BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Waria atau banci adalah laki-laki yang berorientasi seks wanita dan berpenampilan seperti wanita, (Junaidi, 2012: 43). Waria adalah gabungan dari wanita-pria atau dengan kata lain, laki-laki yang lebih suka berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari. Keberadaan waria sendiri sebenarnya sudah lama hadir di tengah-tengah masyarakat dan memiliki pandangan yang berbeda-beda pula dalam tatanan masyarakat. Terkait dengan kondisi fisiknya, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Transgender sendiri adalah bagian dari kehidupan sejak dahulu kala. Di Indonesia, sebutanya beraneka ragam. Ada yang menyebutnya waria, banci, bencong, wandu, wadam, atau bisa dengan konotasi yang berbeda-beda, (Budianto, 2014:5). Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan
keadaan
biologisnya
(hermafroditisme),
orientasi
seksual
(homoseksualitas), maupun akibat kondisi lingkungan pergaulannya. Perilaku waria tidak dapat dijelaskan secara sederhana. Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap individu akan selalu berkembang. Dari perkembangan tersebut individu akan mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin. Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya. Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis kelaminnya. Jika individu gagal dalam
menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin. Tatanan sosial dalam masyarakat di Indonesia yang sebagian besar masih menganggap bahwa waria adalah sebuah “penyakit”, sebuah deviasi, dan sebuah ketidakwajaran sosial sehingga mereka belum diterima secara seutuhnya dalam masyarakat. Permasalahan sosial yang dihadapi kaum waria di Indonesia masih sangat rumit dan kompleks karena berbagai faktor yang kurang mendukung dalam menjalani kehidupannya secara wajar baik yang diakibatkan oleh faktor internal seperti hidup menyendiri atau hanya terbatas pada komunitasnya. Faktor eksternal seperti pendidikan terbatas, kemiskinan, ketidaktrampilan, diskriminasi baik dikalangan masyarakat umum maupun oleh keluarganya sendiri. Dengan kondisi dan situasi yang dihadapi oleh kaum waria tersebut membuat mereka cenderung memiliki keterbatasan untuk bertindak. Dapat diperkirakan, tidak ada yang tidak pernah bersua dengan kaum waria: di tempat kerja, di ruang publik, bahkan diantara sanak saudara, teman dan kenalan. Tetapi seringkali pandangan mengenai waria tersebut dibingkai oleh stereotip yang negatif, keengganan mengakui, serta keinginan untuk menolak atau mengabaikan mereka. Akibatnya, kaum waria ada sekaligus tidak ada, tampak dan sekaligus cenderung tidak terlihat (Budianto, 2014:5). Pro dan kontra memang selalu mengiringi jika membahas tentang isu gender seperti waria, homo, lesbian, dan lain-lain. Banyaknya kepercayaan/ aliran agama tertentu yang ada di Indonesia turut mempengaruhi terbatasnya eksistensi waria, seperti adanya diskriminasi terhadap kaum waria. Tak hanya sampai dengan diskriminasi tak jarang waria juga menerima kekerasan secara fisik. Keterbukaan masyarakat perkotaan, dan derasnya urbanisasi perkotaan memang menjadi magnet bagi siapapun khususnya masyarakat semi-urban, pedesaan, dan bagi masyarakat kalangan tertentu termasuk waria. Menjalani kehidupan sebagai waria di kota besar menjadi salah satu pilihan bagi mereka untuk menunjang aktivitas mereka. Meskipun begitu, keterbukaan masyarakat
perkotaan terhadap kalangan waria tidak disertai dengan dukungan dari undang-undang negara. Hal tersebut berdampak terhadap keterbatasan profesi yang bisa dimiliki oleh kalangan waria. Karena sangat kecil kemungkinan waria bisa bekerja secara formal menjadi pegawai negeri sipil ataupun bekerja di perusahaan besar. Sehingga jarang sekali waria bisa di terima menjadi pekerja yang tampil di depan muka umum. Tentu saja selain undang-undang, pandangan masyarakat umum tentang waria yang masih tabu juga menjadi alasan tersendiri ketidakesksisan waria. Keterbatasan tersebut yang sebenarnya mendorong sebagian besar waria lebih memilih untuk menjadi wanita tuna susila atau menjadi pekerja seks komersil. Solo, adalah salah satu kota yang cukup diminati oleh kalangan waria. Seperti data yang dilansir dari SuaraMerdeka.com (Senin, 19 Juni 2006), Untuk waria komersil tercatat sebanyak 127 dan waria non komersial sebanyak 142. Total gay dan waria di Solo sebanyak 741, dan pelacur wanita sebanyak 1.032. Data tersebut menunjukkan bahwa Solo menjadi salah satu kota yang masih diperhitungkan oleh kaum waria. Bukan tanpa alasan, tingginya keberadaan waria di kota Solo sebenarnya juga dipengaruhi karna adanya komunitas waria yang ada di kota Solo yang
berhasil menaungi dan
mengkoordinir waria yang ada di seluruh kota Solo. Kehadiran HIWASO (Himpunan Waria Solo) rupanya mampu menaikkan derajad mereka sebagai waria untuk eksis di dunia luar. HIWASO juga memiliki banyak peran bagi para anggotanya, termasuk salah satunya adalah menangani anggotanya yang terinfeksi HIV/AIDS. Anggota dari HIWASO (Solopos, Jumat 13 November 2015) sendiri sampai saat ini sebanyak 97 seSoloraya, sebagai waria yang terdaftar resmi sebagai anggota Hiwaso. Yang mana 60 orang berdomisili di Solo. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya berprofesi sebagai PSK di malam hari dan bekerja biasa di siang hari. Menjadi seorang waria memang memiliki banyak risiko. Terkait dengan keterbatasan pekerjaan dibidang formal, menjadi wanita tuna susila bagi kalangan waria menimbulkan masalah tersendiri mengingat dampak yang bisa ditimbulkan, baik dampak dari segi sosial ataupun dari sisi kesehatan.
Dikucilkan oleh masyarakat sekitar, mendapat sanksi sosial adalah salah satu contoh dampak sosial yang diterima oleh waria tuna susila. Sedangkan dampak kesehatan sendiri sangat riskan terjadi jika perilaku kesehatan waria tidak diperhatikan. Baik perilaku kesehatan dalam menjaga perawatan tubuh mereka ataupun perilaku kesehatan dalam melakukan pekerjaan mereka sebagai wanita tuna susila. Perubahan fisik dari laki-laki menjadi wanita seperti pembentukan payudara atau pembentukan kelamin adalah salah satu perawatan diri yang harus mereka jaga kebersihannya agar tidak dengan mudah terjangkit suatu penyakit. Sedangkan dalam hal pekerjaan mereka yakni menjadi wanita tuna susila juga harus diperhatikan karena mengingat banyak sekali penyakit menular seksual (PMS) yang mungkin bisa tertular. Salah satu penyakit menular seksual yang cukup mengkhawatirkan adalah HIV/AIDS. AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia dewasa ini. Penyakit ini terdapat hampir disemua negara di dunia tanpa kecuali termasuk di Indonesia. Apabila pada tahun 1980-an AIDS menyerang terutama orang dewasa dengan perilaku seks menyimpang, dewasa ini telah menulari seluruh lapisan masyarakat termasuk bayi dan anak-anak. Upaya untuk menanggulangi AIDS sebenarnya sudah dilakukan sejak ditemukannya penyakit itu sendiri. Namun sampai saat ini usaha tersebut belum membawa hasil yang memuaskan. Obat ataupun vaksin yang mujarab untuk mengobati atau mencegah AIDS belum ditemukan (Irianto, 2014: 463). ODHA (orang dengan HIV/AIDS) adalah sebutan bagi penderita HIV/AIDS. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan hilangnya tiap kekebalan tubuh sehingga penderita mudah terjangkit penyakit infeksi. Berkurangnya kekebalan tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Infeksi virus mematikan ini sebenarnya sudah dijelaskan sejak tahun 1981. Penelitian retrospektif munujukkan bahwa kasus-kasus awal telah ada dari tahun 1978. Para peneliti menemukan salah satu tipe kanker kulit yang dikenal dengan nama sarcoma kaposi, suatu penyakit yang sangat jarang di belahan bumi
barat. Mereka mengenali infeksi serta kanker itu sebagai manifestasi dari suatu defisiensi pada sistem kekebalan, yakni kerapuhan defensi tubuh. Maka disebutlah fenomena tersebut dengan istilah AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) (Pasuhuk, 2000: 23-28). Data yang dikeluarkan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo, melalui harian berita Solopos.com (13 November 2015) Penderita Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno Deficiency Syndrom (AIDS) di kota Solo periode 2005-2012 mencapai 855 orang. Jumlah tersebut diperoleh dari Rumah Sakit Dr Oen, RSUD Moewardi dan Puskesmas Manahan. Selama ini HIV/AIDS memang menjadi penyakit yang cukup ditakuti oleh setiap orang, termasuk juga oleh kalangan waria yang pekerjaan mereka memungkinkan bisa terinfeksi virus mematikan tersebut. Waria terlepas dari status gender yang dimiliki, sebenarnya juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara, seperti hak kebebasan beragama, hak berpendapat dimuka umum, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, dan hakhak lainnya seperti masyarakat umum. Tetapi pada kenyataanya hidup sebagai waria ternyata masih mendapat banyak keterbatasan dalam menjalani aktivitas di tengah-tengah masyarakat umum. Terlebih lagi jika waria tersebut terinfeksi virus HIV/AIDS yang justru membuat masyarakat umum semakin menghindari adanya waria. Waria ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tentu saja akan menimbulkan masalah baru yang harus dihadapi oleh waria. Pekerjaan menjadi wanita tuna susila yang sebelumnya menjadi satu-satunya pilihan bagi waria sangat kecil kemungkinan untuk diteruskan, sehingga mereka akan kehilangan pekerjaannya, banyaknya biaya untuk pengobatan rutin yang harus dijalani, menghadapi respon dari lingkungan sosial dan sekitar, tekanan-tekanan dari lingkungan, hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan oleh waria tersebut, dan masalah lainnya. Tentu diperlukan suatu strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh waria yang sekaligus akan menjadi bahan kajian peneliti.
B. Rumusan Masalah Dengan melihat latar belakang permasalahan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana strategi bertahan hidup waria yang terinfeksi HIV/AIDS dalam komunitas HIWASO ? 2. Bagaimana peran HIWASO dalam menangani anggotannya yang terinfeksi HIV/AIDS ?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui strategi bertahan hidup waria yang terinfeksi HIV/AIDS. 2. Untuk mengetahui peran HIWASO dalam menangani anggotannya yang terinfeksi HIV/AIDS
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan atau refrensi bagi para peneliti-peneliti yang lain yang ingin mengembangkan studi kasus waria. b. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
bahan
pembanding,
pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan. 2. Manfaat Praktis a.
Menggerakkan masyarakat umum agar lebih menghargai sesama individu dalam bermasyarakat.
b.
Agar masyarakat lebih menghargai perbedaan yang ada di lingkugan sekitar ia tinggal.
c.
Agar masyarakat memiliki rasa toleranasi yang lebih terhadap perbendaan gender.