara pendidik dan peserta didik tidak berjalan dengan optimal. Pada umumnya, pendidikan berlangsung secara terencana di dalam kelas secara tatap muka (face-to-face) dan biasanya terjalin komunikasi dua arah atau dialog antara pendidik dan peserta didik, dimana peserta didik mampu menjadi komunikan dan komunikator begitu pula pendidik. Komunikasi tersebut terjadi apabila peserta didik mampu merespon, menyatakan pendapat serta mengajukan pertanyaan, diminta atau pun tidak. Apabila peserta didik hanya bersifat pasif dalam proses belajar di kelas, meskipun komunikasi bersifat tatap muka namun tetap berlangsung komunikasi satu arah sehingga komunikasi yang terjalin tidak efektif (Effendy, 2001: 101).
5
Komunikasi yang terjalin selama proses belajar mengajar tersebut di sebut dengan komunikasi instruksional. Istilah instruksional sendiri berasal dari kata instruction yang berarti perintah, namun dalam kaitannya dengan pendidikan
maka
istilah
instruksional
menurut
Websters’s
Third
International Dictionary of the English Language bukan lagi di artikan sebagai perintah melainkan memberikan pengetahuan, pengajaran atau informasi khusus dengan maksud melatih berbagai bidang khusus (Yusuf, 2010: 57). Pada dasarnya esensi dalam proses komunikasi adalah untuk memperoleh kesamaan makna diantara orang yang terlibat dalam proses komunikasi antarmanusia yang dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu, proses terjadinya komunikasi instruksional adalah ketika terjadinya proses pembelajaran atau pengajaran antara pendidik dan peserta didik di dalam kelas secara kontinyu untuk memperoleh makna yang sama sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Wilbur Schramm, terdapat 3 unsur komunikasi yang terjadi dalam proses komunikasi tersebut, yaitu komunikator, pesan, dan komunikan. Namun lebih jauh Harold D Laswell, memperkenalkan 5 formula komunikasi untuk terjadinya suatu proses komunikasi yaitu Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect. Berdasarkan formula tersebut, maka terdapat komponen komunikasi yang terjadi selama proses komunikasi berlangsung yakni komunikator (communicator), pesan (message), media (channel), komunikan (communican, receiver), dan efek (effect) (Suprapto, 2009: 9). Selama proses komunikasi berlangsung, seorang komunikator pastilah membutuhkan suatu media untuk membantu proses transfer pesan kepada komunikan sehingga membuat komunikan lebih memahami maksud dari pesan yang disampaikan. Apabila kelima formula dalam komunikasi dari Laswell tersebut disejajarkan
dengan
komunikasi
instruksional
atau
komunikasi
pendidikan, maka komunikasi tersebut menitikberatkan pada pendidik sebagai komunikator yang aktif, pelajaran sebagai bahan ajar atau informasi atau pesan, dan pembelajaran yang menekankan pada peserta didik untuk aktif selama proses belajar mengajar yang berfungsi sebagai komunikan (Zakiah: 2006). Selain itu, dalam proses pembelajaran juga pasti akan melibatkan media pembelajaran yang digunakan pendidik untuk menyampaikan materi pelajaran serta feedback pembelajaran yang didapatkan pendidik ataupun peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, komponen instruksional tersebut memiliki fungsi atau peranan tersendiri. Untuk menentukan keberhasilan tujuan pendidikan dalam
mengubah
perilaku
peserta
didik,
dengan
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan seseorang mengenai suatu hal sehingga ia menguasainya. 2. Kegiatan Belajar dan Pembelajaran Kegiatan pembelajaran terdiri dari komponen-komponen program kegiatan belajar-mengajar yang saling berhubungan, dan berinteraksi satu sama lain, serta memuat langkah-langkah pelaksanaannya untuk mencapai tujuan atau kompetensi. Pembelajaran merupakan proses yang terdiri dari kegiatan mengajar dan belajar. Istilah pembelajaran menunjukkan adanya usaha peserta didik untuk mempelajari bahan pelajaran sebagai akibat perlakuan guru” (Sanjaya, 2006: 102). ”Belajar juga merupakan proses atau aktivitas mental yang tidak dapat dilihat kecuali gejala-gejalanya saja yang tampak dari luar sebagai akibat interaksinya dengan lingkungan sekitarnya” (Sanjaya, 2006: 112) . Komponen program pembelajaran mencakup kompetensi dasar, materi standar, metode dan teknik, media dan sumber belajar, waktu belajar dan daya dukung lainnya. Menurut Suprihadi Saputro (2000: 12), pelaksanaan pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena ada
7
interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam kelas dan di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran. Peran utama guru di sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Menurut Mulyasa (2006: 255) pada umumnya pelaksanaan proses pembelajaran meliputi tiga kegiatan yaitu 1) kegiatan awal, 2) kegiatan inti, dan 3) kegiatan penutup. Kegiatan awal merupakan kegiatan membuka pelajaran, biasanya diisi dengan mengemukakan hal-hal yang menarik perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, pemberian pre tes atau penyampaian informasi awal. Kegiatan inti berupa kegiatan belajar mengajar di sekolah dalam rangka pembentukan kompetensi peserta didik dan merealisasikan tujuan belajar.
Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri
aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau simpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut yang akan dilakukan. Keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh beberapa faktor, seperti guru, sarana pembelajaran, dan metode pembelajaran. Menurut Martinis Yamin (2007: 139) metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran dapat berupa ceramah, tanya jawab, diskusi, studi mandiri, simulasi, studi kasus, praktikum, proyek, bermain peran, seminar, demonstrasi, tutorial, pemecahan masalah dan sebagainya. Pemilihan metode disesuaikan dengan kemampuan yang ingin dicapai seperti pada indikator yang telah ditetapkan. Sarana pembelajaran penting dalam pembelajaran,tetapi yang paling mendasar dalam pembelajaran adalah adanya interaksi sosial atau komunikasi yang
efektif antara guru dan siswa. Komunikasi selama
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dapat menggunakan alat bantu berupa media pembelajaran. Menurut Lenshin, Pollock & Reigeluth yang
dikutip oleh Azhar Arsyad (2002:36) salah satu adalah media berbasis manusia (guru, instruktur, tutor, main-peran, kegiatan kelompok, fiel-trip). Jadi, media tidak harus berupa alat, tetapi dapat berupa manusia. Proses pembelajaran merupakan proses interaksi antara guru dan siswa dalam desain instruksional, sehingga kegiatan belajar meruapakan suatu proses perubahan tingkah laku atau aktivitas peserta didik dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari diri individu yang sedang belajar, yang menyangkut keseluruhan dirinya, baik kondisi fisik maupun psikisnya. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri individu yang sedang belajar, yang menyangkut kondisi alam sosial budaya, baik perangkat yang bersifat lunak maupun keras, yang meliputi guru, metode mengajar, kurikulum, program, materi pelajaran serta sarana prasarana. Dari
pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
proses
pembelajaran dapat berjalan lancar, apabila faktor-faktor diri anak baik internal maupun eksternal dapat dikembangkan secara optimal. Berkaitan dengan banyaknya faktor yang mempengaruhi proses belajar, guru perlu memilih berbagai model pembelajaran sesuai dengan kondisi siswa. 3. Tunagrahita Ringan Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut anak tunagrahita dengan kondisi kecerdasan di bawah rata-rata, misalnya lemah otak, lemah ingatan atau lemah psikis namun sesuai perkembngan pendidikan istilah penyebutan tersebut semakin diperhalus dari lemah otak menjadi tuna mental dan saat ini disebut tunagrahita. Bandi Delpie (2006: 17) memberikan definisi bahwa individu dianggap mental retardation jika memenuhi dua kriteria, yaitu keterbelakangan atau kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan kekurangan penyesuaian diri dengan lingkungannya diukur dengan taraf usianya. Keterbelakangan tersebut meliputi komunikasi, menolong diri
9
sendiri, keterampilan kehidupan di keluarga, keterampilan social, kebiasaan di masyarakat, pengarahan diri, menjaga kesehatan dan keamanan diri, akdemik fungsional, waktu luang dan kerja. Menurut AAMD (American Association On Mental Deficiency) (Moh. Amin, 1995: 22-24), terdapat klasifikasi anak tunagrahita sebagai berikut: a. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik) Memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar 50-70, mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian social dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan semi terampil dan pekerjaan sederhana. b. Tunagrahita Sedang (Mampu Latih) Tingkat kecerdasan IQ berkisar 30-50 dapat belajar keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan keterampilan mengurus dirinya sendiri (self –help), mampu mengadakan adaptasi social dilingkungan terdekat, mampu mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan. c. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat) Tingkat kecerdasan mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana dan penyesuaian diri dengan lingkungan sangat terbatas. Oleh karena itu, tunagrahita ringan yang disebut juga anak mampu didik ini setingkat mild, borderly, marginally dependent, moron atau debil. Dalam kelompok ini anak tunagrahita memiliki IQ antara 50/55 – 70/75 (Mumpuniarti, 2006: 31). Anak tunagrahita mampu didik adalah anak yang memliki intelegensi setingkat lebih rendah daripada anak lamban belajar yang memiliki IQ antara 50 sampai 70.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang memiliki IQ antara 50 sampai 70, yang masih mempunyai potensi berkembang dalam potensi akademik di sekolah sehingga masih dapat dididik dan diberi keterampilan untuk bekal hidupnya sehari – hari, kemampuan tersebut adalah kemampuan membaca dasar, menulis dan berhitung secara sederhana. Pendapat lain mengenai karakteristik anak tuna grahita ini adalah Anam (1986: 88 – 89 ) : a. Penampilan fisiknya tidak banyak berbeda dengan anak normal lainnya b. Daya pikirnya cukup mampu menyertai tingkah lakunya c. Daya fantasi, kemampuan abstraksi masih mampu mendukung diperolehnya kecakapan – kecakapan tertentu d. Masih mampu mendapatkan prestasi akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung e. Dapat dibentuk sebagai pribadi yang mandiri f. Lebih banyak mengalami permasalahan sosial, harga diri, sikap, dan penyesuaian g. Sugestif, mudah dibujuk, kurang pegangan moral Karakteristik
kemampuan
akademik
anak
tunagrahita
yang
menonjol adalah fungsi kognitifnya. Mereka dapat mengalami ketinggalan kelas 2 atau 5 tingkat dibandingkan anak-anak normal lainnya, terutama pada kemampuan bahasa (Suharmini, 2009: 43). Kognitif seseorang dapat berkembang melalui kegiatan belajar. Anak tunagrahita ringan mengalami hambatan dalam belajar karena mereka memiliki kelemahan, gangguan atau hambatan dalam proses mengingat. Anita E. Woolfolk dan Lorrance MC. Cune-Nicolich (2004: 623) mengatakan, bahwa karakteristik anak terbelakang mental ringan di antaranya: a. Dapat
mengembangkan
kepandaian
sosial
dan
komunikasi,
keterbelakangan minimal pada wilayah sensori motoris, sering kali tidak berbeda dengan anak normal umum selanjutnya.
11
b. Dapat mempelajari kepandaian akademis hingga sekitar tingkat kelas enam Sekolah Dasar pada akhir remaja sehingga dapat dibimbing pada kenyamanan selanjutnya. c. “Dapat dididik” biasanya dapat memiliki cukup kepandaian sosial dan kejujuran untuk mendorong diri minimal namun akan memerlukan bimbingan dan bantuan ketika di bawah tekanan sosial dan ekonomi yang luar biasa. Berdasarkan berbagai penjelasan tentang karakteristik anak tunagrahita ringan di atas, dapat dikatakan bahwa anak tunagrahita ringan secara akademik pun dapat dikembangkan. Kemampuan kognitif anak tunagrahita mengalami ketinggalan kelas 2 atau 5 tingkat dibandingkan anak-anak normal lainnya, terutama pada kemampuan bahasa, sehingga anak usia 8 tahun mempunyai usia mental seperti anak usia 4 tahun pada anak normal. Pada usia 4 -6 tahun ini anak sangat peka dan mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya perkembangan seluruh potensi anak masa ini biasa disebut masa peka. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi – fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi. Masa ini merupakan masa yang paling
baik
untuk
meletakkan
dasar
–
dasar
pertama
dalam
mengembangkan kemampuan fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral dan nilai – nilai keagamaan. Masa ini juga disebut masa emas. Oleh karena itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan agar pertumbuhan dan perkembangan anak dapat optimal. Dunia anak pada usia 4 – 6 tahun adalah bermain maka upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain. Dengan bermain anak mendapatkan kegembiraan dan memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, berekspresi, berkreasi. Sehingga dengan bermain anak dapat mengenal dirinya sendiri dan orang lain beserta lingkungannya. Anak Tuna grahita kebanyakan sangat menyenangi kegiatan –
kegiatan yang melibatkan diri anak langsung dan anak akan gembira bila mendapat pengalaman langsung dalam hidupnya. Pembelajaran
pada
anak
tunagrahita
ringan
hendaknya
memperhatikan prinsip-prinsip berikut (Mumpuniarti, 2007): a. Prinsip pendidikan berbasis kebutuhan individu, yaitu pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang siswa. Pembelajaran lebih menekankan pada kemampuan anak terhadap pemenuhan jangka pendeknya. b. Prinsip analisi penerapan tingkah laku, yaitu setiap tugas bimbingan diurai menjadi langkah demi langkah dengan target dan waktu yang jelas. c. Prinsip relevan dengan kehidupan sehari-hari, yaitu pengajaran hendaknya mampu meningkatkan keterampilan anak didik untuk mengoptimalkan
kemandirian
mereka,
fungsional
dan
bertanggungjawab kepada masyarakat. d. Prinsip berinteraksi maknawi secara terus menerus dengan keluaraga. Dalam hal ini, ada komunikasi antara guru/sekolah dengan keluarga siswa. e. Prinsip accelerating behavior, yaitu pembelajaran hendaknya mampu membangun kebiasaan positif dan membangun kemampuan.
4. Komunikasi dalam Pembelajaran Komunikasi dan pendidikan seolah telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan karena pendidikan tidak dapat berjalan tanpa adanya komunikasi.Jika
ditinjau
dari
prosesnya,
pendidikan
merupakan
komunikasi yang melibatkan beberapa komponen yang terdiri atas pendidik, peserta didik, materi pelajaran, media pembelajaran dan efek komunikasi. Komunikasi dalam pendidikan mempunyai peranan yang sangat
13
penting yakni untuk menentukan keberhasilan tujuan pendidikan. Tujuan dari pendidikan itu sendiri yakni meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang mengenai suatu hal sehingga ia menguasainya. Tujuan pendidikan akan tercapai apabila proses komunikasi belajar mengajar di dalam kelas terjadi secara komunikatif dengan kata lain terjalin komunikasi dua arah diman pendidik dan peserta didik dapat saling berkomunikasi atau berinteraksi. Dalam pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah, peran komunikasi sangat menonjol. Dalam komunikasi pendidikan, seluruh aspek-aspek komunikasi yang terlibat dapat terlihat jelas seperti pengajar atau guru bertindak sebagai komunikator, pesan berupa ilmu atau materi pelajaran, saluran yang digunakan berupa buku, papan tulis, dan lainlain.Sedangkan para siswa bertindak sebagai komunikan yang menerima pesan dari komunikator.Efeknya adalah siswa dapat menerima pesan yang disampaikan. Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, penyampaian pesan dari pengantar ke penerima. Pesan yang disampaikan berupa isi atau ajaran yang ditujukan kedalam symbol-simbol komunikasi, baik verbal (kata-kata dan tulisan) maupun non verbal. Proses ini dinamakan encoding. Penafsiran symbol-simbol komunikasi tersebut oleh siswa dinamakan decoding (Naim, 2011: 28). Komunikasi dalam kegiatan pembelajaran harus memperhatikan psikologi peserta didik. Di dalam kajian komunikasi psikologi, seperti pendapat Naim di atas, komunikasi meliputi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata yang disimbolkan dengan bahasa. Komunikasi nonverbal secara sederhana dapat dimaknai sebagai komunikasi tanpa menggunakan kata-kata. Istilah non verbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata yang terucap ataupun tertulis.
Erving
Goffman (dalam Mulyana, 2001) menjelaskan bahwa meskipun seseorang berhenti berbicara namun ia tidak berhenti berkomunikasi melalui idiom tubuh. Komunikasi nonverbal yang sering dilakukan antara lain: menggeleng untuk menyatakan tidak, mengangguk untuk menyatakan ya, melambaikan tangan sebagai pelengkap ketika menyapa seseorang atau ketika mengucapkan selamat tinggal, mengerutkan dahi sebagai tanda bahwa seseorang bingung, dan volume suara yang keras ketika marah. Pemahaman audiens terhadap komunikasi nonverbal tidak lepas dari persepsi interpersonal yaitu pemberian makna pada sesuatu objek, dalam hal ini manusia. Dalam bahasa sehari-hari, persepsi interpersonal dapat dipahami sebagai pandangan terhadap orang lain. Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sebagai
bentuk
komunikasi,
komunikasi
nonverbal
juga
mengandung pesan. Duncan (dalam Rakhmat, 1998:289) menyebutkan terdapat enam jenis pesan nonverbal: (1) kinesik atau gerak tubuh (2) paralinguistik atau suara (3) proksemik atau penggunaan ruangan personal dan social (4) olfaksi atau penciuman (5) sensitivitas kulit (6) factor artifaktual seperti pakaian, kosmetik, dan lain sebagainya. Menurut klasifikasi Leathers, dengan sedikit perubahan, ia membagi pesan nonverbal ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pesan nonverbal visual meliputi: kinesik, proksemik, dan artifaktual; pesan nonverbal auditif, terdiri dari pesan paralinguistic; dan pesan nonverbal nonvisual nonauditif yang artinya tidak terdengar tidak terlihat dan tidak berupa kata-kata, yaitu: sentuhan dan penciuman. Komunikasi non verbal
menjadi bagian dari komunikasi
pembelajaran yang tidak terpisahkan. Prozesky (2000: 45) menyebutkan sejumlah aspek komunikasi non verbal dalam kegiatan pembelajaran yaitu
15
kontak tubuh, cara berjalan,
gerakan tangan, suara,
gerakan kepala,
gerakan mata, kedekatan, penampilan, wajah, dan postur tubuh.
(Gambar 1, Sumber: Prozesky, D.R. 2000. Communication and Effective Teaching. Community Eye Health Vol 13 No. 35 page 44-45) Pemahaman tentang komunikasi nonverbal sangat dibutuhkan dalam menerapkan komunikasi efektif dalam pembelajaran.
Terkait
dengan komunikasi pembelajaran, Hunt, Wisemen, and Touzel dalam bukunya Effective Teaching: Preparation and Implementations (2009: 7980), mengemukakan: “Communication is an evolving process, not a set of isolated events. As such, it involves a number of key elements necessary to make it effective. In the classic model of the communication process, three key elements are identified: source, message, and destination. Communication must have a beginning point of origin, a message to be sent, and an ending or receiving point. The message, in the traditional sense represented by subject matter to be taught, is sent to its destination, the students of the classroom, by the source, the teacher. The medium by which the message is the sent is referred to as language or symbols.” Pendekatan komunikasi nonverbal menjadi bagian tak terpisahkan dari pengajaran yang efektif, yang juga mengungkapkan bahwa kedekatan nonverbal yang positif berkorelasi dengan pengajaran yang efektif. Guru
dan siswa Amerika percaya bahwa' menyentuh' adalah variabel penting dalam menentukan pengajaran yang efektif. Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap perilaku kedekatan nonverbal berbeda antar budaya, penggunaan pendekatan non verbal dalam pengajaran yang efektif dianggap sangat diperlukan oleh guru dan siswa (Özmen, 2011: 876). Pendekatan non verbal tampak dari perilaku non verbal yang dikemukakan Richmond and McCroskey (Özmen, 2011: 867) berikut. BEHAVIORS
Physical Proximity
A teacher displaying nonverbal immediacy:
a. Moves closer when talking to another b. Stands closer to a person when talking to them c. Sits closer to a person when talking to them
Body Orientation
Touch
Leans forward when talking with another
a. Touch on the hand, forearm, shoulder when talking to another b. Patting the shoulder of another when talking to them
Eye Contact
a. Eye contact with the group as a whole when talking to them b. Eye contact with individuals when talking to them c. Looking in the general direction of another when talking to them
17
Smiling
a. Face is animated when talking to another b. Smiles when talking to another
Body Movement&
a. Nods head when talking with another
Gestures
b. Use hands and arms to gesture when talking to another c. Calmly moves body around when talking with another
Body Posture
Body posture is relaxed when talking with another
Vocal Expressiveness
a. Changes in pitch and tempo of voice when talking to another b. Short pauses when talking to another c. Relaxed tones when talking to another
(Tabel 1, Gambaran perilaku nonverbal guru) Osakwe (2009: 60) menyebutkan bahwa sikap, pengetahuan dasar, dan keterampilan berkomunikasi adalah signifikan dan menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas interaksi belajar mengajar di dalam kelas. Dalam setiap pembelajaran, guru dituntut menunjukkan sikap positifnya yang tercermin dalam komunikasi verbal ataupun non verbal. Selama proses komunikasi berlangsung dalam suatu pembelajaran, terdapat unsur-unsur yang memiliki peranan penting yaitu pendidik sebagai sumber informasi (source), informasi yang akan disampaikan sebagai pesan (message), dimana pesan yang disampaikan berupa bahasa atau simbol dan peserta didik sebagai penerima informasi (destination atau receiver).
Pada umumnya pendidikan berlangsung secara terencana di dalam kelas secara tatap muka (face to face), sehingga jelas peran komunikasi sangat menonjol. Proses belajar mengajarnya sebagian besar terjadi karena adanya komunikasi, baik komunikasi intrapersona maupun secara antarpersona. Komunikasi secara intrapersona adalah komunikasi yang terjadi pada diri seseorang, tampak pada kejadian berpikir, mempersepsi, mengingat, dan mengindra. Sedangkan komunikasi antarpersona adalah bentuk komunikasi yang berproses dari adanya ide atau gagasan informasi seseorang kepada orang lain (Yusuf, 2010: 52). Oleh karena itu, komunikasi pendidikan merupakan sebuah proses dan kegiatan komunikasi yang dirancang secara khusus untuk tujuan meningkatkan nilai tambah bagi pihak sasaran, yang sebenarnya dalam banyak hal adalah untuk meningkatkan literasi pada banyak bidang yang bernuansa teknologi, komunikasi, dan informasi (Yusuf, 2010: 2). Komunikasi dalam pembelajaran pada dasarnya menjadi penentu keberhasilan pembelajaran. Kunci utama komunikasi di dalam kelas terletak pada pendidik sebagai komunikator. Seorang pendidik hendaklah harus mampu menciptakan suasana belajar yang komunikatif dan menguasai teknik serta prinsip komunikasi dengan baik, agar apa yang disampaikan berdampak pada hasil pembelajaran yang optimal. Selain itu, keberhasilan pembelajaran juga ditentukan oleh keberadaan peserta didik sebagai komunikan. Oleh karena itu, terdapat suatu dimensi relasi antara antara pendidik dan peserta didik. Karena di sekolah, pendidik dan peserta didik merupakan pelaku utama dalam proses pembelajaran. Keduanya menjalankan peran penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Richmond et.al., (2009) komunikasi pembelajaran dirumuskan sebagai “proses dimana pendidik membangun relasi komunikasi yang efektif dan afektif dengan peserta didik sehingga peserta didik berkesempatan meraih
19
keberhasilan maksimal dalam pembelajaran”. Komunikasi yang efektif artinya pendidik dan peserta didik samasama
memahami
apa
yang
dikomunikasikan,
dan
bagaimana
mengkomunikasikannya. Selain itu, pendidik dan peserta didik saling memahami sejauh mana kinerjanya dalam pembelajaran. Sedangkan komunikasi afektif bertujuan membangun keadaan saling memahami perasaan antara pendidik dan peserta didik terhadap proses komunikasi dan apa yang sedang dibelajarkan (Iriantara dan Usep, 2013: 74). Oleh sebab itu, peran antara pendidik dan peserta didik sangatlah besar dalam menentukan keberhasilan komunikasi efektif dalam proses pembelajaran. Namun yang perlu diperhatikan adalah komunikasi efektif bukan sekedar proses transfer pengetahuan saja, melainkan juga proses komunikasi antara pendidik dan peserta didik didalam ataupun diluar kelas. a. Komunikasi Instruksional Komunikasi mampu menyentuh segala aspek kehidupan manusia, begitupun dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan.Oleh karena itu, dikenal dengan adanya komunikasi pendidikan yang memiliki sub bidang yakni komunikasi instruksional. Pawit M.Yusuf dalam bukunya Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktik (2010: 2) menyatakan bahwa komunikasi instruksional lebih merupakan bagian kecil dari komunikasi pendidikan. Ia merupakan proses komunikasi yang dipola dan dirancang secara khusus untuk mengubah perilaku sasaran dalam komunitas tertentu ke arah yang lebih baik. Istilah instruksional berasal dari kata instruction, yang berarti pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah. Namun dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan sebagai perintah melainkan pengajaran. Istilah pengajaran lebih bermakna pemberian
ajar. Mengajar berarti memindahkan sebagian pengetahuan pendidik kepada murud-muridnya. Pengajar atau pendidik di anggap sebagai seorang yang serba bisa, serba mengetahui, serta di anggap sebagai satu-satunya sumber belajar. Di dalam kelas proses tansfer ilmu atau pengetahuan pendidik kepada peserta didik berlangsung hanya beberapa jam saja. Dalam kegiatan tersebut, proses instruksional berlangsung. Untuk lebih memahami pengertian mengenai komunikasi instruksional, terdapat beberapa contoh turunan dalam komunikasi isntruksional yaitu: i. Komunikasi yang berlangsung dalam suasana kerumunan dapat terjadi suatu komunikasi yang tidak terkendali atau tidak beraturan namun jenis komunikasi ini bersifat netral, artinya tidak memiliki maksud-maksud tertentu secara khusus. ii. Disamping itu, terdapat komunikasi yang dapat terjadi dalam suasana tertentu seperti
suasana
pendidikan
dimana
kondisi yang tercipta tidak lagi bebas, melainkan terkendali dan dikondisikan untuk
tujuan-tujuan
pendidikan.
Komunikasi pendidikan dirancang khusus untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan, yaitu dalam rangka untuk mendewasakan anak manusia supaya hidup mandiri dikemudian hari. iii. Turunan
yang
lebih
sempit
dari
komunikasi pendidikan yaitu komunikasi
21
instruksional
dimana
situasi
kondisi,
lingkungan, metode dan termasuk bahasa yang digunakan oleh komunikator sengaja dipersiapkan
secara
khusus
untuk
mencapai efek perubahan perilaku pada diri sasaran. (Yusuf, 2010: 4) Dalam proses transfer ilmu atau kegitan belajar mengajar di dalam kelas, melibatkan beberapa komponen atau unsur, yaitu murid (peserta didik), pendidik, isi pelajaran, media, dan evaluasi. Tujuan dari pembelajaran tersebut adalah perubahan sikap dan tingkah laku yang positif dari peserta didik setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, komponen-komponen tersebut harus mampu melaksanakan fungsi dan peranan masing-masing. Pada dasarnya komunikasi instruksional merupakan bentuk komunikasi yang digunakan selama proses pembelajaran di dalam kelas. Oleh karena itu, komunikasi instruksional memiliki fungsi edukatif, yang bertugas untuk mengelola proses-proses komunikasi yang secara khusus dirancang untuk tujuan memberikan nilai tambah bagi pihak sasaran, atau setidaknya untuk memberikan perubahanperubahan dalam kognisis, afeksi, dan konasi atau psikomotor di kalangan masyarakat khususnya yang sudah dikelompokkan ke dalam ranah sasaran pada komunikasi instruksional (Yusuf, 2010: 10). Berhasil tidaknya tujuan instruksional khususnya dalam perubahan perilaku pihak sasaran (komunikan), ditentukan pula oleh bagaiamana proses instruksional tersebut berlangsung. Lebih-lebih apabila kegiatan instruksional juga memanfaatkan jasa teknologi, seperti teknologi instruksional dan media instruksional. Namun seringkali
dalam
hambatan-hambatan
proses
komunikasi
komunikatif
yang
instruksional mampu
ditemukan
mempengaruhi
kelancaran kegiatan instruksional. Hambatan-hambatan tersebut dapat berasal dari berbagai pihak, seperti pihak komunikator, komunikan, atau sasaran pada umumnya. Artinya
semua
komponen
komunikasi
berpeluang
mempengaruhi keberhasilan instruksional. Seperti yang dikemukakan Pawit M. Yususf dalam bukunya “Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek (2010: 194), hambatan-hambatan tersebut, yaitu: 1) Hambatan pada sumber Sumber disini adalah pihak penggagas, komunikator, dan juga termasuk pendidik. Seorang komunikator adalah seorang pemimpin,
manajer,
dan
organisator,
setidaknya
mampu
mengelola informasi yang sedang disampaikan kepada orang lain. Tanpa pengelolaan maka informasi yang disampaikan tidak bia diterima secara efektif oleh pihak sasaran. Beberapa kemungkinan kesalahan yang bisa terjadi pada pihak sumber adalah masalah penggunaan bahasa, perbedaan pengalaman, keahlian, kondisi mental, sikap, dan penampilan fisik. Penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan kondisi sasaran (komunikan), misal terlalu tinggi atau bertele-tele maka akan menghambat penerimaan informasi kepada sasaran. Hambatan yang disebabkan oleh faktor bahasa disebut hambatan semantik. Mengajar peserta didik SD dengan menggunakan bahasa yang “canggih” tentunya tidak akan dipahami dengan baik oleh peserta didik, begitupun ketika mengajar peserta didik tunagrahita yang notabene memiliki kelemahan dalam pengetahuan atau mata pelajaran tentu seorang pendidik (komunikator) harus memahami betul kondisi peserta didiknya dengan selalu menyampaikan pesan dengan bahasa yang sederhana dan berulang-ulang.
23
2) Hambatan pada Saluran Hambatan pada saluran bisa dikatakan juga sebagai hambatan media karena media berarti alat untuk menyampaikan pesan. Gangguan seperti ini disebut dengan noise. Namun hambatan-hambatan secara teknis tersebut biasanya diluar kemampuan komunikator. Seorang komunikator (pendidik) harus melakukan persiapan dalam menentukan atau memilih media yang akan digunakannya. Selain faktor media yang berpeluang tidak beres, yang sangat penting adalah faktor isi pesan atau informasi yang menggunakan media harus benar karena penyusunan pesan yang keliru dapat berakibat fatal dalam kegiatan instruksional. Yang juga tak kalah pentingnya adalah pemilihan media harus tepat dengan memperhatikan kesesuaiannya untuk kegiatan instruksional yang sedang dijalankan. Bukan hanya itu saja seorang pendidik pun juga harus mampu memahami bagaimana cara penggunaan media tersebut dalam proses instruksional, guna penjelasan kepada peserta didik.
3) Hambatan pada Komunikan atau Sasaran Komunikan yang dimaksud adalah orang yang menerima pesan atau informasi dari komunikator, misal audiens, peserta didik, mahasiswa dan sekelompok orang tertentu yang siap menerima sejumlah informasi dari komunikator. Hambatanhambatan tersebut dapat berkaitan dengan masalah fisiologi dan psikologi. Yang pertama berkaitan dengan masalah fisiologi atau masalah-masalah fisik dengan segala jenis kebutuhan biologisnya seperti kondisi indra, lapar, kurang istirahat dan haus. Sedangkan
yang kedua berkaitan dengan masalah kejiwaan seperti kemampuan dan kecerdasan, minat dan bakat, motivasi dan perhatian, sensasi dan persepsi, ingatan, retensi, dan lupa, kemampuan mentransfer dan berpikir kognitif. Namun beberapa ciri khas tertentu, baik dari aspek fisiologis maupun dari aspek psikologis, mempunyai potensi keunggulan dan kemampuan yang berbeda setiap manusia, dan hal tersebut ada kaitannya dengan kemampuan belajarnya. Terutama peserta didik tunagrahita yang memiliki kelemahan dalam hal kognitif. Hambatan komunikasi dapat juga diklasifikasikan menjadi hambatan semantik, hambatan sosiospikologis dan hambatan fisik (Lunenburg, F.C. 2010: 2). Hambatan semantik terjadi ketika katakata yang dipilih, yang digunakan menggunakannya, dan makna yang disampaikan kepada audiens menyebabkan banyak hambatan komunikasi. Kata yang sama mungkin berarti hal yang berbeda untuk orang yang berbeda. Hambatan psikologis dan sosial meliputi bidang pengalaman, penyaringan, dan jarak psikologis (Lunenburg, F.C. 2010: 3). Bidang pengalaman termasuk latar belakang masyarakat, persepsi, nilai-nilai, kebutuhan, dan harapan. Pengirim dapat mengkodekan dan penerima menerjemahkan pesan hanya dalam konteks bidang pengalaman mereka. Ketika lapangan pengalaman pengirim tumpang tindih sangat sedikit dengan penerima, komunikasi menjadi sulit. Filtering berarti apa yang sering dilihat dan dengar adalah apa yang sering secara emosional disetel untuk melihat dan mendengar. Penyaringan disebabkan oleh kebutuhan dan kepentingan sendiri. Hambatan psikososial sering melibatkan jarak psikologis antara orang-orang yang mirip dengan jarak fisik yang sebenarnya. Sebagai
25
contoh, rasa benci atau ketidaksukaan menjadikan komunikasi tidak efektif (Lunenburg, F.C. 2010: 4). Keberhasilan komunikasi instruksional dapat dilihat pad hasil belajar baik dalam aspek akademik ataupun dilihat dari sikap, terutama motivasi dalam diri siswa (Sakarneh dan Nair, 2014: 29). Guru yang efektif adalah guru yang berminat pada partisipasi di sekolah dan di masyarakat di sekitar sekolah, mampu mengetahui kebutuhan siswa dan mendukung perbedaan individu, memiliki harapan yang tinggi, mendorong siswa untuk bersikap optimis tentang kemampuan mereka, mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, menggunakan
strategi
pengajaran
yang
berbeda,
memiliki
kemampuan komunikasi yang baik, cinta anak didiknya dan memiliki pengetahuan tentang materi pelajaran dan subjeknya (Sakarneh dan Nair, 2014: 30). Komunikasi dalam pembelajaran di kelas dapat efektif apabila tetap memperhatikan bentuk-bentuk unik ekspresi dan komunikasi tubuh. Manusia dapat saling berkomunikasi baik dengan bahasa formal ataupun tidak. Guru menjalin komunikasi dengan siswa berkebutuhan khusus di kelas harus dilakukan dapat memahami dan berkomunikasi dengan banyak cara dengan memaksimalkan sumber daya sensorik anak. Salah satu pendekatan ini adalah interaksi intensif, yang merupakan pendekatan untuk mengajar siswa dengan kesulitan belajar (Kerzman, B. & Smith, P., 2004: 234). b. Unsur-unsur Komunikasi Instruksional Komunikasi instruksional merupakan salah satu bidang komunikasi yang digunakan selama proses belajar mengajar di kelas guna mencapai tujuan pendidikan. Istilah instruksional dalam pendidikan di artikan sebagai pengajaran atau pelajaran. Selama berlangsungnya proses komunikasi instruksional di kelas, terdapat
beberapa komponen atau unsur yang terlibat didalamnya. Pada dasarnya unsur-unsur dalam komunikasi instruksional tersebut sama seperti proses komunikasi pada umumnya yang membedakan adalah konteks kondisi dan tempat komunikasi tersebut berlangsung. Proses komunikasi pada umumnya berkaitan dengan formula komunikasi yang di sampaikan oleh Harold Laswell yaitu Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Suprapto, 2009: 9) yang terdiri dari komunikator, pesan, saluran, komunikan, dan umpan balik (efek). Namun ketika formula komunikasi diterapkan dalam komunikasi instruksional di sekolah maka unsur-unsur tersebut, seperti yang dikutip dalam buku Sanjaya (2006: 51-59) yang berjudul “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”, meliputi : 1)
Komunikator
Komunikator merupakan pihak penyampai pesan. Dalam komunikasi instruksional, komunikatornya adalah guru atau pendidik. Pendidik dalam proses pembelajaran memegang peranan yang sangat penting bukan hanya berperan sebagai model atau teladan bagi peserta didik namun juga sebagai pengelola
pembelajaran
(manager
of
learning)
untuk
menentukan tingkat keefektifan proses komunikasi instruksional (pembelajaran). Menurut Dunkin (1974) ada sejumlah aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran di lihat dari unsur pendidik, yaitu (1) Teacher Formative Experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup pendidik yang menjadi latar belakang sosial mereka. (2) Teacher Training Experience, meliputi pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan pendidik. (3) Teacher Properties, adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, misalnya sikap pendidik terhadap peserta
27
didik,
kemampuan
pendidik
baik
dalam
pengelolaan
pembelajaran termasuk kemampuan merencanakan dan evaluasi pembelajaran maupun kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran. Penelitian
terhadap
komunikan
dilakukan
dengan
wawancara dan observasi untuk mengetahui kualitas komunikasi instruksional dalam proses pembelajaran terhadap komunikan. 2)
Pesan
Pesan merupakan suatu hal yang disampaikan komunikator kepada komunikan, dalam komunikasi instruksional yang menjadi pesan adalah materi pelajaran yang merupakan inti dari proses pembelajaran. Artinya proses pembelajaran diartikan sebagai proses penyampaian materi. Hal tersebut bisa dibenarkan manakala tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran (subject centered teaching). Oleh kerena itu, pendidik perlu memahami secara detail isi materi pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik, sebab peran dan tugas pendidik sebagai sumber belajar. Penelitian terhadap pesan dilakukan dengan observasi terkait dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh komunikator (pendidik) terhadap komunikan (peserta didik) berkebutuhan
khusus
di
dalam
kelas
guna
mengetahui
penguasaan materi pelajaran oleh komunikator serta pemahaman kurikulum khusus di Sekolah Luar Biasa Pembina Yogyakarta. 3)
Saluran
Saluran merupakan media atau sarana yang digunakan komunikator
untuk
menyampaikan
pesan
kepada
komunikan.Dalam komunikasi instruksional di sekolah, saluran atau media pembelajaran yang biasanya digunakan seperti buku,
papan tulis, media audio, dan lain-lain. Namun tidak menutup kemungkinan perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh peserta didik mampu menggeser tugas pendidik sebagai sumber belajar manjadi pengelola sumber belajar. Penelitian
terhadap
saluran
dilakukan
dengan
mengobservasi media yang digunakan oleh komunikan selama proses komunikasi instruksional berlangsung. 4)
Komunikan
Komunikan merupakan pihak penerima pesan.Dalam komunikasi instruksional, komunikannya adalah peserta didik. Menurut Dunkin (1974), peserta didik juga menjadi aspek penting dalam proses pembelajaran (komunikasi instruksional) yang meliputi aspek latar belakang peserta didik
(pupil
experiences) dan faktor sifat yang dimiliki peserta didik (pupil properties). Dalam penelitian ini,
dilakukan observasi terhadap
komunikan yang merupakan peserta didik berkebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa Pembina Yogyakarta.Observasi di lakukan untuk melihat respon saat komunikator melakukan komunikasi dengan komunikan. 5)
Efek
atau
umpan
balik
atau
evaluasi Merupakan dampak yang terjadi pada pihak komunikan atau sasaran setelah menerima pesan. Namun dalam hal ini bukan hanya berhubungan dengan bagaimana materi pelajaran yang telah diterima oleh peserta didik guna melihat tingkat keberhasilan peserta didik dalam proses pembelajaran, namun juga sebagai umpan balik bagi pendidik atas kinerjanya dalam pengelolaan
pembelajaran.
Penelitian
dilakukan
dengan
29
observasi dan dokumentasi hasil keterampilan yang dihasilkan oleh komunikan berkebutuhan khusus. Setiap unsur-unsur komunikasi instruksional memiliki andil besar dalam menentukan keberhasilan tujuan pendidikan. Namun apabila salah satu unsur tersebut tidak berfungsi dengan baik maka akan mempengaruhi komunikasi instruksional secara keseluruhan. Seperti halnya sekolah-sekolah reguler kadangkala masih ditemukan keseulitan dalam menerapkan unsur-unsur komunikasi instruksional dengan baik agar pembelajaran mampu berjalan dengan efektif. F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif,
dimana
pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memberikan penjelasanpenjelasan
(explanations),
mengontrol
gejala-gejala
komunikasi,
mengemukakan prediksi-prediksi, atau untuk menguji teori apapun, serta mengemukakan gambaran atau pemahaman (understanding), dalam hal ini mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi terkait dengan pelaksanaan komunikasi instruksional pendidik dan peserta didik tunagrahita di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Yogyakarta. Sedangkan metode yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus (case study), yakni bagian dari metode kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara mendalam dengan melibatkan pengumpulan
beraneka sumber informasi. Dalam
peneitian studio kasus ini, keseluruhan data dapat diperoleh melalui multi sumber informasi, seperti wawancara, observasi, berbagai dokumen, dan material audio-visual. Oleh karena itu, metode studi kasus digunakan guna memahami unsur-unsur komunikasi instruksional yang terlibat
dalam proses pembelajaran di kelas vocational pada Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Yogyakarta. 2. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah unsur-unsur komunikasi instruksional, sedangkan objek penelitian adalah Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina Yogyakarta dengan fokus penelitian yaitu unsurunsur yang terlibat dalam proses pembelajaran yakni pendidik, materi pelajaran, peserta didik, media pembelajaran, dan umpan balik. 3. Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data merupakan salah satu langkah penting dalam prosedur penelitian, data tersebut di analisis untuk membuat deskripsi dan inferensi penelitian. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Data primer, data yang diperoleh secara langsung dari observasi di lokasi penelitian dengan melakukan wawancara terhadap informan terkait. Dengan teknik ini diharapkan dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang kondisi empirik mengenai unsur-unsur komunikasi instruksional kelas vocational di sekolah luar biasa. Sementara itu, data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari kajian dokumen, pengumpulan literature atau pun karya karya tulis yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dan sifatnya mendukung data primer. Dalam mengumpulkan data penelitian, peneliti menggunakan beberapa teknik yakni: a) Observasi Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data mengenai pemahaman terhadap proses pembelajaran dalam melibatkan unsurunsur komunikasi instruksional di kelas dengan cara mengamati sendiri tentang proses pembelajaran di kelas, serta mengamati situasi lingkungan sekolah seperti gedung dan fasilitas-fasilitas penunjang proses pembelajaran keterampilan1. Data tersebut diperoleh dengan 1 Hasil observasi dapat dilihat pada halaman Lampiran
31
melakukan pengamatan dan pencatatan langsung pada objek penelitian. Oleh karena itu, peneliti mengamati secara langsung fonemena-fenomena dalam komunikasi instruksional antara pendidik dan peserta didik berkebutuhan khusus (tunagrahita) yang di lakukan di dalam kelas ataupun diluar kelas sehingga memperoleh data-data atau informasi yang diperlukan dalam penelitian.
b) Wawancara Teknik pengumpulan data dengan wawancara merupakan suatu teknik untuk memperoleh data melalui dialog langsung dengan subjek yang akan di amati. Dalam hal ini peneliti mengadakan wawancara mendalam dengan berbagai informan, yaitu pendidik2 dan peserta didik berkebutuhan khusus (tunagrahita)3 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Yogyakarta yang kemudian akan dituliskan penulis secara apa adanya sesuai dengan hasil wawancara 4. Dalam penelitian ini, bentuk wawancara yang dilaksanakan adalah wawancara terstruktur, artinya bahwa peneliti sebagai pewawancara sudah
mempersiapkan
Wawancara
dilakukan
lembar untuk
wawancara mengungkap
terlebih
dahulu.
mengenai
proses
komunikasi intruksional dalam pembelajaran keterampilan dan unsur-unsur
komunikasi
intruksional
yang
terlibat
dalam
pembelajaran tersebut.
c) Dokumentasi5
Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk 2 Daftar Informan Pendidik dapat dilihat pada bab III, halaman 69 3 Daftar Informan Peserta Didik dapat dilihat pada bab III, halaman 56 4 Hasil wawancara dapat dilihat pada halaman Lampiran 5 Hasil dokumentasi dapat dilihat pada halaman Lampiran
memperoleh data mengenai dokumen-dokumen meliputi data sekolah mengenai sejarah, struktur organisasi dan data-data pendukung lainnya seperti foto, video selama proses komunikasi instruksional berlangsung yang kemudian dianalisis dengan hasil wawancara
dan
observasi.
Dokumentasi
digunakan
dalam
mengumpulkan data yang tidak dapat diperoleh melalui teknik observasi maupun teknik wawancara dengan maksud sebagai penguat atau pelengkap dokumen atau data-data dari hasil penelitian sebelumnya melalui observasi dan wawancara, salah satunya adalah menggandakan arsip yang ada berupa profil sekolah. 4. Analisis Data Teknik analisis data merupakan tahap kedua dalam melakukan penelitian setelah mengumpulkan data. Teknik analisis ini dimulai dari hasil observasi, wawancara, serta kajian dokumen yang dianalisis dan ditafsirkan kemudian disajikan dalam sekumpulan informasi penelitian hingga
dapat
menghasilkan
kesimpulan
sebagai
jawaban
dari
permasalahan yang sedang diteliti. Oleh karena itu, analisis dilakukan pada data-data yang diperoleh selama observasi dan wawancara mengenai beberapa hal sebagai berikut; (a) Proses pembelajaran keterampilan, hal ini untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran keterampilan berlangsung di dalam kelas keterampilan. (b) Unsur-unsur komunikasi instruksional yang terlibat didalam kelas guna mendukung proses komunikasi instruksional pada pembelajaran keterampilan. (c) Hambatan-hambatan yang terjadi selama pembelajaran berlangsung. Setelah data yang diperlukan dalam penelitian unsur-unsur komunikasi instruksional pada kelas vocational di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Pembina Yogyakarta diperoleh, kemudian data tersebut dianalisis untuk menemukan hasil penelitian yang dituangkan dalam
33
bentuk kata-kata sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai jawaban dari pertanyaan yang sedang diteliti.