PENDUGAAN BIOMASSA DAN POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT MERANG BEKAS TERBAKAR DI SUMATERA SELATAN
N. A. EKA WIDYASARI H.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
N.A. Eka Widyasari H. NIM E451080071
ABSTRACT N.A EKA WIDYASARI H. Biomass and Fix Carbon Estimation of Above Ground in South Sumatra’s Ex-Burned Merang Peat Forest. Under the direction of BAMBANG HERO SAHARJO and ISTOMO. Forest has urgent to absorb CO2 which is used photosynthesis to product O2 and energy dominantly in biomass. When peat forest fired, a lot of carbon reserve discharged to atmosphere so it can stimulate global warming. This study aims to estimate biomass and fix carbon contain in ex-burned merang peat forest and make models between biomass and fix carbon of various tree component (stems, branches, twigs and leaves) and also to calculate fix carbon and biomass potency in ex-burned merang peat forest. The results showed that biomass and fix carbon in ex-burned merang peat forest can be estimated using allometric equation models: Wtotal = 0,153108 D2,40 and Ctotal = 0,0302 D2,35. Fix carbon potenty in the trees very related to biomass and it can be calculated using formula Ctotal = 0,188799 W0,980. Based on parths of trees, stems are largest contributors to the potential for biomass total. Its contribute approximately 68,09 – 82,28% of total biomass. Then, in leaves, twigs and brunch each contributor 4,17 – 14,44%; 6,16 – 10,32% and 7,15 – 7,45 respectively. Fix carbon on the trees can be estimated using biomass formula and its showed 16,49 – 17,70% of trees biomass total. Biomass total and fix carbon on the above ground of ex-burned merang peat forest each showed 151.650,48 kg/ha and 29.105,19 kg/ha. Keywords : Biomass, Fix Carbon, Estimation, Model, Peat Forest.
RINGKASAN N.A EKA WIDYASARI H. Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO dan ISTOMO. Hutan mempunyai peran penting dalam menyerap CO2 yang digunakan dalam proses fotosintesis untuk menghasilkan O2 dan sebagian besar energi tersebut berada dalam bentuk biomassa. Cadangan karbon yang besar pada lahan gambut menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut terbakar yang pada akhirnya dapat memicu percepatan pemanasan global. Penelitian ini bertujuan untuk membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon terikat pada setiap bagian pohon serta menghitung potensi biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan Agustus tahun 2009 di hutan gambut merang bekas terbakar yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Untuk identifikasi spesies tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan analisis biomassa dan karbon terikat berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Puslitbang Hutan, Departemen Kehutanan pada bulan Agustus hingga November 2009. Untuk mendapatkan gambaran komposisi vegetasi maka pada tahap pertama dibuat petak menggunakan prosedur analisis vegetasi cara garis berpetak sebanyak 5 (lima) petak berukuran 20 x 20 m dimana pada petak tersebut dibuat sub petak berukuran 2 m x 2 m untuk analisis tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa, sub petak berukuran 5 x 5 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan pancang, sub petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan tiang dan petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengukuran tingkat pertumbuhan pohon. Penentuan plot di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start. Pada setiap petak penelitian dilakukan inventarisasi terhadap semua pohon yang memiliki diameter ≥ 2 cm kemudian diukur diameternya pada ketinggian 1,3 m di atas tanah (Dbh) dan tinggi. Setelah mendapatkan gambaran komposisi vegetasi dan sebaran diameter maka dipilih 20 pohon contoh secara purposif yang diharapkan dapat mewakili sebaran diameter dan jenis yang ada di lokasi. Selanjutnya dilakukan penghitungan biomassa dengan menggunakan metode destruktif sampling, yaitu melakukan penebangan kemudian penimbangan berat basah secara langsung pada tiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dan mengkonversi berat basah contoh menjadi berat kering (biomassa) menggunakan nilai kadar air (standar TAPPI T268 OM 88) yang diperoleh dari hasil analisis laboratorium. Sedangkan untuk penentuan karbon terikat melalui metode pengarangan dengan metode SNI 06 – 3730 – 1995 kemudian dilakukan pengukuran kadar zat terbang dan kadar abu. Setelah kadar zat terbang dan kadar
abu dikatahui maka dapat diketahui kadar karbon terikat (murni) yang merupakan hasil pengurangan dari 100% dikurangi total kadar zat terbang dan kadar abu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pendugaan biomassa dan kandungan karbon terikat di hutan gambut merang bekas terbakar dapat diprediksi melalui persamaan alometrik Wtotal = 0,153108 D2,40 dan Ctotal = 0,0302 D2,35. Potensi kandungan karbon terikat pada pohon berkaitan erat dengan potensi biomassa dimana hubungan keeratan antara karbon terikat dengan biomassa dapat ditunjukkan dengan model persamaan Ctotal = 0,188799 W0,980. Berdasarkan bagian pohon yang ditebang, dapat diketahui bahwa yang memiliki potensi biomassa paling besar adalah pada bagian batang berkisar antara 68,09 - 82,28% dari biomassa totalnya, kemudian diikuti bagian daun sebesar 4,17 - 14,44%, bagian ranting sebesar 6,16 - 10,32% dan terkecil pada bagian cabang sebesar 7,15 - 7,45% dari biomassa totalnya. Kandungan biomassa pada bagian batang yang lebih besar tersebut, berhubungan erat dengan hasil produksi pohon yang diperoleh dari hasil fotosintesis yang pada umumnya disimpan pada batang. Secara umum, batang mempunyai zat penyusun kayu yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian pohon lainnya sehingga menyebabkan bagian rongga sel pada batang banyak oleh komponen penyusun kayu dibandingkan air, sehingga bobot biomassa batang menjadi lebih besar. Untuk kandungan karbon terikat pada pohon dapat diduga dengan menggunakan biomassa yaitu sebesar 16,49 % - 17,70% dari biomassa pohon. Total biomassa dan karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan gambut merang bekas terbakar secara berturut-turut adalah 151.650,48 kg/ha dan 29.105,19 kg/ha. Kejadian kebakaran pada lokasi penelitian dalam intensitas yang tinggi terlihat dari terjadinya penurunan potensi biomassa sebesar 71,91% dan karbon terikat sebesar 93,13% dibandingkan dengan hutan gambut primer, hal tersebut mengindikasikan bahwa setelah terjadinya kebakaran banyak tegakan yang hilang di hutan gambut merang. Kata Kunci : Biomassa, Karbon Terikat, Model, Gambut.
PENDUGAAN BIOMASSA DAN POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT MERANG BEKAS TERBAKAR DI SUMATERA SELATAN
N. A. EKA WIDYASARI H.
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Tesis
: Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan
Nama
: N..A. Eka Widyasari H.
NIM
: E451080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr
Dr. Ir. Istomo, M.Si
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Silvikultur Tropika
Prof. Dr. Ir. IGK. Tapa Darma, M.Sc
Tanggal Ujian: 19 Februari 2010
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah potensi karbon, dengan judul “Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan”. Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Ir. Istomo, M.Si selaku komisi pembimbing yang sangat membantu proses penelitian, pembimbingan dan penyelesaiannya, Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc selaku Kepala Mayor Silvikultur Tropika serta Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS yang telah memberikan banyak saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Djoko Setijono dan Bapak Solichin yang telah membantu selama pengumpulan data dan penyediaan dana proyek penelitian GTZ Merang REDD Pilot Project. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami tercinta Yoga Sutisna, A.Md yang telah mendukung dan memberikan dukungan baik moril maupun spiritual, Mamah dan Papah serta adik-adikku (Indri, Ami dan Agung), serta keluarga besar Bapak Maman di Ciamis atas segala dorongan, bantuan, doa dan kasih sayangnya, sehingga studi ini bisa diselesaikan. Selain itu juga ucapan terimakasih kepada teman-teman SVK angkatan 2008 Mas Wahyu, Mbk Uut, Mbk Eva, Mbk Rieke, Mbk Ana, Mbk Yeni, Mbk Yanti, Mbk Tutu, Bang Ada dan Mas Rio serta teman seperjuangan Nisa, Laura, Prabu, Fitri, Desti dan Ana yang telah membantu pada saat penyusunan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2010
N.A Eka Widyasari H.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 3 Oktober 1985 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak EM. Lukmanul Hakim dan Ibu Wati Wasitoh. Jenjang pendidikan formal pertama yang ditempuh di SDN Kadomas IV Pandeglang (1991 – 1998), SLTPN I Pandeglang (1998 – 2001), SMU Lab. School UPI Bandung (2001 – 2004), kemudian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) penulis diterima di Institut Pertanian BogorJurusan Budidaya Hutan (2004 – 2008). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Silvikultur Tropika Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Sains dengan judul ”Pendugaan Biomassa dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar di Sumatera Selatan” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr sebagai ketua dan Dr. Ir. Istomo, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing.
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... vi I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................... 3 1.3 Tujuan ................................................................................................ 4 1.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................ 4 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................. 4 1.6 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 2.1 Kebakaran Hutan ................................................................................ 2.2 Biomassa ............................................................................................ 2.3 Karbon ................................................................................................ 2.4 Pendugaan dan Pengukuran Biomassa ............................................... 2.5 Model Pendugaan Biomassa dan Karbon .......................................... 2.6 Siklus Karbon ..................................................................................... 2.7 Pengaruh Karbondioksida ..................................................................
6 6 10 13 14 16 17 20
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 3.1 Luas dan Lokasi ................................................................................. 3.2 Aksesibilitas ....................................................................................... 3.3 Iklim dan Hidrologi ............................................................................ 3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon .................................... 3.5 Kondisi Sosial Ekonomi..................................................................... 3.6 Sejarah Areal ......................................................................................
22 22 22 22 24 25 26
IV. METODE PENELITIAN..................................................................... 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 4.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 4.3 Jenis Data ........................................................................................... 4.4 Peubah yang Diamati ......................................................................... 4.4.1 Kelompok Peubah Vegetasi ......................................................... 4.4.2 Kelompok Peubah Serasah dan Nekromasa ................................. 4.5 Prosedur Penelitian di Lapangan ........................................................ 4.5.1 Penentuan dan Pembuatan Petak Penelitian ................................. 4.5.2 Inventarisasi Tegakan................................................................... 4.5.3 Penebangan dan Penimbangan Berat Basah Pohon Contoh ........ 4.5.4 Pengambilan Contoh Vegetasi ..................................................... 4.5.5 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah ................. 4.5.6 Pengambilan Contoh Nekromasa .................................................
31 31 32 32 33 33 34 34 34 35 36 38 39 40
4.6 Prosedur di Laboratorium .................................................................. 4.6.1 Pengukuran Kadar Air.................................................................. 4.6.2 Pengukuran Biomassa .................................................................. 4.6.3 Pengukuran Kadar Karbon Terikat .............................................. 4.7 Analisis Data ...................................................................................... 4.7.1 Komposisi Jenis ........................................................................... 4.7.2 Model Pendugaan Biomassa dan Karbon Terikat Pohon ............. 4.7.2.1 Model Pendugaan Biomassa Pohon ....................................... 4.7.2.2 Model Pendugaan Karbon Terikat Pohon .............................. 4.7.2.3 Model Hubungan Kandungan Karbon Terikat dan Biomassa 4.7.2.4 Pemilihan Model .................................................................... 4.7.2.5 Total Potensi Biomassa Tegakan ........................................... 4.7.2.6 Total Potensi Karbon Terikat Tegakan ..................................
41 41 42 42 43 43 44 44 45 46 47 48 49
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 50 5.1 Hasil ................................................................................................... 50 5.1.1 Komposisi Jenis ........................................................................... 50 5.1.1.1 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang, Tiang dan Pohon ....... 50 5.1.1.2 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Berkayu dan Tidak Berkayu ............................................................................... 52 5.1.2 Distribusi Diameter Pohon ........................................................... 52 5.1.3 Sifat Fisik Bagian Pohon .............................................................. 54 5.1.4 Sifat Kimia Bagian Pohon............................................................ 54 5.1.5 Hubungan Diameter dengan Tinggi ............................................. 55 5.1.6 Pendugaan Biomassa di Atas Tanah ............................................ 56 5.1.6.1 Biomassa Pohon .................................................................. 56 5.1.6.2 Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah .......................... 62 5.1.6.3 Nekromasa........................................................................... 62 5.1.7 Pendugaan Karbon Terikat di Atas Tanah ................................... 63 5.1.7.1 Kandungan Karbon Terikat Pohon ..................................... 63 5.1.7.2 Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah ............................................................................................. 68 5.1.7.3 Kandungan Karbon Terikat Nekromasa.............................. 68 5.1.8 Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dengan Biomassa Pohon ........................................................................................... 68 5.2 Pembahasan ....................................................................................... 73 5.2.1 Komposisi dan Struktur Hutan ..................................................... 73 5.2.2 Sifat Fisik dan Kimia Pohon ........................................................ 75 5.2.3 Kandungan Biomassa ................................................................... 76 5.2.3.1 Kandungan Biomassa Tegakan ........................................... 76 5.2.3.2 Kandungan Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah ....... 78 5.2.3.3 Kandungan Nekromasa ....................................................... 80 5.2.4 Kandungan Karbon Terikat .......................................................... 80 5.2.4.1 Kandungan Karbon Terikat Tegakan .................................. 80 5.2.4.2 Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah 82 5.2.4.3 Kandungan Karbon Terikat Nekromasa.............................. 83 5.2.5 Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dan Biomassa Pohon ...................................................................................................... 83
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 85 6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 85 6.2 Saran ................................................................................................... 85 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 86 LAMPIRAN ................................................................................................. 90
DAFTAR TABEL No.
Teks
Halaman
1. Biomassa (ton/ha) pada berbagai Tipe Hutan ................................... 12 2. Karbon (ton/ha) pada berbagai Tipe Hutan ....................................... 13 3. Perbandingan Model Biomassa yang dihasilkan............................... 17 4. Titik Koordinat dan kedalaman Gambut ........................................... 35 5. Pohon Terpilih untuk Ditebang Berdasarkan Kelas Diameter .......... 36 6. Jenis Dominan pada Setiap Tingkat Pertumbuhan Pohon ................ 50 7. Luas Bidang Dasar (m2/ha) pada Setiap Tingkat Pertumbuhan ........ 51 8. Kerapatan Pohon pada Setiap Tingkat Pertumbuhan ........................ 51 9. Kerapatan Tertinggi Tumbuhan Bawah Berkayu dan Tidak Berkayu 52 10. Distribusi Kelas Diameter dari Tegakan Hutan ................................ 53 11. Kadar Air Rata-rata pada Setiap Bagian Pohon dan Kelas Diameter 54 12. Nilai Rata-rata KZT, K.Ab dam KKT .............................................. 54 13. Rekapitulasi Biomassa pada Setiap Bagian Pohon yang Ditebang ... 56 14. Persamaan Alometrik untuk menduga Biomassa .............................. 58 15. Biomassa Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah ......................... 61 16. Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah......................................... 62 17. Nekromasa......................................................................................... 62 18. Rekapitulasi Karbon Terikat pada Setiap Bagian Pohon .................. 63 19. Persamaan Alometrik untuk menduga Kandungan Karbon Terikat . 64 20. Kandungan Karbon Terikat Bagian Pohon ....................................... 67 21. Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah ............ 68 22. Kandungan Karbon Terikat Nekromasa............................................ 68 23. Model Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dengan Biomassa ........................................................................................................... 69 24. Proporsi Kandungan Karbon Terikat terhadap Biomassa Pohon ...... 72 25. Proporsi Karbon terhadap Biomassa pada berbagai jenis dan tipe hutan ............................................................................................................ 72
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran ....................................................... 5 2. Segitiga Api ....................................................................................... 7 3. Peta Lokasi MPDF ............................................................................ 23 4. Sungai sebagai Akses Transportasi ................................................... 22 5. Deskripsi Hidrologi Merang ............................................................. 24 6. Peta Citra Hotspot MPDF ................................................................. 27 7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir.................. 28 8. Grafik Suhu Udara Bulanan di Wilayah Tulung Salapan ................. 29 9. Grafik Kelembaban Udara Bulanan di Wilayah Tulung Salapan ..... 30 10. Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 31 11. Peralatan Penelitian ........................................................................... 32 12. Desain Petak Penelitian ..................................................................... 34 13. Pembuatan Petak ............................................................................... 35 14. Pengukuran Diameter Pohon............................................................. 36 15. Tahap Kegiatan Penebangan ............................................................. 38 16. Pengambilan sampel Bagian Batang ................................................. 39 17. Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah ...................... 40 18. Kegiatan Pengambilan Contoh Nekromasa ...................................... 41 19. Diagram Alur Pembuatan Model Biomassa Pohon .......................... 45 20. Diagram Alur Pembuatan Model Karbon Terikat Pohon ................. 46 21. Hubungan Diameter dan Tinggi Pohon ............................................ 55 22. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Batang...................... 59 23. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Cabang ..................... 59 24. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Ranting .................... 59 25. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Daun ........................ 60 26. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Total ........................ 60 27. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Non-Fotosintesis...... 60 28. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Batang............. 65 29. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Cabang ............ 65 30. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Ranting ........... 66 31. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Daun ............... 66 32. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Total ............... 66 33. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Non-Fotosintesis67 34. Hubungan Biomassa Batang dengan Karbon Terikat Batang ........... 70 35. Hubungan Biomassa Cabang dengan Karbon Terikat Cabang ......... 70 36. Hubungan Biomassa Ranting dengan Karbon Terikat Ranting ........ 70 37. Hubungan Biomassa Daun dengan Karbon Terikat Daun ................ 71 38. Hubungan Biomassa Total dengan Karbon Terikat Total ................ 71 39. Hubungan Biomassa Non-Fotosintesis dengan Karbon Terikat NonFotosintesis........................................................................................ 71
DAFTAR LAMPIRAN No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Teks
Halaman
Peta Penutupan Lahan MRPP ........................................................... Posisi Petak Contoh Penelitian ......................................................... Daftar Jenis yang Dijumpai............................................................... Hasil Analisis Vegetasi berdasarkan Tingkat Pertumbuhan ............. Hasil Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah ....................................... Kerapatan setiap jenis pohon (ind/ha) berdasarkan Kelas Diameter Kandungan rata-rata Kadar Air, KZT, K.Abu dan Karbon Terikat ..
91 92 93 94 96 97 98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran penting sebagai penyangga (buffer) lingkungan, hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah (fibrik) dapat menyimpan air sangat besar antara 500% - 1.000% bobot (kg/m3). Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah (control water system). Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air (aquifer) selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya (Noor 2001). Banyak diantara areal hutan Indonesia yang terletak di lahan gambut dan tanah organik yang mengandung karbon dalam jumlah yang besar. Lahan gambut yang belum terganggu merupakan rosot/sink untuk CO2 dan sumber bagi gas metan (CH4). Pengeringan lahan gambut untuk meningkatkan produktivitas hutan secara jelas telah menghentikan emisi CH4, tetapi menimbulkan emisi CO2 melalui
proses
dekomposisi
aerobik.
Pengeringan
lahan
gambut
yang
menyebabkan 20 – 30 cm lahan gambut yang mengalami dekomposisi aerobik, untuk kemudian dijadikan hutan dapat mengeluarkan emisi karbon yang bahkan lebih besar dari jumlah karbon yang diserap oleh hutan (Brown 2002). Penyimpanan atau pemendaman karbon berkaitan dengan pengukuhan iklim global dan kemantapan ekosistem alami. Kemampuan memendam karbon dari lahan gambut cukup besar yang berarti dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti CO2 (karbondioksida) di atmosfer dengan laju pemendaman karbon rata-rata gambut di Kalimantan sekitar 0,74 ton/ha/tahun. Jumlah karbon yang tersimpan pada kawasan tropik dapat mencapai 5.000 ton/ha, diantaranya 1.200 ton/ha gambut dunia (Noor 2001). Indonesia telah menjadi negara penyumbang gas rumah kaca terbesar ke-3 diantara negara teratas (Amerika dan Cina) sebagai negara penghasil gas rumah kaca dunia. Posisi ini didapat hanya dari emisi CO2 dari deforestrasi. Emisi
2
tahunan dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan di estimasi oleh IPCC mencapai hingga 2.563 MtCO2e dan sebagian besar diperoleh dari deforestrasi (Houghton 2003 dalam Peace 2007). Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup (2003), sekitar 24 milyar ton karbon (BtC) tersimpan pada tanaman dalam tanah dan 80% dari jumlah tersebut berada di hutan, atau sekitar 19 miliar ton karbon. Diantara 108 juta hektar luas hutan di Indonesia, hampir setengahnya berada pada kondisi yang rusak dan terdegradasi (Departemen Kehutanan 2006). Perubahan tata guna lahan dan deforestrasi diperkirakan mencapai 2 juta hektar yang dapat menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam jumlah yang besar. Emisi karbon dioksida paling besar disumbangkan oleh sektor kehutanan. Sekitar 75% berasal dari deforestrasi dan konversi lahan, diikuti 23% dari penggunaan energi di sektor kehutanan dan 2% dari proses industri di sekitar kehutanan. Kebakaran hutan adalah kontributor utama deforestrasi dan konversi lahan dengan jumlah mencapai 57% dari total deforestrasi dan konversi lahan (Peace 2007). Penelitian
Wetlands
International
(2006)
dalam
Peace
(2007),
menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun, 2.000 juta ton CO2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering (sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis) dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page (2002) menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menghasilkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antaralain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO2 di atmosfer (Peace 2007). Sehubungan dengan kejadian kebakaran hutan/lahan yang meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian ditunjukkan terjadi pada lahan/hutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut cepat meluas dan sangat sukar dikendalikan karena
3
api dapat menjalar cepat meluas dan sangat sulit dikendalikan karena api dapat menjalar mencapai lapisan dalam (Noor 2001). Kejadian kebakaran hutan yang terus terjadi di Indonesia dapat menyebabkan terjadinya penurunan luas areal hutan yang berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang dapat mempengaruhi perubahan iklim global. Salah satu wilayah di Indonesia yang sering terjadi kebakaran hutan di areal gambut adalah Provinsi Sumatera Selatan sehingga daerah tersebut berkontribusi terhadap pelepasan karbon yang cukup besar. Kandungan karbon terikat pada suatu tegakan diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan biomassa dan karbon terikat di areal gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai penghitungan potensi biomassa dan karbon terikat di areal gambut maka diperlukan suatu kajian tentang pendugaan potensi biomassa dan simpanan karbon dimana cadangan karbon pada hutan gambut dipengaruhi oleh jenis vegetasinya.
1.2 Perumusan Masalah Hutan berperan penting dalam menyerap CO2 yang digunakan dalam proses fotosintesis yang akan menghasilkan O2 dan sebagian besar energi tersebut berada dalam bentuk biomassa. Api yang cukup panas sebagai hasil dari terjadinya kebakaran hutan dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah sehingga menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbondioksida (CO2) menjadi menurun. Pada umumnya lahan gambut di dunia menyimpan sekitar 329 - 525 giga ton (Gt) karbon dan sekitar 14 % (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tingginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut terbakar yang pada akhirnya memicu percepatan pemanasan global. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana komposisi jenis dan struktur hutan gambut bekas terbakar?
4
b. Bagaimana model penduga biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut bekas terbakar? c. Bagaimana profil serapan karbon terikat pohon dan bagaimana penyebarannya pada bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) pada setiap kelas diameter?
1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Membuat model penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) 2. Membuat model hubungan antara biomassa dengan karbon terikat pada setiap bagian pohon. 3. Menghitung potensi biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar.
1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi positif dan signifikan terhadap diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter. 1.5 Manfaat Penelitian Apabila model penduga kandungan karbon terikat hutan gambut merang bekas terbakar dapat disusun maka dapat membantu dalam menduga kandungan karbon terikat dari hutan gambut bekas terbakar tanpa harus menebang pohonnya yang diharapkan menjadi masukan bagi berbagai pihak terkait sebagai bahan pertimbangan dalam mengelola hutan gambut untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari.
1.6 Kerangka Pemikiran Penyusunan model penduga biomassa dan karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 1.
5
Hutan mempunyai peran penting dalam penyerapan karbon
Api yang cukup panas yang berasal dari kejadian kebakaran hutan dapat mematikan 100% tumbuhan hijau, 75% tumbuhan bawah, dan 80% organisme penutup tanah
Terjadi penurunan dalam penyerapan karbon
Kayu
Non-kayu
Pengikat karbon Biomassa bagian pohon Biomassa Contoh pohon terpilih (dbh≥2 cm) Destruktif sampling
Diameter dan tinggi
Nekromasa
Sampel: batang, cabang, ranting dan daun
Hubungan diameter dan tinggi pohon Tinggi = f (Diameter)
Tumbuhan bawah dan serasah
Dikering oven
Biomassa bagian pohon Biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa
Diarangkan Model penduga biomassa Pohon: Biomassa = f (diameter, tinggi)
Potensi Karbon Terikat Karbon terikat tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa
Model Penduga karbon terikat pohon: Karbon Terikat = f (diameter, tinggi) Karbon Terikat = f (biomassa)
Kandungan Karbon Terikat Pohon
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
P
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan Kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting atau cabang pohon mati, snags atau pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon dimana setiap kebakaran yang bukan dilakukan secara sengaja pada areal-areal yang tidak direncanakan (Brown dan Davis 1973). Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), pembakaran terjadi melalui dua proses, yaitu proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis. Secara ringkas kedua proses tersebut dapat dilihat di bawah ini: Proses Fotosintesis : 6CO2 + 6H2O + Energi Matahari
(C6H12O6)n + 6O2
Proses Pembakaran : (C6H12O6)n + 6O2 + kindling temperatur
CO2 + 6H2O + Energi
Panas Terdapat tiga komponen penting yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran, yaitu (1) tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar, (2) panas yang cukup untuk digunakan dalam menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik penyalaan, (3) diperlukan adanya suplai O2 yang cukup, dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berlangsung dan untuk mempertahankan suplai panas yang cukup dan memungkinkan terjadinya pembakaran bahan bakar yang sulit terbakar (Brown dan Davis 1973). Ketiga komponen tersebut akan membentuk suatu segitiga api (Gambar 2).
7
Oksigen (O2)
API
Bahan bakar
Sumber panas
Gambar 2. Segitiga Api (Brown dan Davis 1973) Menurut Chandler et al., (1983), terdapat lima fase dalam pembakaran meliputi : 1. Fase Pre-ignition Pada fase ini bahan bakar mulai mengalami pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hidrogen (proses pyrolisis). Dalam proses ini terjadi perubahan reaksi yaitu dari proses exothermic (memerlukan panas) menjadi endothermic (melepaskan panas). 2. Fase Flaming combustion Pada tahap ini reaksi eksotermis dapat menaikkan temperatur melebihi 300 - 500°C. Pyrolisis melaju dan mempercepat proses oksidasi dari gas-gas yang mudah terbakar. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap yang dihasilkan dari pyrolisis naik ke atas permukaan bahan bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar selama fase ”flaming”. Api menjadi lebih mudah membesar dan bergerak sesuai dengan gerakan angin. Seperti massa dari gas yang terbakar dalam fase ini. Oksidasi gas-gas organik yang tinggi dan gas-gas dalam zona penyalaan menghasilkan massa terbesar dari produk pembakaran seperti H2O, CO2, SO2, N2 dan NO(x). Fase ”flaming” tidak terjadi pada semua bahan bakar. 3. Fase Smoldering Fase ini biasanya mengikuti fase ”flaming combustion” di dalam suatu pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses yang dominan. ”Smoldering” adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe bahan bakar ”duff” dan tanah organik. Laju penjalaran api menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas
8
yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap. 4. Fase Glowing Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengurang. Produk utama dari fase ”glowing” adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran. Pada fase ini temperatur puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300°C - 600°C. 5. Fase Extinction Pada fase ini, api akhirnya padam saat semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah air yang diperlukan dari bahan bakar yang lembab atau basah.
Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari : a. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels) Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan. b. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels) Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. c. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels) Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antaralain cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak, pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak belukar lebih tinggi dari 1 – 2 meter di atas tanah.
9
Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga tipe kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu: a. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang lalu terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan. b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan,
baik
berupa
serasah,
jatuhan
ranting,
dolok-dolok
yang
bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berda di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon. c. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit
10
pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.
2.2 Biomassa Biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) (Chapman 1976). Menurut Brown (1997), biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik yang hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang, batang utama dan kulit yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian, limbah hutan, tinja dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar) (Anonim 2008). Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga dapat menyediakan sumber energi secara berkesinambungan (sustainable). Di Indonesia, biomassa merupakan sumber daya alam yang sangat penting dengan berbagai produk primer sebagai serat, kayu, minyak, bahan pangan dan lain-lain yang selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik juga diekspor dan menjadi tulang punggung penghasil devisa negara (Anonim 2008). Menurut Atiek (2003), hutan memiliki cadangan karbon yang sangat besar. Biomassa hutan menyediakan penaksiran gudang karbon dalam tumbuhan hutan karena sekitar 50% nya adalah karbon. Karena itu, biomassa menunjukkan jumlah potensial karbon yang dapat dilepas ke atmosfer sebagai karbon dioksida ketika hutan ditebang dan atau dibakar. Sebaliknya, melalui penaksiran biomassa dapat
11
dilakukan perhitungan jumlah karbondioksida yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau dengan penanaman (Brown 1997). Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana 1993 dalam Onrizal 2004). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produktivitas primer bersih. Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al., 2004). Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah. Pemanenan hasil kayu (kayu bangunan, pulp, arang atau kayu bakar), resin, buah-buahan, daun untuk makanan ternak menyebabkan berkurangnya cadangan karbon dalam skala plot, tetapi belum tentu
12
demikian jika kita perhitungkan dalam skala global. Demikian juga halnya dengan hilangnya bahan organik tanah melalui erosi (Rahayu et al., 2004). Tabel 1. Biomassa (ton/ha) pada Berbagai Tipe Hutan Biomassa Lokasi dan Jenis Pohon Hutan Tegakan Mahoni
(ton/ha) 1,891
Metode
Sumber
Destruktif
Adinugroho (2002)
Destruktif
Istomo (2002)
Destruktif
Hilmi (2003)
Destruktif
Onrizal (2004)
Destruktif
Salim (2005)
Destruktif
Adinugroho (2006)
Destruktif
Langi (2007)
Destruktif
Rahma (2008)
Destruktif
Limbong (2009)
Destruktif
Novita (2010)
Hutan Rawa Gambut Primer di Atas Permukaan Tanah , Riau 1. Ketebalan gambut 2 – 3 m
206,10
2. Ketebalan gambut 4 – 5 m
277,92
3. Ketebalan gambut 6 – 7 m
304,15
Hutan Mangrove 1. Rhizopora apiculata
926,2
2. Rhizopora muconata
23,56
3. Bruguiera spp
71,26
Hutan Kerangas, Kalimantan Barat*
874,87
Tegakan Puspa di PT. MHP Sumatera Selatan* 1. Kelas diameter 2 – 10 cm
18,190
2. Kelas diameter 10 – 20 cm
13,687
3. Kelas diameter > 20 cm
34,678
Hutan Sekunder Bekas terbakar di Kalimantan Timur
36,826
Hutan Rakyat Cempaka dan Wasian 1. Tegakan Murni di Masarang
504,799
2. Tegakan Campuran di Tareran
142,991
Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor 1. Areal tidak terbakar
2,618
2. Areal terbakar 2 kali
1,221
Tegakan Acacia crassicarpa, Sumsel* 1. Umur 2 tahun
127,153
2. Umur 4 tahun
100,569
3. Umur 6 tahun
138,317
Hutan Gambut bekas Tebangan, Sumsel*
287,13
Beberapa sistem penilaian karbon global memperhitungkan aliran karbon (khususnya yang berkaitan dengan pohon/kayu) dan dekomposisi yang terjadi. Tetapi memperoleh hasil penilaian yang konsisten cukup sulit apabila metode penilaian tidak memperhitungan keseluruhan cadangan karbon yang ada, khususnya di daerah perkotaan. Sebagai contoh, memperhitungkan lama hidup alat-alat rumah tangga yang terbuat dari kayu yang tetap tersimpan dalam bentuk
13
kayu untuk jangka waktu yang lama dan tidak menjadi sumber emisi karbon. Untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomassa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (Rahayu et al .,2004).
2.3 Karbon Karbon merupakan komponen penting penyusun biomassa tanaman melalui proses fotosintesis, kandungannya sekitar 45 – 50% bahan kering dari tanaman. Adanya peningkatan kandungan karbon dioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi
kebijakan
negara-negara
didunia
untuk
mempertahankan
keberadaan hutan yang dapat dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon, sehingga para ilmuwan meneliti kandungan karbon yang tersimpan di hutan (Salim 2005). Tabel 2. Karbon (ton/ha) pada Berbagai Tipe Hutan Karbon Lokasi dan Jenis Pohon Hutan Kerangas, Kalimantan Barat*
(ton/ha) 169,21
Tegakan Puspa di PT. MHP Sumatera Selatan* 1. Kelas diameter 2 – 10 cm
1,483
2. Kelas diameter 10 – 20 cm
2,120
3. Kelas diameter > 20 cm
5,880
Hutan Sekunder Bekas terbakar di Kalimantan Timur
18,413
Hutan Rakyat Cempaka dan Wasian 1. Tegakan Murni di Masarang
158,389
2. Tegakan Campuran di Tareran
52,601
Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor 1. Areal tidak terbakar
1,204
2. Areal terbakar 2 kali
0,561
Tegakan Acacia crassicarpa, Sumsel* 1. Umur 2 tahun
23,032
2. Umur 4 tahun
19,567
3. Umur 6 tahun
26,377
Hutan Gambut, Riau (Sebelum Pemanenan (virgin forest))
172,16
Keterangan: * karbon terikat
Metode
Sumber
Destruktif
Onrizal (2004)
Destruktif
Salim (2005)
Destruktif
Adinugroho (2006)
Destruktif
Langi (2007)
Destruktif
Rahma (2008)
Destruktif
Limbong (2009)
Destruktif
Perdhana (2009)
14
Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika, baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah, dan sebagai material yang sukar lapuk di tanah (Whitmore 1985). Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam 3 komponen pokok (Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu: a. Biomassa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk. c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.
2.4 Pendugaan dan Pengukuran Biomassa Menurut Brown (1997), berdasarkan cara memperoleh data terdapat dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit kayu sampai batang bebas cabang yang kemudian diubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha) dan pendekatan dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan allometrik. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut:
15
Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF.............(Brown et al.,1997) Keterangan: VOB = Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha) WD = Kerapatan kayu (m3) BEF = Biomassa Expansion Factor Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dsar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter. Biomassa di atas tanah (Y) = aDb Keterangan: Y = Berat kering per pohon (kg) D = Diameter setinggi dada (130 cm), a dan b merupakan konstanta Menurut Chapman (1976) terdapat dua metode pendugaan biomassa di atas tanah, yaitu: 1) Metode Pemanenan a) Metode pemanenan individu tanaman Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan tumbuhan/pohon cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area tertentu. b) Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen didalam suatu unit area tertentu. c) Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar (Lbds) rata-rata Metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran individu yang seragam. Pohon ditebang dan ditentukan berdasarkan ratarata diameternya dan kemudian menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh
16
yang ditebang dengan jumlah individu pohon atau jumlah berat dari semua individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara Lbds dari semua pohon dalam suatu unit area dengan jumlah Lbds dari semua pohon contoh. 2) Metode Pendugaan tidak langsung a) Metode hubungan alometrik Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara diameter pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan alometrik, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area contoh tertentu. b) Crop meter Pendugaan biomassa dengan metode ini dilakukan dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.
2.5 Model Pendugaan Biomassa dan Karbon Biomassa dan kandungan karbon pohon dapat diduga dengan membuat suatu model penduga. Model biomassa mestimulasikan penyerapan karbon melalui proses fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan dengan tinggi dan diameter pohon (Kusmana 1996 dalam Salim 2005). Sebelum
pembuatan
model
diperlukan
parameter-parameter
yang
mendukung keberadaan model tersebut, yang menjadi kriteria adalah adanya korelasi yang tinggi antara parameter-parameter penciri. Dalam pembuatan model penduga biomassa digunakan satu atau dua peubah bebas (diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, tinggi total dan tinggi tajuk) dalam bentuk linear dan non linear.
17
Terdapat beberapa persamaan umum model penduga biomassa pohon yang telah dipakai oleh beberapa peneliti antara lain: a. Model dengan satu peubah bebas: W = a Db …… (Brown 1997) W = a + bD + cD2 …….(Brown 1997) b. Model dengan dua peubah bebas: W = a (D2H)b …..(Ogawa et al. 1965 dalam Salim 2005) W = a + bD2H ….(Brown 1997) Keterangan: W D H a, b
= = = =
Tabel 3.
Biomassa kering pohon (kg) Diameter pohon setinggi dada (cm) Tinggi (m) Konstanta Perbandingan Model Biomassa yang dihasilkan berdasarkan Koefisien a dan b dari Berbagai Jenis Pohon dan Tipe Hutan Koefisien Alometrik Lokasi dan Jenis Pohon
R2
a
b
(%)
Sumber
Hutan Tegakan Mahoni
0.044
2.61
94.50
Adinugroho (2002)
Hutan Kerangas
0.068
2.829
98.94
Onrizal (2004)
Tegakan Puspa di PT. MHP, Sumsel
0.2621
21.038
98.99
Salim (2005)
Hutan Sekunder Bekas terbakar, Kaltim
0.0912
2.22
94.9
Adinugroho (2006)
Batang
Hutan Sekunder Puspa di Jasinga Bogor
Rahma (2008)
1. Areal tidak terbakar
0.486
2.08
73.60
2. Areal terbakar 2 kali
0.605
4.34
34.40
Tegakan Acacia crassicarpa, PT. SBAWI Sumsel
Limbong (2009)
1. Umur 2 tahun
1,468
1,437
85,6
2. Umur 4 tahun
0,007
3,1929
87,8
3. Umur 6 tahun
1,2727
1,6191
84,5
0,158976
2,44672
95,7
Hutan Gambut Bekas Tebangan, Sumsel
Keterangan: Koefisien dihitung berdasarkan persamaan W = aD
Novita (2010)
b
2.6 Siklus Karbon Menurut Wikipedia (2009), siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi. Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan
18
oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan karbon, pertukaran karbon antar reservoir terjadi karena adanya proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Lautan mengandung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer. Menurut Anonim (2009), daur karbon merupakan bagian dari daur energi. Reaksi fotosintesis sangat esensial untuk daur karbon maupun daur energi, melalui proses fotosintesis tersebut karbon dioksida berhubungan dengan mahluk hidup. Melalui proses fotosintesisnya tumbuhan hijau berperan dalam daur karbon, karbon diubah menjadi karbohidrat dengan bantuan energi matahari dan pigmen klorofil. Reaksi tersebut biasanya terjadi di hutan-hutan padang rumput dan juga dirumput laut dilautan. Dalam daur karbon, karbon dioksida dibutuhkan tumbuhan yang kemudian akan dikonsumsi hewan, ikan dan manusia untuk kebutuhan sel dan energi. Dalam bentuk karbon dioksida dikembalikan ke alam, bila hewan atau tumbuhan tersebut mati akibat kerja mikroorganisme karbon akan dikembalikan ke bumi. Aspek penting lain dari daur karbon adalah reaksi non biologi yaitu pertukaran antara karbon dioksida dan bikarbonat yang umumnya terjadi dalam perairan pada kondisi tertentu karbonat akan berpresipitasi dengan membentuk batu kapur (lime stone). Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0,04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan berperan dalam pemanasan global (Wikipedia 2009).
19
Jumlah CO2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 μmol/ mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300 μmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850, CO2 di atmosfer meningkat secara eksponensial sampai mencapai 352 μmol/mol pada tahun 1990. CO2 meningkat sekitar 1,4 μmol/mol/tahun selama 15 tahun terakhir, tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2 μmol/mol, sebuah lompatan terbesar dan lebih dari 0,5% dari kandungan CO2 saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan. Ekosistem mantap seperti hutan hujan tropika menambah CO2 ke atmosfer (melalui respirasi dan pembusukan) sebanyak yang mereka ambil, tetapi apabila hutan itu ditebang dan di bakar maka karbon yang tersimpan di biomassanya dan sebagian besar atau semua simpanan karbon di tanah berpindah dari biosfer ke atmosfer (Salisbury 1995). Dalam jangka pendek (yakni selama masa hidup kita), CO2 ditambahkan ke atmosfer oleh respirasi tumbuhan, mikroorganisme, dan hewan, oleh pembakaran bahan bakar fosil, serta oleh pembukaan lahan. Dalam kurun waktu geologi (dan berlanjut sampai sekarang), CO2 ditambahkan ke atmosfer melalui semburuan gunung berapi dan semburan mata air mineral. Dalam jangka pendek, fotosintesis merupakan salah satu mekanisme penting pengambilan CO2 dari atmosfer. Mekanisme lainnya adalah pelarutan CO2 di samudra dan laut, dengan karbonat padat dan terlarut dalam keadaan setimbang dengan CO2 dimana apabila terjadi perubahan pada yang satu maka akan mempengaruhi yang lainnya, sehingga konsentrasi CO2 pada skala dunia disangga oleh karbonat di dalam air (Salisbury 1995). Selanjutnya menurut Salisbury (1995), peningkatan CO2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian karena CO2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang gelombang yang lebih panjang (karena bumi jauh lebih
20
dingin daripada matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi. Pemanasan permukaan bumi tersebut dalam waktu ratusan tahun akan mencairkan cukup banyak es di daerah kutub sehingga permukaan air laut akan naik dan menggenangi banyak kota pantai. Perubahan iklim lain yang menyertainya terutama pada pola curah hujan, akan sangat banyak mengubah pertanian dan vegetasi alam.
2.7 Pengaruh Gas Karbon Dioksida Pada umumnya karbon menyusun 45 – 50 % bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global dari atmosfer akan dianggap sebagai masalah lingkungan selanjutnya berbagai ekolog tertarik untuk menghitung karbon yang tersimpan di hutan. Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah besar sehingga hutan tropika merupakan cadangan simpanan karbon yang penting (Whitmore 1985). Menurut Fardiaz (1992), pengaruh gas rumah kaca terbentuk dari interaksi antara CO2 atmosfer yang jumlahnya meningkat dengan radiasi sinar matahari. Kira-kira sepertiga dari sinar yang mencapai permukaan bumi akan direfleksikan kembali ke atmosfer. Sebagian besar sisanya akan diabsorpsi oleh benda-benda seperti batu karang dan benda lainnya. Sinar yang diabsorpsi tersebut akan diradiasi kembali dalam bentuk inframerah dengan panjang gelombang lebih panjang dari sinar tampak yang dapat dirasakan sebagai panas jika bumi menjadi dingin. Sinar dengan panjang gelombang yang lebih tinggi tersebut akan diabsorpsi oleh CO2 atmosfer dan membebaskan panas sehingga suhu akan meningkat. Kenaikan suhu ini akan mengakibatkan bertambahnya perolehan gunung es dan kemungkinan menyebabkan bertambahnya kedalaman laut. Gas rumah kaca yang terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oxide (N2O) dan beberapa gas lainya merupakan gas yang terperangkap dalam atmosfir. Menurut data UNFCCC konsentrasi global karbon dioksida dan beberapa gas rumah kaca lainnya terjadi peningkatan. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca diatas akan menyebabkan peningkatan temperatur sehingga suhu udara atmosfer menjadi lebih panas (Pambudi 2008).
21
Tanaman atau biomassa akan mengurangi konsentrasi karbondioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Karbon dioksida (CO2) yang diserap untuk tumbuh dan berkembang. Ketika biomassa dibakar, karbon (C) akan diubah kedalam bentuk karbon dioksida dan kembali ke atmosfer. Proses ini berlangsung secara terus menerus sehingga jumlah konsentrasi karbon dioksida di atmosfer akan selalu seimbang bila sejumlah biomassa menyerap sejumlah karbon dioksida yang seimbang. Tetapi bila konsumsi energi fosil menjadi meningkat maka konsentrasi karbon dioksida akan meningkat. Sehingga penambahan biomassa dibutuhkan untuk menyeimbangkan kembali jumlah karbon dioksida yang diserap dan dilepaskan (Pambudi 2008). Kenyataannya, peningkatan sejumlah energi fosil seperti gas, minyak yang terjadi belakangan ini tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah biomassa, yang terjadi adalah apa yang dinamakan deforestasi atau penggundulan hutan, pembalakan dan sebagainya. Hal tersebut makin meningkatkan konsentrasi karbon dioksida. Penggunaan biomassa sebagai pengganti bahan bakar dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida (Pambudi 2008).
22
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Areal ini merupakan bagian dari area gambut yang berhubungan dengan Taman Nasional Sembilang sebelah Timur, hutan gambut Muaro Jambi di utara dan Taman Nasional Berbak di bagian barat daya. Kubah gambut terletak tepat diantara sungai Medak dan Kepayang (Gambar 3). 3.2 Aksesibilitas Desa yang termasuk kedalam lokasi terdekat dengan MPDF adalah desa Muara Merang dimana jarak dari Palembang ke desa ini sekitar 225 km yang dapat ditempuh dengan akses darat atau sungai selama 4-5 jam. Sarana transportasi yang paling penting bagi masyarakat adalah melalui jalur sungai. Kota terdekat dari desa ini adalah kota Bayung Lencir dengan waktu tempuh selama 2 jam menggunakan perahu.
Gambar 4. Sungai sebagai Akses Transportasi
3.3 Iklim dan Hidrologi Area MDPF memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2454 mm/tahun dengan curah hujan bulanan terendah pada bulan Agustus dengan intensitas 85 mm dan 324 mm tertinggi pada bulan November. Berdasarkan klasifikasi iklim
23
PT.Pakerin
TN.Sembilang PT. RHM
PTPN VII Sungai
MPDF
PT.Wahana Lestari
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 3. Peta Lokasi Merang Peat Dome Forest (MPDF)
24
Oldeman, area ini termasuk ke dalam zona B1, yang berarti memiliki intensitas curah hujan yang cukup (Solichin 2008). Kondisi hidrologi areal MDPF dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Lalan dan anak sungainya, yaitu Sungai Merang, Sungai Kepahyang dan Sungai Medak yang termasuk kedalam DAS Lalan dan bermuara di Selat Bangka. Sungai tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kondisi hidrologi dan proses pembentukan gambut serta berpengaruh terhadap fluktuasi genangan air.
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 5. Deskripsi Hidrologi Merang Sungai Merang mengalir ditengah kubah gambut (peat dome) yang terletak tepat diantara Sungai Kepayang dan Medak. Sungai Merang memiliki banyak anak sungai diantaranya adalah Sungai Cangkak, Sungai Buring, Sungai Beruhun dan Sungai Bawo. Sungai Merang mengalir dari daerah Petaling (perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi) sampai ke Sungai Lalan di desa Bakung, Kecamatan Bayung Lencir.
3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon Berdasarkan hasil penelitian South Sumatra Forest Fire Management Project European Union (SSFFMP-EU) tahun 2005, diketahui bahwa gambut yang berada di sekitar lokasi penelitian tergolong pada gambut dangkal, sedang
25
dan gambut dalam dengan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata pada tingkat hemik - saprik, sedangkan pada kedalaman > 1 m pada tingkat kematangan saprik. Dilihat dari karakteristik kimia gambut, pH tanah tergolong masam dimana nilai kemasaman gambut diperoleh dari hasil sumbangan ion H+ dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan gambut (SSFFMP-EU 2005). Kandungan C di lahan gambut dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5% sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah C/N tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan. Berdasarkan kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) MPDF dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam menyerap unsur-unsur hara (SSFFMP-EU 2005). MPDF merupakan salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Menurut Wetlands dan IPB (2003), hutan rawa gambut Merang dan Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Pada tahun 2006, SSFFMP membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut dan DEM SRTM menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan kedalaman rata-rata gambut 208 cm (Mott 2006). Ballhorn (2007) menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meter, MPDF mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO2.
3.5 Kondisi Sosial Ekonomi Secara administratif area di MPDF hampir sama dengan desa Muara Merang. Muara Merang terdiri dari 3 dusun yaitu Kepahyang, Bakung dan Bina Desa yang berlokasi di pinggir sungai. Jumlah penduduk yang tinggal di desa ini
26
berjumlah 1.240 jiwa terdiri dari 273 kepala keluarga. Penduduk desa ini bermatapencarian utama sebagai penebang kayu (pembalak), petani, buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan nelayan. Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung, yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayu-kayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.
3.6 Sejarah Areal Kejadian kebakaran dilaporkan terjadi sejak tahun 1960, kemudian terjadi kebakaran berulang pada tahun 1982, 1987, 1997 (Lubis et al., 2004). Hal tersebut diakibatkan
oleh
kegiatan
pembalakan
yang
terus
berlangsung
yang
menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologi dari ekosistem kubah gambut (peat dome) menjadi kering. Selain itu, para pembalak liar memperburuk kondisi hutan dengan membuat galian parit seperti bentuk kuda-kuda untuk dapat mengangkut potongan kayu keluar dari kubah hutan pada waktu musim kemarau. Kelalaian dari penebang liar diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran adalah sumber api yang berasal dari kegiatan memasak maupun puntung rokok. Berdasarkan hotspot yang terdeteksi menunjukkan bahwa kebakaran hutan di MPDF sudah terjadi sejak tahun 1997, dimana kebanyakan terjadi di areal yang terdegradasi di sepanjang sungai. Kubah gambut yang tersisa masih tetap utuh. Bagaimanapun juga aktivitas penebangan yang baru dimulai pada tahun 2003 didalam areal proyek yang diusulkan untuk beroperasi dimana pada area tersebut ditemukan adanya hotspot. Hal tersebut mengindikasikan adanya aktivitas yang dimulai di dalam area dan kebanyakan adalah kegiatan illegal logging.
27
Berdasarkan peta rawan kebakaran, menunjukkan bahwa area dalam tingkat kerawanan yang tinggi.
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 6. Peta Citra Hot spot di MPDF Sumatera Selatan Pada Gambar 6 dapat dilihat mengenai titik api pada areal MPDF bahwa pertama kali hotspot muncul pada tahun 1997 yang terjadi di areal hutan yang terdegradasi yang berada disekitar sungai. Selanjutnya tahun 1998 sampai tahun 2000 tidak ditemukan adanya titip api, dan ditemukan kembali adanya titik pada tahun 2003 karena adanya kegiatan penebangan di areal proyek yang diusulkan. Kegiatan ini mengakibatkan jumlah titik api semakin banyak, hal tersebut terlihat pada citra satelit tahun 2004, kemudian titik api mulai tidak ditemukan lagi pada
28
tahun 2005. Hingga akhirnya pada tahun 2006 merupakan puncak dimana banyak ditemukannya titik api dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kejadian kebakaran hutan di MPDF pada tahun 2006 diduga disebabkan karena semakin banyaknya areal yang terdegradasi akibat dari kegiatan penebangan liar maupun akibat terjadinya kebakaran berulang yang menyebabkan hutan menjadi areal terdegradasi sehingga rentan untuk terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan illegal logging menyisakan limbah sisa penebangan yang dapat menjadi bahan bakar yang sangat potensial dan apabila terdapat sumber penyulutan maka akan memicu terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2006 di areal MPDF selain dipengaruhi oleh aktivitas illegal logging maupun kebakaran hutan tahun sebelumnya yang menyebabkan degradasi hutan juga dipengaruhi oleh faktor iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban). Faktor iklim merupakan faktor pendukung untuk terjadinya kebakaran hutan, dapat dilihat pada gambar 7, 8 dan 9. Berdasarkan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang terhadap data curah hujan bulanan di Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin dari bulan Januari sampai Desember tahun 2005, 2006 dan 2007 (Gambar 7).
Gambar 7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin Grafik di atas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terjadi perbedaan curah hujan dan terdapat bulan yang tidak mengalami kejadian hujan yaitu pada bulan Agustus 2006 dan pada tahun 2007 terdapat data curah hujan paling rendah dibandingkan dengan bulan lain yaitu sebesar 5 mm/bulan. Pada
29
bulan tersebut merupakan bulan yang sangat rentan terjadinya kebakaran hutan, hal ini terbukti, bahwa kejadian kebakaran hutan di lokasi penelitian yang terjadi pada tahun 2006 diperkirakan terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai dengan adanya bulan kering. Oleh karena itu, pada periode inilah dimulainya proses akumulasi pengeringan dan penumpukan bahan bakar sehingga kadar airnya semakin menurun dan apabila terdapat sumber penyulutan maka bahan bakar tersebut akan relatif mudah untuk terbakar. Untuk data pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan data hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang di Desa Tulung Salapan karena secara umum kondisi cuaca di Palembang hampir sama. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2006 terjadi pada bulan Oktober sebesar 28,9°C sedangkan suhu udara minimal pada bulan Januari sebesar 26,4°C. Sedangkan suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2007 terjadi pada bulan Mei dan September sebesar 27,5°C dan minimal pada bulan Desember 26,4°C (Gambar 8).
Gambar 8. Grafik Suhu Udara Bulanan (°C) di Wilayah Tulung Salapan Untuk kelembaban udara bulanan maksimal terjadi pada tahun 2006 yaitu pada bulan Januari hingga Juni sebesar 87%, sedangkan kelembaban udara minimum pada bulan Oktober sebesar 71%. Pada tahun 2007 kelembaban udara maksimal pada bulan Januari sebesar 88% dan kelembaban udara minimal pada
30
bulan September sebesar 78%. Semakin tinggi suhu berarti kelembaban udara semakin rendah, hal ini berarti bahwa daerah tersebut berpeluang besar terhadap kejadian kebakaran hutan. Hal ini dapat dilihat bahwa kejadian kebakaran pada bulan Agustus hingga Oktober 2006 ditandai dengan meningkatnya suhu dan rendahnya kelembaban udara.
Gambar 9. Grafik Kelembaban Udara Bulanan (%) di Wilayah Tulung Salapan
31
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan Agustus tahun 2009 di hutan gambut merang bekas terbakar yang terletak di Kabupaten Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Untuk identifikasi spesies tumbuhan dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong dan analisis biomassa dan karbon terikat berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Puslitbang Hutan, Departemen Kehutanan pada bulan Agustus hingga November 2009.
Gambar 10. Peta Lokasi Penelitian
32
4.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompas, GPS (Global Positioning System) Garmin 60CSx, bor gambut, paralon (untuk patok), phi band, parang/golok, meteran (panjang 50 m dan 100 m), terpal (2 x 3 m), tambang, tali rafia, timbangan (25 kg, 50 kg), timbangan analitik (5 kg), chainsaw, karabiner dan webing, gunting daun, cawan porselen, tanur, eksikator, kamera serta alat tulis. Sedangkan bahan yang digunakan adalah tali rafia, kertas koran, alkohol 70%, kantong plastik (2 kg), kertas label, cat semprot merah, amplop, sealed plastic untuk menyimpan sampel, serta tally sheet.
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 11. Peralatan Penelitian
Keterangan : (a) Timbangan (5 kg, 25 kg dan 50 kg), timbangan analitik (5 kg), meteran (100 m), pita diameter, tali tambang dan gunting daun (b) Gergaji dan parang (c) Patok yang terbuat dari pipa, tali tambang, GPS, kompas, meteran dan pita diameter (d) Chainsaw
4.3 Jenis Data Data- data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Data Primer : data yang diperoleh langsung dari kegiatan di lapangan yaitu diameter dan tinggi pohon, berat basah total berdasarkan bagian-bagian
33
pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa pada setiap petak penelitian, kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat. b. Data Sekunder : kondisi umum lokasi penelitian meliputi luas dan lokasi administratif, aksesibilitas, iklim dan hidrologi, karakteristik gambut, kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan sejarah areal.
4.4 Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari kelompok peubah vegetasi dan serasah. 4.4.1 Kelompok Peubah Vegetasi Vegetasi hutan yang akan diukur dan diamati adalah dengan kriteria sebagai berikut: a. Pohon, yaitu semua tumbuhan berkayu yang memiliki diameter setinggi dada ≥ 2 cm (Heriyanto et al. 2002). Peubah vegetasi berupa pohon yang diamati terdiri dari : 1) Nama jenis, jumlah individu dan diameter pohon. 2) Untuk pohon yang terpilih sebagai contoh uji untuk penduga biomassa dan kandungan karbon terikat pohon, peubah yang diukur dilapangan yaitu diameter, tinggi, berat basah total berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) dan berat basah contoh. Sedangkan di laboratorium peubah yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat dari pohon berdasarkan bagian-bagiannya. 3) Pohon dikelompokkan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, dengan kriteria sebagai berikut: a) Pancang adalah regenerasi pohon yang memiliki diameter ≥ 2 cm – 10 cm b) Tiang adalah pohon muda yang memiliki diameter 10,01 – 20 cm c) Pohon adalah pohon dewasa yang memiliki diameter > 20,01 cm b.
Tumbuhan bawah terdiri atas tumbuhan berkayu (diameter < 2 cm) dan tumbuhan tidak berkayu. Peubah yang diukur di lapangan adalah berat basah
34
dan berat basah contoh. Sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat. Pengukuran semua peubah tersebut diklasifikasikan berdasarkan bagian-bagiannya.
4.4.2 Kelompok Peubah Serasah dan Nekromasa Peubah serasah terdiri dari serasah jatuhan daun sedangkan nekromasa adalah bagian dari pohon yang telah mati meliputi tunggak pohon bagian batang, cabang serta ranting. Peubah serasah dan nekromasa yang diukur di lapangan adalah berat basah total dan berat basah contoh sedangkan yang diukur di laboratorium adalah kadar air, kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat.
4.5 Prosedur Penelitian di Lapangan 4.5.1 Penentuan dan Pembuatan Petak Penelitian Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak hutan gambut merang bekas terbakar. Pembuatan petak ini sesuai dengan prosedur analisis vegetasi cara garis berpetak sebanyak 5 (lima) petak berukuran 20 m x 20 m (Soerianegara dan Indrawan 2008). Penentuan petak di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start dengan jarak antara petak contoh yang satu dengan yang berikutnya relatif sama. Petak ditentukan dengan mempertimbangkan kedalaman gambut dan jarak tiap petak masing-masing 200 m dimana petak pertama ditentukan secara acak. Adapun gambar desain petak terlihat pada Gambar 12. 20 m
c 20 m b a
Gambar 12. Desain Petak Penelitian
35
Lanjutan (Gambar 12) Keterangan : a. Sub- petak ukuran 2 m x 2 m untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa b. Sub-petak ukuran 5 m x 5 m untuk analisis vegetasi tingkat pancang (≥ 2 cm Ø ≤ 10 cm) c. Sub-petak ukuran 10 m x 10 m untuk analisis vegetasi tingkat tiang (≥ 10,01 cm Ø ≤ 20 cm) d. Petak ukuran 20 m x 20 m untuk analisis vegetasi tingkat pohon (Ø ≥ 20,01 cm)
(a)
(b)
Gambar 13. Pembuatan Petak : (a) Petak ukuran 20 m x 20 m, (b) Sub-petak ukuran 2 m x 2 m Adapun titik koordinat untuk setiap petak yang dibuat dilapangan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Titik Koordinat dan Kedalaman Gambut Lokasi Penelitian Petak 1 2 3 4 5
UTMx 415015,13 414984,09 415253,17 415438,13 415648,12
UTMy 9776165,89 9776246,33 9776301,44 9776299,15 9776332,55
Kedalaman Gambut (m) 4,02 4,10 5,50 5,50 4,50
4.5.2 Inventarisasi Tegakan Inventarisasi dilakukan untuk menentukan pohon mana yang akan ditebang untuk dijadikan bahan analisis. Inventarisasi tegakan meliputi pengukuran diameter dan tinggi pohon yang berada pada petak pengamatan. Diameter pohon merupakan panjang garis lurus yang menghubungkan dua titik pada garis lingkaran luar pohon dan melalui titik pusat penampang melintang suatu pohon. Pengukuran diameter pohon dilakukan pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah atau diameter setinggi dada (Dbh). Alat ukur yang digunakan adalah pita diameter. Pengukuran tinggi pohon dilakukan hanya pada pohon contoh yang akan ditebang.
36
Gambar 14. Pengukuran Diameter Pohon
4.5.3 Penebangan dan Penimbangan Berat Basah Pohon Contoh Penentuan jumlah pohon contoh dilakukan dengan metode acak berlapis berdasarkan kelas diameter pohon sebagai lapisan (stratum) sesuai dengan analisis vegetasi. Untuk menentukan jumlah pohon yang ditebang dalam setiap lapisan (kelas diameter) digunakan rumus:
Keterangan : nh = Nh = n = N =
nh = Nh x n N Pohon contoh terpilih dalam lapisan ke-h Jumlah pohon dalam lapisan ke-h Jumlah pohon contoh Jumlah pohon dalam populasi
Jumlah pohon yang ditebang berdasarkan kelas diameter batang adalah sebanyak 20 pohon yang tersebar pada berbagai kelas diameter, yaitu kelas diameter 2 – 10 cm sebanyak 15 pohon, kelas diameter 10,01 – 20 cm sebanyak 2 pohon, kelas diameter 20,01 – 30 cm sebanyak 2 pohon dan kelas diameter ≥ 30,01 cm sebanyak 1 pohon (Tabel 5). Tabel 5. Pohon Terpilih untuk Ditebang berdasarkan Kelas Diameter Kelas Diameter
No.
2 – 10 cm
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nama Jenis Parastemon urophyllus Eugenia sp. Pithecellobium lobatum Elaeocarpus palembanicus Blumeodendron tokbrai Shorea uliginosa Shorea dasyphylla Crytocarya crassinervia
Diameter (cm) 2 2,4 2,8 3 3,1 3,5 4 4,3
Tinggi (m) 3,75 2,8 3,2 4 4,61 4,2 6,3 4,3
37
Lanjutan (Tabel 5)
≥10,01 – 20 cm ≥20,01 – 30 cm ≥30,01 cm
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 17. 18. 19. 20.
Antidesma montanum Dacryodes rostrata Syzigium bankense
bebangun (?) Macaranga maingayi Palaquium burkii Macaranga maingayi Endospermum malaccensis Cantleya corrniculata Horsfieldia crassifolia Parartocarpus venenosus
4,5 5 5,2 5,7 7,8 8,9 10 20 24,2 26,1 30,2
4,75 4,95 3,2 4,4 5 8,06 5,5 12,1 17,3 15,75 19,1
Pohon contoh yang terpilih kemudian ditebang, selanjutnya dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon batang, cabang, ranting dan daun. Batang pohon dipisahkan menjadi beberapa sortimen tergantung dengan bentuk batang dimana apabila terdapat perubahan pada bagian batang maka dilakukan pembagian dan diukur diameter ujung dan pangkal setiap potongan sortimen tersebut kemudian diukur berat basahnya (fresh weight). Berat basah pohon adalah total berat basah dari semua bagian pohon tersebut. Setelah penimbangan, setiap bagian pohon diambil contohnya untuk dianalisis di laboratorium. Penimbangan berat basah pohon dimaksudkan untuk mengetahui biomassa dan kandungan karbon terikat dengan membuat model persamaan alometrik berdasarkan dimensi pohon (diameter dan tinggi). Penebangan dan penimbangan berat basah pohon contoh disajikan pada Gambar 15.
(a)
(b)
38
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 15. Tahap Kegiatan Penebangan dan Penimbangan Pohon Contoh: (a). Penebangan pohon, (b) Pemotongan batang, (c) Penimbangan batang, (d) Pengumpulan cabang, (e) Penimbangan cabang, (f) Penimbangan ranting, (g) Pengumpulan daun, (h) Penimbangan daun. 4.5.4 Pengambilan Contoh Vegetasi Pengambilan contoh vegetasi dilakukan secara destructive sampling. Pada setiap petak penelitian, pohon yang ditebang adalah pohon yang mewakili secara proporsional. Pohon contoh yang terpilih kemudian ditebang, selanjutnya dipisahkan berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun). Semua bagian pohon contoh tersebut ditimbang sehingga diketahui berat basahnya. Berat basah pohon adalah total berat basah dari semua bagian pohon
39
yang dimaksudkan untuk mengetahui biomassa dan kandungan karbon terikat pada tegakan dengan membuat model pendugaan allometrik equation berdasarkan dimensi pohon (diameter dan tinggi). Setelah penimbangan berat basah maka selanjutnya setiap bagian pohon diambil contohnya dimana untuk pengambilan contoh uji batang dapat dibagi atas 2 - 7 fraksi yang dapat mewakili kondisi pohon. Dari tiap fraksi batang diambil contoh uji berukuran ± 8 x 5 cm yang selanjutnya dianalisis di laboratorium. Untuk contoh uji daun, cabang dan ranting diambil minimal sebanyak 50 gram (Gambar 16).
Gambar 16. Pengambilan Sampel Bagian Batang untuk Analisis di Laboratorium
4.5.5 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah Semua tumbuhan bawah dan serasah di atas permukaan tanah yang terletak di dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m terpilih diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya. Sebelum penimbangan berat basah di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan tumbuhan bawah (tumbuhan bawah berkayu dan tidak berkayu) dan serasah (jatuhan daun). Selanjutnya diambil contoh uji sebanyak 200 gram dari masing-masing tumbuhan bawah dan serasah tersebut untuk dianalisis di laboratorium.
(a)
(b)
40
(c) Gambar 17. Kegiatan Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah: (a) Tumbuhan bawah tidak berkayu, (b) Pengumpulan serasah, (c) Penimbangan serasah 4.5.6. Pengambilan Contoh Nekromasa Sama halnya dengan pengambilan contoh tumbuhan bawah dan serasah, maka semua nekromasa yang berada di atas permukaan tanah dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m terpilih diambil dan ditimbang berat basahnya. Sebelum penimbangan berat basah di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan nekromasa (bagian batang, cabang dan ranting mati), selanjutnya diambil contoh uji sebanyak 200 gram dari masing-masing nekromasa tersebut untuk dianalisis di laboratorium. Adapun kriteria dari masing-masing nekromasa adalah pada nekromasa ranting memiliki diameter < 3,2 cm, nekromasa cabang memiliki diameter 3,2 – 6,4 cm dan nekromasa batang memiliki diameter ≥ 6,4 cm (Katterings et al., 2000).
(a1)
(a2)
41
(b) (c) Gambar 18. Kegiatan Pengambilan Contoh Nekromasa: (a1, a2) Nekromasa batang, (b) Pengambilan nekromasa batang, (c) Penimbangan nekromasa batang 4.6 Prosedur Penelitian di Laboratorium 4.6.1 Pengukuran Kadar Air Pengukuran kadar air contoh uji dari beberapa bagian pohon dilakukan berdasarkan standar TAPPI T268 OM 88 dengan tahapan sebagai berikut: a.
Sebelum pengujian dimulai, cawan aluminium yang akan digunakan dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu 105ºC selama 1 jam. Setelah 1 jam, cawan aluminium didinginkan ke dalam eksikator, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat cawan.
b.
Selanjutnya contoh uji sebanyak 1 – 2 gram ditimbang (Bo), kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 105ºC.
c.
Setelah 3 jam, cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut dikeluarkan dari oven, kemudian dimasukkan kedalam eksikator, selanjutnya ditimbang sebagai berat contoh uji dalam cawan aluminium. Berat contoh uji dalam cawan aluminum dikurangi berat cawan aluminium dinyatakan sebagai berat kering oven dari contoh uji (BKc) Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus: KA = Bo – BKc x 100 % BKc Keterangan: KA = Kadar air contoh uji (%) Bo = Berat awal contoh uji (gram) BKc = Berat kering contoh uji (gram)
42
4.6.2 Pengukuran Biomassa Besarnya biomassa dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan berat kering. Berat kering pada pohon contoh terpilih setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa akan diketahui setelah dilakukan pengovenan. Selain itu, menurut Haygreen dan Bowyer (1982), apabila berat basah diketahui dan potensi air telah diperoleh dari contoh uji kecil maka berat kering dari masing-masing sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus: BK =
BB 1 + % KA 100
Keterangan : BK = Berat kering (kg) BB = Berat basah (kg) % KA = Persen kadar air (%)
4.6.3 Pengukuran Kadar Karbon Terikat Kadar karbon terikat pohon dapat ditentukan melalui beberapa tahapan, antaralain: a. Pembuatan arang Pembuatan arang dilakukan dengan metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 06 – 3730 – 1995. Kayu dimasukkan dalam alat reaktor pembuatan arang. Suhu yang digunakan adalah 500°C. Kayu tersebut dimasukkan kedalam reaktor mulai dari suhu 0ºC sampai suhu 500°C selama 5 jam, sampai kayu tersebut menjadi arang. Selanjutnya mengambil contoh uji berupa serbuk sebanyak 2 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah ditetapkan beratnya. Cawan porselen berisi serbuk tersebut dimasukkan kedalam tanur pada suhu 0ºC - 600°C selama 1 - 1,5 jam. Setelah itu cawan dikeluarkan dari tanur, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Untuk menentukan berat arang dapat digunakan persamaan: Berat arang = berat cawan dan serbuk arang – berat cawan b. Penentuan zat terbang arang Cawan porselen diisi serbuk arang kayu, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 950°C, dengan cara : mula-mula cawan dimasukkan di bagian depan pintu tanur pada suhu 300°C selama 2 menit, kemudian dipindahkan pada bagian sisi tanur pada suhu 500°C selama 3 menit dan akhirnya dipindahkan pada bagian dalam tanur pada suhu 950°C selama 6 menit. Selanjutnya didinginkan
43
dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang. Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan rumus: Kadar zat terbang = A - B x 100% A Keterangan: A = berat kering contoh uji pada suhu 105°C B = berat contoh uji – berat cawan dan sisa contoh pada suhu 950°C c. Penentuan kandungan abu Serbuk contoh uji sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen yang ditetapkan beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu mulai 0°C - 700°C selama 5 jam. Selanjutnya cawan dikeluarkan dari tanur, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Untuk mengetahui kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar abu =
Berat abu
x 100%
Berat contoh uji d. Penentuan kadar karbon terikat Penentuan kadar karbon terikat (murni) pada arang kayu ditentukan dengan menggunakan rumus: Kadar karbon terikat arang = 100% - kadar zat terbang arang – kadar abu
4.7 Analisis Data Setelah dilakukan pengambilan data di lapangan kemudian dilakukan analisis mengenai data tersebut, maka data yang diambil meliputi frekuensi, dominansi, kerapatan, model penduga biomassa pohon, dan model penduga karbon pohon. 4.7.1 Komposisi Jenis Vegetasi yang berupa pohon (diameter ≥ 2 cm) diklasifikasikan berdasarkan tingkat pertumbuhannya, yaitu (a) pancang yaitu permudaan yang memiliki diameter mulai dari 2 cm sampai 10 cm, (b) tiang yaitu permudaan yang memiliki diameter mulai ≥ 10,01 cm sampai 20 cm, dan (c) pohon yaitu pohon yang telah memiliki diameter ≥ 20,01 cm.
44
Menurut Soerianegara dan Indrawan (2008), kerapatan tegakan, frekuensi, dominansi dan INP dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah individu suatu spesies
Kerapatan suatu spesies (K)
Luas petak contoh
K x100% Kerapatan seluruh jenis
Kerapatan relatif suatu spesies (KR)
Frekuensi suatu spesies (F)
x100%
Jumlah plot ditemukan suatu spesies
Frekuensi relatif suatu spesies
Dominansi suatu spesies (D)
Dominansi realtif suatu spesies (DR)
Luas seluruh plot
F x100% Frekuensi seluruh jenis Lbds suatu spesies Luas petak contoh
DR x100% Dominansi seluruh spesies
INP = KR + FR + DR
4.7.2 Model Pendugaan Biomassa dan Karbon Terikat Pohon 4.7.2.1 Model Pendugaan Biomassa Pohon Pendugaan biomassa pohon dilakukan dengan tahapan seperti pada Gambar 19. Model hubungan antara biomassa pohon dan dimensi pohon (diameter dan tinggi) dibuat dengan menggunakan persamaan regresi allometrik dan persamaan polynomial yang menggambarkan biomassa sebagai fungsi dari diameter dan tinggi. Penyusunan dan analisa persamaan alometrik ini dibuat dengan menggunakan bantuan program statistik miniTAB 14. Adapun bentuk analisis regresi alometrik dan persamaan polynomial adalah sebagai berikut : W1 = aDb W2 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ ln (D)]2+ d [ln (D)]3} W3 = a(D2H)b W4 = exp{a + b[ln(D2H)] + c[ln(D2H)]2}
45
Mulai
Berat batang, cabang, ranting, dan daun
Biomassa berdasarkan bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun)
Pemodelan Biomassa Biomassa = f (dimensi pohon) Biomassa = f (diameter dan tinggi pohon)
Pilih persamaan terbaik dengan R2, Ra2 dan S2
Tidak
Model biomassa terpilih Ya Selesai
Gambar 19. Diagram Alur Pembuatan Model Biomassa Pohon
4.7.2.2 Model Pendugaan Karbon Terikat Pohon Pembuatan model penduga karbon terikat pohon dilakukan dengan tahapan seperti pada Gambar 20. Seperti halnya dengan pembuatan model penduga biomassa pohon, model hubungan antara karbon terikat dan dimensi pohon (diameter dan tinggi) dibuat dengan persamaan regresi allometrik dan persamaan polynomial yang menggambarkan karbon terikat sebagai fungsi dari diameter dan tinggi.
46
Mulai
Berat batang, cabang, ranting, dan daun
Proses penentuan kadar karbon terikat dengan metode pengabuan
Pemodelan Karbon Terikat Karbon Terikat = f (dimensi pohon) Karbon Terikat = f (diameter dan tinggi pohon)
Pilih persamaan terbaik dengan R2, Ra2 dan S2
Tidak
Model karbon terikat terpilih
Ya Selesai
Gambar 20. Diagram Alur Pembuatan Model Karbon Terikat Pohon 4.7.2.3 Model Hubungan Kandungan Karbon Terikat dan Biomassa Model hubungan antara kandungan karbon terikat dengan biomassa dibuat untuk tegakan. Model hubungan yang dibuat didasarkan pada fungsi bahwa karbon terikat = f (biomassa). Fungsi hubungan ini dibangun melalui persamaan regresi sederhana. Dari model hubungan yang dibangun akan diketahui tingkat keeratan antara kandungan karbon terikat dengan biomassa.
47
4.7.2.4 Pemilihan Model Adapun model yang terpilih didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu: 1. Kesesuaian terhadap fenomena 2. Sifat keterandalan model (data reability) yang didasarkan pada: a. Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi adalah perbandingan antara jumlah kuadrat regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total (JKT), dengan rumus: R2 = (JKR / JKT) x 100% Adapun kriteria keterandalan model berdasarkan nilai R2 adalah jika nilai R2 mendekati 100%, maka model makin terandalkan dan jika R2 mendekati 0%, maka model makin tidak terandalkan dalam menjelaskan hubungan antara biomassa dan dimensi pohon. b. Varian (S2) Varian diukur berdasarkan tingkat keragaman data dengan rumus sebagai berikut: S2 = Σ Xi2 – (Σxi)2/n n–1 Model yang terpilih adalah model yang memiliki nilai varian terkecil dibandingkan model-model lainnya. c. Koefisien determinasi terkoreksi (R2a) Koefisien determinasi yang terkoreksi adalah koefisien determinasi yang sudah dikoreksi oleh derajat bebas dari jumlah kuadrat sisa (JKS) dan jumlah kuadrat total (JKT), dengan rumus sebagai berikut: R2a = 1 – JKS (n – p) = 1 – (1 – R2) [ (n – 1)/ (n – p)] JKT / (n -1) Dimana p adalah banyaknya peubah dalam regresi (termasuk βo) dan n adalah banyaknya objek (kasus) yang dianalisis. Kriteria uji R2a adalah sama dengan kriteria uji untuk R2. 3. Uji Validasi Model Selain kriteria nilai statistik, dilakukan uji validasi model untuk menentukan persamaan allometrik terbaik. Kriteria yang dipertimbangkan adalah ketepatan dari suatu penduga dalam menduga nilai yang sebenarnya secara
48
berturut-turut dinyatakan oleh sistematika, besar dan penyebab dari simpangan tersebut. Semakin kecil simpangan maka penduga tersebut akan semakin tinggi ketepatannya. Semakin sempit sebaran simpangan maka akan semakin tinggi ketelitiannya dan semakin kecil kesalahan sistematiknya, maka penduga tersebut semakin tidak bias. Apabila Ŷi adalah penduga bagi Yi yaitu penduga tak bebas ke-i yang diperoleh dengan penduga model maka akan diperoleh n buah simpangan Ŷi terhadap Yi, yaitu : ei = Yi - Ŷi untuk i = 1,2,3,...,n dari n buah ei ini dapat ditentukan : mi =( ei / Yi )*100% untuk i = 1,2,3,...,n Selanjutnya, apabila di = (mi)2 , maka akan dihitung : n
MSPE
d, / n i 1
n
S d2
n
d i2
[( i 1
CV d
Sd
d i ) 2 ) / n) /(n 1)]
(( i
x100%
d
Model akan semakin baik apabila memiliki MSPE dan CVd yang semakin kecil. Atas dasar ini maka nilai MSPE dan CVd ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria dalam menentukan tingkat keabsahan dari model-model yang dicobakan. Uji keabsahan model merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan model yang terbaik sekaligus juga untuk menentukan cara pendekatan terbaik dalam pemecahan masalah dalam penelitian. Selain faktor-faktor dalam kekonsistenan dalam penerimaan model tertentu pada setiap kali membangun model, kepraktisan pemakaian model dan kemudahan mendapatkan modelnya.
4.7.2.5 Total Potensi Biomassa Tegakan Berdasarkan persamaan model penduga biomassa yang terpilih maka kita dapat mengetahui besarnya total potensi biomassa dari hutan gambut bekas terbakar. Adapun cara mengkonversinya ke dalam kg/ha yaitu dari seluruh pohon yang ditemukan pada petak penelitian hasil analisis vegetasi dipisahkan
49
berdasarkan tingkat pertumbuhan pohonnya karena setiap tingkat pertumbuhan pohon mempunyai luasan yang berbeda. Dari data tersebut kemudian menghitung biomassa tiap tingkat pertumbuhan pohon melalui model penduga biomassa terpilih untuk setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun). Untuk lebih jelasnya sebagai berikut: WT =
Wi (
LPCi/10.000)
Keterangan: WT = Total biomassa seluruh tegakan (kg/ha) ∑Wi = Jumlah biomassa ke-i (pancang, tiang dan pohon) (kg) ∑LPCi = Total luas petak contoh penelitian ke-i (pancang, tiang dan pohon) (m2)
4.7.2.6 Total Potensi Karbon Terikat Tegakan Sama halnya dengan menghitung total potensi biomassa maka untuk mengetahui besarnya potensi kandungan karbon terikat dari hutan gambut bekas terbakar diperoleh melalui persamaan model penduga karbon terikat yang terpilih. Adapun cara mengkonversinya ke dalam kg/ha yaitu dari seluruh pohon yang ditemukan pada petak penelitian hasil analisis vegetasi dipisahkan berdasarkan tingkat pertumbuhan pohonnya karena setiap tingkat pertumbuhan pohon mempunyai luasan yang berbeda. Dari data tersebut kemudian menghitung karbon terikat pada setiap tingkat pertumbuhan pohon melalui model penduga karbon terikat terpilih untuk setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun). CT =
Ci (
LPCi/10.000)
Keterangan: CT = Total karbon terikat seluruh tegakan (kg/ha) ∑Ci = Jumlah karbon terikat ke-i (pancang, tiang dan pohon) (kg) ∑LPCi = Total luas petak contoh penelitian ke-i (pancang, tiang dan pohon) (m2)
50
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil 5.1.1 Komposisi Jenis 5.1.1.1 Analisis Vegetasi Tingkat Pancang, Tiang dan Pohon Pada areal penelitian ditemukan sebanyak 33 jenis pohon yang menyusun hutan gambut merang bekas terbakar dalam petak ukur 0,2 ha. Pada petak ukur dapat diketahui bahwa jenis yang paling banyak ditemui pada tingkat pancang yaitu dari famili Lauraceae sebanyak 5 jenis, tingkat tiang yaitu dari famili Euphorbiaceae sebanyak 2 jenis, dan tingkat pohon yaitu dari famili Euphorbiaceae, Myristicaceae, Moraceae dan Lauraceae sebanyak 2 jenis. Sedangkan berdasarkan jumlah jenis pada tingkat pertumbuhannya dapat diketahui bahwa pada tingkat pancang ditemukan sebanyak 20 jenis, tingkat tiang sebanyak 8 jenis dan tingkat pohon sebanyak 11 jenis (Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4). Tabel 6. Jenis Dominan pada setiap Tingkat Pertumbuhan Pohon Tingkat Pertumbuhan Pohon Pancang
Tiang
Pohon
Jenis mahang (Macaranga maingayi) bebangun petai belalang (Syzigium bankense) mahang (Macaranga maingayi) kayu labu (Endospermum malaccensis) siarang (Diospyros siamang) kayu kulus (Parartocarpus venenosus) kayu pahit-pahit (Meliae excelsa) balam seminai (Palaquium ridleyi)
KR (%)
FR (%)
DR (%)
INP (%)
18,33 40,00 3,33 22,22
15,38 11,54 7,69 22,22
42,93 24,93 3,83 13,25
76,65 76,47 14,85 57,69
11,11 11,11
11,11 11,11
19,12 17,80
41,34 40,02
9,09 9,09 9,09
9,09 9,09 9,09
12,42 12,26 11,61
30,60 30,44 29,79
Tabel 6 menyajikan hasil analisis vegetasi untuk 3 (tiga) jenis dominan pada setiap tingkat pertumbuhan pohon secara berturut-turut adalah mahang (Macaranga maingayi) dengan INP sebesar 76,65%, bebangun sebesar 76,47% dan petai belalang (Syzigium bankense) sebesar 14,85% pada tingkat pancang, mahang (Macaranga maingayi) sebesar 57,69%, kayu labu (Endospermum
51
malaccensis) sebesar 41,34% dan siarang (Diospyros siamang) sebesar 40,02% pada tingkat tiang dan kayu kulus (Parartocarpus venenosus) sebesar 30,60%, kayu pahit-pahit (Meliae excelsa) sebesar 30,44% dan balam seminai (Palaquium ridleyi) sebesar 29,79% pada tingkat pohon. Total luas bidang dasar seluruh jenis adalah sebesar 14,71 m2/ha yang terdiri dari 8,54 m2/ha berada pada tingkat pancang, kemudian diikuti oleh tingkat tiang 3,29 m2/ha dan sisanya 2,88 m2/ha pada tingkat pohon (Tabel 7). Masingmasing jenis pohon pada tingkat pancang tersebar mulai dari 1 sampai 5 petak dari 5 petak ukur, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon tersebar mulai dari 1 sampai 3 petak ukur dari 5 petak ukur. Tabel 7. Luas Bidang Dasar (m2/ha) pada setiap Tingkat Pertumbuhan No. 1. 2. 3.
Tingkat Pertumbuhan Pancang Tiang Pohon Total
Lbds (m2/ha) 8,54 3,29 2,88 14,71
Berdasarkan kelas diameter (sesuai dengan tingkat pertumbuhan) dapat diketahui bahwa sebagian besar penyusun tegakan hutan gambut merang bekas terbakar termasuk dalam tingkat pertumbuhan pancang yaitu 4.800 ind/ha kemudian diikuti oleh tingkat tiang sebesar 160 ind/ha dan sisanya oleh tingkat pohon sebesar 55 ind/ha (Tabel 8). Tabel 8. Kerapatan Pohon pada setiap Tingkat Pertumbuhan No. Tingkat Pertumbuhan Kerapatan (ind/ha) 1. Pancang 4.800 2. Tiang 180 3. Pohon 55 Total 5.035 Berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon (Tabel 8) menunjukkan bahwa kerapatan pohon semakin menurun secara eksponensial dari pohon yang berdiameter kecil hingga pohon yang berdiameter besar. Pohon yang berdiameter kecil didominasi oleh jenis pohon pionir seperti mahang (Macaranga maingayi) dan bebangun sedangkan untuk pohon yang berdiameter sedang masih terdapat beberapa jenis yang merupakan pohon asli hutan gambut seperti jelutung talang
52
(Dyera costulata), meranti dan beberapa jenis lainnya namun dalam jumlah yang sedikit.
5.1.1.2 Analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah Berkayu dan Tidak Berkayu Hasil analisis vegetasi pada tumbuhan bawah ditemukan 14 jenis tumbuhan bawah berkayu dan 18 jenis tumbuhan bawah tidak berkayu. Berdasarkan perhitungan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa indeks nilai penting tertinggi pada tumbuhan bawah tidak berkayu oleh jenis jenis pakis paku (Stenochlaena palustris) dengan nilai INP sebesar 87,07% sedangkan pada tumbuhan bawah berkayu oleh jenis siduduk (Melastoma malabathricum) dengan nilai INP sebesar 50,87% (Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5). Tumbuhan bawah tidak berkayu memiliki kerapatan yang lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan bawah berkayu. Kerapatan tertinggi pada tumbuhan tidak berkayu adalah pada jenis pakis paku (Stenochlaena palustris) dengan kerapatan individu sebesar 27.500 ind/ha (55,70%), sedangkan untuk tumbuhan bawah berkayu pada jenis siduduk (Melastoma malabathricum) dengan kerapatan individu sebesar 1.750 ind/ha (31,81%). Untuk lebih jelasnya mengenai kerapatan tumbuhan bawah berkayu dan tidak berkayu dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kerapatan Tertinggi Tumbuhan Bawah Berkayu dan Tidak Berkayu No.
Jenis Tumbuhan Bawah
1.
Tumbuhan Bawah Berkayu
2.
Tumbuhan Berkayu
Bawah
Jenis Dominan
siduduk (Melastoma malabathricum) Tidak pakis paku (Stenochlaena palustris)
K (ind/ha) 1.750
KR (%) 31,82%
27.500
55,70%
5.1.2 Distribusi Diameter Pohon Berdasarkan kelas diameter dengan lebar kelas diameter sebesar 10 cm (kecuali kelas diameter 2 – 10 cm), dapat diketahui bahwa sebagian besar termasuk kedalam kelas diameter 2 – 10 cm dengan kerapatan sebesar 23.200 ind/ha, kemudian diikuti oleh kelas diameter 10,01 – 20 cm sebesar 1.000 ind/ha, kelas diameter 20,01 – 30 cm sebesar 250 ind/ha dan kelas diameter >30,01 cm memiliki kerapatan yang paling kecil sebesar 25 ind/ha. Untuk lebih jelasnya
53
mengenai penyebaran pohon di hutan gambut merang bekas terbakar Sumatera Selatan berdasarkan kelas diameter dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Distribusi Kelas Diameter dari Tegakan Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. No. 1. 2. 3. 4.
Kelas Diameter (cm) 2.0 - 10 10,01 – 20 20,01 – 30 >30,01 Total
Kerapatan (ind/ha) 23.200 1.000 250 25 24.475
Karapatan setiap jenis pada setiap kelas diameter lengkap disajikan pada Lampiran 4. Kelas diameter 2 – 10 cm dengan kerapatan pohon sebesar 23.200 ind/ha disusun oleh 19 jenis dimana jenis bebangun, mahang (Macaranga maingayi) dan medang putih (Crytocarya crassinervia) merupakan jenis yang memiliki kerapatan jenis tertinggi. Besarnya kerapatan jenis ketiga jenis tersebut berturut-turut adalah 9.200 ind/ha (39,66%), 4.400 ind/ha (18,97%) dan 1.600 ind/ha (6,9%). Sedangkan 16 jenis lainnya memiliki kerapatan yang berkisar antara 400 – 800 ind/ha (1,72 – 3,45%). Pada kelas diameter 10,01 – 20 cm memiliki kerapatan jenis pohon sebesar 1.000 ind/ha yang disusun oleh 9 jenis dimana jenis mahang (Macaranga maingayi) merupakan jenis yang memiliki kerapatan yang tertinggi dibandingkan dengan jenis lainnya yaitu sebesar 200 ind/ha (20%) sedangkan 8 jenis lainnya memiliki nilai kerapatan masing-masing 100 ind/ha (10%). Selanjutnya pada kelas diameter 20,01 – 30 cm memiliki kerapatan jenis pohon sebesar 250 ind/ha yang disusun oleh 10 jenis dimana seluruh jenis yang ada memiliki nilai kerapatan yang sama yaitu sebesar 25 ind/ha (10%). Sedangkan pada kelas diameter ≥ 30,01 cm hanya ada satu jenis pohon yaitu kayu kulus (Parartocarpus venenosus) dengan kerapatan sebesar 25 ind/ha. Distribusi diameter pohon di hutan gambut merang bekas terbakar bahwa kerapatan pohon menurun secara eksponensial dari pohon pada kelas diameter 2 – 10 cm kemudian 10,01 – 20 cm, 20,01 – 30 cm dan kelas diameter ≥ 30,01 cm. Pohon yang mendominasi pada kelas diameter 2 - 10 cm adalah jenis bebangun dan mahang (Macaranga maingayi) yang merupakan jenis pionior yang biasanya
54
muncul ketika terjadi kebakaran hutan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, jenis ini biasanya tumbuh berkelompok dalam suatu areal yang biasanya dapat menginvasi daerah tersebut.
5.1.3 Sifat Fisik Bagian Pohon Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air, baik berdasarkan kelas diameter, maupun berdasarkan bagianbagian pohon. Namun secara umum pada semua kelas diameter, bagian pohon yang memiliki kadar air yang paling tinggi yaitu pada bagian daun dengan ratarata berkisar antara 59,65 – 68,66% kemudian diikuti bagian ranting yakni dengan nilai rata-rata berkisar antara 39,69 – 63,18% dan bagian cabang berkisar antara 34,34 – 50,88%. Sedangkan bagian pohon yang memiliki kadar air yang paling rendah yaitu pada bagian batang dengan nilai rata-rata kadar air berkisar antara 5,29 – 13,34% (Tabel 11). Tabel 11. Kadar Air Rata-rata pada setiap Bagian Pohon dan Kelas Diameter Pohon di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar No. 1. 2. 3. 4.
Bagian Pohon Batang Cabang Ranting Daun
2-10 cm 5,29 34,34 39,69 61,19
Kadar Air rata-rata (%) 10,01-20 cm 20,01- 30 cm 9,2 13,34 45,74 50,88 63,18 51,34 63,04 59,65
≥30,01 cm 5,36 35,89 45,16 68,66
5.1.4 Sifat Kimia Bagian Pohon Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sebagian besar dari biomassa pohon adalah berupa zat terbang yaitu berkisar antara 71,02 – 83,40%, kemudian diikuti oleh karbon terikat berkisar antara 15,98 – 23,34% dan sisanya yaitu kadar abu berkisar antara 0,63 - 5,65% (Tabel 12). Tabel 12. Nilai Rata-rata Kadar Zat Terbang (KZT), Kadar Abu (K.Ab) dan Kadar Karbon Terikat (KKT) Pohon berdasarkan Bagian Pohon di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar Sumatera Selatan. No. 1. 2. 3. 4.
Bagian Pohon Batang Cabang Ranting Daun
KZT (%) 83,40 79,40 75,01 71,02
K.Ab (%) 0,63 1,91 3,13 5,65
KKT (%) 15,98 18,69 21,86 23,34
55
Pada Tabel 12, dapat diketahui bahwa yang memiliki rata-rata kadar zat terbang (KZT) yang paling besar adalah pada bagian batang yaitu sebesar 83,40% dan terkecil pada bagian daun sebesar 71,02%. Untuk rata-rata kadar abu (K.Ab) yang paling besar adalah pada bagian daun yaitu sebesar 5.65% dan terkecil pada bagian batang sebesar 0,63%. Sedangkan untuk rata-rata kadar karbon terikat (KKT) yang paling besar adalah pada bagian daun yaitu sebesar 23,34% dan terkecil pada bagian batang sebesar 15,98%.
5.1.5 Hubungan Diameter dan Tinggi Berdasarkan hasil pengukuran diameter dan tinggi yang diperoleh di lapangan, maka dapat dicari hubungan antara diameter dan tinggi. Adapun model penduga hubungan antara diameter dan tinggi dapat didekati dengan model persamaan umum yaitu H = aDb. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa model penduga hubungan diameter dan tinggi adalah: H = 1,746 D0,66 ; S = 0,102660 ; R2 =86,1% ; R-adj = 85,3%
Gambar 21. Hubungan Diameter dan Tinggi Pohon Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara diameter dan tinggi yang ada di hutan gambut merang bekas terbakar memiliki keeratan yang cukup tinggi, yang ditunjukkan dengan nilai R2 yang mencapai 86,1% dan nilai s yang kecil yaitu 0,102660. Nilai tersebut berarti bahwa antara diameter dan tinggi memiliki hubungan yang sangat signifikan sehingga diameter pohon dapat diandalkan dalam menduga tinggi dari hutan gambut merang bekas terbakar.
56
5.1.6 Pendugaan Biomassa di Atas Tanah 5.1.6.1 Biomassa Pohon Bagian pohon yang digunakan untuk menentukan kandungan biomassa di atas permukaan tanah adalah batang, cabang, ranting dan daun. Biomassa pada bagian total merupakan total biomassa yang dikandung oleh seluruh bagian pohon yang diteliti. Biomassa bagian non-fotosintesis menunjukkan kandungan biomassa bagian-bagian pohon yang tidak melakukan fotosintesis. Kandungan biomassa pada setiap bagian pohon yang ditebang (batang, cabang, ranting, daun, nonfotosintesis dan total) maka persamaan alometrik dapat dibentuk. Persamaan tersebut didasarkan pada hubungan antara biomassa tiap bagian pohon dengan parameter diameter dan tinggi pohon (Tabel 13). Tabel 13.Rekapitulasi Biomassa pada setiap Bagian Pohon Contoh yang Ditebang Dbh (cm) 2 2,4 2,8 3 3,1 3,5 4 4,3 4,5 5 5,2 5,7 7,8 8,9 10 15,5 20 24,2 26,1 30,2
Tinggi (m) 3,75 2,8 3,2 4 4,61 4,2 6,3 4,3 4,75 4,95 3,2 4,4 5 8,06 5,5 13,65 12,1 17,3 15,75 19,1
Batang 0,64 0,62 1,41 0,77 1,73 0,99 2,98 1,56 3,09 4,48 2,97 4,98 9,69 21,73 19,00 108,63 116,52 429,53 303,23 479,31
Biomassa (kg) Tiap Bagian Pohon Cabang Ranting Daun Total 0,00 0,12 0,21 0,97 0,00 0,10 0,11 0,83 0,00 0,24 0,50 2,15 0,03 0,24 4,13 5,17 0,04 0,43 0,50 2,70 0,37 0,22 0,29 1,87 0,42 0,15 0,53 4,08 0,77 1,29 1,45 5,07 0,27 0,65 1,61 5,61 0,13 0,23 1,00 5,83 1,10 1,84 1,23 7,14 1,80 1,22 1,80 9,81 2,70 3,23 3,25 18,87 1,01 0,36 0,06 23,17 6,43 6,67 5,00 37,11 4,44 5,76 3,91 122,75 13,51 11,94 11,97 153,94 25,58 50,47 29,76 535,33 23,01 12,73 15,36 354,34 25,39 36,51 41,98 583,19
Non-Fts 0,76 0,72 1,65 1,04 2,21 1,58 3,55 3,63 4,01 4,84 5,91 8,01 15,62 23,11 32,11 118,83 141,97 505,58 338,97 541,21
Keterangan: Dbh : Diameter pohon setinggi dada (cm) Non-Fts : Bagian pohon yang tidak berfotosintesis
Pada Tabel 14 menyajikan persamaan hubungan antara biomassa (W) dengan diameter dan diameter dan tinggi untuk setiap bagian pohon yang diuji
57
disertai dengan nilai validasi (MSPE dan CVd). Adapun persamaan yang digunakan dalam menyusun persamaan alometrik biomassa pada penelitian ini adalah berdasarkan persamaan umum model penduga biomassa pohon menggunakan satu peubah bebas (W = aDb dan W = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ ln (D)]2+ d [ln (D)]3}) serta dua peubah bebas (W = a (D2H)b dan W = exp{a + b[ln(D2H)] + c[ln(D2H)]2} dimana W = biomassa, D = diameter setinggi dada (cm), H = tinggi (m) dan a, b = konstanta. Dari model persamaan alometrik yang telah dibuat (Tabel 14) dapat diketahui bahwa hubungan antara W dan D memiliki tingkat keterandalan yang lebih baik dibandingkan dengan hubungan alometrik antara W dengan diameter dan tinggi terlihat dari nilai R2 yang lebih tinggi dan memiliki nilai MSPE dan CVd yang lebih rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Onrizal (2004), Salim (2005) dan Limbong (2009), sehingga biomassa tegakan hutan gambut merang bekas terbakar dapat diduga hanya dengan menggunakan diameter (D) pohon atau dengan kata lain W = f (D). Persamaan tersebut mempunyai nilai lebih yaitu selain benar secara ilmiah, namun juga lebih teliti dan lebih praktis dalam pendugaan biomassa tegakan sehingga pengukuran tinggi pohon tidak harus dilakukan. Sedangkan grafik hubungan antara diameter pohon dengan biomassa tiap bagian pohon berdiameter ≥ 2 cm serta model penduganya dapat dilihat pada Gambar 22 sampai Gambar 27.
58
Tabel 14. Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar Sumatera Selatan Bagian Batang
Cabang
Ranting
Daun
Total
Non-Fotosintesis
Model 2,62
W1 = 0,060256 D W2 = exp {- 0,60 - 0,81[Ln(D)] + 1,56[Ln(D)]2 - 0,215[Ln(D)]3} W3 = 0,034674 (D2H)0,983 W4 = exp {- 2,69 + 1,15 [Ln(D2H)] – 0,981[Ln(D2H)]2} W1 = 0,007763 D2,51 W2 = exp {- 16,6 + 19,0[Ln(D)] – 7,11[Ln(D)]2 + 0,960[Ln(D)]3} W3 = 0,005888 (D2H)0,901 W4 = exp {- 10,1 + 2,57 [Ln(D2H)] – 0,125 [Ln(D2H)]2} W1 = 0,022387 D 2,13 W2 = exp {- 3,92 + 2,60[Ln( D)] - 0,38 [Ln(D)]2 + 0,077 [Ln(D)]3} W3 = 0,016218 (D2H)0,778 W4 = exp {- 4,25 + 0,743[Ln(D2H)] + 0,20[Ln(D2H)]2} W1 = 0,072444 D1,65 W2 = exp {- 6,34 + 9,57[Ln(D)] - 4,86[Ln(D)]2 + 0,866[Ln(D)]3} W3 = 0,054954 (D2H)0,610 W4 = exp {- 2,20 + 0,794[Ln(D2H)] - 1.06 [Ln(D2H)]2} W1 = 0,153108 D2,40 W2 = exp {- 1,51 + 2,08[Ln(D)] - 0,002[Ln(D)]2 + 0,023[Ln(D)]3} W3 = 0,095499 (D2H)0,897 W4 = exp {- 2,50 + 0,858[Ln(D2H)] + 0,23[Ln(D2H)]2} W1 = 0,091201 D 2,56 W2 = exp {- 1,38 + 0,90[Ln(D)] + 0,787[Ln(D)]2 - 0,114[Ln(D)]3} W3 = 0,054954 (D2H)0,955 W4 = exp {- 3,16 + 0,891[Ln(D2H)] + 0,372[Ln(D2H)]2}
R2 (%)
MSPE
CVd
97,6 98,3 98,6 98,7 85,3 89,3 80,2 83,3 85,3 85,4 81,7 81,7 61,2 66,9 59,6 59,8 97,8 97,9 97,7 97,7 98,9 99,0 98,7 98,7
0,013 5,620 0,080 0,999 1,27 0,83 1,97 3,87 2,03 3,45 2,47 4,16 0,37 0,99 0,43 0,99 0,08 0,13 0,09 5,64 0,050 0,57 0,07 10,13
1,18 1,43 1,72 0,001 2,20 0,44 2,31 1,78 3,28 3,25 3,05 2,46 2,13 0,41 1,63 0,0008 1,61 1,25 1,49 2,32 1,29 1,80 1,44 1,14
59
Gambar 22. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Batang
Gambar 23. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Cabang
Gambar 24. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Ranting
60
Gambar 25. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Daun
Gambar 26. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Total
Gambar 27. Hubungan Diameter Pohon dengan Biomassa Non-Fotosintesis
61
Berdasarkan persamaan alometrik yang terpilih yaitu W = f (D), maka biomassa di hutan gambut merang bekas terbakar dapat dihitung. Hasil perhitungan biomassa (Tabel 15) menunjukkan bahwa total biomassa di hutan gambut merang bekas terbakar sebesar 69.144,13 kg/ha yang terdiri dari biomassa batang sebesar 51.966,92 kg/ha (75,16%), biomassa daun sebesar 6.372,73 kg/ha (9,22%), biomassa ranting sebesar 5.752,27 kg/ha (8,32%) dan biomassa paling kecil terdapat pada bagian cabang sebesar 5.052,21 kg/ha (7,31%). Tabel 15. Biomassa Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah berdasarkan Kelas Diameter pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan.
Bagian Pohon 1. Batang 2. Cabang 3. Ranting 4. Daun 5. Total 6. Fotosintesis 7. Nonfotosintesis
Biomassa Pohon (kg/ha)* Kelas Diameter 2 - 10 cm 10,01 -20 cm 20.163,76 15.029,90 (68,09%) (78,51%) 2.116,99 1.427,22 (7,15%) (7,45%) 3.055,85 1.440,10 (10,32%) (7,52%) 4.275,99 1.247,51 (14,44%) (6,52%) 29.612,60 19.144,73 (100%) (100%) 4.275,99 1.247,51 (14,44%) (6,52%) 25.336,61 17.897,22 (85,56%) (93,48%)
≥20,01 cm 16.773,26 (82,28%) 1.508,00 (7,40%) 1.256,32 (6,16%) 849,22 (4,17%) 20.386,80 (100%) 849,22 (4,17%) 19.537,58 (95,83%)
Total per bagian 51.966,92 (75,16%) 5.052,21 (7,31%) 5.752,27 (8,32%) 6.372,73 (9,22%) 69.144,13 (100%) 6.372,73 (9,22%) 62.771,40 (90,78%)
Keterangan: * Dihitung berdasarkan persamaan alometrik W = aD b, W (kg), D (cm) Angka dalam tanda kurung merupakan persentase dari total biomassa
Pada Tabel 15, dapat dilihat apabila ditinjau dari bagian-bagian pohon yang mengalami proses fotosintesis (daun) dengan tidak berfotosintesis (batang, cabang dan ranting) menunjukkan bahwa yang memiliki kandungan biomassa sebagian besar terakumulasi pada bagian pohon yang tidak berfotosintesis yaitu untuk kelas diameter 2 – 10 cm sebesar 85,56%, kelas diameter 10,01 – 20 cm sebesar 93,48% dan kelas diameter ≥ 20,01 cm sebesar 95,83%. Biomassa bagian yang mengalami fotosintesis pada setiap kelas diameter 2 – 10 cm, 10,01 – 20 cm dan ≥ 20,01 cm masing-masing adalah 14,44%, 6,52% dan 4,17%. Besarnya nilai biomassa daun pada kelas diameter 2 – 10 cm terkait dengan lebih banyaknya
62
jumlah daun yang dimiliki oleh pohon dibandingkan dengan kelas diameter 10,01 – 20 cm dan ≥ 20,01 cm. 5.1.6.2 Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah Total biomassa tumbuhan bawah dan serasah di lokasi penelitian sebesar 18.139,37 kg/ha yang terdiri atas tumbuhan bawah tidak berkayu sebesar 9.039,13 kg/ha (49,83%), diikuti oleh serasah dengan biomassa sebesar 7.029,77 kg/ha (38,75%) dan terendah pada biomassa tumbuhan bawah berkayu sebesar 2.070,46 kg/ha (11,41%). Untuk lebih jelasnya mengenai biomassa tumbuhan bawah dan serasah disajikan pada Tabel 16. Tabel 16.
Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan.
No. Kategori 1. Tumbuhan bawah berkayu 2. Tumbuhan bawah tidak berkayu Total biomassa tumbuhan bawah (A) 3. Serasah Total biomassa serasah (B) Total Biomassa (A + B)
Biomassa (kg/ha) 2.070,46 9.039,13 11.109,59 7.029,77 7.029,77 18.139,37
% dari total 11,41 49,83 61,24 38,75 38,75 100,00
5.1.6.3 Nekromasa Total nekromasa di lokasi penelitian sebesar 64.366,98 kg/ha yang terdiri atas nekromasa bagian batang sebesar 58.862,07 kg/ha (91,45%), diikuti oleh nekromasa cabang sebesar 3.844,68 kg/ha (5,97%) dan terendah pada nekromasa ranting sebesar 1.660,23 kg/ha (2,58%). Untuk lebih jelasnya mengenai nekromasa disajikan pada Tabel 17. Tabel 17.
Nekromasa di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan.
No. Kategori 1. Nekromasa batang 2. Nekromasa cabang 3. Nekromasa ranting Total nekromasa
Nekromasa (kg/ha) 58.862,07 3.844,68 1.660,23 64.366,98
% dari total 91,45 5,97 2,58 100,00
63
5.1.7 Pendugaan Karbon Terikat di Atas Tanah 5.1.7.1 Kandungan Karbon Terikat Pohon Kandungan karbon terikat dari setiap bagian pohon contoh dapat disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Rekapitulasi Karbon Terikat pada setiap Bagian Pohon Contoh Dbh (cm)
Tinggi (m)
2 2,4 2,8 3 3,1 3,5 4 4,3 4,5 5 5,2 5,7 7,8 8,9 10 15,5 20 24,2 26,1 30,2
3,75 2,8 3,2 4 4,61 4,2 6,3 4,3 4,75 4,95 3,2 4,4 5 8,06 5,5 13,65 12,1 17,3 15,75 19,1
Batang 0,101 0,108 0,235 0,111 0,298 0,156 0,465 0,230 0,464 0,743 0,491 0,781 1,614 3,570 3,150 14,569 17,128 67,705 52,109 79,949
Karbon Terikat (kg) Tiap Bagian Pohon Cabang Ranting Daun Total Non-Fts 0,000 0,025 0,060 0,185 0,126 0,000 0,021 0,031 0,159 0,129 0,000 0,050 0,101 0,385 0,285 0,005 0,048 0,881 1,045 0,164 0,010 0,103 0,131 0,543 0,412 0,077 0,053 0,060 0,346 0,286 0,075 0,043 0,131 0,715 0,584 0,165 0,256 0,288 0,939 0,651 0,049 0,138 0,331 0,982 0,651 0,025 0,058 0,175 1,002 0,826 0,199 0,414 0,363 1,466 1,104 0,344 0,234 0,397 1,756 1,359 0,450 0,355 0,799 3,217 2,418 0,106 0,073 0,015 3,765 3,749 1,325 1,095 1,104 6,674 5,570 0,732 1,368 0,960 17,629 16,669 2,547 2,511 1,861 24,047 22,186 5,203 16,908 6,237 96,053 89,816 4,363 3,059 3,926 63,458 59,531 4,222 7,726 12,333 104,230 91,897
Sama halnya dengan kandungan biomassa, bagian pohon yang digunakan untuk menentukan kandungan karbon terikat di atas permukaan tanah adalah batang, cabang, ranting dan daun. Karbon terikat total merupakan total karbon yang dikandung oleh seluruh bagian pohon yang diteliti. Karbon terikat nonfotosintesis menunjukkan kandungan karbon terikat pada bagian pohon yang tidak mengalami fotosintesis. Kandungan karbon terikat digunakan sebagai input data bagi pembuatan model penduga hubungan karbon terikat dengan diameter dan diameter dan tinggi pohon. Seperti halnya pada persamaan alometrik biomassa, penyusunan persamaan alometriknya berdasarkan peubah bebas persamaan umum model penduga karbon terikat pohon model dengan satu peubah bebas serta dua peubah bebas, seperti yang disajikan pada Tabel 19.
64
Tabel 19.
Persamaan Alometrik untuk Menduga Kandungan Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. Bagian Batang
Cabang
Ranting
Daun
Total
Non-Fotosintesis
Model 2,61
C1 = 0,009772 D C2 = exp{ - 2.55 - 0.54 [Ln(D)] + 1.37 [Ln(D)]2 - 0.181 [Ln(D)]3} C3 = 0,005623 (D2H)0,980 C4 = exp {- 4.39 + 1.18 [Ln( D2H)] - 1.16 [Ln(D2H)]2} C1 = 0,001585 D 2,45 C2 = exp{- 17.1 + 17.7 [Ln(D)] - 6.72 [Ln(D)]2 + 0.926 [Ln(D)]3} C3 = 0,001230 (D2H)0,879 C4 = exp {- 10.6 + 2.20 [Ln(D2H)] - 0.0991 [Ln(D2H)]2} C1 = 0,004571 D2,16 C2 = exp {- 5.94 + 3.71[Ln(D)] - 1.11 [Ln(D)]2 + 0.217 {ln(D)]3} C3 = 0,003162 (D2H)0,795 C4 = exp {- 5.39 + 0.888 [Ln(D2H)] - 0.54 [Ln(D2H)]2} C1 = 0,016982 D1,64 C2 = exp {- 7.47 + 9.20[Ln(D)] - 4.77 [Ln(D)]2 + 0.864[Ln(D)]3} C3 = 0,012882 (D2H)0,607 C4 = exp {- 3.13 + 0.923 [Ln(D2H)] - 1.82{ln((D2H)]2} C1 = 0,030200 D2,35 C2 = exp {- 3.47 + 2.76[Ln(D)] - 0.46 [Ln(D)]2 + 0.105{Ln(D)]3} C3 = 0,019055 (D2H)0,876 C4 = exp {- 3.91 + 0.889 [Ln(D2H)] - 0.07 [Ln((D2H)]2} C1 = 0,015849 D2,54 C2 = exp {- 3.52 + 1.67[Ln(D)] + 0.327 [Ln(D)]2 - 0.035[Ln(D)]3} C3 = 0,009550 (D2H)0,947 C4 = exp {- 4.80 + 0.906[Ln(D2H)] + 0.237{Ln((D2H)]2}
R2 (%) 97,4 98,1 98,2 98,3 83,5 86,6 78,4 80,4 86,3 86,9 83,9 83,9 62,1 68,7 60,6 61,1 97,2 97,6 97,0 97,0 98,7 98,8 98,3 98,3
MSPE 0,15 0,10 0,11 0,99 1,53 0,97 2,30 2,55 2,12 0,63 2,44 0,99 0,32 0,88 0,37 0,99 0,09 0,50 0,11 0,62 0,06 0,06 0,08 2,10
CVd 1,35 1,22 1,70 0,003 1,85 0,08 1,98 2,10 3,78 0,62 3,64 0,02 1,58 0,30 1,40 0,08 1,45 0,74 1,26 0,52 0,15 1,62 1,54 2,78
65
Berdasarkan model persamaan yang telah dibuat terlihat adanya hubungan antara karbon terikat dengan diameter memiliki tingkat keterandalan yang lebih baik dibandingkan dengan diameter dan tinggi terlihat dari nilai R2 yang lebih tinggi dimana dengan menggunakan peubah diameter memiliki R2 antara 62,1 – 98,8% sedangkan untuk model hubungan antara kandungan karbon terikat pohon (batang, cabang, ranting dan daun) dengan diameter dan tinggi memiliki R2 antara 60,6 – 98,3%. Selain itu menurut uji validitas menunjukkan bahwa pada hubungan antara karbon terikat (C) dengan diameter (D) memiliki nilai MSPE dan CVd yang lebih kecil sehingga model pendugaan karbon terikat di atas tanah cukup hanya dengan menggunakan diameter pohon atau dalam arti C = f (D). Hal tersebut disebabkan selain praktis pengukurannya juga karena secara ilmiah benar. Grafik hubungan antara diameter pohon dengan karbon terikat tiap bagian pohon berdiameter ≥ 2 cm serta model penduganya dapat dilihat pada Gambar 28 sampai Gambar 33.
Gambar 28. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Batang
Gambar 29. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Cabang
66
Gambar 30. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Ranting
Gambar 31. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Daun
Gambar 32. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Total
67
Gambar 33. Hubungan Diameter Pohon dengan Karbon Terikat Non-Fotosintesis Berdasarkan persamaan alometrik yang terpilih yaitu C = f (D) maka kandungan karbon terikat setiap bagian pohon dapat diperoleh. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa total karbon terikat tegakan hutan gambut merang bekas terbakar di Sumatera Selatan adalah sebesar 11.823,04 kg/ha. Berdasarkan kelas diameter 2 - 10 cm, 10,01 - 20 cm dan ≥ 20,01 cm maka kandungan total karbon terikat berturut-turut untuk tiap kelas diameter adalah 5.240,27 kg/ha, 3.221,46 kg.ha dan 3.361,31 kg/ha (Tabel 20). Tabel 20. Kandungan Karbon Terikat Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. Karbon Terikat Pohon (kg/ha)* Kelas Diameter Total Bagian Pohon 2- 10 cm 10,01-20 cm ≥20,01 cm keseluruhan 1. Batang 3.209,53 2.370,75 2.632,65 8.212,93 (61,25%) (73,59%) (78,32%) (69,47%) 2. Cabang 386,89 246,78 253,05 886,71 (7,38%) (7,66%) (7,53%) (7,50%) 3. Ranting 658,41 319,39 282,92 1.260,71 (12,56%) (9,91%) (8,42%) (10,66%) 4. Daun 985,45 284,55 192,69 1.462,68 (18,81%) (8,83%) (5,73%) (12,37%) 5. Total 5.240,27 3.221,46 3.361,31 11.823,04 (100%) (100%) (100%) (100%) 6. Fotosintesis 985,45 284,55 192,69 1.462,68 (18,81%) (8,83%) (5,73%) (12,37%) 7. Non4.254,82 2.936,92 3.168,62 10.360,36 fotosintesis (81,19%) (91,17%) (94,27%) (87,63%) Keterangan: * Dihitung berdasarkan persamaan alometrik C = aDb, C (kg), D (cm)
68
5.1.7.2 Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah Total potensi kandungan karbon terikat tumbuhan bawah dan serasah di lokasi penelitian sebesar 4.380,83 kg/ha, dimana sebagian besar akumulasi karbon terdapat pada tumbuhan bawah tidak berkayu sebesar 2.141.64 kg/ha (48,89%), kemudian diikuti oleh serasah sebesar 1.795,75 kg/ha (40,99%). Sedangkan potensi kandungan karbon terikat terendah terdapat pada tumbuhan bawah berkayu sebesar 443,44 kg/ha (10,12%). Potensi kandungan karbon terikat tumbuhan bawah dan serasah disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. No. Kategori 1. Tumbuhan bawah berkayu 2. Tumbuhan bawah tidak berkayu Total karbon terikat tumbuhan bawah (A) 3. Serasah Total karbon terikat serasah (B) Total karbon terikat (A + B)
Karbon Terikat (kg/ha) 443,44 2.141,64 2.585,08 1.795,75 1.795,75 4.380,83
% dari total 10,12 48,89 59,01 40,99 40,99 100,00
5.1.7.3 Kandungan Karbon Terikat Nekromasa Total karbon terikat nekromasa di lokasi penelitian sebesar 12.901,32 kg/ha yang terdiri atas nekromasa bagian batang sebesar 11.748,08 kg/ha (91,06%), diikuti oleh nekromasa cabang dengan karbon terikat sebesar 801,13 kg/ha (6,21%) dan terendah pada karbon terikat nekromasa ranting sebesar 352,11 kg/ha (2,73%). Untuk lebih jelasnya mengenai potensi kandungan karbon terikat nekromasa disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Kandungan Karbon Terikat Nekromasa di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. No. Kategori 1. Nekromasa batang 2. Nekromasa cabang 3. Nekromasa ranting Total karbon terikat nekromasa
Karbon Terikat (kg/ha) 11.748,08 801,13 352,11 12.901,32
% dari total 91,06 6,21 2,73 100,00
5.1.8 Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dan Biomassa Pohon Hubungan antara karbon terikat dengan biomassa dapat didekati menggunakan persamaan model penduga C = aWb pada seluruh bagian pohon.
69
Model ini dipilih karena kesamaan bentuk dengan dua jenis pendekatan yang telah dilakukan, yaitu model hubungan antara biomassa dengan diameter (W = aDb) dan antara kandungan karbon terikat dengan diameter (C = aDb). Persamaan yang menggambarkan hubungan antara kandungan karbon terikat dengan biomassa pohon untuk setiap bagian pohon di hutan gambut merang bekas terbakar disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Model Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat (C, kg) dengan Biomassa (W, kg) untuk setiap Bagian Pohon di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. Bagian Pohon
Persamaan
S
R2 (%)
R-adj (%)
1. Batang
C = 0,159588 W
0,998
0,030092
99,9
99,9
2. Cabang
C = 0,185353 W0,984
0,076758
99,3
99,3
0,098101
98,8
98,7
1,00
3. Ranting
C = 0,213796 W
4. Daun
C = 0,232274 W0,982
0,074546
99,1
99,1
5. Total
C = 0,188799 W
0,980
0,033267
99,9
99,9
6. Fotosintesis
C = 0,232274 W0,982
0,074546
99,1
99,1
0,993
0,030586
99,9
99,9
7. Non-fotosintesis
C = 0,171791 W
Pada Tabel 23 menunjukkan tentang model hubungan antara karbon terikat dengan biomassa yang dibuat menunjukkan bahwa R2 dari hubungan antara karbon terikat dengan biomassa pada setiap bagian pohon adalah berkisar antara 98,8 – 99,9%, hal tersebut menunjukkan bahwa karbon terikat memiliki kaitan yang sangat erat dengan biomassa. Dengan demikian kandungan karbon terikat setiap bagian pohon dapat diduga dari nilai biomassa pohon sehingga untuk kepraktisan penentuan kandungan karbon terikat pohon dapat menggunakan pendugaan biomassa pohon. Grafik hubungan antara diameter pohon dengan karbon terikat tiap bagian pohon berdiameter ≥ 2 cm serta model penduganya dapat dilihat pada Gambar 34 sampai Gambar 39.
70
Gambar 34. Hubungan Biomassa Batang dengan Karbon Terikat Batang
Gambar 35. Hubungan Biomassa Cabang dengan Karbon Terikat Cabang
Gambar 36. Hubungan Biomassa Ranting dengan Karbon Terikat Ranting
71
Gambar 37. Hubungan Biomassa Daun dengan Karbon Terikat Daun
Gambar 38. Hubungan Biomassa Total dengan Karbon Terikat Total
Gambar 39. Hubungan Biomassa Non-Fotosintesis dengan Karbon Terikat NonFotosintesis
72
Berdasarkan Tabel 23 tersebut maka dapat menghitung persentase yang menunjukkan proporsi hubungan karbon terikat yang diduga berdasarkan data biomassa pohon. Proporsi kandungan karbon terikat terhadap biomassa tegakan di hutan gambut merang bekas terbakar dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24.
Proporsi Kandungan Karbon Terikat terhadap Biomassa Pohon pada Kelas Diameter 2 – 10 cm, 10 – 20 cm dan > 20 cm.
Kelas Diameter 2 - 10 cm 10 - 20 cm >20 cm
Biomassa (kg/ha) 29.612,60 19.144,73 20.386,80
Karbon terikat (kg/ha) 5.240,27 3.221,46 3.361,31
% karbon dari biomassa 17,70 16,83 16,49
Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa jumlah karbon terikat meningkat secara linear seiring dengan meningkatnya biomassa pohon. Hubungan yang erat ini didukung oleh nilai R2 dari persamaan alometrik hubungan antara karbon terikat dengan biomassa pohon yang dihasilkan (Tabel 23), sehingga dari persamaan tersebut dapat dinyatakan bahwa kandungan karbon terikat dapat diduga dari biomassa pohon. Tabel 25.
No. 1. 2. 3.
4.
5.
6. 7.
Proporsi Karbon Terikat terhadap Biomassa Bagian Pohon pada Berbagai Jenis dan Tipe Hutan.
Jenis Pohon/Tipe Hutan Hutan Mangrove Hutan Kerangas, Kalbar Acacia mangium, Sumsel a. Areal bekas terbakar b. Areal tidak terbakar Pohon Puspa, Sumsel a. Kelas diameter 2 - 10 cm b. Kelas diameter 10 - 20 cm c. Kelas diameter > 20 cm Acacia crassicarpa, Sumsel a. Umur 2 tahun b. Umur 4 tahun c. Umur 6 tahun Hutan Gambut Bekas Tebangan, Sumsel Hutan Gambut Bekas Terbakar, Sumsel a. Kelas diameter 2 - 10 cm b. Kelas diameter 10,01 - 20 cm c. Kelas diameter ≥ 20,01 cm
% karbon terikat 19 – 47 19 – 27
Pustaka Hilmi (2003) Onrizal (2004) Ismail (2005)
14,7 - 28,8 14,4 - 28,4 Salim (2005) 31,53 28,51 33,84 Limbong (2009) 15,21 18,69 17,63 13,70 -22,99 17,70 16,83 16,49
Novita (2010) Studi ini
73
5.2 Pembahasan 5.2.1 Komposisi dan Struktur Hutan Penelitian dilakukan di hutan gambut merang bekas terbakar tahun 2006 merupakan areal dengan komunitas yang telah mengalami suksesi sekunder. Areal ini dulunya merupakan hutan primer yang telah mengalami gangguan berupa penebangan dan kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi di lokasi penelitian menyebabkan perubahan komposisi dan struktur komunitas hutan berupa hilangnya vegetasi alami hutan gambut sebelum terjadinya gangguan. Daerah yang mengalami gangguan (kebakaran hutan) tersebut dapat dikolonisasi oleh berbagai varietas spesies yang secara perlahan-lahan digantikan oleh suatu suksesi spesies lain (Cambell et al., 2002). Setelah terjadinya gangguan tersebut biasanya terdapat jenis-jenis tertentu yang muncul sebagai pionir yang adaptif terhadap perubahan kondisi lingkungan hutan akibat kebakaran hutan. Beberapa jenis pionir ini juga dapat ditemukan dalam penelitian komposisi dan struktur vegetasi hutan sekunder bekas terbakar di Kalimantan Timur (Adinugroho 2006) dan Hutan Jasinga (Rahma 2008). Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Adinugroho
(2006)
menyebutkan bahwa terdapat beberapa jenis tumbuhan pionir yang merupakan ciri hutan sekunder akibat terjadinya gangguan (kebakaran hutan) seperti jenis Macaranga, Mallotus, Melastoma dan Leea. Sedangkan pada penelitian Rahma (2008), di lokasi Jasinga yang dulunya merupakan hutan primer setelah terjadinya gangguan (kebakaran hutan) selama dua kali dan sekarang telah mengalami suksesi sekunder dimana jenis yang muncul adalah jenis-jenis pionir salah satunya adalah puspa (Schima wallichii) yang mendominasi areal hutan tersebut. Berdasarkan hasil analisis vegetasi untuk tingkat pertumbuhan pohon dapat diketahui bahwa pada tingkat pertumbuhan pancang memiliki INP yang lebih besar dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lain (tiang dan pohon) dikarenakan terdapat jenis pionir yang merupakan vegetasi dominan seperti bebangun dan mahang (Macaranga maingayi) dimana memiliki jumlah pohon yang banyak sehingga nilai kerapatan jenis pun akan menjadi tinggi. Hutan gambut bekas terbakar biasanya akan terbuka dan akan mengalami suksesi dimana jenis pohon yang banyak muncul setelah terjadinya kebakaran adalah jenis
74
tanaman pionir. Jenis bebangun dan mahang (Macaranga maingayi) merupakan jenis pionir yang muncul setelah terjadinya kebakaran dan memiliki daya adaptasi yang tinggi pada kondisi lingkungan yang terganggu. Selain itu, jenis pohon pionir tersebut memiliki kemampuan yang cepat dalam beregenerasi sehingga dapat menjadi tanaman yang bersifat invasi pada areal bekas terbakar. Salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap besarnya biomassa adalah kerapatan suatu tegakan dimana variasi biomassa sangat tergantung atas jarak antar individu atau kerapatan (Tresnawan dan Upik 2002). Besarnya nilai kerapatan pada tingkat pertumbuhan pancang dan tiang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap potensi karbon terikat yang berhubungan erat dengan besarnya biomassa suatu pohon. Total luas bidang dasar (Lbds) di hutan gambut merang bekas terbakar adalah sebesar 14,71 m2/ha dan mengalami penurunan akibat kebakaran hutan sebesar 40,23 % dari rata-rata total Lbds pada berbagai kedalaman gambut di hutan gambut primer yaitu 24,61 m2/ha (Istomo 2002). Pada kondisi ekosistem hutan yang tidak mengalami kerusakan (hutan primer) akan memiliki luas bidang dasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi hutan yang telah mengalami gangguan. Penurunan luas bidang dasar pada lokasi penelitian disebabkan karena setelah terjadi kebakaran menyebabkan terjadi penurunan jumlah pohon pada hutan gambut sehingga dapat mempengaruhi besarnya luas bidang dasar tersebut. Sedangkan untuk analisis vegetasi pada tumbuhan bawah dapat diketahui bahwa tumbuhan bawah tidak berkayu memiliki jumlah jenis dan nilai INP yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumbuhan bawah berkayu. Hal tersebut disebabkan karena hutan yang telah mengalami gangguan (kebakaran hutan) mengakibatkan lantai hutan menjadi lebih terbuka tanpa ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi sehingga sinar matahari akan langsung mengenai lantai hutan. Kondisi hutan yang telah mengalami gangguan tersebut dapat mendukung pertumbuhan jenis rumput dan semak belukar akibatnya jenis tumbuhan tidak berkayu mendominasi areal hutan gambut merang bekas terbakar.
75
5.2.2 Sifat Fisik dan Kimia Pohon Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kayu atau berat kering. Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air, baik berdasarkan kelas diameter, maupun berdasarkan bagian-bagian pohon. Namun secara umum pada semua kelas diameter, bagian pohon yang memiliki kadar air yang paling tinggi yaitu pada bagian daun dengan rata-rata berkisar antara 59,65 – 68,66% kemudian diikuti bagian ranting yakni dengan nilai rata-rata berkisar antara 39,69 – 63,18% dan bagian cabang berkisar antara 34,34 – 50,88%. Sedangkan bagian pohon yang memiliki kadar air yang paling rendah yaitu pada bagian batang dengan nilai ratarata kadar air berkisar antara 5,29 – 13,34% (Tabel 11). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Onrizal (2004), Salim (2005), Talan (2008), Limbong (2009) dan Rachman (2009) yang melaporkan bahwa pola sebaran kadar air pada bagian anatomi pohon dan kelas diameter itu tertinggi pada bagian anatomi daun. Bagian daun memiliki nilai kadar air yang paling besar karena pada bagian ini, kandungan bahan penyusun kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin rendah sehingga pada rongga sel yang kosong banyak terisi air. Meskipun komponen kimia penyusun kayu seperti klorofil a dan klorofil b memiliki berat molekul yang cukup besar, namun secara satuan luas jumlah rongga yang diisi air cenderung lebih banyak (Talan 2008). Selain itu, daun memiliki jumlah stomata yang lebih banyak daripada lenti sel yang terdapat pada batang yang menyebabkan banyaknya air dari lingkungan yang diserap oleh daun sehingga rongga yang ada pada daun akan banyak terisi air (Talan 2008). Besarnya kandungan kadar air pada setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) dapat mempengaruhi secara langsung terhadap potensi biomassa atau berat kering setiap bagian pohon disamping berat basahnya. Sedangkan rendahnya kadar air pada bagian batang dikarenakan pada umumnya bagian batang mempunyai zat penyusun kayu yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian pohon lainnya (cabang, ranting dan daun). Zat penyusun kayu tersebut dapat menyebabkan bagian rongga sel pada batang banyak oleh
76
komponen penyusun kayu dibandingkan air, sehingga bobot biomassa batang menjadi lebih besar. Besarnya kandungan karbon terikat ditentukan oleh besarnya nilai kadar abu dan kadar zat terbang dimana semakin besar kandungan kadar zat terbang dan kadar abu maka makin rendah kandungan karbon terikat yang ada dalam kayu tersebut. Kadar abu merupakan kadar oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi yang terdiri dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Sedangkan kadar zat terbang merupakan kandungan zat-zat yang mudah menguap atau hilang pada suhu pemanasan 950ºC yang tersusun dari senyawa alifatik, terfana dan fenolik. 5.2.3 Kandungan Biomassa 5.2.3.1 Kandungan Biomassa Tegakan di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar Menurut Brown (1997), biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven per unit area. Selanjutnya menurut Jenkins et al., (2003), biomassa dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan kegiatan pengelolaan hutan, karena hutan dapat dianggap sebagai sumber dan sink dari karbon. Potensi biomassa suatu hutan dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Total potensi tegakan biomassa di hutan gambut merang bekas terbakar adalah sebesar 69,14 ton/ha sedangkan potensi biomassa rata-rata (berdasarkan kedalaman gambut) pada hutan rawa gambut primer adalah sebesar 246,15 ton/ha (Istomo 2002). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kejadian kebakaran hutan menyebabkan penurunan biomassa tegakan di hutan gambut merang sebesar 71,91% sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kebakaran yang terjadi dilokasi penelitian dalam intensitas yang tinggi karena banyaknya tegakan yang hilang di hutan gambut tersebut. Berdasarkan bagian pohon, dapat diketahui bahwa bagian batang merupakan bagian yang memiliki potensi biomassa pohon yang sangat besar dengan total biomassa batang sebesar 51.966,92 kg/ha (75,12%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Istomo (2002), Onrizal (2004),
77
Salim (2005), Rahma (2008), Talan (2008), Limbong (2009) dan Novita (2010). Biomassa pada bagian batang berkisar antara 68,09 – 82,28% dari biomassa totalnya, kemudian diikuti bagian daun sebesar 4,17 – 14,44%, bagian ranting sebesar 6,16 – 10,32% dan terkecil pada bagian cabang sebesar 7,15 – 7,45% dari biomassa totalnya (Tabel 15). Kandungan biomassa pada bagian batang yang lebih besar tersebut, berhubungan erat dengan hasil produksi pohon yang diperoleh dari hasil fotosintesis yang pada umumnya disimpan pada batang. Secara umum, batang mempunyai zat penyusun kayu yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian pohon lainnya. Zat penyusun kayu tersebut dapat menyebabkan bagian rongga sel pada batang banyak oleh komponen penyusun kayu dibandingkan air, sehingga bobot biomassa batang menjadi lebih besar. Biomassa terbesar kedua dimiliki oleh biomassa daun dengan total biomassa daun sebesar 6.372,73 kg/ha (9,22%), hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahma (2008). Namun apabila dilihat berdasarkan kelas diameter terlihat bahwa potensi biomassa terbesar terdapat pada kelas diameter 2 – 10 cm, sedangkan pada kelas 10,01 - 20 cm dan kelas ≥ 20,01 cm memiliki biomassa yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian ranting dan cabang. Besarnya potensi biomassa pada bagian daun diduga karena daun sebagai sumber utama penghasil fotosintat mengalami pertumbuhan yang cepat di awal-awal masa pertumbuhannya serta tegakan lebih dulu mengalami perkembangan pada bagian daun di awal pertumbuhannya sehingga dapat mempengaruhi banyaknya jumlah daun. Selain itu, setiap individu pohon memiliki ukuran serta bentuk daun yang berbeda sehingga dapat mempengaruhi besarnya biomassa pada bagian daun tersebut. Menurut Salisbury (1995), tingkat dan lama cahaya matahari akan mempengaruhi bentuknya pati sebagai bentuk karbohidrat utama produk fotosintesis. Sebagian besar karbohidrat utama yang disimpan tumbuhan adalah dalam bentuk pati, sehingga meskipun fotosintesis dengan mengupayakan penyerapan karbondioksida terjadi pada bagian daun namun hasil fotosintesis (fotosintat) tersebut akan didistribusikan ke bagian-bagian lainnya terutama pada bagian batang. Semakin banyak jumlah daun maka akan membuat indeks luas
78
daun semakin tinggi sehingga semakin banyak cahaya matahari yang dapat diabsorpsi oleh pohon untuk proses fotosintesis (Fitter dan Hay 1998). Jadi meskipun proses fotosintesis dengan mengupayakan penyerapan karbondioksida terjadi pada bagian daun, namun hasil fotosintesis (fotosintat) tersebut didistribusikan ke bagian-bagian lainnya (batang, cabang dan ranting) sehingga kandungan biomassa pada bagian non-fotosintesis akan lebih besar dibandingkan dengan bagian daun yang melakukan proses fotosintesis. 5.2.3.2 Kandungan Biomassa Tumbuhan Bawah dan Serasah Menurut Hardjosetono (1976), tumbuhan bawah adalah tumbuhan yang memiliki keliling batang < 2 cm yang meliputi semai, kecambah, paku-pakuan, rumput, tumbuhan yang memanjat maupun lumut. Tumbuhan bawah yang ditemui di petak pengamatan didominasi oleh jenis siduduk (Melastoma malabatricum), pakis, liana dan anakan bebangun. Berdasarkan hasil perhitungan kandungan biomassa tumbuhan bawah dan serasah dapat diketahui bahwa yang memiliki kandungan biomassa paling besar adalah tumbuhan bawah tidak berkayu yaitu sebesar 9.039,13 kg/ha (49,83%). Hal tersebut disebabkan karena tumbuhan bawah tidak berkayu memiliki jumlah jenis yang banyak dan beragamnya jenis tumbuhan bawah tidak berkayu yang ditemukan. Tumbuhan bawah tidak berkayu didominasi oleh jenis pakis, ritang dan resam. Biomassa tumbuhan bawah tidak berkayu lebih besar dibandingkan dengan biomassa tumbuhan bawah berkayu karena pengaruh pembukaan tajuk di lokasi penelitian. Pada areal hutan yang telah mengalami gangguan berupa kebakaran hutan akan mengakibatkan lantai hutan menjadi lebih terbuka tanpa ditumbuhi pohonpohon yang tinggi sehingga sinar matahari akan langsung mengenai lantai hutan. Kondisi hutan tersebut dapat mendukung pertumbuhan jenis rumput dan semak belukar akibatnya jenis tumbuhan tidak berkayu mendominasi areal hutan gambut bekas terbakar sehingga memiliki biomassa yang lebih besar dibandingkan tumbuhan bawah berkayu. Rendahnya biomassa tumbuhan bawah berkayu disebabkan oleh kurangnya kesempatan anakan mendapatkan cahaya matahari karena pesatnya pertumbuhan tumbuhan tidak berkayu sehingga anakan menjadi tertekan dan akhirnya tidak bisa tumbuh dengan baik, hanya beberapa jenis
79
tumbuhan bawah berkayu yang mampu bertahan sehingga biomassanya pun akan lebih kecil. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, dapat diketahui bahwa salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan tumbuhan bawah adalah faktor cahaya. Hal tersebut disebabkan karena tidak semua jenis tumbuhan bawah dapat tumbuh dengan baik pada kondisi di bawah naungan. Berdasarkan toleransinya terhadap naungan bahwa tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi jenis intoleran yaitu tumbuhan yang dapat hidup di tempat terbuka, tumbuhan toleran yaitu tumbuhan yang mampu tumbuh pada kondisi di bawah naungan serta tumbuhan jenis semi toleran yaitu memiliki toleransi yang lebar terhadap faktor cahaya (Daubenmire 1974). Selanjutnya menurut Satoo dan Madgwick (1982) faktor iklim seperti cahaya, suhu dan curah hujan sangat mempengaruhi terhadap kandungan biomassa. Murdiyarso et al., (2004) mengemukakan bahwa suhu dan cahaya merupakan faktor lingkungan yang berdampak pada proses biologi tumbuhan dalam pengambilan karbon oleh tanaman melalui proses fotosintesis dan penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposer. Selain suhu dan cahaya, besarnya biomassa tumbuhan bawah dalam suatu areal dipengaruhi juga oleh umur dan kerapatan vegetasi, komposisi serta kualitas tempat tumbuh. Meskipun tumbuhan bawah memiliki biomassa ≤ 5% dari biomassa total (kg/ha) di atas tanah, namun keberadaannya sangat mempengaruhi total biomassa per hektar dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan unsur hara tanah, sehingga keberadaan biomassa tumbuhan bawah tidak dapat diabaikan (Brown 1997). Biomassa terbesar kedua dimiliki oleh serasah yaitu sebesar 7.029,77 kg/ha (38,75%), hal tersebut disebabkan karena setelah terjadi gangguan berupa kebakaran hutan biasanya banyak menyisakan limbah pohon berupa serasah. Besarnya kandungan biomassa pada serasah menggambarkan secara tidak langsung CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran dan hal ini berarti bahwa jumlah karbon tersimpan pada tegakan di areal tersebut berkurang dengan banyaknya kandungan biomassa pada serasah.
80
5.2.3.3 Kandungan Nekromasa Nekromasa adalah bagian dari tumbuhan yang telah mati. Pada Tabel 17 menunjukkan bahwa yang memiliki nekromasa paling besar adalah pada nekromasa batang yaitu sebesar 58.862,07 kg/ha (91,45%). Hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya terdapat tunggak-tunggak kayu yang ada pada areal petak penelitian sehingga nekromasa pun semakin besar. Tunggak-tunggak kayu yang ada di areal diduga sebagai akibat kegiatan penebangan namun dibiarkan terlantar sehingga dapat menjadi sumber bahan bakar yang potensial dimana apabila ada sumber penyulutan maka akan mudah untuk terbakar. Sebagian besar tunggak-tunggak batang tersebut terdapat tanda-tanda bekas terbakar, hal tersebut terlihat dari bagian tunggak batang yang terbakar berarang berwarna hitam. Besarnya kandungan nekromasa tersebut, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan pada jumlah biomassa tersimpan pada tegakan di areal tersebut. Semakin menurunnya jumlah biomassa tersebut akan membawa dampak negatif terhadap kelangsungan ekosistem hutan dan berpengaruh terhadap siklus karbon di atmosfer karena hampir 50% biomassa tumbuhan terdiri dari unsur karbon dan unsur tersebut dapat lepas ke atmosfer (Brown 1997).
5.2.4 Kandungan Karbon Terikat 5.2.4.1 Kandungan Karbon Terikat Tegakan di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar Total kandungan karbon terikat tegakan di hutan gambut merang bekas terbakar adalah sebesar 11,82 ton/ha sedangkan kandungan karbon terikat pada hutan rawa gambut primer (virgin forest) adalah sebesar 172,16 ton/ha (Perdhana 2009). Kebakaran yang terjadi di hutan gambut dapat menyebabkan terjadi penurunan potensi karbon terikat sebesar 93,13% bila dibandingkan dengan hutan gambut primer (Perdhana 2009) sehingga bisa dikatakan tingkat kebakaran yang terjadi dilokasi penelitian dalam intensitas yang tinggi karena banyaknya tegakan yang hilang di hutan gambut. Berdasarkan kandungan karbon terikat bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) di atas tanah (Tabel 20) menunjukkan bahwa seperti halnya dengan distribusi biomassa bagian pohon bahwa kandungan karbon terikat tertinggi terdapat pada bagian batang yaitu antara 61,25 – 78,32%, kemudian
81
diikuti daun berkisar antara 5,73% - 18,81%, ranting berkisar antara 8,42% 12,56% dan paling rendah terdapat pada bagian cabang yaitu berkisar antara 7,38% - 7,66%. Tingginya kandungan karbon terikat pada batang karena unsur karbon merupakan bahan organik penyusun dinding sel batang. Selain itu, batang merupakan bagian yang memiliki potensi kandungan biomassa terbesar karena pada bagian tersebut cadangan makanan paling banyak disimpan sehingga memiliki kandungan karbon terikat yang lebih besar pula dibandingkan dengan bagian pohon yang lain (cabang, ranting dan daun). Berdasarkan potensi karbon terikat total dari seluruh bagian pohon dapat diketahui bahwa potensi simpanan karbon terikat pada daun merupakan potensi terbesar kedua dimana memiliki simpanan karbon terikat yang lebih besar dibandingkan dengan bagian ranting dan cabang. Namun apabila dilihat berdasarkan kelas diameter terlihat bahwa kandungan karbon terikat terbesar terdapat pada kelas diameter 2 – 10 cm, sedangkan pada kelas 10,01 - 20 cm dan kelas ≥ 20,01 cm memiliki kandungan karbon terikat yang lebih kecil dibandingkan dengan bagian ranting dan cabang. Besarnya kandungan karbon terikat pada kelas diameter 2 – 10 cm diduga karena daun sebagai sumber utama penghasil fotosintat mengalami pertumbuhan yang cepat di awal-awal masa pertumbuhannya serta tegakan lebih dulu mengalami perkembangan pada bagian daun di awal pertumbuhannya sehingga memiliki kandungan karbon terikat yang lebih besar. Hasil perhitungan potensi karbon terikat pada hutan gambut merang bekas terbakar berbanding lurus dengan diameter pohon, semakin besar diameter pohon maka kandungan karbon terikat akan semakin besar pula. Batang merupakan kayu dimana 40 - 45% kayu tersusun oleh selulosa. Selulosa merupakan molekul gula linear yang berantai panjang yang tersusun oleh karbon, sehingga semakin tinggi selulosa maka kandungan karbon akan semakin tinggi. Adanya variasi horizontal mengakibatkan adanya kecenderungan variasi dari kerapatan dan juga komponen kimia penyusun kayu. Makin besar diameter pohon diduga memiliki potensi selulosa dan zat penyusun kayu lainnya akan lebih besar. Faktor tersebut
82
menyebabkan kelas diameter yang lebih besar akan memiliki kandungan karbon yang lebih tinggi pula. Karbon merupakan suatu unsur yang diserap dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan disimpan dalam bentuk biomassa. Tingkat penyerapan karbon di hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antaralain iklim, topografi, karakteristik lahan, umur dan kerapatan vegetasi, komposisi jenis serta kualitas tempat tumbuh. Tempat penyimpanan utama karbon adalah terdapat dalam biomassanya (termasuk bagian atas yang meliputi batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah serta bagian bawah yang meliputi akar), bahan organik mati, tanah dan yang tersimpan dalam produk kayu yang nantinya dapat diemisikan untuk produk jangka panjang.
5.2.4.2 Kandungan Karbon Terikat Tumbuhan Bawah dan Serasah Kandungan karbon terikat pada tumbuhan bawah tidak berkayu lebih besar dibandingkan dengan tumbuhan bawah berkayu karena akibat adanya kebakaran hutan maka tajuk pohon menjadi lebih terbuka sehingga mendukung pertumbuhan tumbuhan tidak berkayu. Sedangkan rendahnya kandungan karbon terikat pada tumbuhan bawah berkayu disebabkan oleh kurangnya kesempatan anakan mendapatkan cahaya matahari karena pesatnya pertumbuhan tumbuhan tidak berkayu sehingga anakan menjadi tertekan dan akhirnya tidak bisa tumbuh dengan baik, hanya beberapa jenis tumbuhan bawah berkayu yang mampu bertahan sehingga kandungan karbon terikat pun akan lebih kecil. Selain itu, kejadian kebakaran hutan juga dapat mengakibatkan terjadinya penurunan jenis tumbuhan bawah berkayu karena kondisi tajuk hutan lebih terbuka sehingga dapat mendukung pertumbuhan tumbuhan bawah tidak berkayu, sementara kondisi tumbuhan bawah berkayu pertumbuhannya menjadi tertekan karena pengaruh persaingan dalam memperoleh hara maupun cahaya matahari. Fenomena tersebut selain dapat mempengaruhi komposisi jenis tumbuhan bawah berkayu dimana pada masa mendatang dapat berpotensi menjadi pohon di hutan tersebut juga dapat mengurangi potensi kandungan biomassa dan karbon terikat dari areal tersebut.
83
Kandungan karbon terikat terbesar kedua adalah pada serasah yaitu sebesar 1.795,75 kg/ha (40,99%), hal tersebut disebabkan karena setelah terjadi gangguan berupa kebakaran hutan biasanya banyak menyisakan limbah pohon berupa serasah sehingga kandungan biomassa akan besar begitupula pada kandungan karbon terikatnya. Besarnya kandungan biomassa pada serasah menggambarkan secara tidak langsung CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran dan hal ini berarti bahwa jumlah karbon tersimpan pada tegakan di areal tersebut berkurang. 5.2.4.3 Kandungan Karbon Terikat Nekromasa Pada Tabel 22 menunjukkan bahwa yang memiliki kandungan karbon terikat terbesar adalah pada nekromasa batang. Hal ini disebabkan produksi nekromasa batang yang tinggi karena terdapat banyak tunggak-tunggak batang di areal penelitian sehingga menyebabkan kandungan karbon terikat pun semakin besar. Pengukuran karbon yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran (Hairiah dan Rahayu 2007). Total potensi karbon terikat pada nekromasa lebih besar dibandingkan dengan pada tegakan di atas permukaan tanah yang ada di lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah karbon yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran adalah sebesar kandungan biomassanya. Adapun total kandungan biomassa nekromasa (batang, cabang dan ranting) sebesar 64.366,98 kg/ha yang berarti bahwa sekitar 64.366,98 kg/ha tegakan kehilangan biomassanya meski tanpa pembakaran dan hal itu berarti bahwa secara tidak langsung telah melepaskan CO2 ke udara tanpa pembakaran dan hal ini berarti pula bahwa jumlah karbon tersimpan pada tegakan di areal tersebut berkurang dengan banyaknya kandungan biomassa pada nekromasa.
5.2.5 Hubungan antara Kandungan Karbon Terikat dan Biomassa Pohon Berdasarkan data biomassa serta kandungan karbon terikat pada setiap bagian pohon menunjukkan bahwa hubungan keduanya adalah linear positif, yaitu kandungan karbon terikat akan meningkat secara linear seiring dengan meningkatnya biomassa pohon. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa
84
besarnya kandungan karbon terikat pada biomassa pohon di hutan gambut bekas terbakar yang diduga berdasarkan kelas diameter 2 – 10 cm, 10,01 – 20 cm dan ≥ 20,01 cm berkisar antara 16,49 – 17,70%. Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Brown (1997) yang menyatakan bahwa 50% dari biomassa adalah karbon. Perbedaan ini diduga karena karbon yang diukur Brown (1997) belum dikurangi dengan kadar abu dan zat terbang. Sedangkan dalam penelitian ini merupakan karbon terikat yang telah dikurangi kadar abu dan zat terbang. Hal ini dapat didukung oleh penelitian sebelumnya yang tidak menunjukkan kadar karbon 50% adalah hasil penelitian Hilmi (2003) di lahan mangrove, Indragiri Hilir Riau menunjukkan karbon terikat dari biomassa berkisar antara 19 – 47%, Onrizal (2003) di hutan kerangas Kalimantan Barat menunjukkan karbon terikat dari biomassa berkisar antara 19 – 27%, Yuliana (2005) pada tanaman karet di Bengkulu Utara menunjukkan bahwa karbon terikat dari biomassa pohon berkisar antara 16,63 – 20,96%, Ismail (2005) pada tanaman A.mangium di PT. MHP menunjukkan bahwa karbon terikat dari biomassa berkisar antara 14,38 – 28,44%, Salim (2005) pada tanaman Puspa di areal PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan bahwa kandungan karbon terikat yang berasal dari biomassa berkisar antara 28,51 – 33,84%, Limbong (2009) pada tanaman Acacia crassicarpa PT. SBAWI Sumatera Selatan bahwa kandungan karbon terikat yang berasal dari biomassa berkisar antara 15,21 – 18,69% dan Novita (2010) pada hutan gambut bekas tebangan Sumatera Selatan bahwa kandungan karbon terikat yang berasal dari biomassa berkisar antara 13,70 – 22,99% (Tabel 25). Besarnya kandungan karbon terikat dipengaruhi oleh kandungan biomassa, sehingga kadar karbon terikat berkorelasi positif dengan biomassa, dimana semakin besar potensi biomassa maka semakin besar pula potensi karbon terikat. Hal tersebut disebabkan karena potensi biomassa dapat mempengaruhi besarnya potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa yang nantinya dapat mempengaruhi potensi karbon terikat.
85
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Kandungan biomassa dan karbon terikat berdasarkan bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) yang terdapat di atas permukaan tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan menggunakan satu peubah bebas yaitu diameter (D). Persamaan alometrik yang dihasilkan untuk menduga biomassa dan karbon terikat adalah melalui persamaan Wtotal = 0,153108 D2,40 dan Ctotal = 0,0302 D2,35. Potensi kandungan karbon terikat pada pohon berkaitan erat dengan potensi biomassa dimana hubungan keeratan antara karbon terikat dengan biomassa dapat ditunjukkan dengan model persamaan Ctotal = 0,188799 W0,980. Kandungan karbon terikat pada pohon dapat diduga dengan menggunakan biomassa yaitu sebesar 16,49 % - 17,70% dari biomassa pohon. Total biomassa dan karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan gambut merang bekas terbakar secara berturut-turut adalah 151.650,48 kg/ha dan 29.105,19 kg/ha.
6.2 Saran Model penduga potensi biomassa dan kandungan karbon terikat di hutan gambut merang bekas terbakar yang telah dibentuk dapat digunakan untuk menduga besarnya potensi biomassa dan kandungan karbon terikat dari hutan gambut bekas terbakar tanpa harus menebang pohonnya yang diharapkan menjadi bahan masukan bagi berbagai pihak terkait sebagai pertimbangan dalam mengelola hutan gambut untuk mencapai pengelolaan hutan secara lestari.
86
DAFTAR PUSTAKA Adinugroho WC. 2002. Model Biomassa Pohon Mahoni (Swietenia macrophylla) di Kesatuan Pemangkuan Hutan Cianjur PT. PERHUTANI Unit III Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Adinugroho WC. 2006. Persamaan Alometrik Biomassa dan Faktor Ekspansi Biomassa Vegetasi Hutan Sekunder Bekas Kebakaran di PT. INHUTANI I Batu Ampar, Kalimantan Timur. Anonim. 2008. Pendahuluan [http://tep.fateta.ipb.ac.id/elearning/media/Energi %20dan%20Listrik%20Pertanian/MATERI%20WEB%20ELP/Bab%20II% 20BIOMASSA/pendahuluan.htm] [ 21 Oktober 2008]. Anonim. 2009. Daur Karbon. [http://rimbaraya.blogspot.com/2005/03/daurkarbon.html] [ 17 Mei 2009]. Atiek W, Andree E, Ronny S. Alih Guna Lahan di Kabupaten Nunukan: Pendugaan Cadangan Karbon berdasarkan Tipe Tutupan Lahan dan Kerapatan Vegetasi pada Skala Landskap. 2003. [ www.worldagroforestry .org/sea/ Publications /files/book/BK0089-05/BK0089-05-2.PDF -] [ 21 Oktober 2008]. Ballhorn. U. 2007. Peat Dome Mapping and Analysis. Compilation of the Project Peat Data. South Sumatra Forest Fire Management Project. Barkah BS. 2009. Survey Vegetasi dan Kerusakan Hutan Rawa Gambut Area MRPP. Palembang: Nursery and Peat Swamp Forest MRPP-GTZ. Brown AA, KP Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. USA: Me Graw Hill Book Company, Inc. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest A Primer. USA: FAO. Forestry Paper. 134:10 - 13. Brown S. 2002. Forest and Cilamte Change and the Role of Forest as Carbon Sink. Western Ecology Division, National Health and Envoronmental Effect Research Laboratory. Oregon: USEPA, 2002. Chandler C, P Cheney, L Trabaud, D Williams. 1983. Fire in Forest Vol I Forest Fire Behaviour and Effects. USA: Jhon Wiley and Sons, Inc. Canada. Chapman SB. 1976. Method in Plant Ecology. 2nd ed. Osford: Blackwell Scientific Publisher. 145 – 120 p. Departemen Kehutanan. 2006. Statistik Kehutanan Indonesia 2005. Jakarta: Dephut 2006. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Bogor: Kanisius.
87
Fuller M. 1991. Forest Fire An introduction to Wildland Fire Behavior, Management, Firefighting and Prevention. Canada: Hohn Wiley& Sons, Inc. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry CentreICRAF, SEA Regional Office. University of Brawijaya Unibraw, Indonesia. Hardjosetono P. 1976. Pedoman Inventarisasi Flora dan Fauna. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Haygreen J, Bowyer JL. 1989. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Terjemahan oleh: Hadikusumo S. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Heriyanto NM, I Heriansyah, CA Siregar, M Kiyoshi. 2002. Measurement of Biomass in Forest. Bogor: JICA/FORDA. Hilmi E. 2003. Model Penduga Kandungan Karbon pada Kelompok Jenis Rhizophora spp. Dan Bruguuiera spp. dalam Tegakan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Indragiri Hilir, Riau). [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ismail AY. 2005. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Potensi Kandungan Karbon pada Tanaman Acacia mangium Wild di Hutan Tanaman Industri. [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada tanah dan Tumbuhan Hutan Rawa Gambut. [disertasi] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jenkins CJ, Chojnacky DC, Heath LS, Birdsey RA. 2003. National-scale Biomass Estimators for United States Tree Species. Forest Science. 49 (1): 12 – 30. Katterings QM, Richard C, Meine VN, Yakub A, Cheryl AP. 2000. Reducing Uncertainty in the use of Allometric Biomass Equations for Predicting Above-Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forest. Forest Ecology and Management 146 (2001) 199-209. Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Studi Strategi Nasional mengenai Pelaksanaan CDM di Indonesia di Sektor Kehutanan. Jakarta: s.n, 2003. Langi YAR. 2007. Model Penduga Biomassa dan Karbon Pada Tegakan Hutan Rakyat Cempaka (Elmerrillia ovalis) dan Wasian (Elmerrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Limbong HDH. 2009. Potensi Karbon tegakan Acacia crassicarpa pada Lahan Gambut Bekas Terbakar (Studi Kasus IUPHHK-HT PT. SBA Wood Industries, Sumatera Selatan). [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
88
Lubis, I.R., Suryanto A.W., Dandun S., Ferry H., Lilik M., Ahmad, S., Zulfikhar. Prianto W., Joko. P. 2004. Laporan Survey Kawasan Hutan Rawan Gambut Merang Kepahyang Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan. Wetlands International Indonesia Programme. Murdiyarso D, Upik R, Kurniatun H, Lili M, I N.N. Suryadiputra, Adi J. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Bogor Indonesia: Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Mott C. 2006. Peat Dome Mapping and Analysis. Refinement modelling. South Sumatra Forest Fire Management Project.
of
3D
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Yogyakarta: Kanisius. Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [tesis] Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pambudi NA. 2008. Mengapa Biomassa Mampu Menekan Efek Pencemaran? [http://netsains.com/2008/03/mengapa-biomassa-mampu-menekan-efek-pen cemaran/] [ 21 Oktober 2008]. Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. [www.peace.co.id]. Perdhana RF. 2009. Pengaruh Pemanenan Kayu dengan Sistem TPTI terhadap Potensi Karbon pada Vegetasi Hutan Gambut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rachman S. 2009. Pendugaan Potensi Kandungan Karbon pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di Hutan Rakyat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rahayu S, Betha L, Meine van Noordwijk. 2004. Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur [ www.worldagroforestry .org/sea/ Publications /files/book/BK0089-05/BK0089-05-2.PDF-] [ 21 Oktober 2008]. Rahma A. 2008. Estimasi Potensi Simpanan Karbon pada Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth.) di Hutan Sekunder yang Terganggu Akibat Dua Kali Pembakaran di Jasinga, Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Roswiniarti O, Solichin, Suwarsono. 2008. Potensi Pemanfaatan Data SPOT untuk Estimasi Cadangan dan Emisi Karbon di Hutan Rawa Gambut Merang, Sumatera Selatan [http://crs.itb.ac.id/media/mapin/pdf/orbita.pdf] [19 Mei 2009].
89
Saharjo BH. 2003. Pengetahuan Dasar Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Salim. 2005. Profil Kandungan Karbon Pada Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan (Jilid 2). Bandung: ITB. Satoo T, Madgwick HAI. 1982. Forest Biomass. W.Junk Publisher. The Hague. 151 pp. Soerianegara I, A Indrawan. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Solichin. 2008. Merang Peat Dome Forest. Palembang: GTZ MRPP. SSFFMP. 2005. Survey Karakteristik Gambut Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang: Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan Universitas Sriwijaya. Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Perilaku Api Penyebab dan Dampak Kebakaran. Malang: Bayumedia Publishing. Talan MA. 2008. Persamaan penduga Biomassa Pohon Jenis Nyirih (Xylocarpus granatum Koenig, 1784) dalam Tegakan Mangrove Hutan Alam di Batu Ampar, Kalimantan Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tresnawan H, Upik R. 2002. Pendugaaan Biomassa di Atas Tanahdi Ekosistem Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan (Studi Kasus Hutan Dusun Aro, Jambi). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol VIII No.1: 15-29 (2002). Wikipedia. 2009. Siklus Karbon. [http://id.wikipedia.org/wiki/Siklus_karbon] [ 17 Mei 2009]. Wetlands. 2008. Biomassa, Bukan Bahan Bakar Nir-Emisi Saatnya perubahan dalam Kebijakan Iklim. [http://www.google.co.id/search?hl=id&q= biomassa+ karbon&start=10&sa=N] [ 21 Oktober 2008]. Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press. Yuliana R. 2005. Potensi Kandungan Karbon pada Pertanaman (Hevea brasiliensis) yang Disadap (Studi Kasus di Perkebunan Inti Rakyat Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan Merang REDD Pilot Project (MRPP)
Lampiran 2. Posisi Petak Contoh Penelitian
Lampiran 3. Daftar Jenis yang dijumpai dalam petak 0,2 ha di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Nama Lokal Angat-angat Balam seminai Bebangun Beringin Cemetik rawa Darakra Garu buaya Gelam miju Jelutung talang Kayu gula Kayu kapas Kayu kulus Kayu labu Kayu pahit-pahit Kayu putih Kayu tai-tai Kelapa tupai Kelat lapis Ketiau Mahang Mariawah Medang putih Medang sulung Medang telor Meranti telungkum Meranti payau Pecah Pinggan Petai belalang Punak Rinang lalat Siarang Tukulan Uyah-uyah
Nama Ilmiah Gymnacranthera murtoni Palaquium ridleyi ? Ficus benyamina Antidesma montanum Horsfieldia crassifolia Cantleya corrniculata Melaleuca spp. Dyera costulata Cinnamomum Burma Alseodaphne umbelliflora Parartocarpus venenosus Endospermum malaccensis Meliae excels Eucalyptus spp. Celtis wightii Pithecellobium lobatum Eugenia sp. Palaquium burkii Macaranga maingayi Parastemon urophyllus Crytocarya crassinervia Teysmanniodendron pteropodus Litsea noronhae Shorea uliginosa Shorea dasyphylla Beilschmiedia endiandra Syzigium bankense Tetramerista glabra Elaeocarpus palembanicus Diospyros siamang Blumeodendron tokbrai Dacryodes rostrata
Famili Myristicaceae Sapotaceae ? Moraceae Euphorbiaceae Myristicaceae Icacinaceae Myrtaceae Apocynaceae Lauraceae Lauraceae Moraceae Euphorbiaceae Meliaceae Myrtaceae Ulmaceae Mimosaceae Myrtaceae Sapotaceae Euphorbiaceae Chrysobalanaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Myrtaceae Theaceae Elaeocarpaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Burseraceae
Lampiran 4.
Hasil Analisis Vegetasi berdasarkan Tingkat Pertumbuhan Pohon di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan.
Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Mahang Bebangun Petai belalang Medang putih Uyah-uyah Ketiau Kayu tai-tai Kayu gula
Pancang
Cemetik rawa Meranti payau Kayu kapas Kayu putih Medang telor Tukulan Rinang lalat Meranti telungkum Kelapa tupai Pecah pinggan Kelat Mariawah Mahang
Tiang
Kayu labu Siarang Beringin Jelutung talang Punak Bebangun Meranti telungkum Kayu kulus Kayu pahit-pahit Balam seminai
Pohon Medang sulung Darakra Tukulan
Nama Ilmiah Macaranga maingayi ? Syzigium bankense Crytocarya crassinervia Dacryodes rostrata Palaquium burkii Celtis wightii Cinnamomum burma Antidesma montanum Blume Shorea dasyphylla Alseodaphne umbelliflora Eucalyptus spp. Litsea noronhae Blumeodendron tokbrai Elaeocarpus palembanicus Shorea uliginosa Pithecellobium lobatum Beilschmiedia endiandra Syzigium spp. Parastemon urophyllus Total Macaranga maingayi Endospermum malaccensis Diospyros siamang Ficus benyamina Dyera costulata Tetramerista glabra ? Shorea uliginosa Total Parartocarpus venenosus Meliae excelsa Palaquium ridleyi Teysmanniodendron pteropodus Horsfieldia crassifolia Blumeodendron tokbrai
Nilai besaran Kuantitatif Vegetasi KR (%) FR (%) DR INP (%) 18,33 15,38 42,93 76,65 40,00 11,54 24,93 76,47 3,33 7,69 3,83 14,85 6,67 3,85 3,90 14,41 3,33 3,85 7,15 14,33 1,67 3,85 5,82 11,34 3,33 3,85 1,05 8,23 3,33 3,85 0,65 7,83 1,67 1,67 1,67 1,67 1,67 1,67
3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85
1,49 1,18 1,18 1,18 0,71 0,71
7,00 6,69 6,69 6,69 6,22 6,22
1,67 1,67 1,67 1,67 1,67 1,67 100,00 22,22
3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 3,85 100,00 22,22
0,66 0,90 0,58 0,46 0,42 0,29 100,00 13,25
6,17 6,41 6,09 5,97 5,94 5,81 300,00 57,69
11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 100,00 9,09 9,09 9,09
11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 11,11 100,00 9,09 9,09 9,09
19,12 17,80 13,81 11,48 10,75 7,47 6,32 100,00 12,42 12,26 11,61
41,34 40,02 36,03 33,70 32,97 29,69 28,54 300,00 30,60 30,44 29,79
9,09 9,09 9,09
9,09 9,09 9,09
9,56 9,28 8,18
27,75 27,46 26,36
Lanjutan Lampiran (4) Tingkat Pertumbuhan Nama Lokal Garu buaya Mahang Beringin Angat-angat Pecah pinggan
Nama Ilmiah Cantleya corrniculata Macaranga maingayi Ficus benyamina Gymnacranthera murtoni Beilschmiedia endiandra Total
Nilai besaran Kuantitatif Vegetasi KR (%) FR (%) DR INP (%) 9,09 9,09 7,98 26,16 9,09 9,09 7,52 25,70 9,09 9,09 7,39 25,58 9,09
9,09
7,20
25,39
9,09 100,00
9,09 100,00
6,59 100,00
24,77 300,00
Lampiran 5.
Hasil analisis Vegetasi Tumbuhan Bawah di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan Nilai besaran Kuantitatif Vegetasi Jenis Tumbuhan Bawah Nama Lokal Nama Ilmiah KR (%) FR (%) INP (%) Berkayu Siduduk Melastoma malabathricum 31,82 19,05 50,87 Bebangun ? 25,00 14,29 39,29 Mahang ketam Macaranga sp. 9,09 9,52 18,61 Cangkoan binti ? 4,55 9,52 14,07 Kayu Kopi-kopi Argostema Montana 6,82 4,76 11,58 Sijau ? 4,55 4,76 9,31 Mahang Macaranga maingayi 2,27 4,76 7,03 Cemetik rawa Antidesma montanum 2,27 4,76 7,03 Medang telor Litsea noronhae 2,27 4,76 7,03 Tukulan Blumeodendron tokbrai 2,27 4,76 7,03 Cempedak air Artocarpus teysmanni 2,27 4,76 7,03 Kayu putih Melaleuca cajuputi 2,27 4,76 7,03 Balam suntik Palaquium burkii 2,27 4,76 7,03 Kayu manisan Cinnamomum burma 2,27 4,76 7,03 Total 100,00 100,00 200,00 Tidak Berkayu Pakis Paku Stenochlaena palustris 55,70 31,37 87,07 Ritang ? 13,42 15,69 29,10 Resam Dicranopteris linearis 8,86 9,80 18,66 Pakis Nephrolepsis sp 9,62 3,92 13,54 Pakis Udang Stenochlaena sp 3,54 3,92 7,47 Belidang/Senayan ? 0,76 5,88 6,64 Handong Melastoma affine 2,28 3,92 6,20 Akar kebasau Hodgsonia macrocarpa 1,27 3,92 5,19 Keladi Caladium sp 0,51 3,92 4,43 Puar ? 1,27 1,96 3,23 Akar kait ? 0,51 1,96 2,47 Gambir Styrax paralleloneurum 0,51 1,96 2,47 Akar siman Merremia umbellate 0,51 1,96 2,47 Rumbe Metreoxylon rumphii 0,25 1,96 2,21 Gadung Dioscorea composite 0,25 1,96 2,21 Rumbai kayu Aporosa sp 0,25 1,96 2,21 Aggrek hutan Dendrobium salaccensis 0,25 1,96 2,21 Rotan Calamus sp 0,25 1,96 2,21 Total 100,00 100,00 200,00
Lampiran 6.
Kerapatan Setiap Jenis pohon (ind/ha) berdasarkan kelas diameter di Hutan Gambut Merang Bekas Terbakar, Sumatera Selatan.
No
Nama Lokal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Angat-angat Balam seminai Bebangun Beringin Cemetik rawa Darakra Garu buaya Jelutung talang Kayu gula Kayu kapas Kayu kulus Kayu labu Kayu pahit-pahit Kayu putih Kayu tai-tai Kelapa tupai Kelat lapis Ketiau Mahang Mariawah Medang putih Medang sulung Medang telor Meranti payau Meranti telungkum Pecah pinggan Petai belalang Punak Rinang lalat Siarang Tukulan Uyah-uyah
Nama Ilmiah Gymnacranthera murtoni Palaquium ridleyi Ficus benyamina Antidesma montanum Horsfieldia crassifolia Cantleya corrniculata Dyera costulata Cinnamomum Burma Alseodaphne umbelliflora Parartocarpus venenosus Endospermum malaccensis Meliae excels Eucalyptus spp. Celtis wightii Pithecellobium lobatum Eugenia sp. Palaquium burkii Macaranga maingayi Parastemon urophyllus Crytocarya crassinervia Teysmanniodendron pteropodus Litsea noronhae Shorea dasyphylla Shorea uliginosa Beilschmiedia endiandra Syzigium bankense Tetramerista glabra Elaeocarpus palembanicus Palaquium ridleyi Blumeodendron tokbrai Dacryodes rostrata Total
2.0 - 10
23
Kelas Diameter 10 - 20 20 - 30 1 1 1 1 1
>30
1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 11 1 4
2
1
1 1 1 1
1 1
1
2 1 1 1 1 2 58
1 10
10
1
Lampiran 7. Kandungan rata-rata K.Air, K.zat terbang, K.abu dan Kadar Karbon Terikat untuk tiap kelas Diameter pada setiap Bagian Pohon.
Pengukuran K.Air rata-rata (%)
KZT rata-rata (%)
K.Abu rata-rata (%)
K.Karbon terikat rata rata (%)
Bagian Pohon Batang Cabang Ranting Daun Batang Cabang Ranting Daun Batang Cabang Ranting Daun Batang Cabang Ranting
2 - 10 5,29 34,34 39,69 61,19 82,90 63,33 76,51 70,96 0,75 1,57 2,57 5,65 16,35 15,10 20,92
Daun
23,38
Kelas Diameter (cm) 10,01 - 20 20,01 - 30 9,2 13,34 45,74 50,88 63,18 51,34 63,04 59,65 85,85 83,19 80,84 77,86 74,1 67,27 75,37 70,06 0,31 0,53 1,50 2,50 3,52 3,97 4,60 6,69 13,84 16,27 17,66 19,65 22,385 28,77 20,04
23,26
>30 5,36 35,89 45,16 68,66 83,03 82,39 69,83 65,07 0,34 0,98 9,01 5,55 16,63 16,63 21,16 29,38