I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai 30-45 juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas lahan gambut di dunia (Rieley et al., 2008). Sebagian besar lahan gambut tropika terdapat di Asia Tenggara (25,32 juta ha), dan dijumpai di Indonesia dengan luas tidak kurang dari 20,69 juta hektar, serta di Malaysia dengan luas kira-kira 2,52 juta hektar (Page et al., 2007, 2008).
Di
Indonesia lahan gambut tersebut tersebar di Kalimantan (6,79 juta ha), Sumatera (8,25 juta ha), Irian Jaya (4,62 juta ha) dan sisanya tersebar di Sulawesi, Halmahera dan, Seram (Radjagukguk, 1997). Lahan gambut tropis, terutama di Indonesia dan Malaysia sudah sejak lama dimanfaatkan oleh penduduk lokal sebagai lahan pertanian. Sekitar 32% lahan gambut di Malaysia sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (Melling et al., 1999), terutama ditanami dengan kelapa sawit, karet, dan nenas (Mutalib et al., 1992; Ambak dan Melling, 2000). Luas lahan gambut di Indonesia yang sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian belum diketahui dengan pasti, tetapi sedikitnya 20% hutan gambut alami di Indonesia sudah berubah fungsi dan penggunaannya (Rieley et al., 1996). Strack (2008) menyebutkan data luasan lahan gambut yang telah dibuka di Indonesia seluas 3,7 juta hektar. Tekanan terhadap lahan gambut alami di Indonesia semakin menguat dengan adanya kegiatan pembukaan lahan gambut dalam skala amat besar di Kalimantan Tengah, yang dikenal sebagai Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar pada tahun 1995. Rieley et al. (2008) menyebutkan luas daerah yang mendapat dampak negatif langsung akibat proyek ini mencapai 1,5 juta hektar.
Tekanan
terhadap lahan gambut alami juga ditunjukkan oleh laju deforestasi pada lahan gambut mencapai angka 1,3% per tahun, yang merupakan dampak pengembangan pertanian/ silvikultur dan penebangan hutan (logging) (Hooijer et al., 2006). Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik dan rapuh, karena lahan ini berada dalam suatu lingkungan rawa. Oleh karena dalam lingkungan rawa, maka lahan ini senantiasa tergenang sehingga terbentuk tanah yang belum mengalami perkembangan, seperti tanah-tanah aluvial (Entisols) dan tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik atau tanah gambut (Histosols). Menurut Nugroho et al. (1992) luas lahan rawa di Indonesia sebesar 10,52 juta ha, yang sebagian merupakan asosiasi tanah gambut dan tanah mineral bergambut
1
(peaty mineral) yang memiliki substratum bahan sulfidik (FeS2) yang merupakan tanah sulfat masam potensial. Wilayah tanah gambut dan mineral gambut tadi sebagian besar terletak pada daerah pantai Kalimantan, Sumatera dan Irian. Radjagukguk et al. (2010) memperkirakan luasan lahan gambut yang memiliki substratum bahan sulfidik di provinsi Kalimantan Tengah berkisar seluas 2,4 juta hektar. Ketebalan gambut meningkat dengan semakin jauh jarak dari sungai, dan secara fisiografi membentuk kubah gambut (peat dome). Salah satu kubah gambut terbentuk di antara Sungai Kahayan dan Sungai Sebagau, Kalimantan Tengah (Siegert dan Jaenicke, 2008).
Kondisi topografi gambut berupa kubah tersebut
mengakibatkan adanya perbedaan tinggi muka air tanah dan pola aliran di lahan gambut yang juga dipengaruhi kondisi hidrologi. Perbedaan kondisi hidrologi berupa tinggi muka akibat pengaruh musiman akan menentukan karakteristik kimia air gambut. Siklus basah-kering pada profil tanah akan berpengaruh terhadap perubahan kondisi redoks dalam tanah gambut dan juga mengakibatkan perubahan karakteristik kimia air gambut (Estop-Aragonés et al., 2013). Endapan bahan sulfidik pada tanah tidak akan menimbulkan masalah selama berada pada kondisi reduksi di bawah muka air tanah. Permasalahan muncul ketika bahan sulfidik terpapar oleh oksigen, setelah dilakukan drainase atau penggalian saluran yang mengakibatkan oksidasi bahan sulfidik menjadi asam sulfat. Rieley dan Page (2005) mengemukakan penebangan liar dan reklamasi lahan gambut akan merubah kondisi hidrologi secara cepat dan menyebabkan amblesan (subsidence) gambut, kemudian mengakibatkan kondisi aerobik yang berulang pada subsoil dan memberikan peluang terhadap oksidasi bahan sulfidik. Reaksi oksidasi pirit yang mengakibatkan pemasaman tanah menunjukkan bahwa satu mol pirit akan menghasilkan empat molekul asam sulfat (Shamsuddin et al., 2004). Kemasaman tanah yang berlebihan tersebut diikuti oleh kelarutan Besi (Fe), Aluminium (Al) dan Mangan (Mn) yang tinggi hingga tingkat meracun (toksik) bagi tanaman (Dent, 1986), defisiensi fosfor (P) karena terikat kuat oleh Fe dan Al, dan rendahnya kation-kation basa dalam tanah karena lebih banyak larut dan terlindi. Selanjutnya Dent (1986) menyebutkan Al menjadi toksik bagi tanaman pertanian pada konsentrasi mulai 2 mg g-1 pada larutan tanah. Selain pemasaman tanah (Dent and Ponds, 1995; Ritsema et al., 2000), oksidasi pirit juga mengakibatkan kerusakan hidrobiologis pada lingkungan perairan
2
(seperti matinya ikan) (Dent and Ponds, 1995; Sammut et al.,1996; Cook et al., 2000; Ritsema et al., 2000), dikarenakan adanya ekspor kemasaman dari tanah ke lingkungan perairan (MacDonald et al., 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksidasi pirit yang terdapat pada substratum tanah gambut mengakibatkan proses pemasaman (acidification) larutan tanah gambut (peat pore water) di daerah Muara Sebangau (Haraguchi et al., 2006) yang berpengaruh terhadap kualitas air di badan air permukaan di saluran dan sungai Kahayan dan Sebangau (Haraguchi et al., 2007). Penelitian Haraguchi (2007) selanjutnya menunjukkan bahwa pemasaman badan perairan seperti di saluran-saluran yang berasal dari oksidasi pirit hutan rawa gambut, dipengaruhi oleh kondisi hidrologi musiman (muka air tanah), karena pH air saluran lebih rendah/masam pada musim hujan dibandingkan musim kemarau. Pemasaman larutan tanah gambut juga mengakibatkan terlarutnya senyawasenyawa logam yang bersifat toksik seperti Al, Fe, Mn dan Zn yang berasal dari disintegrasi mineral klei dari substratum bahan sulfidik. Pada lahan gambut yang memiliki substratum bahan sulfidik, ketebalan lapisan gambut akan berpengaruh terhadap reaktivitas pirit. Anda et al. (2009) menyebutkan bahwa tanah gambut Sulfihemist dengan kedalaman lapisan pirit lebih dangkal (20 cm) memiliki pH lebih rendah dibanding Sulfihemist yang kedalaman piritnya lebih dalam (70 dan 143 cm). Perbedaan tersebut diduga karena adanya peranan senyawa organik yang berpengaruh terhadap reaktivitas senyawa sulfidik. Peranan senyawa organik terhadap penghambatan oksidasi pirit dilaporkan oleh penelitian sebelumnya (Ačai et al., 2009; Sasaki et al., 1996; Sasaki et al., 1995). Sehingga perubahan atau usikan terhadap lapisan gambut akan berpengaruh terhadap perubahan kimiawi air gambut bersulfidik dan mineral yang sensitif terhadap perubahan tersebut. Peranan lahan gambut digambarkan oleh Winde (2011) sebagai filter bagi lingkungan dari unsur yang berpotensi mencemari lingkungan. Di dalam larutan tanah dan air permukaan, karbon organik diperkirakan sebagian besar dalam bentuk terlarut atau karbon organik terlarut (KOT) (Mattson et al., 2005). Dalam kaitannya dengan fungsi ekosistem lahan gambut, KOT merupakan bentuk kehilangan karbon melalui aliran permukaan (Thurman, 1985; Dawson et al., 2004). Pengangkutan karbon lahan gambut melalui aliran permukaan dapat dilihat dari aliran (flux) KOT tahunan daerah aliran sungai lahan gambut. Baum et al. (2007) memperkirakan kehilangan karbon melalui KOT di DAS Siak,
3
Riau sebesar 0,32 Tg C th-1. Penelitian terakhir yang dilakukan Moore et al. (2011) pada
aliran
Sungai Sebagau,
Kalimantan
konsentrasi KOT sebesar 40,5-43,5 mg L
-1
Tengah
menunjukkan
rata-rata
atau setara 667,9-1337,2 Mg C th-1.
Sehingga KOT akan berpengaruh terhadap neraca karbon dalam ekosistem lahan gambut (Clymo, 1984 cit. Strack, 2008).
KOT banyak digunakan oleh peneliti
sebagai indikator fungsi ekosistem (Jaffrain et al., 2007). Thurman (1985) menyatakan KOT berperan penting dalam lahan basah dikarenakan konsentrasinya yang besar jika dibandingkan tanah lahan kering, pengaruhnya terhadap kemasaman larutan tanah, ketersediaan dan toksisitas unsur hara dan logam. Kandungan karbon organik tanah terlarut sangat erat kaitannya dengan aktivitas mikroba, karena fraksi karbon organik ini rentan terhadap degradasi mikroba. Kuantitas KOT sangat sensitif terhadap pengelolaan lahan, karena dapat hilang melalui pengangkutan hasil panen.
Kalbitz et al. (2000)
menyebutkan bahwa penggunaan lahan gambut mempengaruhi karakteristik asam fulvat yang merupakan fraksi utama dari BOL. Selanjutnya Kalbitz et al. (2000) menduga penggunaan lahan gambut intensif dalam waktu lama (50-200 tahun) mengakibatkan
struktur
asam
fulvat menjadi
lebih
aromatik
dan
derajat
polikondensasi yang lebih besar. Leinweber et al. (2001) menyebutkan peningkatan asam fulvat larut air yang merupakan komponen utama (sekitar 60%) dari BOL, karbohidrat dan, monomer lignin dan fenol akibat meningkatnya pengolahan tanah, aerasi dan degradasi gambut. Penelitian-penelitian tersebut diatas belum menggambarkan proses-proses interaksi antara lapisan gambut dan substratum mineral klei berpirit di bawahnya serta bagaimana pengaruh kondisi hidrologi mempengaruhi proses tersebut. Selain itu dampak interaksi tersebut terhadap lingkungan tanah dan air belum tergambarkan secara jelas dan rinci. Oleh karena itu penelitian tentang interaksi lapis gambut dan substratum bahan sulfidik terhadap perubahan karakteristik larutan gambut sebagai akibat perubahan ketebalan lapis gambut dan kondisi hidrologi perlu dilakukan dan penting artinya bagi upaya reklamasi dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk melakukan suatu kajian karakteristik kimia air akibat interaksi antara lapisan tanah gambut dan bahan sulfidik di bawahnya dengan mempertimbangkan ketebalan lapisan gambut
4
dan kondisi hidrologis lahan tersebut pada kawasan bekas pengembangan pertanian satu juta hektar. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan tujuan sebagai berikut : 1.
Mempelajari perubahan karakter kimia air gambut akibat perbedaan kondisi hidrologi dan ketebalan lapis gambut yang menumpangi bahan sulfidik;
2.
Membandingkan sifat KOT berupa tingkat aromatik dan berat molekul berdasarkan sifat serapan UV, kandungan gugus fungsional dan kandungan asam-asam organik berberat molekul rendah terlarut di dalamnya yang diisoloasi dari beberapa ketebalan lapis gambut;
3.
Mempelajari
peranan lapis gambut terhadap mobilitas KOT dan pelepasan
unsur toksik dari bahan sulfidik dibawahnya pada berbagai ketebalan gambut. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah : 1.
Didapatnya informasi tentang karakteristik kimia air gambut pada berbagai ketebalan gambut yang menumpangi bahan sulfidik dan kondisi hidrologis lahan.
2.
Diketahuinya peranan ketebalan lapisan gambut terhadap kualitas karbon organik terlarut dalam kaitannya dengan dinamika karbon dalam lingkungan lahan gambut dengan substratum bahan sulfidik.
3.
Diketahuinya mobilitas KOT dan pelepasan senyawa toksik dari bahan sulfidik sebagai akibat hilangnya atau menipisnya lapisan gambut.
4.
Karakteristik kimia air gambut dalam kaitannya dengan jeluk muka air tanah dan ketebalan gambut yang didapatkan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya penilaian dampak kegiatan reklamasi pada lahan gambut yang memiliki substratum bahan sulfidik terhadap aspek lingkungan, terutama terkait karakteristik kimia larutan tanah.
5.
Didapatnya informasi tentang tindakan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian yang lestari dan ramah lingkungan.
1.4. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian memiliki makna bahwa penelitian serupa belum pernah dilakukan sebelumnya, baik dari segi materi penelitian maupun lokasi penelitian. Berdasarkan materi penelitian, maka beberapa aspek yang pernah diteliti di lokasi penelitian yang sama adalah :
5
1.
Sifat kimia dan hasil padi sawah di kawasan Pangkoh diteliti oleh Supriyo (2005), dengan perlakuan penggenangan, pengatusan dan amelioran.
2.
Karakteristik kimia larutan tanah, air sungai dan saluran pada lahan sulfat masam diteliti oleh Haraguchi (2007) dan Haraguchi et al. (2005, 2006 dan 2007). Penelitian tersebut membahas pengaruh musiman terhadap kualitas larutan tanah, air sungai dan saluran di DAS Kahayan dan Sebangau.
3.
Kelimpahan karbon organik terlarut pada air sungai di Sungai Sebangau dan Kahayan diteliti oleh Moore et al. (2011). Materi penelitian meliputi konsentrasi dan flux KOT pada air sungai, serta pengaruh musiman terhadap kelimpahan KOT. Berbagai penelitian tersebut di atas, dilaksanakan di lokasi penelitian yang
relatif berdekatan dan waktu yang hampir bersamaan dengan penelitian ini tetapi memiliki materi penelitian yang berbeda. Sedangkan penelitian yang mempelajari peranan ketebalan lapisan gambut terhadap kimiawi air gambut dengan substratum bahan sulfidik secara menyeluruh dan serbacakup, khususnya di kawasan Pangkoh masih belum dilaporkan. Demikian juga dengan penelitian tentang kelimpahan asam-asam organik berberat molekul rendah dan kualitas karbon organik terlarut dalam air gambut tropika berdasarkan karakteristik serapan ultraviolet dan inframerah sepengetahuan penulis belum banyak dilaporkan.
6