BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan di komunitas masih sangat kompleks, pengaruh kualitas pelayanan kesehatan di komunitas sangat besar peranannya. Hal tersebut menuntut peran besar dari seorang dokter layanan primer dalam memberikan kualitas pelayanan kesehatan serta didukung oleh sarana prasarana fasilitas kesehatan yang baik dalam rangka mewujudkan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat di suatu negara juga akan meningkat (Kemkes, 2015). Seperti digambarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Green (2001) bahwa dalam 1000 populasi berisikodi Amerika, kurang dari satu orang yang pada akhirnya dirawat di rumah sakit pendidikan dan justru 113 orang mendapatkan pelayanan kesehatan di layanan primer. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa masalah kesehatan memang lebih banyak terdapat dan dimulai dari suatu komunitas,
sehingga perlu kuatnya
layanan kesehatan primer. Oleh karena itu, peran dokter keluarga di layanan primer atau yang dikenal dengan community setting sangat penting karena 90% masalah kesehatan terdapat di komunitas. Peranan dokter keluarga dalam memberikan pelayanan berbasis pada individu dan berorientasi pada keluarga dan masyarakat serta melakukan promosi dan prevensi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan telah dibicarakan bersama dengan masyarakat atau komunitas merupakan karakteristik, prinsip dan kompetensi inti dari dokter keluarga (The Caribbean College of Family Physicians, 2016; WONCA, 2011). Dokter keluarga juga memiliki pemahaman dan apresiasi dari kondisi manusia, terutama perjalanan alamiah penyakit dan respon pasien terhadap penyakit. Mereka menyadari akan keterbatasan dan ketajamandalam mengenali saat masalah pribadi mereka sendiri yang akan mengganggu perawatan secara efektif. Dokter keluarga menghormati privasi pasien. Hubungan pasien-dokter memiliki kualitas untuk bersama-sama berkomitmen bersama demi kesejahteraan pasien serta komitmen tersebut dapat ditinda lanjuti, selalu melakukan perawatan yang kontinyu untuk membangun hubungan pasien-dokteruntuk mempromosikan perlunya terdapat suatu interaksi untuk suatu kesembuhan. Seiring dengan waktu, seorang dokter keluarga dapat 1
2
berperan serta dalam memberikan saran pada pasien dan keluarga untuk mengambil suatu keputusan bagi masalah kesehatan mereka (The College of Family Physicians of Canada, 1996). Dokter keluarga sangat berperan utama dalam integrasi dan koordinasi perawatan pasien dan keluarganya (Samim & Waleed, 2005). Oleh karena itu, kemampuan komunikasi ini merupakan core competence dokter keluarga sebagai manager resources saat kontak pertama dengan masalah kesehatan di komunitas (Mc Whinney, 1997).Dokter keluarga dapat membuat suatu laporan penanganan pasiennya secara baik melalui keberhasilan komunikasi edukasi dan konseling pada pasiennya.Qureshy dalam suatu penelitiannya mengemukakan bahwa peningkatan konseling dan edukasi pada pasien dapat meningkatkan kepatuhan. Peran kemampuan berkomunikasi lebih digunakan secara efektif untuk kepuasan pasien saat mereka berkonsultasi dengan dokter keluarganya (Qureshy, 1998). Pentingnya dokter keluarga melakukan ketrampilan komunikasi yang berpusat pada pasienagar mereka lebih peka, trampil dan melakukan penanganan yang tepat pada suatu penyakit. Mereka lebih menunjukkan pemahaman akan perjalanan alamiah penyakit dan dampak penyakit tersebut bagi kualitas hidup pasiennya kelak sehingga dapat membangun suatu hubungan baik dengan pasien dan keluarga serta komunitas dalam menyelesaikan masalah kesehatan (The College of Family Physicians of Canada, 1996).Pendidikan dan konseling pasien tidak mungkin dapat optimal penjangkauannya pada tingkat pemahaman pasien bila hanya komunikasi searah dan tidak terjadi suatu dialog antara pasien dengan dokternya (Claramita, et al., 2013). Beberapa penilitian mengenai komunikasi di seluruh dunia mengemukakan bahwa kemampuan berkomunikasi secara baik dapat meningkatkan hubungan dokter-pasien dan terkait dengan hasil positif bagi kesehatan pasien, seperti meningkatkan kepatuhan dan kepuasan pasien selama menjalani suatu perawatan serta bermanfaat untuk kesehatan fisik dan psikologis (Kevin et al., 2006).Pentingnya suatu kemampuanberkomunikasi mendorong berbagai organisasi profesi dokter maupun organisasi pendidikan dokter di tingkat dunia seperti World Federation of Medical Education (WFME) dan General Medical Council (GMC) untuk menetapkan kemampuan komunikasi sebagai suatu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang dokter (Duffy et al., 2004). Association of American Medical Colleges (AAMC) juga mendorong ketrampilan komunikasi menjadi salah satu bagian dari pembelajaran kedokteran (Kevin et al., 2006).
3
Kemampuan komunikasi berkembang bukan sekedar dari sebuah pengalaman. Telah banyak penelitian berhasil membuktikan bahwaketrampilan komunikasi yang baik diperoleh dari sebuah proses belajar yang khusus (Kurtz et al., 2005). Kemampuan komunikasi lebih baik diajarkan secara experiental learning (Aspergen, 1999).Pembelajaran di komunitas dapat memberikan suatu gambaran kepada mahasiswa mengenai masih kompleksnya masalah kesehatan, masalah lingkungan dan masalah sosial di komunitas, perlunya bekerja sama dengan masyarakat melalui model pendidikan komunitas yang tepat untuk mendidik masyarakat dengan pemberdayaan mahasiswa (Flicker, 2007). Feletty (2000) menyatakan bahwa suatu observasi di komunitas merupakan wahana untuk memahami masalah di komunitas. Mahasiswa dapat mengasah kemampuan berkomunikasi untuk lebih mengenal permasalahan. Pada kegiatan ini mahasiswa juga mendapat suatu kesempatan bekerja sama dalam satu tim dan mengaplikasikan pengetahuan mereka ke dalam kehidupan nyata, tidak hanya melalui suatu demonstrasi dan pasien simulasi yang telah mereka dapatkan selama ini di skills lab (Hamad,2000). Kompetensi pada Community Based Education(CBE) bagi profesi kesehatan tingkat sarjana memiliki enam tema, yaitu : Kesehatan Masyarakat, Pemahaman Budaya, Kepemimpinan dan Manajemen, Pengembangan Komunitas, Penelitian, dan Kompetensi Umum. Trampilnya dalam merefleksikan diri dan komunikasi merupakan kompetensi umum yang perlu dikuasai oleh seorang dokter agar selalu profesional dalam menjalankan praktik kedokteran (Ladhani, Scherpbier, & Stevens, 2012).Informasi hasil kemampuan komunikasi mahasiswa secara efektif dapat diperoleh dari proses penilaian kompetensi komunikasi mahasiswa-pasien dengan mengumpulkan informasi terkait kemampuan mahasiswa untuk diukur terkait capaian mahasiswa terhadap tujuan belajar yang telah ditetapkan oleh institusi (Nitko & Brookhart, 2011). Sementara berbagai program ketrampilan komunikasi disediakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, terdapat beberapa hamabatan dalam suatu komunikasi terutama dari
mahasiswa itu sendiri. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa terdapat
berbagai hal yang dapat menghambat komunikasi itu sendiri, seperti misalnya nilai kesopanan dan kesantunan dalam komunikasi, pengalaman klinis mahasiswa, dan variabel demografis dimana kesemua variabel tersebut dapat mempengaruhi suksesnya program ketrampilan komunikasi (Kevin et al, 2006). Claramita et al. (2013) dan Widyandana et al. (2011) mengemukakan bahwa mahasiswa cenderung merasa telah bangga sebagai profesional kesehatan saat merasa menguasai
4
ketrampilan intubasi pada manekin. Namun, sebenarnya ketrampilan tertentu tidak akan sering digunakan saat mereka menjadi seorang dokter di layanan primer dalam suatu komunitas, begitu pula saat di rumah sakit, kecuali pada penyakit dan pengobatan yang sangat spesifik.Kemampuan berkomunikasi dengan pasien seringkali terabaikan; dalam hal ini sebenarnya sangat diperlukan ketrampilan yang berhubungan dengan eksplorasi tanda dan gejala klinis awal yang seringkali dikeluhkan pasien dalam seting layanan kesehatan primer serta saat di rumah sakit. Hart (1985) mengemukakan bahwa saat ini mahasiswa kedokteran lebih sering tersita waktunya hanya dengan membaca textbook di setiap waktu dan di setiap tempat pun, mereka tidak memiliki sebagian waktu mereka untuk berbicara, berdiskusi dan pergi bersama dengan teman-teman ataupun tetangga. Hal tersebut terjadi karena jadwal pembelajaran kuliah bagi mahasiswa kedokteran yang lebih dari lima jam sehari yang diikuti dua sesi praktikum di laboratorium setelahnya per hari, dengan harus melalui pre dan post tes serta berbagai laporan, tidak memungkinkan bagi seorang mahasiswa kedokteran untuk lebih banyak bergaul dengan teman-temannya dan bertemu tetangga. Sungguh sangat ironis bahwa pada saat mereka mengetahui teman, sahabat dan bahkan keluarganya sakit, mereka sesegera mungkin membuka bukunya hanya untuk memahami penyakitnya serta keluhan penyakit pasienlah yang menjadi fokus dan mencari tahu yang salah dengan tubuh, melakukan pemeriksaan klinis pada pasien kemudian merefleksikan pemikiran sosial dan biomedis yang terkait dengan keluhan pasien tanpa lebih memahami yang menjadi kebutuhan yang dapat menolong pasien. “Real education should consist of drawing the goodness and the best out of our own students. What better books can there be than the book of humanity?”-Cesar Chavez (Melaville et al., 2011.)
Hart (1985) mengemukakan bahwa selama ini terjadi kekeliruan pada saat mengajar mahasiswa kedokteran dengan hanya lebih banyak mengajarkan ketrampilan klinis dengan seting rumah sakit saja. Terlalu banyak kuliah dan kurang pelatihan ketrampilan klinis, lebih banyak yang mengajar adalah dosen yang lebih banyak menceritakan pengalaman dengan pasiennya serta lebih kepada seting rumah sakit daripada komunitas tempat mahasiswa dapat lebih banyak bertemu dengan pasien dan masalah kesehatan yang ada di layanan primer.
5
Woollard (2006) mengemukakan bahwa dokter keluarga memiliki kontribusi yang sangat besar dalam kurikulum pendidikan di kedokteran berbasis komunitas.
Sankarapandian &
Christopher (2014) mengemukakan bahwa dokter keluarga adalah seorang yang pertama kali melakukan kontak dan perawatan secara kontinyu bagi semua individu dan juga komunitas tanpa terbatasi oleh usia, jenis kelamin, organ tubuh atau penyakit, sebagai seorang ahli untuk melakukan pentalaksanaanberbagai masalah kesehatan baik itu akut ataupun kronis, mulai dari pencegahan, promosi kuratif, rehabilitatif ataupun palliative care. Oleh karena itu, Medical Council of India (MCI), membuat program pembelajaran komunitas bagi mahasiswa kedokteran dalam rotasi klinik saat mereka sedang stase di bagian kedokteran keluarga, sehingga mereka pada akhirnya dapat memahami bahwa seorang dokter di layanan primer yang melakukan kontak pertama pada individu dan komunitas sangat penting untuk mengerti suatu masalah kesehatan di komunitas yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya suatu penyakit, dan pentingnya pencegahan, promosi, perawatan secara kontinyu, komprehensif, konseling dan edukasi. Fakultas Kedeokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) menyadari pentingnya pembelajaran komunitas dalam hubungannya dengan kemampuan komunikasi sebagai salah satu area kompetensi dalam SKDI yang nantinya saat kelulusan mahasiswa menjadi seorang profesional dokter akan menghadapi sekelompok masyarakat sehingga memberikan suatu media untuk megasah kemampuan berkomunikasi sejak mahasiswa tahun pertama sampai tahun ketiga. Oleh karena itu dibentuklah program Integrated Cinical Practice (ICP) sejak tahun 2007 sebagai wahana pendidikan berbasis komunitas dengan metode edukasi dan konseling(5A : Ask, Advice, Assess, Assist, and Arrange Follow Up)untuk mengaplikasikan kemampuan berkomunikasi di komunitas (Claramita & Prabandari, 2014).Hal tersebut menuntut kemampuan seorang mahasiswa untuk dapat memberikan informasi dan secara bersama dalam mengambil keputusan dengan pasien.Implikasi secara langsung di komunitas telah dibuktikan pada beberapa penelitian dapat meningkatkan transfer pengetahuan lebih kepada mekanisme kemampuan secara aplikatif, fleksibel dan professional (Dornan et a.l, 2010).Mahasiswa diwajibkan untuk mengidentifikasi suatu masalah dan melakukan pemecahan masalah yang ada di komunitas melalui komunikasi berbasis komunitas. Hasil komunikasi tersebut yang nantinya akan direfleksikan oleh mahasiswa ke dalam suatu buku log. Bagian penting dalam experiental learning adalah refleksi (Kolb, 1984). Salah satu cara untuk menilai capaian kompetensi komunikasi mahasiswa dalam
6
pelaksanaan ICP melalui refleksi (Mofidi, et al., 2003). Hal tersebut belum pernah dilakukan evaluasi, sehingga penelitian ini sangat penting untuk dilakukan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian di bidang kedokteran keluarga untuk mengetahui kemampuan komunikasi mahasiswa di komunitas melalui refleksi mahasiswa yang tertuang dalam buku logICP sudah mencapai tujuan pembelajaran atau belum tercapai. C. Pertanyaan Penelitian Bagaimana kemampuan komunikasi mahasiswa setelah terpapar kegiatan pembelajaran di komunitas?Apakah mahasiswa dapat merefleksikannya (a) kemampuan SAPA; (b) kemanpuan AJAK BICARA; (c) kemampuan DISKUSI dalam bukulog? D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi di komunitas oleh mahasiswa kedokteran setelah terpapar pembelajaran di komunitas. E. Keaslian Penelitian Penelitian Mofidi et al. (2003) pada hasil refleksi 60 mahasiswa kedokteran gigi pada pendidikan berbasis komunitas dengan metode penelitian menggunakan analisis konten pada refleksi kejadian kritis selama mengikuti community based education, menunjukkan hasil bahwa mahasiswa mengalami perkembangan dalam hal mawas diri, empati, ketrampilan komunikasi dan rasa percaya diri. Mary et al. (2005) meneliti pembelajaran komunikasi mahasiswa bisnis di komunitas, diperoleh hasil bahwa dengan pembelajaran tersebut mahasiswa mampu meningkatkan kemampuan komunikasinya melalui kuatnya kerja sama tim, pengembangan wawancara, penulisan laporan dan mempresentasikan temuan dalam penelitian. Beylefeld et al. (2005) melakukan penelitian mengenai pengaruh pengalaman di komunitas mahasiswa kedokteran semester satu dengan mensurvei persepsi mahasiswa terhadap penggunaan refleksi sebagai pendorong pembelajaran yang lebih mendalam.Sebanyak 128 orang mahasiswa dilibatkan dalam penelitian tersebut. Hasilnya adalah adanya perubahan persepsi mahasiswake arah yang lebih positif terkait dengan CBE. Poin praktisnya adalah bahwa ketrampilan menulis refleksi yang dilakukan oleh mahasiswa ditingkatkan dengan pengalaman
7
nyata sebagai suatu pemicu serta dapat meningkatkan pengembangan suatu kurikulum dengan pemberian umpan balik kualitas dan intensitas pengalaman belajar mahasiswa. Carr & Carmody (2006) melakukan identifikasi dan penggolongan level refleksi yang dicapai mahasiswa dalam empat level, yaitu :listing, describing, applying dan integrating. Mahasiswa ikut serta dalam kegiatan experiental learning bertemakan obstetrik dan ginekologi. Analisis tematik sebagai metode dan hasilnya adalah 46% mencapai level refleksi applying, dan 16% mencapai level integrating.Terdapat tiga tema hasil explorasi dari penelitian ini, yaitu : pengetahuan, penalaran klinis, dan ketrampilan komunikasi. Penelitian Morris et al.(2008)membandingkan residen kedokteran keluarga
yang
mengikuti pelatihan di komunitas dengan yang tidak.Hasilnya menyimpulkan 64% versus 37%, 2.7 kali lebih baik bagi residen kedokteran keluarga yang dilatih di komunitas dengan semakin trampilnya komunikasi dan memahami permasalahan dan kebutuhan kesehatan di masyarakat dibandingkan dengan yang tidak dilatih untuk turun di komunitas. Penelitian Braun et al. (2013) menggunakan refleksi mahasiswa dalam praktik perawatan paliatif di komunitas untuk menilai profesionalisme. Diperoleh empat tema dari 30 esai dalam kompetensi profesionalisme, yaitu: (1) sadar akan perspektif orang lain; (2) peduli, rasa empati, dan rasa hormat; (3) sadar diri akan kemampuannya; dan (4) mengakui dan mengambil sikap untuk memperbaiki kekurangan dalam perilaku, pengetahuan maupun ketrampilan dirinya. Penelitian refleksi 356 mahasiswa kedokteran tahun kedua pre klinik pada kursus musculoskeletal oleh Oswald, et al. (2014) dalam topik mengenai peran pasien dalam proses pendidikan dokter, didapatkan lima tema terkait dengan patient centered care, yaitu : (1) mahasiswa melihat kondisi dengan konteks kehidupan pasien; (2) pasien mendukung pembelajaran mahasiswa; (3) mahasiswa dapat mengetahui kebutuhan pasien; (4) pasien merupakan bagian dari tim; dan (5) menyadari kompleksnya praktik kedokteran. Penelitian yang akan dilakukan ini, diharapkan dapat: (1)mengetahui kemampuan komunikasi mahasiswa kedokteran setelah terpapar pembelajaran berbasis komunitas melalui analisis buku log mahasiswa; (2) menjadi acuan bagi pengelola fakultas kedokteran untuk mengevaluasi program pembelajaran berbasis komunitas; dan (3) memberikan nilai tambah pada penelitian sebelumnya .
8
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kaidah manfaat bagi pembaca dan institusi fakultas kedokteran. Beberapa manfaat dari penelitian ini, yaitu 1. Dapat memberikan suatu gambaran mengenai kemampuan komunikasi mahasiswa kedokteran setelah terpaparcommunity based education. 2. Memberikan suatu masukan kepada institusi fakultas kedokteran mengenai potensi community based learning sebagai wahana untuk melatih kemampuan berkomunikasi mahasiswa kedokteran dalam real setting. 3. Dapat merupakan bukti ilmiah sebagai bahan evaluasi dan pengembangan keilmuan kedokteran keluarga di level undergraduate.