POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT BEKAS TEBANGAN DI MERANG SUMATERA SELATAN
NISA NOVITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Nisa Novita P052080131
ABSTRACT NISA NOVITA. Above Ground Fixed Carbon Content in Logged-Over Peatswamp Forest in Merang South Sumatra. Under direction of BAMBANG HERO SAHARJO and CECEP KUSMANA.
Forest ecosystem plays very important role in the global carbon cycle. Forest is an emitter and sinker carbondioxide (CO2) from and to atmosphere. Fixed carbon study was conducted in the peatswamp forest of Merang, Musi Banyuasin district, South Sumatera. This study was aimed to observe the above ground biomass and fixed carbon content in the logged over peatswamp forest. The components of above ground biomass considered in this study were under storeys, litters, necromass and living trees with diameter at breast height (dbh) greater than 5 cm. The number of trees sampled in this research was 30 trees, with diameters ranging from 5,3 to 64 cm. Destructive sampling was used to collect the samples where diameter at breast height (DBH), height (H), and wood density were used as predictors for dry weight of total above-ground biomass. Allometric equations can be used to estimate the biomass and carbon stock of forests. The result showed that the assessment model could be built following the formula W = aDb for biomass and C = aDb for fixed carbon content. The peatswamp forest of Merang contained 287,13 ton/ha biomass (were 96,45% from living trees) and 44,08 ton/ha fixed carbon content. The other side, tree fixed carbon content can be also predicted from biomass that 15,78% of tree biomass is fixed carbon content. Keywords : fixed carbon content, logged-over forest, peatswamp.
RINGKASAN Peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir merupakan salah satu pemicu terjadinya pemanasan global yang berpengaruh terhadap kelangsungan semua makhluk hidup di muka bumi. Siklus karbon global berkaitan erat dengan ekosistem hutan yang berfungsi ganda yakni sebagai sinker dan emitter karbon dari dan ke atmosfir. Melalui proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi yang terjadi secara alami menyebabkan terjadinya transfer karbon antara hutan dan atmosfir. Akan tetapi akibat pengeksploitasian hutan di tangan manusia telah menjadikan siklus karbon global daratan menjadi terganggu. Penggerusan hutan gambut baik dari segi luas dan komposisinya akibat penebangan merupakan salah satu faktor penyebab utama yang membuat kondisi hutan semakin mengkhawatirkan , dimana hal ini berbanding lurus dengan pertambahan waktu. Penebangan yang telah memiliki izin maupun illegal telah menyulap hutan gambut di kawasan Merang menjadi lahan kritis yang berdampak pada penurunan luasan dan kemampuan dalam penyerapan karbon. Berpijak dari alasan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah melakukan observasi dan estimasi terhadap kandungan biomassa yang berkaitan erat dengan potensi karbon terikat melalui pembuatan model allometrik yang dihasilkan dari metode destruktif di lapangan. Penelitian ini dilakukan pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan. Analisis data lapangan dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Metode yang digunakan adalah secara destruktif pada 4 plot yang masing-masing berukuran 35 x 35 m. Setelah dilakukan analisis vegetasi, pohon sampel yang ditebang sebanyak 30 buah, dimana kelas diameter digunakan sebagai dasar dalam penentuan sampel. Sedangkan untuk estimasi biomassa dan karbon terikat tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa dibangun subplot dengan ukuran 2 x 2 m yang diletakkan secara nested sampling pada plot 35 x 35 m. Masing-masing bagian pohon (batang, cabang, ranting, daun), tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa diukur berat basahnya dan kemudian diambil sampel untuk dianalisis di laboratorium. Berdasarkan analisis vegetasi, dapat diketahui potensi hutan gambut bekas tebangan di Merang, dimana 40 jenis pohon menyusun hutan pada petak ukur 0,49 Ha dan didominasi Lauraceae Myrtaceae, Annonaceae dan Euphorbiaceae . Total luas bidang dasar untuk semua jenis pohon adalah 28,36 m2/ha, dimana sebagian besar terdapat pada tingkat tiang (50,87% atau 14,43 m2/ ha), kemudian diikuti tingkat pohon 33,27% (9,44 m2/ha) dan tingkat pancang 15,86% (15,86 m2/ha). Untuk kerapatan pohon tertinggi terdapat pada tiang (48,8% atau 918 individu/ha). Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kerapatan yang ditunjukkan pada pancang sebesar 46,09% (867 individu/ha). Kerapatan terendah terdapat pada tingkat pohon (96 individu/ha atau 5,11%). INP tertinggi pada tingkat pohon adalah Polyalthia sumatrana (makai) sebesar 49,98%, yang diikuti oleh jenis Prunus arborea (25.73%) dan Dacryodes rostrata (24.55%). Sedangkan untuk tingkat tiang dan pancang jenis dengan INP tertinggi adalah Dacryodes rostrata (uyah-uyah) dengan masing-masing nilai INP 52,25% dan 35,36%. Hasil analsis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air baik berdasarkan kelas diameter maupun berdasarkan bagian anatomi pohon. Bagian anatomi pohon yang paling tinggi kadar airnya untuk setiap kelas diameter adalah ranting yang berkisar antara 37,10 % - 63,58%. Kadar air untuk
daun dan cabang berturut-turut adalah 23,30% - 49,55% dan 29,12% - 42,30%. Kadar air terendah terdapat di bagian batang dengan kisaran 6,65% - 8,35%. Untuk analisis berat jenis diketahui terdapat variasi untuk 30 pohon yang ditebang. Jenis pohon yang memiliki berat jenis terbesar adalah Syzygium bankense, Palaquium ridleyi dan Tetramerista glabra. Dyera lowii dan Shorea uliginosa adalah jenis pohon yang memiliki berat jenis paling kecil. Berat jenis pohon contoh berkisar dari 0,30 - 0,94 gcc-1. Untuk hasil analisis kadar zat terbang memiliki kisaran rata-rata 72,23% - 85,37% yang diikuti oleh kadar karbon terikat rata-rata antara 14,12% - 23,22%. Hasil analisis kadar abu menunjukkan persentase paling kecil untuk setiap anatomi pohon yakni berkisar 0,51% - 4,55%. Persen kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada daun (23,22%) dan terendah terdapat pada batang (14,12%). Untuk analisis data, model pendugaan biomassa dan karbon terikat dibangun melalui analisis regresi dengan menggunakan 6 persamaan dasar. W = aDb untuk biomassa dan C = aDb menjadi model terpilih untuk estimasi biomassa/ha dan karbon/ha (dimana W = biomassa, C = karbon terikat, D = diameter setinggi dada dan a, b = konstanta). Biomassa terbesar terdapat pada batang yakni 79,47% (210,10 ton/ha), kemudian cabang, ranting dan daun mengandung biomassa ± 20% dari total biomassa pohon. Biomassa terendah terdapat pada daun yaitu 12,05 ton/ha atau 4,35%. Total biomassa pohon pada hutan bekas tebangan daerah Merang adalah 276,95 ton/ha. Sedangkan, total biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 10,19 ton/ha. Nilai yang ditunjukkan karbon terikat linear positif dengan nilai kandungan biomassa. Total karbon terikat pohon adalah 41,82 ton/ha, dimana batang memiliki kandungan biomassa sebesar 30,16 ton/ha atau 72,11% dari karbon terikat pohon total. Kandungan karbon terendah terdapat pada bagian daun yakni 6,62% atau 2,77 ton/ha. Total potensi kandungan karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa adalah 2,28 ton/ha. Dacryodes rostrata, Polyalthia sumatrana, Crytocarya crassinervia merupakan jenis yang memiliki kontribusi karbon terikat tertinggi diantara jenis lainnya pada lokasi studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biomassa di tegakan hutan bekas tebangan adalah 287,13 ton/ha dengan kandungan karbon 44,09 ton/ha atau setara dengan 161,81 ton CO2. Secara keseluruhan pada penelitian ini biomassa mengandung 15,78% karbon terikat dari total tegakan. Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Brown (1997) yang menyatakan bahwa setengah dari biomassa adalah karbon. Begitu juga dengan teori yang dikemukan oleh Mudiyarso et al. (2004) dimana 45% biomassa adalah karbon. Kandungan karbon rata-rata pada hutan bekas tebangan Merang Musi Banyuasin berkisar dari 14,03% – 23,60%. Kata kunci : karbon terikat, hutan bekas tebangan, rawa gambut dan persamaan alometrik
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmia, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
POTENSI KARBON TERIKAT DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA HUTAN GAMBUT BEKAS TEBANGAN DI MERANG SUMATERA SELATAN
NISA NOVITA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
: Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan di Merang Sumatera Selatan
Nama
: Nisa Novita
NRP
: P052080131
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program
: Magister (S2)
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Ketua
Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Pengelolaan
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 18 Februari 2010
Tanggal Lulus :
Sebuah Tulisan Akhir Mahasiswa Atas Beasiswa Ayah Bunda Untuk kedua orang tua tercinta atas pengorbanan yang tak pernah tergantikan
Dan untuk seorang Profesor* , atas kemuliaan hati dan segala kebaikannya ....
* Prof. BHS
PRAKATA Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr yang memberikan pelajaran hidup dan dukungan yang sangat berarti. 2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana selaku anggota komisi pembimbing. 3. Dr. Ir. Lailan Syaufina, MSc sebagai penguji luar komisi. 4. Bapak Solichin, S. Hut, MSc dan segenap staff Merang REDD Pilot Project GTZ di Palembang yang banyak membantu penulis selama penelitian. 5. GTZ Palembang atas dana penelitian yang telah diberikan. 6. Sebelas orang masyarakat Bina Desa dan Kepahyang yang telah membantu penelitian di lapangan. 7. Dosen statistika Laode Rahman, MS dan 8. Teman-teman mahasiswa PSL 2008 dan N. A. Eka Widyasari. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada orang tua (Enimar dan Syaiful) tercinta atas doa, dukungan dan pengorbanan yang tak pernah berhenti. Kepada Albert Syaiful dan Deasy Fitria yang telah memberikan semangat dan dukungan selama ini. Dan untuk yang setia menemani dan menyayangi, Dede Hendry. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk
perkembangan ilmu
pengetahuan.
Bogor, Februari 2010
Nisa Novita
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 23 November 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syaiful dan Ibu Enimar. Jenjang pendidikan formal pertama yang ditempuh di SDN 37 PGRM Bukittinggi (1992 – 1998), SLTPN 3 Tilatang Kamang (1998 – 2001), SMU I Tilatang Kamang Bukittinggi (2001 – 2004), kemudian melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Jurusan Budidaya Hutan (2004 – 2008). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains (M.Si) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis
menyusun
tesis
sebagai
salah
satu
syarat
untuk
memperoleh Gelar Magister Sains dengan judul ” Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah pada Hutan Gambut Bekas Tebangan Di Merang Sumatera Selatan” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero Saharjo, M.Agr sebagai ketua dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai anggota komisi pembimbing.
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI .............................................................................................. i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang................................................................................ 1 1.2 Kerangka Pemikiran........................................................................ 4 1.3 Perumusan Masalah ....................................................................... 5 1.4 Tujuan ............................................................................................ 6 1.5 Manfaat .......................................................................................... 6 1.6 Hipotesis ......................................................................................... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1 Tanah Gambut ................................................................................ 2.2 Siklus Karbon.................................................................................. 2.3 Fotosintesis dan Respirasi .............................................................. 2.4 Biomassa dan Karbon..................................................................... 2.5 Pemodelan Biomassa dan Karbon ..................................................
7 7 10 12 14 15
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................. 3.1 Luas dan Lokasi.............................................................................. 3.2 Aksesibilitas .................................................................................... 3.3 Iklim dan Hidrologi .......................................................................... 3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon .................................. 3.5 Kondisi Sosial Ekonomi .................................................................. 3.6 Sejarah Areal ..................................................................................
19 19 21 21 23 24 25
IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 27 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 27 4.2 Peubah yang Diamati....................................................................... 28 4.4.1 Peubah Vegetasi....................................................................... 28 4.4.2 Peubah Serasah dan Nekromassa............................................ 28 4.3 Alat dan Bahan ............................................................................... 29 4.4 Prosedur Penelitian di Lapangan .................................................... 29 4.4.1 Analisis vegetasi ....................................................................... 29 4.4.2 Pengambilan dan Penebangan Pohon Terpilih ........................... 31 4.4.3 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa ....................................................................... 35 4.5 Prosedur di Laboratorium ............................................................... 35 4.5.1 Pengukuran Kadar Air ............................................................... 35 4.5.2 Pengukuran Biomassa .............................................................. 36 4.5.3 Pengukuran Berat jenis ............................................................. 36 4.5.3 Pengukuran Kadar Karbon Terikat ............................................ 37 4.6 Analisis Data ................................................................................... 38 4.6.1 Komposisi Jenis ........................................................................ 38 4.6.2 Model Penduga Biomassa ........................................................ 38 4.6.3 Model Penduga Karbon Terikat................................................. 39 4.6.4 Model Hubungan Biomassa dan Karbon Terikat ....................... 40
4.6.5 Pemilihan model ....................................................................... 41 4.6.6 Penentuan total Biomassa dan Karbon ..................................... 42 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 5.1 Hasil ............................................................................................... 5.1.1 Komposisi Jenis dan Struktur Hutan ......................................... 5.1.2 Sifat Fisik .................................................................................. 5.1.2.1 Kadar Air .......................................................................... 5.1.2.2 Berat Jenis ....................................................................... 5.1.2.3 Kadar Zat Terbang, Kadar Abu dan Kadar Karbon Terikat .............................................................................. 5.1.3 Biomassa di Atas Tanah ........................................................... 5.1.3.1 Biomassa Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa . 5.1.3.2 Biomassa Pohon .............................................................. 5.1.4 Karbon Terikat di Atas Tanah.................................................... 5.1.4.1 Karbon Terikat Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa..................................................................... 5.1.4.2 Karbon Terikat Pohon ...................................................... 5.1.5 Model Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa ................. 5.2 Pembahasan................................................................................... 5.2.1 Komposisi dan Struktur Hutan................................................... 5.2.2 Sifat Fisik .................................................................................. 5.2.3 Kandungan Biomassa ............................................................... 5.2.4 Karbon Terikat .......................................................................... 5.2.5 Model Penduga Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa ..
43 43 43 46 46 46 49 49 49 50 56 56 56 59 63 63 64 66 68 70
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 71 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 71 6.2 Saran .............................................................................................. 71 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 72 LAMPIRAN ............................................................................................... 78
DAFTAR TABEL Halaman 1. Luas lahan gambut di Indonesia .......................................................... 8 2. Jumlah C tersimpan di vegetasi dan tanah kedalaman 1 m ................. 11 3. Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dalam berbagai periode waktu........................................................................ 12 4. Persamaan alometrik pada berbagai tipe hutan ................................... 17 5. Curah hujan bulanan tahun 1999 - 2008 di Merang ............................. 21 6. Titik koordinat dan kedalaman gambut lokasi penelitian ...................... 27 7. Pembagian subplot penelitian .............................................................. 30 8. Pohon terpilih untuk ditebang berdasarkan kelas diameter .................. 32 9. Dominansi pohon pada setiap tingkat pertumbuhan .......................….. 43 10. Kerapatan pohon pada setiap tingkat pertumbuhan ............................. 44 11. Kerapatan pohon pada setiap kelas diameter ...................................... 44 12. Indeks Nilai Penting pohon pada setiap tingkat pertumbuhan .............. 46 13. Variasi kadar air pohon contoh pada setiap kelas diameter ................. 46 14. Hasil pengujian berat jenis pohon yang ditebang ................................. 47 15. Variasi kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat pohon contoh pada setiap anatomi pohon ................................. 49
16. Biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa ....................... 50 17. Rekapitulasi biomassa pada tiap bagian pohon terpilih ........................ 50 18. Rekapitulasi model pendugaan biomassa ............................................ 53 19. Kandungan biomassa pohon di atas tanah .......................................... 55 20. Biomassa pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan ............................ 55 21. Potensi karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa ............... 56 22. Rekapitulasi model pendugaan karbon terikat ..................................... 57 23. Potensi karbon terikat pohon di atas tanah .......................................... 58 24. Potensi karbon terikat pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan......... 59 25. Koefisien korelasi antara variabel potensi karbon pada tiap anatomi ................................................................................ 59 26. Hubungan karbon terikat dengan biomassa ......................................... 60 27. Kontribusi tiap jenis terhadap biomassa dan karbon terikat total ............................................................................... 61 28. Persentase potensi karbon terikat pada setiap bagian pohon per kelas diameter ......................................................... 62
29. Nilai hasil dugaan biomassa total dan potensi karbon terikat total ............................................................................. 63 30. Hasil penelitian karbon terikat terdahulu di berbagai tipe hutan .............................................................................. 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Bagan alir kerangka pemikiran............................................................. 4 2. Penyebaran gambut di Sumatera Selatan ........................................... 9 3. Siklus karbon global............................................................................. 10 4. Deskripsi hutan bekas tebangan di Merang ......................................... 19 5. Peta lokasi hutan gambut Merang ....................................................... 20 6. Sungai sebagai akses utama masyarakat desa dengan menggunakan perahu motor ................................................... 21 7. Deskripsi hidrologi daerah Merang ...................................................... 22 8. Kayu hasil penebangan liar yang dilewatkan melalui sungai Buring ....................................................................................... 24 9. Peta ex HPH KPHP Lalan .................................................................... 25 10. Peta lokasi penelitian ........................................................................... 27 11. a Timbangan dengan berbagai kapasitas ............................................ 29 11. b alat dalam kegiatan analisis vegetasi ................................................ 29 11. c katrol membantu dalam penimbangan kayu ...................................... 29 11. d chainsaw dan beberapa alat untuk penebangan dan pembagian anatomi pohon......................................................... 29 12. Desain plot penelitian untuk analisis vegetasi ...................................... 30
13. a Pengeboran tanah gambut ............................................................... 31 13. b pembuatan subplot 2 x 2 m ............................................................... 31 13. c pengukuran diameter setinggi dada .................................................. 31 14. Penebangan pohon ............................................................................. 33 15. Pembagian segmen batang yang akan ditimbang................................ 33 16. Penimbangan batang ........................................................................... 34 17. Pengumpulan dan penimbangan daun ................................................ 34 18. Penimbangan ranting ........................................................................... 34 19. Pemisahan dan penimbangan serasah ................................................ 35 20. Diagram alir pembuatan model penduga biomassa ............................. 39 21. Diagram alir pembuatan model penduga karbon terikat ....................... 40 22. Sebaran data berat jenis pohon yang ditebang .................................... 47 23. Hubungan antara berat jenis dan Dbh ................................................. 48
24. Bentuk hubungan antara biomassa tiap bagian pohon dengan Dbh .............................................................................. 52 25. Karakteristik masing-masing penduga biomassa ................................. 52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daftar jenis yang dijumpai dalam plot 0,49 Ha ..................................... 79 2. Hasil analisis vegetasi pada hutan bekas tebangan
di Merang ..................................................................................... 80 3. Analisis vegetasi tumbuhan bawah berkayu ................................ 82 4. Analisis vegetasi untuk tumbuhan bawah tidak berkayu .............. 83 5. Kerapatan setiap jenis pohon (ind/ha) berdasarkan
kelas diameter ............................................................................. 84 6. Hasil analisis kadar zat terbang (KZT),
kadar abu (K. Abu), kadar karbon terikat (KKT) setiap anatomi pohon.................................................................... 85 7. Rekapitulasi hasil analisis tiap fraksi batang pada
hutan bekas tebangan di Merang ................................................. 86 8. Contoh pengolahan data untuk model pendugaan
kandungan biomassa ................................................................... 91 9. Contoh pengolahan data untuk model pendugaan
potensi karbon terikat pohon ........................................................ 93
I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan untuk memberikan servis kepada bumi demi pemenuhan kebutuhan yang tak berbatas. Fenomena pemanasan global yang diduga oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca terutama CO2, CH4 dan N2O telah membuat suhu permukaan bumi diperkirakan naik sebesar 1,4 - 5,8°C selama periode 1990 sampai 2100 (NASA 1998; IPCC 2007). BMG melaporkan bahwa di Indonesia telah terjadi kenaikan suhu rata-rata tahunan antara 0,2 1,0°C, yang terjadi antara tahun 1970 hingga 2000 s ehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan rata-rata curah hujan bulanan sekitar
12 - 18% dari
jumlah hujan sebelumnya (Santoso dan Forner 2007). Tak hanya berdampak terhadap curah hujan, berbagai kejadian ekstrim seperti banjir atau longsor yang frekuensinya makin tak teratur telah menyisakan bencana-bencana yang tak terduga dan memakan korban jiwa. Pemanasan global memiliki dampak besar pada hutan-hutan di dunia. Ekosistem hutan bisa menjadi sumber dan penyerap karbon (IPCC 2000). Sektor kehutanan telah menyumbangkan emisi CO2 sebesar 17,3% dari total emisi gas rumah kaca lainnya ke atmosfer (IPCC 2007). Akan tetapi, ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi C di atmosfir melalui proses fotosintesis. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disekuestrasi dalam organ tumbuhan seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah. Sehingga dengan mengukur jumlah C yang disimpan dalam biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang mampu diserap tumbuhan. Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam nekromasa secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara. Menurut Kyrklund (1990), secara umum hutan dengan net growth (terutama dari pohonpohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra. Selanjutnya Hairiah (2007) menjelaskan bahwa hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2 karena
telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang. Ironisnya, hutan yang semestinya diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalah global ini, semakin lama semakin berkurang keberadaannya. Fakta kerusakan hutan sebagai sumber tanaman kayu dan keanekaragaman hayati telah berada dalam fase yang sangat mengkhawatirkan. Peace (2007) menyatakan sekitar 8 juta sampai 16 juta hektar hutan tropis dirusak setiap tahunnya antara tahun 1980an dan 1990an. Perusakan ini melepaskan 0,8 milyar sampai 2,4 milyar ton karbon ke atmosfer. Deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah mengantarkan Indonesia ke posisi ke-3 negara penghasil gas rumah kaca di dunia. Hutan gambut merupakan produk dari hutan masa lalu yang tersusun dari bahan organik hasil dekomposisi vegetasi secara anaerobik dan termasuk kedalam ekosistem lahan basah. Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno 1986). Merujuk dari proses pembentukannya yang didominasi oleh bahan organik, hutan gambut memiliki keistimewaan dibandingkan tipe hutan lainnya karena menyimpan lebih banyak bahan organik yang dinyatakan dalam karbon 12 - 18% atau lebih (SSFFMP 2005). Di wilayah Asia Tenggara, luas areal gambut mencapai lebih dari 25 juta ha atau 69 % dari lahan gambut tropis di dunia. Luas penyebaran lahan gambut di Indonesia seluruhnya diperkirakan 7% dari luas dataran Indonesia (Puslitbangtanak 2001). Sumatera Selatan merupakan salah satu kawasan cadangan gambut terluas di pantai timur Sumatera. Secara keseluruhan luas hutan gambut di Sumsel mencapai 271 ribu hektar namun yang masih berfungsi dengan baik tinggal 210 ribu hektar yang terdapat di kawasan Merang dan Kepahyang Kabupaten Musi Banyuasin (Walhi 2009). Hutan gambut di Merang Kepahyang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter
yang harus dilindungi
menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Perusakan hutan gambut yang disebabkan oleh penebangan liar akan mempengaruhi unit hidrologi karena pada saat penebangan pohon, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air. Keadaan subsidensi merangsang pertumbuhan bakteri pembusuk di tanah gambut. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi tanah gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon yang tersisa, CO2 yang terkandung didalam bagian pohon tersebut akan teremisi ke udara dan menutupi lapisan ozon. Akibat penebangan hutan menyebabkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon menurun dimana biomassa dan senyawa organik yang tersimpan di dalam hutan akan terlepas ke udara menjadi gas rumah kaca. Selain itu, penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap
radiasi
dan
cahaya
matahari.
Dampak
langsungnya
adalah
meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan. Dengan kata lain, penebangan hutan tak terkendali merupakan faktor yang menyebabkan penurunan luasan areal penyerap dan penyimpan karbon yang mempengaruhi perubahan iklim akibat peningkatan suhu bumi. Estimasi biomassa yang tepat sangat dibutuhkan dalam berbagai aplikasi kehutanan dan hubungannya dengan siklus global karbon. Basuki et al. (2009) menyatakan stok karbon dapat diperoleh dari biomassa atas permukaan dengan mengasumsikan 50% dari biomassa tersusun dari karbon. Penelitian ini sekaligus akan menelaah kandungan karbon dalam biomassa hutan bekas tebangan Merang. IPCC (2000) menyatakan bahwa terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur biomassa di atas permukaan tanah yaitu pendekatan langsung dengan menggunakan persamaan allometrik dan tidak langsung menggunakan biomass expansion forest. Persamaan alometrik berupa fungsi matematika yang didasarkan pada hubungan berat kering biomassa per pohon contoh dengan satu atau lebih kombinasi dari dimensi pohon contoh (diameter, tinggi dan berat jenis) yang dapat dikembangkan/dihasilkan dari metode destructive sampling. Pada penelitian ini persamaan alometrik dibangun hubungan antara biomassa atas permukaan dengan tiga parameter pohon yakni Dbh (diameter at breast height), tinggi dan berat jenis. Berbagai persamaan alometrik telah dibangun untuk menduga biomassa di hutan hujan tropis dengan
berbagai tipe hutan (Hiratsuka 2003; Brown 1997; Chambers et al. 2001; Chave et al. 2001, Kiyono et al. 2007; Komiyama 2008; Ketterings et al. 2001; Samalca 2007; Ismail 2005; Limbong 2009; Onrizal 2004; Salim 2005; Basuki et al. 2009; Hilmi 2003). Untuk mengetahui besarnya simpanan karbon dari hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan maka diperlukan suatu kajian tentang pendugaan potensi biomassa sebagai sumber estimasi karbon pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin. 1. 2 Kerangka Pemikiran Berikut bagan alir kerangka pemikiran penelitian ini : Hutan gambut
Penebangan
Fungsi gambut terganggu Peningkatan CO2 di atmosfer Perubahan iklim global
Penyerapan karbon hutan bekas tebangan
Biomassa tegakan hutan bekas tebangan
Potensi karbon terikat atas permukaan tanah
Fungsi hutan sebagai sinker karbon
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Aktivitas manusia
Konsesi HPH
Ilegal logging
1. 3 Perumusan Masalah Emisi karbondioksida terbesar dari Indonesia disumbangkan oleh sektor kehutanan. Peace (2007) menjelaskan deforestasi yang diperkirakan mencapai 2 juta hektar telah menyebabkan pelepasan simpanan karbon Indonesia dalam jumlah besar dan menyumbang sekitar 83% dari emisi tahunan gas rumah kaca Indonesia dan 34% terhadap emisi sektor kehutanan. Dalam hal ini hutan telah menjadi sumber bagi karbon atmosferik akibat ulah manusia. Selain fungsi hutan sebagai sumber karbon, hutan mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat di komponen vegetasi/ekosistem hutan. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun (Parish et al. 2007) atau setara dengan penambatan 0 - 5,4 ton CO2 ha-1 tahun-1 (Agus 2009). Lahan gambut menyimpan karbon (C) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Agus (2009) menyatakan di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral. Apabila hutan gambut ditebang, maka karbon yang tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden) apabila hutan gambut dibuka. Karena pentingnya peran lahan gambut sebagai penyimpan karbon dan sumber emisi CO2, maka pengukuran karbon tersimpan pada lahan gambut menjadi sangat penting. Data hasil pengukuran dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui keberlanjutan hutan rawa gambut. Selain itu perhitungan neraca karbon penting dalam menghadapi sistem baru perdagangan karbon pasca Kyoto Protocol (tahun 2012) yang dikenal dengan mekanisme REDD (Reducing Emissions from Degradation and Deforestation). Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran biomasa untuk estimasi penyerapan karbon dapat menggunakan persamaan alometrik yang dibangun berdasarkan dimensi pohon. Persamaan alometrik untuk estimasi biomasa pohon di hutan tropika alam dengan berbagai kondisi iklim dan berbagai jenis hutan telah lama dikembangkan (Brown 1997). Namun masih ada ketidakpastian bahwa persamaan alometrik untuk pohon hutan yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) tidak dapat dipergunakan di lokasi baru,
karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya (Ketterings et al. 2001). Berdasarkan hal tersebut diperlukan pengukuran biomassa yang akurat untuk membangun model persamaan alometrik di hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Adapun pertanyaan dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana model penduga biomassa dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan ? b. Bagaimana profil serapan karbon dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon pada setiap kelas diameter ? 1. 4 Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: a. Memformulasikan model penduga biomassa dan mengetahui kandungan karbon terikat di hutan bekas tebangan Merang di Kabupaten Musi Banyuasin propinsi Sumatera Selatan. b. Menganalisis profil serapan karbon terikat dengan penyebarannya pada setiap bagian pohon (batang, cabang, ranting dan daun) pada setiap kelas diameter. 1. 5 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi secara kuantitatif mengenai pendugaan potensi biomassa tegakan dan potensi karbon terikat pada hutan bekas tebangan Merang di Musi Banyuasin yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan hutan dengan memperhatikan fungsi hutan sebagai solusi pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. 1. 6 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan karbon terikat pada pohon di areal bekas tebangan berdasarkan bagian-bagiannya akan berkorelasi positif dan signifikan dengan diameter dan tinggi pohon pada setiap kelas diameter.
II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Tanah gambut Istilah tanah gambut berasal dari salah satu kecamatan (Kecamatan Gambut) di Kalimantan Selatan, karena pada awalnya tanah-tanah organik banyak diusahakan dan dikembangkan oleh suku Banjar di daerah ini. Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus dan Subiksa 2008). Tanah gambut di Indonesia terbentuk sejak periode Holosen (4200 - 6800 tahun yang lalu) di saat terjadinya transgresi air laut akibat mencairnya es di kutub (Agus dan Subiksa 2008).
Karena naiknya permukaan air laut, maka
daerah-daerah dataran di sekitar pantai Sumatera, Kalimantan, Papua dan lainlain tergenang menjadi rawa-rawa atau naik permukaan air tanahnya (Hardjowigeno
1996).
Dari
gambaran
tersebut
dapat
dipahami
bahwa
pembentukan gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Agus dan Subiksa (2008) menyatakan bahwa gambut tumbuh dengan kecepatan antara 0 - 3 mm tahun. Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff 2003). Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi: 1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya < 15%. 2. Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 - 75%.
3. Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas > 75% seratnya masih tersisa. Berdasarkan kondisi pembentukannya Polak (1975) membedakan gambut menjadi (1) gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan, bersifat oligotropik dengan kemasaman yang tinggi dan kandungan hara yang rendah. (2) gambut topogen yang terbentuk karena adanya depresi lokal, dipengaruhi air bawah tanah yang dangkal, bersifat eutropik dengan kemasaman sedang hingga netral dan mengandung unsur hara sedang sampai tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa bahan asal dari tanah gambut yang ditemukan di kawasan Malaysian Tropics termasuk yang ada di Sumatera banyak didominasi oleh kayu-kayuan. Oleh sebab itu komposisi bahan organiknya lebih banyak lignin yang mencapai lebih dari 60% bahan kering, sedangkan yang lainnya terdiri dari selulosa, hemiselulosa serta protein masing-masing tidak lebih dari 11%. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang disajikan pada Tabel 1 (BB Litbang SDLP 2008). Sumatera Selatan merupakan propinsi kedua di pulau Sumatera yang memiliki luasan areal gambut setelah Riau yang penyebarannya disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka dan mampu menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar.
Tabel 1 Luas lahan gambut di Indonesia Pulau/Propinsi Sumatera Riau Jambi Sumatera Selatan Kalimantan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Papua dan Papua Barat Total
Luas total (ha) 6 224 101 4 043 600 716 839 1 483 662 5 072 249 3 010 640 1 729 980 331 629 7 001 239 18 317 589
Catatan: Apabila lahan gambut di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha. Sumber: BB Litbang SDLP 2008
Gambar 2 Penyebaran gambut di Sumatera Selatan (Sumber: SSFFMP 2006)
2. 2 Siklus Karbon Adanya kehidupan di dunia menyebabkan perubahan CO2 di atmosfer dan CO2 di lautan kedalam bentuk organik maupun inorganik di daratan dan lautan. Perkembangan berbagai ekosistem selama jutaan tahun menghasilkan pola aliran C tertentu dalam ekosistem tingkat global. Namun, dengan adanya aktivitas manusia (penggunaan bahan bakar fosil, alih guna lahan hutan) menyebabkan perubahan pertukaran antara C di atmosfer, daratan dan ekosistem lautan. Akibat kegiatan tersebut, terjadi peningkatan konsentrasi CO2 ke atmosfer sebanyak 28% dari konsentrasi CO2 yang terjadi 150 tahun yang lalu (IPCC 2000).
Gambar 3 Siklus karbon global (Sumber: Hairiah 2007) Dalam siklus karbon global sumber/stok terbesar karbon berasal dari lautan yang mengandung 39 Tt (1 tera ton = 1012t = 1018g). Sumber terbesar lainnya tedapat di dalam fosil sebesar 6 Tt. Lahan hutan yang terdiri dari biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa (bahan organik) dan tanah hanya sekitar 2,5 Tt atau sekitar 5 % dari jumlah total C di alam. Jumlah C yang tersimpan dalam tanah secara global 4x lebih banyak dari pada yang disimpan dalam biomasa vegetasi. Pertukaran C di daratan dikendalikan oleh fotosintesis dan respirasi tanaman dengan serapan CO2 rata-rata per tahun 0,7 Gt. Atmosfer
menampung C terendah hanya sekitar 0,8 Tt atau 2% dari total C di alam, serapan CO2 per tahun 3,3 Gt (ICRAF 2001). Kinderman et al. (1993) menyatakan bahwa tempat penyimpanan dan fluks karbon yang terpenting dalam ekosistem hutan tropik tergantung pada perubahan dinamik stok karbon di vegetasi dan tanah, ketersediaan kandungan hara, dan kondisi iklim setempat. Tempat penyimpanan utama karbon adalah biomassa, nekromassa, tanah dan yang tersimpan dalam kayu. Sedangkan atmosfer bertindak sebagai media perantara di dalam siklus karbon. Aliran karbon biotik antara atmosfer dan hutan/lahan adalah fiksasi netto karbon melalui proses fotosintesis (net primary productivity) dan respirasi heterotropik (dekomposisi pada serasah halus dan kasar, akar yang mati dan karbon tanah). Jumlah C yang disimpan di hutan sangat bervariasi antar sistem penggunaan lahan, antar tempat dan antar pengelolaan lahan (Tabel 2). Jumlah C yang tersimpan di daratan khususnya dalam vegetasi dan tanah sekitar 3,5 kali lebih besar dari jumlah C yang ada di atmosfer dan pertukaran C di daratan dikontrol oleh proses fotosintesis dan respirasi. Pada skala global C tersimpan dalam tanah jauh lebih besar dari pada yang tersimpan di vegetasi. Tanah merupakan penyimpan C terbesar pada semua regional ekosistem (biome), sedang vegetasi penyimpan C terbesar adalah pada biome hutan.
Tabel 2 Jumlah C tersimpan di vegetasi dan tanah kedalaman 1 m Ekosistem Hutan tropis Hutan subtropis Hutan daerah dingin Savana tropis Padang rumput subtropis Padang pasir Tundra Rawa Lahan pertanian Total
6
Luas 10 km 17,6 10,4 13,7 22,5 12,5 45,5 9,5 3,5 16,0 151,2
2
Cadangan C , Gt C Vegetasi Tanah 212 216 59 100 88 471 66 264 9 295 8 191 6 121 15 225 3 128 466 2011
Total 428 159 559 330 304 199 127 240 131 2477
Sumber : IPCC 2000
ICRAF (2001) menyatakan bahwa aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfir dari 285 ppmv (parts per million on a volume basis) sebelum revolusi industri pada abad ke-19 hingga 336 ppmv di tahun 1998. Penyebab utama naiknya gas rumah kaca salah satunya adalah deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, terutama di negara-negara tropis.
Tabel 3 Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dalam berbagai periode waktu GRK
CO2
CH4
N2O
Konsentrasi sebelum revolusi industri
280 ppm
700 ppb
270 ppb
Konsentrasi pada 1998
365 ppm
1745 ppb
314 ppb
1,5 ppm/th
7,0 ppb/th
0,8 ppb/th
5-200 th
12 th
114 th
Rata-rata kenaikan konsentrasi Atmospheric lifetime Sumber : IPCC 2007
2. 3 Fotosintesis dan Respirasi Fotosintesis
merupakan
satu-satunya
proses
alam
yang
dapat
memanfaatkan energi dari cahaya matahari menjadi energi kimia dari senyawa sederhana (CO2 dan air) yang tersedia di alam untuk membentuk senyawa karbohidrat dan oksigen. Hairiah (2007) menyatakan proses fotosintesis dan respirasi tanaman merupakan fungsi dari berbagai variabel lingkungan dan tanaman, termasuk diantaranya adalah radiasi matahari, temperatur dan kelembaban udara dan tanah, ketersediaan air dan hara, luas daun, lapisan ozon di udara dan polutan lainnya. Dengan demikian perubahan iklim akan berpengaruh kepada tanaman melalui berbagai jalan. Laju fotosintesis mungkin akan berkurang karena matahari tertutup awan tebal, tetapi ada kemungkinan juga akan meningkat karena konsentrasi CO2 di udara meningkat. Semua proses yang berhubungan dengan respirasi umumnya sensitif terhadap peningkatan suhu, terutama akar-akar halus dan organisme heterotropik dalam tanah. Meningkatnya temperatur tanah maka dalam waktu singkat akan diikuti oleh meningkatnya laju mineralisasi bahan organik tanah dan pelepasan hara ke dalam tanah. Hal tersebut mendorong terjadinya kembali proses fotosintesis, meningkatnya luas permukaan daun, sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun untuk jangka panjang, respirasi tanah akan menyesuaikan dengan kenaikan suhu tanah, dan kembali menjadi normal. Gadner et al. (1991) menyatakan bahwa fotosintesis merupakan proses penangkapan energi yang berasal dari matahari oleh chlorophyll untuk pembentukan gula dengan bahan baku CO2 dan H2O seperti terlihat pada proses terjadinya fotosintesis berikut ini : 6CO2 + 6 H2O
C6H12O6 + 6O2
Adapun tiga tahap dalam fotosintesis adalah : 1. Absorbsi cahaya dan retensi energi cahaya 2. Konversi energi cahaya ke energi kimia 3. Stabilisasi dan penyimpanan potensi kimia Proses fotosintesis terjadi dalam dua fase yakni terang dan gelap. Reaksi terang disebut juga reaksi fotokimia dimana terjadi penangkapan energi cahaya oleh klorofil dan pengubahan ADP menjadi ATP pada proses fotofosforilasi. Pada reaksi ini terjadi pemecahan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen. Oksigen dilepaskan sebagai molekul oksigen bentuk bebas dan hidrogen ditangkap oleh NADP. Hasil reaksi terang berupa ATP dan NADPH dimanfaatkan dalam reaksi gelap. Reaksi gelap terjadi penangkapan CO2 dari udara dan mengalami reduksi menjadi CH2O yang berlangsung tanpa ada hubungannya dengan cahaya langsung dan tidak dipengaruhi oleh suhu. Reaksi gelap terjadi di dalam stroma dari kloroplas dimana pada reaksi ini terdapat rangkaian proses yang membentuk Photosynthetic Carbon Reduction Cycle yang biasa disebut dengan siklus Calvin. Siklus Calvin merupakan lintasan pembentukan gula yang utama dalam tumbuhan. Dalam siklus Calvin terdapat 3 tahapan yang penting yaitu karboksilasi, reduksi dan regenerasi (Miftahudin 2008). Jika
fotosintesis
menyediakan
molekul
organik
yang
dibutuhkan
tumbuhan, respirasi melepas energi yang tersimpan di dalam senyawa karbon untuk digunakan oleh sel. Dalam tumbuhan substrat respirasi berasal dari sukrosa, heksosa fosfat dan triosa fosfat yang berasal dari fotosintesis dan perombakan pati. Respirasi merupakan kebalikan dari fotosintesis. Respirasi pada tanaman berupa oksidasi molekul organik (C6H12O6) oleh oksigen sehingga menghasilkan CO2 dan H2O. Proses respirasi merupakan proses penggunaan cadangan makanan yang merubah ATP menjadi ADP dan menghasilkan energi. Adapun persamaan reaksi proses respirasi adalah : C6H12O6 + 6O2
6CO2 + 6 H2O + energi
Miftahudin (2008) menyatakan bahwa tahapan reaksi pada proses respirasi meliputi tahapan glikolisis, siklus asam sitrat/siklus Krebs, reaksi dari lintasan pentosa fosfat dan fosforilasi oksidatif. Pada proses glikolisis terjadi pemecahan
glukosa
melalui
oksidasi
menjadi
asam
piruvat
dengan
menghasilkan sejumlah energi dalam bentuk ATP dan NADH. Pada siklus Krebs, asam piruvat dioksidasi secara sempurna menjadi CO2.
2. 4 Biomassa dan Karbon Biomasssa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight) yang terutama tersusun dari senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Biomassa tumbuhan adalah jumlah berat kering dari seluruh bagian yang hidup dari tumbuhan dan untuk memudahkannya dibagi menjadi biomassa di atas permukaan tanah (daun, bunga, buah, ranting, cabang, batang) dan biomassa di bawah permukaan tanah (Chapman (1976); Whitten dan Plaskett (1981); Anwar et al. 1984). Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan mengikat CO2 dari udara dan merubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju dimana biomassa bertambah adalah produktivitas primer kotor. Hal ini tergantung dari luas daun yang disinari, suhu dan sifat masing-masing jenis tumbuhan.
Sisa hasil fotosintesis yang tidak digunakan untuk pernapasan
dinamakan produktivitas primer bersih dan produktivitas yang tersedia setelah waktu tertentu dinamakan produksi primer bersih (Whitmore 1985). Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon. Biomassa diukur dari biomassa di atas permukaan tanah dan biomassa di bawah permukaan tanah, dari bagian tumbuhan yang hidup, semak dan serasah (Brown dan Gaston 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi biomasaa tegakan hutan antara lain adalah: umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan strukur tegakan hutan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor iklim seperti suhu dan curah hujan. Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO2, dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al. 2004).
2. 5 Pemodelan Biomassa dan Karbon Berdasarkan cara memperoleh data, Brown (1997) mengemukakan ada dua pendekatan yang digunakan untuk menduga biomassa dari pohon, yakni pertama berdasarkan penggunaan dugaan volume kulit sampai batang bebas cabang
yang
Sedangkan
kemudian
pendekatan
diubah kedua
menjadi secara
kerapatan
langsung
biomassa
dengan
(ton/ha).
menggunakan
persamaan regresi biomassa. Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa di atas tanah ke dalam 2 golongan, yaitu : 1. Metode pemanenan a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini diterapkan pada kondisi tingkat kerapatan pohon cukup rendah dengan komunitas jenis sedikit. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan organik yang dipanen di dalam suatu unit area tertentu c. Metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata. Metode ini cocok diterapkan pada tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameternya dan kemudian ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon contoh yang ditebang dengan jumlah individu pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari semua pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam unit area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh. 2. Metode pendugaan tidak langsung a. Metode hubungan allometrik Persamaan alometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya. Untuk membuat persamaan ini, pohon-pohon yang mewakili sebaran kelas diameter
ditebang dan ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dalam suatu unit area contoh tertentu. b. Crop meter Pendugaan biomssa dengan metode ini dilakukan dengan cara menggunakan seperangkat elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu. Biomassa tumbuhan antara dua elektroda dipantau dengan memperhatikan electrical capacitance yang dihasilkan. Pemodelan adalah pengembangan analisis ilmiah yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang berarti bahwa dalam memodelkan suatu ekosistem akan lebih mudah dibandingkan dengan ekosistem sebenarnya (Onrizal 2004). Model biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan kehilangan karbon melalui respirasi. Penyerapan karbon bersih akan disimpan dalam organ tumbuhan dalam bentuk biomassa. Fungsi dan model biomassa dipresentasikan melalui persamaan tinggi dan diameter pohon (Jhonsen et al. 2001). Untuk menduga biomassa atas permukaan, persamaan alometrik yang menghubungkan biomassa dan komponen tegakan yang mudah diukur seperti diameter batang sangat diperlukan. Niklas (1994) menyebutkan alometrik berasal dari bahasa Yunani dari allos (other, lain) dan metron (measure, pengukuran). Persamaan alometrik biasa digunakan dalam ilmu biologi untuk menggambarkan perubahan sistematis dari morfogenesis, fisiologi, adaptasi dan evolusi (Huxley 1993). Persamaan ini biasanya memerlukan pengukuran langsung dengan menebang pohon (destructive sampling). Persamaan umum yang biasa digunakan untuk menduga biomassa (JICA dan FORDA 2005) adalah : Y = bxa dimana: Y = biomassa kering pohon (kg) x = diameter pohon setinggi dada (cm) a = eksponen allometrik b = koefisien allometrik
Model Y = bxa merupakan model yang paling banyak digunakan peneliti, meskipun
terdapat variasi bentuk persamaan lainnya. Pada tabel berikut
disajikan persamaan alometrik yang telah dipublikasikan pada berbagai tipe hutan di daerah tropis dan subtropis.
Tabel 4 Persamaan alometrik pada berbagai tipe hutan Klasifikasi umum
Kelompok jenis
Persamaan
Peneliti
Max Dbh
Daerah Tropis 2,3196
Brown (unpublished)
63 cm
(-0,535+log basal area) 10
Brown (1997)
30 cm
Campuran
W =exp(-2,289 + 2,649x lnDbh2 0,021xlnDbh )
Brown (1997)
148 cm
Basah
Campuran
W =21,297-6,953xDbh+0,740 x 2 Dbh
Brown (1997)
112 cm
Cecropia
Cecropia
W =12,764 +0,25588xDbh
Winrock
40 cm
Palma
Palma(asai & pataju)
W=6,666+12,826xtinggi x ln(tinggi)
Winrock
Tinggi 33 m
Palma
Palma
W= 23,487+41,851x[ln(tinggi)]
Winrock
Tinggi 11 m
Liana
Liana
W=exp(0,12+0,91xlog(BA Dbh)
Putz (1983)
12 cm
Kering
Campuran
W = 0,2035 x Dbh
Kering
Campuran
W =10
Lembab
2,0515
0,5
2
Daerah Subtropis 2,5
Hardwood
Campuran
W = 0,5 + (25000 x Dbh )/ 2,5 (Dbh + 246872)
Schroeder (1997)
al.
85 cm
Hardwood
Campuran
W =exp(-2,48 + 2,4835) x lnDbh
Jenkins et al. (2003)
70 cm
Hardwood
Campuran
W=exp(-2,9132+0,9232xln 2 (Dbh x tinggi)
Winrock
85 cm
Softwood
Pinus
W=0,887+[(10486xDbh 2,84 (Dbh + 376907)]
Brown dan Schroeder (1999)
56 cm
Hardwood
Soft maple/birch
W=exp(-1,9123+2,3867x lnDbh)
Jenkins et al. (2003)
66 cm
Softwood
Cedar/larch
W=exp(-2,0336+2,2592x lnDbh)
Jenkins et al. (2003)
250 cm
Softwood
Pinus
W=exp(-2,5356+2,4349x lnDbh)
Jenkins et al. (2003)
180 cm
Softwood
Spruce
W=exp(-2,0773+2,3323 x lnDbh
Jenkins et al. (2003)
250 cm
Softwood
Douglas-fir
W=exp(-2,2304+2,4435xln Dbh)
Jenkins et al. (2003)
210 cm
Sumber : Pearson et al. (2008)
2,48
)/
et
Chave et al. (2005) telah merangkum beberapa persamaan alometrik untuk pendugaan biomassa diatas permukaan tanah, yaitu : W = F x ρ x (πD2/4) x H W = F x (ρ x (πD2/4) x H)β W = c ρD2+B ln W = α+ β1 ln (D)+ β2 ln (H)+ β3 ln (ρ) ln W = a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 ln W = α+ β2 ln (D2H ρ) ln W = α+ ln (D2H ρ) ln W = a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 + ln W = a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 + β3 [ln (ρ)] ln W = a + b ln(D) + ln (ρ)
III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan luasan areal sekitar 150 000 ha. Hutan gambut Merang merupakan bagian dari area gambut yang lebih luas dan berhubungan dengan Taman Nasional Sembilang sebelah Timur, hutan gambut Muaro Jambi di utara dan Taman Nasional Berbak di bagian barat daya. Kubah gambut
terletak tepat
diantara sungai Medak dan Kepahyang. Peta Lokasi dari citra satelit dapat dilihat pada Gambar 5 pada halaman berikut.
Gambar 4 Deskripsi hutan bekas tebangan di Merang
PT.Pakerin
TN.Sembilang
PT. RHM
PTPN VII
Sungai
Merang
PT.Wahana Lestari
Gambar 5 Peta lokasi hutan gambut Merang (Sumber: MRPP 2009)
3. 2 Aksesibilitas Desa yang terdekat dengan lokasi penelitian adalah Muara Merang. Jarak dari Palembang ke desa ini sekitar 225 km yang dapat ditempuh dengan akses darat atau sungai selama 4 - 5 jam. Sungai merupakan sarana transportasi penting bagi penduduk desa dalam bermobilitas. Kota terdekat adalah Bayung Lencir yang dapat ditempuh selama 2 jam dengan menggunakan perahu.
Gambar 6 Sungai sebagai akses utama masyarakat desa dengan menggunakan perahu motor 3. 3 Iklim dan Hidrologi Area ini memiliki curah hujan rata-rata tahunan 2 304 mm yang termasuk ke dalam zona B1 menurut klasifikasi iklim Oldeman, artinya areal ini memiliki intensitas curah hujan yang cukup (BMG Kenten Palembang 2008). Curah hujan memiliki keterkaitan yang erat dengan perhitungan biomassa suatu tegakan. Berikut data curah hujan bulanan tahun 1999-2008 pada daerah penelitian :
Tabel 5 Curah hujan bulanan tahun 1999 - 2008 di Merang Tahun
Curah hujan Bulan ke- (mm) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1999 249 205 314 206 73 172 153 81 37 2000 234 238 93 240 277 177 77 56 150 2001 254 256 324 328 87 237 74 259 170 2002 281 47 268 279 103 38 124 19 79 2003 169 285 247 350 80 44 177 33 85 2004 301 195 313 396 169 114 81 17 48 2005 134 239 361 192 210 111 205 149 180 2006 339 285 319 142 144 84 125 0 15 2007 297 141 220 257 96 104 77 5 156 2008 257 143 250 399 96 53 89 146 151 Rataan 252 203 271 279 134 113 118 77 107 Sumber: BMG Stasiun Klimatologi Kenten Palembang
10 230 250 368 71 208 232 291 74 156 202 208
11 459 442 283 310 171 203 302 233 200 333 294
12 205 249 243 324 307 302 197 121 327 209 248
Total 2384 2483 2883 1943 2156 2371 2571 1881 2036 2328 2303,6
Kondisi hidrologi areal ini dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Lalan dan anak-anaknya, yaitu Sungai Merang, Sungai Kepahyang dan Sungai Medak yang termasuk kedalam DAS Lalan dan bermuara di Selat Bangka. Sungaisungai ini memberikan sumbangan air cukup besar terhadap kondisi hidrologi dan proses pembentukan gambut serta berpengaruh terhadap fluktuasi genangan air. Sungai Merang mengalir ditengah kubah gambut yang terletak tepat diantara Sungai Kepahyang dan Medak. Sungai Merang memiliki banyak anak sungai diantaranya Sungai Cangkak, Sungai Buring, Sungai Beruhun dan Sungai Bawo. Sungai Merang mengalir dari daerah Petaling (perbatasan provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi) sampai ke Sungai Lalan di desa Bakung, Kecamatan Bayung Lencir. Di areal ini terdapat lebih dari 100 parit atau kanalkanal kecil dengan lebar 1,7 - 2 meter dan dalam 0,5 meter yang dibuat oleh penebang liar untuk mengeluarkan kayu hasil tebangan dari hutan.
Panjang
kanal yang dibuat bervariasi, bahkan sampai 5 km tergantung pada potensi ketersediaan kayu. Dampak dari adanya parit-parit tersebut adalah penurunan air tanah terutama pada musim kemarau sehingga menyebabkan penurunan permukaan gambut.
Gambar 7 Deskripsi hidrologi daerah Merang (Sumber: MRPP 2009)
3. 4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon Berdasarkan penelitian yang dilakukan SSFFMP (2005) gambut yang berada di sekitar lokasi penelitian tergolong pada gambut dangkal, sedang dan gambut dalam. Berdasarkan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata kematangan gambut pada tingkat hemik-safrik, sedangkan pada kedalaman > 1 m pada tingkat kematangan safrik. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses dekomposisi bahan organik berjalan baik, dikarenakan area tidak selalu tergenang air dan terdapat periode kering sehingga dapat membantu proses dekomposisi bahan organik. Jika dilihat dari karakteristik kimia gambut, reaksi tanah (pH) pada Hutan Gambut Merang tergolong masam. Nilai kemasaman gambut dihasilkan dari sumbangan ion H+ dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan gambut. Kandungan C di lahan gambut ini dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5% sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah C dan N tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan. Jika ditinjau dari kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) daerah ini dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tandah dalam menyerap unsur-unsur hara (SSFFMP 2005). Hutan Gambut Merang adalah salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Walhi Sumatera Selatan (2009) menyatakan luas hutan gambut di propinsi sekitar 750 000 hektar. Namun, sekitar 500 000 hektar hutan gambut
sudah
dialihfungsikan,
sehingga
hutan
gambut
yang
belum
dialihfungsikan tinggal seluas 230 000 hektar di Merang Kepahyang. SSFFMP (2005) menyatakan bahwa hutan rawa gambut Merang and Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Tahun 2006, SSFFMP membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut peat dan DEM SRTM dan menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan kedalaman rata-rata gambut 208 cm
(Mott 2006). Ballhorn (2007) menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meters, hutan gambut Merang mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO2. 3. 5 Kondisi Sosial Ekonomi Hutan gambut Merang secara administratif hampir sama dengan desa Muara Merang. Muara Merang terdiri dari 3 dusun yaitu Kepahyang, Bakung dan Bina Desa yang berlokasi di pinggir sungai. Penduduk yang mendiami desa ini berjumlah 1 240 jiwa dengan 273 kepala keluarga. Mata pencarian utama penduduk desa adalah penebang kayu (pembalok), petani, buruh di perusahaan sawit, dan nelayan.
Gambar 8 Kayu hasil penebangan liar yang dilewatkan melalui sungai Buring
Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung, yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayukayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.
3. 6 Sejarah Areal Hutan gambut Merang merupakan bekas Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang ditetapkan sejak tahun 1976 oleh Departemen Kehutanan. Beberapa HPH telah memanfaatkan areal ini seperti PT. Bumi Raya Utama Wood Industries, PT Riwayat Musi Timber dan PT Bumi Usaha Pratama Jaya. Sistem yang digunakan oleh HPH ini adalah sistem tebang pilih/TPI yang diatur pada PP 21 Tahun 1970 dengan menebang kayu-kayu komersial seperti : meranti (Shorea spp), mersawa (Anisoptera spp) dan ramin (Gonystylus bancanus), dengan limit diameter 60 cm. Akses utama pada areal ini adalah sungai dan ongkak/rel kayu yang panjangnya bisa mencapai 20 km (terbukti dengan ditemukannya jalur ongkak pada keempat plot penelitian yang berukuran 35 x 35 m2). Pada bulan Desember 2000, semua perusahaan
yang
beroperasi
di
hutan
gambut
Merang
menghentikan
kegiatannya dan menyisakan area bekas eksploitasinya begitu saja.
Gambar 9 Peta ex HPH KPHP Lalan (Sumber: MRPP 2009)
Penutupan HPH, menyisakan unmanaged forest yang memicu timbulnya ilegal logging. Baik masyarakat lokal ataupun masyarakat pendatang dari kabupaten lain melakukan penebangan liar yang difasilitasi oleh para cukong kayu di area hutan Merang. Hasil survey Wetland International di hutan gambut
Merang menyatakan bahwa kayu yang diambil penebang liar memiliki diameter 30 - 60 cm, sedangkan untuk 60 cm keatas sangat jarang ditemukan. Jenis-jenis yang ditebang adalah kayu-kayu yang terapung di perairan seperti meranti, ramin dan lain-lain. Sedangkan untuk kempas (Koompassia malaccensis) dan punak (Tetramelistra glabra) tidak diambil karena berat jenisnya yang sangat besar sehingga tenggelam di sungai. Selain kayu-kayu terapung, kayu lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah Gelam (Melaleuca sp.) yang menjadi spesies dominan pada hutan yang terdegradasi akibat pembakaran/kebakaran hutan. Meskipun tidak komersil, kayu ini dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan arang bagi masyarakat.
IV METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Kabupaten Musi Banyuasin selama bulan Juli tahun 2008. Untuk identifikasi spesies tumbuhan yang tidak diketahui dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Analisis kimia berupa kadar air dan kadar karbon dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu dan Energi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, Gunung Batu Bogor dari bulan Agustus sampai dengan November 2009.
Tabel 6 Titik koordinat dan kedalaman gambut lokasi penelitian UTMx
UTMy
Kedalaman gambut (cm)
391789,98
9780818,71
80
391789,97
9781218,85
175
391786,30
9781615,31
530
391792,43
9782001,96
457
Lokasi penelitian Gambar 10 Peta lokasi penelitian (Sumber: MRPP 2009)
4. 2 Peubah yang diamati Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kelompok peubah vegetasi dan serasah. 4. 2. 1 Peubah Vegetasi Vegetasi hutan yang akan diukur dan diamati adalah pohon dan tumbuhan bawah. Peubah vegetasi berupa pohon yang diamati terdiri dari : 1. Nama jenis, jumlah individu, diameter dan tinggi total 2. Pohon yang terpilih sebagai contoh uji untuk penduga biomassa dan kandungan
karbon
terikat
pohon,
ditimbang
berat
basahnya
berdasarkan bagian-bagian pohon (batang, cabang, ranting, dan daun). Sedangkan di laboratorium peubah yang diukur adalah kadar air, kadar karbon, kadar zat terbang arang, dan kadar abu dari pohon berdasarkan bagian-bagiannya Untuk pohon diklasifikasikan atas 7 kelas berdasarkan Dbh (diameter at breast height), dimana tiap kelas memiliki selang 10, kecuali pada kelas pertama. Pohon yang diukur dimulai dari pohon dengan Dbh > 5 cm karena pengukuran pada pohon dengan Dbh < 5 cm, biasanya dilakukan pada hutan yang sangat muda (Pearson et al. 2008). Penelitian dengan diameter > 5 cm sebagai diameter minimum pohon telah dilakukan oleh peneliti terdahulu (Ketterings et al. 2001; ICRAF 2001; Brown 1997; Tresnawan dan Rosalina 2002; Limbong 2009). Tumbuhan bawah meliputi tumbuhan berkayu (pohon berdiameter batang < 5 cm) dan tumbuhan tidak berkayu meliputi semak belukar, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma (ICRAF 2001). Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil total bagian tanaman. Peubah yang diukur di lapangan adalah berat basah. Sedangkan di laboratorium yang diukur adalah kadar air, berat jenis, kadar karbon, kadar zat terbang arang, dan kadar abu.
4. 2. 2 Peubah Serasah dan Nekromassa Serasah diklasifikasikan menjadi serasah cabang, ranting, daun dan nekromassa. Peubah serasah yang diukur di lapangan adalah berat basah dan yang diukur di laboratorium adalah kadar air, kadar zat terbang arang, kadar abu dan kadar karbon terikat.
4. 3 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan adalah : GPS (Global Positioning System) Garmin 60CSx, phi band, meteran, terpal 4 x 6 m dan 2 x 3 m, timbangan berskala 100 kg, 50 kg, 25 kg dan 5 kg (timbangan digital), kompas, katrol besi, paralon (untuk patok), chainsaw ukuran besar dan kecil, parang/golok, bor gambut, gunting daun, kaliper, tali rafia, amplop, alkohol 70%, kontainer, karabiner dan webing, tas alat, kertas label, cat semprot merah, kertas koran, sealed plastic, plastik ukuran 2 kg, cawan porselen, tanur, eksikator, kamera dan alat tulis.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 11 (a) Timbangan dengan berbagai kapasitas, (b) alat dalam kegiatan analisis vegetasi, (c) katrol membantu dalam penimbangan kayu, (d) chainsaw dan beberapa alat untuk penebangan dan pembagian anatomi pohon 4. 4 Prosedur Penelitian di Lapangan 4. 4. 1 Analisis Vegetasi Jumlah plot yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 4 buah yang masing-masing berukuran 35 x 35 m. Penentuan plot di lapangan dilakukan dengan systematic sampling with random start. Penentuan luas plot dengan
memperhatikan pohon tertinggi yang berada di plot contoh yakni 30 ± 2 m. Morikawa (2001) menyatakan sisi terpendek dari plot contoh harus lebih panjang dari tinggi pohon tertinggi (maksimum) yang terdapat di dalam plot. Plot ditentukan dengan mempertimbangkan kedalaman gambut dan jarak tiap plot masing-masing 200 m dimana plot pertama ditentukan secara acak. Desain plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Plot yang dibuat dibagi atas subplot dengan rincian sebagai berikut (Pearson et al. 2008) :
Tabel 7 Pembagian subplot penelitian Vegetasi
Square plot
Tumbuhan bawah dan serasah
2x2 m
Pohon dengan Dbh 5-20 cm
7x7 m
Pohon dengan Dbh 20-50 cm
25 x 25 m
Pohon dengan Dbh >50 cm
35 x 35 m
35x35m 25x25m 7x7m
2x2m
Subplot tumbuhan bawah dan serasah Gambar 12 Desain plot penelitian untuk analisis vegetasi
Pada setiap plot, semua pohon > 5 cm diidentifikasi, diukur diameternya. Diameter yang diukur pada ketinggian 1,3 m di atas tanah. Pada beberapa hasil penelitian untuk pendugaan biomassa dan karbon berbagai tipe hutan menyarankan
hanya
menggunakan
Dbh
sebagai
parameternya
untuk
kepraktisan dan efisiensi serta tanpa mengurangi tingkat akurasi hasil dugaan.
Hal ini dikemukan antara lain oleh Onrizal (2004), Limbong (2009), Ismail (2005), Salim (2005), Chave et al. (2005).
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 (a) Pengeboran tanah gambut, (b) pembuatan subplot 2 x 2 m, (c) pengukuran diameter setinggi dada
Semua tumbuhan bawah dan serasah yang terdapat di lantai hutan di dalam subplot ukuran 2 m x 2 m yang diletakkan secara nested sampling. Tumbuhan bawah dipisahkan atas tumbuhan berkayu dan tidak berkayu yang diidentifikasi jenis dan jumlahnya. 4. 4. 2 Pengambilan dan penebangan pohon terpilih Jumlah pohon contoh ditentukan dengan metode acak berlapis berdasarkan kelas diameter pohon. Untuk menentukan kelas diameter tebangan dilihat dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan. Interval masing-masing kelas dibuat 10 cm, kecuali pada kelas pertama yang hanya berinterval 5 (karena pengukuran pohon berawal dari pohon dengan Dbh > 5 cm). Untuk menentukan unit contoh pohon yang ditebang pada setiap kelas diameter digunakan rumus sebagai berikut : nh =
Nh N × n
dimana nh adalah pohon contoh terpilih dalam kelas diameter h, Nh adalah jumlah pohon dalam lapisan ke-h, n adalah jumlah pohon contoh, N adalah jumlah pohon dalam populasi. Dengan menggunakan metode tersebut terpilih 30 pohon contoh dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 8 Pohon terpilih untuk ditebang berdasarkan kelas diameter Kelas Dbh
Jenis
Dbh (cm)
Tinggi (m)
5 – 10 cm
Syzygium sp. (2)
5,3
10,6
Syzygium sp. (1)
7,5
13,5
Dyera lowii
7,5
7,9
Shorea uliginosa
8,3
10,2
Syzygium bankense
8,7
12,5
Horsfieldia sp.
8,8
8,4
Dacryodes cf.rostrata
9,0
9,3
Syzygium sp. (1)
9,4
12,0
Dyera lowii
9,9
14,3
Shorea uliginosa
10,2
10,5
Lithocarpus sundaicus
10,5
11,7
Shorea dasyphylla
11,5
9,8
Dacryodes rostrata
12,8
11,4
Elaeocarpus griffithii
13,6
6,6
Shorea uliginosa
14,0
14,5
Crytocarya crassinervia
14,5
15,4
Gonystylus bancanus
16,0
14,3
Crytocarya crassinervia
16,2
14,0
Litsea noronhae
21,0
16,5
Polyalthia sumatrana
21,5
18,3
Macaranga maingayi
24,9
17,0
Mezzetia parviflora
27,0
21,2
Dacryodes rostrata
28,0
22,0
Alseodaphne insignis
29,5
22,8
Mezzetia parviflora
31,0
19,5
Polyalthia sumatrana
36,0
29,7
Dacryodes rostrata
39,8
26,9
40 - 50 cm
Polyalthia sumatrana
46,8
26,1
50 - 60 cm
Palaquium ridleyi King
51,4
29,3
60 - 70 cm
Tetramerista glabra
64,0
31,2
10 - 20 cm
20 - 30 cm
30 - 40 cm
Pohon
contoh
yang
terpilih
kemudian
ditebang
dan
dipisahkan
berdasarkan bagian-bagian pohon yaitu batang, cabang, ranting, dan daun. Batang pohon ditebang sedapat mungkin rata dengan tanah, dan dibagi-bagi atas segmen-segmen untuk memudahkan dalam penimbangan. Adapun panjang segmen tergantung dari berat pohon yang disesuaikan dengan kapasitas timbangan. Daun, cabang dan ranting dikumpulkan untuk diketahui fresh weight masing-masing bagian pohon tersebut. Selanjutnya dilakukan pengukuran tebal kulit pohon dengan caliper. Untuk pengambilan contoh uji, batang dapat dibagi atas 2 - 7 fraksi yang dapat mewakili kondisi pohon. Selain perubahan diameter,
bentuk permukaan pohon misalnya: terdapat benjolan atau gerowong kecil pada batang menjadi pertimbangan pembagian fraksi. Dari tiap fraksi batang diambil contoh uji ± dengan ukuran 8 x 5 cm yang selanjutnya dianalisa di laboratorium. Untuk contoh uji daun, cabang dan ranting diambil minimal 50 gram.
Gambar 14 Penebangan pohon
Gambar 15 Pembagian segmen batang yang akan ditimbang
Gambar 16 Penimbangan batang
Gambar 17 Pengumpulan dan penimbangan daun
Gambar 18 Penimbangan ranting
4. 4. 3 Pengambilan contoh tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa Semua tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa di atas permukaan tanah yang terletak di dalam petak contoh ukuran 2 m x 2 m terpilih diambil secara destruktif dan ditimbang berat basahnya. Sebelum penimbangan berat basah di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pemisahan tumbuhan bawah yang terdiri dari tumbuhan bawah berkayu dan tidak berkayu. Untuk serasah dibagi serasah cabang, serasah ranting, serasah daun dan serasah buah dan nekromass. Selanjutnya diambil contoh uji sebanyak ± 200 gram dari masingmasing tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa tersebut untuk dianalisis di laboratorium.
Gambar 19 Pemisahan dan penimbangan serasah 4. 5 Prosedur Penelitian di Laboratorium 4. 5. 1 Pengukuran Kadar Air Pengukuran kadar air contoh uji dari beberapa bagian pohon dilakukan berdasarkan standar TAPPI T268 OM 88 dengan tahapan sebagai berikut: a. Sebelum pengujian dimulai, cawan aluminium yang akan digunakan dipanaskan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu 105ºC selama 1 jam. Setelah 1 jam, cawan aluminium didinginkan ke dalam eksikator, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat cawan. b. Selanjutnya contoh uji sebanyak 1 – 2 gram ditimbang (Bo), kemudian dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam pada suhu 105ºC.
c. Setelah 3 jam, cawan aluminium yang berisi contoh uji tersebut dikeluarkan dari oven, kemudian dimasukkan kedalam eksikator, selanjutnya ditimbang sebagai berat contoh uji dalam cawan aluminium. Berat contoh uji dalam cawan aluminum dikurangi berat cawan aluminium dinyatakan sebagai berat kering oven dari contoh uji (BKc) Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus: KA =
Bo − BKc x100% BKc
dimana: KA
= kadar air contoh uji (%)
Bo
= berat basah contoh uji (gram)
BKc = berat kering contoh uji (gram)
4. 5. 2 Pengukuran Biomassa Setelah diperoleh berat kering sampel pengukuran kadar air pada masing-masing bagian anatomi pohon, maka dapat dihitung nilai berat total kering sampel atau biomassa dari masing-masing bagian anatomi pohon dengan menggunakan persamaan :
BKT =
BBT KA 1 + 100
Dimana : BKT = Berat Kering Total (kg) BBT = Berat Basah Total (kg) KA = Kadar Air Setelah diketahui berat kering total (biomassa) bagian anatomi pohon maka dapat diperoleh biomassa total per pohon dengan menjumlahkan biomassa bagian-bagian pohon tersebut.
4. 5. 3 Pengukuran Berat Jenis Sampel berukuran 2 × 2 x 2 cm, yang telah kering oven konstan pada suhu 103 ± 20C, dicelupkan kedalam parafin cair hingga merata seluruh bagiannya, kemudian ditimbang pada air aquadest dalam gelas piala diatas timbangan analitis.
4. 5. 4 Pengukuran Kadar Karbon Terikat Kadar karbon pohon dapat ditentukan melalui beberapa tahapan, yaitu: a. Pembuatan arang Pembuatan arang dilakukan dengan metode SNI 06 – 3730 – 1995. Kayu dimasukkan dalam alat reaktor pembuatan arang. Suhu yang digunakan adalah 500°C. Kayu tersebut dimasukkan kedalam reaktor mul ai dari suhu 0ºC sampai suhu 500°C selama 5 jam, sampai kayu tersebut menja di arang. Selanjutnya mengambil contoh uji berupa serbuk sebanyak 2 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah ditetapkan beratnya. Cawan porselen berisi serbuk tersebut dimasukkan kedalam tanur pada suhu 0ºC 600°C selama 1 - 1,5 jam. Setelah itu cawan dikelua rkan dari tanur, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Untuk menentukan berat arang dapat digunakan persamaan: Berat arang = berat cawan dan serbuk arang – berat cawan
b. Penentuan zat terbang arang Cawan porselen diisi serbuk arang kayu, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 950°C, dengan cara : mula-mula cawa n dimasukkan di bagian depan pintu tanur pada suhu 300°C selama 2 menit, k emudian dipindahkan pada bagian sisi tanur pada suhu 500°C selama 3 menit da n akhirnya dipindahkan pada bagian dalam tanur pada suhu 950°C selama 6 me nit. Selanjutnya didinginkan dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang. Kadar zat yang mudah menguap dinyatakan dalam persen berat dengan rumus: Kadar zat terbang =
A − B x100% A
Dimana: A = berat kering contoh uji pada suhu 105°C B = berat contoh uji – berat cawan dan sisa contoh pada suhu 950°C
c. Penentuan kandungan abu Serbuk contoh uji sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen yang ditetapkan beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu mulai 0°C - 700°C selama 5 jam. Selanjutnya ca wan dikeluarkan dari tanur, kemudian didinginkan dalam eksikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Untuk mengetahui kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar abu = Berat abu / berat contoh uji x 100%
d. Penentuan kadar karbon Penentuan kadar karbon terikat (murni) pada arang kayu ditentukan dengan menggunakan rumus: Kadar karbon terikat arang = 100% - kadar zat terbang arang – kadar abu 4. 6 Analisis Data 4. 6. 1 Komposisi Jenis Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002), kerapatan tegakan, frekuensi, dominansi dan INP dihitung dengan menggunakan rumus: Kerapatan suatu spesies (K)
=
Kerapatan relatif suatu spesies (KR) =
Frekuensi suatu spesies (F)
=
Frekuensi relatif suatu spesies (FR) =
Dominansi suatu spesies (D)
=
Dominansi realtif suatu spesies (DR) =
Jumlah individu suatu spesies Luas petak contoh
K Kerapatan seluruh jenis
x 100%
Jumlah plot ditemukan suatu spesies Luas seluruh plot F Frekuensi seluruh jenis
x 100%
Lbds suatu spesies Luas petak contoh D Dominansi seluruh spesies
x 100%
INP = KR + FR + DR
4. 6. 2 Model Penduga Biomassa Model hubungan antara biomassa pohon dan dimensi pohon (diameter dan tinggi pohon) dibuat dengan menggunakan persamaan alometrik yang menggambarkan biomassa sebagai fungsi dari diameter dan tinggi bebas cabang pohon. Untuk menentukan model hubungan antara biomassa pohon dengan variabel bebasnya dilakukan dengan menggunakan Minitab for Windows
Release 14.12 dan Microsoft Office Excel. Pembuatan model bertujuan untuk memperoleh pendekatan persamaan allometrik terbaik yang menggambarkan biomassa merupakan fungsi dari diameter, tinggi pohon dan berat jenis. Dalam menduga biomassa (W) berdasarkan diameter (D), berat jenis (ρ) dan tinggi total
pohon (H) dengan analisis regresi alometrik dan persamaan polynomial sebagai berikut : W1 = aDb W2 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ ln (D)]2+ d [ln (D)]3} W3 = a(D2H)b W4 = exp{a + b[ln(D2H)] + c[ln(D2H)]2} W5 = aDb ρc W6 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 +β3 [ln (ρ)]}
Mulai
Berat batang, cabang, ranting, daun
Biomassa berdasarkan anatomi
Pemodelan Biomassa = f (diameter) Biomassa = f (diameter, tinggi) Biomassa = f (diameter, tinggi, ρ)
Model biomassa terpilih
Selesai
Gambar 20 Diagram alir pembuatan model penduga biomassa 4. 6. 3 Model Penduga Karbon Terikat Seperti halnya pembuatan penduga biomassa, model hubungan antara karbon terikat pohon dan variabel bebas (diameter (D), berat jenis(ρ) dan tinggi
total pohon (H)) dibuat berdasarkan persamaan allometrik. Pembuatan model penduga karbon hutan bekas tebangan Merang dilakukan seperti Gambar 21.
Mulai
Berat batang, cabang, ranting, daun
Kadar karbon terikat berdasarkan anatomi
Pemodelan Karbon = f (diameter) Karbon = f (diameter, tinggi) Karbon = f (diameter, tinggi, ρ)
Model karbon terpilih
Selesai
Gambar 21 Diagram alir pembuatan model penduga karbon terikat
4. 6. 4 Model Hubungan Biomassa dan Karbon Terikat Model hubungan antara kandungan karbon dengan biomassa dibuat untuk tegakan. Model hubungan yang dibuat didasarkan pada fungsi bahwa karbon = f (biomassa). Fungsi hubungan ini dibangun melalui persamaan regresi sederhana. Dari model yang dibangun akan diketahui hubungan antara kandungan karbon dengan biomassa dengan terlebih dahulu menghitung koefisien determinasi (R2). Makin tinggi nilai R2 dari masing-masing peubah menunjukkan semakin erat hubungan linear antara kedua peubah.
4. 6. 5 Pemilihan Model Fungsi hubungan biomassa dan dimensi pohon (diameter dan berat jenis) dibangun melalui persamaan regresi sederhana. Kriteria untuk pemilihan persamaan terbaik adalah sebagai berikut : a. Koefisien determinasi (R2) Koefisien determinasi adalah perbandingan antara jumlah kuadrat regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total (JKT), dengan rumus: R2 = (JKR / JKT) x 100% Adapun kriteria keterandalan model berdasarkan nilai R2 adalah jika nilai R2 mendekati 100% model makin baik sebaliknya jika R2 mendekati 0% model makin tidak terandalkan dalam menjelaskan hubungan antara biomassa dan dimensi pohon (diameter, tinggi total dan berat jenis) b. Varian (S2) Varian diukur berdasarkan tingkat keragaman data dengan rumus sebagai berikut :
S2 =
∑ Xi
2
− (∑ xi ) 2 / n n −1
Model yang terpilih adalah model yang memiliki nilai varian terkecil dibandingkan model-model lainnya. c. Koefisien determinasi terkoreksi (R2a) Koefisien determinasi yang terkoreksi adalah koefisien determinasi yang sudah dikoreksi oleh derajat bebas dari jumlah kuadrat sisa (JKS) dan jumlah kuadrat total (JKT), dengan rumus sebagai berikut:
R 2a = 1 −
JKS (n − p ) = 1 − (1 − R 2 )[(n − 1) /( n − p )] JKT /( n − 1)
Dimana p adalah banyaknya peubah dalam regresi (termasuk βo) dan n adalah banyaknya objek (kasus) yang dianalisis. Kriteria uji R2a adalah sama dengan kriteria uji untuk R2.
d .Uji keabsahan model Apabila Yi adalah penduga Y, yaitu penduga tak bebas ke-i yang diperoleh dengan penduga model berdasarkan (n-1) kasus tanpa kasus ke-i maka dari n kasus yang ada akan diperoleh n buah simpangan Yi terhadap Y yaitu : ei = Yi - Y untuk i = 1,2,3,...,n
dari n buah ei ini dapat ditentukan : mi =( ei / Yi )*100% untuk i = 1,2,3,...,n Selanjutnya, apabila di = (mi)2 , maka akan dihitung : MSPE =
n
∑ di / n i=1
S d2 = [(
n
∑
di2 − ((
i=1
CV d =
Sd
n
∑d ) i
2
) / n) /(n − 1)]
i
x100%
d
Model akan semakin baik apabila memiliki MSPE dan CVd yang semakin kecil. Atas dasar ini maka nilai MSPE dan CVd ini selanjutnya dipakai sebagai kriteria dalam menentukan tingkat keabsahan dari model-model yang dicobakan. Uji keabsahan model merupakan uji terakhir dilakukan dalam pemilihan model yang terbaik sekaligus juga untuk menentukan cara pendekatan terbaik dalam pemecahan masalah dalam penelitian. Selain faktor-faktor dalam kekonsistenan dalam penerimaaan model tertentu pada setiap kali membangun model, kepraktisan pemakaian model dan kemudahan mendapatkan modelnya.
4. 6. 6 Penentuan Total Biomassa dan Karbon Setelah didapatkan model penduga biomassa pada masing-masing bagian anatomi pohon, dilanjutkan dengan perhitungan biomassa pada tiap bagian dengan memasukkan variabel bebas (Dbh, tinggi dan berat jenis) pada persamaan terpilih. Dengan menjumlahkan biomassa pada tiap batang, cabang, ranting dan daun akan diperoleh biomassa per pohon. Untuk mendapatkan total biomassa pohon dalam hektar, maka nilai biomassa pohon dikalikan dengan kerapatan tiap pohon. Untuk biomassa total hutan bekas tebangan dalam penelitian ini adalah dengan menjumlahkan total biomassa pohon, total biomassa tumbuhan bawah, total biomassa serasah dan nekromassa. Langkah yang sama juga dilakukan untuk pendugaan karbon terikat total hutan bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan.
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Hasil 5. 1. 1 Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Sebanyak 40 jenis pohon menyusun tegakan hutan gambut bekas tebangan Merang dalam petak ukur 0,49 Ha. Dari 40 jenis tersebut tergolong dalam 17 suku, yang didominasi Lauraceae paling banyak dijumpai (9 jenis), Myrtaceae (4 jenis), Annonaceae (3 jenis) dan Euphorbiaceae (3 jenis). Berdasarkan tingkat pertumbuhannya hasil analisis vegetasi menunjukkan 26 jenis pohon, 13 jenis tiang dan 16 jenis pancang (Lampiran 1). Dominansi dari hasil analisis vegetasi berdasarkan luas bidang dasar menunjukkan bahwa jenis dominan untuk setiap tingkat pertumbuhan pohon adalah Polyalthia sumatrana (makai), Prunus arborea (beringin) dan Dacryodes rostrata (uyah-uyah) pada tingkat pohon, Crytocarya crassinervia (medang putih), Dacryodes rostrata (uyah-uyah), dan Alseodaphne insignis (kelat) untuk tingkat tiang. Untuk tingkat pertumbuhan pancang didominansi oleh Dacryodes rostrata (uyah-uyah), Dyera lowii (jelutung rawang) dan Artocarpus teysmanni (cempedak air) untuk tingkat pancang. Total luas bidang dasar untuk semua jenis pohon adalah 28,36 m2/ha, dimana sebagian besar terdapat pada tingkat tiang (50,87% atau 14,43 m2/ ha), kemudian diikuti tingkat pohon 33,27% (9,44 m2/ha) dan tingkat pancang 15,86% (15,86 m2/ha).
Tabel 9 Dominansi pohon pada setiap tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan Pohon
2
LBDS (m /ha) 9,44
Persentase 33,27
Jenis dominan Polyalthia sumatrana Prunus arborea Dacryodes rostrata
Tiang
14,43
50,87
Crytocarya crassinervia Dacryodes rostrata Alseodaphne insignis
Pancang
4,50
15,86
Dacryodes rostrata Dyera lowii Artocarpus teysmanni
Berdasarkan hasil analisis vegetasi diketahui bahwa kerapatan pohon tertinggi terdapat pada tiang (48,8% atau 918 individu/ha). Nilai ini tidak berbeda jauh dengan kerapatan yang ditunjukkan pada pancang sebesar 46,09% (867 individu/ha). Kerapatan terendah terdapat pada tingkat pohon (96 individu/ha atau 5,11%).
Tabel 10 Kerapatan pohon pada setiap tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan Pohon
Kerapatan (ind/ha) 96
Persentase (%) 5,11
Tiang
918
48,80
Pancang
867
46,09
Jenis dengan kerapatan tertinggi Polyalthia sumatrana Prunus arborea Dacryodes rostrata Crytocarya crassinervia Dacryodes rostrata Shorea uliginosa Dacryodes rostrata
Berdasarkan pengukuran diameter tegakan hutan bekas tebangan di Merang, dapat diprediksi jumlah spesies/ha berdasarkan kelas diameter (Tabel 11).
Untuk kerapatan dari setiap jenis untuk masing-masing kelas diameter
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 11 Kerapatan pohon pada setiap kelas diameter Kelas Diameter(cm) 5‐10 10‐20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70
Kerapatan (ind/ha) 867 918 48 28 12 4 4
Jenis dominan Dacryodes rostrata Crytocarya crassinervia dan Dacryodes rostrata Semua jenis memiliki kerapatan yang sama Prunus arborea Polyalthia sumatrana Palaquium ridleyi dan Koompassia malaccensis Pithecellobium sp dan Tetramerista glabra
Pada kelas diameter 5 - 10 cm dengan kerapatan pohon sebesar pohon/ha disusun oleh 16 jenis pohon. Jenis yang memiliki kerapatan tertinggi adalah Dacryodes rostrata, untuk ke 15 jenis lain memiliki kerapatan yang sama yakni 102 individu/ha. Untuk kelas 10 - 20 cm disusun oleh 13 jenis pohon dengan kerapatan total 918 individu/ha. Adapun jenis yang mendominasi pada kelas diameter ini adalah Crytocarya crassinervia dan Dacryodes rostrata dengan kerapatan 153 individu/ha. Shorea uliginosa dengan dominansi 102 individu/ha, memiliki dominansi terbanyak dibandingkan 10 jenis lainnya yang memiliki kerapatan yang sama sebesar 51 individu/ha.
Pada kelas 20 - 30 cm. kerapatan menurun tajam jika dibandingkan dengan dua kelas diameter sebelumnya. Dengan kerapatan total 48 individu/ha dan disusun oleh 12 jenis pohon, setiap pohon pada kelas diameter ini memiliki kerapatan yang sama yakni 4 individu/ha. Pada kelas 30 - 40 cm, terdiri dari 6 jenis pohon dengan kerapatan tertinggi pada Prunus arborea dengan kerapatan 8 individu/ha. Kemudian, dengan nilai kerapatan 16 individu/ha untuk masing-masing kelima jenis lainnya, maka total kerapatan dari kelas diameter ini adalah 28. Kelas 40 - 50 cm, 50 - 60 cm, 60 - 70 cm, masing-masing disusun oleh 2 jenis spesies yang berbeda. Pada kelas 40 - 50 cm dengan total kerapatan 12 individu/ha, jenis yang mendominasi adalah Polyalthia sumatrana dengan kerapatan 8 individu/ha. Jenis lain yang menyusun kelas ini adalah Aporosa arborea dengan kerapatan 4 individu/ha. Kelas 50 - 60 disusun oleh Palaquium ridleyi King dan Koompassia malaccensis dengan masing-masing nilai kerapatan 2 individu/ha. Kelas dengan diameter tertinggi diatas 60 cm terdiri dari jenis Pithecellobium sp dan Tetramerista glabra dimana kerapatan untuk masingmasing spesies ini adalah 2 individu/ha. Dari potensi tegakannya, dapat dikatakan bahwa areal bekas tebangan di hutan gambut Merang telah mengalami gangguan yang berat terutama untuk jenis-jenis komersil yang berdiameter besar. Hasil analisis vegetasi menunjukkan INP tertinggi pada tingkat pohon adalah Polyalthia sumatrana (makai) sebesar 49,98%, yang diikuti oleh jenis Prunus arborea (25,73%) dan Dacryodes rostrata (24,55%). Sedangkan untuk tingkat tiang dan pancang jenis dengan INP tertinggi adalah Dacryodes rostrata (uyah-uyah) dengan masing-masing nilai INP 52,25% dan 35,36%. INP diperoleh dari penjumlahan Kerapatan Relatif, Dominansi Relatif dan Frekuensi Relatif. Pada Tabel 12 disajikan 3 jenis pohon dengan INP tertinggi pada tingkat pancang, tiang, dan pohon. Untuk INP tiap jenis pohon pada masing-masing tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 12 Indeks Nilai Penting pohon pada setiap tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan
Jenis dengan INP tertinggi
Pohon
Polyalthia sumatrana
49,98
Prunus arborea
25,73
Dacryodes rostrata
24,55
Dacryodes rostrata
52,25
Crytocarya crassinervia
47,00
Shorea uliginosa
31,12
Dacryodes rostrata
35,36
Dyera lowii
20,49
Artocarpus teysmanni
19,97
Tiang
Pancang
INP (%)
5. 1. 2 Sifat Fisik 5. 1. 2. 1 Kadar Air Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa terdapat variasi kadar air baik berdasarkan kelas diameter maupun berdasarkan bagian anatomi pohon. Bagian anatomi pohon yang paling tinggi kadar airnya untuk setiap kelas diameter adalah ranting yang berkisar antara 37,10 % - 63,58%. Kadar air untuk daun dan cabang berturut-turut adalah 23,30% - 49,55% dan 29,12% - 42,30%. Kadar air terendah terdapat di bagian batang dengan kisaran 6,65% - 8,35%. Tabel 13 Variasi kadar air pohon contoh pada setiap kelas diameter Kelas Dbh (cm)
Kadar air (%) Batang
Cabang
Ranting
Daun
5‐10
8,13
29,12
57,39
35,47
10‐20
6,73
39,88
49,86
36,83
20-30
8,35
38,40
52,59
47,99
30-40
6,65
40,79
53,92
42,85
40-50
8,62
39,86
47,24
41,23
50-60
7,70
39,16
37,10
49,55
60-70
7,70
42,30
63,58
23,30
5. 1. 2. 2 Berat Jenis Berat jenis dapat digunakan sebagai variabel bebas untuk menduga biomassa suatu tegakan. Hal ini sudah dianjurkan dalam berbagai penelitian terdahulu guna memperoleh model yang lebih akurat (Ketterings 2001; Istomo 2002). Dari hasil analisis laboratorium, nilai sebaran berat jenis pohon contoh yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 22.
99 M ean S tDev N AD P -Valu e
95 90
0.5918 0.1908 30 0.350 0.451
80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6 BJ
0.7
0.8
0.9
1.0
Gambar 22 Sebaran data berat jenis pohon yang ditebang
Tabel 14 Hasil pengujian berat jenis pohon yang ditebang Jenis pohon
Dbh (cm)
Tinggi (m)
Rata-rata ρ
Syzygium sp. (2)
5,3
10,6
0,82
Syzygium sp. (1)
7,5
13,5
0,54
Dyera lowii
7,5
7,9
0,32
Shorea uliginosa
8,3
10,2
0,35
Syzygium bankense
8,7
12,5
1,00
Horsfieldia sp.
8,8
8,4
0,46
Dacryodes cf.rostrata
9,0
9,3
0,60
Syzygium sp. (1)
9,4
12,0
0,90
Dyera lowii
9,9
14,3
0,33
Shorea uliginosa
10,2
10,5
0,46
Lithocarpus sundaicus
10,5
11,7
0,67
Shorea dasyphylla
11,5
9,8
0,37
Dacryodes rostrata
12,8
11,4
0,58
Elaeocarpus griffithii
13,6
6,6
0,53
Shorea uliginosa
14,0
14,5
0,58
Crytocarya crassinervia
14,5
15,4
0,50
Gonystylus bancanus
16,0
14,3
0,49
Crytocarya crassinervia
16,2
14,0
0,38
Litsea noronhae
21,0
16,5
0,55
Polyalthia sumatrana
21,5
18,3
0,48
Macaranga maingayi
24,9
17,0
0,30
Mezzetia parviflora Becc.
27,0
21,2
0,67
Dacryodes rostrata
28,0
22,0
0,76
Jenis pohon
Dbh (cm)
Rata-rata ρ
Tinggi (m)
Mezzetia parviflora Becc.
31,0
19,5
0,67
Polyalthia sumatrana
36,0
29,7
0,68
Dacryodes rostrata
39,8
26,9
0,63
Polyalthia sumatrana
46,8
26,1
0,69
Palaquium ridleyi King
51,4
29,3
0,94
Tetramerista glabra
64,0
31,2
0,91
Berat jenis rata-rata untuk 30 pohon yang ditebang adalah 0,59 gcc-1. Tiga jenis pohon yang memiliki berat jenis terbesar adalah Syzygium bankense, Palaquium ridleyi dan Tetramerista glabra. Dyera lowii dan Shorea uliginosa adalah jenis pohon yang memiliki berat jenis paling kecil.
Berat
jenis
pohon
contoh berkisar dari 0,30 - 0,94 gcc-1. Pada Gambar 23, jika menggunakan regresi linear sederhana dapat dilihat bahwa hubungan antara diameter dan berat jenis memiliki korelasi sangat rendah/lemah sekali. Hal ini dapat dilihat dari nilai R2 yang sangat kecil (< 0,20) dan sebaran data yang tidak teratur pada peningkatan nilai diameter. Dalam koefisien korelasi persamaan ini diketahui bahwa tidak ada korelasi antara berat jenis dengan Dbh suatu pohon.
1.0
BJ = 0.477 + 0.00562 Dbh
0.9
Berat Jenis
0.8
S = 0.174847 R2 = 18.9%
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0
10
20
30 40 Diameter
50
60
Gambar 23 Hubungan antara berat jenis dan diameter
70
5. 1. 2. 3 Kadar Zat Terbang, Kadar Abu dan Karbon Terikat Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa sebagian besar dari biomassa pohon adalah kadar zat terbang dengan kisaran rata-rata 72,23% 85,37% yang diikuti oleh kadar karbon terikat rata-rata antara 14,12% - 23,22%. Hasil analisis kadar abu menunjukkan persentase paling kecil untuk setiap anatomi pohon yakni berkisar 0,51% - 4,55%. Variasi hasil kadar zat terbang (KZT), kadar abu (K. Abu) dan kadar karbon terikat (KKT) untuk setiap kelas diameter dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 15 menyajikan nilai kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat pada setiap anatomi pohon.
Tabel 15 Variasi kadar zat terbang, kadar abu dan kadar karbon terikat pohon contoh pada setiap anatomi pohon Bagian Pohon
Kadar Zat Terbang
Kadar abu
Kadar karbon terikat
(%)
(%)
(%)
Batang
85,37
0,15
14,12
Cabang
80,44
1,38
18,18
Ranting
74,45
2,80
22,75
Daun
72,23
4,55
23,22
5. 1. 3 Biomassa di Atas Tanah 5. 1. 3. 1 Biomassa Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa Total kandungan biomassa tumbuhan bawah dan serasah di hutan bekas tebangan Merang adalah 10,19 ton/ha. Berdasarkan Tabel 16 biomassa terbesar terdapat pada serasah daun yaitu 5 ton/ha (49,05%), kemudian diikuti oleh tumbuhan bawah berkayu sebesar 20,79%, ranting 10,18%, tumbuhan bawah tidak berkayu 8,40%, serasah cabang 7,57 % dan yang paling rendah adalah nekromassa sebesar 4,01%. Serasah memiliki kontribusi lebih besar terhadap sumbangan biomassa di lantai hutan dibandingkan dengan tumbuhan bawah dengan perbandingan mendekati 7:3.
Tabel 16 Biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa No
Kategori
Biomassa (ton/ha)
Persentase (%)
1
Tumbuhan bawah berkayu
2 ,12
20,79
2
Tumbuhan bawah tidak berkayu
0,86
8,40
3
Nekromassa
0,41
4,01
4
Serasah cabang
0,77
7,57
5
Serasah ranting
1,04
10,18
6
Serasah daun
5,00
49,05
Total
10,19
100
5. 1. 3. 2 Biomassa Pohon Berdasarkan kandungan biomassa pada setiap bagian pohon yang ditebang (Tabel 16), persamaan alometrik dapat dibangun, dimana biomassa sebagai variabel terikat dan diameter, tinggi dan berat jenis sebagai variabel bebas. Model penduga biomassa dapat berdasarkan kandungan biomassa pada tiap bagian anatomi pohon (batang, cabang, ranting, daun non fotosintesis dan total). Biomassa total adalah biomassa yang dikandung seluruh bagian pohon yang diobservasi. Biomassa non fotosintesis adalah biomassa pada bagian pohon yang tidak melakukan fotosintesis termasuk di dalamnya batang, ranting dan cabang. Gambar 24 menjelaskan hubungan antara diameter dan biomassa tiap bagian anatomi pohon linear yang membentuk persamaan logaritma linear.
Tabel 17 Rekapitulasi biomassa pada tiap bagian pohon terpilih Dbh
Biomassa (kg) tiap bagian pohon
(cm)
Tinggi (m)
5,3
10,6
14,93
2,02
1,76
18,70
7,5
13,5
21,86
1,56
1,54
24,96
7,5
7,9
15,18
2,56
0,70
18,43
8,3
10,2
22,90
3,51
3,78
30,19
8,7
12,5
33,37
3,29
6,30
3,44
46,40
8,8
8,4
17,45
0,89
0,64
18,98
9,0
9,3
38,58
7,59
12,20
5,79
64,15
9,4
12,0
72,25
10,90
15,32
5,03
103,50
Batang*
Cabang
Ranting
Daun
Total
9,9
14,3
41,11
3,76
5,32
50,20
10,2
10,5
79,37
4,61
7,27
3,41
94,66
10,5
11,7
55,78
2,00
10,44
13,14
81,36
11,5
9,8
53,02
2,11
0,68
55,81
12,8
11,4
75,80
3,22
1,62
0,66
81,30
13,6
6,6
80,45
16,90
23,83
16,64
137,83
Dbh
Biomassa (kg) tiap bagian pohon
Tinggi (m)
(cm)
Batang*
Cabang
Ranting
Daun
Total
14,5
15,4
88,87
10,38
12,07
24,24
135,55
16,0
14,3
131,78
31,96
32,07
35,67
231,48
16,2
14,0
69,65
13,17
22,32
18,20
123,34
21,0
16,5
173,31
46,79
18,63
7,66
246,39
21,5
18,3
365,46
8,62
18,24
14,99
407,31
24,9
17,0
238,59
49,97
31,32
32,11
351,99
27,0
21,2
583,15
28,92
69,23
41,54
722,83
28,0
22,0
821,86
21,73
45,32
18,98
907,89
29,5
22,8
873,94
85,96
24,32
34,79
1019,01
31,0
19,5
930,59
43,54
71,80
36,61
1082,53
36,0
29,7
1441,82
227,12
77,89
47,99
1794,81
39,8
26,9
1601,56
104,50
77,95
34,41
1818,42
46,8
26,1
1920,53
497,40
129,92
80,29
2628,14
51,4
29,3
1916,65
847,14
134,79
100,70
2999,28
64,0
31,2
3569,35
1101,06
87,60
14,60
4772,61
*Biomassa batang merupakan hasil rekapitulasi dari biomassa fraksi batang (tiap batang dapat mencapai 2-7 fraksi). Dapat dilihat pada lampiran 4
9 7 6
7
ln Biomassa cabang
ln Biomassa Batang
8
6 5 4
5 4 3 2 1
3
0
2 2.0
2.5
3.0 ln Dbh
3.5
4.0
2.0
4.5
2.5
3.0 ln Dbh
a. Batang
4.0
b. Cabang
6
5
5
4
4
ln Biomassa Daun
Ln Biomassa Ranting
3.5
3
2
3
2
1
1 0
0 2.0
2.5
3.0 ln Dbh
c. Ranting
3.5
4.0
4.5
2.0
2.5
3.0 ln Dbh
3.5
d. Daun
4.0
4.5
9
9 8
7
7 ln Biomassa Total
ln Biomassa Non Fotosintesis
8
6 5 4
6 5 4
3
3
2
2
2.0
2.5
3.0 ln Dbh
3.5
4.0
4.5
2.0
2.5
e. Non Fotosintesis
3.0 ln Dbh
3.5
4.0
4.5
f. Total
Gambar 24 Bentuk hubungan antara biomassa tiap bagian pohon dengan Dbh
Model pendugaan biomassa pada penelitiian ini dibuat dengan 6 jenis persamaan yang berbeda dengan menggunakan regresi linear dan regresi polynomial. Pendugaan biomassa menggunakan berbagai bentuk model disajikan pada Tabel 18. Berikut persamaan allometrik yang digunakan dalam pemodelan : W1 = aDb W2 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ ln (D)]2+ d [ln (D)]3} W3 = a(D2H)b W4 = exp{a + b[ln(D2H)] + c[ln(D2H)]2} W5 = aDb ρc W6 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 +β3 [ln (ρ)]} 7000
Variable W actual W1 W2 W3 W4 W5 W6
6000
Biomassa total
5000 4000 3000 2000 1000 0 0
10
20 30 40 50 diameter at breast height (cm)
60
70
Gambar 25 Karakteristik masing-masing model penduga biomassa
Tabel 18 Rekapitulasi model pendugaan biomassa Bagian Batang
Cabang
Ranting
Daun
Non Fotosintesis
Total
Persamaan alometrik 2,44672
W1 = 0,158976 D 2 3 W2 = exp{ 6,03 - 5,95[ln(D)] + 2,88[ln(D)] - 0,32[ln(D)] } 2 0,950 W3 =0,05636 (D H) 2 2 2 W4 = exp{- 2,99 + 0,977[(ln D H)] - 0,0016[ln(D H] } 2,34527 0,6105 W5 = 0,30026 D ρ 2 3 W6 = exp{4,086 - 3,804[ln(D)] + 2,309[ln(D)] - 0,2781[ln(D)] + 0,6657 [ln(ρ)]} 2,6927 W1 = 0,00862D 2 3 W2 = exp{- 0,49 + 1,5[ln(D)] - 0,649[ln(D)] + 0,1782 [ln(D)] } 2 1,007 W3 = 0,0039(D H) 2 2 2 W4 = exp{8,73 - 2,26[ln(D H)] + 0,181[ln(D H] } 2,6417 0,512 W5 = 0,0129D ρ 2 3 W6 = exp{7,09 - 5,65 [ln(D)] + 1,442 [ln(D)] - 0,017 [ln(D)] - 0,459 [ln(ρ)]} 1,9158 W1 = 0,066973 D 2 3 W2 = exp{ 3,3 - 5,38[ln(D)] + 2,827[ln(D)] - 0,3487 [ln(D)] } 2 0,738 W3 = 0,03140 (D H) 2 2 2 W4 = exp{- 6,90 + 1,56[ln(D H)] - 0,0476[ln(D H] } 1,8137 0,6144 W5 = 0,12701 D ρ 2 3 W6 = exp{0,725– 2,54 [ln(D)] +2,067 [ln(D)] – 0,2938 [ln(D)] + 0,8808[ln(ρ)]} 1,7589 W1 = 0,066742 D 2 3 W2 = exp{10,59 - 14,68[ln(D)] + 6,452[ln(D)] -0,8044 [ln(D)] } 2 0,686 W3 = 0,0308 (D H) 2 2 2 W4 = exp{- 12,5 + 2,85[ln(D H)] - 0,125 [ln(D H] } 1,7237 0,2122 W5 = 0,08325 D ρ 2 3 W6 = exp{8,81 – 12,71 [ln(D)] +5,928 [ln(D)] – 0,7664 [ln(D)] + 0,6083 [ln(ρ)]} 2,48365 W1 = 0,175749 D 2 3 W2 = exp{3,794 - 3,357[ln(D)] + 1,983[ln(D)] -0,2174 [ln(D)] } 2 0,962 W3 = 0,0627 (D H) 2 2 2 W4 = exp{- 2,82 + 0,974[ln(D H)] - 0,0007[ln(D H] } 2,37415 0,6589 W5 = 0,34913 D ρ 2 3 W6 = exp{1,643 – 0,985 [ln(D)] +1,349 [ln(D)] – 0,1716 [ln(D)] + 0,7352 [ln(ρ)]} 2,4511 W1= 0,206284 D 2 3 W2 = exp{3,465 - 2,948 [ln(D)] + 1,861[ln(D)] -0,207 [ln(D)] } 2 0,949 W3=0,0746 (D H) 2 2 2 W4= exp{- 3,06 + 1,06[ln(D H)] - 0,0064[ln(D H] } 2,34637 0,6302 W5= 0,39772 D ρ 2 3 W6=exp{1,351-0,618 [ln(D)] +1,238 [ln(D)] - 0,162 [ln(D)] + 07224[ln(ρ)]}
2
R (%) 95,7 96,1 96,3 96,3 97,1 97,5 83,8 87,5 81,6 86,4 84,5 87,8 76,8 77,5 75,8 76,5 78,6 80,8 60,9 66,5 61,8 66,4 61,1 67,9 96,2 96,4 96,2 96,2 97,7 97,9 96,1 96,2 96,1 96,1 97,5 97,8
MSPE 0,14 0,11 0,11 0,11 0,09 0,08 0,90 0,55 0,99 0,56 0,88 0,51 1,55 1,42 1,28 1,23 1,48 1,50 5,33 3,74 4,32 4,17 5,28 4,09 0,13 0,12 0,10 0,26 0,08 0,06 0,13 0,13 0,10 0,10 0,09 0,08
CVd 1,80 1,69 1,63 1,64 1,51 1,69 5,31 5,19 5,34 5,21 5,23 5,20 2,88 2,96 2,68 2,91 3,07 3,63 2,69 3,31 2,71 3,61 2,75 3,80 1,92 1,93 1,31 1,30 2,25 2,17 2,13 2,11 1,44 1,40 2,48 2,40
Dari Tabel 18, dapat dinyatakan bahwa korelasi yang tinggi pada regresi linear dengan satu peubah (model W = aDb) pada hutan gambut bekas tebangan di Merang terdapat pada biomassa non fotosintesis, biomassa total, batang dan cabang yakni berturut-turut 96,2%, 96,1%, 95,7%,dan 83,8%, Nilai R2 bervariasi, berkisar antara 60,9% - 96,2%, dimana R2 terendah terdapat pada daun. Ranting memiliki R2 yang cukup tinggi yakni 76,8%. Pada persamaan W 2 polynomial ordo tiga (kubik) dengan menggunakan variabel Dbh, nilai R2 cenderung meningkat jika dibandingkan dengan menggunakan model W 1 = aDb, yaitu pada kisaran 66,5% - 96,4%. R2 yang tinggi terdapat pada biomassa non fotosintesis, total dan batang yaitu 96,4%, 96,2% dan 96,1%. Seperti halnya pada model W1, R2 terendah terdapat pada daun sebesar 66,5%. Pada model W 3 Dengan memasukkan variabel tinggi total, variasi nilai R2 menjadi 61,8% - 96,3%. R2 tertinggi terdapat pada batang (96,3%) dan yang paling rendah terdapat pada daun (61,8%). Meskipun ditambah satu variabel bebas lain (tinggi total), tidak memberi pengaruh yang berarti terhadap perubahan nilai R2. Model untuk non fotosintesis dan biomassa total, seperti pada dua model sebelumnya menunjukkan R2 yang tinggi yaitu 96,2% dan 96,1%. Pada model W 4 (polynomial D2H kuadratik), diperoleh hasil yang tak berbeda jauh dengan model W 3. R2 tertinggi terdapat pada batang (96,3%) dan yang paling rendah terdapat pada daun (66,4%). Kisaran nilai R2 pada model ini adalah 66,4% - 96,3%. Dengan menambahkan faktor berat jenis, ternyata tidak membawa pengaruh yang berarti untuk peningkatan nilai R2 yang berkisar antara 61,1%97,7%. R2 tertinggi terdapat pada biomassa non fotosintesis sebesar 97,7% dan terendah terdapat pada daun (61,1%). Jika pendugaan biomassa dibangun dari persamaan polynomial diameter dan berat jenis, nilai R2 untuk semua bagian memiliki kisaran 67,9% - 97,9%, R2 tertinggi terdapat pada biomassa fotosintesis dan yang paling rendah terdapat pada daun. Nilai R2 untuk batang, cabang, ranting berturut-turut 97,5%, 87,8% dan 80,8%. Ketiga bagian anatomi pohon tersebut menunjukkan hubungan keterkaitan yang sangat erat antara biomassa dan dengan diameter dan berat jenis.
Dengan memperhatikan keenam model diatas (R2 tinggi, MSPE kecil, CV kecil) dan kepraktisan dan keefisiensian pengaplikasiannya dapat dilihat bahwa model persamaan pendugaan biomassa pohon dengan menggunakan satu peubah diameter saja sudah terandalkan dibandingkan dengan menggunakan dua peubah penduga atau tiga peubah penduga (diameter, tinggi bebas cabang dan berat jenis). Berdasarkan hal tersebut, model W1 = aDb dipilih. Perhitungan biomassa/hektar (ton/ha) dengan model satu peubah bebas dengan model terpilih disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Kandungan biomassa pohon di atas tanah Biomassa/ha
Biomassa (ton/ha)*
Persentase (%)
Batang
220,10
79,47
Cabang
25,86
9,34
Ranting
18,94
6,84
Daun
12,05
4,35
Total
276,95
100
Berdasarkan hasil perhitungan biomassa dengan model W 1 diperoleh hasil bahwa biomassa terbesar terdapat pada batang yakni 79,47% (210,10 ton/ha). Cabang, ranting dan daun mengandung biomassa ± 20% dari total biomassa. Biomassa terendah terdapat pada daun yaitu 12,05 ton/ha atau 4,35%. Total biomassa pohon pada hutan bekas tebangan daerah Merang adalah 276,95 ton/ha.
Tabel 20 Biomassa pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan Pancang
Biomassa (ton/ha)
Persentase (%)
31,15
11,25
Tiang
124,04
44,79
Pohon
121,76
43,96
Total
276,95
100
Berdasarkan Tabel 20, biomassa tertinggi terdapat pada tiang (44,79%), yang nilainya tidak berbeda jauh dengan biomassa yang dikandung pohon sebesar 43,96%. Pancang memiliki kandungan biomassa terendah, karena meskipun memiliki kerapatan tinggi, ukuran diameter untuk tingkat pertumbuhan ini adalah yang paling kecil dibandingkan dengan tiang atau pohon.
5. 1. 4 Karbon Terikat di Atas Tanah 5. 1. 4. 1 Karbon Terikat Tumbuhan Bawah, Serasah dan Nekromassa Total potensi kandungan karbon tumbuhan bawah dan serasah adalah 2,28 ton/ha. Sama halnya dengan kandungan biomassa, kandungan karbon tertinggi terdapat pada serasah daun sebesar 1,19 ton/ha (52,32%). Selanjutnya, kandungan karbon dari yang paling tinggi ke yang rendah berturut-turut adalah tumbuhan bawah berkayu 0,43 ton/ha (19,03%), serasah ranting 0,24 ton/ha (10,43%), tumbuhan bawah tidak berkayu 0,18 ton/ha (7,71%), serasah cabang 0,14 ton/ha (6,35%) dan rata-rata karbon paling rendah adalah nekromassa sebesar 94,67 ton/ha (4,16%).
Tabel 21 Potensi karbon tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa No
Kategori
Karbon (ton/ha)
Persentase (%)
1
Tumbuhan bawah berkayu
0,43
19,03
2
Tumbuhan bawah tidak berkayu
0,17
7,71
3
Nekromassa
0,09
4,16
4
Serasah cabang
0,14
6,35
5
Serasah ranting
0,24
10,43
6
Serasah daun
1,19
52,32
Total
2,28
100
5. 1. 4. 2 Karbon Terikat Pohon Seperti halnya hubungan antara biomassa dengan diameter, tinggi dan berat jenis, model yang sama digunakan untuk menduga kandungan karbon pada hutan gambut bekas tebangan di Merang Musi Banyuasin. Dengan demikian kandungan karbon juga mengikuti fungsi logaritma untuk semua variabel bebas. Model penduga hubungan kandungan karbon dengan diameter, tinggi dan berat jenis disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22 Rekapitulasi model pendugaan karbon terikat Bagian pohon Batang
Cabang
Ranting
Daun
Non Fotosintesis
Total
Persamaan 2,4971
C1 = 0,01863D 2 3 C 2 = exp{4,24 - 6,19[Ln(D)] + 2,95[Ln(D)] - 0,324[Ln(D)] } 2 0,968 C 3 = 0,0066D H 2 2 2 C4 = exp{- 4,46 + 0,832[ln(D H)] + 0,0078[ln(D H)] } 2,382 0,692 C5 = 0,0383 D ρ 2 3 C6 = exp{2,06 - 3,79[Ln(D)] + 2,31 [ln(D)] - 0,277[ln(D)] + 0,744[ln(ρ)]} 2,7704 C1= 0,0012D 2 3 C2 = exp{- 0,1 - 0,9[Ln(D)] + 0,23[Ln(D)] + 0,078[Ln(D)] } 2 1,039 C3 = 0,0005D H 2 2 2 C4 = exp{5,59 - 1,97 [ln(D H)] + 0,167[ln(D H)] } 2,708 0,629 C5= 0,002D ρ 2 3 C6 =exp{2,7 - 3,6 [Ln(D)] + 1,00 [ln(D)] + 0,006 [ln(D)] - 0,170[ln(ρ)]} 1,9448 C1= 0,0139D 2 3 C2 = exp{1,3 - 4,9[Ln(D)] + 2,64[Ln(D)] - 0,325[Ln(D)] } 2 0,745 C3 = 0,0067D H 2 2 2 C4 = exp{- 8,05 + 1,47[ln(D H)] - 0,0421[ln(D H)] } 1,83 0,693 C5 = 0,0287D ρ 2 3 C6 = exp{- 1,50 - 1,7 [Ln(D)] + 1,80 [ln(D)] - 0,265 [ln(D)] + 0,967[ln(ρ)]} 1,7835 C1 = 0,0143D 2 3 C2= exp{12,5 - 18,3[Ln(D)] + 7,67[Ln(D)] - 0,936[Ln(D)] } 2 0,699 C3 = 0,0063 D H 2 2 2 C4 = exp{- 13,7 + 2,77[ln(D H)] - 0,119[ln(D H)] } 1,75 0,204 C5 = 0,0177D ρ 2 3 C6= exp{10,9 - 16,5 [Ln(D)] + 7,20 [ln(D)] - 0,902 [ln(D)] + 0,546[ln(ρ)]} 2,5244 C1= 0,0233D 2 3 C2 = exp{1,28 - 2,77[Ln(D)] + 1,79[Ln(D)] - 0,196[Ln(D)] } 2 0,974 C3 = 0,0084 D H 2 2 2 C4 = exp{ - 4,51 + 0,909[ln(D H)] + 0,0038[ln(D H)] } 2,4 0,745 C5 = 0,0506D ρ 2 3 C6 = exp{ - 1,19 - 0,06 [Ln(D)] + 1,07 [ln(D)] - 0,143 [ln(D)] + 0,842[ln(ρ)]} 2,472 C1 = 0,03D 2 3 C2 = exp{1,26 - 2,65[Ln(D)] + 1,77[Ln(D)] - 0,198[Ln(D)] } 2 0,9548 C3 = 0,011D H 2 2 2 C4 = exp{- 4,88 + 1,04[ln(D H)] - 0,0051[ln(D H)] } 2,358 0,684 C5 = 0,0612D ρ 2 3 C6 = exp{- 1,07 - 0,08 [Ln(D)] + 1,09 [ln(D)] - 0,148 [ln(D)] + 0,795 [ln(ρ)]}
R2 (%) 93,5 94,0 93,8 93,8 95,2 95,5 85,2 88,3 83,3 87,3 86,1 88,3 75,8 76,6 74,2 74,8 78,0 80,1 59,5 65,3 61,0 65,0 59,7 66,3 95,0 95,2 94,4 94,4 96,9 97,1 95,1 95,2 94,7 94,7 96,7 97,1
MPSE 0,28 0,23 0,49 0,27 0,19 0,18 0,82 0,75 0,83 0,60 0,82 0,46 1,66 1,20 1,37 1,25 1,57 1,94 7,29 4,84 5,71 7,13 7,21 6,46 0,18 0,16 0,30 0,20 0,11 0,11 0,17 0,16 0,16 0,15 0,12 0,12
CV 2,47 2,28 2,38 2,31 1,90 2,08 5,13 5,19 5,33 5,15 5,22 5,13 2,93 2,90 2,71 2,82 3,07 3,55 3,24 3,72 3,23 4,05 3,13 4,16 1,82 1,78 2,21 2,28 2,00 1,95 2,07 2,02 1,81 1,77 2,34 2,25
Sebagaimana pada hubungan antara biomassa dengan diameter, tinggi dan berat jenis, model penduga yang digunakan untuk menjelaskan hubungan karbon dengan variabel bebas adalah : C1 = aDb C2 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ ln (D)]2+ d [ln (D)]3} C3 = a(D2H)b C4 = exp{a + b[ln(D2H)] + c[ln(D2H)]2} C5 = aDb ρc C6 = exp{a+ b [ln (D)]+ c [ln (D)]2+ d [ln (D)]3 +β3 [ln (ρ)]} Seperti pada pemilihan biomassa, model yang dipilih adalah model yang memiliki koefisien determinasi yang tinggi (R2), mean square predicted error (MSPE) dan coefficient variation (CV) yang rendah. Selain parameter statistika, keefisienan dan kepraktisan model juga turut menjadi faktor penentu pemilihan. Berdasarkan hal tersebut, maka model terpilih adalah model C1. Model C1 hanya menggunakan satu peubah variabel bebas saja (Dbh) dan memiliki kisaran R2 antara 65,3 - 95,2%.
Tabel 23 Potensi karbon terikat pohon di atas tanah Bagian Pohon
Karbon terikat (ton/ha)
Persentase (%)
Batang
30,16
72,11
Cabang
4,62
11,04
Ranting
4,28
10,22
Daun
2,77
6,62
Total
41,82
100
Hasil perhitungan karbon dengan menggunakan persamaan terpilih yaitu C = f (D) menunjukkan bahwa total karbon terikat pohon di tegakan hutan bekas tebangan Merang adalah 41,82 ton/ha. Distribusi kandungan karbon pohon beserta bagiannya dapat dikatakan hampir serupa dengan distribusi biomassa, dimana batang memiliki kandungan karbon terikat sebesar 30,16 ton/ha atau 72,11% dari karbon terikat pohon total. Kandungan karbon terendah terdapat pada bagian daun yakni 6,62% atau 2,77 ton/ha. Untuk melihat distribusi karbon pada tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada tabel 24.
Tabel 24 Potensi karbon terikat pohon berdasarkan tingkat pertumbuhan Tingkat pertumbuhan
Karbon terikat (ton/ha)
Persentase (%)
4,64
11,11
Tiang
18,54
44,33
Pohon
18,64
44,57
Total
41,82
100
Pancang
Berdasarkan Tabel 24, karbon terikat pada areal bekas tebangan Merang banyak disumbangkan oleh tiang dan pohon. Selain diameter, jumlah individu/ha adalah faktor yang mempengaruhi karbon terikat pada suatu tegakan hutan. Seperti pada biomassa, pancang merupakan tingkat pertumbuhan pohon yang paling rendah menyumbangkan karbon terikat pada areal ini.
Tabel 25 Koefisien korelasi antara variabel potensi karbon pada tiap anatomi Karbon
Batang
Batang
-
Cabang
Ranting
0,91
0,78
0,50
0,99
-
0,76
0,50
0,95
-
0,86
0,82
-
0,55
Cabang Ranting Daun
Daun
Total
Total
-
Koefisien korelasi antara karbon terikat batang, karbon terikat cabang, karbon terikat ranting, karbon terikat daun dan karbon terikat total disajikan pada Tabel 25. Dari analisis hubungan tersebut diperoleh hasil bahwa karbon terikat pada batang berkorelasi erat dengan karbon terikat pada cabang, ranting dan total. Hal ini berarti besarnya kandungan karbon terikat batang dapat mempengaruhi kandungan karbon cabang, ranting dan total. Nilai kandungan karbon cabang berkorelasi erat dengan batang, ranting dan total. Kandungan karbon terikat ranting berpengaruh terhadap kandungan karbon terikat batang, cabang, daun dan total. Sedangkan kandungan karbon terikat pada daun hanya berkorelasi erat dengan ranting. 5. 1. 5 Model Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa Potensi
kandungan
karbon
dapat
dipresentasikan
oleh
biomassanya,
Berdasarkan data biomassa dan karbon diketahui bahwa hubungan antara keduanya adalah linear positif, dimana kandungan karbon meningkat secara linear seiring dengan meningkatnya biomassa. Model hubungan ini dibuat dengan menggunakan model penduga C = aWb pada
bagian pohon. Bentuk model ini dipilih karena
kesamaan bentuk dengan dua jenis pemodelan yang dilakukan yakni model antara hubungan biomassa dengan pohon
(W = aDb) dan antara karbon dengan
diameter (C = aDb). Persamaan yang menggambarkan hubungan antara karbon dengan biomassa pada setiap bagian pohon di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 26.
Tabel 26 Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa Bagian Pohon
R2
Persamaan C = 0,119W
1,026
98,7%
C = 0,167W
1,016
99,1%
C = 0,215W
1,018
99,3%
C = 0,219W
1,020
99,0%
Non Fotosintesis
C = 0,135W
1,019
99,3%
Total
C = 0,146W
1,011
99,5%
Batang Cabang Ranting Daun
Dari model hubungan antara biomassa dan karbon menunjukkan tingkat keeratan yang sangat tinggi yang berkisar 98,7% - 99,5%. Hasil ini menguatkan teori bahwa C =f (W). Besarnya kandungan karbon dipengaruhi oleh kandungan biomassa, dimana semakin besar biomassa maka potensi karbon akan semakin besar. Berdasarkan Tabel 27, Dacryodes rostrata merupakan jenis dengan kontribusi biomassa tertinggi dibandingkan dengan jenis lain yakni 35,55 ton/ha atau 12,84%. Jenis tertinggi lainnya adalah Polyalthia sumatrana dan Crytocarya crassinervia yang masing-masingnya berkontribusi sebesar 26,08 ton/ha (9,42%) dan 25,72 ton/ha (9,29%). Karena tingginya keeratan antara karbon dan biomassa dapat dikatakan bahwa jenis yang sama ditunjukkan untuk kontribusi karbon terikat, dimana Dacryodes rostrata, Polyalthia sumatrana, Crytocarya crassinervia merupakan jenis yang memiliki kontribusi karbon terikat tertinggi diantara jenis lainnya. Syzygium sp (2) merupakan jenis yang paling rendah berkontribusi terhadap kandungan biomassa ataupun karbon terikat total.
Tabel 27 Kontribusi tiap jenis terhadap biomassa dan karbon terikat total Jenis
Biomassa ton/ha
Gluta renghas Polyalthia sumatrana (Miq.) Kurz
Karbon
%ase
ton/ha
%ase
2,31
0,83
0,34
0,82
26,08
9,42
4,00
9,56
Mezzetia parviflora Becc.
6,00
2,17
0,91
2,17
Xylopia altissima
3,71
1,34
0,55
1,32
Dyera lowii
4,40
1,59
0,66
1,57
Dacryodes rostrata H.J. Lam
35,55
12,84
5,34
12,77
Koompassia malaccensis
16,50
5,96
2,56
6,12
Shorea uliginosa
11,61
4,19
1,73
4,14
4,13
1,49
0,62
1,47
Elaeocarpus griffithii A. Gray
6,15
2,22
0,92
2,20
Macaranga maingayi
2,06
0,74
0,31
0,74
Antidesma montanum Blume
3,81
1,38
0,57
1,36
Aporosa arborea
7,09
2,56
1,09
2,60
Lithocarpus sundaicus
5,40
1,95
0,81
1,93
Crytocarya crassinervia
25,72
9,29
3,84
9,19
Litsea noronhae
14,21
5,13
2,13
5,09
Litsea firma
5,95
2,15
0,90
2,15
Dehaasia caesia
4,57
1,65
0,68
1,63
Litsea sp.
7,32
2,64
1,09
2,61
Litsea calophyllantha
1,88
0,68
0,28
0,68
Cryptocarya griffithiana
4,94
1,78
0,74
1,76
Shorea dasyphylla
Alseodaphne insignis Gamble
13,70
4,95
2,05
4,91
Artocarpus teysmanni
2,69
0,97
0,40
0,96
Horsfieldia sp.
2,19
0,79
0,33
0,78
Syzygium sp. (1)
4,06
1,47
0,61
1,45
Syzygium sp. (2)
0,67
0,24
0,10
0,24
Syzygium bankense Merr. &L.M Perry
6,14
2,22
0,92
2,20
Melaleuca sp
5,02
1,81
0,77
1,83
10,71
3,87
1,63
3,90
Palaquium burkii
5,62
2,03
0,86
2,05
Palaquium ridleyi King
6,09
2,20
0,94
2,25
Tetramerista glabra
10,40
3,76
1,62
3,87
Gonystylus bancanus
10,27
3,71
1,53
3,67
276,95
100
41,82
100
Prunus arborea
Total
Tabel 28 Persentase kandungan karbon terikat pada setiap bagian pohon per kelas diameter Kelas
Batang
Diameter(cm)
Cabang
Ranting
Daun
Total
Kandungan Biomassa (ton/ha)
5 -10
23,49
2,15
3,21
2,30
3,12
10-20
97,50
10,30
9,82
6,42
124,04
20-30
20,78
2,51
1,56
0,94
25,79
30-40
29,51
3,88
1,84
1,04
36,27
40-50
21,81
3,03
1,21
0,66
26,70
50-60
10,60
1,52
0,54
0,29
12,96
60-70
16,40
2,46
0,77
0,40
20,03
Kandungan Karbon Terikat (ton/ha) 5-10
3,06
0,35
0,71
0,52
4,64
10-20
13,10
1,78
2,20
1,47
18,54
20-30
2,87
0,45
0,36
0,22
3,89
30-40
3,40
0,58
0,35
0,20
4,54
40-50
3,84
0,70
0,35
0,20
5,09
50-60
1,52
0,29
0,13
0,69
2,00
60-70
2,37
0,47
0,18
0,94
3,12
Persentase kandungan karbon dari biomassa pohon (%) 5-10
13,04
16,43
22,07
22,57
14,91
10-20
13,43
17,19
22,44
22,89
14,95
20-30
13,80
17,93
22,80
23,20
15,09
30-40
11,52
15,03
19,09
19,45
12,51
40-50
17,63
23,09
29,20
29,77
19,07
50-60
14,31
18,95
23,28
23,62
15,44
60-70
14,44
19,20
23,41
23,73
15,55
Rata-rata
14,03
18,26
23,18
23,60
15,36
Pada Tabel 28 dengan menggunakan model W1 dan C1 yang telah dibuat dengan memasukkan semua pohon yang dianalisis vegetasi pada plot contoh 0,49 Ha, dapat diketahui bahwa kandungan karbon terikat per biomassa pada tiap bagian setara dengan kandungan karbon terikat hasil uji laboratorium pada pohon contoh yang ditebang. Pada Tabel 15 disajikan kandungan karbon terikat rata-rata hasil uji laboratorium pada tiap bagian pohon adalah batang 14,12%, cabang 18,18%, ranting 22,75% dan daun 23,2%. Untuk pohon pada plot contoh kandungan karbon terikat rata-rata adalah batang 14,03%, cabang 18,26%, ranting 23,18% dan daun 23,60%.
Tabel 29 Nilai hasil dugaan biomassa total dan potensi karbon terikat total Biomassa
Kategori ton/ha Vegetasi
Karbon Terikat
Persentase
ton/ha
Persentase
276,95
96,45
41,82
94,85
Tumbuhan bawah
2,97
1,04
0,61
1,38
Serasah
7,21
2,51
1,66
3,78
287,13
100
44,09
100
Total
Hasil penelitian menunjukkan bahwa total biomassa di tegakan hutan bekas tebangan adalah 287,13 ton/ha dengan kandungan karbon 44,09 ton/ha atau setara dengan 161,81 ton CO2. Secara keseluruhan pada penelitian ini biomassa mengandung 15,78% karbon terikat dari total tegakan. 5. 2. Pembahasan 5. 2. 1 Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiang mendominasi hutan bekas tebangan baik dilihat dari luas bidang dasar, jumlah individu/ha atau INP, Dacryodes rostrata merupakan spesies yang mendominasi pada setiap tingkat pertumbuhan. Selain jenis ini, Polyalthia sumatrana dan Crytocarya crassinervia merupakan jenis dominan lainnya pada hutan gambut bekas tebangan di Merang. Artinya, jenis-jenis ini merupakan jenis yang mampu menyesuaikan diri dengan faktor-faktor lingkungan kawasan gambut. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan pohon pada hutan bekas tebangan adalah faktor pemadatan tanah. Elias et al. (2001) menyatakan akibat pemanenan akan meningkatkan pemadatan tanah sehingga menurunkan kesuburan dan kualitas tanah. Setiap individu mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungan dan mempunyai kondisi lingkungan tertentu untuk dapat tumbuh optimal sehingga penyebaran dan kelimpahan akan berbeda untuk setiap jenis. Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi di dalam lingkungan yang ditempati. INP merupakan suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan komunitasnya. Jika dilihat dari komposisi jenisnya, hutan didominasi suku Lauraceae, namun secara umum hutan ini adalah hutan heterogen yang didominasi oleh tiang. Indrawan (2002) menjelaskan bahwa sistem penebangan menghasilkan tegakan hutan bekas tebangan dengan komposisi dan struktur hutan bekas tebangan tertentu bentuknya dan tidak seragam pada areal HPH, tergantung dari struktur dan komposisi hutan sebelum ditebang.
Kerapatan tegakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa. Tingginya kerapatan pada tingkat tiang dan pancang pada hutan gambut tentunya memberikan kontribusi besar terhadap potensi karbon yang berhubungan erat dengan besarnya biomassa suatu pohon. Selanjutnya Tresnawan dan Rosalina (2002) menjelaskan bahwa variasi biomassa sangat dipengaruhi oleh jarak antar individu atau kerapatan individu.
5. 2. 2 Sifat Fisik Berdasarkan analisis laboratorium diperoleh informasi tentang kadar air, kadar abu, kadar zat terbang dan kadar karbon terikat. Kadar air merupakan berat air yang dinyatakan dalam persen air terhadap berat kayu dan berat kering tanur (Haygreen dan Bowyer 1993). Kadar air pada masing-masing bagian pohon akan berpengaruh langsung terhadap biomassa selain berat basah yang ditimbang di lapangan. Kadar air tertinggi terdapat pada ranting kemudian daun dan cabang dan terendah terdapat pada batang (Tabel 13). Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Onrizal (2005) dan Hilmi (2003) yang menunjukkan bahwa kadar air terendah terdapat pada batang. Hal ini disebabkan karena batang lebih banyak disusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif sehingga rongga sel batang sedikit terisi oleh air. Kadar karbon terikat memiliki hubungan negatif dengan kadar abu dan kadar zat terbang. Artinya, semakin tinggi kadar karbon terikat dalam kayu, maka semakin rendah kadar abu dan kadar zat terbang. Kadar abu adalah kadar oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang tinggi yang terdiri dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium dan magnesium. Sedangkan kadar zat terbang menunjukkan kandungan zat-zat volatil pada pemanasan tinggi yang terdiri dari senyawa alifatik, terfana dan fenolik. Kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada daun, dan kadar karbon terikat terendah terdapat pada batang. Hasil ini mendukung beberapa penelitian terdahulu (Tabel 30). Daun memiliki kadar zat terbang terendah dan kadar abu tertinggi. Hal ini disebabkan karena daun tersusun atas klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H70O6N4Mg) dengan berat molekul tinggi sehingga meningkatkan kadar abu pada proses karbonisasi (Hilmi 2003). Berbeda dengan daun, batang yang memiliki kadar zat terbang tertinggi namun memiliki kadar abu terendah sehingga menghasilkan kadar karbon terikat yang rendah.
Tabel 30 Hasil penelitian karbon terikat terdahulu di berbagai tipe hutan No
Tipe Hutan/jenis pohon
1
Hutan kerangas TNDS
2
3
% Karbon Terikat
Batang
18,6
Cabang
19,6
Ranting
22,0
Daun
23,8
Kisaran Pustaka Dbh (cm) 2- 60 Onrizal (2005)
Hutan Mangrove Riau Batang
33,14 - 55,12
Cabang
21,54 - 25,90
Ranting
19,30 - 21,89
Daun Tegakan Acacia crassicarpa
22,19 - 23,88
10 - 40
Hilmi (2003)
15 - 23
Limbong (2009)
2 - 30
Salim (2005)
2 - 30
Hakim (2010)
7- 20
Ismail (2005)
(lahan gambut bekas terbakar)
4
5
6
Batang
16,02 - 17,16
Cabang
17,83 - 18,25
Ranting
18,05 - 20,55
Daun Tegakan Schima wallichii
22,53 - 24,40
Batang
14,88 - 28,34
Cabang
16,70 - 26,04
Ranting
19,02 - 27,55
Daun
17,98 - 25,25
Hutan bekas terbakar di Merang Batang
15,98
Cabang
18,69
Ranting
21,86
Daun HTI Acacia mangium
23,34
(bekas terbakar) Batang
14,12 - 17,09
Cabang
14, 69 - 26, 95
Daun
22,19 - 24,58
Berat jenis merupakan variabel bebas yang digunakan untuk pembutan model biomassa dan karbon selain diameter dan tinggi. Berat jenis adalah perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada suhu 4°C (Haygreen dan Bowyer 1993). Hilmi (2003) menyatakan faktor yang mempengaruhi berat jenis adalah kadar air, struktur kayu, lebar lingkaran tumbuh, proporsi kayu akhir, zat ekstraktif dan komposisi kimia. Tidak ada keterkaitan atau korelasi yang nyata antara diameter dengan berat jenis pada hasil penelitian ini. Jika dilihat dari pohon-pohon berdiameter
> 50 cm, jenis yang tersisa umumnya adalah jenis pohon dengan berat jenis besar. Dibuktikan dengan hasil laboratorium untuk Palaquium ridleyi King, dari 5 titik pengambilan sampel untuk berat jenis diperoleh nilai sebesar 1,05; 1,05; 0,91; 0,91 dan 0,79. Begitu juga untuk Tetramerista glabra hasil pengujian berat jenis pada 6 titik pengambilan sampel adalah 0,99; 1,08; 0,94; 0,81; 0,80 dan 0,84. Para illegal logger kurang berminat untuk jenis kayu yang tenggelam, hal ini berkaitan dengan cara eksploitasi kayu hasil tebangan dari dalam hutan yang biasa menggunakan sarana transportasi sungai. Selain itu, kayu-kayu ini mempunyai nilai jual yang rendah di pasaran. 5. 2. 3 Kandungan Biomassa Biomassa
tumbuhan
bawah,
serasah
dan
nekromassa
memberikan
sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Hal ini disebabkan karena ukuran tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa jauh lebih kecil dibandingkan dengan pohon. Hutchings (1986) menyatakan bahwa ukuran individu pohon sangat mempengaruhi jumlah biomassa pohon tersebut. Jumlah biomassa tumbuhan bawah, serasah dan nekromassa disajikan pada Tabel 16. Serasah yang paling banyak ditemukan adalah serasah daun. Adanya variasi produksi serasah dipengaruhi oleh faktor kompetisi cahaya dan kerapatan tajuk (Tresnawan dan Rosalina 2002). Adanya gap yang disebabkan oleh penebangan akan mempercepat laju dekomposisi serasah karena terjadi peningkatan suhu tanah akibat masuknya cahaya matahari ke lantai hutan yang merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat perombakan bahan organik menjadi CO2. Selain serasah, tumbuhan bawah berkayu juga mengandung karbon terikat yang cukup besar yaitu 20,79% pada lantai hutan. Cukup besarnya kandungan biomassa pada tumbuhan bawah berkayu dipengaruhi oleh gap/celah yang terbentuk akibat penebangan yang mengakibatkan masuknya cahaya ke lantai hutan. Meskipun cahaya bisa masuk ke masuk ke lantai hutan, namun persentase biomassa tumbuhan bawah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan pernyataan Tresnawan dan Rosalina (2002) yang menyatakan bahwa tumbuhan bawah memberikan kontribusi hanya 22% dari total biomassa di atas tanah. Adanya gap tidak serta merta mempercepat laju pertumbuhan tumbuhan bawah, karena tumbuhan bawah masih akan berkompetisi dengan pohon-pohon yang tertekan atau kodominan sebelum terjadinya gap. Dalam pertumbuhannya, tumbuhan bawah
sangat
memerlukan
sinar
matahari
untuk
berfotosintesis dan
untuk
perkecambahan. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi permudaan dan
perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan rawa gambut (Hartshourn 1978; Whitmore 1989). Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan temperatur dan meningkatnya kelembaban (Hartshourn 1978; Whitmore
1989).
Gap
juga
dapat
meningkatkan
kandungan
hara
dengan
membusuknya tanaman yang mati serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah (Whitmore 1989). Kusmana et al. (1992) menyatakan bahwa variasi biomassa juga dipengaruhi karena perbedaan faktor iklim seperti curah hujan dan suhu. Hal ini disebabkan karena suhu dan cahaya merupakan faktor lingkungan yang berdampak bagi proses biologi tumbuhan dan pengambilan karbon oleh tanaman melalui proses fotosintesis dan penggunaan karbon dalam aktivitas dekomposer. Model pendugaan biomassa mensimulasikan penyerapan karbon melalui fotosintesis dan pelepasan karbon melalui respirasi. Pada penelitian ini, nilai biomassa tiap bagian anatomi pohon ditransformasi ke dalam bentuk logaritma natural karena selang antara nilai maksimum dan nilai minimum biomassa sangat besar sedangkan kenaikan untuk diameter, tinggi ataupun berat jenis sangat kecil. Berat kering menjadi dasar utama dalam menentukan biomassa pada penelitian ini. Biomassa pada pohon paling besar terdapat pada batang dan yang paling kecil terdapat pada daun. Alasan utamanya berkaitan dengan berat basah batang yang diukur di lapangan. Batang umumnya memiliki zat penyusun kayu yang lebih banyak dibandingkan bagian pohon lainnya. Zat penyusun kayu lebih banyak mengisi rongga sel batang dibandingkan air sehingga bobot biomassa akan menjadi lebih besar. Selain itu, kandungan biomassa pada batang berhubungan dengan distribusi asimilat. Secara umum setengah dari total hasil fotosintat yang dihasilkan akan diekspor dari daun melalui floem. Di dalam pohon terdapat persaingan antar sink/penampungan hasil fotosintesis (batang, cabang, ranting, dan daun). Dengan ukuran batang yang lebih besar dibandingkan dengan organ lainnya (ditentukan berdasarkan total berat kering) akan mempengaruhi kekuatan sink dalam menyerap hasil fotosintat selanjutnya, Sedangkan daun tersusun dari banyak rongga stomata yang menyebabkan struktur menjadi kurang padat sehingga memiliki bobot yang ringan. Total biomassa pohon pada hutan gambut bekas tebangan adalah 269,09 ton/ha. Jika dibandingkan dengan penelitian pada hutan gambut alami di Kalimantan Tengah mengandung 600 ton/ha dengan kandungan karbon 340 ton/ha, biomassa hutan gambut yang sudah terdegradasi 45% dari hutan gambut alami (jika pengaruh
faktor-faktor penentu biomassa lain diabaikan dan kondisi dianggap sama). Sebagai perbandingan, hutan bekas tebangan di Jambi kehilangan 46% dari biomassa total (159 ton/ha) (Ludang dan Jaya 2007), hutan bekas tebangan tahun 2000 di Dusun Aro Jambi adalah 348,14 ton/ha dan hutan bekas tebangan tahun 1998 adalah 312,37 ha/ton (Tresnawan dan Rosalina 2002). Whitten et al. (1984) menyatakan kegiatan pemanenan menyebabkan pengurangan biomassa dalam jumlah yang sangat besar yaitu ± 100 ton/ha di hutan dataran rendah. Hal ini menunjukkan bahwa biomassa yang hilang dari hutan akan semakin meningkat dengan adanya penebangan. 5. 2. 4 Karbon Terikat Berdasarkan persamaan alometrik yang terpilih digunakan untuk menduga kandungan karbon di atas permukaan pada hutan bekas tebangan di Merang. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi karbon tertinggi terdapat pada batang (72,11% dari karbon total) sejalan dengan persentase biomassa pada pohon. Hal ini disebabkan karena potensi biomassa dapat mempengaruhi besarnya potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa yang pada akhirnya mempengaruhi kandungan karbon terikat pada pohon. Hilmi (2003) menyatakan bahwa kayu secara umum tersusun oleh selulosa, hemiselulosa, lignin dan bahan ekstraktif yang sebagian besar disusun dari unsur karbon. Selanjutnya Tsoumis (1991) menyatakan bahwa adanya variasi horizontal mengakibatkan adanya kecendrungan variasi dari kerapatan dan komponen kimia kayu. Rata-rata kandungan karbon per biomassa (Tabel 26), tertinggi terdapat pada daun, hal ini disebabkan karena daun merupakan sumber (source) sekaligus organ penampungan (sink). Miftahudin et al. (2008) menyatakan bahwa hasil fotosintesis pada daun dialokasikan dalam tiga kemungkinan yaitu untuk metabolisme sendiri, disimpan sementara dan diekspor dari daun. Daun menyimpan sebagian hasil fotosintesis dalam bentuk pati untuk sintesis dan menambah biomassanya sendiri, menjaga struktur sel, dan mempertahankan sistem fotosintesis itu sendiri. Karena pada saat fotosintesis ada kemungkinan kerusakan perangkat dan protein yang terlibat dalam fotosintesis, sehingga untuk memenuhi itu semua daun memerlukan gula (yang mengandung C) untuk proses respirasi yang menghasilkan CO2 dan energi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tingginya kadar karbon terikat pada daun dipengaruhi oleh rendahnya kadar zat terbang meskipun kadar abu daun tertinggi daripada organ lainnya.
Selain itu, hal ini terkait dengan jenis yang mendominasi pada areal yang memiliki gap yang terbentuk akibat penebangan hutan dan menyebabkan kompetisi antara tumbuhan bawah (semai) dan pohon tertekan. Permudaan dalam gap adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara populasi dan komunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik gap berupa ukuran dan kepadatan celah gap sangat besar pengaruhnya
terhadap
keberhasilan
permudaan.
Ukuran
gap
juga
dapat
mempengaruhi jenis mana yang mengkolonisasi suatu gap (Hartshourn 1978). Keadaan menyangkut gap kanopi berperan menciptakan suatu mekanisme suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan. Dacryodes rostrata yang menjadi spesies dominan pada hutan gambut ini memiliki ciri-ciri tumbuhan ini memiliki daun yang banyak, dengan bentuk daun agak tebal dan licin. Berdasarkan Tabel 29, pohon memberikan kontribusi 94,85% terhadap karbon total di atas permukaan tanah, sedangkan tumbuhan bawah, nekromassa dan serasah hanya memberikan kontribusi 3,55%. Hasil penelitian (Limbong 2009) pada hutan gambut bekas terbakar tegakan Acacia crassicarpa karbon pada pohon mengandung 92,7 - 97,6% dari total cadangan karbon atas permukaan tanah. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Yulyana (2005) yang melaporkan bahwa dari cadangan karbon di atas tanah 63,6 - 94,5% nya berasal dari pohon. Nilai yang ditunjukkan karbon terikat (44,09 ton/ha) menunjukkan kemampuan tumbuhan sebagai sink CO2 dari atmosfir setelah melalui proses fotosintesis dan respirasi. Tumbuhan merupakan satu-satunya organisme yang dapat mengikat gas CO2 di udara secara enzimatik oleh akseptor berkarbon 5 (RuBp/Ribulosa-1,5-Bifosfat) dalam proses karboksilasi pada siklus Calvin di saat fotosintesis. Selanjutnya pada respirasi, hasil fotosintesis akan dioksidasi melalui tahapan glikolisis, lintasan pentosa dan fosfat oksidatif. Dari hasil perbandingan karbon dengan pendugaan model dengan hasil analisis laboratorium dapat dikatakan bahwa model yang dibuat telah terandalkan. Hasil ini tidak sesuai dengan apa yang dikemukan oleh Brown (1997) yang menyatakan bahwa setengah dari biomassa adalah karbon. Begitu juga dengan teori yang dikemukan oleh Mudiyarso dimana 45% biomassa adalah karbon. Kandungan karbon rata-rata pada hutan bekas tebangan Merang Musi Banyuasin berkisar dari 14,03% - 23,60%.
5. 2. 5 Model Penduga Hubungan Karbon Terikat dengan Biomassa Potensi biomassa dapat menunjukkan besarnya potensi karbon terikat pada suatu pohon. Berdasarkan kandungan biomassa dan kandungan karbon pada setiap bagian pohon dengan menggunakan diameter sebagai variabel bebasnya terlihat bahwa hubungan antara biomassa dan karbon adalah linear positif. Hal ini berarti, jika kandungan biomassa meningkat akan diikuti dengan peningkatan karbon terikat. Eratnya hubungan antara biomassa dengan karbon terikat tiap bagian pohon ditunjukkan nilai R2 yang tinggi (berkisar 98,7 - 99,5%). Dengan demikian kandungan karbon terikat pada setiap pohon dapat diduga dari biomassa pohon. Secara umum dari hasil penelitian diperoleh gambaran berikut : (i) biomassa tegakan sangat dipengaruhi oleh dimensi tegakan (diameter dan tinggi), (ii) potensi karbon sangat berkaitan erat dengan biomassa sehingga potensi karbon dapat diduga dari biomassa tegakan, (iii) kandungan biomassa dan potensi karbon terikat pada suatu pohon terbesar berada pada batang.
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6. 1 Kesimpulan 1. Untuk menduga kandungan biomassa dan potensi karbon terikat pada hutan gambut bekas tebangan di Merang dapat menggunakan model 2,4511
0,206284D
W =
2,472
dan C = 0,03D
.
2. Kandungan total biomassa di atas permukaan tanah pada hutan gambut bekas tebangan di Merang adalah 287,13 ton/ha, dimana 96,45% berasal dari vegetasi pohon. 3. Kandungan potensi karbon di atas permukaan tanah pada hutan gambut bekas tebangan di Merang adalah 44,09 ton/ha atau setara dengan 161,81 ton CO2. 4. Secara keseluruhan biomassa tegakan hutan bekas tebangan mengandung 15,78% karbon terikat.
6.2 Saran Untuk keperluan pendugaan biomassa dan potensi karbon di hutan bekas tebangan Merang, persamaan dengan hanya menggunakan diameter pohon ini cukup valid digunakan tanpa mengurangi tingkat akurasi hasil dugaan serta efisiensi dan kepraktisan.
DAFTAR PUSTAKA Agus F. 2009. Cadangan karbon. emisi gas rumah kaca dan konservasi lahan gambut. Prosiding Seminar Dies Natalis Universitas Brawidjaya ke 46. 31 Januari 2009. Malang. Agus F. IGM Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Efisiensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor : Balai Penelitian Tanah dan ICRAF. Anwar S, SJ Damanik, N Hisyam, dan AJ Witten. 1984. Ekologi Sumatera. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Ballhorn U. 2007. Peat Dome Mapping and Analysis. Compilation of the project peat data. South Sumatra Forest Fire Management Project. Basuki TM. PEV Laake. AK Skidmore. YA Hussin. 2009. Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests. J Forest Ecology and Management. 257:1684–1694. [BB Litbang SDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2008. Laporan tahunan 2008. Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada sektor pertanian. Bogor : Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. [BMG] Badan Meterologi dan Geofisika Kenten. 2009. Curah Hujan Bulanan Tahun 1999-2008 Kabupaten Musi Banyuasin. Sumatera Selatan. Brown S. 1997. Estimating biomass and biomass change of tropical forests : a primer. Rome : FAO Forestry Paper No 134. Brown. S. G. Gaston. 1996. Estimates of biomass density for tropical forests. Dalam : Levine JS (Ed). Biomass burning and global change. Cambgride: MIT Press. Campbell NA, Jane BR, Mitchell LG. 2002. Biology. 5th edition. Jakarta: Erlangga. Chambers JQ. D Santos.J Ribeiro. RJ Higuch. 2001. Tree damage. allometric relationship. and above-ground net primary production in central Amazon forest. J Forest Ecology and Management. 152: 73–84. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. Vaduz J. Cramer. Pp : 197 Chave J. Riera B. Dubois M. 2001. Estimation of biomass in a Neotropical Forest of French Guiana: spatial and temporal variability. J of Tropical Ecology .17: 79–96. Chave J. C Andalo. S Brown. MA Cairns. JQ Chambers. D Eamus . F lster. F Fromard. N. Higuchi. T. Kira. JP Lescure. B W Nelson. Ogawa. H Puig. B. Rie´ra. T Yamakura . 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. J Oecologia. 145: 87–99.
Elias. Applegate G. Kartawinata K. Klassen A. 2001. Reduce Impact Logging Guidelines For Indonesia. Bogor : CIFOR Gardner FP, Pearce dan Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya Herawati Susilo. penerjemah. Jakarta. UI-Press. Hairiah K. SM Sitompul. Meine VN dan Cheryl P. 2001. Carbon stocks of tropical land use systems as part of the global C balance: effects of forest conversion and options for ‘clean development’ activities. Bogor : ICRAF. Hairiah K. S. Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagai macam penggunaan lahan. Bogor : ICRAF. Hairiah K. 2007. Perubahan Iklim Global : Neraca Karbon di Ekosistem Daratan . Malang : Universitas Brawijaya. Hairiah K. D Mudiyarso. 2007. Alih Guna Lahan dan Neraca Karbon Terestrial. Bogor : ICRAF. Hardjowigeno. S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hartshorn GS. 1978. Tree Falls and Tropical Forest Dynamics. in: Tomlinson PB dan Zimmermann MH(Eds.). Tropical trees as living systems. New York: Cambridge University Press. Haygreen JG dan JL Bowyer. 1993. Forest Product and Wood Science, An Introduction. Ames: Iowa State University Press. Hilmi. E. 2003. Model penduga kandungan karbon pada kelompok jenis Rhizopora spp. dan Bruguiera spp. dalam tegakan hutan mangrove (Studi kasus di Indragiri Hilir. Riau). [Disertasi]. Bogor: Pascasarjana IPB. Hiratsuka M. Takeshi T. Nina M. Ika H. Yasushi M. 2005. Biomass of a man-made forest of timber tree species in the humid tropics of West Java. Indonesia. J The Japanese Forest Society and Springer. 10:487–491. Hiratsuka M., T. Toma, M. Yamada, I. Heriansyah, Y. Morikawa. 2003. A general allometrcnequation for estimating biomass in acacia mangium plantations. In: Proceedings. International Coference on Tropicsl Forest nd Climate Change, Manila, Philippines. Hutchings MJ. 1986. The Structure of Plant Population. London: Blackwell Scientific Publications. Huxley JS. 1993. Problems of relative growth. London: John Hopkins University Press. ICRAF [International Centre For Research in Agroforestry]. 2001. Methods for sampling carbon stocks above and below ground. Bogor: ICRAF.
Indrawan A. 2000. Perkembanan Suksesi Tegakan Hutan Alam setelah Penebangan dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB. [IPCC] Intergovermental Panel on Climate Change. 2000. Land Use. Land-Use Change and Forestry. A Special Report of the IPCC. UK : Cambridge University Press. ______ . 2007. Climate Change and Water. USA: Cambridge University Press. Ismail AY. 2005. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Potensi Kandungan Karbon pada Tanaman Acacia mangium Willd di Hutan Tanaman Industri. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Istomo. 2002. Kandungan Fosfor dan Kalsium serta Penyebarannya pada Tanah dan Tumbuhan Rawa Gambut: Studi Kasus di Wilayah Bagian KPH Bagan Siapi Api Kabupaten Rokan Hilir. Riau. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. [JICA] Japan International Cooperation Agency dan [FORDA] Forestry Research and Development Agency. 2005. Manual of Biomass Survey and Analysis. Johnsen. K. L. Samuel. R. Teskey. S. McNulty and T. Fox. 2001. Process as model tools in forest research and management. J Science. 49 (1): 2-8. Ketterings. Q. M. Richard C. Meine V. N. Yakub A. Cheryl A. P. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting aboveground biomass in mixed secondary forests. J Forest Ecology and Management 146:199-209. Kinderman J, Indehe MKB, Badech FW, Otto RD, Klandies A, Hager CH, Wurt G, Lang T, Donges S, Habemehil S, Kohlmaier H. 1993. Sructure of a Global and Seasonal Carbon Exchange Model for the Terresrtial Biosphere. J. Water, aire and Soil Pollution. 70:675-684. Kiyono Y. Min ZO. Yasuo. Oosumi dan Ismail R. 2007. Tree Biomass of Planted Forests in the Tropical Dry Climatic Zone: Values in the Tropical Dry Climatic Zones of the Union of Myanmar and the Eastern Part of Sumba Island in the Republic of Indonesia. J JARQ 41. 41: 315 – 323. Komiyama A. JE Ong . S Poungparm. 2008. Allometry, biomass and productivity of mangrove forests: A review. J Aquatic Botany. 89:128–137. Kusmana C, S Sabiham, K Abe dan H Watanabe. 1992. An estimation of Above Ground Trees Biomass of an Mangrove Forest in East Sumatera Indonesia. J Tropic 4:243-257. Kyrklund. B. 1990. The Potential of Forests and Forest Industry in Reducing Excess Atmospheric Carbon Dioxide. Unasylva J FAO 163. Vol 41. Limbong HDH. 2009. Potensi Karbon Tegakan Acacia crassicarpa pada Lahan Gambut Bekas Terbakar. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Ludang Y dan H P Jaya. 2007. Biomass and Carbon Content in Tropical Forest of Central Kalimantan. J of Applied Sciences in Enviromental Sanitation 1 : 7-12. Miftahudin. Diah R. Hamim. Triadiati. 2008. Fisiologi Tumbuhan Dasar. Bogor : Fakultas Matematika dan IPA Institut Pertanian Bogor. Morikawa Y. 2001. Biomass measurement in planted forests in and around Benakat. Fiscal report of assessment on the potentiality of reforestation and afforestation activities in mitigating the climate change 2001. Tokyo: JIFPRO. Mott C. 2006. Peat Dome Mapping and Analysis. Refinement of 3D modelling. South Sumatra Forest Fire Management Project. [MRPP] Merang REDD Pilot Project. 2009. Peta Kawasan HTI Merang Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang : MRPP. ______. 2009. Peta Kawasan HTI Merang Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang : MRPP ______. 2009. Peta Deskripsi Hidrologi Merang Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang : MRPP. ______. 2009. Peta Ex HPH KPHP Lalan. Palembang : MRPP Murdiyarso D, U Rosalina, K Hairiah, L Muslihat. I N N Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan: Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change. Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. [NASA] National Aeronatics and Space Administration. 1998. Global Warming. NASA Facts. 222. USA : Maryland
J
Niklas KJ. 1994. Plant allometry: the scaling of form and process. Chicago : University of Chicago Press . Onrizal. 2004. Model Pendugaan Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangas di Taman Nasional Danau SEntarum. Kalimantan Barat [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Parish F. A Sirin. D Charman. H Joosten. T Minayeva. M Silvius dan L. Stringer. 2007. Assessment on Peatlands. Biodiversity and Climate Change: Main Report. Global Environment Centre. Wageningen: Kuala Lumpur dan Wetlands International. Peace. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. Pearson T. Sarah W dan Sandra B. 2008. Sourcebook for Land Use. Land Use Change and Forestry Projects. Polak B. 1975. Character and accurance of peat deposite in the Malasyian Tropics. In. G.J. Barstra and W.A. Casparie (eds). Modern Quantemary Vesearch in Sout East Asia. Balkema. Rotterdam.
[Puslitbangtanak] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001. Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian skala 1:1 000 000. Bogor : Puslitbangtanak. Samalca IK. 2007. Estimation of Forest Biomass and Its Error a Case in Kalimantan Indonesia. [thesis]. The Netherlands : International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation. Enschede. Salim. 2005. Profil Potensi Karbon pada Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth.) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Santoso H dan C Forner. 2007. Climate change projections for Indonesia. Bogor : CIFOR. Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Solichin. 2009. Merang Peat Dome Forest. Palembang : MRPP Soil Survey Staff. 2003. Key to Soil taxonomy. 9th Edition. United States: Department of Agriculture. Natural Resources Conservation Service. SSFFMP [South Sumatera Forest Fire Management Projects]. 2005. Survey Peat Dome Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang: SSFFMP. ______2005. Survey Karakteristik Gambut Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin. Palembang: SSFFMP. ______2006. Peta Sebaran Gambut Sumatera Selatan. Palembang: SSFFMP Tresnawan H, U Rosalina. 2002. Pendugaan Biomassa di Atas Tanah di Ekosistem Hutan Primer dan Hutan Bekas Tebangan (Studi Kasus Hutan Dusun Aro, Jambi. J Manajemen Hutan Tropika Vol 8 : 15-29. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood. New York : Van Nostrand Reinhold [Walhi]. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. www.walhi.or.id. [8 Desember 2009]
2009.
Gambut
Berkurang.
Weiberg S. 1985. Applied Linear Regression 2nd edition. USA : John Wiley & Sons, Inc. White, LP, & LG Plaskett. 1981. Biomass and fuel. A Subsidiary of Harcourt Brace Jovanovick Publisher. London. Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford University Press. ________. 1989. Canopy Gaps and the Two Major Groups of Forest Trees. J Ecology Vol 70: 536-538M. Whitten AJ, Anwar dan Hisyam. 1984. The Ecological of Sumatra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Yulyana R. 2005. Potensi Kandungan Karbon pada Pertanaman Karet (Hevea brasiliensis) yang disadap (Studi Kasus di Perkebunan Inti Rakyat Kecamatan Podndok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor Institut Pertanian Bogor.
.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar jenis yang dijumpai dalam plot 0,49 Ha Nama
Nama
Anacardiaceae
Suku
Gluta renghas
Rengas
Annonaceae
Polyalthia sumatrana (Miq.) Kurz
Makai
Mezzetia parviflora Becc.
Gadis nanti
Xylopia altissima Boerl
Jangkang
Apocynaceae
Dyera lowii Hook. F
jelutung rawang
Burseaceae
Dacryodes rostrata H.J. Lam
uyah-uyah
Caesalpiniaceae
Koompassia malaccensis Maing. ex Benth.
Mangris/Kempas
Dipterocarpaceae
Shorea uliginosa
Meranti telungkum
Shorea dasyphylla
Meranti payau
Elaeocarpacea
Elaeocarpus griffithii A. Gray
Nyamuk
Euphorbiaceae
Macaranga maingayi
Mahang
Antidesma montanum Blume
Cemetik Rawa
Aporosa arborea
Rambai ayam
Fagaceae
Lithocarpus sundaicus
Kayu gasing
Lauraceae
Crytocarya crassinervia Miq
Medang putih
Litsea noronhae
Medang telor
Litsea firma (Blume) Hook. F
Medang liut
Dehaasia caesia
Medang batu
Litsea sp.
Medang sulung
Litsea calophyllantha
Medang
Cryptocarya griffithiana
Medang pelam
Alseodaphne insignis Gamble
Kelat
Moraceae
Artocarpus teysmanni
Cempedak air
Myristicaceae
Horsfieldia sp.
Dara-dara
Myrtaceae
Syzygium sp. (1)
Kelat udang
Syzygium sp. (2)
Kelat dengon
Syzygium bankense Merr. &L.M Perry
Petai belalang
Melaleuca sp
gelam
Rosaceae
Prunus arborea
Beringin
Sapotaceae
Palaquium burkii
Ketiau
Palaquium ridleyi King
Balam seminai
Theaceae
Tetramerista glabra Miq.
Punak
Thymelaeaceae
Gonystylus bancanus
Ramin
Lampiran 2 Hasil Analisis Vegetasi pada Hutan Bekas Tebangan di Merang Tingkat Pohon
Tiang
No
Nama
Dbh
LBDS
K
KR(%)
F
FR(%)
D
DR(%)
INP(%)
1
Polyalthia sumatrana
21,5
0,491
16
16,67
0,75
12,5
1,96
20,81
49,98
2
Prunus arborea
33,5
0,214
8
8,33
0,50
8,33
0,85
9,06
25,73
3
Dacryodes rostrata
28,0
0,186
8
8,33
0,50
8,33
0,74
7,88
24,55
4
Mezzetia parviflora Becc.
27,0
0,133
8
8,33
0,25
4,17
0,53
5,62
18,12
5
Aporosa arborea
41,5
0,135
4
4,17
0,25
4,17
0,54
5,73
14,07
6
Tetramerista glabra
64,0
0,322
2
2,13
0,25
4,17
0,66
6,95
13,25
7
Palaquium burkii
37,7
0,112
4
4,17
0,25
4,17
0,45
4,73
13,06
8
Pithecellobium sp
62,0
0,302
2
2,13
0,25
4,17
0,62
6,53
12,82
9
Gelam miju
36,0
0,102
4
4,17
0,25
4,17
0,41
4,31
12,65
10
Koompassia malaccensis
54,0
0,229
2
2,13
0,25
4,17
0,47
4,95
11,24
11
Alseodaphne insignis
29,5
0,068
4
4,17
0,25
4,17
0,27
2,90
11,23
12
Litsea firma
28,5
0,064
4
4,17
0,25
4,17
0,26
2,70
11,04
13
Syzygium bankense
28,0
0,062
4
4,17
0,25
4,17
0,25
2,61
10,94
14
Palaquium ridleyi King
51,4
0,207
2
2,13
0,25
4,17
0,42
4,49
10,78
15
Lithocarpus sundaicus
25,0
0,049
4
4,17
0,25
4,17
0,20
2,08
10,41
16
Macaranga maingayi
24,9
0,049
4
4,17
0,25
4,17
0,19
2,06
10,40
17
Litsea calophyllantha
24,0
0,045
4
4,17
0,25
4,17
0,18
1,92
10,25
18
Antidesma montanum Blume
23,5
0,043
4
4,17
0,25
4,17
0,17
1,84
10,17
19
Litsea noronhae
21,0
0,035
4
4,17
0,25
4,17
0,14
1,47
9,80
20
Crytocarya crassinervia
20,2
0,032
4
4,17
0,25
4,17
0,13
1,36
9,69
1
Dacryodes rostrata
12,8
0,051
153
16,67
0,75
17,65
2,59
17,93
52,25
2
Crytocarya crassinervia
14,0
0,052
153
16,67
0,50
11,76
2,68
18,56
47,00
3
Shorea uliginosa
10,2
0,024
102
11,12
0,50
11,76
1,20
8,33
31,21
4
Alseodaphne insignis
19,0
0,028
51
5,56
0,25
5,88
1,45
10,02
21,46
5
Litsea noronhae
18,5
0,027
51
5,56
0,25
5,88
1,37
9,50
20,94
6
Gonystylus bancanus
16,0
0,02
51
5,56
0,25
5,88
1,03
7,11
18,55
Pancang
7
Elaeocarpus venenosus
13,6
0,015
51
5,56
0,25
5,88
0,74
5,13
16,57
8
Litsea sp.
13,5
0,014
51
5,56
0,25
5,88
0,73
5,06
16,50
9
Cryptocaria griffithiana
12,4
0,012
51
5,56
0,25
5,88
0,62
4,27
15,71
10
Dehaasia caesia
12,0
0,011
51
5,56
0,25
5,88
0,58
4,00
15,44
11
Shorea dasyphylla
11,5
0,01
51
5,56
0,25
5,88
0,53
3,67
15,11
12
Xylopia altissima
11,0
0,009
51
5,56
0,25
5,88
0,48
3,36
14,80
13
Lithocarpus sundaicus
10,5
0,009
51
5,56
0,25
5,88
0,44
3,06
14,50
1
Dacryodes rostrata
9,0
0,01
102
11,76
0,50
11,76
0,53
11,83
35,36
2
Dyera lowii
9,9
0,008
51
5,88
0,25
5,88
0,39
8,73
20,49
3
Artocarpus teysmanni
9,6
0,007
51
5,88
0,25
5,88
0,37
8,20
19,97
4
Alseodaphne insignis
9,4
0,007
51
5,88
0,25
5,88
0,35
7,87
19,63
5
Gluta renghas
9,0
0,006
51
5,88
0,25
5,88
0,32
7,21
18,98
6
Horsfieldia sp.
8,8
0,006
51
5,88
0,25
5,88
0,31
6,89
18,66
7
Syzygium bankense
8,7
0,006
51
5,88
0,25
5,88
0,30
6,74
18,50
8
Antidesma montanum Blume
8,5
0,006
51
5,88
0,25
5,88
0,29
6,43
18,20
9
Shorea uliginosa
8,3
0,005
51
5,88
0,25
5,88
0,28
6,13
17,90
10
Syzygium sp. (1)
7,5
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,23
5,01
16,77
11
Dyera costulata
7,5
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,23
5,01
16,77
12
Crytocarya crassinervia
7,2
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,21
4,61
16,38
13
Litsea sp.
7,0
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,20
4,36
16,13
14
Syzygium bankense
7,0
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,20
4,36
16,13
15
Gonystylus bancanus
6,8
0,004
51
5,88
0,25
5,88
0,19
4,12
15,88
16
Syzygium sp. (2)
5,3
0,002 3
51 1882
5,88 300
0,25 15
5,88 300
0,11 28
2,50 300
14,27 900
Total
Lampiran 3 Analisis vegetasi tumbuhan bawah berkayu Petak
Nama Lokal
I
Sijau
Nama Ilmiah
4
Kayu arang-arang
Diospyros sp.
2
Medang
Litsea spp.
9
Rengas Burung Kayu Siamang
1 Diospyros siamang
Kayu pait Beluluk
II
3
Sigam
4
Ribu-ribu
1
Darakro
Horsfieldia crassifolia Warb
2
Petai belalang
Syzygium bankense
1
Rambe ayam
Aporosa arborea
1
medang
Litsea spp.
4 3
Simpur
Dillenia exelsa
2
Sibululuk
Diospyros polyxanthera
1
Meranti
Shorea spp
1
Sijau
2
Kayu jambu
1
Pelangas kuning
2
Medang pelam
Cryptocaria griffithiana
Cunek
1 1
Uyah-uyah
Dacryodes rostrata
4
gelam tikus
Syzygium sp.(3)
2
Makai
Polyalthia sumatrana
1
Sitepung
Melicope glabra
1
Papait Dara-dara
1 Horsfieldia sp.
1
temeras
1
Pabung kijang
2
Temeras
IV
3 1
Diospyros polyxanthera
temeras
III
Jumlah
2
Makai
Polyalthia sumatrana
2
Punak
Tetramerista glabra
1
Medang
Litsea spp.
1
Medang
Litsea spp.
4
Kayu jambu Petai belalang Simpur
3 Syzygium bankense
3 2
Lampiran 4 Analisis vegetasi untuk tumbuhan bawah tidak berkayu Petak I
II
III
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Rotan
Calamus sp
3
Liana (1)
Liana (1)
1
Rotan
Calamus sp
2
Andong
Melastoma affine
11
Rotan
Calamus sp
2
Ritang
6
Liana (1)
Liana (1)
1
Bakung
Pandanus sp
4
Sirih hutan
Piper miniatum Bl.
1
Liana 2
Liana (2)
2
Bakung
Pandanus sp
1
Sirih hutan
Piper miniatum Bl.
1
Liana 3
Liana (3)
1
Andong
Melastoma affine
1
Ritang IV
Jumlah
1
Sirih hutan
Piper miniatum Bl.
3
Rotan
Calamus sp
1
Andong
Melastoma affine
8
Bakung
Pandanus sp
8
Lampiran 5 Kerapatan setiap jenis pohon (ind/ha) berdasarkan kelas diameter No
Nama jenis
5‐10
10‐20
1
Syzygium sp. (2)
51
2
Gonystylus bancanus
51
51
3
Litsea sp.
51
51
4
Syzygium bankense
51
5
Crytocarya crassinervia
51
6
Syzygium sp. (1)
51
7
Dyera costulata
51
8
Shorea uliginosa
51
9
Antidesma montanum
51
10
Horsfieldia sp.
51
11
Gluta renghas
51
12
Alseodaphne insignis
51
13
Artocarpus teysmanni
51
14
Dyera lowii
51
15
Dacryodes rostrata
102
16
Syzygium bankense
51
17
Lithocarpus sundaicus
51
18
Xylopia altissima
51
19
Shorea dasyphylla
51
20
Dehaasia caesia
51
21
Cryptocaria griffithiana
20-30
30-40
40-50
50-60
60-70
4 153
4
102 4
51
4
4
4
4
51 153
22
Dacryodes rostrata
23
Elaeocarpus venenosus
51
24
Litsea noronhae
51
25
Polyalthia sumatrana
26
Prunus arborea
27
Litsea calophyllantha
4
28
Macaranga maingayi
4
30
Mezzetia parviflora Becc.
4
32
Litsea firma
4
34
Gelam miju
4
35
Palaquium burkii
4
36
Aporosa arborea
37
Palaquium ridleyi King
2
38
Koompassia malaccensis
2
39
Pithecellobium sp
2
40
Tetramerista glabra
2
Jumlah
4 4
4
8
8
4
4
867
918
48
28
12
4
4
Lampiran 6 Hasil analisis kadar zat terbang (KZT), kadar abu (K. Abu), kadar karbon terikat (KKT) setiap anatomi pohon
Lampiran 7 Rekapitulasi hasil analisis tiap fraksi batang pada hutan bekas tebangan di Merang Jenis
Bagian
fraksi (cm)
BBT (kg)
DU1 (cm)
DU2 (cm)
Tebal Kulit (cm)
BJ
K.Air
Zat terbang
K.Abu
Fix C
Syzygium sp. (2)
B1
155
5.1
6.9
5.2
0.15
0.87
5.11
86.3
0.38
13.32
B2
370.5
7.7
5.2
3.2
0.79
5.33
87.01
0.36
12.63
B3
446
2.9
3.2
2.47
0.79
4.94
86.81
0.39
12.8
B1
50
3
10.7
9.3
0.53
5.41
84.88
0.19
14.93
B2
321.3
11.5
9.3
6.85
0.52
4.63
85.25
0.29
14.46
B3
488
7.1
6.85
4.25
0.48
5.27
86.92
0.29
12.79
B4
247
1.35
4.25
2
0.61
5.52
84
0.29
15.71
B1
140
4.7
10.4
8
0.33
6.76
86
0.54
13.46
B2
371
8
8
5.6
0.29
6.61
86.09
0.38
13.53
B3
273
3.5
5.6
4
0.35
6.96
80.01
0.76
19.23
B1
235
8.4
8.9
7.6
0.38
7.01
85.22
0.19
14.59
B2
190
5.4
7.6
7
0.36
30.44
84.86
0.19
14.95
B3
185
4.8
6
5
0.33
6.03
85.01
0.19
14.8
Syzygium sp. (1)
Dyera lowii
Shorea uliginosa
Syzygium bankense
Horsfieldia sp.
Dacryodes cf.rostrata
Syzygium sp. (1)
0.1
0.3
0.3
0.34
6.46
85.01
0.18
14.81
0.97
15.41
89.16
0.65
10.19
7.5
1.04
9.81
91.73
0.74
7.53
7.5
6
0.98
10.74
89.2
0.53
10.27
10.3
11.5
8.2
0.49
6.67
86.69
0.27
13.04
290
8.3
8.2
7.3
0.42
6.43
85.17
0.48
14.35
B1
330
19.5
9.7
8.8
0.64
6.83
85.46
0.78
13.76
B2
195
9.9
8.8
8.4
0.53
6.43
85.19
0.88
13.93
B3
249
11.8
8.4
7.5
0.63
7.03
85.82
0.57
13.61
B1
296
33
11.8
10
0.95
7.18
84.62
0.56
14.82
B2
304
25
10
9.5
0.91
7.45
84.5
0.88
14.62
B3
344
19.5
9.5
6.4
0.83
7.16
84.11
1.07
14.82
B4
381.3
6.8
5
3.35
B1
295
20.4
11
8
B2
215
10
8
B3
195
7.3
B1
185
B2
0.5
0.35
0.2
0.2
Jenis
Bagian
fraksi (cm)
Dyera lowii
B1 B2
Shorea uliginosa
Lithocarpus sundaicus
Shorea dasyphylla
Dacryodes rostrata
Elaeocarpus venenosus
Shorea uliginosa
BBT (kg)
DU1 (cm)
DU2 (cm)
Tebal Kulit (cm)
BJ
385
23
11.5
9.4
0.3
497
16.9
9.4
5.9
B3
387
5.4
5.9
3.3
B1
282
30
11.7
10
B2
422
36.5
10
B3
285
18
9.4
B1
50
5.3
12
12.7
B2
447
33.3
10.9
6.15
B3
785
22.3
6.15
4.4
B1
75
9.5
14.5
12.1
B2
282
17.5
12.1
B3
249
15
B4
293
B1
57
B2
263
B3
K.Air
Zat terbang
K.Abu
Fix C
0.4
9.97
91.99
0.88
7.13
0.3
10.74
92.08
0.71
7.21
0.29
9.44
90.7
0.63
8.67
0.47
6.92
84.51
0.19
15.3
9.4
0.45
6.64
83
0.19
16.81
7.7
0.47
5.36
84.75
0.57
14.68
0.83
6.71
85.14
0.55
14.31
0.67
11.65
85.36
0.18
14.46
0.51
6.26
84.47
0.37
15.16
0.3
6.33
84.61
0.27
15.12
10.5
0.34
5.31
86.17
0.18
13.65
10.5
9.55
0.38
5.56
85.02
0.49
14.49
14
9.55
8.3
0.44
5.6
85.52
0.19
14.29
9.5
20
15
0.44
6.97
75.57
1.17
23.26
28.5
15
12.2
0.57
7.23
81.99
0.93
17.08
219
21
12.2
10.5
0.67
7.45
90.95
1.09
7.96
B4
260
22.2
10.5
9.6
0.64
6.77
82.9
1.18
15.92
B1
132
17
25.1
13.9
0.54
6.65
86.64
0.48
12.88
B2
269
30
13.9
13.2
0.48
6.55
87.86
0.09
12.05
B3
213
23
13.2
11.8
0.53
7.18
86.03
0.28
13.69
B4
133
16
11.8
11.1
0.56
7.39
86.96
0.36
12.68
B1
56
9
16.4
14.7
0.57
5.43
85.35
0.48
14.17
B2
319
65.5
14.7
12.35
0.54
5.25
83.62
0.35
16.03
B3
310.2
32.5
12.35
11
0.67
5.5
83.98
0.47
15.55
B4
170
15
11
9.05
0.5
6.4
83.16
0.49
16.35
B5
303
15.5
9.05
6.85
0.62
5.96
81.48
0.48
18.04
0.3
0.3
0.5
0.7
0.2
0.7
Jenis
Bagian
fraksi (cm)
BBT (kg)
DU1 (cm)
DU2 (cm)
Tebal Kulit (cm)
BJ
K.Air
Zat terbang
K.Abu
Fix C
Crytocarya crassinervia
B1
125
16.5
16.8
14.8
0.4
0.74
6.31
84.51
0.38
15.11
B2
385
35.5
14.8
13.1
0.42
6.03
84.32
0.27
15.41
B3
349
24.5
13.1
10.3
0.49
6.9
86.31
0.29
13.4
B4
220
13
10.3
7.5
0.43
6.07
85.52
0.2
14.28
B5
180
5
7.5
4.8
0.43
6.44
84.31
0.28
15.41
B1
55
12.2
19.7
18.3
0.52
6.41
86.35
0.87
12.78
B2
130
22.6
18.3
14.9
0.37
5.7
84.46
0.57
14.97
B3
177.3
25.2
14.9
16.3
0.53
6.33
86.27
0.49
13.24
B4
195
22
16.3
13
0.51
6.14
84.9
0.56
14.54
B5
421
32.3
13
9.8
B1
250
34
18
15.5
B2
320
30
15.5
B3
303
12.1
B1
86
B2
242
B3
Gonystylus bancanus
Crytocarya crassinervia
Litsea noronhae
Polyalthia sumatrana
Macaranga maingayi
0.4
0.5
6.7
86.53
0.37
13.1
0.38
8.56
89.48
0.71
9.81
12.5
0.38
9.76
89.09
1.71
9.2
12.5
11.2
0.38
10.03
89.78
0.43
9.79
28.5
28.5
22.5
0.48
12.2
87.12
0.37
12.51
57.3
22.5
20.5
0.51
10.18
86.62
0.09
13.29
134
34
20.5
17.1
0.52
11.77
90.57
0.08
9.35
B4
183
36.5
17.1
16.3
0.58
9.8
90.41
0.28
9.31
B5
241
35.5
16.3
15.8
0.68
10.1
85.53
1.09
13.38
B1
62
33
58
28.1
0.48
6.79
85.37
0.85
13.78
B2
332
94
28.1
19.3
0.51
6.68
85.56
0.56
13.88
B3
838
186.5
19.3
17
0.58
7.13
84.49
0.19
15.32
B4
139
25.5
17
15.4
0.55
7.16
83.25
0.59
16.16
B5
346
52
15.4
13.2
0.53
7.09
81.88
0.82
17.3
B1
45
26.5
34
28
0.22
6.53
90
1.06
8.94
B2
415
95
28
22
0.39
7.07
83.16
1.41
15.43
B3
331
70.5
22
18.5
0.29
6.79
84.01
0.94
15.05
B4
461
63
18.5
11.9
0.28
6.83
83.38
0.77
15.85
0.4
0.5
0.6
0.4
Jenis
Bagian
fraksi (cm)
BBT (kg)
DU1 (cm)
DU2 (cm)
Tebal Kulit (cm)
BJ
K.Air
Zat terbang
K.Abu
Fix C
Mezzetia parviflora Becc.
B1
369
166
32.7
24.3
0.5
0.76
5.36
85.5
0.19
14.31
B2
500
194
24.3
21.6
0.7
6.85
84.84
0.19
14.97
B3
375
128
21.6
23.3
0.57
6.4
86.69
0.19
13.12
B4
819
131.65
23.3
22
0.65
6.4
85.5
0.49
14.01
B1
162.4
106.518
31
27
0.64
6.15
85.02
0.54
14.44
B2
584
322
27
24
0.8
6.05
85.11
0.29
14.6
B3
438
196
24
21
0.81
5.75
84.77
0.19
15.04
B4
595
246
21
16.6
0.8
5.79
84.24
0.19
15.57
B1
100
127
39
29
0.71
5.01
86.28
0.27
13.45
B2
1430
636
29
22
0.68
4.91
85.64
0.29
14.07
B3
147
73
22
17
0.55
5.86
83.11
0.47
16.42
B4
195
48
17
10
0.53
5.36
82.75
0.29
16.96
B5
180
45
10
6.3
-
39.53
81.93
0.58
17.49
B1
342
226.5
42.1
28
0.73
7.24
83.86
0.29
15.85
B2
1150
533
28
22.4
0.78
6.91
83.26
0.29
16.45
B3
322
119
22.4
24
0.61
6.84
83.3
0.37
16.33
B4
309
93
24
17
0.64
6.79
83.1
0.57
16.33
B5
142
24
17
15
B1
384
366
56
44
B2
600
444
44
B3
560
336
B4
365
B1
238.4
B2
Dacryodes rostrata
Alseodaphne insignis
Mezzetia parviflora Becc.
Polyalthia sumatrana
Dacryodes rostrata
0.7
0.6
0.7
0.6
7.34
82.7
0.35
16.95
0.63
7.09
84.77
0.27
14.96
30
0.64
6.95
85.19
0.09
14.72
30
27
0.72
7.22
85.61
0.18
14.21
398.5
27
28.5
0.71
7.26
85.96
0.18
13.86
301.5
44.8
38.8
0.53
6.3
80.44
1.5
18.06
700.8
660.5
38.8
32.1
0.67
5.96
83.27
1.08
15.65
B3
443
328.5
32.1
28.4
0.66
5.75
84.24
0.79
14.97
B4
468.5
266.5
28.4
25
0.66
5.35
84.2
0.58
15.22
B5
454.4
139
25
15
0.64
6.13
83
0.87
16.13
1.3
1.3
Jenis
Bagian
fraksi (cm)
BBT (kg)
DU1 (cm)
DU2 (cm)
Tebal Kulit (cm)
BJ
K.Air
Zat terbang
K.Abu
Fix C
Polyalthia sumatrana
B1
31
79.5
65
52
1.4
0.54
22.66
88.7
0.83
10.47
B2
388.4
509
52
38.6
0.61
10.09
89.16
0.55
10.29
B3
766.2
863
38
28
0.74
13.21
89.89
0.64
9.47
B4
430
384
28
30
0.73
11.5
90.84
0.73
8.43
B5
198
185.5
30
38
0.72
12.34
90.79
1.2
8.01
B6
190
135.5
38
36
0.77
11.48
91.16
0.72
8.12
B1
387
532.29
66.5
49
1.05
6.76
83.46
0.46
16.08
B2
470
591.5
49
36
1.05
6.94
80.73
0.31
18.96
B3
490
511
36
31
0.91
6.68
82.11
0.37
17.52
B4
370
338.5
31
32
0.91
7.34
81.9
0.45
17.65
B5
65
75
32
50
0.79
6.24
82.75
0.56
16.69
B1
60
529.5
95
65
0.99
5.63
84.51
0.29
15.2
B2
228
303
65
56
1.08
5.23
84.94
0.55
14.51
Palaquium ridleyi King
Tetramerista glabra
1
1.2
B3
63
184
56
53
0.94
4.99
82.17
0.37
17.46
B4
830
1745.5
53
45
0.81
19.57
82.66
0.26
17.08
B5
760
1049
45
42
0.8
5.56
84.12
0.29
15.59
B6
112
161
42
39
0.84
6.4
84.4
0.67
14.93
Lampiran 8 Contoh pengolahan data untuk model pendugaan kandungan biomassa
a. Hubungan Biomassa (W) dengan Diameter Pohon (D) Biomassa Total Regression Analysis: ln W versus Ln D The regression equation is ln W = - 1.58 + 2.45 Ln D
Predictor Constant Ln D
Coef -1.5785 2.45110
S = 0.332980
SE Coef 0.2694 0.09373
T -5.86 26.15
R-Sq = 96.1%
P 0.000 0.000
R-Sq(adj) = 95.9%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 28 29
SS 75.831 3.105 78.935
MS 75.831 0.111
F 683.93
P 0.000
Residual Plots for ln Yt Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 0.5 Residual
Percent
90 50 10 1 -1.0
-0.5 -1.0
-0.5
0.0 Residual
0.5
2
Histogram of the Residuals
4
6 Fitted Value
8
Residuals Versus the Order of the Data
8
0.5 Residual
Frequency
0.0
6 4
0.0 -0.5
2 -1.0
0 -0.8
-0.4
0.0 Residual
0.4
0.8
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Observation Order
b. Hubungan Biomassa (W) dengan Diameter Pohon (D) dan Tinggi Total (H) Batang The regression equation is ln W = - 2.88 + 0.950 ln D2H
Predictor Constant ln D2H
Coef -2.8760 0.95015
S = 0.322869
SE Coef 0.2980 0.03518
R-Sq = 96.3%
T -9.65 27.00
P 0.000 0.000
R-Sq(adj) = 96.2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 28 29
SS 76.021 2.919 78.940
MS 76.021 0.104
F 729.26
P 0.000
c. Hubungan Biomassa (W) dengan Diameter Pohon (D) dengan Polynomial Batang The regression equation is ln W = 6.03 - 5.95 [Ln(D)] + 2.88[ln(D]2 - 0.320[ln(D]3
Predictor Constant Ln x [ln(D]2 [ln(D]3
Coef SE Coef T P 6.035 4.778 1.26 0.218 -5.952 5.136 -1.16 0.257 2.884 1.794 1.61 0.120 -0.3196 0.2039 -1.57 0.129
S = 0.342972
R-Sq = 96.1%
R-Sq(adj) = 95.7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 3 26 29
SS 75.882 3.058 78.940
MS 25.294 0.118
F 215.03
P 0.000
Lampiran 9 Contoh pengolahan data untuk model pendugaan potensi karbon terikat pohon
a. Hubungan Karbon (C) dengan Diameter Pohon (D) Cabang The regression equation is ln C = - 6.72 + 2.77 ln D
Predictor Constant ln D
Coef -6.7209 2.7704
S = 0.705842
SE Coef 0.7744 0.2524
T -8.68 10.98
R-Sq = 85.2%
P 0.000 0.000
R-Sq(adj) = 84.5%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 1 21 22
SS 60.041 10.462 70.503
MS 60.041 0.498
F 120.51
P 0.000
Residual Plots for ln C Cabang Normal Probability Plot of the Residuals
Residuals Versus the Fitted Values
99 1.0 Residual
Percent
90 50 10
0.5 0.0 -0.5 -1.0
1 -2
-1
0 Residual
1
2
0.0
3.6
4.8
Residuals Versus the Order of the Data
4.8
1.0
3.6
0.5 Residual
Frequency
Histogram of the Residuals
1.2 2.4 Fitted Value
2.4 1.2
0.0 -0.5 -1.0
0.0 -1.2
-0.6
0.0 Residual
0.6
1.2
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 Observation Order
b. Hubungan Karbon (C) dengan Diameter Pohon (D) dan Tinggi Total (H)
Non fotosintesis : The regression equation is ln C = - 4.51 + 0.909[ln(D2H)] + 0.0038[ln(D2H]2
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant
-4.506
2.237
-2.01
0.054
ln D2H
0.9087
0.5309
1.71
0.098
0.00377
0.03050
0.12
0.903
ln (D2H)2
S = 0.419551
R-Sq = 94.4%
R-Sq(adj) = 94.0%
Analysis of Variance Source
DF
SS
MS
F
P
2
79.901
39.950
226.96
0.000
Residual Error
27
4.753
0.176
Total
29
84.654
Regression
c. Hubungan Biomassa (W) dengan Diameter Pohon (D) dengan Polynomial Cabang The regression equation is ln C = 2.7 - 3.6[ln(D] + 1.00[ln(D)]2 + 0.006[ln(D)]3 - 0.170[ln(ρ)]
Predictor
Coef
SE Coef
T
P
Constant
2.65
26.25
0.10
0.921
ln D
-3.56
25.87
-0.14
0.892
(ln D)^2
1.004
8.259
0.12
0.905
0.0059
0.8622
0.01
0.995
-0.1697
0.7180
-0.24
0.816
(ln D)^3 ln Bj
S = 0.676194
R-Sq = 88.3%
R-Sq(adj) = 85.7%
Analysis of Variance
Source Regression
DF
SS
MS
F
P
4
62.273
15.568
34.05
0.000
0.457
Residual Error
18
8.230
Total
22
70.503