I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kecacatan didefinisikan sebagai situasi individu yang mempunyai hambatan baik secara fisik ataupun mental dalam hal partisipasi penuh pada aktivitas normal kelompok seusianya termasuk keikutsertaan dalam kegiatan sosial, rekreasi, dan pendidikan (Koch dan Poulsen, 2001). Data sensus nasional Biro Pusat Statistik pada tahun 2003 mencatat bahwa jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai 1.480.000 jiwa (0,7%) dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 jiwa. Berdasarkan data tersebut sebanyak 361.860 jiwa (24,45%) merupakan anak-anak usia 0-18 tahun dan 317.016 jiwa (21,42%) merupakan anak cacat usia sekolah dengan usia berkisar 5-18 tahun. Sekitar 66.610 (14,4%) anak penyandang cacat usia sekolah ini terdaftar di sekolah luar biasa (slb) (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pada tahun 2009 jumlah penyandang cacat mengalami peningkatan menjadi 85.645 anak dengan rincian sebanyak 70.501 anak di sekolah luar biasa dan 15.144 anak ada di sekolah inklusif. Anak penyandang cacat dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok antara lain : tuna netra, tuna rungu/tuna wicara, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD), autisme, dan tuna ganda (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI, 2010). Kebutaan menurut WHO dan UNICEF adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang
1
2
memerlukan penglihatannya sebagai hal yang esensial sebagaimana orang sehat (Ilyas, dkk., 2002). Kriteria kebutaan berbeda di setiap negara tergantung pada faktor sosio-ekonomi. Kriteria kebutaan di Indonesia mengacu pada anjuran kriteria WHO untuk negara berkembang dengan tajam penglihatan 3/60 atau lebih rendah yang tidak dapat dikoreksi (Ilyas, dkk., 2002). Efendi (2006) menyatakan bahwa seseorang dikatakan tuna netra jika ia memiliki visus sentralis (tajam penglihatan) sama atau kurang dari 6/60 sehingga setelah dikoreksi secara maksimal tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh anak normal/orang awas. Berdasar tes tajam penglihatan dengan kartu baca Snellen, tajam penglihatan 3/60 berarti seseorang hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter yang oleh orang normal jari tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter dan tajam 6/60 mengandung pengertian bahwa seseorang hanya dapat melihat huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter (Ilyas, 1998). Klasifikasi tuna netra menurut kemampuan melihat dibagi menjadi 2 yaitu: tuna netra total dan tuna netra sebagian/penglihatan kurang/low vision (Direktorat Jendral
Bina
Kesehatan
Masyarakat
Direktorat
Bina
Kesehatan
Anak
Kementerian Kesehatan RI, 2010; Delphie, 2007; Hadi, 2005). Tuna netra total adalah seseorang yang tidak dapat mengenal rangsangan sinar dan bergantung seluruhnya pada alat indera lainnya atau diluar indera penglihatan (Ilyas, dkk., 2002). Tuna netra sebagian/penglihatan kurang/low vision adalah gangguan penglihatan yang menyebabkan seseorang kesulitan menggunakan indera penglihatan meskipun mereka masih memiliki sisa penglihatan (Delphie, 2007).
3
Anak dengan kecacatan dan kebutuhan khusus membutuhkan lebih banyak bantuan dan bergantung kepada orang lain untuk mendapatkan/mempertahankan kesehatan termasuk kesehatan gigi dan mulut (Boyer-Chu, 2007). Kesehatan gigi dan mulut adalah keadaan bebas dari : nyeri kronis pada wajah dan rongga mulut, kanker mulut dan tenggorokan, luka pada mulut, cacat lahir seperti cleft lip dan cleft palate, penyakit periodontal (gingiva), kerusakan gigi (karies gigi) dan kehilangan gigi, serta gangguan/penyakit lain yang mempengaruhi rongga mulut (WHO, 2013). Kesehatan gigi dan mulut seseorang berkaitan dengan beberapa faktor risiko yang dapat memperparah kondisi/keadaan rongga mulutnya. Faktorfaktor tersebut antara lain : kondisi sosial ekonomi keluarga; tingkat pendidikan; kebijakan kesehatan dan sosial; akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan; paparan fluoride; pengetahuan, sikap, perilaku, dan nilai seseorang terhadap kesehatan mulut; kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol; pola makan seharihari; oral hygiene/kebersihan gigi dan mulut; usia; jenis kelamin; dan genetika (Departement of Health State of Victoria, 2011). Seorang tuna netra mempunyai sisa penglihatan yang terbatas sehingga menyebabkan keterbatasan dalam menerima stimulasi persepsi visual. Persepsi visual
yang
terbatas
menyebabkan
adanya
keterbatasan
orientasi
dan
gerakan/mobilitas. Anak tuna netra akan mengalami hambatan dalam bergerak yang ditunjukkan dengan kekakuan, koordinasi gerak yang buruk, aktivitas gerak yang tidak terkontrol atau tidak beraturan, ketidakmampuan dalam menjaga keseimbangan, dan lemahnya otot dalam merespon stimulus. Hambatan tersebut akan mendukung munculnya hambatan dalam memperoleh pengalaman/informasi baru, hambatan hubungan sosial kemasyarakatan, serta hambatan kemandirian
4
aktivitas dalam personal hygiene yang meliputi : kegiatan memakai baju, menyisir rambut, mandi, dan praktik oral hygiene/menyikat gigi (Hadi, 2005; Efendi, 2006). Azrina, dkk. (2007) menyatakan bahwa seorang tuna netra total dan low vision mengalami kesulitan dalam praktik menyikat gigi dan mengaplikasikan teknik menyikat gigi yang baik. Mereka sering menyikat gigi dengan tekanan yang berlebih secara horizontal/vertikal dan melewatkan beberapa permukaan gigi yang tidak terjangkau oleh sikat gigi. Kesulitan tersebut menyebabkan terjadi trauma jaringan lunak pendukung gigi dan plak gigi tidak dapat dihilangkan secara efektif. Bakteri dalam plak yang masih tertinggal pada permukaan gigi dan tidak dihilangkan secara efektif pada praktik menjaga kebersihan gigi dan mulut akan melakukan metabolisme sisa makanan untuk menghasilkan asam yang dapat menyebabkan terjadinya karies gigi dan menginflamasi gingiva sehingga menyebabkan terjadinya penyakit periodontal (Putri, dkk., 2011). Penyakit rongga mulut seperti kerusakan gigi/karies dan penyakit periodontal (gingival) merupakan penyakit yang banyak dialami oleh anak terlebih anak dengan kecacatan dan kebutuhan khusus (Boyer-Chu, 2007). Penyakit rongga mulut tersebut juga dialami oleh anak penyandang tuna netra. Kondisi penyakit mulut tuna netra dapat menjadi lebih buruk karena ketidakmampuan untuk mendeteksi/mengenali awal penyakit mulut dengan indera penglihatan, ketidakmampuan dalam mengambil keputusan langsung kecuali diinformasikan terlebih dahulu, dan adanya penurunan laju aliran saliva (Schembri dan Fiske, 2001; Ozdemir-Ozenen, dkk., 2012).
5
Pada penelitian sebelumnya, Reddy dan Sharma (2011) melaporkan bahwa terdapat perbedaan nilai rerata kebersihan gigi dan mulut antara anak tuna netra dan normal dari masing-masing kategori. Nilai rerata kebersihan gigi dan mulut anak tuna netra kategori baik adalah 0,19; kategori sedang adalah 0,22; dan kategori buruk adalah 0,40. Nilai kategori pada anak dengan penglihatan normal kategori baik adalah 0,67; kategori sedang adalah 0,1; serta kategori buruk adalah 0,23. Heriyanto, dkk. (2005) melaporkan bahwa mayoritas anak tuna netra dan low vision mempunyai kriteria status kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) sedang. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Bekiroglu, dkk. (2012) menjelaskan bahwa secara umum anak tuna netra total dan low vision mempunyai status kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) kriteria sedang hingga buruk dengan nilai rerata 1,89±0,81 pada anak tuna netra total dan nilai rerata 2,09±0,84 pada anak low vision. Pada penelitian tersebut terdapat perbedaan rerata OHI-S antara anak tuna netra total dengan low vision meskipun secara statistik tidak signifikan (p=0,908). Hasil penelitian Sunarti (1997) menunjukkan adanya perbedaan status kebersihan gigi dan mulut antara kelompok anak tuna netra sejak lahir dengan kelompok setelah lahir. Nilai rerata kebersihan gigi dan mulut anak tuna netra sejak lahir adalah 4,06 sedangkan kelompok anak tuna netra setelah lahir adalah 1,84. Perbedaan status kebersihan gigi dan mulut lainnya juga diungkapkan oleh Sari (2001) yang menyatakan bahwa nilai rerata kebersihan gigi dan mulut anak tuna netra di dalam yayasan adalah : 3,93; anak tuna netra yang pernah masuk yayasan minimal 1 tahun adalah : 5,12; dan anak tuna netra yang belum pernah masuk yayasan adalah : 8,06. Pada penelitian itu diperoleh nilai signifikansi
6
p<0,05 yang menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok tersebut. Penelitian lain dilakukan oleh Ozdemir-Ozenen, dkk. (2012) menyatakan bahwa nilai rerata kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) anak tuna netra lebih tinggi jika dibandingkan anak penglihatan normal. Nilai rerata kebersihan gigi dan mulut (OHI-S) anak tuna netra mencapai 1,72±0,21, sedangkan anak penglihatan normal mencapai 0,76±0,02 (p=0,042). Reddy dan Sharma (2011) melaporkan bahwa rerata karies gigi pada anak tuna netra lebih tinggi daripada anak dengan penglihatan normal. Rerata DMF-T dan def-t anak tuna netra adalah 1,1 dan 0,17 sedangkan rerata DMF-T dan def-t pada anak dengan penglihatan normal adalah 0,87 dan 0,47. Penelitian OzdemirOzenen, dkk. (2012) juga menyatakan bahwa nilai rerata DMFT anak tuna netra (1,62±0,20) lebih tinggi dibandingkan dengan anak penglihatan normal (0,80±0,08) dengan nilai signifikansi 0,001. Bekiroglu, dkk. (2012) disisi lain menemukan hal yang berbeda bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok anak tuna netra total dan low vision dengan (p=0,071). Fitrianingrum (2011) pada anak tuna rungu wicara dan anak normal memperoleh nilai rerata DMFT anak tuna rungu wicara adalah : 2,51, dan nilai rerata DMFT anak normal adalah : 3,24. Uji analisis statistik yang menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) antara rerata DMFT pada anak tuna rungu wicara dengan anak normal. Heriyanto, dkk. (2005) mengungkapkan bahwa mayoritas anak tuna netra dan low vision mempunyai status gingivitis (GI) kategori ringan tanpa ada perbedaan bermakna pada status gingivitis (p=0.223) antara siswa tuna netra yang
7
termasuk klasifikasi buta dengan low vision. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Mohd-Dom, dkk. (2010) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan nilai gingival bleeding antara anak tuna netra total, low vision, dan anak yang memiliki satu mata normal dengan nilai signifikansi p<0,05. Nilai gingival bleeding anak tuna netra total mencapai 25,8; anak low vision mencapai 18,0; dan anak yang memiliki satu mata normal mencapai 8,4. Ozdemir-Ozenen, dkk. (2012) dalam hasil penelitian juga menyatakan bahwa nilai rerata gingivitis (GI) anak tuna netra lebih tinggi jika dibandingkan anak dengan penglihatan normal. Nilai gingivitis (GI) anak tuna netra mencapai 0,68±0,12, sedangkan anak penglihatan normal mencapai 0,33±0,08 (p=0,030). Anak penyandang cacat perlu dikenali dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya karena mereka memerlukan pelayanan khusus seperti pelayanan medik, pendidikan khusus atau latihan-latihan tertentu yang bertujuan untuk mengurangi keterbatasan dan ketergantungan akibat kelainan yang diderita, serta menumbuhkan kemandirian hidup bermasyarakat (Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan RI, 2010). Undang-Undang No.23 tahun 2002 pasal 9 ayat 2 tentang Perlindungan Hak Anak menegaskan adanya hak bagi anak penyandang cacat dalam hal memperoleh pendidikan luar biasa (UNESCO, 2007). Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah dan kepala asrama, Yayasan Yaketunis merupakan sekolah formal berbasis islam yang memberikan pendidikan bagi tuna netra total maupun low vision mulai jenjang Taman KanakKanak hingga SMA yang berlokasi di Yogyakarta. Bangunan Yayasan Yaketunis terdiri atas SLB-A Yaketunis, MTS Yaketunis dan asrama sekolah untuk anak-
8
anak tuna netra. Beberapa fasilitas ruang disediakan untuk mendukung sistem pembelajaran seperti: perpustakaan, mushola, kamar mandi, dan kantin kecil. Fasilitas lain seperti Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) saat ini belum ada ruangan khususnya sehingga apabila ada siswa yang sakit maka akan diistirahatkan di kamar asrama dengan bantuan guru karena tenaga kesehatan baik dokter ataupun perawat juga belum ada. Yayasan Yaketunis sebagai institusi pendidikan khusus tuna netra menjalin kerjasama dengan puskesmas. Berdasarkan keterangan kepala sekolah, rutinitas kegiatan yang dilakukan berupa imunisasi. Kegiatan lain yang berkaitan dengan kesehatan gigi/pemeriksaan gigi di yayasan tersebut beberapa tahun yang lalu pernah dilakukan satu kali dan tidak dilanjutkan secara berkala. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara menyeluruh tanpa adanya pengklasifikasian kebutaan baik tuna netra total ataupun low vision. Oleh sebab itu penelitian ini penting dilakukan karena untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut anak tuna netra di Yayasan Yaketunis dengan klasifikasi tuna netra total dan low vision yang selanjutnya untuk dibandingkan dengan grup kontrol (anak dengan penglihatan normal). B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada perbedaan status kesehatan gigi dan mulut antara anak tuna netra total dan low vision di Yayasan Yaketunis dengan anak penglihatan normal di SD Muhammadiyah Danunegaran, SMP N 13 Yogyakarta, dan SMA N 7 Yogyakarta dengan rentang usia 12-22 tahun?
9
C. Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan anak tuna netra, yaitu : 1. Heriyanto, Widyanti, dan Priyono (2005) dengan judul penelitian “Hubungan antara Pengetahuan, Persepsi, dan Sikap terhadap Kesehatan Gigi dengan Status Kesehatan Gigi pada Siswa Tuna Netra di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung”. Variabel pengaruh pada penelitian ini antara lain : pengetahuan, persepsi dan sikap tuna netra terhadap kesehatan gigi, klasifikasi tuna netra, dan program pendidikan yang ditempuh (formal dan non formal). Variabel terpengaruhnya adalah : status kebersihan gigi dan mulut dan status gingivitis yang menggunakan alat ukur yang digunakan yaitu : kuesioner, OHI-S, dan GI. Variabel terkendali pada penelitian ini yaitu : usia 15-33 tahun dan variabel tidak terkendalinya adalah: waktu terjadi kebutaan. 2. Mohd-Dom, dkk. (2010) dengan judul penelitian “Self-Reported Oral Hygiene Practices and Periodontal Status of Visually Impaired Adults”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : tuna netra (total, low vision, dan anak yang memiliki satu mata normal). Variabel terpengaruhnya yaitu: status periodontal dengan alat ukur yang digunakan : kuesioner yang berjumlah 8 pertanyaan tentang perilaku oral hygiene dan pengetahuan tentang penyakit periodontal, VPI, GBI, dan CPITN. 3. Bekiroglu, dkk. (2012) dengan judul penelitian “Caries Experience and Oral Hygiene Status of a Group of Visually Impaired in Istanbul, Turkey”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : anak tuna berdasar tingkat keparahan (tuna netra total dan low vision) dan berdasar etiologi (genetik dan kecelakaan
10
yang tidak disengaja). Variabel terpengaruhnya yaitu : status kebersihan gigi dan mulut serta status karies gigi yang menggunakan alat ukur yaitu: OHI-S, DMFT, dan deft. Variabel terkendali pada penelitian ini adalah : usia 7-16 tahun. 4. Ozdemir-Ozenen, dkk. (2012) dengan judul penelitian “A Comparison of the Oral Health Status of Children Who are Blind and Children Who are Sighted in Istanbul”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : status penglihatan (tuna netra dan penglihatan normal). Variabel terpengaruhnya adalah : status kebersihan gigi dan mulut, status karies, dan status periodontal. Variabel terkendali pada penelitian ini yaitu : usia 6-10 tahun, dan tidak mempunyai riwayat penyakit sistemik. Alat ukur pada penelitian ini menggunakan indeks OHI-S, PI, DMF-T, DMFS, deft, defs, dan GI. 5. Ratna Fitrianingrum (2011) dengan judul penelitian “Perbandingan Status Karies Gigi dan Oral Hygiene antara Anak Tuna Rungu Wicara dengan Anak Normal”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : status pendengaran. Variabel terpengaruhnya adalah : status karies dan oral hygiene. Variabel terkendali pada penelitian ini yaitu : usia 7-12 tahun, jenis kelamin, dan susunan gigi. Variabel tidak terkendali adalah : tingkat sosial ekonomi, pola makan sehari-hari, dan perilaku menjaga kebersihan mulut. Alat ukur pada penelitian ini menggunakan indeks DMF-T dan OHI-S. 6. Khatimah (2003) dengan judul penelitian “Perbandingan Efektivitas Penyuluhan dengan Alat Peraga Limbah Serbuk Kayu dan Gips terhadap Tingkat Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Kebersihan Mulut pada Anak Tuna Netra (Kajian Pada Anak Tuna Netra di Yaketunis dan SLB Negeri 1 Bantul Daerah
11
Istimewa Yogyakarta)”. Variabel pengaruh yaitu : alat peraga model anatomis gigi tiga dimensi terbuat dari limbah serbuk kayu dan gips. Variabel terpengaruhnya adalah : tingkat pengetahuan kesehatan gigi dan mulut. Variabel terkendali pada penelitian ini yaitu : tingkat pendidikan, usia10-17 tahun, pola diet sehari-hari, dan klasifikasi tuna netra. Variabel tidak terkendali adalah : susunan gigi geligi, dan tingkat intelegensi. Alat ukur pada penelitian ini menggunakan indeks PHP-M. 7. Sari (2001) dengan judul penelitian “Perbedaan Kebersihan Mulut dan Kesehatan Gingiva antara Penderita Tuna Netra di Dalam Yayasan dan di Luar Yayasan Rehabilitasi Tuna Netra”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : pendidikan (yayasan rehabilitasi tuna netra). Variabel terpengaruhnya adalah : kebersihan mulut dan kesehatan gingiva dengan alat ukur OHI dan GI. Variabel terkendali pada penelitian ini yaitu : usia 15-55 tahun, tidak adanya riwayat penyakit sistemik, dan kelengkapan gigi permanen. Variabel tidak terkendalinya adalah : jenis kelamin, frekuensi menyikat gigi, diet sehari-hari, dan sebab kebutaan. 8. Sunarti (1997) dengan judul penelitian “Status Kesehatan Gigi dan Mulut Penderita Tuna Netra Total Sejak Lahir dan Setelah Lahir”. Variabel pengaruh pada penelitian ini adalah : klasifikasi tuna netra (tuna netra total sejak lahir dan setelah lahir). Variabel terpengaruh penelitian ini adalah : status karies gigi (menggunakan alat ukur DMF-T), kebersihan gigi dan mulut (menggunakan alat ukur OHI-S), dan kesehatan gingiva (menggunakan alat ukur GI). Variabel terkendalinya adalah : usia 15-35 tahun, dan tidak adanya penyakit sistemik
12
sedangkan variabel tidak terkendalinya meliputi : jenis kelamin, frekuensi menyikat gigi, dan cara menyikat gigi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada variabel pengaruh, variabel terpengaruh, dan variabel terkendali. Variabel pengaruh pada penelitian ini pada anak tuna netra total dan low vision di Yayasan Yakeyunis serta anak dengan penglihatan normal di SD Muhammadiyah Danunegaran, SMP N 13 Yogyakarta, dan SMA N 7 Yogyakarta. Variabel terpengaruhnya yaitu : status kesehatan gigi dan mulut berupa kebersihan gigi dan mulut (menggunakan alat ukur OHI-S), pengalaman karies gigi (menggunakan alat ukur DMF-T), dan gingivitis (menggunakan alat ukur GI). Variabel terkendali pada penelitian ini adalah : usia 12-22 tahun. D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan status kesehatan gigi dan mulut antara anak tuna netra total dan low vision di Yayasan Yaketunis dengan anak penglihatan normal di SD Muhammadiyah Danunegaran, SMP N 13 Yogyakarta, dan SMA N 7 Yogyakarta dengan rentang usia 12-22 tahun. E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain bagi: 1. Masyarakat Memberikan informasi ilmiah tentang status kesehatan gigi dan mulut anak tuna netra total, low vision, dan anak dengan penglihatan normal.
13
2. Keluarga, Sekolah dan Tenaga Kesehatan Meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut sebagai tindakan pencegahan penyakit gigi dan mulut bagi anak kebutuhan khusus/anak penyandang cacat terlebih pada anak tuna netra. 3. Instansi Kesehatan, Pendidikan, dan Pemerintah Meningkatkan kerjasama dalam hal kegiatan promosi kesehatan gigi dan mulut yang meliputi : pelaksanaan kegiatan penyuluhan kesehatan gigi dan mulut, penyediaan media penyuluhan (poster, buku cerita, ataupun film) yang melibatkan keluarga, serta pelatihan kader kesehatan/kesehatan gigi dan mulut di Yayasan Yaketunis. 4. Peneliti Sebagai dasar ilmiah bagi para peneliti selanjutnya saat melakukan penelitian yang berkaitan dengan anak tuna netra dalam kedokteran gigi.